ANALISIS HABITAT KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) PELEPASLIARAN YIARI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK KALI JERNIH KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

ANALISIS HABITAT KUKANG SUMATERA

(Nycticebus coucangBoddaert, 1785) PELEPASLIARAN YIARI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK KALI JERNIH

KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

Oleh

Dimas Djuli Handoko

Kawasan Hutan Lindung Batutegi merupakan salah satu ekosistem penting karena di dalamnya tersimpan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) memilih kawasan ini sebagai tempat translokasi dan pelepasliaran kukang sumatera. Penelitian dilakukan pada bulan Januari –April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, bekerja sama dan berada di bawah program YIARI bertujuan untuk mengetahui struktur dan profil vegetasi habitat pelepasliaran kukang sumatera oleh YIARI, dan untuk mengetahui jenis tumbuhan pakan kukang sumatera serta kelimpahannya. Metode yang digunakan Transek Sabuk-Petak Bersarang untuk analisis struktur dan profil vegetasi serta analisis jenis tumbuhan pakan. Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih terdapat 50 jenis spesies dari 26 famili. Kondisi vegetasi pohon memiliki kisaran tinggi 3,5–12 m, DBH antara 10,1–245,2 cm, basal area antara 0.20–51,29 m², penutupan kanopi antara 46,00–87,63 %, dan kerapatan antara 0,4–1,8 ind/ha. Terdapat 8 spesies dari 8 famili yang merupakan jenis tumbuhan pakan kukang sumatera dengan INP tertinggi 178,78 % dimiliki kopi (Coffea robusta).

Kata kunci :Kukang sumatera, habitat, Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, YIARI


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukaraja, Kecamatan

Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran pada tanggal 10 Juli 1992, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suparman dan Ibu Warnah.

Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 4 Bagelen pada tahun 2004, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SMP N 1 Gedongtataan pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Gedongtataan pada tahun 2010.

Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universita Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Selama menjadi

mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yakni Pengurus Bidang II Keilmuan Himbio periode 2012-2013. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan untuk mahasiswa Biologi FMIPA. Selain itu, penulis pernah melaksanakan Kerja Praktik (KP) di Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), pada bulan Juli 2013.


(6)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Teriring doa, rasa syukur dan segala kerendahan hati dengan segala cinta dan kasih sayang kupersembahkan

karya sederhana ini untuk orang-orang yang berarti dalam hidupku.

Mamak, Pakde, dan Bude, seseorang yang sangat mulia yang telah membesarkanku, mendidikku, menyayangiku dan mendoakanku dengan

setulus hati tanpa pamrih dan tanpa batas serta seluruh keluargaku yang selalu mensupport-ku tiada henti untuk menjadi pribadi yang lebih

baik lagi.

Para pendidikku, atas bimbingan, motivasi, saran, kritik dan ajarannya sehingga aku bisa menghadapi dunia dengan arif dan bijaksana.


(7)

MOTO:

Intelligence is not the determinant of succes,

but hard work is the real determinant of your


(8)

SANWACANA

Alhamdulillah puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang maha pengasih dan maha penyayang karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul“Analisis Habitat Kukang Sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) Pelepasliaran YIARI di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih KabupatenTanggamus,Lampung”. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada semua yang telah membantu sejak memulai kegiatan sampai terselesaikan skripsi ini, ucapan tulus penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Jani Master, M.Si., selaku pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, semangat, ilmu, arahan, ide, saran, dan kritik dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini. 2. Ibu Indah Winarti, M.Si., selaku pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, ide, ilmu, saran, dan kritik dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Elly Lestari Rustiati, M.Sc., selaku pembahas, atas saran, kritik, ilmu, dan dukungan yang telah diberikan sehingga tugas akhir ini

terselesaikan.

4. Yayasan Internasional Animal Rescue Indonesia (YIARI), atas


(9)

5. Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi atas izin penelitian yang diberikan pada penulis.

6. Ibu Nismah Nukmal Ph.D., selaku Pembimbing Akademik atas

bimbingannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Jurusan Biologi .

7. Ibu Dra Nuning Nurcahyani, M.Sc., selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unila, atas dukungan, saran, kritik, serta masukan yang telah diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung.

8. Bapak Prof. Suharso, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

9. Bapak dan Ibu dosen, staf beserta laboran Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung atas ilmu dan pengalaman yang telah banyak diberikan kepada penulis.

10. Keluarga yang selalu kubanggakan dengan kerendahan hati yang tak pernah lelah berdoa, berjuang, dan memberi semangat serta dorongan untuk sebuah perjalanan hidup.

11. Teman-teman seperjuangan selama penelitian Elga (Biologi’10), Rani, Renaldi, dan Nora (Kehutanan’09 ) terimakasih ataspengalaman, bantuan dan kebersamaannya selama penelitian.

12. Teman-teman dari staf YIARI selama di Batutegi, Idris, Jumanto, Sarno, Obing, Agus, Indra, Uchi, Mas Huda, Mas Aris, Mas Richard, Pak Oni, Kang Bobby, Kang Kojek, Kang Tapol, Kang Kempleng, Mbak Omah,


(10)

dan Kang Gepeng terimakasih atas bantuan, curahan ilmu, kebersamaan, dan kerjasamanya selama penelitian.

13. Teman-Teman Angkatan 2010, Adi, Fais, Aviy, Eko, Putra, Billi, Aris, Janot, Dito, Dwi, Dewi cus, Septina, Linda, dan semuanya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu terimakasih atas dukungan, kritikan, canda tawa, dan kebersamaannya selama ini kepada penulis.

14. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat Biologi FMIPA Universitas Lampung, Kanda Alan, Kanda Mukhlis, Kanda Febri, Kanda Sumarji, Yunda Garnis, Yunda Ruri, Ori, Isro, Diah, Sobran, Agung dan semuanya terimakasih atas dukungan dan semangatnya..

15. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan, penelitian hingga akhir, yang tidak dapat dituliskan satu persatu di skripsi ini.

16. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Biologi kukang Sumatera... 6

1. Klasifikasi ... 6

2. Morfologi ... 7

3. Reproduksi ... 9

B. Daerah Penyebaran ... 10

C. Daerah Jelajah ... 11

D. Perilaku Kukang Sumatera ... 11

E. Habitat Kukang Sumatera ... 13


(12)

G. Vegetasi Pakan ... 15

H. Stratifikasi Vegetasi ... 16

I. Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) ... 17

J. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi ... 19

1. Letak dan Luas Wilayah... 19

2. Fungsi Kawasan Hutan ... 20

3. Pemanfaatan Kawasan Hutan ... 20

4. Pembagiaan Wilayah Pengelolaan ... 21

5. Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 21

6. Komoditi Unggulan ... 22

7. Rencana Pengelolaan... 22

III. METODE PENELITIAN ... 23

A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

B. Alat dan Bahan ... 24

C. Cara Kerja ... 24

1. PenggunaanRadio collar... 24

2. Pengumpulan Data Struktur Vegetasi ... 25

3. Pengumpulan Data Profil Vegetasi ... 28

4. Pengumpulan Data Jenis Tumbuhan Pakan Kukang Sumatera . 30 D. Analisis Data ... 31

1. Indeks Nilai Penting... 31

2. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 32

3. Indeks Dominansi Suatu Jenis ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

A. Komposisi Vegetasi Habitat Kukang Sumatera ... 33

1. Jumlah Jenis Tumbuhan ... 33

2. Kerapatan ... 36

3. Dominansi ... 39

4. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi ... 42

B. Struktur dan Profil Vegetasi Habitat Kukang Sumatera ... 44

1. Struktur Vegetasi Pohon ... 44

2. Profil Vegetasi ... 45

C. Tumbuhan Pakan Kukang Sumatera ... 54

1. Jenis Pakan Kukang Sumatera ... 54

2. Kerapatan Jenis Tumbuhan Pakan Kukang Sumatera ... 57

3. Dominansi Jenis Tumbuhan Pakan Kukang sumatera ... 58

D. Gangguan Terhadap Kukang dan Habitatnya ... 60


(13)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 67 A. Simpulan ... 67 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar

1. Kukang sumatera (Nycticebus coucang)... 8

2. Daerah penyebaran kukang di Asia ... 10

3. Peta lokasi penelitian... 23

4. Desain transek sabuk-petak bersarang... 28

5. Skemagap... 30

6. Jumlah spesies tumbuhan di habitat kukang sumatera (N=50)... 33

7. Komposisi jumlah spesies tumbuhan pohon dan tumbuhan lantai di Blok Kali Jernih ... 34

8. Kukang sumatera betina ‘Tri’saat berpindah tempat ... 47

9. Profil vegetasi transek TS ... 50

10. Profil vegetasi transek TK... 51

11. Profil vegetasi transek BS ... 52

12. Profil vegetasi transek BK ... 53

13. Grafik Tingkat kerapatan tumbuhan pakan kukang sumatera... 58

14. Beruk (Macaca nemestrina)... 63

15. Siamang (Symphalangus syndactylus) ... 64

16. Rangkong badak (Buceros rhinoceros)... 64


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

1. Penempatan dan jumlah transek di habitat kukang sumatera... 26

2. Jumlah jenis tumbuhan tiap tingkat pertumbuhan pada tiap transek ... 35

3. Kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di-masing-masing transek... 37

4. Daftar jenis yang memiliki nilai kerapatan tertinggi pada masing-masing transek... 38

5. Tiga vegetasi dengan INP tertinggi di tiap transek ... 40

6. Tiga vegetasi pohon dengan INP tertinggi di tiap transek ... 41

7. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi tingkat permudaan pohon dan vegetasi lantai di tiap transek ... 43

8. Struktur vegetasi pohon (DBH > 10cm) ... 44

9. Komposisi spesies tiap strata ... 49

10. Jenis tumbuhan pakan kukang sumatera di Blok Kali Jernih ... 55

11. Potensi tumbuhan pakan kukang sumatera di Blok Kali Jernih... 55

12. Indeks nilai penting jenis pakan pada semua tingkat pertumbuhan di seluruh transek ... 59


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang dari 40% habitat hutan rusak akibat pembalakan hutan, kebakaran, penebangan liar, dan perubahan lahan menjadi area perkebunan dan pertanian (WCS-IP, 2000).

Hutan Lindung Batutegi merupakan salah satu kawasan konservasi di Pulau Sumatera dengan total luas ± 58.174 ha yang terdiri dari tiga register yakni Hutan Register 39, 32 dan 22 yang berada dalam wilayah empat kabupaten, yakni Lampung Barat, Lampung Tengah, Tanggamus, dan Pringsewu. Sekurangnya 76% dari total luas lahan hutan lindung Batutegi telah berubah fungsi menjadi kebun kopi. Kondisi ini merupakan ancaman bagi

keberlangsungan satwa liar yang ada di dalamnya (Dishutprov Lampung, 2006).

Satwa liar memiliki ketergantungan pada vegetasi, baik langsung maupun tidak langsung sehingga terdapat hubungan yang erat antara ragam vegetasi dan komunitas biotik. Vegetasi berfungsi sebagai sumber pakan dan naungan bagi satwa liar. Perubahan terhadap ekosistem sebagai dampak aktivitas


(17)

2

manusia yang negatif akan menimbulkan perubahan lingkungan biotik satwa liar. Lingkungan biotik ini antara lain ketersediaan pakan dan naungan bagi satwa dalam mempertahankan hidupnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberlangsungan kehidupan satwa bergantung pada habitatnya. Apabila habitat dan komponen-komponennya terjaga kelestariannya maka akan mendukung kelestarian satwa di habitat tersebut (Alikodra, 1990).

Kukang sumatera (Nycticebus coucang) merupakan salah satu primata yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 21 ayat 2 pada Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa perdagangan dan

pemeliharaan satwa dilindungi termasuk kukang adalah dilarang. Sementara itu menurut badan konservasi duniaInternational Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources(IUCN), status konservasi kukang sumatera berada dalam kategori rentan, yang artinya memiliki peluang untuk punah 10% dalam waktu 100 tahun.

Keberadaan kukang sumatera perlu dilestarikan, untuk itu Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) melakukan pelepasliaran terhadap kukang sumatera. YIARI merupakan salah satu pusat rehabilitasi satwa yang fokus melakukan program 3R dan M (Rescue, Rehabilitation, ReleasedanMonitoring). Program 3R dan M ini merupakan rangkaian proses yang meliputi penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran satwa. Satwa yang menjadi fokus program YIARI adalah monyet, kukang, dan


(18)

3

orangutan. Salah satu lokasi pelepasliaran kukang sumatera yang direhabilitasi YIARI adalah Hutan Lindung Batutegi (YIARI, 2010).

Kukang sumatera merupakan jenis satwa yang hidup di pepohonan (arboreal). Di habitat hutan, Famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami

berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris dan Bearder, 2007). Kukang menyukai habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Nekaris dan Shekelle, 2007). Hutan blok Kali Jernih yang menjadi lokasi pelepasliaran kukang YIARI merupakan tipe hutan sekunder (Dishutprov Lampung, 2013). Informasi habitat merupakan faktor penting yang menunjang kehidupan kukang. Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi habitat yang disukai kukang.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui struktur dan profil vegetasi habitat pelepasliaran kukang sumatera oleh YIARI di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih.

2. Mengetahui jenis tumbuhan pakan kukang sumatera dan kelimpahannya di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai kondisi habitat alami kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok


(19)

4

Kalijernih. Diharapkan dari informasi tersebut dapat menjadi acuan bagi upaya pelestarian kukang karena informasi habitat di kawasan ini akan sangat mendukung proses rehabilitasi kukang menjadi lebih efektif.

D. Kerangka Pemikiran

Habitat merupakan tempat hidup berbagai jenis organisme yang membentuk suatu komunitas, sehingga untuk menjamin kelestarian habitat, kelangsungan di dalam sistem tersebut harus dipertahankan. Karena pada dasarnya satwa liar memerlukan tempat-tempat yang dipergunakan untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan tempat untuk berkembang biak.

Kawasan Hutan Lindung Batutegi merupakan salah satu ekosistem penting karena di dalamnya tersimpan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan Lindung Batutegi menjadi salah satu lokasi tempat translokasi dan pelepasliaran kukang sumatera oleh YIARI, sehingga tempat ini akan menjadi habitat alami bagi kukang sumatera yang dilepasliarkan. Pelepasliaran kukang sumatera di Hutan Lindung Batutegi merupakan agenda jangka panjang yang dilakukan YIARI. Paska pelepasliaran, keberadaan kukang sumatera dipantau untuk mengetahui perkembangan dan

kelangsungan hidupnya di alam.

Kehidupan kukang sumatera sebagai satwa arboreal sangat erat kaitannya dengan keadaan vegetasi di habitat tersebut. Vegetasi yang ada merupakan sarana yang dijadikan sebagai tempat beraktivitas oleh kukang sumatera.


(20)

5

umum. Untuk mengetahui struktur dan profil vegetasi tersebut dilakukan analisis vegetasi dengan cara membuat petak contoh yang diletakkan pada wilayah jelajah kukang sumatera.

Keberlanjutan hidup kukang sumatera di alam bebas sangat bergantung pada ketersediaan pakannya. Pendataan jenis tumbuhan pakan yang dikonsumsi dan kelimpahannya di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih perlu dilakukan. Informasi mengenai kelimpahan tumbuhan pakan di

Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih diperoleh dengan analisis vegetasi pakan.

Dari penelitian ini diharapkan akan diketahui struktur dan profil vegetasi habitat kukang sumatera, serta jenis tumbuhan pakan kukang sumatera dan kelimpahannya di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih, sehingga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam mengelola habitat alami primata khususnya kukang sumatera.


(21)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)

1. Klasifikasi

Kukang (Nycticebussp.)terdiri atas lima jenis, yaitu:

1.Nycticebus coucangyang tersebar di Semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan serta kepulauan sekitarnya.

2.Nycticebus pygmaeusdi Indocina, Laos, Vietnam dan Kamboja. 3.Nycticebus bengalensis, di Kamboja, Cina, India, Laos, Myanmar

dan Vietnam.

4.Nycticebus javanicus, hanya ditemukan di Jawa

5.Nycticebus menagensis, di Brunei, Kalimantan, Malaysia (Sabah dan Sarawak), Philipina (Ujung selatan) (Nekaris dan Bearder, 2007).

Klasifikasi kukang sumatera menurut Supriatna (2000) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata


(22)

7

Genus :Nycticebus

Spesies :Nycticebus coucangBoddaert, 1785. Nama lokal : Kukang sumatera (Indonesia)

lori, muka atau malu (Sunda)

2. Morfologi

Tubuh kukang dewasa memiliki rambut yang tebal dan halus dengan kisaran berat pada jantan 737±111 g dan pada betina 637±61 g (Wiens, 2002). Menurut Supriatna (2000), panjang tubuh pada individu betina dewasa dari kepala hingga ekor vestigial berkisar 190–275 mm, pada jantan berkisar 300–380 mm. Kukang betina memiliki dua pasang

kelenjar susu yang terletak di bagian dada dan di bagian abdomen (Izardet al.,1988).

Warna rambut tubuh kukang bervariasi dari mulai coklat jingga hingga coklat tua. Pada bagian punggung terdapat garis berwarna coklat tua, mulai dari pangkal ekor hingga dahi dan bercabang ke arah mata dan telinga, mengelilingi keduanya (Gambar 1). Seperti famili Lorisidae lainnya, kukang memiliki kemampuan yang baik dalam memanjat dan mencengkeram dahan pohon dengan kelima jarinya yang pendek, sebab antara jari pertama dengan jari ke dua jaraknya jauh dan tegak lurus (Nowak, 1999).


(23)

8

Gambar 1. Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) rehabilitan YIARI di kandang habituasi KPHL Batutegi Lampung

Kukang memiliki kuku pada jari kaki belakangnya yang berbentuk seperti cakar. Cakar ini dinamakanToilet Clawyang berfungsi untuk

membersihkan diri (grooming) dan untuk menggaruk. Kukang memiliki 36 buah gigi dengan keempat gigi seri dan kedua taring rahang bawah letaknya datar dan sejajar berbentuk seperti sisir yang berfungsi untuk

groomingdan memakan makanan khusus seperti keong pohon. Kukang juga memiliki tulang lidah yang agak tebal dan berwarna putih dengan ujung lidah bergerigi dan rhinarium (ujung hidung) yang selalu basah (Tenaza, 1987). Alterman (1995) menyatakan bahwa spesies ini memiliki sekret yang berbisa yang berasal dari kelenjar brakhialis di bagian dalam sikunya. Sekret ini akan bercampur dengan air liur pada saat kukang menjilati bagian ketiaknya. Air liur yang berbisa ini digunakan dalam pertahanan terhadap pemangsa dimana induk kukang akan menyebarkan racun pada anaknya dengan menggunakan gigi sisirnya.


(24)

9

3. Reproduksi

Menurut Izardet al.(1988) kukang jantan dapat mencapai pubertas lebih cepat dari kukang betina yang mencapai pubertas pada usia antara 18–24 bulan. Vulva pada kukang betina tertutup sampai masa estrus. Selama estrus, alat kelamin kukang betina menjadi bengkak dan berwarna merah muda selama lima sampai enam hari.

Di kandang, kukang memiliki kisaran masa gestasi antara 165–175 hari. Satwa primata ini melahirkan satu kali setiap tahunnya dengan berat 43,5– 75 g di mana interval antar kelahiran rata-rata 16 bulan, dan menyusui selama 5–7 bulan atau menyapih pada umur anak 85–180 hari. Siklus estrus kukang berkisar antara 29–45 hari dengan kematangan seksual pada umur 18–24 bulan pada betina dan 17 bulan pada jantan atau rata-rata sekitar umur 1,5–2 tahun. Sebagian besar kelahiran kukang yang berada di kandang terjadi antara bulan Maret–Mei, dan lama hidup kukang berkisar antara 12–20 tahun (Nekaris dan Bearder , 2007).

Sistem kawin kukang belum banyak diketahui. Namun menurut Wiens & Zitzmann (2003), kukang merupakan salah satu primata dengan sistem kawin monogami karena memiliki ukuran testis yang relatif kecil terhadap ukuran tubuh. Kukang akan melakukan perilaku-perilaku seksual saat musim kawin saja yakni pada saat siklus estrus yang terjadi antara 29 hingga 45 hari.


(25)

10

B. Daerah Penyebaran

Penyebaran kukang di dunia, mulai dari Gurun Sahara, India, Srilanka, Asia Selatan, Asia Timur sampai ke Asia Tenggara (Nursahid dan Purnama, 2007) (Gambar 2). Di Asia Tenggara terdapat di Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Filipina, Semenanjung Malaysia dan di Indonesia yang terdapat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Wiens, 2002).

Gambar 2. Daerah Penyebaran kukang di Asia (Winarti, 2011)

Menurut Supriatna (2000), kukang sumatera tersebar mulai dari Semenanjung Malaya, Sumatera dan pulau di sekitarnya, Kalimantan hingga ke Pulau Natuna. Di Sumatera penyebaran kukang meliputi Belitung, Pulau Enggano (Bengkulu), Kepulauan Mentawai dan Pulau Simeuleu (Aceh). Nowak (1999) menyatakan kukang juga ditemukan di Riau, Bangka, dan Borneo.


(26)

11

C. Daerah Jelajah

Daerah jelajah merupakan wilayah yang menjadi kunjungan satwa secara tetap karena dapat menyediakan makanan, tempat minum dan mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Alikodra, 2002). Perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, kompetisi, atau aktifitas manusia seperti perburuan, penebangan pohon, ataupun

pembukaan lahan pertanian menyebabkan luasan daerah jelajah bervariasi dari tahun ke tahun (Rowe, 1996).

Satu kelompok spasial atau kelompok keluarga kukang sumatera mendiami suatu luasan habitat atau daerah jelajah yang tumpang tindih, dengan individu jantan dewasa menjadi penguasa daerah yang mencakup seluruh daerah jelajah anggota keluarganya. Daerah jelajah kukang sumatera berbeda-beda

tergantung tipe habitatnya, yaitu (0,4–3,8 ha) di hutan primer, (2,8–8,9 ha ) hutan yang terdapat penebangan, dan (10,4–25 ha ) di padang savana. Daerah jelajah kukang jantan dewasa lebih luas dari pada individu betina, serta mencakup sebagian dari daerah jelajah betina dan kukang muda (Wiens, 2002).

D. Perilaku Kukang Sumatera

Kukang sumatera melakukan aktifitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktifitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit. Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendiri (soliter). Sekitar 93,3±5,4% waktu aktif kukang sumatera dihabiskan dengan sendiri dengan 6,7% di antaranya


(27)

12

berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa. Di kandang, 90% waktu aktifnya dihabiskan untuk aktivitas yang baik langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan aktivitas makan (Wiens, 2002).

Menurut Wiens (2002), meskipun hidup soliter, kukang sumatera membentuk suatu unit sosial yang stabil (kelompok spasial) yang masih mempunyai hubungan keluarga, yaitu terdiri atas satu jantan, satu betina, dan hingga tiga individu lainnya yang lebih muda. Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi kukang sumatera dengan individu lainnya antara lainallogroom(menyelisik individu lain),alternate click calls

(suara cericit atau klik-klik yang tajam dan jelas baik rangkaian pendek

maupun panjang),follow(mengikuti individu lain dengan jarak tidak jauh dari lima meter),pantgrowl(suara menggeram termasuk nafas mendengus secara berulang),contact sleep(tidur dengan berdampingan atau memeluk pinggang induk),ride/carry(menunggangi induk atau dibawa oleh induk),suckle

(aktifitas menyusui).

Interaksi sosial kukang sangat sedikit (0–7,7%). Aktifitas menyelisik individu lain dilakukan tidak lebih dari 6,7% dari masa aktifnya. Kukang muda lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40,8%) dibandingkan dengan aktifitas lainnya berjalan (26,5%),


(28)

13

dengan cepat (2%), dan interaksi sosial (12,3%) termasukclick calling

(Wiens, 2002).

E. Habitat Kukang Sumatera

Habitat merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, dan iklim, serta komponen biotik yang merupakan satu kesatuan yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak (Alikodra, 1990).

Di habitat hutan, famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris dan Bearder, 2007). Kukang menyukai habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau, serta hutan bambu namun kadang-kadang juga dapat dijumpai di daerah-daerah perkebunan. Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian inilah terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya (Nekaris dan Shekelle, 2008).

Supriatna (2000) menyatakan bahwa kukang tersebar cukup luas dan dapat ditemui hingga pada ketinggian 1300 mdpl. Sebaran habitat kukang

berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut (m dpl) berturut-turut adalah kukang sumatera 0–920 m dpl, kukang borneo 19–900 m dpl, kukang bengalensis 48–339 m dpl, kukang jawa 200–985 m dpl.


(29)

14

F. Vegetasi

Vegetasi merupakan keseluruhan tumbuhan yang hidup bersama pada suatu daerah tertentu yang dapat dicirikan oleh spesies penyusun vegetasi baik dari tumbuhan kecil sampai yang berukuran besar. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik di antara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1997).

Analisis vegetasi merupakan suatu cara analisis terhadap komunitas tumbuhan untuk memperoleh gambaran tentang susunan atau komposisi spesies dan struktur komunitas tumbuhan secara lengkap. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari vegetasi penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan (Kusmana, 1997).

Indriyanto (2003), mengemukakan beberapa di antara parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan, sebagai berikut:

1. Kerapatan adalah jumlah individu per unit area (luas) atau unit per volume. 2. Frekuensi suatu spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat

ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak contoh yang dibuat. 3. Luas penutupan adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh


(30)

15

biasanya dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (LBDS).

4. Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam komunitas suatu tumbuh-tumbuhan.

G. Vegetasi Pakan

Tumbuhan merupakan sumber pakan utama bagi kukang, hampir 60% sumber pakan kukang berasal dari tumbuhan yakni buah-buahan (50% ) dan getah (10% ) sedangkan lainnya dari sumber pakan hewan (40%). Umumnya kukang lebih menyukai sumber pakan berupa getah (34,9%) atau cairan tumbuhan (31,7%, ) dan bagian dari bunga daripada buah-buahan ( 22,5%) (Wiens, 2002). Di Kabupaten Manjung Malaysia Barat kukang sumatera menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakannya. Infant kukang sumatera diketahui memakan sumber pakan tumbuhan

pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens dan Zitzmann, 2003).

H. Stratifikasi Vegetasi

Stratifikasi adalah distribusi tumbuhan dalam ruangan vertikal. Semua spesies tetumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertikal tidak menempati ruang yang sama (Indriyanto, 2006).

Studi sinekologi terutama studi komposisi dan struktur hutan yang


(31)

16

(bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi dari hutan yang dipelajari, dengan melihat bentuk profilnya maka dapat diketahui proses dari masing-masing pohon dan kemungkinan peranannya dalam komunitas tersebut, serta dapat diperoleh informasi mengenai dinamika pohon dan kondisi ekologinya (Onrizal dan Kusmana, 2008).

Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropika memiliki vegetasi dengan

pelapisan vertikal dengan jarak teratur secara tak seimbang. Pelapisan vertikal komunitas pohon tersebut mempengaruhi sebaran populasi hewan yang hidup di dalamnya. Secara garis besar lapisan komunitas pohon tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Lapisan paling atas (Strata-A)

terdiri dari pepohonan yang memiliki tinggi 30–45 m. Karekteristik pepohonannya yakni tingginya mencuat di atas hutan, memiliki tajuk yang lebar, dan umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak saling bersentuhan dan membentuk lapisan yang bersinambungan.

2. Lapisan pepohonan kedua (Strata-B)

terdiri dari pepohonan yang memiliki tinggi sekitar 18–27 m. Umumnya pepohonan ini tumbuh berdekatan sehingga cenderung membentuk tajuk yang bersinambungan.

3. Lapisan pepohonan ketiga (Strata-C)

sering disebut sebagai lapisan tingkat bawah. Terdiri dari pepohonan yang memiliki ketinggian sekitar 8–14 m. Umumnya pepohonan pada lapisan ini membentuk lapisan yang rapat.


(32)

17

I. Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI)

Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) merupakan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkantor pusat di Inggris. LSM ini bergerak di bidang penyelamatan satwa, baik satwa domestik maupun satwa liar. YIARI berdiri pada tanggal 29 Januari 2007 yang berlokasi di Ciapus, Bogor. Visi dari YIARI adalah mempertahankan kelangsungan hidup satwa liar dan melestarikan habitatnya serta meningkatkan kesejahteraan satwa liar, dengan cara menciptakan lingkungan yang sehat dimana manusia dapat hidup harmonis dengan satwa. Sedangkan misi dari YIARI antara lain mendukung upaya peningkatan kesejahteraan satwa liar yang menjadi korban karena berbagai tindakan manusia, melakukan upaya perlindungannya dengan penegakan hukum, penyelamatan, rehabilitasi, dan upaya pelepasliaran satwa liar tersebut ke habitat alaminya, serta melakukan penyadartahuan melalui tindakan kolektif bersama dengan masyarakat, pemerintah, LSM, dan

kerjasama dengan perguruan tinggi serta otoritas ilmiah, dan juga membantu dalam upaya mitigasi konflik satwa dengan manusia (YIARI, 2010).

Saat ini YIARI memfokuskan kegiatannya pada satwa primata, yaitu kukang, monyet ekor panjang dan beruk di Ciapus, Bogor, serta orangutan di

Ketapang, Kalimantan Barat. Kegiatan utama YIARI meliputi 3R yaiturescue

(penyelamatan),rehabilitation(rehabilitasi), danrelease(pelepasliaran). Sedangkan tujuan utama dari program YIARI adalah menghentikan

perdagangan satwa liar dan memperjuangkan kesejahteraan yang lebih baik bagi satwa di seluruh dunia (YIARI, 2010).


(33)

18

Upaya pelepasliaran satwa telah dilakukan YIARI sejak tahun 2009. Pelepasliaran merupakan suatu program melepasliarkan satwa ke habitat alaminya yang dilakukan setelah satwa tersebut melalui tahapan rehabilitasi. Sebagian besar satwa yang dilepasliarkan berasal dari hasil sitaan atau serahan masyarakat. Pada tahun 2013 lalu YIARI telah melepasliarkan kukang di tiga tempat, yaitu di Kawasan Hutan Lindung Batutegi, Register 3 Gunung Rajabasa, dan Gunung Salak. Pelepasliaran kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi merupakan agenda jangka panjang yang dilakukan oleh YIARI. Pada tahun 2014 ini terhitung dari bulan Januari hingga April, YIARI telah melepasliarkan 29 ekor kukang sumatera di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih yang dilakukan secara bertahap (Huda R 2 Januari 2014, Komunikasi Pribadi).

J. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi

1. Letak dan Luas Wilayah

Letak geografis KPHL Batutegi Lampungadalah 104°27’–104°55’ BT dan 05°48’–5°22’ LS. Secara administratif KPHL Batutegi berada di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, Lampung Tengah dan Pringsewu. Wilayah KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung Register 39 Kota Agung Utara, sebagian kawasan Hutan Lindung Register 22 Way Waya dan sebagian Kawasan Hutan lindung Register 32 Bukit Ridingan. Luas areal kelola KPH Batutegi berdasarkan SK Menhut Nomor: SK.68/Menhut-II/2010 tanggal 28 januari 2010 adalah 58.174 ha (Dishutprov Lampung, 2013).


(34)

19

Lokasi penelitian Blok Kali Jernih merupakan bagian dari kawasan hutan lindung Batutegi yang memiliki luas ± 132,10 ha. Sebagian besar areal Blok Kali jernih termasuk dalam blok pemanfaatan sehingga lahannya boleh dimanfaatkan oleh warga sekitar yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKm) untuk ditanami komoditas unggulan yang telah direkomendasikan oleh KPHL Batutegi (Dishutprov Lampung, 2013).

2. Fungsi Kawasan Hutan

Areal KPHL Batutegi termasuk Hutan Lindung yang terdapat di Kabupaten Tanggamus. Areal kelola KPHL Batutegi juga merupakan salah satu DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas di Provinsi Lampung, karena fungsinya sebagai area tangkapan air (bendungan). Bendungan ini menjadi sumber air bagi irigasi yang mengairi sawah-sawah di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Metro dan beberapa kabupaten lain seluas ± 66.533 ha, sebagai pembangkit tenaga Listrik dengan kapasitas 28 MW, dan sebagai sumber air baku sebanyak 2.250 liter/detik (Dishutprov Lampung, 2013).

3. Pemanfaatan Kawasan Hutan

Areal KPHL Batutegi digarap oleh masyarakat yang terdiri dari 20 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKm) dengan luas ± 35.000 ha dan jumlah anggota > 5.000 orang yang berada di sekitar areal KPHL tersebut. Sedangkan ± 10.000 ha dari areal tersebut


(35)

20

merupakan kawasan lindung sebagai lokasi pelepasliaran satwa tertentu (Dishutprov Lampung, 2013).

Hutan lindung Batutegi termasuk hutan hujan dataran rendah yang kaya akan keanekaragaman hayatinya. Berdasarkan hasil pengumpulan data keanekaragaman hayati di register 39 Blok Way Rilau, baik fauna maupun flora, yang dilaksanakan mulai bulan Juni 2006 sampai sekarang, telah terinventarisasi jenis fauna sedikitnya 15 mamalia besar, di antaranya siamang (Symphalangus syndactilus), simpai (Presbitis melalophos), babi hutan (Sus sp), dan rusa (Cervus unicolor). Selain itu pula ditemukan jejak satwa lain seperti, jejak harimau sumatera (Panthera tigris

sumatranus), jejak dan feses beruang madu (Helarctos malayanus), dan sedikitnya ditemukan 40 jenis burung diantaranya yang sering dijumpai adalah jenis elang dan rangkong. Jenis tumbuhan yang umum dijumpai untuk tingkatan pohon yaitu terep (Artocarpus elasticus), pasang (Quercus blumeana), durian hutan (Durio zibethinus), meranti (Shorea sp), cengkeh (Eughenia sp), dahu (Dracontolemon sp), rambutan (Nephelium sp), beringin (Ficus sp), dll (Dishutprov Lampung, 2013).

4. Pembagian Wilayah Pengelolaan

KPHL Batutegi dibagi menjadi 6 resort yaitu Resort Banjaran, Batulima, Datar Setuju, Ulu Semung, Way Sekampung, dan Resort Way Waya, dimana masing-masing resort dikepalai oleh satu orang resort. Blok Kali Jernih termasuk ke dalam Resort Way Sekampung (Dishutprov Lampung, 2013).


(36)

21

5. Program HKm

Program HKm yang terdapat di KPHL Batutegi terdiri dari beberapa gapoktan, diantaranya: Register 32 sebanyak 5 gapoktan, Register 39 sebanyak 11 gapoktan dan Register 22 sebanyak 4 gapoktan. Sepuluh gapoktan telah mendapatkan ijin pengelolaan HKm 2007–2010, empat gapoktan sedang dalam tahap fasilitasi dan enam gapoktan sudah

diusulkan untuk mendapatkan areal penetapan yang telah diverifikasi oleh Kementerian Kehutanan Pusat Jakarta (Dishutprov Lampung, 2013).

6. Komoditi Unggulan

Saat ini yang diusahakan petani adalah komoditi unggulan dari KPHL Batutegi. Komoditi unggulan yang diusahakan oleh masyarakat sekitar areal KPHL Batutegi antara lain : kopi, lada, coklat, pala, kemiri, dan durian (Dishutprov Lampung, 2013).

G. Rencana Pengelolaan

Visi KPHL Batutegi “Terwujudnya KPHL Batutegi yang Mandiri berbasis Partisipasi Masyarakat Tahun 2022. Sedangkan Misi KPHL Batutegi adalah:

1. Pemantapan dan optimalisasi pengelolaan kawasan KPHL Batutegi, serta penegakan hukum bidang kehutanan,

2. Rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan fungsi lindung,

3. Pengembangan dan peningkatan SDM pengelola KPHL Batutegi, 4. Penguatan kelembagaan dan peningkatan peran Gapoktan (Gabungan


(37)

22

Kelompok Petani Hutan) dalam penggarapan lahan hutan, 5. Percepatan dan optimalisasi pemanfaatan, serta pengembangan

pengusahaan hasil hutan bukan kayu,

6. Pengembangan blok inti untuk konservasi satwa dan wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor


(38)

23

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah progam Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI).


(39)

24

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada saat penelitian meliputi: GPS (Global Positioning System),Hagameter, kompas, meteran, tali rafia, patok kayu, pita meter, pisau lapangan, kamera digital,headlampdan buku panduan pengenalan jenis tumbuhan. Bahan/objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu individu kukang sumatera (Nycticebus coucang)betina yakni ‘Tri’ dan satu individu kukang sumaterajantan yakni ‘Bintang’yang keduanya sudah terpasangradio collaryang dilepasliarkan oleh Yayasan International Animal Rescue Indonesia pada Januari dan Maret 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih.

D. Cara Kerja

1. PenggunaanRadio Collar

Sebelum pengambilan data dimulai, keberadaan kukang sumatera ditentukan terlebih dahulu menggunakanRadio Collar Receiveryang dihubungkan denganPortable Antenna. Alat ini akan menerima frekuensi sinyal yang dipancarkan olehRadio Collar Transmitteryang terpasang pada leher kukang sumatera. Radio Collar Transmitteryang digunakan adalah jenis R1000Communication Spesialists. FrekuensiRadio Collar Transmitterpada kukang betina ‘Tri’ adalah 6420 sedangkan kukang jantan ‘Bintang’ adalah 6210. Alat ini digunakan dengan cara: pertama, menyamakan frekuensiRadio Collar ReceiverdenganRadio Collar Transmitteryang akan dilacak. Kedua, menentukan arah objek dengan


(40)

25

cara mengarahkanPortable Antennake segala arah hingga terdengar bunyi “beep” padaRadio Collar Receiver. Ketiga, mencari sudut arah objek yang tepat yaitu dari arah sinyal yang paling kuat terdengar.

2. Pengumpulan Data Struktur Vegetasi

Pengumpulan data struktur vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode transek sabuk (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974) yang di dalamnya terdapat petak bersarang (Kusmana, 1997). Menurut Soegianto (1994), teknik ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi, dan elevasi. Penggunaan metode ini sesuai karena areal penelitian di kawasan hutan lindung

Batutegi umumnya memiliki tingkat topografi dan elevasi yang bervariasi.

Pengumpulan data struktur vegetasi dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu: a) penentuan jumlah petak contoh, b) peletakan petak contoh, c) pembuatan petak contoh,

a) Penentuan Jumlah Petak Contoh

Jumlah petak dalam satu transek sabuk di tiap lokasi adalah empat buah dengan estimasi luasan wilayah jelajah kukang sumatera berkisar antara 0,4-3,8 ha. Jumlah petak contoh ditentukan melalui teknik

Kurva Species Area(Kusmana, 1997).Teknik ini digunakan untuk mengetahui jumlah minimal petak ukur yang mewakili habitat yang akan diukur. Luas tiap transek sabuk ialah 400 m², tiap petak


(41)

26

kategori sesuai dengan tingkat tumbuh vegetasi, yaitu semai, pancang, pohon dan vegetasi penutup lantai. Penempatan dan jumlah transek ditentukan untuk mewakili struktur dan komposisi vegetasi yang ada di dalam wilayah jelajah kukang sumatera (Tabel 1).

Tabel 1. Penempatan dan jumlah transek di habitat kukang sumatera Kukang Nama Ʃ Ketinggian Titik Awal Arah

Transek Plot (m dpl) Transek Transek Betina

‘Tri’ TS 4 359,1–367,8

5° 11' 364" LS

104° 44' 168" BT 180° TK 4 317,1–343,8

5° 11' 441" LS

104° 44' 141" BT 150° Jantan

‘Bintang’ BS 4 356,1–380,1

5° 11' 329" LS

104° 44' 093" BT 250° BK 4 316,2–346,2

5° 11' 541" LS

104° 44' 207" BT 60° Keterangan

LS = Lintang Selatan ; BT = Bujur Timur TS = Tri Semak

TK = Tri Kebun BS = Bintang Semak BK = Bintang Kebun b) Peletakan Petak Contoh

Transek sabuk-petak bersarang diletakkan secara sistematis dengan awal acak (Systematic Sampling with Random Start) (Kusmana, 1997) di sepanjang garis atau transek dengan tegak lurus garis kontur dalam wilayah jelajah kukang sumatera. Dalam masing-masing wilayah jelajah kukang sumatera dibuat transek yang memotong garis kontur, yang selanjutnya di setiap transek akan diletakkan plot transek sabuk-petak bersarang untuk dilakukan analisis vegetasi. Pada wilayah jelajah kukang sumatera terdapat dua tipe vegetasi, yakni vegetasi kebun dan vegetasi semak. Oleh karena itu pada masing-masing wilayah jelajah kukang sumatera dibuat dua transek untuk mewakili struktur dan komposisi tumbuhan berdasarkan tipe vegetasi. Dari


(42)

27

analisis vegetasi yang didapat maka dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi habitat kukang sumatera paska pelepasliaran.

c) Pembuatan Petak Contoh

Habitat kukang sumatera di blok Kali Jernih umumnya berupa kebun. Kebun cenderung memiliki komposisi tumbuhan yang homogen dan keanekaragaman jenis tumbuhan yang lebih rendah dibandingkan hutan. Hal ini menjadi pertimbangan dalam melakukan pengambilan data melalui petak contoh vegetasi sehingga ukuran petak ukur terbesar yang dipilih ialah 10 m x 10 m.

Pembuatan petak contoh dilakukan berdasarkan tingkat permudaan pohon dan tumbuhan bawah yang terdapat pada wilayah jelajah kukang sumatera. Ukuran dan bentuk petak contoh (Gambar 4) yang dibuat dan digunakan, meliputi:

1. 10m x 10m untuk tingkat pohon (diameter > 10cm)

2. 5m x 5m untuk tingkat pancang (anakan dengan tinggi >1,5m atau pohon muda dengan diameter <10cm)

3. 2m x 2m untuk tingkat semai (anakan yang tingginya <1,5m) 4. 1m x 1m untuk tingkat vegetasi penutup lantai (vegetasi selain

permudaan pohon seperti herba, rumput, dan semak belukar).

Data-data yang dicatat untuk tingkat permudaan pohon adalah: jumlah individu, nama lokal, nama ilmiah, diameter setinggi dada (DBH, yaitu diameter setinggi ±130 cm dari permukaan tanah), dan tinggi pohon, sedangkan data yang dicatat untuk tumbuhan bawah, adalah nama


(43)

28

lokal, jumlah per jenis, dan habitus atau bentuk hidup. Pada penelitian ini, bambu dimasukkan dalam kategori pohon. Satu rumpun bambu dihitung sebagai satu individu pohon dengan DBH bambu diperoleh dengan mengukur DBH rumpun. Data vegetasi pada petak bersarang digunakan untuk menghasilkan indeks nilai penting (INP) dari setiap kategori dan sub kategori vegetasi.

Gambar 4. Desain transek sabuk-petak bersarang

3. Pengumpulan Data Profil Vegetasi

Pengumpulan data profil vegetasi diambil pada semua transek yang telah diletakkan plot petak bersarang. Profil vegetasi dimaksudkan untuk menggambarkan struktur vegetasi secara vertikal dengan melakukan penggambaran diagram profil dalam bentukbelt transect(transek sabuk) dengan lebar 10 meter dan panjang 40 meter. Fase pertumbuhan yang diamati adalah pancang dan pohon. Data titik awal transek yang dicatat


(44)

29

meliputi posisi geografis, ketinggian di atas permukaan laut, dan arah transek.

Data yang dikumpulkan dalam membuat diagram profil (Winarti,2003), adalah sebagai berikut:

1. Posisi pohon yang ditentukan berdasarkan koordinat (absis dan ordinat) dalam plot, untuk memproyeksikan lokasi pohon pada diagram profil,

2. Tinggi pohon dan tinggi percabangan pertama, diukur dengan

Hagameter, untuk menggambarkan kenampakan pada diagram profil, 3. Diameter setinggi dada (DBH), diukur dengan melingkarkan pita meter

pada batang setinggi 130 cm dari permukaan tanah untuk menggambarkan kenampakan pada diagram profil. 4. Penutupan tajuk pohon dari empat arah mata angin, untuk

memproyeksikan penutupan tajuk secara horizontal pada diagram profil,

5. Gap, yaitu ruang terbuka pada vegetasi baik secara vertikal (gap

antarstratum) maupun horizontal (gapyang berupa kolom). Gap

antarstratum diukur dari tajuk paling bawah dari strata atas hingga tajuk pertama strata yang berada di bawahnya. Sedangkangapkolom diukur dari tajuk terakhir yang mengawali pembentukan ruang terbuka hingga tajuk pertama yang mengakhiri ruang terbuka tersebut secara horizontal.


(45)

30

6. Stratifikasi berdasarkan empat kategori, yaitu 1) strata atas, terdiri atas vegetasi dengan tinggi > 10 m, 2) strata tengah, tinggi 5-10 m, 3) strata bawah, tinggi < 1-5 m, dan strata lantai, tinggi < 1 m.

Gambar 5. Skemagap

4. Pengumpulan Data Jenis Tumbuhan Pakan Kukang Sumatera

Pencatatan data tumbuhan jenis pakan kukang sumatera diperoleh berdasarkan pengamatan langsung (tumbuhan pakan potensial). Data tumbuhan jenis pakan yang dicatat ialah tumbuhan yang berada dalam petak contoh. Pada saat pengamatan tumbuhan yang dimakan oleh kukang sumatera dicatat jenis dan bagian yang dimakan (kulit pohon, getah, buah, dan bunga). Data yang diperoleh ditabulasikan dan dilakukan analisis vegetasi. Dalam analisis vegetasi tumbuhan pakan digunakan metode yang sama dengan analisis struktur vegetasi. Hasil analisis


(46)

31

vegetasi tersebut dianalisis secara deskriptif kuantitatif melalui Indeks Nilai Penting (INP) tumbuhan pakan kukang sumatera.

E. Analisis Data

1. Indeks Nilai Penting

Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dan dominansi relatif yang selanjutnya dihitung untuk menghasilkan indeks nilai penting atau INP. Nilai INP dihitung untuk mengetahui jenis dan tingkat tumbuhan yang memiliki pengaruh atau nilai penting bagi habitat (Kusmana, 1997).

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis

Luas Petak contoh

Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi (F) = Jumlah sub-petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh sub-petak contoh Frekuensi relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%

Frekuensi seluruh jenis Dominansi (D)= Luas bidang dasar suatu jenis

Luas petak contoh

Luas Bidang Dasar (LBD) atau Basal area = 3,14 (dbh/2)² Dominansi relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100%


(47)

32

Indeks Nilai Penting (INP)

- Untuk tingkat vegetasi lantai dan semai: INP = KR + FR - Untuk tingkat pohon dan pancang : INP = KR + FR + DR

2. Indeks Keanekaragaman Jenis

Untuk menghitung keanekaragaman jenis tumbuhan digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’)(Kusmana, 1997), dengan persamaan sebagai berikut:

H’=-Ʃ [ Pi Ln Pi ] Pi=ni/N Keterangan:

H’ =Indeks Keanekaragaman Shannon Ni = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah individu seluruh jenis

3. Indeks Dominansi suatu jenis

Menurut Kusmana (1997), untuk menghitung indeks dominansi suatu jenis digunakan persamaan sebagai berikut:

D = Pi² dan Pi = ni/N Keterangan:

D = indeks dominansi suatu jenis, Pi = peluang kepentingan tiap jenis ni/N, ni = jumlah individu untuk tiap jenis, dan N = jumlah total individu


(48)

67

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan dapat di simpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan di habitat kukang sumatera ada

50 spesies yang berasal dari 26 famili, 23 spesies termasuk kategori lantai dan 27 spesies termasuk kategori permudaan pohon.

2. Struktur vegetasi kukang sumatera di Blok Kali Jernih tersusun dari strata lantai, bawah, tengah, dan atas dimana secara keseluruhan didominasi oleh strata tengah dengan kisaran tinggi 3,5–12 m, kisaran DBH antara 10,1–245,2 cm, kisaran basal area antara 0.20–51,29 m², kisaran

penutupan kanopi antara 46,00–87,63 %, dan kerapatan antara 400-1.800 ind/ha.

3. Terdapat 8 spesies dari 8 famili yang termasuk jenis tumbuhan pakan kukang sumatera, dengan INP tertinggi adalah kopi (Coffea robusta) sebesar 178,78 % dan dadap (Erythrina variegata) sebesar 151,53 %. 4. Kukang sumatera di Blok Kali Jernih cenderung berada pada vegetasi


(49)

68

B. SARAN

Saran yang selayaknya menjadi perhatian, antara lain :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan habitat antara kukang sumatera (Nycticebus coucang) pelepasliaran YIARI dengan kukang sumatera liar di Blok Kali Jernih, dan perlu juga diamati dampak aktivitas manusia di sekitar habitat terhadap keberadaan kukang sumatera.

2. Vegetasi kebun yang termasuk habitat kukang sumatera perlu dijaga dari perubahan agar tidak mengganggu fungsinya sebagai habitat, antara lain dengan pengambilan hasil yang diupayakan tidak mengubah struktur vegetasi dan melakukan penanaman ulang.

3. Kesadaran terhadap keberadaan satwa liar yang unik dan langka perlu ditumbuhkan dengan cara melakukan penyuluhan dan sosialisasi yang tepat sehingga aparat pemerintahan desa dan penduduk dapat bersama sama melindungi kukang sumatera di areal Blok Kali Jernih.


(50)

69

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1990.Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 2002.Pengelolaan Satwa Liar. Cetakan pertama. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Alterman, L. (1995). "Toxins and toothcombs: potential allospecific chemical defenses inNycticebusandPerodicticus". In Alterman, L.; Doyle, G.A.; Izard, M.K.Creatures of the Dark: The Nocturnal Prosimians. New York, New York: Plenum Press. hlm. 413–424.

Asnawi, E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang) [skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bismark, M. 1991.Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ewusie, J. F. 1990.Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

[Dishutprov Lampung]. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013.Gambaran Umum KPHL Batutegi. Lampung.

[Dishutprov Lampung]. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006.Upaya Pengamanan dan Rehabilitasi Area Waduk Batutegi seluas 42.400 Ha. Bandar Lampung. Dishutprov Lampung.

[IUCN, TRAFIC]. 2007 The World Conservation Union, The Wildlife Trade Monitoring Network. [review teknis]. IUCN/TRAFFIC Analyses of the Proposals to Amend the CITES Appendices at the 14th Meeting of the Conference of the Parties and TRAFFIC.Switzerland: IUCN-The World Conservation Union.

Indriyanto. 2006.Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Izard, M. K. Weisenseel, K. A. & Ange, R. L. 1988. Reproduction in the slow Loris (Nycticebus coucang).Primatology16:331-339.


(51)

7

0

Kusmana, C. 1997.Metode Survey Vegetasi. IPB Press. Bogor.

Magurran, A.E. 1988.Ecological Diversity and Its Measurements. Princeton University Press. New Jersey.

Marsono, D. 1997.Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mueller-Dombois, S, & Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.

Nandini R, Kakati K, Ved N. 2009.Occurence records of the Bengal slow Loris (Nycticebus bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18 Nekaris, A. & Bearder, S. K. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan

Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor.Primates in Perspective. Oxford: Oxford University Press. hlm 24–45.

Nekaris, A. & Shekelle M. 2008.Nycticebus javanicus. Di dalam: IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

http://www.iucnredlist.org. [15 Desember 2013].

Nowak, R. M. 1999.Walker's Mammals of the World. 6thEdition. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Maryland.

Nursahid, R & Purnama, A. R. 2007. Perdagangan Kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia.

http://www.profauna.or.id/indo/pressrelease/perdagangankukang.Html

[20 Desember 2013].

Onrizal & Kusmana, C. 2008. Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara.Biodiversitas9(1): 25-29.

Pliosungnoen M, Gale G, Savini T. 2010. Density and microhabitat use of Bengal slow loris in primary forest and non-native plantation forest.Am J Primatol

71(12):1-10.

Primack, R. B. 1998.Biologi Konservasi.Edisi I. Diterjemahkan oleh J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rowe, N. 1996.The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonian Press. New York.

Sallampessy, A. 2002.Studi Habitat Badak (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi]. Universitas Lampung. Lampung.


(52)

7

1

Schulze, H. 2001. Detection and Identification of Lorises and Pottos in The Wild; Information for Surveys/Estimates of Population Density.

http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html. [4 Januari 2014]. Soegianto, A. 1994.Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan

Komunitas. Penerbit Usaha Nasional. Jakarta.

Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1998.Ekologi Hutan Indonesia. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Supriatna, J. 2000.Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Tenaza, R. 1987. The Status of Primates and Their Habitats in The Pagai Islands, Indonesia.Primates Conservation(8): 104-110.

Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

[WCS-IP]. Wildlife Conservation Society Indonesia Program. 2000.Siamang Lestari. Wildlife Conservation Society Indonesia Program. Jakarta.

Wiens, F. 2002. Behavior and Ecology of Wild Slow Loris (Nycticebus coucang): Social Organization. Infant Care System, and Diet. [Dissertation]. Faculty of Biology, Chemistry and Geoscienses, Bayreuth University. Bayreuth. Wiens, F. & Zitzmann, A. 2003. Social dependence of infant slow lorises to learn

diet.Int J Primatol(24)5:1007-1021.

Winarti, I. 2003. Distribusi dan Struktur Vegetasi Habitat Kukang (Nycticebus coucangBoddaert, 1785) di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang, Jawa Barat. [Skripsi]. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Winarti, I. 2011.Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa I Talun

Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat.[Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wirdateti, W. R Farida & H. Dahrudin. 2001. Uji Palatabilitas pakan pada kukang (Nycticebus coucang) di penangkaran.Jurnal Fauna Tropika. 28: 1-7.

Kurniati, H. 2010. Ekologi dan Sebaran Amfibia dan Primata Kukang Pada Lahan Terdegradasi. Laporan Akhir Program Intensif Peneliti dan Perekayasa LIPI 2010. LIPI. Bogor.

[Yayasan IAR]. Yayasan International Animal Rescue. 2010.The Slow Loris in Indonesia: The Rise in Illegal Wildlife Trade. [Proceedings].Yayasan IAR


(53)

7

2


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan dapat di simpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan di habitat kukang sumatera ada

50 spesies yang berasal dari 26 famili, 23 spesies termasuk kategori lantai dan 27 spesies termasuk kategori permudaan pohon.

2. Struktur vegetasi kukang sumatera di Blok Kali Jernih tersusun dari strata lantai, bawah, tengah, dan atas dimana secara keseluruhan didominasi oleh strata tengah dengan kisaran tinggi 3,5–12 m, kisaran DBH antara 10,1–245,2 cm, kisaran basal area antara 0.20–51,29 m², kisaran

penutupan kanopi antara 46,00–87,63 %, dan kerapatan antara 400-1.800 ind/ha.

3. Terdapat 8 spesies dari 8 famili yang termasuk jenis tumbuhan pakan kukang sumatera, dengan INP tertinggi adalah kopi (Coffea robusta) sebesar 178,78 % dan dadap (Erythrina variegata) sebesar 151,53 %. 4. Kukang sumatera di Blok Kali Jernih cenderung berada pada vegetasi


(2)

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan habitat antara kukang sumatera (Nycticebus coucang) pelepasliaran YIARI dengan kukang sumatera liar di Blok Kali Jernih, dan perlu juga diamati dampak aktivitas manusia di sekitar habitat terhadap keberadaan kukang sumatera.

2. Vegetasi kebun yang termasuk habitat kukang sumatera perlu dijaga dari perubahan agar tidak mengganggu fungsinya sebagai habitat, antara lain dengan pengambilan hasil yang diupayakan tidak mengubah struktur vegetasi dan melakukan penanaman ulang.

3. Kesadaran terhadap keberadaan satwa liar yang unik dan langka perlu ditumbuhkan dengan cara melakukan penyuluhan dan sosialisasi yang tepat sehingga aparat pemerintahan desa dan penduduk dapat bersama sama melindungi kukang sumatera di areal Blok Kali Jernih.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1990.Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Alikodra, H. S. 2002.Pengelolaan Satwa Liar. Cetakan pertama. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Alterman, L. (1995). "Toxins and toothcombs: potential allospecific chemical defenses inNycticebusandPerodicticus". In Alterman, L.; Doyle, G.A.; Izard, M.K.Creatures of the Dark: The Nocturnal Prosimians. New York, New York: Plenum Press. hlm. 413–424.

Asnawi, E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang) [skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bismark, M. 1991.Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ewusie, J. F. 1990.Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

[Dishutprov Lampung]. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013.Gambaran Umum KPHL Batutegi. Lampung.

[Dishutprov Lampung]. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006.Upaya Pengamanan dan Rehabilitasi Area Waduk Batutegi seluas 42.400 Ha. Bandar Lampung. Dishutprov Lampung.

[IUCN, TRAFIC]. 2007 The World Conservation Union, The Wildlife Trade Monitoring Network. [review teknis]. IUCN/TRAFFIC Analyses of the Proposals to Amend the CITES Appendices at the 14th Meeting of the Conference of the Parties and TRAFFIC.Switzerland: IUCN-The World Conservation Union.

Indriyanto. 2006.Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Izard, M. K. Weisenseel, K. A. & Ange, R. L. 1988. Reproduction in the slow Loris (Nycticebus coucang).Primatology16:331-339.


(4)

Marsono, D. 1997.Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mueller-Dombois, S, & Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.

Nandini R, Kakati K, Ved N. 2009.Occurence records of the Bengal slow Loris (Nycticebus bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18 Nekaris, A. & Bearder, S. K. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan

Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor.Primates in Perspective. Oxford: Oxford University Press. hlm 24–45.

Nekaris, A. & Shekelle M. 2008.Nycticebus javanicus. Di dalam: IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.

http://www.iucnredlist.org. [15 Desember 2013].

Nowak, R. M. 1999.Walker's Mammals of the World. 6thEdition. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Maryland.

Nursahid, R & Purnama, A. R. 2007. Perdagangan Kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia.

http://www.profauna.or.id/indo/pressrelease/perdagangankukang.Html [20 Desember 2013].

Onrizal & Kusmana, C. 2008. Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara.Biodiversitas9(1): 25-29.

Pliosungnoen M, Gale G, Savini T. 2010. Density and microhabitat use of Bengal slow loris in primary forest and non-native plantation forest.Am J Primatol 71(12):1-10.

Primack, R. B. 1998.Biologi Konservasi.Edisi I. Diterjemahkan oleh J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rowe, N. 1996.The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonian Press. New York.

Sallampessy, A. 2002.Studi Habitat Badak (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi]. Universitas Lampung. Lampung.


(5)

Schulze, H. 2001. Detection and Identification of Lorises and Pottos in The Wild; Information for Surveys/Estimates of Population Density.

http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html. [4 Januari 2014]. Soegianto, A. 1994.Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan

Komunitas. Penerbit Usaha Nasional. Jakarta.

Soerianegara, I. & A. Indrawan. 1998.Ekologi Hutan Indonesia. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Supriatna, J. 2000.Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Tenaza, R. 1987. The Status of Primates and Their Habitats in The Pagai Islands, Indonesia.Primates Conservation(8): 104-110.

Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

[WCS-IP]. Wildlife Conservation Society Indonesia Program. 2000.Siamang Lestari. Wildlife Conservation Society Indonesia Program. Jakarta.

Wiens, F. 2002. Behavior and Ecology of Wild Slow Loris (Nycticebus coucang): Social Organization. Infant Care System, and Diet. [Dissertation]. Faculty of Biology, Chemistry and Geoscienses, Bayreuth University. Bayreuth. Wiens, F. & Zitzmann, A. 2003. Social dependence of infant slow lorises to learn

diet.Int J Primatol(24)5:1007-1021.

Winarti, I. 2003. Distribusi dan Struktur Vegetasi Habitat Kukang (Nycticebus coucangBoddaert, 1785) di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang, Jawa Barat. [Skripsi]. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Winarti, I. 2011.Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa I Talun

Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat.[Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wirdateti, W. R Farida & H. Dahrudin. 2001. Uji Palatabilitas pakan pada kukang (Nycticebus coucang) di penangkaran.Jurnal Fauna Tropika. 28: 1-7.

Kurniati, H. 2010. Ekologi dan Sebaran Amfibia dan Primata Kukang Pada Lahan Terdegradasi. Laporan Akhir Program Intensif Peneliti dan Perekayasa LIPI 2010. LIPI. Bogor.

[Yayasan IAR]. Yayasan International Animal Rescue. 2010.The Slow Loris in Indonesia: The Rise in Illegal Wildlife Trade. [Proceedings].Yayasan IAR


(6)