Metode Penelitian Sistem atau Teori Pembuktian

M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 a. pada masukan input, dengan penghapusan, penambahan, dan lain-lain; b. pada pengolahan data, berupa perubahan, pengrusakan, dan sebagainya; c. pada program komputer, dengan pencurian, penjualan program, pengrusakan program, masukan instruksi yang bersifat curang dan sebagainya; d. pada pengeluaran output, dengan pemalsuan dan sebagainya. 2. Kejahatan terhadap peralatan komputer Kejahatan terhadap peralatan komputer. Komisi hukum belanda Commission Franken dalam RUU KUHP membagi kejahatan komputer berdasarkan kepentingan yang dilindunginya: 1. Untuk melindungi tersedianya sarana; 2. Untuk melindungi integritas sarana data processing system dan data; 3. Untuk melindungi kepentingan ekslusifitas 15

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara normative yuridis, yakni penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan lain. 15 Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Buku ke-1, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum, Jakarta, 1994, hal. 14 dan 20. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009

2. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari data primer berupa Peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana dan bahan lainnya.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Library research penelitian kepustakaan Yakni melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti : Peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana dan bahan lainnya. b. Field research penelitian lapangan Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan, dalam hal ini penulis melakukan penelitian ke Pengadilan Negeri Medan. 4. Analisis Data Analisa data yang dilakukan adalah secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian di lapangan secara tertulis dipelajari secara utuh dan menyeluruh.

G. Sistematika Penulisan.

Dalam membuat skripsi sangat diperlukan suatu sistematika penulisan. Hal ini dilakukan adalah untuk memudahkan penulis dalam menulis dan memudahkan pembaca untuk mengerti, untuk memahami isi dari skripsi ini. Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut: M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 BAB I : Bab ini merupakan Bab Pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjaun Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sitematika Penulisan. BAB II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang antara lain akan dibahas Sistem atau Teori Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian. BAB III : Dalam bab ini akan dibahas secara singkat mengenai Pengaturan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Teknologi Komputer, yang mengulas tentang Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Teknologi Komputer, Aspek Tindak Pidana dalam Bidang Komputer di Indonesia, Dan Pengaturan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Teknologi Komputer di Indonesia. BAB IV : Bab ini akan mengulas mengenai penerapan KUHAP dalam Pembuktian Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Teknologi Komputer yang disertai dengan pemaparan Kasus dan Analisa terhadap Kasus yang berkaitan dengan kejahatan komputer. BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009

BAB II PEMBUKTIAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA Masalah pembuktian merupakan masalah yang pelik dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil, dan bukanlah untuk mencari kesalahan seseorang. Van Bemmelen mengatakan bahwa maksud dari pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran hakim: a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi; b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi. Dari itu, pembuktian terdiri dari: a. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indera; b. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut; c. Menggunakan pikiran logis. 16 Dengan demikian pengertian membuktikan sesuatu berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera mengutamakan hal-hal tersebut dan berfikir secara logika. 16 Ansori Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hal. 185-186. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, bukan sesuatu yang abstrak. Dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.

A. Sistem atau Teori Pembuktian

Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut: 17 1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim Convictim in Time Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa 17 M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 103-106. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembukt ian ini. 18 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 19 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 20 Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. 18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798. 19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 260. 20 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal. 75. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. 21 2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis La Conviction Raisonnee Convictim-Raisonee Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 22 3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya 21 Ansorie Sabuan….., Op.Cit., hal 187. 22 M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal. 231. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang. 23 Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. 24 4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif. Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukt i itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh 23 Ibid., hal. 799. 24 Ansorie Sabuan…., Op.Cit., hal. 187. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang minimal dua alat bukti dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 25 KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang- undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat 1 yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. 25 Ibid., hal. 188. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 KUHAP lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang-undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijke bewijs theorie ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda dubbel en grondslag, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang 26 26 Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 234. . M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. 27 M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. 28 Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap 27 Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 77. 28 M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal. 804. M. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Teknologi Komputer, 2007. USU Repository © 2009 atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. 29

B. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian