BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan masalah serius yang sedang diperhadapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi mulai dari yang bersifat
material sampai pada segi yang bersifat mental, sehingga tidak mudah untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya
hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, melainkan juga banyak hal lain, seperti: pendidikan yang kurang, ketidakberdayaan mengahadapi kekuasaan yang menekan, dan
ketidakberdayaan dalam menentukan hidupnya sendiri. Pada dasarnya manusia dilahirkan tidak dapat memilih untuk menjadi miskin atau
menjadi kaya. Kemiskinan bukan suatu hukuman atau kutukan dari Tuhan. Ketika manusia ada dan berada di tengah-tengah dunia, maka manusia dituntut untuk berusaha dan mampu
mempertahankan kehidupannya. Kemalasan yang ada, kemudian ditambah dengan tingkat pengetahuan yang masih minim membuat manusia terperosok dalam kemiskinan. Kemiskinan
muncul sebagai akibat nilai budaya yang dianut kaum miskin itu sendiri yang berakar dari kondisi lingkungan yang miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi.
1
Masyarakat miskin seharusnya menjadi fokus utama dalam pelayanan yang dilakukan gereja. Gereja tidak dapat terjebak pada suatu anggapan bahwa orang miskin yang membutuhkan
1
Lewis, Oscar. Kebudayaan kemiskinan dalam Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996. Hlm 7-11
gereja, melainkan gereja yang membutuhkan orang miskin.
2
Orang-orang miskin ini bukan berarti menjadi objek gereja melainkan menjadi partner bagi gereja dalam memberitakan Firman
Tuhan melalui pelayanan. Sehingga orang-orang miskin ini dapat menjadi pembawa misi memberitakan Firman Tuhan.
Dalam kehidupan sosial, baik ditinjau dari aspek secara umum, maupun secara perspektif Alkitab mengungkapkan hal yang sama tentang adanya dua kehidupan sosial masyarakat yakni
strata kaya dan strata miskin yang hidup secara berdampingan. Gereja hadir sebagai utusan sekaligus mitra dalam implementasi karya penyelamatan Allah atas manusia dari permasalahan-
permasalahan ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain. Gereja tidak dapat berkarya secara abstrak saja, seperti berteologi atau berurusan terus-
menerus pengetahuan tentang Allah. Gereja lahir dan tumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama dalam arti menjawab pergumulan yang sedang dihadapi manusia. Gereja
dalam dirinya sendiri menyadari akan adanya tugas panggilan di tengah-tengah masyarakat Masyarakat miskin seharusnya menjadi subyek dalam diakonia yang merupakan tujuan di
mana gereja kemudian tidak lagi hanya menempatkan diri sebagai “santa claus” bagi masyarakat miskin. Dengan kata lain gereja lebih melihat pada suatu perbuatan bukan lagi hanya sekedar
sikap memberi. Masyarakat miskin yang telah tertindas secara material dan struktural membutuhkan
sebuah perubahan di dalam hidupnya. Hal ini bukan berarti bahwa gereja kemudian hanya sekedar memberi bantuan kepada masyarakat miskin dan kemudian meninggalkan mereka. Hal
tersebut akan memunculkan sebuah ketergantungan yang dapat menyebabkan masyarakat miskin
2
Artanto, Widi. “Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia”, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, hlm 75
tidak dapat mandiri. Akan tetapi gereja dipanggil untuk menjadikan masyarakat miskin sebagai rekan sekerja dalam diakonia yang dilaksanakan.
Diakonia adalah sebagai salah satu bagian dari tugas dan panggilan Gereja di tengah- tengah masyarakat. Diakonia merupakan suatu sikap tindakan yang menunjukkan Kasih Tuhan
dalam kehidupan bermasyarakat atau berumat secara kehidupan sosial sebagai bentuk kesaksian hidup yang saling memeperhatikan antara umat yang satu dengan umat yang lainnya. Tugas ini
merupakan wujud nyata dari yang sudah di baca, didengar dan yang dilihat pada Firman Tuhan. Sehingga pada keadaan tersebut memberikan peranan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari,
yang membuktikan bahwa sikap dan tindakan yang bersifat pada masyarakat sangatlah penting untuk saling peduli antara yang satu dengan yang lainnya.
Emmanuel Gerrit Singgih menjelaskan 3 tiga aspek gereja yang digambarkan dengan segitiga sama sisi yang pada masing-masing sudut ditempatkan yakni: Koinonia Institusional,
Marturia Ritual, dan Diakonia Etikal.
3
Segi-segi itu merupakan keseimbanagan yang terus- menerus harus dijaga, karena ketika gereja hanya menekankan segi kelembagaan dan ritual,
maka gereja hanya ada untuk diri sendiri, kalau pelayanan hanya dianggap aspek ritual atau alat untuk membangun organisasi gereja, maka pelayanan tidak akan pernah menjadi pelayanan
sosial yang menjangkau masyarakat luas. Hal tersebut bertujuan supaya aspek diakonia menjadi milik bersama untuk
dikembangkan tanpa ada unsur politis dan keuntungan hidup. Dengan sikap hidup dan tindakan tersebut akan menjadikan kita untuk saling hidup bersama-sama dalam pelayanan kita ditengah-
tengah dunia ini, sehingga dapat saling mencintai dan mengasihi sesama manusia sebagai makhluk sosial yang saling peduli. Maka konsep iman di dalam pelayanan akan membentuk satu
3
E.G. Singgih, Reformasi dan transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke–21, Kanisius, Jogjakarta, 1997, hlm 25-27
di dalam kebersamaan yang diikat dengan Kasih Allah untuk mewujudkan kerajaan Allah ditengah dunia.
Dengan semangat diakonia, berarti telah memupuk kesadaran iman dalam meningkatkan pelayanan gereja. Akan tetapi perlu diperhatikan lagi, yang menjadi permasalahan adalah sejauh
mana diakonia telah memberikan dampak perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat miskin dan sejauh mana gereja memandang masyarakat miskin itu sebagai subyek yang melakukan
perubahan hidup dalam diakonia yang dilakukan gereja? Atau masyarakat miskin tersebut masih menjadi obyek demi gengsi gereja?
Diakonia yang dilakukan oleh gereja jangan sampai terjebak pada suatu konsep bekerja untuk orang miskin melainkan haruslah mengarah pada konsep bekerja sama dengan orang
miskin. Konsep bekerja sama dengan orang miskin ini tentu saja berangkat dari dasar solidaritas yang mempunyai pengertian tidak terbatas pada pemberian melainkan solidaritas disini berarti
tindakan yang di dorong oleh keharusan untuk berbuat semaksimal mungkin demi menolong orang lain tanpa harus mempunyai terlebih dahulu kemudian diberikan.
Gereja-gereja di Indonesia sebagian besar telah memiliki kesadaran bahwa pelayanan diakonia harus bersifat transformatif dan tidak boleh dipandang sebelah mata, karena pelayanan
ini merupakan bagian holistik dari kesaksian gereja tentang karya pemulihan Allah bagi dunia. Dalam penerapannya diakonia transformatif masih banyak mengalami kendala baik dalam
konsep maupun prakteknya. Diakonia transformatif memerlukan komitmen, motivasi serta teknik yang memadai bagi pelaksananya.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat GPIB Bukit Harapan Surabaya merupakan gereja yang berdiri di tengah-tengah jemaat yang majemuk. Jemaat yang ada di dalamnya
mempunyai 2 dua strata sosial yakni jemaat yang kurang mampu dan yang mampu secara
ekonomi. Program Samaritan adalah salah satu bentuk pelayanan diakonia yang dilaksanakan oleh Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat GPIB Bukit Harapan Surabaya. Samaritan
adalah pelayanan yang dilakukan oleh gereja kepada anggota jemaat yang sakit yang dirawat di Rumah Sakit. Program Samaritan dilaksanakan tanpa melihat strata sosial yang ada dalam
jemaat. Pelayanan yang dilaksanakan oleh program Samaritan berupa pemberian bantuan langsung dalam bentuk uang.
Gereja lahir dan tumbuh tidak terlepas dari hakekatnya untuk melayani sesama dalam menjawab pergumulan yang sedang di hadapi manusia. Hal ini juga menjadi dasar pemikiran
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang pelayanan diakonia kepada jemaat. Maka penulis mengangkat judul:
Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia
1.2. Rumusan Masalah