PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN JUMLAH SEL DARAH PUTIH

(1)

ABSTRAK

PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER

TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN JUMLAH SEL DARAH PUTIH

Oleh Bayu saputro

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh cara pemberian vaksin ND live pada broiler terhadap titer antibodi, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih, (2) mengetahui titer antibodi, jumlah sel darah merah dan sel darah putih yang terbaik pada ayam broiler dengan cara pemberian vaksin ND live yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2012 di unit kandang percobaan PT. Rama Jaya Lampung yang berada di Desa Fajar Baru II,

Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Ayam yang digunakan sebanyak 100 ekor berjenis kelamin jantan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL), terdiri atas 4 perlakuan (P1: tetes mata, P2: tetes hidung, P3: tetes mulut, P4: suntik) dengan ulangan sebanyak 5 kali,

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa cara pemberian vaksin ND live pada broiler umur 7 hari berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap titer antibodi, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih broiler.


(2)

PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN

JUMLAH SEL DARAH PUTIH

Oleh

BAYU SAPUTRO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(3)

PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN

JUMLAH SEL DARAH PUTIH (Skripsi)

Oleh

BAYU SAPUTRO

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar ... Halaman 1. Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone)

pada broiler ... 19 2. Bursa fabrisius normal dan yang mengalami atropi ... 20 3. Mekanisme immunosupresif dan gangguan metabolisme

akibat stres ... 21 4. Tata letak kandang penelitian... 54


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kegunaan Penelitian... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 3

1.5 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Broiler ... 7

2.2 Penyakit Newcastle Disease (ND) ... 8

2.3 Sistem Kekebalan Ayam ... 10

2.4 Vaksinasi ... 14

2.5 Cara Vaksinasi ... 14

2.6 Vaksin ND ... 15

2.7 Titer Antibodi ... 18

2.8 Pengaruh Stres Lingkungan terhadap Titer Antibodi ... 19

2.9 Sel Darah Merah ... 22


(6)

III. METODE PENELITIAN... 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 29

3.2.1 Alat ... 29

3.2.2 Ayam ... 31

3.2.3 Ransum ... 31

3.2.4 Air minum ... 31

3.2.5 Vaksin ... 31

3.3 Rancangan Penelitian ... 32

3.4 Analisis data ... 32

3.5 Pelaksanaan Penelitian ... 32

3.5.1 Persiapan kandang ... 32

3.4.2 Pelaksanaan penelitian ... 33

3.5 Peubah yang Diamati ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Titer Antibodi NewcastleDesease ... 35

4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap jumlah Sel Darah Merah 38

4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap jumlah Sel Darah Putih .. 40

V. KESIMPULAN ... 43

5.1 Simpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel ... Halaman

1. Vaksin yang diberikan... 31

2. Hasil uji HI titer antibodi Newcastle Deseasebroiler umur 21 hari... 35

3. Data hasil penelitian sel darah merah... 38

4. Data hasil penelitian sel darah putih ... 40

5. Hasil pemeriksaan titer antibodi ND pada ayam broiler ... 49

6. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ayam broiler ... 51

7. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah merah ayam broiler ... 52

8. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah putih ayam broiler ... 54

9. Kelembaban kandang ... 55

10.Suhu kandang ... 56


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M.Si.- selaku Pembimbing Utama --atas petunjuk, bimbingan, dan arahannya;

2. Ibu Ir. Tintin Kurtini, M.S. - selaku Pembimbing Anggota- atas bimbingan, petunjuk, dan sarannya;

3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P. - selaku Penguji Utama - atas bimbingan, saran, dan bantuannya;

4. Ibu Ir. Nining Purwaningsih. - selaku Pembimbing Akademik - atas petunjuk, bimbingan dan arahannya;

5. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P. - selaku Sekretaris Jurusan Peternakan - atas izin dan bimbingannya;

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S. - selaku Ketua Jurusan Peternakan - atas izin dan bimbingannya;

7. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. - selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung - atas izin yang telah diberikan;


(9)

dan saran yang diberikan selama ini;

9. Ibu tercinta, beserta keluarga besarku - atas semua kasih sayang, nasehat, dukungan, dan keceriaan di keluarga serta do'a tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis;

10.Seluruh teman - teman angkatan ’08 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas do’a, kenangan, motivasi, bantuan, dan kebersamaannya;

11.Adi, Pram, febri, dedi, adit, oka, windu, atas kebersamaannya;

12.Seluruh staf Rama JayaFajar Baru IIyang telah memberikan izinnya, bantuan dan semangat kepada penulis selama melakukan penelitian;

13.Seluruh Mahasiswa Jurusan Peternakan, Universitas Lampung atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah SWT dan penulis berharap karya ini dapat bermanfaat. Amin.

Bandar lampung, 26 Agustus 2014 Penulis


(10)

(11)

Allhamdulillahirobbil’alamin...

kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya

serta junjunganku Nabi Muhammad SAW yang menjadi lentera

kebenaran dalam hidupku

Dengan segenap kerendahan hati karya kecil nan sederhana ini

kupersembahkan sebagai wujud bakti, dan terimakasihku kepada

Ibu dan (alm) bapak atas segenap cinta dan kasih sayang yang

kuterima sepanjang hayatku serta doa tulus yang selalu mengiringi di

setiap langkahku semoga Allah SWT kelak menempatkan keduanya

dalam jannah-Nya

Para sahabat

Yang telah menjadi pelangi nan indah dalam setiap perjalanan

hidupku mewarnai setiap hari-hariku

Serta

Almamater hijau

yang turut membangun diriku, mendewasakanku dalam berpikir dan

bertindak


(12)

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Hargomulyo, Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur pada 1 November 1988, anak sematawayang buah hati pasangan Bapak Arifin (alm) dan Ibu Rubiah.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Hargomulyo pada 1995, sekolah dasar di SDN 2 Wonokarto pada 2001, sekolah menengah pertama di SMPN 2 Sekampung pada 2004; sekolah menengah atas di SMAN 1

Batanghari pada 2007. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri (UM).

Penulis melaksanakan Praktik Umum di Acuan Farm Desa Gondangrejo,

Lampung Timur pada 4 Januari – 6 Februari 2011. Selama masa studi penulis aktif di kepengurusan Himpunan Mahasiswa Peternakan (Himapet) sebagai Anggota Bidang III Periode 2009 - 2010,


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat. Makanan yang bergizi baik yaitu berasal dari produk hewani dan nabati. Salah satu produk makanan dari hewani yaitu daging. Daging dapat berasal dari ternak ruminansia maupun nonruminansia. Ternak non

ruminansia yang sangat baik untuk dikembangkan yaitu broiler (ayam pedaging).

Broiler merupakan jenis unggas yang banyak dikembangkan sebagai sumber

pemenuhan kebutuhan protein hewani, serta dapat menghasilkan daging yang cepat dibandingkan dengan unggas lainnya. Broiler memiliki kelemahan yaitu

rentan sekali terhadap serangan penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini sangat merugikan bagi peternak karena menurunkan produktivitas,dan dapat menyebabkan kematian broiler.

Salah satu pencegahan penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme penyebab penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan, mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit,


(15)

melainkan dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988).

Vaksinasi ND pertama, yang biasanya dilakukan pada umur 1 - 7 hari bertujuan untuk menggertak kekebalan lokal di saluran pernapasan bagian atas, yaitu dengan mengaktifkan kelenjar harderian. Oleh karena itu cara atau aplikasi vaksinasinya

dilakukan melalui tetes mata, tetes hidung, suntik(Medion, 2014)

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam vaksinasi

diantaranya adalah cara pemberian (aplikasi), cara pemberian yang berbeda akan menghasilkan respon imun yang berbeda pula (Allan et al., 1978). Namun saat ini

pengaruh cara pemberian vaksin ND yang menghasilkan respon imun terbaik

belum diketahui, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh cara pemberian vaksin ND live terhadap titer antibodi ND, terhadap jumlah sel darah

merah dan jumlah sel darah putih sebagai indikator kondisi fisiologis ternak.

Sel darah merah dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui kesehatan ternak. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam darah bukan hanya konsentrasi hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, peningkatan epinephrine, volume darah, pemeliharaan, waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan faktor iklim.

Menurut Sturkie (1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan, maka gambaran total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan. Adanya peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai indikasi terjadinya suatu infeksi dalam tubuh(Guyton dan Hall, 1997).


(16)

3 1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengetahui pengaruh cara pemberian vaksin ND live pada broiler terhadap

titer antibodi, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih;

2. mengetahui titer antibodi, jumlah sel darah merah dan sel darah putih yang terbaik pada ayam broiler dengan cara pemberian vaksin ND live yang

berbeda.

1.3 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada praktisi

broiler tentang bagaimana cara pemberian vaksin ND live yang terbaik pada

pemeliharaan broiler, khususnya terhadap titer antibodi, jumlah sel darah merah

dan jumlah sel darah putih yang dihasilkan, serta berguna bagi peternak sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan cara pemberian vaksin ND live yang

terbaik dalam upaya pencegahan penyakit ND pada broiler.

1.4 Kerangka Pemikiran

Broiler merupakan ayam pedaging hasil budidaya teknologi yang memiliki

karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda, hal ini karena

broiler merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi maju, sehingga


(17)

Selain keunggulannya, broiler memiliki kelemahan yaitu rentan sekali terhadap

serangan penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Pencegahan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme penyebab penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan,

mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit, tetapi dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988).

Virus yang berada di luar tubuh ternak mudah untuk dimusnahkan, namun bila berada di dalam tubuh ternak sangat sulit untuk dimusnahkan. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini sangat merugikan bagi peternak karena tidak hanya menurunkan produktivitas broiler, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan

broiler, sehingga kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam

pertumbuhan broiler.

Penyakit ND merupakan penyakit menular yang bersifat akut, menyerang hampir

semua jenis unggas terutama ayam dan menimbulkan gangguan pernafasan, pencernaan dan syaraf. Penyakit ND merupakan penyakit pada unggas yang

disebabkan oleh Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae.

Sejak dikenal pertama kali di Indonesia sampai saat ini, ND belum dapat


(18)

5

Newcastle Disease dapat menyebabkan mortalitas sampai 100 % pada ayam-ayam

yang peka dan mempunyai titer antibodi ND yang rendah (Darminto dan

Ronohardjo, 1996). Penyakit ini mempunyai dampak ekonomi yang penting dalam industri perunggasan karena menimbulkan mortalitas yang tinggi. Di Indonesia, ND masih menjadi salah satu penyakit yang paling merugikan

peternakan ayam walaupun telah dilakukan berbagai usaha penanggulangan yang ketat (Poultry Indonesia, 2008). Salah satu pencegahan dan pengendalian yang cukup efisisen adalah melalui vaksinasi, disamping juga perlu sanitasi dan kebersihan kandang yang cukup baik (Akoso, 1993).

Penyebab kegagalan dalam vaksinasi diantaranya adalah cara pemberian (aplikasi), cara pemberian yang berbeda akan menghasilkan respon imun yang berbeda pula (Allan et al., 1978). Vaksinasi dilakukan dengan berbagai cara yaitu

tetes mata,tetes hidung, tetes mulut, dan suntik. Namun saat ini pengaruh cara pemberian vaksin ND yang terbaik belum diketahui, untuk itu perlu dilakukan

penelitian tentang pengaruh cara pemberian vaksin ND live terhadap titer ND,

gambaran sel darah merah dan sel darah putih pada ayam broiler.

Tujuan dasar vaksinasi adalah membuat ternak mempunyai kekebalan yang tinggi terhadap satu penyakit tertentu. Kemudian hasil nyata yang akan diperoleh dari program vaksinasi adalah tingkat kesehatan dan produktivitas. Vaksinasi yang berfungsi menstimulasi pembentukan titer antibodi yang berperan mem-blok lalu menghancurkan virus sebelum masuk ke dalam sel.


(19)

Menurut Swenson (1984), Jumlah eritrosit dalam darah bukan hanya konsentrasi hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, peningkatan epinephrine, volume darah, pemeliharaan, waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan faktor iklim.

Menurut Sturkie (1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan, maka gambaran total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan.

Adanya peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai indikasi terjadinya suatu infeksi dalam tubuh(Guyton dan Hall, 1997).

Berdasarkan uraian di atas, maka cara pemberian vaksin yang berbeda perlu diketahui ada pengaruhnya terhadap titer ND, gambaran sel darah merah dan sel

darah putih. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peternak sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan cara pemberian vaksin ND live yang terbaik

dalam upaya pencegahan penyakit ND pada broiler.

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah

1. adanya pengaruh cara pemberian vaksin ND live terhadap titer antibodi,

jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih yang dihasilkan pada

broiler;

2. terdapat cara pemberian vaksin ND live yang terbaik terhadap titer antibodi,

jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih yang dihasikan pada


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Broiler

Broiler merupakan istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya

teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu

pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Murtidjo, 1992).

Broiler adalah ayam-ayam muda jantan atau betina yang umumnya dipanen umur

5 - 6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Broiler mempunyai

peranan yang penting sebagai sumber protein hewani asal ternak. Broiler

mempunyai kelebihan bila dibandingan dengan ayam kampung yakni keempukan daging, kulit halus dan lunak, ujung tulang dada lunak, serta dada lebar dengan timbunan daging yang baik (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Fase broiler di bagi menjadi 2 yaitu fase starter umur 1 – 4 minggu, fase finisher

4 minggu sampai dengan panen (Dirjen Peternakan, 1991). Pada umumnya di Indonasia broiler sudah dipasarkan pada umur 5 - 6 minggu dengan berat 1,3 -

1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena broiler yang


(21)

2.2 Penyakit Newcastle Disease (ND)

Penyakit Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit pada unggas yang

disebabkan oleh Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae. Sejak dikenal

pertama kali di Indonesia sampai saat ini, ND belum dapat dihilangkan. Penyakit

ND merupakan penyakit menular yang bersifat akut, menyerang hampir semua

jenis unggas terutama ayam dan menimbulkan gangguan pernafasan, pencernaan dan syaraf (Fenner et al., 1993). Penyakit ND dapat menyebabkan mortalitas

sampai 100 % pada ayam - ayam yang peka dan mempunyai titer antibodi ND

yang rendah (Darminto dan Ronohardjo, 1996).

Virus ND merupakan penyakit viral yang menular dan merupakan salah satu

penyakit yang paling penting di dunia. Penyakit ini ditularkan melalui sekresi, terutama feses dari burung yang terinfeksi serta penularan juga dapat terjadi melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi (Center for Food Security and Public Health, 2008).

Virus ND tersusun dalam rantai RNA tunggal tak bersegmen yang terdiri atas

lipid dua lapis yang mengandung protein matriks (M) dan dua spike glikoprotein

yang terbuka dari luar. Spike tersebut memiliki dua protein struktural yaitu

hemagglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah serta protein

neuraminidase dan biasa dikenal dengan protein hemaglutinasi - neuraminidase

(HN). Penyebab perbedaan keganasan diantara strainparamyxovirus adalah

terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan virus bersangkutan (Russel, 1993).


(22)

9 Virus ND berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi 4 galur, yaitu (1) galur

velogenik yang menimbulkan penyakit dengan gejala klinis parah dan mortalitas tinggi; (2) galur mesogenik, tingkat keganasannya sedang dan mortalitas rendah; (3) galur lentogenik merupakan galur yang menimbulkan penyakit ringan dan tidak menimbulkan kematian (Allan et al., 1978), serta (4) galur enterik

asimtomatik yang sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C (Cross, 1988).

Gejala klinis penyakit ND tergantung dari tingkat virulensi dari virus, infeksi virus

galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak napas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total, tortikolis, serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik

menimbulkan gejala klinis seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk, dan bersin. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan, dan kepadatan ayam di dalam kandang (Office International Epizootic, 2002).

Tanda - tanda klinis ayam terserang tetelo adalah lemah, nafsu makan menurun, gangguan pernafasan, gangguan syaraf, minum lebih banyak dan sering

berkerumun atau berkumpul ditempat hangat. Secara patologis, gejalanya antara lain kantung hawa keruh, proventriculus mengalami pendarahan berupa bintik


(23)

kehijauan bercampur darah, terdapat peradangan sinus hidung, trachea dan

laryng, serta preumonia (Sudaryani dan Santoso, 2003).

2.3 Sistem Kekebalan Ayam

Sistem kekebalan merupakan bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker, 2000). Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan

sistem kekebalan spesifik (Carpenter, 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner dan Fransk, 1995).

Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit tertentu (Butcher dan Miles, 2003).

Sistem tersebut berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal paparan. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendir yang merupakan bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya benda asing. Faktor lain yang berperan dalam sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag melalui proses fagositosis dengan membunuh,


(24)

11 menghancurkan, dan mengeliminasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel langerhans di kulit, sel kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinofil (Wibawan et al., 2003).

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated

Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated

Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistem kekebalan humoral (Butcher dan

Miles, 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi sebagai Antigen

Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau sel penadah

yang akan menghancurkan antigen sedemikian rupa sehingga seluruh

komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan mempersembahkan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak di permukaan

makrofag (Wibawan et al., 2003).

Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang dan berdiferensiasi dalam bursa fabrisius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas matang dan berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari antibody mediated immunity atau imunitas humoral karena sel B akan


(25)

memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan limfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono, 2006).

Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap sel B adalah sekitar l04 sampai 105 (Tizard, 1982).

Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar

immunoglobulin akan menurun secara perlahan-lahan melalui proses katabolisme. Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertama kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama. Dengan adanya sel memori, maka sistem pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa fabrisius. Bursa fabrisius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et al., 2003).

Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated

immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu


(26)

13 Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan

dipresentasikan bersama - sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T CD8+ (sitotoksik), sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis

oleh APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas II dan akan mengaktivasi sel T CD4+ (helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas II dan sel T CD4+ akan

memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Wibawan et al., 2003).

Interaksi antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin, sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel lain. Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap antigen yang terdapat di dalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel tersebut akan mencari sel-sel yang

mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya (Wibawan et al., 2003).


(27)

2.4 Vaksinasi

Vaksinasi adalah suatu tindakan dimana hewan dengan sengaja diberi agen penyakit (antigen) yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang pembentukan daya tahan atau tanggap kebal tubuh terhadap suatu penyakit tertentu dan aman sehingga tidak menimbulkan penyakit (Akoso, 1998).

2.5 Cara Vaksinasi

Dalam pelaksanaan vaksinasi ayam, ada beberapa teknik atau cara yang umum dilakukan antara lain vaksinasi melalui tetes mata, tetes hidung atau mulut, dan suntikan. Pelaksanaan vaksinasi melalui tetes mata, hidung, dan mulut biasanya untuk ayam yang berumur di bawah 1 minggu dengan maksud untuk mencegah netralisasi vaksin oleh antibodi maternal (bawaan dari induk). Cara ini cukup memakan waktu dan tenaga karena dilakukan per ekor ayam, tetapi kelebihannya sangat efektif karena dosis tepat dan merata untuk setiap ayam (Office

International Epizootic, 2002).

Menurut Tizard (1988), langkah-langkah pelaksaaan vaksinasi adalah

1. pelarut dimasukkan ke dalam botol vaksin setengahnya, kemudian kocok

sampai tercampur rata, usahakan jangan sampai berbuih;

2. campuran larutan diluent dan vaksin yang sudah rata pada botol tersebut dimasukkan lagi ke dalam botol pelarut dan kocok lagi perlahan agar tercampur rata;

3. teteskan vaksin satu persatu pada ayam melalui mata atau hidung atau mulut, jangan tergesa-gesa tunggu sampai betul-betul masuk.


(28)

15 Menurut Malole (1988), vaksinasi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan vaksin, lokasi penyuntikan dapat di daerah di bawah kulit (subcutan) yaitu pada

leher bagian belakang sebelah bawah dan pada otot (intramuscular) yaitu pada

otot dada atau paha. Langkah-langkah pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1. alat suntik yang akan dipakai harus bersih dari sisa pemakaian sebelumnya,

kemudian lepaskan bagian-bagian alat suntik dan sterilkan lebih dulu dengan cara direbus selama 30 menit dihitung mulai saat air mendidih;

2. kocok terlebih dahulu vaksin dengan hati-hati hingga tercampur rata (homogen) sebelum digunakan;

3. suntikkan vaksin pada ayam dengan hati-hati sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan.

Menurut Akoso (1988), vaksinasi dengan cara penyuntikan harus dilakukan secara hati-hati. Bila dilakukan dengan ceroboh mengakibatkan kegagalan dan akan berakibat fatal. Akibat fatal yang mungkin terjadi antara lain ayam menjadi stres sehingga kematian tinggi pasca penyuntikan, leher terpuntir (tortikolis), terjadinya

abses (kebengkakan) pada leher, terjadi infeksi bakteri secara campuran dan ayam

menjadi mengantuk kurang bergairah.

2.6 Vaksin ND

Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (attenuated). Vaksin secara umum

adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole, 1988).


(29)

Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenal oleh sistem imun (Kayne dan Jepson, 2004) serta dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988)

Vaksin terdiri atas vaksin lived dan vaksin killed. Agen penyakit dalam vaksin

live atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah dilemahkan.

Agen penyakit pada vaksin killed berada dalam keadaan mati dan biasanya

ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1998).

Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran

antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi sedikit (Malole, 1988).

Umumnya vaksin lived lebih baik daripada vaksin killed, karena vaksin lived

dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa

penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard, 1988). Namun vaksin lived sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi yang kurang

baik seperti gangguan pernafasan yang ringan (Wetsbury etal., 1984).

Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat dikatakan memenuhi ketiga persyaratan di atas jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan atau infeksi virus ganas.


(30)

17 Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5%hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati.

Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik. Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun

velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan

mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strainLa Sota, dan strainF (FA0,

2004).

StrainF memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain lain

pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan secara

individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan

strain F. Aplikasi vaksin strainB1 dilakukan melalui air minum atau

penyemprotan. Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC(Day Old Chick)

kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan

Polana, 2004).

Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibandingkan dengan kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun, pemberian vaksin tipe mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat

menimbulkan reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho,, 1981). Tipe mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain

Rokain, strainMukteshwar, strainKommarov, dan strainBankowski (Sudrarjat,


(31)

Strain Mukteshwar bersifat patogenik dan digunakan secara terbatas pada ayam

yang sebelumnya telah divaksin dengan salah satu jenis vaksin tipe lentogenik. Vaksin ini telah diterima secara luas pada iklim tropis di Asia Tenggara. Strain

Kommarov memiliki tingkat virulensi lebih rendah dibandingkan dengan strain

Mukteshwar. StrainRokain dan strain Bankowski(Tissue CultureVaccine) sering

disebut dengan wing-web vaccine. Vaksin dengan strain ini tidak bisa digunakan

pada ayam muda yang masih memiliki maternal immunity (Fadilah dan Polana,

2004).

Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed

(Nugroho, 1981), karena tipe velogenik merupakan virus dengan tingkat virulensi yang sangat tinggi (FAO, 2004). Tipe asimptomatik yang mempunyai

kemampuan menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister

2C. Strain ini sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena

merupakan vaksin yang mengandung virus tahan panas (Darminto, 2002).

2.7 Titer Antibodi

Titer antibodi adalah tes laboratorium yang mengukur keberadaan dan jumlah antibodi dalam darah. Analisa sampel darah dilakukan dengan menggunakan metode uji serologis dan metode auto analizer. Uji serologis merupakan sebuah

metode yang digunakan untuk melihat gambaran titer antibodi di dalam tubuh ayam. HI (Haemagglutination Inhibition) test menggunakan reaksi hambatan

haemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer antibodi). Prinsip kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu


(32)

19 sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan

metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat. Titer antibodi dikatakan protektif terhadap Newcastle Desease jika

memiliki titer antibodi minimal 5 log 2 (Office International Epizootic, 2008).

2.8 Pengaruh Stres terhadap Titer Antibodi

Stres adalah suatu kondisi tubuh ternak akibat adanya tekanan yang merusak. Faktor yang dapat menyebabkan stres pada broiler antara lain lingkungan yang

ekstrim, agen infeksius, kotoran yang bercampur dengan urin yang mengandung NH3, dan tatalaksana pemeliharaan yang tidak baik, serta perlakuan paksa yang

harus diterima oleh ayam seperti pergantian ransum (Okolwski, 2005).

Menurut Leeson dan Summers (2001), cekaman merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan kesehatan ternak terganggu karena pengaruh lingkungan yang terjadi secara terus-menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis.

Cekaman ini biasanya berhubungan dengan kondisi lingkungan yang ekstrim yaitu terlalu panas atau terlalu dingin. Berikut diagram zona suhu nyaman pada ayam

broiler.

Gambar 1 Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone) pada broiler


(33)

Stres akan memicu terjadinya immunosupresif di dalam tubuh. Stres merubah

respon fisiologis broiler menjadi abnormal. Perubahan respon fisiologis ini

berpengaruh pada keseimbangan hormonal dalam tubuh broiler.

Stres akan menstimulir syaraf pada hipothalamus untuk aktif mengeluarkan

Corticotropic Relasing Hormone (CRH). CRH akan mengaktifkan sekresi

Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dalam jumlah banyak. Meningkatnya

ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk aktif mengeluarkan kortikosteroid serta menyebabkan peningkatan pada sekresi glukokortikoid (Naseem et al.,

2005).

Peningkatan kadar kortikosteroid dan glukokortikoid berpengaruh buruk terhadap kesehatan broiler karena menimbulkan immunosupresif yang dapat menurunkan

sistem pertahanan tubuh (Naseem, et al., 2005). Peristiwa tersebut

mengakibatkan terjadinya atropi pada nodus limfatikus dan thymus. Atropi pada

organ limfoid (bursa fabrisius) akan menurunkan produksi antibodi broiler

(Prasetyo, 2010)

Gambar 2. Bursa fabrisius normal dan yang mengalami atropi Sumber : Anonimus (2006) dalam Siregar (2009)


(34)

21 Stres juga dapat menstimulir syaraf pada hipothalamus untuk menghambat

pengeluarkan Thyrotropin Relasing Hormone (TRH). Terhambatnya pengeluaran

TRH akan mengurangi jumlah sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH).

Penurunan TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk mengurangi sekresi hormon tiroksin. Penurunan hormon tiroksin dalam tubuh berpengaruh buruk terhadap kondisi fisiologis broiler (Naseem et al., 2005).

Fungsi hormon tiroksin yaitu meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat nutrisi di saluran pencernaan (Farrel, 1979).

Gambar 3. Mekanisme immunosupresif dan gangguan metabolisme akibat stress (Farrel, 1979).


(35)

2.9 Sel Darah Merah

Darah adalah jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit (keping darah). Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah sebagai

pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan ke jaringan tubuh, pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru, pembawa sisa – sisa metabolisme dari jaringan ke ginjal untuk di ekskresikan, serta mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer. Trombosit berfungsi dalam proses koagulasi dan mengaktifkan mekanisme pembekuan darah.

Sedangkan leukosit berfungsi dalm proses fagositosis dan menyediakan kekebalan terhadap antigen spesifik (Guyton dan Hall, 1997).

Menurut Frandson (1993), sel darah merah (eritrosit) memiliki diameter rata – rata 7,5 mikro dengan spesialis untuk pengangkutan oksigen. Sel – sel ini berbentuk cakram (disk) yang bikonkaf dengan pinggiran sirkuler yang tebal 1,5 mikro dan pusat yang tipis. Jumlah sel darah merah dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui kesehatan probandus pada suatu saat.

Menurut Guyton (1986), sel darah merah terdiri dari air 62% - 72% dan sisanya berupa solid terkandung hemoglobin 95% dan sisanya berupa protein pada stroma

dan membran sel, lipid, enzim, vitamin dan glukosa serta urin.

Menurut Hartono et al. (2002), sel darah merah mamalia tidak berinti, tetapi sel

darah merah muda memiliki inti. Dalam sel darah merah burung diketemukan inti sepanjang kehidupan sel darah merah tersebut.


(36)

23 Kebanyakan sel darah merah mengalami disentegrasi dan ditarik dari aliran darah oleh sistem retikuloendotelial. Pada proses ini dihasilkan pigmen empedu yang

dinamakan bilirubin dan biliverdin. Apabila di dalam aliran darah banyak

mengandung kedua bentuk pigmen itu maka membran mukosa mata dan mulut

akan berwarna kuning, keadaan ini disebut ikterus.

Menurut Nesheim et al. (1979), adanya hemoglobin di dalam eritrosit

memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab warna merah pada darah. Berbeda dengan eritrosit mamalia, eritrosit unggas memiliki inti sel. Jumlah sel darah merah unggas berkisar 2,5 - 3,5 juta sel per mm3. Menurut Suprijatna et al. (2005), darah broiler mengandung sekitar

2,5 - 3,5 juta sel darah merah per mm3, sedangkan menurut Sturkie (1976),

rata-rata sel darah merah dalam kondisi normal pada ayam umur 26 hari adalah 2.770.000 per mm3.

Menurut Swenson (1984), faktor yang memengaruhi jumlah eritrosit dalam darah bukan hanya konsentrasi hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, laktasi, kehamilan, produksi telur, peningkatan epinephrine, volume darah, pemeliharaan,

waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan faktor iklim. Menurut Sturkie (1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan, maka gambaran total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan.

2.10 Sel Darah Putih

Leukosit atau sel darah putih berasal dari bahasa Yunani leuco artinya putih

dan cyte artinya sel (Dharmawan, 2002). Sel darah putih atau leukosit merupakan


(37)

memiliki ukuran 8 - 25 µm. Sel darah putih mempunyai inti sel dan kemampuan gerak yang independen. Masa hidup leukosit sangat bervariasi, mulai dari

beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan tahunan untuk limposit. Di dalam aliran darah kebanyakan leukosit bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan saja (Frandson, 1993).

Sel darah putih dibentuk sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe yang kemudian diangkut dalam darah menuju berbagai tubuh untuk

digunakan (Guyton dan Hall, 1997). Sel darah putih memiliki bentuk yang khas, pada keadaan tertentu inti, sitoplasma, dan organelnya mampu bergerak.

Jika eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melakukan fungsinya (Dharmawan, 2002).

Peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai indikasi terjadinya suatu infeksi dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1997). Fluktuasi jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti cekaman atau stres panas, aktivitas fisiologi, gizi, umur, dan lain – lain (Dharmawan, 2002).

Menurut Swenson (1984), rata-rata volume leukosit unggas adalah 20.000 - 30.000 µL, terdiri atas 25 - 30% neutrofil, 55 - 69% limfosit, 10% monosit, 3 - 8% eosinofil, dan 1 - 4% basofil. Jumlah leukosit ayam berkisar 16.000 dan 40.000 sel/mm3 (Dukes, 1995).


(38)

25 Menurut Guyton dan Hall (1997), leukosit dalam darah terdiri dari granulosit dan agranulosit berdasarkan penampakkan histologisnya. Swenson (1984)

menambahkan bahwa granulosit memiliki granula pada sitoplasmanya. Leukosit dapat ditemukan dalam sirkulasi darah dan pertahanan tubuh, atau kematian perlahan pada lapisan endothelial kapiler dan menyempitnya pembuluh darah. Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dengan eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen.

Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinofil, dan basofil yang dapat dilihat dengan reaksi pewarnaan. Agranulosit terdiri atas limfosit dan monosit. Sel darah putih yang granolosit dan monosit dibentuk dalam sumsum tulang, sedangkan limfosit diproduksi dalam berbagai organ limfogen. Semua sel-sel ini bekerja bersama – sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit : (1) dengan benar – benar merusak bahan yang menyerbu melalui proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit yang peka, salah satu atau keduanya dapat membuat penyerbu tidak aktif (Guyton dan Hall, 1997).

Granulosit seperti tercermin dari namanya, mengandung granula di dalam

sitoplasma dan memberikan warna dengan porses pewarnaan wright. Pewarnaan

ini mengandung zat warna asam yaitu eosin (merah) dan zat warna dasar (metilen

blue). Nukleus granulosit kelihatan dalam berbagai bentuk sehingga diberi nama

polimorfonuklear leukosit (Frandson, 1993).

Neutrofil mengandung granula yang memberikan warna indiferen dan tidak merah ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah – daerah yang sedang mengalami serangan


(39)

oleh bakteria, menembus dinding pembuluh, dan menerkam bakteria untuk dihancurkan. Neutrofil merupakan komponen terbanyak dari sel darah putih. Letaknya di pinggiran dalam kapiler dan pembuluh kecil, dan hal ini disebut

marginasi. Jumlah neutrofil di dalam darah meningkat cepat ketika terjadi infeksi

yang akut (Haryono, 1978).

Apabila terjadi luka pada jaringan, neutrofil dimobilisasi dari posisi marginal ke daerah yang terluka, dan menembus dinding kapiler di antara sel-sel, kemudian dengan gerakan amuboid masuk ke jaringan untuk memfagositasikan partikel-partikel asing. Peningkatan jumlah neutrofil yang beredar disebut neutrofilia.

Peristiwa ini terjadi apabila kerusakan jaringan cukup parah, di samping itu terjadi juga pada keadaan infeksi bakteri yang mengalami diseminasi, kanker, keracunan metabolik, dan pendarahan. Saat infeksi menyerang, neutrofil menghasilkan pirogen yang menyebabkan terperatur regulasi otak tengah memerintahkan untuk meningkatkan temperatur tubuh. Peningkatan temperatur tubuh membantu sel darah putih memerangi infeksi dan perlahan-lahan mengurangi reproduksi bakteri, virus, dan parasit (Anonymous, 2009).

Eosinofil dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna merah di dalam sitoplasma. Jumlah sel-sel ini umumnya tidak banyak, dapat meningkat pada kasus penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit. Eosinofil ameboid dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan bakteri dan parasit. Pada keadaan reaksi alergi, jumlah eosinofil akan meningkat (Haryono, 1978).


(40)

27 Menurut Azhar (2009), sel darah putih mengandung ± 5 % eosinofil. Pematangan sel ini menghabiskan waktu kira – kira 2 - 6 hari di sumsum tulang dan

bersirkulasi dalam darah 6 – 12 jam (Anonim, 2011).

Basofil adalah leokosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5 - 1,5% dari seluruh leokosit dalam aliran darah. Basofil memiliki diameter 10 - 12 µm (Dharmawan, 2002). Basofil mengandung granula berwarna biru tua sampai ungu, jumlahnya sedikit dalam keadaan normal. Basofil mengandung heparin (zat antikoagulan), dipostulasikan bahwa heparin dilepaskan di daerah peradangan guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfa serta basofil juga mengandung histamin yang berfungsi untuk menarik eosinoid. Keterlibatan basofil dalam proses peradangan menandakan adanya suatu keseimbangan yang peka antara basofil dan eosinofil dalam mengawali dan mengontrol peradangan. Sel-sel ini terlibat dalam reaksi peradangan jaringan dan dalam proses reaksi alergetik (Dallman dan Brown, 1992).

Agranulosit (bahasa Yunani A = tanpa), umumnya memperlihatkan sejumlah granula di dalam sitoplasma, contohnya monosit dan limfosit. Monosit mempunyai diameter 15 - 20 µm dan jumlahnya 3 – 9% dari seluruh sel darah putih. Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai neutrofil bersifat fagositik, yaitu kemampuan untuk memangsa material asing, seperti bakteri. Akan tetapi, jika neutrofil kerja utamanya mengatasi infeksi yang akut, maka monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut. Monosit darah akan masuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag (Frandson, 1993).


(41)

Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi serta jumlahnya paling banyak dalam leukosit pada ayam. Limfosit juga memiliki nukleus yang relatif besar dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Limfosit memiliki masa hidup yang cukup lama, berkisar 100 dan 300 hari atau bahkan satu tahun. Fungsi utama limfosit adalah merespon adanya antigen dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson, 1993).


(42)

V. SIMPULAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cara pemberian vaksin

ND live pada broiler umur 7 hari berpengaruh tidak nyata (P<0.05) terhadap titer

antibodi ND, jumlah sel darah merah dan jumlah putih pada broiler;

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka peternak dapat melakukan vaksinasi melalui berbagai cara (tetes mata, tetes hidung, tetes mulut atau suntik) dengan pemilihan metode vaksinasi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis, Akoso, B. T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan Peternak. Yogyakarta. Kanisius.

Allan, W. H. Lancaster, and. B.Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Institute For Veterinary Biologics, Hurgary.

Anonim, 2011. Gambar Mikroskop Sel Leukosit – Eosinofil

http://darikakigununggitu.wordpress.com /2011/03/23/ gambar-mikroskopis-sel-eosinifil/. Diakses 2 Juli 2011.

Anonimus. 2006. Imunosupresi pada Ayam Broiler dan Cara Penanganannya. http://www.fmv.utl.pt/atlas/orglinfo/orglinfo_001.htm

Anonymous. 2009. Buah Makasar Brucea javanica L Merr / Tambara Marica, Obat Herbal untuk Malaria. http;//meemhy.wordpress.com/2009/03/21/buah-maksar/brucea-javanica-l-merica-tambara-marica-obat-herbal-untuk-malaria/. Diakses pada 2 Mei 2009.

Azhar, M. 2009. Fisiologi III dan IV. http://manusiaplanet.blogspot.com / 2009 / 12 / fisiologi-iii-dan-iv.html. Diakses 5 Mei 2011.

Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Van Nonstrand Reinnold Co., New York

Butcher, G. D. dan R. D. Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis. ifas. ufl.edu. Diakses pada 28 Desember 2012.

Borges, S. A., F. A. V. Da Silva, A. Maiorka, D. M. Hooge, and K. R. Cummings. 2004. Effects of Diet and Cyclic Daily Heat Stress on Electrolyte, Nitrogen and Water Intake, Excretion and Retention by Colostomized Male Broiler Chickens. Int. J. Poult. Sci. 3 (5) :313--321


(44)

45 Charles, D. R. 1981. Practical ventilation and temperature control for poultry, in Environmental Aspects of Housing for Animal Production, byJ. A. Clark, University of Nottingham.

Carpenter, S. 2004. Avian Immune System. http://www.l1olisticbird.com/ hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. Diakses pada 11 Januari 2013.

Center for Food Security and Public Health. 2008. High Pathogenicity Avian Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center. Iowa

Cooper, M. A. and K. W. Washburn. 1998. The Relationships of Body Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers Under Heat Stress. Poult. Sci. 77 : 237—242.

Cross, G. M. 1988. Newcastle Disease: Vaccine production. In: Newcastle Disease ed. D. J. Alexander. Kluwer Academic Publication. London

Dallman, H. D dan E. M Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner I. UI Press. Jakarta.

Darminto. 2002. Vaksinasi ND, Kepada Ayam dan Titer yang Cocok. Infovet Veteriner Edisi 092. Jakarta.

Darminto dan Ronohardjo, P. 1996. Newcastle Disease Pada Unggas di Indonesia Situasi Terakhir dan Relevansinya Terhadap Pengendalian Penyakit. Balai Penelitian Veteriner. Hlm.65-84.

Darmono. 2006. Sistem Kekebalain Tubuh. Artikel. http://www.geocities.com/ kuliahfarm/imunologi/Sistem-kekebalan.doc. Diakses pada 28 Desember 2012. Decker, J. M. 2000. Introduction to Irnmunology. Blackwell Science, Inc. USA.

Dharmawan, N. S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Cetakan II. Denpasar: Pelawa Sari.

Dirjen Peternakan, 1991. Berternak Ayam Pedaging. Cetakan ke -18 Kanasius. Jakarta

Dukes, H. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing Associated, New York.

Fadilah R dan Polana A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Depok. PT. Agromedia Pustaka.

FAO. 2004. Newcastle Disease Vaccines : an Overview.


(45)

Farrel, D. J. 1979. Pengaruh dari Suhu Tinggi terhadap Kemampuan Biologis dari Unggas. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan I. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Ternak. Ciawi. Bogor.

Fenner. dan Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P. Harya, Penerjemah. IKIP Semarang Press. Semarang. Terjemahan dari: Veterinary Virology.

Fenner, F. J., E. P. J Gibbs., F. A. Murphy., R. Rott., M. J. Studdert and D. O. White. 1993. Veterinary Virology. Edisi Kedua. Penerjemah D. K. Harya Putra. IKIP Semarang Press. Semarang.

Frandson, R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Alih Bahasa oleh B. Srigandono dan Koen Praseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Guyton. 1986. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Prees. Yogyakarta.

Guyton, A. C. dan J. E Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Buku Ajar. Alih Bahasa Setiawan, I., K. A. Tengadi, A. Santoso. Penerbitan Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Guyton, A. C. & J. E. Hall. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th Ed. W. B. Saunders Company, Philadelphia.

Harlova, H., J. Blaha, M. Koubkova, J. Draslarova and A. Fucikova. 2002. Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens. Scientia Agriculturae Bohemica 33: 145 – 149.

Haryadi, 1995. Pengaruh Ammonia terhadap Kesehatan Hewan. Poultry Indonesia, Majalah Ekonomi Indonesia dan Teknologi Perunggasan Populer. GPPU, Jakarta

Hartono, M., S, Suharyati., P. E, Santosa. 2002. Dasar Fisiologi Ternak Penuntun Praktikum. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Haryono, B. 1978. Hematologi Klinik. Bagian Kimia Medik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Hoffman, T. Y. C. M. and G. E. Walsberg. 1999. Inhibiting Ventilation Evaporation Produce an Adaptive Increase in Cutainous Evaporation in Mourning Doves Zenaida macroura. J. Experiment. Biol. 202 : 3021-3028.

Kartasujana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.


(46)

47 Kayne, S. B dan Jepson M. H. 2004. Veterinery Pharmacy. London.

Pharmaceutical Press.

Kuczynski, T. 2002. The Application of Poultry Behaviour Responses on Heat Stress to Improve Heating and Ventilation System Efficiency. J. Pol. Agric.

Univ. 5 : 1—11.

Leeson, S. and J. D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Books. Guelph, Ontario : Canada.

Malole, M. B. 1988. Virologi. Bogor. PAU-IPB.

Medion. 2014. http://info.medion.co.id. Diakses pada 12 Mei 2014.

Miller, J. K, E. B. Slebodzinska and F. C. Madsen. 1993. Oxidative stress, antioxidant, and animal function. J. Dairy. Sci. 76:2812-2823.

Mujahid, A. Y. Akiba, and M. Toyomizu. 2007. Acute Heat Stress Induces Oxodative Stress and Decrease adaptation in YoungWhite Leghorn Cockerels by Downregulationot Avian Uncoupling Protein. Poultry Scient. 86 :364—371. Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Naseem, M. T., S. Naseem, M. Yunus, Z. Iqbal Ch., A. Ghafoor, A. Aslam, and S. Akhter. 2005. Effect of Pottasium Choride and Sodium Bicarbonate Supplementation on Thermotolerance of Broiler Exposed to Heat Stress. Int. Journal of Poultry Science 4 (11) : 891—895.

Nesheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12 Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.

Nugroho, 1981. Penyakit Ayam di Indonesia. Semarang. Eka Offset.

Office International Epizootic, 2002. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013.

Office International Epizootic, 2008. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013.

Okolwski, A. 2005. Patho-Physiology of Heart Failure in Broiler Chikens : Structural Biochemical and Molecular Symposium : Metabolic and Cardoivasculer in Poultry Nutrisional and Physiological Aspects. J. Poult. Sci. 142


(47)

Prasetyo, H. 2010. Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit pada Ayam Potong yang Terpapar Heat Stress. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Quaries, C. L. and D. J. Fagerberg. 1979. Evaluation of Ammonia Stress and Coccidiosis on Broiler Performance. Poultry Science. 58 : 465--468

Rasyaf, M. 1999. Menajemen Beternak Ayam Broiler. Penebar Swadaya. Jakarta

Russel, P. H. 1993. Newcastle Disease Virus: Virus Replication in Harderian Gland Stimulates Lacrima Ig A, the Yolk Sac Provides Early Lacrimal Ig G.

Veterinary Immunology an Immunopathology. 37 : 151—163.

Sturkie, P. D. 1976. Avian Phisiology. Third Edition. Spinger Verlag. New York.

Sudaryani, T dan H. Santoso. 2003. Pembibitan ayam ras. Penebar swadaya. Jakarta.

Sudrardjat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Catatan ke-2. Jakarta. Direktorat Kesehatan Hewan.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Steel dan Torrie, 1993. Prinsip Prosedur Statstika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Swenson, M. J. 1984. Phisiologycal properties and celluler and chemical constituents of blood. In. Sweson, M. J. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. The Eleven Edition. Cornell University Press. London.

Tizard, I. R. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo H dan Masduki P, Penerjemah. Surabaya. Airlangga Press. Terjemahan dari: Veterinary Immunology.

Tizard, I. R. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. W. B. Saunders Company. USA.

Wetsbury, H. A, Parson G, dan Allan W. H. 1984. Comparison of the

Immunogenicity of the Newcastle Disease Virus Strain V4, Hitchner BI, and La Sota in Chickens. Test in Chickens with Maternal Antibody to Virus. Journal Australian Veterinary. 61 : 10-13.

Wibawan, I. W. T., D. S. Retno, C. S. Damayanti, dan T. B. Tauffani. 2003. Diktat Imunologi. FKH-IPB. Bogor.


(48)

49 Winters, J. L. 2004. Adventorial. PT. Supreme Indo Pertiwi. Available at : http://www.sip-mlm.com/adventorial.htm. Diakses pada 18 Januari 2012.


(49)

(50)

51

Tabel 5. Hasil pemeriksaan titer antibodi ND pada ayam broiler.

Sampel 20 21 22 23 24 25 2…n

P1 2 3

P2 3 2

P3 2 2 1

P4 4 1

Jumlah 13 8 1

Rata-rata 3.25 2 0.25

Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik Perhitungan :

P1

5 ÷ 3.91339 = 0.66226 P2

5 ÷ 3.61236 = 0.722472

P3

5 ÷ 4.21442 = 0.842884

P4


(51)

Perhitungan titer antibodi ND pada ayam broiler.

Y2 (50)2 2500

Faktor koreksi C = = = = 125 p.r 4 x 5 20

JK(T) = ∑∑ yij2

C

= (22+32+...+22) – 125 = 132 – 125 = 7

1 1

JK(P) = ∑ yi2 - C= x (132+ 122+ 142 +112) – 125 5 5

= 126 – 125 = 1

JK(g) = JK(T) - JK(P ) = 7 – 1 = 6

JK(P) 1

KT (p) = = = 0,33 p-1 3

JK(g) 6

KT (g) = = = 0,37 (r-1)p 16

√ KT (g) √0,37

KK = x 100% = x 100% = ? %

y 2

KT(p) 0,33

Fhit = = = 0.89 KT(g) 0,37

Keterangan:

C = faktor koreksi

JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat

KK = koefisen keragaman


(52)

53

Tabel 6. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ayam broiler.

SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1

Perlakuan 3 1 0.33 0.89 ? ?

Galat 16 6 0.37

Total 19 7 KK ? %

Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.

KK = koefisien keragaman SK = sumber keragaman Db = derajat bebas JK = jumlah kuadrat KT = kuadrat tengah

Hasil perhitungan total sel darah merah ayam broiler

Y2 (46,72)2 2182,75

Faktor koreksi C = = = = 109,14 p.r 4 x 5 20

JK(T) = ∑∑ yij2

C

= (2,752+3,152+...+1,872) – 109,14 = 112,32 – 109,14 = 3,19 1 1

JK(P) = ∑ yi2

- C= x (12,152+ 11,022+ 12,812 +10,742) – 109,14 5 5

= 109,69 – 109,14 = 0,56

JK(g) = JK(T) - JK(P ) = 3,19 – 0,56 = 2,63 JK(P) 0,56

KT (p) = = = 0,19 p-1 3

JK(g) 2,63

KT (g) = = = 0,16 (r-1)p 16

√ KT (g) 0,16

KK = x 100% = x 100% = 4,34%


(53)

KT(p) 0,19

Fhit = = = 1,14 KT(g) 0,16

Keterangan:

C = faktor koreksi

JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat

KK = koefisen keragaman

Fhit = F hitung

Tabel 7. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah merah ayam

broiler.

SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1

Perlakuan 3 0,56 0,19 1,14 3,24 5,29

Galat 16 2,63 0,16

Total 19 3,19 KK 4,34%

Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.

KK = koefisien keragaman SK = sumber keragaman Db = derajat bebas JK = jumlah kuadrat KT = kuadrat tengah

Hasil perhitungan total sel darah putih ayam broiler.

Y2 (895)2 801025

Faktor koreksi C = = = = 40,051 p.r 4 x 5 20

JK(T) = ∑∑ yij2

C

= (472+442+...+412) – 40,051 = 41,131 – 40,051 = 1.080 1 1

JK(P) = ∑ yi2

- C= x (2062+ 2452+ 1982 +2462) – 40,051 5 5


(54)

55

JK(g) = JK(T) - JK(P ) = 1.080 – 384,95 = 694,80

JK(P) 384,95

KT (p) = = = 128,32 p-1 3

JK(g) 694,80

KT (g) = = = 43,42 (r-1)p 16

√ KT (g) √43,42

KK = x 100% = x 100% = 3,68% y 179

KT(p) 128,32

Fhit = = = 2,95 KT(g) 43,42

Keterangan:

C = faktor koreksi

JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat

KK = koefisen keragaman

Fhit = F hitung

Tabel 8. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah putih ayam

broiler.

SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1

Perlakuan 3 384,95 128,32 2,95 3,24 5,29

Galat 16 694,80 43,42

Total 19 1.080 KK 3,68%

Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.

KK = koefisien keragaman SK = sumber keragaman Db = derajat bebas JK = jumlah kuadrat KT = kuadrat tengah


(55)

P3U3 P2U4 P4U3 P1U4 P4U5 P3U1 P1U3 P4U4 P2U3 P3U2

P2U1 P1U2 P4U1 P2U2 P3U5 P1U1 P4U2 P2U5 P3U4 P1U5

Gambar 4. Tata letak kandang penelitian

Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik

U1 – U5 ulangan 1 sampai 5 kali


(56)

57

Tabel 9. Kelembaban kandang

Hari Kelembaban (%)

06.30 14.00 18.00 24.00

1 82 52 68 88

2 91 54 82 94

3 93 64 90 93

4 93 68 86 90

5 89 76 82 96

6 94 62 91 90

7 93 73 90 90

8 90 64 85 96

9 94 55 76 93

10 92 50 75 91

11 92 63 80 94

12 93 53 84 92

13 93 55 81 89

14 96 64 85 92

15 94 52 74 88

16 85 62 87 93

17 93 62 90 88

18 89 54 90 94

19 93 59 80 89

20 96 55 76 93

21 90 49 70 89


(57)

Tabel 10. Suhu kandang

Hari Suhu °(C)

06.30 14.00 18.00 24.00

1 24 35 29 26

2 26 33 29 25

3 27 32 27 26

4 26 30 29 27

5 25 31 30 26

6 26 30 29 26

7 27 32 27 27

8 27 31 32 26

9 26 32 31 27

10 25 35 30 26

11 27 34 30 27

12 25 33 27 26

13 26 34 27 26

14 26 33 29 25

15 24 35 30 26

16 25 35 28 25

17 26 35 27 26

18 26 34 28 25

19 24 34 32 25

20 26 32 30 25

21 26 33 31 27


(58)

59

Tabel 11. Hasil pemeriksaan titer antibodi ayam broiler umur 21 hari

2 4 16 32 64 C

P1 1 - - 22 (4)

2 - - - 23 (8)

3 - - - 23 (8)

4 - - - 23 (8)

5 - - 22 (4)

P2 1 - - 22 (4)

2 - - 22 (4)

3 - - - 23 (8)

4 - - 22 (4)

5 - - - 23 (8)

P3 1 - - - 23 (8)

2 - - 22 (4)

3 - - - - 24 (16)

4 - - 22 (4)

5 - - - 23 (8)

P4 1 - - 22 (4)

2 - - 22 (4)

3 - - - 23 (8)

4 - - 22 (4)

5 - - 22 (4)

Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik


(1)

KT(p) 0,19

Fhit = = = 1,14 KT(g) 0,16

Keterangan:

C = faktor koreksi JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat KK = koefisen keragaman Fhit = F hitung

Tabel 7. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah merah ayam

broiler.

SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1

Perlakuan 3 0,56 0,19 1,14 3,24 5,29

Galat 16 2,63 0,16

Total 19 3,19 KK 4,34%

Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.

KK = koefisien keragaman SK = sumber keragaman Db = derajat bebas JK = jumlah kuadrat KT = kuadrat tengah

Hasil perhitungan total sel darah putih ayam broiler.

Y2 (895)2 801025

Faktor koreksi C = = = = 40,051 p.r 4 x 5 20

JK(T) = ∑∑ yij2

C

= (472+442+...+412) – 40,051 = 41,131 – 40,051 = 1.080 1 1

JK(P) = ∑ yi2

- C= x (2062+ 2452+ 1982 +2462) – 40,051 5 5


(2)

JK(g) = JK(T) - JK(P ) = 1.080 – 384,95 = 694,80

JK(P) 384,95

KT (p) = = = 128,32 p-1 3

JK(g) 694,80

KT (g) = = = 43,42 (r-1)p 16

√ KT (g) √43,42

KK = x 100% = x 100% = 3,68%

y 179

KT(p) 128,32

Fhit = = = 2,95 KT(g) 43,42

Keterangan:

C = faktor koreksi JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat KK = koefisen keragaman Fhit = F hitung

Tabel 8. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah putih ayam

broiler.

SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1

Perlakuan 3 384,95 128,32 2,95 3,24 5,29

Galat 16 694,80 43,42

Total 19 1.080 KK 3,68%

Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.

KK = koefisien keragaman SK = sumber keragaman Db = derajat bebas JK = jumlah kuadrat KT = kuadrat tengah


(3)

P3U3 P2U4 P4U3 P1U4 P4U5 P3U1 P1U3 P4U4 P2U3 P3U2

P2U1 P1U2 P4U1 P2U2 P3U5 P1U1 P4U2 P2U5 P3U4 P1U5

Gambar 4. Tata letak kandang penelitian

Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik

U1 – U5 ulangan 1 sampai 5 kali

U


(4)

Tabel 9. Kelembaban kandang

Hari Kelembaban (%)

06.30 14.00 18.00 24.00

1 82 52 68 88

2 91 54 82 94

3 93 64 90 93

4 93 68 86 90

5 89 76 82 96

6 94 62 91 90

7 93 73 90 90

8 90 64 85 96

9 94 55 76 93

10 92 50 75 91

11 92 63 80 94

12 93 53 84 92

13 93 55 81 89

14 96 64 85 92

15 94 52 74 88

16 85 62 87 93

17 93 62 90 88

18 89 54 90 94

19 93 59 80 89

20 96 55 76 93

21 90 49 70 89


(5)

Tabel 10. Suhu kandang

Hari Suhu °(C)

06.30 14.00 18.00 24.00

1 24 35 29 26

2 26 33 29 25

3 27 32 27 26

4 26 30 29 27

5 25 31 30 26

6 26 30 29 26

7 27 32 27 27

8 27 31 32 26

9 26 32 31 27

10 25 35 30 26

11 27 34 30 27

12 25 33 27 26

13 26 34 27 26

14 26 33 29 25

15 24 35 30 26

16 25 35 28 25

17 26 35 27 26

18 26 34 28 25

19 24 34 32 25

20 26 32 30 25

21 26 33 31 27


(6)

Tabel 11. Hasil pemeriksaan titer antibodi ayam broiler umur 21 hari

2 4 16 32 64 C

P1 1 - - 22 (4)

2 - - - 23 (8)

3 - - - 23 (8)

4 - - - 23 (8)

5 - - 22 (4)

P2 1 - - 22 (4)

2 - - 22 (4)

3 - - - 23 (8)

4 - - 22 (4)

5 - - - 23 (8)

P3 1 - - - 23 (8)

2 - - 22 (4)

3 - - - - 24 (16)

4 - - 22 (4)

5 - - - 23 (8)

P4 1 - - 22 (4)

2 - - 22 (4)

3 - - - 23 (8)

4 - - 22 (4)

5 - - 22 (4)

Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik