diklasifikasikan atas 3 bagian yaitu lahan yang tanamannya belum menghasilkan, tanaman menghasilkan dan tanaman tua. Apakah tuntutan atas porsi lebih DBH dari
pajak ini dapat terealisasi? Jawabannya “ya” tapi prosesnya pastilah berliku-liku dan memerlukan proses waktu yang relatip sangat lama. Alasannya sederhana, untuk
merubah DBH dari pajak harus dirubah pula minimal 4 empat undang-undang yang terkait yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, UU No.33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, UU tentang pajak dan UU No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Bagi daerah, tentulah memerlukan kesabaran ekstra
menunggu proses dan waktu perubahan undang-undang dimaksud. Perlu waktu bertahun-tahun, bahkan bisa saja rezim telah berganti, namun perubahan UU
dimaksud belum kunjung terealisasi.
III. PORSI DANA BAGI HASIL DARI SUMBERDAYA ALAM
Sumber DBH dari SDA menurut UU No.33 tahun 2004 terdiri atas 6 sumber yaitu kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak
bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Sumber dari perkebunan tidak dikategorikan sebagai SDA tetapi masih dianggp sebagai
sumberdaya buatan. Pro dan kontra pendapat tentang kategori ini antara pemerintah daerah penghasil perkebunan dengan pemerintah pusat sampai sekarang masih
menjadi polemik. Ditahun 2004 yang lalu, ketika bertindak sebagai koordinator survey KPPOD untuk peringkat daya tarik investasi daerah di Sumatera Utara,
penulis pernah mengadakan “in-depth interview” dengan Sudarwanto, BSc, ketika sebagai pimpinan salah satu komisi di DPRD Kabupaten Labuhan Batu. Kabupaten
ini merupakan kabupaten dengan lahan perkebunan sawit terbesar di Sumatera Utara. Sudarwanto, yang kini menjadi wakil bupati di kabupaten tersebut secara tegas
Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
3
menolak pendapat yang menganggap sub sektor perkebunan sebagai sumberdaya buatan. “Kalau benar sumberdaya buatan”, menurutnya “Mengapa harus berkebun
sawit di Labuhan Batu, mengapa tidak kabupaten lain?”. Argumentasinya “investor perkebunan sawit memilih suatu wilayah tertentu untuk membuka lahan perkebunan,
tak lain karena wilayah tersebut memiliki tanah dengan unsur-unsur khusus yang tidak dimililki wilayah lain” ujarnya. Kekhususan unsur lahantanah inilah yang
dianggapnya sebagai sumberdaya alam SDA. Terlepas dari polemik tersebut, penulis mencoba memberikan alasan yang
lebih sederhana. Umumnya lahan perkebunan merupakan konversi dari lahan yang semula adalah hutan. Apabila lahan hutan tidak dikonversi menjadi lahan perkebunan,
tentunya daerah dimana lahan tersebut berlokasi akan menerima DBH dari kehutanan. Mengapa setelah lahan dikonversi menjadi perkebunan, sumber pendapatan daerah
dari DBH kehutanan menjadi hilang? Kondisi ini membuat daerah tidak bergairah. Biarkan saja lahan tetap menjadi hutan, agar pemerintah daerah kebagian penerimaan
dari DBH kehutanan. Toh, apabila dikonversi menjadi perkebunan tidak akan menambah penerimaan, bahkan akan mengurangi penerimaan dan menambah
pengeluaran untuk membangun sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, sekolah, klinik, jaringan listrik, air dan sebagainya.
Argumentasi ini mungkin perlu disampaikan ke pemerintah pusat agar pemerintah daerah tetap menerima porsi DBH kehutanan meskipun lahan hutan telah
dikonversi menjadi perkebunan. Bisa saja persentase penerimaan DBH kehutanan untuk lahan yang dikonversi menjadi perkebunan dikurangi sedikit sebab daerah
tersebut akhirnya menerima PBB dari lahan perkebunan. Namun, sama halnya dengan DBH dari pajak, usulan perubahan DBH kehutanan juga memerlukan proses dan
Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
4
waktu yang relatip panjang sebab beberapa undang-undang yang mengaturnya harus direvisi terlebih dahulu. Persoalannya, sampai kapan harus menunggu?
IV. PORSI BAGI HASIL KEUNTUNGAN PTPN DAN COMMUNITY