4
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penelitian
Problematika sosial ekonomi masyarakat khususnya di perkotaan termasusk Kota Surakarta yang merupakan masyarakat perkotaan denga
tingkat kepadatan penduduk yang signifikan akan memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Masyarakat perkotaan dengan kemajemukan yang
tinggi dari sisi tingkat pendidikan, strata sosial, dan ekonomi berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan. Tingkat pendidikan yang dicerminkan
dari lamanya seseorang menempuh jalur pendidikan formal telah memberikan sumbangan terhadap penguasaan atas ilmu pengetahuan
teknologi. Dengan demikian, tingkat pendidikan secara tidak langsung akan membentuk watak dan perilaku masyarakat. Karena dukungan
pengetahuan yang memadai, seseorang mampu menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang kontra produktif terhadap lingkungannya.
Dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat di Kota Surakarta, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian masyarakatnya, telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku social terutama bagi anak. Pondasi Sosial
budaya Kota Srakarta yang sebenarnya dapat dikatakan “kokoh” tidak cukup kuat menopang lajunya berkembang dalam spektrum keterbukaan
teknologi informasi modern di tengah-tengah gempuran budaya moderen termasuk wilayah Indonesia yang lain dapat terpengaruhi, sehingga
budaya moderen dapat menentukan tinggi rendahnya moralitas masyarakat.
Dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi, dalam hal ini misalnya televisi yang antara lain adalah adanya tayangan-tayangan
yang mengarah kepada pornografi maupun gaya hidup yang amoral, kehidupan matrealistis, tayangan kekerasan dll. Hal tersebut ditengarai
sebagai pemicu meningkatnya kejahatan dalam bentuk lain di masyarakat dan tindak pidana asusila, terutama tindak pidana perkosaan, pelecehan
seks hingga yang paling “biadab” adalah tindakan-tindakan amoral
5 tersebut akan dipraktekkan oleh anak-anak. Atau dalam konteks ini,
“anak-anak tencam sebagai pelaku sekaligus sebagai korban dari kejahatan”.
Pada kondisi seperti itu, muncul ketidakserasian dan ketegangan yang berdampak pada sikap, perlakuan negatif orang tua terhadap anak
dan lebih lanjut dalam lingkungan pergaulan. Dengan perubahan tata nilai sosiokultural masyarakat dan lingkungan keluarga tersebut berpengaruh
terhadap pola perilaku masyarakat dan juga pada proses perkembangan anak. Hal tersebut, menyebabkan anak tersebut diharuskan berhadapan
dengan proses hukum yang disamakan dengan orang dewasa. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut, yaitu dampak negatif perkembangan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup.
1
Konsep Anak Berhadapan dengan Hukum ABH sendiri bermula dari adanya konsep mengenai anak nakal sesuai dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Istilah ABH baru muncul ketika perspektif hak anak mulai banyak dipahami yang
ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak nakal selanjutnya disebut sebagai
ABH. Pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa, “Anak yang Berhadapan
dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak
pidana”. Penelitian ini difokuskan pada ABH sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum. Jadi ABH yang dimaksud
dalam penelitian adalah ABH adalah anak yang secara sengaja maupun tidak, harus berurusan dengan hukum, baik sebagai korban,
saksi ataupun pelaku berkonflik dengan hukum. Mengacu pada Komite Hak Anak PBB, ABH termasuk dalam
salah satu kelompok Anak dalam Situasi Khusus yang membutuhkan
1
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Presindo, 1989. Hal. 2
6 penanganan secara khusus. Seorang anak dapat masuk dalam
kelompok rentan akibat tidak adanya kepedulian dari orang dewasa di sekitarnya yang memperhatikan hak-hak mereka. Dalam hal ini negara
dibebani kewajiban untuk melakukan intervensi lebih dan tindakan yang berbeda demi mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak, terlebih
pada anak-anak berada pada situasi dan kondisi kelompok rentan.
2
Perlindungan bagi ABH dilakukan dengan mengupayakan penahanan sebagai jalan akhir. Jika proses hukum terus berjalan maka
perlindungan terhadap mereka dapat dilakukan berbasis masyarakat atau dalam istilah hukum disebut diversi dan keadilan restoratif atau
Retorative Justice RJ. Tujuannya untuk memulihkan hubungan antara
korban dan pelaku berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dengan membuat kesepakatan melalui komunikasi terbuka antara ABH dan
korban serta keluarga masing-masing yang melibatkan para ahli, masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, serta penanganan kasus
anak harus merupakan bagian dari program pencegahan anak menjadi ABH.
3
Untuk pelaksanaan tujuan seperti yang dijelaskan di atas, maka sangat diperlukannya kerjasama seluruh lembaga yang terkait dan tentunya
masyarakat. Dan salah satu lembaga yang paling memegang peranan penting dalam melindungi masa depan ABH adalah BAPAS. Keberadaan
BAPAS seperti dihelaskan pada Pasal 1 angka 4 di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk
melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam
bimbingan BAPAS Pasal 1 angka 9. Pembentukan Pos-pos BAPAS di KabupatenKota sebagai upaya
untuk mendekatkan jangkauan pelayanan, mempermudah akses dan
2
Yayasan Pemantau Anak, Bahan Masukan Draft Laporan Alternatif Inisiatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 10: Praktek-Praktek Penanganan Anak Berkonflik Dengan
Hukum Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System Di Indonesia : Perspektif Hak Sipil Dan Hak Politik
, 2010. Hal. 2-3 dalam www.hukumonline.com diakses Tgl 26 Juli 2015 Jam 23.15
3
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2012. Hal. 18-19
7 efisiensi pelayanan oleh Balai Pemasyarakatan BAPAS Surakarta yang
memiliki wilayah luas dan sulit untuk dijangkau. Selain itu Pos BAPAS akan sangat membantu apabila BAPAS induk mengalami keterbatasan
SDM, sarana dan prasarananya dalam pelaksanaan pelayanan dan pembimbingan.
Kedepan Pos-pos
BAPAS ini diharapkan
akan meningkatkan optimalisasi pelayanan dan pembimbingan yang dilakukan
oleh BAPAS Surakarta.
4
Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pemerintah Surakarta berkomitmen
untuk memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan membuat suatu kebijakan yang tertuang pada Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak.
3.2 Pembahasan