PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

ABSTRAK

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI
ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana
TERHADAP KUTUDAUN (Aphis glycines Matsumura)
DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

Oleh
Leni Fitri Mandasari

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh frekuensi aplikasi jamur Beauveria
bassiana terhadap populasi dan mortalitas hama kutudaun (Aphis glycines
Matsumura), dan populasi musuh alami dan organisme non-target lainnya pada
pertanaman kedelai. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK). Penelitian ini terdiri atas enam perlakuan yaitu tanpa
aplikasi (kontrol), 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali, dan 5 kali aplikasi B. bassiana.
Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aplikasi isolat jamur B. bassiana mampu menginfeksi dan menyebabkan kematian
hama kutudaun Aphis glycines di pertanaman kedelai pada 3 hari setelah aplikasi
di setiap minggu pengamatan, aplikasi B. bassiana dengan berbagai frekuensi
menunjukkan bahwa jumlah famili non-target dan total organisme non-target lebih

rendah dibandingkan tanpa aplikasi.

Jenis organisme nontarget yang diamati

sebanyak 13 famili arthropoda, namun terdapat 3 famili dominan yang berupa
musuh alami yaitu famili Lycosidae, Formicidae, dan Gryllidae.

Selain itu,

frekuensi aplikasi B. bassiana tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

(tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah polong) serta hasil
tanaman kedelai (berat brangkasan basah, berat brangkasan tanpa polong, jumlah
polong isi, jumlah polong tidak isi, berat brangkasan kering, brangkasan kering
tanpa polong, berat polong kering, dan berat biji kering tanaman kedelai).

Kata Kunci : Aphis glycines, frekuensi, Beauveria bassiana, mortalitas

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Kelurahan Beringin Raya Kecamatan Kemiling, Kota
Bandar Lampung, pada tanggal 29 Juli 1992. Penulis merupakan putri ketiga dari
empat bersaudara pasangan Bapak Jasiman dan Ibu Sunarti.

Penulis

menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Beringin Raya pada
tahun 2004; Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 13 Bandar Lampung
pada tahun 2007; Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 14 Bandar Lampung
pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa
Jurusan Agroteknologi, Fakultas pertanian, Universitas Lampung melalui jalur
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Dosen di beberapa
mata kuliah, yaitu Ilmu Hama Tumbuhan Umum, Bioekologi Hama Tanaman,
Pengendalian Hama Tanaman, Bahasa Indonesia, Hama Gudang dan Urban,
Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman. Selain itu, penulis juga
menjadi anggota dan pengurus periode 2012-2013 pada UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa) Koperasi Mahasiswa Universitas Lampung.


Pada tahun 2013 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai Karantina
Pertanian Kelas I Panjang Bandar Lampung. Pada tahun 2014 melaksanakan KKN
(Kuliah Kerja Nyata) di Desa Kesumadadi, Kecamatan Bekri, Kabupaten
Lampung Tengah.

Dengan tak henti mengucapkan rasa syukur kehadirat
Allah SWT, atas Izin-Nya kupersembahkan karya ilmiah ini kepada :
Keluargaku Tercinta
Ayahanda Jasiman
Dan
Ibunda Sunarti
Mbak Sugi, Mas Harto, Hendi, dan keponakan-keponakan ku tercinta
Seluruh keluarga besar Ayah dan Ibu, terima kasih atas dukungan, semangat
dan motivasinya
Sahabat dan teman-temanku tercinta
Terima kasih atas semua dukungan, kasih sayang, cinta, dan Do’a yang
diberikan.

Serta
Almamater Tercinta

UNIVERSITAS LAMPUNG

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
( QS . Al-Baqarah: 153)

Hidup tanpa niat itu bagaikan perahu berlayar tanpa dermaga
Hidup tanpa kiat itu bagaikan berjalan seribu langkah dalam mimpi
Hidup tanpa semangat itu bagaikan masakan hambar tanpa bumbu

Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka
usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya
( QS . Al-Baqarah: 202)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc., selaku pembimbing utama atas

bimbingan, arahan, saran, motivasi, dan ilmu selama penulis melakukan
penelitian dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Agus M. Hariri, M.P., selaku pembimbing kedua atas ilmu,
bimbingan, nasehat, dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku pembahas dan Ketua Bidang
Proteksi Tanaman atas ilmu, saran, nasehat dan pengarahan yang diberikan.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Jamalam Lumbanraja, M.Sc., selaku pembimbing
akademik.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
7. Ayahanda, Ibunda, kakak dan adikku yang senantiasa membimbing saya
dengan tulus, terima kasih atas doa, kasing sayang, cinta, semangat, serta
dukungan yang telah diberikan.

8.

Rekan penelitianku Erna Wathi, terimakasih atas bantuan dan
kebersamaannya.


9.

Sahabat-sahabatku Aldi, Ari, Astri, Dewi, Eko, Erlan, Esti, Fidya, Imelda,
Mila, Nico, Novri, Rizqi, Shintya, Tiara dan Wayan terimakasih atas
bantuan, semangat, dan kebersamaannya.

10.

Teman-teman AGT 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 terimakasih atas bantuan
dan kebersamaannya.

11.

Teman-teman UKM Kopma Kak Bayu, Desti, Eka, Sis, Arif, Alan, Mbak
Yana, Ian, Rizqi, Mbak Wirdha dan Rima terimakasih atas semangat dan
kebersamaannya

12.


Sahabat seperjuanganku Ratna Sari, Vica Echi Purnamasari, Widya Dwi
Hestanti., Amd. Keb., dan Yulisa Solehani., Amd. Keb. terimakasih atas
do’a, semangat, kebersamaanya.

13.

Bapak Paryadi, Mbak Uum, Mas Iwan, dan Mas Mustofa yang telah banyak
membantu keperluan di laboratorium dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.

Semua pihak yang telah membantu penulis selama kuliah dan penelitian
yang tidak mungkin disebut satu persatu.

Semoga bantuan, bimbingan, do’a dan nasihat yang diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
berguna bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung,
Penulis,


Leni Fitri Mandasari

Desember 2014

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL. ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR. .................................................................................. ix
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah. …….…...…..............…………..…
1
1.2 Tujuan penelitian. ……………....………………………...……...
4
1.3 Kerangka Pemikiran. ………..…......……...…………………......
4
1.4 Hipotesis. ………………………........…....…………...…………
6

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai (Glycines max). ................................................................
2.2 Hama Kutudaun (Aphis glycines Matsumura). .............................
2.3 Jamur Beauveria bassiana. ...........................................................

III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian. ......………………………………
3.2 Bahan dan Alat Penelitian. ..………………….……...…………..
3.3 Uji Pendahuluan. .….…………………………………………….
3.4 Metode Penelitian. ...………………………………………….….
3.5 Persiapan Penelitian. ..……..…………………………..............…
3.5.1 Pembuatan Media Sobouround Dextrose Agar (SDA). ...….
3.5.2 Penyiapan Isolat B. bassiana. ....…….............……..............
3.5.3 Perbanyakan B. bassiana menggunakan media beras. .........
3.5.4 Pembuatan Formula Kering B. bassiana. .............................
3.5.5 Penyiapan Lahan dan Pembuatan Plot. ..……………….......
3.5.6 Penanaman Kedelai. ..............................................................
3.5.7 Pemeliharaan Tanaman. ........................................................

3.6 Pelaksanaan Penelitian Aplikasi B. bassiana. ...............................
3.7 Teknik Pengamatan dan Pengumpulan Data. ................................
3.7.1 Data Utama. ...........................................................................
3.7.1.1 Pengamatan mortalitas kutu Aphis glycines secara
langsung dengan teknik ground cloth. ......................
3.7.1.2 Pengamatan populasi Aphis glycines. .......................

7
8
9

13
13
14
14
15
15
15
16
16

17
18
18
18
19
20
20
20

v

3.7.1.3 Pengamatan organisme non-target. ...........................
3.7.2 Data Penunjang. ....................................................................
3.8 Analisis Data. ................................................................................
IV.

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Mortalitas Kutu Aphis glycines. ....................................................
4.1.1 Teknik Pengamatan secara Langsung. ..................................
4.1.2 Teknik Pengamatan dengan Ground cloth. ..........................
4.2 Populasi Aphis glycines. ................................................................
4.3 Tingkat populasi Organisme Non-target. ......................................
4.4 Pengaruh Aplikasi Beauvaria bassiana terhadap Pertumbuhan
Tanaman Kedelai. ..........................................................................
4.4.1 Tinggi Tanaman Kedelai. .....................................................
4.4.2 Jumlah Daun Kedelai. ...........................................................
4.4.3 Jumlah Bunga Kedelai. .........................................................
4.4.4 Jumlah Polong Kedelai. ........................................................
4.4.5 Pascapanen. ...........................................................................

21
21
22

23
23
28
29
33
35
35
36
37
38
39

KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan. ..................................................................................

42

5.2 Saran. .............................................................................................

42

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel
Halaman
1. Perlakuan Frekuensi Aplikasi B. bassiana terhadap hama A. glycines.
................................................................................................................ 15
2. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada
perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan
secara langsung pada 2 MST. ..............................................................

24

3. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada
perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan
secara langsung pada 3 MST. ..............................................................

25

4. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada
perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan
secara langsung pada 4 MST. .........................,,...................................

26

5. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada
perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan
secara langsung pada 5 MST. ..............................................................

26

6. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada
perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan
secara langsung pada 6 MST. ..............................................................

27

7. Total mortalitas kutu A. glycines pada perlakuan frekuensi aplikasi
B. bassiana dengan teknik ground cloth pada 6 MST. .......................

29

8. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi
B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 2 MST.
................................................................................................................

30

9. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi
B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 3 MST.
................................................................................................................

31

10. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi

vii

B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 4 MST.
................................................................................................................

31

11. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi
B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 5 MST.
................................................................................................................

32

12. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi
B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 6 MST.
................................................................................................................

32

13. Jumlah famili dan organisme non-target yang ditemukan pada pitfall
trap selama 7 kali pengamatan. ...........................................................

34

14. Kepadatan populasi organisme non-target pada pitfall trap. ..............

34

15. Berat brangkasan basah dan jumlah polong tanaman kedelai. ............

39

16. Berat brangkasan, polong dan biji kering tanaman kedelai. ...............

40

17. Jumlah mortalitas A.glycines yang diamati secara langsung. .............

47

18. Jumlah mortalitas A.glycines yang diamati dengan teknik ground
cloth. ....................................................................................................

48

19. Rata-rata kepadatan populasi A.glycines yang diamati secara
langsung. .............................................................................................

49

20. Jumlah populasi Gryllidae yang diamati menggunakan pitfall trap.
................................................................................................................

50

21. Jumlah populasi Formicidae yang diamati menggunakan pitfall trap.
................................................................................................................

51

22. Jumlah populasi Lycosidae yang diamati menggunakan pitfall trap.
................................................................................................................

51

23. Populasi organisme non-target minor pada pitfall trap. ......................

51

24. Rata-rata tinggi tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. .......

52

25. Rata-rata jumlah daun tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan.
................................................................................................................

52

26. Nilai tengah jumlah daun kedelai. .......................................................

52

viii

27. Jumlah bunga tanaman kedelai. ..........................................................

52

28. Nilai tengah jumlah bunga kedelai. ....................................................

53

29. Jumlah polong per 2 rumpun tanaman kedelai. ..................................

53

30. Nilai tengah jumlah polong. ...............................................................

53

31. Data pengamatan brangkasan basah tanaman kedelai. ........................

53

32. Data pengamatan brangkasan kering tanaman kedelai. ......................

53

33. Analisis ragam mortalitas kutu A. glycines dengan teknik pengamatan
langsung. ..............................................................................................

54

34. Analisis ragam mortalitas kutu A. glycines dengan teknik pengamatan
ground cloth. .......................................................................................

55

35. Analisis ragam populasi kutu A. glycines dengan teknik pengamatan
langsung. .............................................................................................

56

36. Analisis ragam jumlah famili dan total organisme non-target. ...........

57

37. Analisis ragam kepadatan organisme non-target pada pitfall trap. .....

58

38. Analisis ragam tinggi tanaman kedelai. ..............................................

58

39. Analisis ragam jumlah daun tanaman kedelai. ....................................

60

40. Analisis ragam jumlah bunga tanaman kedelai pada 5 MST. .............

61

41. Analisis ragam jumlah polong tanaman kedelai pada 6 MST. ............

61

42. Analisis ragam data brangkasan basah tanaman kedelai. ....................

61

43. Analisis ragam data brangkasan kering tanaman kedelai. ...................

62

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1.

Tata letak plot percobaan pengaruh frekuensi aplikasi B. bassiana. ..... 1 17

2.

Kutudaun Aphis glycines yang dilihat di bawah mikroskop. .................

3.

Grafik rata-rata tinggi tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan.
..................................................................................................................

4.

36

Grafik rata-rata jumlah daun tanaman kedelai selama 6 minggu
pengamatan. ...........................................................................................

5.

24

37

Grafik rata-rata jumlah bunga tanaman kedelai selama 6 minggu
pengamatan. ............................................................................................ 37

6.

Grafik rata-rata jumlah polong tanaman kedelai pada 6 MST. ..............

7.

Koloni jamur B. bassiana isolat Tegineneng yang ditumbuhkan di

38

media SDA. ............................................................................................

64

8.

Tepung biomassa spora B. bassiana. .....................................................

64

9.

Bahan pembawa formulasi kering B. bassiana. .....................................

64

10. Formulasi kering B. bassiana yang siap digunakan. .............................. 65
11. Lahan percobaan yang terletak di Kebun Percobaan Lapangan Terpadu
Universitas Lampung. ............................................................................

65

12. Pertumbuhan tanaman kedelai. ..............................................................

66

13. Tanaman kedelai siap panen. .................................................................

66

14. Kutudaun Aphis glycines pada tanaman kedelai. ...................................

66

15. Ground cloth yang dipasang pada tanaman kedelai. .............................. 67
16. Pitfall trap yang dipasang pada pertanaman kedelai. ............................

67

17. Sungkup yang dipasang setelah aplikasi B. bassiana. ...........................

67

18. Organisme non-target yang terjebak pada pitfall trap. ..........................

69

19. Musuh alami yang ditemukan pada petak percobaan. ............................ 69

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang
mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia. Di Indonesia,
tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penting setelah
padi dan jagung. Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat
karena banyaknya produk makanan yang berbahan kedelai, seperti tempe, kecap,
tauco, dan susu kedelai. Kebutuhan rata-rata kedelai di Indonesia mencapai 2 juta
ton per tahun, namun kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan produksi dalam
negeri yang hanya 0,8 juta ton per tahun. Oleh karena itu, Indonesia harus
mengimpor kedelai dari negara lain agar dapat mencukupi kebutuhan tersebut
(Fatahuddin dan Bumbungan, 2011).

Kemampuan produksi kedelai di Indonesia cukup rendah. Pada tahun 2010
kedelai yang diproduksi mencapai 907,29 ribu ton biji kering, sedangkan pada
tahun 2011 hanya mencapai 851,29 ribu ton biji kering. Hal tersebut
menunjukkan produksi kedelai Indonesia mengalami penurunan sebanyak 55,74
ribu ton atau sekitar 6,15% (Badan Pusat Statistik, 2012). Salah satu penyebab
rendahnya rata-rata produksi di lapangan adalah adanya serangan hama.

2

Salah satu hama yang menyerang pertanaman kedelai adalah kutudaun. Kutudaun
Aphis glycines Matsumura (Hemiptera : Aphididae) termasuk hama yang
memiliki kemampuan bereproduksi yang tinggi. Di Indonesia, kutudaun
berkembang biak secara parthenogenesis. Populasi kutudaun pada umumnya
mulai meningkat pada akhir musim hujan dan mencapai puncak pada musim
kemarau. Selain berperan sebagai hama, kutudaun juga berperan sebagai vektor
pada berbagai komoditas tanaman. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pada pertanaman kacang-kacangan terinfeksi penyakit virus
dengan tingkat penularan yang lebih tinggi pada populasi kutudaun yang semakin
meningkat (Saleh, 2007).

Selama ini penggunaan pestisida untuk pengendalian OPT oleh banyak petani
seringkali tidak ekonomis karena digunakan secara berlebihan dan tidak teratur
sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, keracunan pada
manusia, resurjensi, resistensi hama dan matinya musuh alami. Oleh karena itu,
diperlukan suatu konsep pengendalian hama dan penyakit yang berkelanjutan dan
terpadu yang berpangkal pada prinsip-prinsip ekologi. Pemerintah menganjurkan
agar dalam upaya pelaksanaan pengendalian hama berdasarkan atas konsep PHT
(pengendalian hama terpadu). Program PHT merupakan teknologi berwawasan
lingkungan yang berprinsip pada pendekatan ekologis, ekonomis dan sosial
budaya (Adolpina dan Rugaya, 2008).

Salah satu teknik pengendalian hama terpadu adalah pemanfaatan dan pelestarian
agen hayati. Agen hayati merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu

3

dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam
pengaturan populasi hama di lapang. Secara alamiah, agen hayati menjadi
komponen utama dalam pengendalian alami yang dapat mempertahankan semua
organisme pada ekosistem tersebut berada dalam keadaan seimbang. Agen hayati
yang berada di alam terdiri atas : predator, parasitoid, dan patogen (Marwoto,
2007).

Jamur Beauveria bassiana merupakan salah satu jenis jamur entomopatogen yang
merupakan agen pengendali hayati untuk hama berbagai komoditas tanaman.
Jamur B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas sehingga kurang selektif
terhadap inang sasaran. Hal tersebut memungkinkan B. bassiana dapat
menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna seperti musuh alami
hama (Soetopo dan Indrayani, 2007).

Perbedaan tingkat patogenisitas antarjamur entomopatogen dapat disebabkan oleh
perbedaan sifat dasar internal (genetik) dan perbedaan sumber inang asal isolat.
Selain itu, tingkat patogenisitas dapat juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan
sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan jamur
tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga
inang (Ladja, 2010). Adanya pengaruh faktor internal dan eksternal yang dapat
membatasi pertumbuhan jamur mengakibatkan perlunya pengaplikasian jamur B.
bassiana secara berulang agar jamur tumbuh dan tetap tersedia di lahan
pertanaman. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan keefektifan penggunaan
B. bassiana sebagai agen pengendali hayati, maka informasi tentang frekuensi

4

aplikasi B. bassiana terhadap hama Aphis glycines dan organisme nontarget
sangat diperlukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Pengaruh frekuensi aplikasi jamur B. bassiana terhadap populasi dan
mortalitas hama kutudaun (Aphis glycines Matsumura)
2. Pengaruh frekuensi aplikasi jamur B. bassiana terhadap populasi musuh
alami dan organisme non-target lainnya pada pertanaman kedelai

1.3 Kerangka Pemikiran

Tanaman kedelai sejak tumbuh ke permukaan tanah sampai panen tidak luput dari
serangan hama. Salah satu hama penting yang menyerang tanaman kedelai adalah
Aphis glycines Matsumura (Hemiptera : Aphididae). Menurut Radiyanto dkk.
(2010), A. glycines memiliki populasi tertinggi pada pertanaman kedelai bila
dibandingkan populasi hama lain, seperti Phaedonia inclusa, Riptortus linearis,
Nezara viridula dan Ophiomya phaseoli.

Besar kecilnya pengaruh kerusakan tanaman dan kehilangan hasil akibat serangan
hama ditentukan beberapa faktor, seperti : a) tinggi rendahnya populasi hama
yang hadir di pertanaman, b) bagian tanaman yang dirusak, c) tanggap tanaman
terhadap serangan hama, dan d) fase pertumbuhan tanaman (umur tanaman).

5

Serangan hama dapat menurunkan hasil kedelai sampai 80%, bahkan puso apabila
tidak ada tindakan pengendalian. Hingga saat ini petani masih mengandalkan
insektisida sebagai pengendali hama di lapangan, namun teknik aplikasinya masih
sering tidak memenuhi rekomendasi sehingga berakibat timbulnya resistensi,
resurjensi, terbunuhnya musuh alami, dan keracunan pada ternak dan bahkan
manusia. Oleh karena itu, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sangat diperlukan.
PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada
pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem
yang berwawasan lingkungan. PHT mendukung secara kompatibel semua teknik
atau metode pengendalian hama dan penyakit berdasarkan asas ekologi dan
ekonomi (Marwoto, 2007).

Salah satu komponen pengendalian secara terpadu yaitu dengan memanfaatkan
jamur entomopatogen B. bassiana. Jamur B. bassiana dapat mengendalikan
berbagai jenis hama pada berbagai komoditas tanaman. Kemampuan penetrasi B.
bassiana yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan jamur tersebut dapat
dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti kutudaun (Aphis sp.)
dan kutu putih Bemisia spp. Namun jamur B. bassiana memiliki kisaran inang
sangat luas, sehingga terdapat kemungkinan B. bassiana dapat menginfeksi
organisme nontarget atau serangga yang bermanfaat, seperti serangga yang
berperan sebagai musuh alami hama (Soetopo dan Indrayani, 2007).

Menurut Prayogo (2006), keefektifan jamur entomopatogen dalam pengendalian
hama ditentukan oleh frekuensi aplikasi. Hal tersebut karena konidia yang

6

diaplikasikan pada tahap awal (yang belum mampu menginfeksi hama sasaran)
perlu digantikan oleh konidia yang diaplikasikan pada tahap selanjutnya.
Frekuensi aplikasi dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti curah hujan, angin, dan
sinar matahari. Aplikasi juga perlu memperhatikan stadia serangga hama di
lapangan yang saling tumpang tindih (tidak seragam). Perubahan stadia instar
(nimfa) akan mengakibatkan perubahan perilaku serangga yang akhirnya
berpengaruh pada frekuensi aplikasi. Pengaplikasian jamur B. bassiana dapat
dilakukan berulang kali untuk mengindari kegagalan spora tumbuh. Informasi
tentang frekuensi aplikasi entomopatogen B. bassiana yang tepat perlu diketahui
agar populasi hama Aphis glycimes di bawah nilai ambang kendali.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
1.

Frekuensi aplikasi jamur B. bassiana berpengaruh terhadap populasi dan
mortalitas hama kutudaun (Aphis glycines Matsumura)

2.

Frekuensi aplikasi jamur B. bassiana berpengaruh terhadap populasi musuh
alami dan organisme non-target.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kedelai (Glycine max L. Merril)

Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi
tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol dengan harga
terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan
pangan, seperti: tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco,
tempe, es krim, minyak makan, dan tepung kedelai. Selain itu, kedelai juga
banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak (Atman, 2006). Saat ini kedelai
tidak hanya digunakan sebagai sumber protein, tetapi juga sebagai pangan
fungsional yang dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif seperti penuaan
dini, jantung koroner, dan hipertensi. Senyawa isoflavon yang terdapat pada
kedelai ternyata berfungsi sebagai antioksidan. Beragamnya penggunaan kedelai
tersebut menjadi pemicu peningkatan konsumsi kedelai (Ginting dkk. 2009).

Kedelai mengandung protein rata-rata 35%, bahkan dalam varietas unggul
kandungan proteinnya dapat mencapai 40 - 44%. Protein kedelai sebagian besar
(85 - 95%) terdiri dari globulin dan dibandingkan dengan kacang-kacangan lain,
susunan asam amino pada kedelai lebih lengkap dan seimbang. Kedelai

8

mengandung sekitar 18 - 20% lemak dan 25% dari jumlah tersebut terdiri atas
asam-asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol (Santoso, 2005).

Kedelai varietas Dering merupakan varietas unggul baru yang toleran di musim
kemarau atau di lahan kering. Varietas yang diberi nama Dering ini sudah
melewati masa riset selama enam tahun untuk menghadapi risiko kekeringan
terhadap kedelai yang ditanam pada musim kemarau kedua Juni-Juli. Galur
tersebut mampu beradaptasi dan tumbuh baik setinggi 57 cm meski tanpa
pengairan atau dalam kondisi kekeringan. Keunggulan lainnya yaitu lebih toleran
terhadap serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura) dan hama penghisap
polong (Riptortus linearis) serta toleran terhadap penyakit karat daun (Suhartina,
2012).

2.2 Hama Kutu Daun (Aphis glycines Matsumura)

Hama Aphis glycines Matsumura (Hemiptera : Aphididae), merupakan serangga
hama yang banyak menyerang kedelai. Kutudaun menyerang dengan mengisap
cairan tanaman sehingga menyebabkan daun berkerut, klorosis dan tumbuh kerdil.
Kutudaun membentuk koloni besar pada daun berupa betina yang bereproduksi
secara partenogenesis (tanpa kawin). Seekor betina yang tidak bersayap mampu
melahirkan rata-rata sebanyak 68 nimfa, sementara betina bersayap 49 nimfa.
Lama hidup imago adalah 4-12 hari. Serangga ini lebih senang berada pada suhu
yang hangat dibandingkan pada suhu yang dingin (Tenrirawe dan Talanca, 2008).

9

Kutudaun menyerang daun-daun pucuk, sehingga daun menjadi mengkerut. Di
lapangan kutu daun ini dapat dikendalikan secara alamiah oleh kumbang lady bird
(Coleoptera: Coccinellidae). Kutu daun berbentuk seperti persik, berwarna kehijauan,
berukuran 1-2 mm. Pada ujung posterior abdomen terdapat sepasang kornikel. Kutu
daun mengeluarkan embun madu, sehingga sering dijumpai berasosiasi dengan semut
(Suharti dan Widyani, 2011).

Perbedaan umur tanaman kedelai berpengaruh terhadap populasi A. glycines.
Pada tanaman kedelai yang masih muda dapat menyediakan nutrisi lebih baik
dibandingkan kedelai yang berumur sudah tua. Hasil percobaan menunjukan
bahwa kelahiran Aphis glycines pada tanaman kedelai umur 3 minggu rata-rata
mencapai 19,9 nimfa. Sedangkan pada saat tanaman kedelai umur 7 minggu
hanya mencapai 12,7 nimfa (Rusli, 1999).

Menurut Tengkano dkk. (2007), di Kabupaten Tulang Bawang dijumpai dua jenis
vektor virus, yaitu kutudaun (Aphis glycines) dan kutu kebul (Bemisia tabaci).
Spesies Aphis yang lain juga terdapat di berbagai lokasi pengamatan yaitu A.
craccivora dan berdasarkan daerah penyebarannya serangga tersebut menduduki
rangking pertama. Penggerek polong, pemakan polong, ulat grayak, kutu kebul,
kutudaun (Aphis glycines), dan lalat kacang termasuk hama penting kedua.

2.3 Jamur Beauveria bassiana

Mekanisme infeksi jamur B. bassiana terhadap kutudaun terjadi secara kontak
melalui kutikula. Jamur B. bassiana menjadi agen pengendalian berbagai spesies

10

serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun yang di dalam
tanah. Rata-rata patogenisitas entomopatogen ini terhadap hama sasaran cukup
tinggi, sehingga pemanfaatannya dalam pengendalian serangga hama perkebunan,
seperti kapas, kelapa sawit, lada, kelapa dan teh memiliki prospek sangat baik
(Soetopo dan Indrayani, 2007).

Konidia merupakan salah satu organ infektif (propagule) jamur yang
menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian.
Oleh karena itu, saat B. bassiana diaplikasikan sebaiknya diberi bahan perekat
ataupun bahan pembawa sehingga untuk meningkatkan efektivitasnya.
Keberhasilan konidia jamur entomopatogen menempel pada integumen serangga
akan menentukan proses infeksi lebih lanjut yaitu proliferasi dalam organ yang
diakhiri dengan kematian serangga. Proses infeksi dapat mengalami kegagalan
baik karena faktor internal (viabilitas jamur entomopatogen) maupun faktor
eksternal seperti perubahan stadia instar (nimfa) dan lingkungan (angin, sinar
matahari, dan hujan) (Prayogo, 2006).

Faktor kandungan toksin yang dihasilkan oleh jamur dapat mempengaruhi
keefektifannya. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana adalah
beauverisin, beauverolit, bassia-nolit, isorolit dan asam oksalit. Toksin tersebut
bekerja dengan cara merusak jaringan atau organ homosoel secara mekanis seperti
saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem pernafasan. Semua proses
tersebut di atas menyebabkan kematian serangga (Trisawa dan Laba, 2006).

11

Temperatur dan kelembaban adalah faktor abiotik yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan konidia B. bassiana, tetapi cahaya melalui panjang
gelombang sinar ultraviolet juga berpotensi merusak konidia sehingga aplikasi
pada pagi (< pkl. 08.00) atau sore hari (> pkl. 15.00) dapat menghindari
kerusakan. Temperatur dan kelembapan yang lebih stabil pada ekosistem
tanaman akan sangat mendukung peran jamur B. bassiana dalam pengendalian
hama utama tanaman sehingga prospek pengembangannya sangat baik (Soetopo
dan Indrayani, 2007).

Gejala awal kematian serangga kutudaun ditandai dengan tubuh yang kaku serta
warnanya menjadi kusam. Pada kutudaun gejala infeksi tidak begitu mudah
dilihat (Indriyati, 2009). Kematian kutudaun oleh B. bassiana ditandai dengan
adanya miselium berwarna putih pada permukaan tubuhnya. Jamur B. bassiana
mulai menyerang inangnya pertama kali pada bagian segmen tungkai serta antara
kepala dan toraks (Yusuf dkk. 2011).

Kutudaun dan kepik hijau yang diberi perlakuan jamur B. bassiana yang berasal
dari lapang maupun komersial memperlihatkan gejala berkurangnya aktivitas
gerak dan makan yang diakhiri dengan kematian (Indriyati, 2009). Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa jamur B. bassiana sangat efektif untuk
mengendalikan hama wereng padi. Berbagai jenis wereng diketahui dapat
dikendalikan dengan jamur ini. Efektifitas isolat jamur B. bassiana yang
diperbanyak pada berbagai macam media diketahui mampu mengendalikan
wereng punggung putih (Syahri, 2011).

12

Pertumbuhan B. bassiana sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan.
Meskipun demikian, jamur ini juga memiliki fase resisten yang dapat
mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering.
Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat
menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu,
kemampuan penetrasi B. bassiana yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan
jamur ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti
kutudaun (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. Jamur B. bassiana juga efektif
untuk pengendalian serangga hama kelapa sawit (Darna catenata), penggerek
batang lada (Lophobaris piperis), dan ulat pemakan tanaman teh (Ectropis
bhurmitra). Konidia B. bassiana dapat diaplikasikan dengan cara disemprotkan
pada kanopi tanaman, ditaburkan pada permukaan tanah, atau dicampur dengan
tanah atau kompos (Soetopo dan Indrayani, 2007).

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 - Oktober 2014 di
Laboratorium Hama Tumbuhan, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Lampung dan Laboratorium Lapangan Terpadu, Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sungkup, polibag, karet
gelang, cawan petri, jarum ose, bor gabus, mikropipet, bunsen, erlenmeyer,
autoklaf, panci, kompor gas, alat tulis, cangkul, sprayer, tali plastik, gelas ukur,
ground cloth (kain hampar), pitfall trap, timbangan elektrik, botol film,
mikroskop, kaca pembesar (lup), meteran, dan kertas label.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu media SDA (Sabouroud
Dextrose Agar), beras, isolat jamur B. bassiana, aqua destilata steril, tissue,
alkohol 70%, dan pupuk kandang.

14

3.3 Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui virulensi dari beberapa isolat jamur
B. bassiana terhadap kutudaun. Isolat yang digunakan pada uji pendahuluan ini
yaitu isolat jamur yang berasal dari Tegineneng, Sumber Jaya dan Trimurjo.
Pengujian ini dilakukan dengan memasukkan setangkai tanaman kedelai terserang
kutudaun pada toples yang ditutup kain kasa. Setiap perlakuan memiliki tiga
ulangan. Selanjutnya disemprotkan masing-masing isolat dan diamati dari 1 – 7
hsa (hari setelah aplikasi) dan dihitung persentase kematian kutudaun. Parameter
yang diamati yaitu jumlah dan waktu kematian kutudaun terinfeksi jamur B.
bassiana. Hasil pengujian isolat yang paling efektif digunakan pada percobaan di
lapang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka diperoleh jamur B.
bassiana isolat Tegineneng memiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan
isolat Sumber Jaya dan Trimurjo.

3.4 Metode Penelitian

Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
dilakukan pada plot-plot percobaan yang masing-masing berukuran 1 m x 2 m.
Terdapat enam (6) perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).
Masing- masing perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali.

15

Tabel 1. Perlakuan Frekuensi Aplikasi B. bassiana terhadap hama A. glycines.
Perlakuan
F0
F1
F2
F3
F4
F5

Keterangan
tanpa aplikasi
1 kali aplikasi B. bassiana pada 2 MST
2 kali aplikasi B. bassiana pada 2 dan 3 MST
3 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, dan 4 MST
4 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, 4, dan 5 MST
5 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, 4, 5 dan 6 MST

3.5 Persiapan Penelitian

3.5.1

Pembuatan Media Sabouroud Dextrose Agar (SDA)

Pembuatan media ini digunakan dengan mencampur bahan-bahan 40 g dextrose,
15 g agar, 5 g kasein, 10 g pepton, dalam 1 l air destilata. Bahan-bahan yang telah
tercampur tersebut dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer kemudian ditutup
dengan alumunium foil, dikencangkan dengan karet gelang, dan dibungkus plastik
tahan panas. Erlenmeyer berisi media di sterilisasi dengan autoklaf selama 2 jam.
Kemudian media tersebut diangkat dan didiamkan hingga agak dingin. Akhirnya,
media yang telah siap pakai dituangkan ke masing-masing cawan petri dalam
ruangan steril (laminar air flow).

3.5.2

Penyiapan Isolat B. bassiana

Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, maka isolat jamur
B. bassiana yang digunakan dilapang adalah isolat jamur B. bassiana yang berasal
dari Tegineneng. Isolat tersebut di isolasi untuk mempertahankan isolat murni.
Isolasi dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

16

Universitas Lampung dengan menggunakan media SDA (Sabouroud Dextrose
Agar) kemudian dilakukan inkubasi selama 30 hari.

3.5.3

Perbanyakan B. bassiana menggunakan media beras

Beras yang telah disiapkan dicuci sampai bersih, kemudian disiram dengan air
mendidih. Setelah itu, beras dikukus hingga setengah matang (±15 menit),
kemudian diangkat dan dikering anginkan. Setelah dingin, beras sebanyak 100 g
dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Beras tersebut disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 1200 C, tekanan 1 atm. Setelah diautoklaf, beras tersebut
diangkat dan dikeringanginkan. Kemudian B. bassiana diinokulasi dan diinkubasi
selama 2-3 minggu.

3.5.4

Pembuatan Formulasi Kering B. bassiana

Pembuatan formulasi kering dilakukan dengan mengeringkan B. bassiana yang
tumbuh pada media beras. Pengeringan dilakukan di dalam lemari pendingin
selama 12 hari. Kemudian beras dihaluskan dengan cara diblender dan diayak
sehingga menjadi tepung biomassa spora. Setelah itu tepung biomassa spora
dicampur dengan bahan pembawa, seperti kaolin, zeolit, dan tepung jagung, yang
telah disterilisasi terlebih dahulu. Komposisi tepung biomassa spora dan bahan
pembawa tersebut adalah: 40 g tepung biomassa spora, 20 g kaolin, 20 g zeolit,
dan 20 g tepung jagung untuk menghasilkan formulasi kering sebanyak 100 g.
Pembuatan formulasi kering ini mengacu pada Punomo dkk. (2012).

17

3.5.5

Penyiapan Lahan dan Pembuatan Plot

Lahan yang digunakan berada di Laboratorium Lapangan Terpadu, Fakultas
Pertanian Universitas Lampung. Lahan diolah agar tanah menjadi gembur dan
bersih dari sisa- sisa akar. Kemudian dibuat tiga blok percobaan. Masing-masing
plot berukuran 1 m x 2 m dengan jarak antarplot 0,5 m (Gambar 1). Pada setiap
plot percobaan terdapat 3 tanaman sampel yang ditentukan secara acak. Jarak
antara waktu pengolahan tanah dengan waktu penanaman sekitar 1- 2 hari.

15 m

Gambar 1. Tata Letak Plot Percobaan pengaruh frekuensi aplikasi B. bassiana;
F0 : Kontrol; F1 : 1 kali aplikasi B. bassiana pd 2MST; F2 : 2 kali
aplikasi B. bassiana pd 2 & 3 MST; F3 : 3 kali aplikasi B. bassiana pd
2, 3, & 4 MST; F4 : 4 kali aplikasi B. bassiana pd 2, 3, 4, & 5MST; F5 :
5 kali aplikasi B. bassiana pd 2,3,4,5 dan 6 MST.

18

3.5.6

Penanaman Kedelai

Penanaman dilakukan sekitar 1-2 hari setelah pengolahan tanah. Benih kedelai
yang digunakan adalah varietas Dering. Penanaman benih dilakukan dengan cara
tugalan, yaitu dengan membuat lubang tugal sedalam 3- 4 cm lalu dimasukkan
benih kedelai ke dalam tiap lubang tanaman, kemudian tutup dengan tanah halus
dan tipis. Jarak tanam yang digunakan yaitu 30 cm x 30 cm.

3.5.7

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman berupa pemupukan, penyulaman, penyiraman, dan
penyiangan gulma. Pemberian pupuk dilakukan dengan mencampur rata pupuk
bersama tanah sewaktu akan tanam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk
kandang. Pupuk kandang yang digunakan sebanyak 75 kg untuk lahan seluas 150
m2. Penyulaman dilakukan 5-6 hari setelah tanam apabila benih yang tidak
tumbuh mencapai 10%. Penyiraman dilakukan secara rutin setiap sore, sedangkan
penyiangan gulma dilakukan setiap minggunya.

3.6 Pelaksanaan Penelitian Aplikasi B. bassiana

Aplikasi B. bassiana dilakukan pada sore hari sesuai dengan perlakuan.
Banyaknya B. bassiana yang diaplikasikan (konsentrasi) adalah dengan
menyuspensikan 20 gram formualsi kering dengan air menjadi 1 liter suspensi.
Volume semprot suspensi B. bassiana yang diaplikasikan adalah 70 ml/rumpun.

19

Metode aplikasi dilakukan dengan penyemprotan menggunakan sprayer.
Penyemprotan dilakukan sedemikian rupa agar tanaman dapat diaplikasikan
secara merata. Lama waktu semprot yang digunakan pada saat pengaplikasian di
lapang adalah 20 ml/detik, sehingga setiap rumpunnya disemprot selama 3,5
detik. Lama waktu semprot diperoleh dari kalibrasi yang dilakukan sebelumnya.

Perlakuan F0 atau kontrol dilakukan aplikasi tanpa B. bassiana. Perlakuan F1
dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 1 kali pada 2 MST (minggu setelah
tanam) saja. Perlakuan F2 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 2 kali pada 2
dan 3 MST. Perlakuan F3 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 3 kali pada 2,
3, dan 4 MST. Perlakuan F4 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 4 kali pada
2, 3, 4, dan 5 MST. Sedangkan perlakuan F5 dilakukan aplikasi B. bassiana
sebanyak 5 kali pada 2, 3, 4, 5, dan 6 MST.

3.7 Teknik Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pada setiap plot percobaan ditentukan secara acak tiga (3) rumpun tanaman yang
terserang kutu daun sebagai sampel pengamatan kemudian ditandai sebagai
tanaman sampel (terok). Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode
pengamatan secara langsung, teknik ground cloth, dan teknik pitfall trap.

20

3.7.1

Data Utama

3.7.1.1 Pengamatan mortalitas kutu Aphis glycines secara langsung dan
dengan teknik ground cloth

Pengamatan mortalitas kutu dilakukan dengan dua metode, yaitu pengamatan
secara langsung dan dengan teknik kain hampar. Pengamatan secara langsung
dilakukan dengan mengamati kutu A. glycines mati terinfeksi jamur B. bassiana
yang menempel pada bagian batang ataupun pada daun tanaman kedelai. Kain
hampar (ground cloth) yang digunakan berukuran 30 cm x 30 cm. Sebelum
aplikasi, kain hampar diletakkan di tanah pada tanaman sampel. Pengamatan
dilakukan setiap hari hingga 7 hari setelah aplikasi. Kain hampar diperiksa untuk
dihitung jumlah kutu A. glycines yang terinfeksi dan dilakukan identifikasi di
Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.7.1.2 Pengamatan populasi Aphis glycines

Pengamatan populasi kutu A. glycines secara langsung dilakukan dengan cara
menghitung seluruh populasi kutu A. glycines di semua bagian tanaman kedelai.
Populasi kutu A. glycines menggunakan kaca pembesar (lup) dan hand colony
counter untuk mempermudah pengamatan.

21

3.7.1.3 Pengamatan organisme non-target

Pengamatan organisme nontarget dilakukan dengan teknik pitfall trap. Pitfall trap
terbuat dari gelas plastik berdiameter 7cm dan tingginya 10cm yang diletakkan di
dalam sebuah lubang pada tanah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pitfall trap
diletakkan dengan bagian permukaan atas setara dengan permukaan tanah. Pitfall
trap tersebut diisi dengan air sabun konsentrasi 5%. Untuk menghindari air
masuk, bagian atas pitfall trap dinaungi oleh plastik mika yang disangga oleh
kayu sepanjang 15cm. Pemasangan pitfall trap dilakukan setelah aplikasi. Pada
masing-masing plot percobaan dipasang 2 pitfall trap. Pitfall trap dipasang
selama 24 jam dan dilakukan hingga 7 hari setelah aplikasi. Untuk pengamatan,
pitfall trap diambil dan dibawa ke Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung untuk penghitungan dan identifikasi organisme
yang terjebak di dalam pitfall trap.

3.7.2 Data Penunjang

Data penunjang yang digunakan yaitu pengamatan pertumbuhan tanaman.
Pengamatan dilakukan mulai 2MST. Variabel yang diamati adalah tinggi
tanaman dan jumlah daun. Untuk 4- 6 MST dihitung dan diamati juga jumlah
bunga, jumlah polong, dan berat polong. Pada proses pasca panen dilakukan
penimbangan berat basah brangkasan tanaman dan polong. Penimbangan polong
yang berisi dipisahkan dengan polong hampa dan dihitung jumlahnya. Setelah itu

22

brangkasan tanaman dan polong di oven selama 48 jam pada suhu 50oC.
Brangkasan tanaman dan polong kering dilakukan penimbangan kembali.

3.8

Analisis Data

Semua data utama yang meliputi mortalitas, populasi kutudaun (Aphis glycines)
serta organisme nontarget dan data penunjang yang meliputi tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah bunga, serta jumlah polong diuji dengan sidik ragam
(ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf
nyata 5% dengan menggunakan perangkat pengolah data Statistik 8.

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Aplikasi isolat jamur Beauveria bassiana mampu menginfeksi dan
menyebabkan kematian terhadap hama kutudaun Aphis glycines di pertanaman
kedelai pada 3 hari setelah aplikasi disetiap minggu pengamatan dan
berpengaruh nyata pada perlakuan tiga kali aplikasi jamur B. bassiana.
2. Aplikasi B. bassiana dengan berbagai frekuensi menunjukkan bahwa jumlah
famili arthropoda non-target dan total organisme non-target lebih rendah
dibandingkan tanpa aplikasi.
3. Secara umum frekuensi aplikasi B. bassiana tidak mempengaruhi
pertumbuhan tanaman kedelai pada fase vegetatif dan generatif.

5.2. Saran

Adapun saran yang diajukan peneliti adalah sebaiknya diketahui formulasi jamur
B. bassiana yang tepat untuk diaplikasikan di lapang agar penggunaannya dapat
mengantisipasi faktor lingkungan yang kurang mendukung. Selain itu, sebaiknya
dalam perlakuan frekuensi digunakan formulasi kering jamur B. bassiana terbaru.

DAFTAR PUSTAKA

Adolpina dan Rugaya, A. 2008. Keefektifan beberapa bahan nabati dalam
mengendalikan OPT kedelai di kabupaten Maros. Balai Proteksi Tanaman
Pangan dan Hortiukultura Wil.IX. Prosiding seminar ilmiah dan pertemuan
tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. 5 November 2008.
Atman. 2006. Budidaya kedelai di lahan sawah Sumatera Barat. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua, 5 (3) :
288-296.
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka Tetap 2011
dan Angka Ramalan I 2012). Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XV, 2 Juli
2012.
Fatahuddin dan Bumbungan, J. 2011. Efektivitas Jamur Entomopatogen (Fusarium
sp.) terhadap Aphis glycines dan Empoasca terminalis pada Tanaman Kedelai.
J. Fitomedika 7 (3):186 – 190.
Ginting, E., Satya A.S., dan Widowati, S. 2009. Varietas Unggul Kedelai Untuk
Bahan Baku Industri Pangan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3), 79-87.
Indriyati. 2009. Virulensi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin terhadap Kutudaun (Aphis spp.) dan Kepik Hijau (Nezara Viridula).
J. HPT Tropika 9(2):92-98.
Irawan, N. 2014. Pengujian Formulasi Kering Metarhizium anisopliae Isolat UGM
dan Tegineneng serta Beauveria bassiana Isolat Tegineneng untuk mematikan
Helopelthis spp. di Laboratorium dan di Lapangan (Skripsi). Universitas
Lampung. Bandar Lampung.
Ladja, F.T. 2010. Pengaruh Aplikasi Jamur Beauveria bassiana dan Verticillium
lecanii Terhadap Mortalitas Nephotettix virescens Sebagai Vektor Virus
Tungro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX
Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Sidrap. 27 Mei 2010.
Marwoto. 2007. Dukungan Pengendalian Hama Terpadu dalam Program Bangkit
Kedelai. Iptek Tanaman Pangan 2(1) : 79-92.

44

Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Jamur Entomopatogen
untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. Jurnal Litbang Pertanian
25(2) : 47-54.
Purnomo., Aeny, T. N., dan Fitriana, Y. 2012. Pembuatan dan Aplikasi Formulasi
Kering Tiga Jenis Agensia Hayati untuk Mengendalikan Hama Pencucuk
Buah dan Penyakit Busuk Buah Kakao. Laporan Penelitian Hibah Bersaing.
Bandar Lampung.
Radiyanto I., Sodiq M., dan Nurcahyani N.M. 2010. Keanekaragaman Serangga
Hama dan Musuh Alami pada Lahan Pertanaman Kedelai di Kecamatan
Balong-Ponorogo. J. Entomol. Indon., 7(2) : 116-121.
Rusli, R. 1999. Biologi Aphis glycines Matsumura (Homoptera: Aphididae) Pada
Beberapa Tingkat Umur Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill). Jurnal
Natur Indonesia 11 (1): 80 – 84.
Saleh, N. 2007. Sistem Produksi Kacang-kacangan untuk Menghasilkan Benih
Bebas Virus. Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kaca

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) Dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Di Gudang

1 40 72

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI INSEKTISIDA TERHADAP POPULASI HAMA KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)

0 9 39

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

1 16 46

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

3 10 50

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 12

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 2

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 4

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 6

Patogenitas Beberapa Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana)terhadap Aphis glycines pada Tanaman Kedelai

0 0 7