BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini masih

  berlaku, merupakan produk warisan penjajahan Belanda di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia itu sebenarnya sama sekali berasal dari KUHP Kerajaan Belanda yang diberlakukan Indonesia dengan beberapa penyesuaian disana-sini, kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia secara tidak resmi oleh para ahli hukum di Indonesia. Menurut Soedarto, teks resmi KUHP itu sendiri hingga kini secara formil masih dalam bahasa Belanda.

  Hal ini terjadi karena awal pertumbuhan hukum Indonesia modern, sangat banyak ditentukan oleh kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, Jadi pengaruh Belanda

  86

  sangat besar dalam hukum Indonesia. Dan sebenarnya pada awalnya pemberlakuan peraturan-peraturan hukum warisan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum (rehts vacuum). Hal ini disebabkan untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia adalah sangat dibutuhkan pembicaraan yang

  87

  tidak mudah dan waktu yang sangat panjang. Melihat uraian tersebut, maka jelas menunjukkan bahwa KUHP yang berasal dari zaman Hindia Belanda seharusnya tidak bertahan lebih lama lagi karena awalnya hanya bertujuan untuk 86 87 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hal 23-24 Roni Wijayanto, Op.Cit , hal 39 mengisi kekosongan hukum pada masa kemerdekaan dan seharusnya sudah diganti dengan KUHP baru yang sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kebudayaan bangsa Indonesia.

  A.

  Pengertian zina Tindak Pidana Perzinahan yang diatur didalam pasal 284 KUHP, adapun

  88

  bunyinya sebagai berikut; (1) “Dihukum Penjara selama-lamanya Sembilan bulan :

  1e. a) Laki-laki yang beristeri, berbuat Zina, sedang diketahuinya pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku padanya:

  b) Perempuan yang bersuami berbuat Zina: 2e. a) Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami: b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami.

  (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

  (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

88 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

  Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , (Bogor: Politea Cetakan Kedelapan 1985), hal . 208

  (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

  (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

  Menurut Prof. Simons, untuk adanya suatu perzinaan menurut pengertian

  Pasal 284 ayat (1) KUHP, diperlukan adanya suatu vleeselijk gemenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat kelamin yang selesai dilakukan antara dua

  89 orang dari jenis kelamin yang berbeda.

  Menurut R. soesilo yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Dan yang dimaksud dengan persetubuhan adalah peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak. Anggota kelamin laki-laki harus masuk kedalam anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan (maaf) air mani, sesuai dengan

  90 Arrest Hooge Raad, tanggal 5 februari 1912 (W. 9292).

  Menurut Sugandhi pengertian umum zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum 89 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar

  Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta : Sinar Grafika 2009), hal 79 90 Ibid, hal 209

  terikat perkawinan. Tetapi menurut pasal ini, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau sumainya. Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. Dan menurut Hukum, baru dapat dikatakan “Persetubuhan”, apabila anggota kelamin pria telah masuk kedalam anggota

  91

  kemaluan wanita demikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan mani B.

  Tujuan Tindak Pidana Perzinahan diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  Dari sejarah orang dapat mengetahui adanya dua pandangan yang berbeda tentang apa sebabnya perzinahan perlu dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana.

  Dahulunya didalam hukum romawi, hanya wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinaan, yakni isteri yang dengan melakukan hubungan kelamin dengan orang laki-laki yang bukan suaminya, telah dipandang sebagai suatu perbuatan merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan dari isterinya dalam perkawinan. kemudian perlakuan didepan hukum yang tidak seimbang antara wanita dan pria telah diikuti oleh para pembentuk code penal Prancis, yakni seperti yang masih dapat dijumpai didalam ketentuan pidana yang

  92 diatur dalam pasal 336 sampai dengan pasal 339 Code Penal.

  91 92 R Sugandhi, KUHP dan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional 1980), hal 300 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal. 80

  Berbeda dengan hukum romawi yang memandang wanita mempunyai kedudukan yang rendah didepan hukum dibandingkan dengan pria, hukum Gereja Katolik telah menempatkan kedudukan wanita sederajat dengan kedudukan pria didepan hukum, hingga kemudian perzinaan telah dipandang sebagai suatu dosa yang dapat dilakukan baik oleh pria maupun oleh wanita, dan bagi Gereja telah dipandang sebagai suatu inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau sebagai

  93

  suatu penodaan terhadap ikatan suci dari suatu perkawinan. Inilah awal mula Perzinaan dianggap hanya sebagai Penodaan terhadap ikatan suci perkawinan.

  Yang kemudian diikuti oleh para pembentuk undang-undang di Negeri Belanda. Dan kemudian menganggap pelaku perzinahan tersebut haruslah orang yang sedang terikat didalam perikatan perkawinan yang sah.

  Kemudian yang disebut perzinaan oleh pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan adanya suatu hubungan yang sifatnya tetap dan berlangsung dalam tenggang waktu yang relatif lama antara seorang pria yang telah menikah dan seorang wanita yang bukan isterinya atau antara seorang wanita yang telah menikah dengan seorang pria yang bukan suaminya, atau dengan kata lain telah dihubungkan dengan semacam bigami, yang dilakukan baik oleh seorang pria maupun oleh seorang wanita yang masih terikat dalam suatu perkawinan dengan

  94 isterinya atau dengan suaminya.

  93 94 Ibid, hal. 80-81 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal. 82

  Tentang apa sebabnya bigamy itu telah dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, berkatalah Prof. Van Bemmelen dan Prof. van Hantum antara lain, bahwa:

  95

  “De voornamste redden, waarom bigamie wordt straftbaar gesteld is

  dezeflde als bij overspel, n.I. om de exclusiviteit van de sexuale verbintenis, welke bij ons en in alle andere monogame landen haar uitdrukking viendt in het huwelijk te bach baschermen.”

  Artinya: “Alasan yang terutama dari dinyatakannya bigamy itu sebagai perbuatan yang terlarang adalah sama dengan alasan dilarangnya perzinaan, yakni berkenaan dengan sifatnya yang khusus dari perikatan seksual, maka dinegara kita dan dinegara-negara monogam lainnya telah dimaksud untuk

  memberikan perlindungan bagi perkawinan-perkawinan

  ” Hal tersebut sebenarnya tidak bisa lepas keterkaitannya didalam keluarga hukum pidana eropa kontinental (dan Belanda merupakan Negara yang menganutnya. Penulis) ukuran agama (Religion Standart) tidak suka disebut-sebut oleh pembentuk undang-undang di Kontinen Eropa. Ini dikarenakan masa lampau yang melahirkan doktrin separation of state and church. Ukuran agama, sebagaimana agama itu sendiri, adalah urusan pribadi dimana Negara tidak mau campur tangan. Demikian pula halnya dengan standart moral kurang mendapat saluran dalam hukum pidana, karena pandangan hidup orang Eropa Barat yang 95

  . P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal.83 Individualistik. Sepanjang tidak merugikan orang lain, campur tangan pihak lain,

  96 termasuk hukum pidana dianggap tidak patut.

  Awalnya Isu pemisahan antara agama dan negara, atau yang lebih dikenal di Barat dengan istilah the separation of church and state (separasi negara dan gereja) ini telah menjadi kesepakatan bersama dalam ideologi-politik Barat, dan selanjutnya diterima dalam tatanan ideologi politik dunia yang pro Barat. Para penganut ideologi ini mengakui sendiri bahwa kelahirannya berkaitan erat dengan sejarah konflik peradaban Barat dengan agama Nasrani. mereka kemudian menganggapnya paham ini wajib diterapkan oleh setiap negara modern. Alasannya, asas pokok negara adalah kewarganegaraan, dan mayoritas negara- negara dunia bukanlah milik satu agama tertentu, dan bahkan sebagian warganya boleh jadi atheis. Jadi komitmen negara pada agama tertentu esensinya dianggap sebagai penindasan bagi pemeluk agama lain. Paham ini mengatakan idealnya negara harus menganut paham sekularisme (memisahkan antara agama dan negara). Tidak komitmen pada satu agama tertentu, dan tidak pula memerangi agama tertentu. Setiap warga negara bebas memilih agama dan keyakinan yang ia sukai, ia juga bebas menjalankan ritual ibadah apa pun. Selanjutnya Di abad terakhir muncul gerakan intelektual liberal yang menyatakan bahwa Injil bukanlah wahyu Allah, melainkan karya tulis manusia biasa yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya di masa mereka hidup. Jadi, beberapa perkara yang tercantum dalam Injil, seperti dukungan terhadap penyimpangan seksual (zina) bukanlah ajaran Kristen, tetapi nilai budaya masyarakat masa lalu. Pernyataan ini tidak 96 Eman Sulaeman, Op.Cit, hal 111-112 hanya dilontarkan oleh para politikus dan penguasa, tetapi para tokoh agama dan intelektual Kristen juga menyatakan hal yang sama. Bahkan kaum liberal pun mengakui bahwa sekularisme saat ini tidak lagi netral terhadap agama yang ada, bahkan ia telah berubah menjadi sebuah agama yang dibela oleh para

  97

  pendukungnya, dan dijadikan senjata memerangi Kristen. Dan nilai-nilai tersebut pun akhirnya berkembang, lalu kemudian dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan menganggap perzinahan hanya dilakukan oleh orang yang terikat perkawinan (demi untuk menjaga perkawinan) seperti maksud yang ditujukan oleh pasal 284 KUHP.

  Dinegeri Belanda misalnya, jika pada mulanya KUHP Belanda mengenal pasal-pasal yang sebanding dengan 284 (overspel) dan pasal 292 (perbuatan homoseks terhadap orang yang belum dewasa) maka pasal-pasal tersebut telah

  98 dihapus.

  Menurut J. M. Van Bammelen, di Belanda, Tindak Pidana perzinahan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 284 KUHP (di Belanda dimuat dipasal 241 Sr) telah dihapuskan berdasarkan Undang-Undang yang dikeluarkan pada tanggal

  6 Mei 1971, S.291. menurut J. M. Van Bammelen dan Remmelink, komisi pelapor diparlemen (Belanda) berpendapat bahwa, jika “Kehormatan Kesusilaan” seseorang tidak dihina didepan umum

  , maka tidak ada alasan bagi “pembuat

  97 Memisahkan Negara Dari Agama, http://lajafar. Wordpress .com/2013/05/27/memisahkan-negara-dari-agama/ , diakses pada hari selasa 11 februari 2014 98 Eman Sulaeman, Op.Cit, hal. 112 Undang-Und ang” untuk menilai perbuatan yang dikutuk itu sebagai “kejahatan”,

  99 jika ditinjau dari sudut kesusilaan.

  Hal serupa juga dianut oleh keluarga hukum pidana Common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, Canada, Australia, Selandia baru, dan lain-lain. Di Inggris, penghormatan terhadap kebebasan individu membuat konsekuensi negara tidak banyak campur tangan terhadap masalah-masalah yang dianggap merupakan masalah pribadi yang tidak merugikan orang lain. Moralitas masyarakat (sosial

  moriality) belaka atau ukuran agama belaka, tanpa adanya suatu akibat yang merugikan orang lain bukanlah dasar untuk mengkualifikasikan suatu 100 perbuatan sebagai tindak pidana.

  Pandangan tersebut secara jelas dalam Report of the Committee on

  Homosexual Offence and Prostitution 1957, yaitu laporan dari suatu komite

  (Wolfenden Committee) yang bertugas memberikan rekomendasi mengenai masalah homoseksual dan pelacuran. Menurut Wolfenden Committee, fungsi hukum pidana adalah untuk memelihara ketertiban publik, untuk melindungi warga dari apa yang merupakan serangan atau tindakan yang merugikan dan untuk memberikan penjagaan yang cukup melawan pemerasan dan kebusukan orang lain, khususnya kepada mereka yang memiliki posisi/kondisi yang lemah, karena usia dibawah umur, fisik dan mental yang lemah, memiliki ketergantungan

  101 ekonomi dan jabatan tertentu. 99 100 Neng Djubaedah, Op.Cit, hal 68-69 101 Eman Sulaeman, Op.Cit, hal. 113 Ibid Sedangkan menurut Leden Marpaung didalam bukunya yang berjudul

  102 Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, bahwa; Dibeberapa Negara selain belanda, misalnya inggris, Amerika Serikat,

  Perancis dan lain-lain, zina sebagai tindak pidana telah dihapus. Penghapusan zina sebagai tindak pidana jika diamati perkembangan pemikiran dunia, memang suatu hal yang logis, dengan alasan-alasan, antara lain sebagai berikut;

  1) Perbuatan zina merupakan perbuatan tercela tetapi jika tujuannya untuk melindungi perkawinan yang sah sehingga diberi sanksi pidana, maka hal tersebut tidak dapat dipertahankan karena rumusan hukum mewajibkan mereka untuk bercerai. Kalau toh, akan bercerai, akan sia-sia memberi pidana pada yang bersangkutan

  2) Penegakan terhadap “hak asasi manusia” yang telah berpengaruh luas, sehingga kesamaan hak untuk menikmati seks, dianggap milik setiap manusia yang telah dewasa. Kesamaan antara pria dengan wanita, kesamaan antara suami dengan isteri. Suami isteri hidup berdampingan, sejajar tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau lebih berkuasa.

  3) Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka seks telah dianggap sebagai suatu kebuutuhan (need) orang dewasa. Menyadari akan hal ini, pasukan/tentara yang sedang berperang telah dibagikan kondom, narapidana yang sedang menjalani hukuman telah diberi kesempatan untuk itu.

  102 Ibid hal 43

  Maka dari itu menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa delik perzinahan dalam KUHP lebih mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di Eropa Barat ketika itu dari pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat

  103 Indonesia.

  Maka dapat diambil pemahaman dari uraian diatas dan seperti yang diungkapkan Prof. van Bemmelen dan Prof. van Hattum, larangan untuk melakukan bigamy dan perzinahan adalah untuk melindungi perkawinan, juga

  104 telah dimaksud untuk menjamin adanya kepastian tentang asal-usul seseorang.

  Dari pandangan tersebut dapat dipahami bahwa Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP hanya bertujuan untuk 2 hal, yakni; 1)

  Melindungi Perkawinan Seperti yang dikatakan Prof. Van Bemmelen dan Prof. van Hantum

  105

  sebelumnya bahwa; “Alasan yang terutama dari dinyatakannya bigamy itu sebagai perbuatan yang terlarang adalah sama dengan alasan dilarangnya perzinaan, yakni berkenaan dengan sifatnya yang khusus dari perikatan seksual, maka dinegara kita dan dinegara-negara monogami lainnya telah dimaksud untuk

  memberikan perlindungan bagi perkawinan-perkawinan ”.

  103 Eman Sulaeman, MH., Delik Perzinahan dalam pembaharuan hukum pidana di

  Indonesia , (Semarang : Walisongo Press 2008) hal 111 104 105 P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal. 83 . Ibid, hal.83

1. Menjamin adanya kepastian tentang asal-usul seseorang

  Prof. van Bammelen dan Prof. van Hattum mengatakan jika perzinahan tidak dilarang, banyak terjadi banyak kelahiran anak yang asal usulnya tidak jelas.

  Karena masalah kelahiran seorang anak itu tidak dapat dilepaskan dari selesainya suatu proses pembuahan sel telur seorang wanita oleh sperma seorang pria, sedangkan untuk selesainya proses pembuahan seperti itu sebenarnya tidak

  106 diperlukan adanya suatu tenggang waktu yang lama.

  C.

  Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  Tindak Pidana Perzinahan didalam KUHP diatur didalam Bab II mengenai Kejahatan khususnya didalam pasal 284 KUHP, adapun bunyinya sebagai

  107

  berikut; (1) “Dihukum Penjara selama-lamanya Sembilan bulan :

  1e. a) Laki-laki yang beristeri, berbuat Zina, sedang diketahuinya pasal 27 KUHPerdata (sipil) berlaku padanya:

  b) Perempuan yang bersuami berbuat Zina: 2e. a) Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami: b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan 106 itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami. 107 Ibid, hal. 84 R. Soesilo, Op.Cit, hal

  . 208

  (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

  (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

  (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

  Dari bunyi pasal tersebut, maka unsur-unsur Tindak Pidana Perzinahan antara lain, yakni; Dapat dilihat unsur mengenai Tindak Pidana perzinahan yang dirumuskan pada ayat (1) diatas sudah mencakup 4 (empat) larangan, yakni;

  1. Seorang laki-laki yang sudah kawin melakukan zina, padahal pasal 27 BW berlaku baginya;

  2. Seorang perempuan yang sudah kawin melakukan zina, padahal pasal 27 BW berlaku baginya;

  3. Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;

  4. Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

  Jadi dapat dikatakan bahwa laki-laki atau perempuan yang melakukan zina harus memenuhi 3 syarat esensial, yakni:

  1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan dan laki-laki yang bukan merupakan isteri dan suaminya;

  2. Baginya berlaku pasal 27 BW; 3.

  Dirinya sedang terikat perkawinan Dan apabila pada laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku pasal 27 BW, sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada pasal 27 BW, dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina, akan tetapi “turut serta” melakukan zina, yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta melakukan zina ini, dilihat dari pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai

  108 pembuat peserta (mede pleger).

  Pada saat itu pembentuk undang-undang mengadakan diskriminasi antara orang yang tunduk pada BW orang-orang Eropa dan orang Cina dengan orang- orang lainnya terutama penduduk asli Indonesia, yang pada umumnya orang- orang beragama Islam yang tidak tunduk pada asas monogami. Oleh karena itu, penduduk asli Indonesia atau lainnya yang beragama Islam, tidak dapat dipidana 108

  Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 57 melakukan zina, tetapi hanya dapat dipidana karena turut serta melakukan zina dalam hal kawannya bersetubuh itu telah bersuami dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Kedudukan kejahatan zina seperti diterangkan di atas telah diberikan isi tafsiran yang lain oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 1980 tanggal 31 Desember 1980, yang pada dasarnya berisi hal-hal sebagai berikut;

  109 a.

  Seorang suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW yang tidak ada izin beristri lebih dan seorang (menurut Pasal 3, jo 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974) berlaku pula asas monogami seperti yang terdapat pada Pasal 27 BW; b.

  Pasal 284 ayat (1) huruf a KUHP berlaku pula terhadap para suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW dan tidak ada izin dan Pengadilan Agama untuk benistni lebih dan seorang, yang melakukan perzinaan sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan;

  Maka dengan kata lain Seseorang dapat dikatakan “turut serta” didalam Tindak Pidana perzinahan ini, memerlukan 4 syarat, yakni: 1.

  Melakukan persetubuhan tersebut dengan perempuan atau laki-laki yang bukan suami atau bukan isterinya. Orang ini tidak harus sudah menikah

2. Dia tidak tunduk pada pasal 27 BW 3.

  Rekannya yang melakukan persetubuhan dengannya tunduk pada pasal 27 BW 109

  Budiyanto, zina,diakses pada hari Sabtu 5 April 2014

  4. Dia mengetahui bahwa temannya yang melakukan persetubuhan dengannya tersebut tunduk pada pasal 27 BW (Unsur kesalahan atau kesengajaan) Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak tunduk pada pasal 27 BW, kedua-duanya, baik laki-lakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik laki- lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan artinya sedang tidak beristeri atau bersuami walaupun dirinya tunduk pada pasal 27 BW, maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zina maupun turut serta melakukan zina.

  Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogamy, dimana dalam waktu yang bersamaan seseorang laki-laki hanya boleh

  110 dengan satu isteri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.

  Kemudian KUHP mengkategorikan Pasal 284 KUHP (perzinahan) tersebut sebagai delik aduan absolut yang mengharuskan perbuatan tersebut hanya dapat dikatakan sebag ai “kejahatan” apabila ada pengaduan dari yang dirugikan. Karena perzinahan hanya dianggap ”sebagai suatu penodaan terhadap

  ikatan suci dari suatu perkawinan ” maka cakupan yang dirugikan menurut KUHP

  yaitu hanya mencakup suami atau isteri dari orang yang melakukan perzinahan tersebut.

  Bahkan apabila perbuatan zina tersebut disetujui oleh suami / isteri dari sipelaku zina, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai s 110 uatu “kejahatan”.

  Ibid, hal. 58 Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung KUHP sendiri melegalkan adanya kegiatan pelacuran. Hal ini sebagaimana dapat dilihat di Hoge

  Raan dalam arrest-nya tanggal 16 Mei 1946, NJ 1946 No. 523 antara lain telah 111

  memutuskan bahwa: “Tidak termasuk dalam pengertian zina yakni mengadakan hubungan dengan pihak ketiga, yang dilakukan dengan persetujuan suami dari pihak ketiga tersebut. Perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang menodai kesetiaan dalam perkawinan. Dalam hal ini, suami tersebut merupakan seorang germo, yang telah membuat isterinya menjadi seorang pelacur. Ia telah menyetujui cara hidup yang ditempu oleh isterinya tanpa syarat”.

  Selanjutnya mengenai pasal 72, 73 KUHP menentukan kemungkinan dalam hal-hal tertentu maka keluarga korban/wali dapat melakukan pengaduan untuk mewakili si korban. Pasal ini tidak berlaku terhadap ketentuan pasal 284, karena Tindak Pidana perzinahan didalam KUHP menentukan sifat delik yang absolut dimana hanya suami atau istrinya saja yang berhak melakukan pengaduan. Kemudian pasal 75 KUHP menentukan batas waktu penarikan pengaduan selama tiga bulan sejakdilakukannya pengaduan, pasal ini pun tidak berlaku terhadap ketentuan pasal 284, karena pasal 284 memberikan pengaturan tersendiri bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum dimulai

  112 (Pasal 284 ayat 4 KUHP.

  111 112 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal 87 Eman Sulaeman, Op.Cit, hal 101

  Dan yang dimaksud dengan persetubuhan atau persetubuhan, hoge raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya (5-2-1912) menyatakan bahwa “persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan mani”. Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk kedalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan. Namun telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut

  113 ketentuan pasal 53 telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan berzina.

  D.

  Tindak Pidana Perzinahan didalam Yurisprudensi 1. Hoge Raan dalam arrest-nya tanggal 16 Mei 1946, NJ 1946 No. 523 antara

  114

  lain telah memutuskan bahwa: “Tidak termasuk dalam pengertian zina yakni mengadakan hubungan dengan pihak ketiga, yang dilakukan dengan persetujuan suami dari pihak ketiga tersebut. Perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang menodai kesetiaan dalam perkawinan. Dalam hal ini, suami tersebut merupakan seorang germo, yang telah membuat isterinya menjadi seorang pelacur. Ia telah menyetujui cara hidup yang ditempu oleh isterinya tanpa syarat”.

  113 114 Ibid, hal 59 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal 87

  Putusan ini memperlihatkan nilai-nilai yang bertentangan dengan masyarakat Indonesia yang BerKeTuhan, selain secara tidak langsung melegalkan prostitusi, putusan ini juga memiliki kelemahan yaitu bagaimana apabila wanita yang dizinahi ternyata hamil akibat perbuatan zinah tersebut, dan ternyata isteri dari laki-laki yang menghamili wanita tersebut tidak melakukan pengaduan? 2.

  Hoge Raan dalam arrest-nya tanggal 24 oktober 1933, 379, W, 12557,

  115

  yakni; “Kejahatan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Hal mana bukan disebabkan karena ada hubungan pribadi antara suami dengan para pelaku melainkan karena adanya sifat yang khusus mengenai kejahatan ini. Setiap orang yang tersangkut didalamnya dalam bentuk “pemberian bantuan” ataupun orang yang telah menggerakkan mereka sehingga kejahatan tersebut dapat ter jadi, hanya dapat dituntut karena ada pengaduan”

  116 3.

  M.A 19 Maret 1955 No. 52 K/Kr/1953, yakni; “Pasal 284 KUHP itu merupakan suatu “absolut klachtdelict”, sehingga pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan perzinahan juga merupakan pengaduan terhadap isteri yang berzina, sedang jaksa berwenang untuk atas azas oportunitas hanya mengadakan penuntutan terhadap salah seorang dari mereka”

  Dengan dinyatakan sebagai delik aduan absolut, seolah-olah memberi peluang dan memberikan dasar pembenaran/legitimasi kepada seseorang 115

  P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru 1976), hal. 122 116 Ibid

  (terutama suami) untuk merasa bebas melakukan perzinahan. Jadi kebijakan menetapkan delik perzinahan sebagai delik aduan absolut dapat menjadi “faktor kriminogen”, yaitu memberi peluang untuk seseorang melakukan perzinahan. Terutama dalam kondisi masyarakat Indonesia dimana yang sebagian besar kedudukan isteri lebih lemah daripada suami (suami yang memberikan nafkah).

  117 4.

  MA 19 Maret 1953 No. 52 K/Kr/1953, yakni; Suatu pengaduan perihal kejahatan perzinahan (overspel), yang oleh suami hanya dimajukan terhadap silelaki yang melakukan perzinahan itu. Tidaklah mungkin berhubung dengan sifat yang tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid) dari pengaduan itu (pendapat Jaksa Agung). Pengaduan semacam ini berarti pengaduan juga terhadap isteri yang melakukan perzinahan, tetapi Penuntut Umum leluasa untuk tidak menuntut siisteri itu berdasarkan asas opportunitet (pendapat Mahkamah Agung).

  Dalam hal asas opportuniteit ini juga menjadikan suatu peran penuntut umum yang berlebihan didalam lanjut atau tidak diprosesnya pelaku Tindak Pidana Perzinahan, karena dia diberikan kewenangan untuk itu

  118 5.

  MA 19 November 1977 No. 93 K/Kr/1976, yakni; “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai perbandingan dalam KUHP. Delik adat Zina merupakan 117

  Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003), hal. 171 118

  Ibid perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti diisyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”

  Sebenarnya melihat putusan tersebut diatas dapat terlihat bahwa Mahkamah Agung telah sedemikian jauh menafsirkan pengertian zina, disini Mahkamah Agung memperluas makna zina yang tidak terbatas pada makna menurut KUHP saja, akan tetapi juga makna zina menurut Hukum Adat. Ini tentunya memberikan indikasi apabila Mahkamah Agung juga dapat melihat bahwa bunyi pasal yang terdapat didalam KUHP memiliki nilai-nilai yang sangat asing dan bertentangan dengan masyarakat Indonesia.

  E.

  Tindak Pidana Perzinahan didalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)

  Didalam RUU (Rancangan Undang-Undang) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012, Tindak Pidana Perzinaan diatur didalam pasal 483, dibagian keempat Bab XVI mengenai Tindak Pidana Kesusilaan (Buku Kedua).

  

119

  Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut; F.

Pasal 483

  (1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: 119

  Lihat RUU KUHP Tahun 2012 a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

  d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

  e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

  (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.

  (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28.

  (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

  Penjelasan pasal 483 ini didalam rancangan penjelasannya mengatur mengenai tindak pidana permukahan, dengan tidak membedakan antara mereka yang telah kawin dan yang belum kawin. Begitu pula tidak dibedakan antara laki-

  120

  laki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Sama halnya dengan pasal 284 yang menjadikan perzinaan menjadi delik aduan, pasal 483 ayat

  2 RUU KUHP ini pun mengkategorikan perzinaan menjadi delik aduan, namun lebih memperluas pihak yang dapat mengadukan perbuatan zina tersebut dengan memasukkan Pihak ketiga yang tercemar”.

  Maka dapat dipahami dengan melihat bunyi pasal 483 RUU KUHP Tahun 2012 tersebut, bahwa sebenarnya para pembuat kebijakan menganggap bunyi pasal yang mengatur mengenai perzinaan yang berlaku saat ini (pasal 284 KUHP) sudah tidak relevan dengan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat Indonesia.

  120 Lihat Rancangan Penjelasan RUU KUHP Tahun 2012

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Hukum Para Pihak dalam Reksa Dana Perseroan terkait Transaksi Reksa Dana Saham

0 0 20

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

0 0 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 40

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Membran Selulosa Bakteri Coating Kitosan - Kolagen Untuk Aplikasi Gtr ( Guide Tissue Regeneration ) Sebagai Pembalut Luka Pada Mencit (Mus Musculus)Secara In Vivo

0 3 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pembuatan Membran Selulosa Bakteri Coating Kitosan - Kolagen Untuk Aplikasi Gtr ( Guide Tissue Regeneration ) Sebagai Pembalut Luka Pada Mencit (Mus Musculus)Secara In Vivo

0 1 9

PEMBUATAN MEMBRAN SELULOSA BAKTERI COATING KITOSAN - KOLAGEN UNTUK APLIKASI GTR ( Guide Tissue Regeneration ) SEBAGAI PEMBALUT LUKA PADA MENCIT (Mus musculus) SECARA IN VIVO SKRIPSI

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Buatan - Analisis Dan Perancangan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosis Penyakit Tanaman Karet Menggunakan Metode Faktor Kepastian (Certainty Factor) Pada Smartphone

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Peranan Istri Nelayan Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus : Desa Bagan Serdang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang)

0 2 14