STUDI POPULASI KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK RILAU

(1)

STUDI POPULASI KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK RILAU

Oleh

MUHAMMAD RIANZAR

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

STUDI POPULASI KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK RILAU

Oleh

Muhammad Rianzar1), Bainah Sari Dewi2), Indah Winarti3) 1)

Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Universitas Lampung 2)

Dosen Jurusan Kehutanan, Universitas Lampung 3)

Yayasan International Animal Rescue Indonesia

Kukang (Nycticebus sp.) adalah salah satu satwa liar yang termasuk golongan primata primitif nocturnal, arboreal, soliter, dan monogami yang tersebar di seluruh Asia. Indonesia menjadi habitat tiga spesies kukang yaitu kukang Sumatera (Nycticebus coucang), kukang Kalimantan (Nycticebus menagensis), dan kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Kukang di Indonesia berada dalam ancaman besar karena rusak dan hilangnya habitat serta perdagangan ilegal. Minimnya data kondisi terkini kukang di alam turut menyulitkan upaya konservasinya. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah punahnya spesies ini salah satunya dengan pelepasliaran di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau.

Penelitian telah dilakukan di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 Kabupaten Tanggamus pada Bulan Mei 2013. Metode yang digunakan untuk menentukan populasi kukang Sumatera adalah transek jalur di dua titik dengan tujuh kali pengulangan.

Hasil penelitian menunjukkan populasi kukang Sumatera di lokasi penelitian pada bulan Mei 2013 sebanyak 7 ekor, terdiri dari 6 ekor kukang Sumatera dewasa dan 1 ekor anakan (juvenile), dengan kepadatan populasi 0.17 individu/km2. Tumbuhan pakan dan tempat mencari serangga Kukang Sumatera di Lokasi penelitian yaitu terap (Artocarpus elasticus), arei (Fragaria vesca), arei cakar elang (Rubus reflexus), meranti tembaga (Shorea leprosula), dan pasang (Quercus sundaica).


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ... i

DAFTAR TABEL ... ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Taksonomi ... 6

B. Kelas Umur Kukang ... 8

C. Perilaku Kukang ... 9

D. Habitat dan Sumber Pakan ... 10

E. Vegetasi Pakan ... 11

F. Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur ... 12


(6)

ii

III. METODE PENELITIAN ... 14

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 14

B. Alat dan Objek Penelitian ... 15

C. Batasan Penelitian ... 15

D. Jenis Data ... 16

E. Metode Pengambilan Data ... 16

F. Analisis Data ... 17

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI ... 20

A. Letak dan Luas Wilayah ... 20

B. Fungsi Kawasan Hutan ... 21

C. Pemanfaatan Kawasan Hutan ... 21

D. Pembagian Wilayah Pengelolaan ... 22

E. Program HKm ... 22

F. Komoditi Unggulan ... 22

G. Rencana Pengelolaan ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. Populasi Kukang Sumatera ... 24

B. Kepadatan Populasi Kukang Sumatera ... 27

C. Sebaran Kukang Sumatera ... 31

IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 33

A. Kesimpulan ... 33

B. Saran ... 34 DAFTAR PUSTAKA


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (Departemen Kehutanan, Undang – undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Menurut Alikodra (1990) satwa liar dapat diartikan binatang yang hidup liar di alam bebas tanpa campur tangan manusia. Dalam ekosistem alam, satwa liar memiliki peranan yang sangat banyak dan penting, salah satunya adalah untuk melestarikan hutan.

Kukang adalah salah satu satwa liar yang termasuk golongan primata primitif nocturnal, arboreal, soliter, dan monogami yang tersebar di seluruh Asia (Nekaris; Geofroy, 2008). Kukang termasuk ke dalam genus Nycticebus dan memiliki lima spesies yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis, dan N. javanicus (Schulze; Groves, 2004; Nekaris; Nijman, 2007; Nekaris et al, 2008). Indonesia menjadi habitat tiga dari lima spesies kukang yang ada, yaitu kukang Sumatera (Nycticebus coucang), kukang Kalimantan (Nycticebus menagensis), dan kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Habitat dari


(8)

2 ketiga spesies kukang di Indonesia tersebut tersebar di Kalimantan, Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya, serta di Pulau Jawa.

Data populasi kukang yang ada di Indonesia masih sangat sedikit. Pada tahun 2007 CITES menyebutkan data sebaran habitat dan populasi kukang di Indonesia tahun 1986 adalah sekitar 1,14 juta individu (MacKinnon; MacKinnon, 1987; IUCN; TRAFFIC, 2007). Jumlah ini merupakan estimasi populasi dari habitat yang ada. MacKinnon (1987) memperkirakan hanya 14% dari estimasi habitat tersebut yang berada di kawasan lindung. Satwa liar dilindungi yang hidup di luar kawasan lindung lebih terancam kepunahan daripada mereka yang hidup di kawasan lindung.

Kukang pada tahun 2007 dikategorikan ke dalam Apendiks I oleh CITES. Di Indonesia kukang merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang No.5 tahun 1990 dan PP No. 7 tahun 1999, namun hanya kukang Sumatera yang disebutkan karena belum ada revisi taksonomi untuk peraturan tersebut (MacKinnon; MacKinnon, 1987; IUCN; TRAFFIC, 2007b).

Kukang di Indonesia berada dalam ancaman besar karena rusak dan hilangnya habitat serta perdagangan illegal (ProFauna Indonesia, 2007). Minimnya data kondisi terkini kukang di alam turut menyulitkan upaya konservasinya. Hal ini ditambah kenyataan bahwa kukang merupakan satwa primata ke dua yang paling diminati sebagai satwa peliharaan di sepuluh kota di Jawa-Bali (Malone, Purnama, Wedana, 2002) dan di Medan selama kurun waktu 1997-2008 (Mittermeier, 2009). Kompilasi data perdagangan satwa liar dilindungi di


(9)

3 Indonesia menunjukkan sekurangnya 2.290 ekor kukang diperdagangkan di pasar hewan (Napier; Napier, 1985).

Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah hilangnya habitat dan meminimalisir perdagangan ilegal serta punahnya spesies ini. Untuk itu Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) mengadakan seminar kukang yang bekerjasama dengan Himasylva pada bulan Maret 2012 di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung. Selain membahas ancaman kepunahan spesies kukang Sumatera khususnya di Provinsi Lampung, seminar ini juga menjelaskan akan diadakannya pelepasliaran kukang di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Kabupaten Tanggamus pada bulan April 2012 sebagai upaya penyelamatan satwa ini dari kepunahan.

Pelepasliaran kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau sudah dua kali dilakukan yaitu pada bulan April 2012 sebanyak 5 ekor dan awal tahun 2013 sebanyak 1 ekor. Kukang pelepasliaran YIARI pada bulan April 2012 ini dilaporkan 2 ekor dari 5 ekor yang dilepaskan mati karena di mangsa oleh ular piton (Phyton reticulatus), sehingga sangat penting diteliti guna mengetahui populasi dan bagaimana kepadatan populasinya setelah pelepasliaran. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi instansi terkait baik pemerintah maupun swasta untuk menentukan upaya konservasi yang cocok digunakan agar kukang Sumatera di daerah ini tetap terjaga kelestarian habitat dan populasinya.


(10)

4 B. Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui :

1. Populasi kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau, 2. Kepadatan populasi kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi

Blok Rilau,

3. Tumbuhan pakan kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat diketahui populasi, kepadatan populasi, dan tumbuhan pakan kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau.

D. Kerangka Pemikiran

Satwa liar adalah binatang yang hidup liar di alam bebas tanpa campur tangan manusia (Alikodra,1990). Kukang Sumatera adalah salah satu satwa liar yang populasinya terus menurun karena adanya tekanan terhadap habitat dan populasi. Tekanan tersebut terjadi karena semakin rusaknya habitat dan maraknya perburuan yang mengakibatkan spesies ini semakin terancam punah. Pelepasliaran kukang Sumatera adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah punahnya spesies ini. Pelepasliaran di lakukan di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan data populasi kukang Sumatera setelah pelepasliaran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam upaya pelestarian kukang Sumatera (Gambar 1).


(11)

5 Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Tekanan Terhadap Habitat Tekanan Terhadap Populasi

Populasi Kukang Sumatera Menurun

Perlu Informasi Populasi Kukang Sumatera Setelah Pelepasliaran di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau

Analisis Populasi Kukang Sumatera

Rekomendasi Upaya Pelestarian Kukang Satwa Liar

Kukang Sumatera

Pelepasliaran Kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau

Penelitian

Transek Jalur


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi

Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris; Jaffe 2007). Kukang dikenal juga dengan sebutan pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari (nokturnal).

Populasi kukang di alam saat ini diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh perusakan habitat dan penangkapan yang terus berlangsung tanpa memperdulikan umur dan jenis kelamin (Nekaris; Jaffe 2007). Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Kukang tergolong satwa pemakan segala. Seperti halnya dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan dan dedaunan. Namun kukang di habitat alami, juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier; Napier, 1967).

Kukang adalah jenis primata dari sub ordo Strepsirrhini, dengan nama latin Nycticebus yang berarti ‘kera malam’ (Navier; Navier,1985; Navarro; Montes, 2008). Memiliki cara berjalan yang lambat serta ciri khas pada bentuk wajah,


(13)

7 garis sepanjang punggung (strip) dan sepasang mata yang besar dan bulat sebagai adaptasi kehidupan malam (nokturnal) (Roos, 2003). Primata kecil ini berukuran antara 259 sampai 380 mm, dengan berat badan mencapai 2 kg. Masa hidup kukang bisa mencapai 20 tahun (Wirdateti; Suparno, 2006). Makanan utamanya jenis serangga, telur burung, serta anakan burung dan buah-buahan. Mereka juga mengkonsumsi beberapa bagian pohon serta nektar (Pambudi, 2008).

Kukang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena berfungsi sebagai kontrol populasi serangga (Nandini, Kakati, Ved, 2009). Gigi kukang yang tajam memiliki racun yang sangat efektif untuk membunuh mangsanya (Swapna, 2008). Sama halnya dengan primata lainnya permasalahan yang dihadapi oleh kukang adalah hilangnya habitat karena tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi, degradasi dan fragmentasi) termasuk akibat pembalakan hutan dan juga faktor lain yaitu perburuan untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan, dan pada sebagian masyarakat, kukang juga dijadikan media/bahan untuk kepentingan klenik (Wiens, 2002).

Klasifikasi kukang Sumatera (Nyctecebus coucang) berdasarkan Napier; Napier (1985) dan Rowe (1996) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Sub Kelas : Eutheria Ordo : Primata


(14)

8 Infra Ordo : Lemuriformes

Super Famili : Loroidea Famili : Loridae

Genus : Nycticebus

Spesies : Nycticebus coucang Nama lokal : Kukang

B. Kelas Umur Kukang

Pembagian kelas umur kukang menurut Setchell dan Curtis (2003) serta Zhang (1994) adalah neonate, infant, juvenil, pradewasa, dewasa,dan senile (tua).

1. Neonate : baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu.

2. Infant : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun ditinggalkan sementara.

3. Juvenile : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama induk tetapi sudah bergerak sendiri.

4. Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya.

5. Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi permanen sudah komplit.

6. Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut muka, pigmentasi kulit, perilakunya menunjukkan tanda-tanda penurunan daya penglihatan, katarak, kurus, rambut yang tipis, kehilangan gigi, dan lain-lain.


(15)

9 C. Perilaku Kukang

1. Aktivitas Harian

Kukang pernah teramati melakukan aktivitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktivitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens, 2002). Infant kukang teramati mulai aktif bergerak pada 0-53 menit setelah matahari terbenam.

Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens, 2002; Wiens; Zitzmann, 2003a; Napier; Napier, 1985; Rowe, 1996). Sekitar 93,3+5,4% waktu N. coucang dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% diantaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens, 2002). Berdasarkan penelitian N. coucang di kandang, 90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktifitas makan (Glassman; Wells, 1984).

2. Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial

Kukang membentuk kelompok spasial yang masih mempunyai hubungan keluarga, terdiri dari satu jantan, satu betina, serta hingga tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens, 2002). Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi N. coucang dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik individu lain), alternate click calls (suara cericit atau klik-klik yang tajam dan jelas baik rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain dengan jarak tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk nafas mendengus secara berulang) dan contact sleep


(16)

10 (tidur dengan berdampingan atau memeluk pinggang induk), serta ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh induk), juga suckle (aktivitas menyusui) (Wiens, 2002).

Interaksi sosial kukang berkisar antara 0-7,7% (Wiens, 2002). Sedangkan aktivitas menyelisik individu lain dilakukan oleh kukang tidak lebih dari 6,7% dari masa aktifnya. Infant N. coucang lebih banyak menghabiskan waktunya guna berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40,8%) dapat dilhat dengan perbandingan aktivitas lainnya (26,5% berjalan, 6,1% siaga, 4,2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2% bergerak berpindah dengan cepat, dan 12,3% interaksi sosial termasuk click calling) (Wiens, 2002).

3. Infant Parking

Infant parking merupakan perilaku meninggalkan infant saat induk pergi mencari makan (Napier; Napier, 1967; Nekaris; Bearder, 2007). Di penangkaran Infant parking pada kukang teramati pada hari ke dua setelah lahir (Zimmermann, 1989). Wiens (2002) dua kali mengamati Indikasi infant parking di alam saat menjumpai infant, masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119 g, sendirian di semak dan pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian infant yang teramati dari permukaan tanah adalah 2,2 m di semak dan 3,5 m di pohon. Semak dan pohon tersebut merupakan vegetasi untuk tidur pada siang hari.

D. Habitat dan Sumber Pakan

Odum mendefinisikan habitat merupakan tempat organisme tinggal dan hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukannya. Famili Lorisidae


(17)

11 memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris; Bearder, 2007). Kukang menyuka habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe, 1996; Nekaris; Shekelle, 2007). Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian ini terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi (MacKinnon; MacKinnon, 1987). Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas suatu satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Prowildlife, 2007).

E. Vegetasi Pakan

Pakan kukang secara umum adalah berupa tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan hewan). Sedangkan kukang Sumatera lebih menyukai getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) dan arthopoda (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). kukang Sumatera di Kabupaten Manjung Malaysia Barat menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakan (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). Infant kukang Sumatera memakan sumber pakan tumbuhan pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens; Zitzmann, 2003b).


(18)

12 F. Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur

Dahan, ranting, pelepah palem, ataupun liana yang memungkinkan mereka bersembunyi dengan aman biasanya dipilih sebagai tempat tidur oleh kukang. Selain bagian vegetasi tersebut kukang tidak pernah menggunakan lubang pohon atau tempat tidur lainnya (Wiens, 2002).

Kukang Sumatera di Manjung Malaysia Barat memilih tmpat tidurnya 73,7% pohon; 19,2% palem-paleman; 5,9% semak; 1,2% liana dengan tinggi di atas permukaan tanah 1,8-35 m. Setiap sepuluh hari N. coucang yang diamati Wiens (2002) menggunakan 7,4 vegetasi tidur yang berbeda. Vegetasi tidur yang digunakan kukang di Indonesia adalah jenis pohon dan epifit (Streicher, 2004). Posisi tidur kukang dari atas permukaan tanah berkisar 10-30 m.

G. Status Konservasi Kukang Sumatera

Tahun 1931 satwa liar di Indonesia dilindungi dengan Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar. Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14 Februari 1973, no. 66/Kpts/Um/2/1973, diperkuat oleh Peraturan Perundang-undangan no. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dan kukang termasuk dalam undang-undang tersebut. Namun kukang yang disebutkan dalam peraturan tersebut adalah Nycticebus coucang. Mengingat pembuatan aturan hukum dilakukan ketika belum adanya pemisahan spesies kukang menjadi lima, maka perlindungan tersebut ditujukan terhadap seluruh jenis kukang di Indonesia. Dari 25 satwa primata yang paling terancam punah


(19)

13 selama kurun waktu 2008-2010 ternyata kukang Sumatera termasuk di dalamnya (Mittermeier et al. 2009). Konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora dan Fauna) XIV di Den Haag Belanda pada tanggal 3-15 Juni 2007 menetapkan status kukang Sumatera dari Apendiks II menjadi Apendiks I (UNEP-WCMC, 2007). Kategori Apendiks I menguatkan perlindungan kukang, karena kukang Sumatera diakui sebagai satwa terancam punah dan perdagangan Internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan sama sekali. Menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources) (Nekaris; Shekelle, 2007) status Kukang Sumatera berubah menjadi semakin terancam, dan pada tahun 2008 berubah menjadi endangered atau hampir punah.


(20)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 Kabupaten Tanggamus pada Bulan Mei 2013 (Gambar 2).

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2010).


(21)

15 B. Alat dan Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah kukang Sumatera di habitat alami yang berada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19. Alat yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Kamera digital merk Sony dengan resolusi 14.2 mega pixels untuk mengambil gambar sebagai dokumentasi,

2. Jam tangan digital sebagai penunjuk waktu, 3. Alat tulis untuk membantu pengumpulan data,

4. Global Positioning System (GPS) merk Garmin 76CSx untuk mencatat koordinat perjumpaan kukang Sumatera,

5. Komputer untuk pengolahan data,

6. Headlamp dan senter untuk penerangan dalam mencari kukang Sumatera pada malam hari,

7. Tabel pengamatan perjumpaan kukang Sumatera dengan metode transek jalur.

C. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei 2013 di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 yang menjadi lokasi pelepasliaran kukang Sumatera oleh YIARI.

2. Data populasi yang dicatat yaitu jumlah individu yang terlihat saat pengamatan menggunakan metode transek jalur pada saat dini hari pukul 00.00-06.00 WIB dan malam hari pukul 18.00-00.00 WIB dengan tujuh kali pengulangan di masing-masing waktu.


(22)

16 3. Pengambilan data tidak dilakukan saat hujan, dan digantikan hari lain, dengan

waktu pengamatan yang sama dan kondisi cuaca yang cerah.

D. Jenis Data 1. Data Primer

Data primer yang digunakan pada penelitian yaitu jumlah populasi kukang Sumatera, lokasi ditemukan, dan tumbuhan pakan kukang Sumatera.

2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari hasil studi literatur dan instansi terkait. Berupa kondisi umum lokasi penelitian, peta lokasi penelitian, serta data pendukung lainnya yang sesuai dengan topik penelitian.

E. Metode Pengambilan Data 1. Survey Pendahuluan

Survey pendahuluan dilakukan untuk mengetahui keadaan di lapangan dan mengetahui lokasi pengamatan tersebut. Survey ini dilakukan untuk memastikan bahwa lokasi tersebut terdapat spesies kukang. Selain itu juga dilakukan studi literatur untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian.

2. Pengumpulan Data Populasi dan Kepadatan Kukang Sumatera di Lapangan Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan pengamatan langsung menggunakan metode transek jalur dengan tujuh kali pengulangan dini hari dan tujuh kali pengulangan malam hari untuk mendapatkan data populasi dan persebarannya. Lokasi transek jalur berada di depan dan di belakang camp YIARI


(23)

17 dengan panjang masing-masing 8.5 km dan 4.8 km dengan lebar jalur pengamatan sebelah kanan dan sebelah kiri masing-masing 10 m.

Gambar 3. Peta yang menggambarkan transek jalur pengamatan.

3. Pangambilan Data Tumbuhan Pakan Kukang Sumatera di Lapangan

Data tumbuhan pakan diperoleh melalui komunikasi personal (wawancara) dengan petugas YIARI yang mendampingi. Data ini diperoleh ketika dilakukan


(24)

18 pengamatan populasi kukang Sumatera melalui transek garis dan menemukan tumbuhan yang menjadi pakan kukang dari pengamatan petugas YIARI selama dilapangan maka tumbuhan tersebut akan dimasukkan sebagai data tumbuhan pakan kukang sumatera.

F. Analisis Data

1. Populasi dan Kepadatan

Populasi kukang Sumatera didapatkan dengan penjumlahan populasi terbanyak yang ditemukan pada lokasi transek depan dan belakang camp YIARI. Perhitungan kepadatan populasi kukang pada pengamatan malam dan dini hari dengan metode transek garis dilakukan menggunakan rumus:

Kepadatan Populasi (individu/km2)

Kepadatan populasi yang diperoleh pada lokasi transek depan camp dan belakang camp dihitung untuk memperoleh data kepadatan populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19.

2. Sebaran

Data perjumpaan kukang Sumatera pada GPS dipetakan dengan menggunakan program komputer ArcGis 9 untuk mendapatkan gambar peta lokasi ditemukannya kukang Sumatera.

3. Analisis Deskriptif

Data populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau ditabulasikan yang selanjutnya dijelaskan secara deskriptif sehingga diperoleh


(25)

19 informasi dan gambaran populasi serta persebarannya.

4. Tumbuhan Pakan

Data tumbuhan pakan kukang Sumatera yang diperoleh di tampilkan dengan menghitung persentase jenis pakan dengan rumus :

Persentase Pakan % x 100 % Kemudian hasilnya ditampilkan kedalam diagram pie.


(26)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas Wilayah

Letak geografis KPH Batutegi adalah 104°27’ - 104°55’ BT dan 05°48’ - 5°22’ LS. Secara administrasif KPH Batutegi, berada di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, Lampung Tengah dan Kabupaten Pringsewu (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).

KPH Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung Register 39 Kota Agung Utara, sebagian kawasan Hutan Lindung Register 22 Way Waya dan sebagian Kawasan Hutan lindung Register 32 Bukit Ridingan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013). Luas areal kelola KPH Batutegi berdasarkan SK Menhut Nomor: SK.68/Menhut-II/2010 tanggal 28 januari 2010 adalah 58.174 Ha.

Luas lokasi penelitian yang berada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 adalah 268,3 ha. Petak 19 adalah bagian dari tiga blok inti yang ada di Hutan Lindung Batutegi. Pada blok inti ini tidak diperbolehkan pemanfaatan.


(27)

21 B. Fungsi Kawasan Hutan

Areal KPH Batutegi merupakan 100 % Hutan Lindung yang terdapat di Kabupaten Tanggamus. Areal kelola KPH Batutegi juga merupakan salah satu DAS prioritas di Provinsi Lampung, karena fungsinya sebagai area tangkapan air bendungan Batutegi yang menjadi sumber air bagi irigasi yang mengairi sawah-sawah di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Metro dan beberapa kabupaten lain seluas + 66.533 hektar, sebagai pembangkit tenaga Listrik dengan kapasitas 28 MW, dan sebagai sumber air baku sebanyak 2.250 liter/detik (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).

C. Pemanfaatan Kawasan Hutan

Areal KPH Batutegi digarap oleh masyarakat, 20 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKm) dengan luas + 35.000 Hektar dan jumlah anggota > 5.000 orang) yang berada di sekitar areal KPH tersebut. Sedangkan, + 10.000 hektar dari areal tersebut merupakan kawasan lindung sebagai lokasi pelepasliaran satwa tertentu. Pada lokasi tersebut Terinventarisir terdapat sedikitnya 15 jenis mamalia besar diantaranya siamang, Simpai (Presbitis melalophos), babi hutan, rusa, jejak harimau Sumatra, jejak dan feses beruang madu dan sedikitnya terdapat 46 jenis burung antara lain elang dan rangkong. Jenis tumbuhan yang umum dijumpai untuk tingkatan pohon yaitu bendo, pasang, durian hutan, Shorea sp, Eughenia sp, Dracontolemon sp, Nephelium sp, Ficus sp, dll (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).


(28)

22 D. Pembagian Wilayah Pengelolaan

KPH Batutegi dibagi menjadi 6 resort yaitu Resort Banjaran, Resort Batulima, Resort Datar Setuju, Resort Ulu Semung, Resort Way Sekampung, dan Resort Way Waya. Blok Rilau sendiri termasuk ke dalam Resort Way Sekampung (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).

E. Program HKm

Program HKm yang terdapat di KPH Batutegi terdiri dari beberapa gapoktan, diantaranya: Register 32 sebanyak 5 gapoktan, Register 39 sebanyak 11 gapoktan dan Register 22 sebanyak 4 gapoktan. 10 gapoktan telah mendapatkan ijin pengelolaan HKm 2007 – 2010, 4 sedang dalam tahap fasilitasi dan 6 sudah diusulkan untuk mendapatkan areal penetapan (telah diverifikasi Pusat (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).

F. Komoditi Unggulan

Saat ini yang diusahakan petani merupakan komoditi unggulan dari wilayah KPH Batutegi ini. Komoditi unggulan yang diusahakan oleh masyarakat sekitar areal KPH Batutegi antara lain : kopi, lada, coklat, pala, kemiri, durian (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).

G. Rencana Pengelolaan

Visi KPHL Batutegi “Terwujudnya KPH Batutegi yang Mandiri berbasis Partisipasi Masyarakat Tahun 2022. Sedangkan Misi KPHL Batutegi adalah:


(29)

23 1. Pemantapan dan optimalisasi pengelolaan kawasan KPHL Batutegi, serta

penegakan hukum bidang kehutanan

2. Rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan fungsi lindung

3. Pengembangan dan peningkatan SDM pengelola KPHL Batutegi

4. Penguatan kelembagaan dan peningkatan peran Gapoktan (Gabungan Kelompok Petani Hutan) dalam penggarapan lahan hutan

5. Percepatan dan optimalisasi pemanfaatan, serta pengembangan pengusahaan hasil hutan bukan kayu

6. Pengembangan blok inti untuk konservasi satwa dan wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.650/Menhut-II/2010 (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).


(30)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau adalah 7 ekor.

2. Kepadatan populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau yaitu 0.17 individu/ km2.

3. Tumbuhan pakan kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 yaitu arei (Fragaria vesca), arei cakar elang (Rubus reflexus), meranti tembaga (Shorea leprosula), dan pasang (Quercus sundaica) serta tumbuhan tempat mencari serangga kukang Sumatera yaitu terap (Artocarpus elasticus) dan pasang.


(31)

34 B. Saran

Saran yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai kesesuaian habitat alami kukang Sumatera dan anti predator kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau.

2. Perlu adanya kerjasama bagi pihak terkait pengelolaan konservasi kukang Sumtera yang baik agar upaya pelestariannya dapat lebih maksimal.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Dirjen Dikti dan PAU IPB. Bogor.Fahrul. 2007.

Departemen Kehutanan RI. 1990. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar. http://www.dephut.go.id. 24 Maret 2013. Pkl. 20.03 WIB.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2010. Peta KPHL Batutegi. Lampung. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013. Gambaran Umum KPHL

Batutegi. Lampung.

Glassman DM, Wells JP. 1984. Positional and activity behavior in a captive slow loris: a quantitative assessment. Am J Primatol 7:121-132. IUCN, TRAFIC. 2007a. The World Conservation Union, The Wildlife Trade

Monitoring Network. [review teknis].

IUCN/TRAFFIC. 2007b. Analyses of the Proposals to Amend the CITES Appendices at the 14th Meeting of the Conference of the Parties and TRAFFIC. Switzerland: IUCN-The World Conservation Union. http://www.iucn.org/themes/ssc/our_work/wildlife_ trade/citescop14/cop14analyses.htm.

Kusmana. 1997. Mamalia Indonesia Inventarisasi Satwa. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Dept. Kehutanan.

MacKinnon J, MacKinnon K. 1987. Conservation status of primates in Malesia, with special reference to Indonesia. Primate Conservation 8:175-183.

Malone N, Purnama AR, Wedana M. 2002. Assessment of the sale of primates at Indonesian bird markets. Asian Primates 8:7–11. Mittermeier. 2009. Primates in Peril: The World’s 25 Most

Endangered Primates 2008–2010. http://www.primate-sg.or. Bogota: Panamericana Formas e Impresos SA.

Nandini R, Kakati K, Ved N. 2009. Occurence records of the Bengal slow Loris (Nycticebus bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18

Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. New York: Academic Press.


(33)

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.

Navarro-Montes A. 2008. Trade in Nycticebus past and present: an

assessment of Southeast Asian markets and internet websites. Canopy 7(1):10-12.

Nedi dan Ajo. 2013. Personal commcation. Kawasan Pelestarian Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19. Lampung.

Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A,

Nekaris KAI, Jaffe S. 2007. Unexpected diversity of slow lorises

(Nycticebus spp.) within the Javan pet trade: implications for slow loris taxonomy. Zoology 76(3):187-196.

Nekaris KAI, Nijman V. 2007. CITES proposal highlights threat to Nocturnal primates Nycticebus: Lorisidae. Folia Primatol 78:211 214.

Nekaris KAI, Geofroy. 2008. Javan Slow Loris Nycticebus javanicus y. 1812. Di dalam: Mittermeier et al., editor. 2009. Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2008–2010. Bogota: Panamericana Formas e Impresos SA.

Nekaris A, Shekelle M. 2007. Nycticebus javanicus. Di dalam: IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. http://www.iucnredlist.org.

Osman-Hill WC. 1953. Primates: A Comparative Anatomy and

Taxonomy. I - Strepsirhini, Edinburgh: Edinburgh University Press. Pambudi JAA. 2008. Studi Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa

(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

ProFauna Indonesia. 2007. The Trafficking of Kukangs or Slow Lorises (Nycticebus coucang) in Indonesia (27 January 2007).

www.profauna.or.id. [4 April 2012].

Roos C. 2003. Molekulare phylogenie der halbaffen, schlankaffen und gibbons. Disertasi. München: Technische Universität München. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. New York:

Pogonian Press.

Schulze H, Groves G. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by Illegal trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press. hlm 33-36.

Setchell JM, Curtis DJ. 2003. Field dan Laboratory Methods in

Primatology A Practical Guide. United Kingdom: Cambridge University Press.


(34)

Setiawan, A., Djuwantoko., A.W. Bintari., Y.W.C. Kusuma., S. Pudyatmoko., M.A. Imron. 2007. Populasi dan Distribusi Rekrekan (Presbytis fredericae) di Lereng Selatan Gunung Selamet Jawa Tengah. In: Jurnal Biodiversitas Vol.8. Jurusan MIPA Biologi UNS Surakarta. Hal.305-308.

Setya, P. 2012. Studi Populasi dan Perilaku Harian Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus) di Situ Sangiang Resort Sangiang Taman Nasional Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Universitas Lampung.

Streicher U. 2004. Aspects of the ecology dan conservation of the pygmy Loris Nycticebus pygmaeus in Vietnam. [Dissertation]. Muenchen: Ludwig- Maximilians-Universität.

Swapna N. 2008. Assessing the feeding ecology of the Bengal slow loris (Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [Tesis]. Bangalore: National Centre for Biological Sciences.

Trihangga, A. 2007. Studi Populasi dan Penyebaran Burung Belibis (Dendrocygna javanica) di Hutan Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. [Skripsi]. Universitas Lampung.

UNEP-WCMC. 2007. UNEP-WCMC Species Database: CITES species database. http://www.unep-wcmc.org/isdb/CITES/Taxonomy/tax-speciesresult.cfm/isdb/CITES/Taxonomy/tax-speciesresult.

cfm?source=animals&displaylanguage=eng&genus=Nycticebus&s pecies=coucang. 5 April 2012.

Wiens F. 2002. Behavior dan ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social organisation, infant care system dan diet. [Disertasi]. Bayreuth: Bayreuth University.

Wiens F. Zitzmann A. 2003. Social structure of the solitary slow loris Nycticebus coucang (Lorisidae). Journal of Zoology 261:35-46 Winarti I. 2011. Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa I Talun

Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Wirdateti, Suparno, 2006. Survey Habitat dan Perdagangan Nycticebus Coucang dan Tarsius di Palembang dan Prabumulih Sumatera Selatan. [Laporan Perjalanan, tidak dipublikasikan]. Bogor: LIPI. Zhang. 1994. Mitochondrial DNA and karyotype evidence for the

Phylogeny of the genus Nycticebus. Di dalam: Thierry et al.

Current Primatology 1. Stasbourg: Université Louis Pasteur: hlm 379-385.

Zimmerman. 1989. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press. hlm 33-36.


(1)

23 1. Pemantapan dan optimalisasi pengelolaan kawasan KPHL Batutegi, serta

penegakan hukum bidang kehutanan

2. Rehabilitasi lahan kritis dan peningkatan fungsi lindung

3. Pengembangan dan peningkatan SDM pengelola KPHL Batutegi

4. Penguatan kelembagaan dan peningkatan peran Gapoktan (Gabungan Kelompok Petani Hutan) dalam penggarapan lahan hutan

5. Percepatan dan optimalisasi pemanfaatan, serta pengembangan pengusahaan hasil hutan bukan kayu

6. Pengembangan blok inti untuk konservasi satwa dan wisata alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.650/Menhut-II/2010 (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau adalah 7 ekor.

2. Kepadatan populasi kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau yaitu 0.17 individu/ km2.

3. Tumbuhan pakan kukang Sumatera yang ada di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19 yaitu arei (Fragaria vesca), arei cakar elang (Rubus reflexus), meranti tembaga (Shorea leprosula), dan pasang (Quercus sundaica) serta tumbuhan tempat mencari serangga kukang Sumatera yaitu terap (Artocarpus elasticus) dan pasang.


(3)

34 B. Saran

Saran yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai kesesuaian habitat alami kukang Sumatera dan anti predator kukang Sumatera di Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau.

2. Perlu adanya kerjasama bagi pihak terkait pengelolaan konservasi kukang Sumtera yang baik agar upaya pelestariannya dapat lebih maksimal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Dirjen Dikti dan PAU IPB. Bogor.Fahrul. 2007.

Departemen Kehutanan RI. 1990. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999

tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar.

http://www.dephut.go.id. 24 Maret 2013. Pkl. 20.03 WIB.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2010. Peta KPHL Batutegi. Lampung. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013. Gambaran Umum KPHL

Batutegi. Lampung.

Glassman DM, Wells JP. 1984. Positional and activity behavior in a captive slow loris: a quantitative assessment. Am J Primatol 7:121-132. IUCN, TRAFIC. 2007a. The World Conservation Union, The Wildlife Trade

Monitoring Network. [review teknis].

IUCN/TRAFFIC. 2007b. Analyses of the Proposals to Amend the CITES

Appendices at the 14th Meeting of the Conference of the Parties

and TRAFFIC. Switzerland: IUCN-The World Conservation

Union. http://www.iucn.org/themes/ssc/our_work/wildlife_

trade/citescop14/cop14analyses.htm.

Kusmana. 1997. Mamalia Indonesia Inventarisasi Satwa. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Dept. Kehutanan.

MacKinnon J, MacKinnon K. 1987. Conservation status of primates in Malesia, with special reference to Indonesia. Primate Conservation 8:175-183.

Malone N, Purnama AR, Wedana M. 2002. Assessment of the sale of primates at Indonesian bird markets. Asian Primates 8:7–11. Mittermeier. 2009. Primates in Peril: The World’s 25 Most

Endangered Primates 2008–2010. http://www.primate-sg.or.

Bogota: Panamericana Formas e Impresos SA.

Nandini R, Kakati K, Ved N. 2009. Occurence records of the Bengal slow Loris (Nycticebus bengalensis) in Northeastern India. Am J Primatol 1(2):12-18

Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. New York: Academic Press.


(5)

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.

Navarro-Montes A. 2008. Trade in Nycticebus past and present: an

assessment of Southeast Asian markets and internet websites. Canopy 7(1):10-12.

Nedi dan Ajo. 2013. Personal commcation. Kawasan Pelestarian Hutan Lindung Batutegi Blok Rilau Petak 19. Lampung.

Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The Lorisiform primates of Asia dan Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A,

Nekaris KAI, Jaffe S. 2007. Unexpected diversity of slow lorises

(Nycticebus spp.) within the Javan pet trade: implications for slow loris taxonomy. Zoology 76(3):187-196.

Nekaris KAI, Nijman V. 2007. CITES proposal highlights threat to Nocturnal primates Nycticebus: Lorisidae. Folia Primatol 78:211 214.

Nekaris KAI, Geofroy. 2008. Javan Slow Loris Nycticebus javanicus y. 1812. Di dalam: Mittermeier et al., editor. 2009. Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2008–2010. Bogota: Panamericana Formas e Impresos SA.

Nekaris A, Shekelle M. 2007. Nycticebus javanicus. Di dalam: IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. http://www.iucnredlist.org.

Osman-Hill WC. 1953. Primates: A Comparative Anatomy and

Taxonomy. I - Strepsirhini, Edinburgh: Edinburgh University Press. Pambudi JAA. 2008. Studi Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa

(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

ProFauna Indonesia. 2007. The Trafficking of Kukangs or Slow Lorises (Nycticebus coucang) in Indonesia (27 January 2007).

www.profauna.or.id. [4 April 2012].

Roos C. 2003. Molekulare phylogenie der halbaffen, schlankaffen und gibbons. Disertasi. München: Technische Universität München. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. New York:

Pogonian Press.

Schulze H, Groves G. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by Illegal trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press. hlm 33-36.

Setchell JM, Curtis DJ. 2003. Field dan Laboratory Methods in

Primatology A Practical Guide. United Kingdom: Cambridge University Press.


(6)

Setiawan, A., Djuwantoko., A.W. Bintari., Y.W.C. Kusuma., S. Pudyatmoko., M.A. Imron. 2007. Populasi dan Distribusi Rekrekan (Presbytis fredericae) di Lereng Selatan Gunung Selamet Jawa Tengah. In: Jurnal Biodiversitas Vol.8. Jurusan MIPA Biologi UNS Surakarta. Hal.305-308.

Setya, P. 2012. Studi Populasi dan Perilaku Harian Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus) di Situ Sangiang Resort Sangiang Taman Nasional Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Universitas Lampung.

Streicher U. 2004. Aspects of the ecology dan conservation of the pygmy Loris Nycticebus pygmaeus in Vietnam. [Dissertation]. Muenchen: Ludwig- Maximilians-Universität.

Swapna N. 2008. Assessing the feeding ecology of the Bengal slow loris (Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [Tesis]. Bangalore: National Centre for Biological Sciences.

Trihangga, A. 2007. Studi Populasi dan Penyebaran Burung Belibis (Dendrocygna javanica) di Hutan Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. [Skripsi]. Universitas Lampung.

UNEP-WCMC. 2007. UNEP-WCMC Species Database: CITES species database. http://www.unep-wcmc.org/isdb/CITES/Taxonomy/tax-speciesresult.cfm/isdb/CITES/Taxonomy/tax-speciesresult.

cfm?source=animals&displaylanguage=eng&genus=Nycticebus&s pecies=coucang. 5 April 2012.

Wiens F. 2002. Behavior dan ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social organisation, infant care system dan diet. [Disertasi]. Bayreuth: Bayreuth University.

Wiens F. Zitzmann A. 2003. Social structure of the solitary slow loris Nycticebus coucang (Lorisidae). Journal of Zoology 261:35-46 Winarti I. 2011. Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa I Talun

Tasikmalaya dan Ciamis Jawa Barat. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Wirdateti, Suparno, 2006. Survey Habitat dan Perdagangan Nycticebus Coucang dan Tarsius di Palembang dan Prabumulih Sumatera Selatan. [Laporan Perjalanan, tidak dipublikasikan]. Bogor: LIPI. Zhang. 1994. Mitochondrial DNA and karyotype evidence for the

Phylogeny of the genus Nycticebus. Di dalam: Thierry et al.

Current Primatology 1. Stasbourg: Université Louis Pasteur: hlm 379-385.

Zimmerman. 1989. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press. hlm 33-36.


Dokumen yang terkait

STUDI PERILAKU HARIAN KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) PELEPASLIARAN YAYASAN IAR INDONESIA DI KANDANG HABITUASI DAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK RILAU KABUPATEN TANGGAMUS LAMPUNG

2 19 38

ANALISIS HABITAT KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) PELEPASLIARAN YIARI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK KALI JERNIH KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

1 4 53

PERILAKU DAN DAERAH JELAJAH HARIAN KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) PELEPASLIARAN YIARI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI BLOK KALI JERNIH KABUPATEN TANGGAMUS, LAMPUNG

4 15 43

PREVALENSI PROTOZOA USUS PADA KUKANG SUMATERA (NYCTICEBUS COUCANG) DI PUSAT REHABILITASI YIARI CIAPUS, BOGOR

1 19 54

Studi banding perilaku kukang (Nycticebus coucang) di dua lokasi penangkaran

0 6 96

Sistem Pemeliharaan Kukang (Nycticebus coucang) di Dua Lokasi Penangkaran

1 9 83

Konsumsi dan Efisiensi Pakan pada Kukang (Nycticebus coucang) di Penangkaran.

0 7 62

Studi Histopatoogi KAsus Kematian Kukang (Nycticebus coucang) di Pusat Penyelamatan Satwa Cikakanga

0 4 56

STUDI PERILAKU MAKAN DAN KANDUNGAN GIZI PAKAN DROP IN KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DALAM KANDANG HABITUASI DI KPHL BATUTEGI KABUPATEN TANGGAMUS LAMPUNG Rani Indriati

0 0 13

39 PENGGUNAAN RUANG KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) PELEPASLIARAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (IARI) DI HUTAN LINDUNG KPHL BATUTEGI BLOK KALIJERNIH TANGGAMUS LAMPUNG SPACE USING OF SUMATRA SLOW LORIS (Nycticebus coucang) RELEASE BY INTERNAT

0 0 11