Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

21 h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah; j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan

pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

G. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Ditinjau dari aspek sejarah, ada yang berpendapat bahwa masyarakat lokal Indonesia belum terbiasa dengan pemerintahan yang otonom. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebelum penjajah Belanda datang 1596, wilayah RI yang luas ini merupakan kumpulan kerajaan-kerajaan mandiri, yang berbasis suku. Kekuasaan Belanda di Indonesia juga tidak secara penuh di seluruh Nusantara, dalam arti menempatkan kantor pemerintahan diseluruh Nusantara. Belanda hanya mengatur pemerintahan yang modern di Pulau Jawa, dan Madura, serta Sumatera. Itupun masih sederhana. Dengan demikian pada masa lalu Nusantara sebenarnya berada dalam sistem pemerintahan yang otonom. Otonom dalam artian sebagai bangsa sendiri, bangsa Aceh, Papua, Bugis, Maluku, Ternate, Tidore, dan sebagainya. Mereka otonom karena mereka adalah kerajaan yang berdaulat. Sejarah otonomi daerah di Indonesia, penuh dengan liku-liku yang menegangkan. UU No. 1 tahun 1945, merupakan UU pertama yang mengatur tentang pembentukan Komite Nasional Daerah, sebagai pelaksana pemerintahan daerah itupun hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura. UU No. 1 tahun 1945 ini kemudian diganti dengan UU No. 22 tahun 1948. UU ini memuat otonomi yang luas kepada daerah. Dengan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, berarti sampai saat ini telah ada tujuh UU yang mengatur pemerintahan daerah. Ketujuh UU tersebut adalah: 1. UU No.1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional daerah. 2. UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan daerah 22 3. UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 4. UU No. 18 Tahun 1966 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah. 5. UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di daerah. 6. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 7. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. UU Tentang Pemerintahan Daerah yang masa berlakunya paling lama adalah UU No. 5 Tahun 1974. Masa berlakunya berkisar 25 tahun. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang telah disinggung di atas, memang merupakan masalah yang sensitif di Indonesia. Hampir setiap pemberontakan bersenjata di daerah selalu mempersoalkan besarnya hegemoni pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Daerah-daerah kaya seperti Aceh, Papua, dan Riau serta Kalimantan Timur merasakan ketidak adilan yang sangat nyata. Sebab hasil daerah-daerah tersebut sangat banyak yang disedot untuk pemerintah pusat, tetapi sangat sedikit yang dikembalikan untuk pemerintah daerah setempat. Empat UU pemerintahan daerah, yang berlaku sebelum UU No. 5 Tahun 1974 semuanya menganut otonomi yang luas. Tetapi UU tersebut justru dianggap sebagai biang kekacauan yang selalu terjadi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan kata lain, UU tersebut akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Alasan tersebut menjadi landasan pemerintah orde baru dalam menyusun UU No. 5 Tahun 1974, Tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menganut semangat sentralisasi yang kental. Apabila di Jakarta Presiden memegang hegemoni terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan negara, maka di daerah UU No. 5 Tahun 1974, pasal 80 menegaskan bahwa kepala daerah adalah penguasa tunggal di daerah. Dengan demikian pemilihan kepala daerah lebih banyak hasil penentuan pusat daripada usulan dari pihak DPRD. UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dibuat dengan harapan dapat meredam gejolak yang ada di daerah-daerah. UU ini memberikan kewenangan sangat besar bagi daerah-daerah otonom untuk mengurus dan mengelola sendiri daerahnya tidak dipandang cukup oleh daerah-daerah kaya utamanya Aceh dan Papua. Untuk meredam ketidak puasan tersebut, pemerintah pusat menawarkan opsi otonomi khusus bagi Aceh dan Papua. Opsi otonomi khusus tersebut pada awalnya 23 ditolak oleh pemerintah pusat tetapi karena melihat semangat separatis dari daerah-daerah yang kian besar, maka pemerintah pusat dengan terpaksa meluluskan permintaan tersebut. UU Nangroe Aceh Darussalam, dan UU Otonomi Khusus bagi Papua memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Aceh dan Papua, sehingga timbul ungkapan apapun yang diinginkan oleh Aceh dan Papua akan dikabulkan oleh pemerintah pusat, asalkan jangan minta merdeka. Buktinya Papua yang minta hasil tambang 80 untuk daerah dan 20 sisanya untuk pemerintah pusat tidak ditolak lagi oleh DPR RI, karena DPR melihat kuatnya tuntutan pemisahan diri dari kedua daerah tersebut. Semoga kasus kedua daerah itu menjadi pelajaran, sebab apabila pemerintah Sukarno, mau memberi keistimewaan hanya dalam hal adat, pendidikan dan agama pada Aceh di masa lalu, maka kita tidak akan menemui badai dengan mengorbankan nyawa rakyat Aceh. Demikian juga Papua, kalau saja pemerintah Suharto mau memperhatikan pembangunan Papua, maka OPM Organisasi Papua Merdeka mungkin tidak akan ada, dan tuntutan untuk memisahkan diri mungkin tidak sedahsyat sekarang ini.

H. Beberapa Dampak Dilaksanakannya Otonomi Daerah a. Konflik Antar Daerah Otonom