.BENTUK PENYAJIAN GONRANG SIPITU-PITU PADA UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA DI DESA RAYA KECAMATAN PEMATANG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN.
BENTUK PENYAJIAN DAN FUNGSI GONRANG SIPITU-PITU
PADA UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA DI DESA
RAYA KECAMATAN PEMATANG RAYA
KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
oleh :
MARIA FABYOLA MANURUNG
NIM 2111542012
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2016
ABSTRAK
MARIA FABYOLA MANURUNG.NIM 2111542012.Bentuk penyajian
Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya
Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun. Fakultas Bahasa dan
Seni. Universitas Negeri Medan. 2016
Penelitian ini merupakan Bentuk Penyajian Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk penyajian
musik gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur matua, untuk mengetahui
Fungsi gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur matua, untuk
mengetahui penggunaan instrument musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada
upacara kematian Sayur matua di Desa Raya kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun.
Penelitian berdasarkan landasan teoritis yang menjelaskan Teori bentuk
penyajian, teori fungsi, teorimusik, teori instrument musik, dan teori upacara
kematian sayurmatua.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sampel dalam
penelitian ini adalah seniman–seniman serta pihak yang mendukung upacara
kematian sayurmatua. Pengumpulan data ini dilakukan dengan metode observasi
atau pengamatan, wawancara, dokumentasi dan kerja laboratorium.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk penyajian upacara kematian
SayurMatua dilaksanakan selama dua hari yaitu pada hari pertama adalah acara
Mandigguri yang dilakukan pada malam hari terdapat Sembilan gual yang
dibunyikan tetapi ada satu gual yang dimainkan dua kali yaitu gual sayur matua
jadi ada delapan jenis gual yang dimainkan di acara mandingguri. Pada hari kedua
adalah acara mangiligi yang dilakukan pada siang hari terdapat tiga gual yang
dimainkan untuk mengiringi acara mangiligi yaitu gual sayur matua, gual haroharo dan gual sabung-sabungan dihur. Terdapat Sembilan fungsi gonrang sipitupitu pada upacara kematian sayur matua, yaitu fungsi pengungkapan emosional,
penghayatan etetis, hiburan, komunikasi, simbolis, reaksi jasmani, pengesahan
lembaga sosial, kesinambungan budaya, peneguh ritus keagamaan dan ikatan
sosial. Kegunaan instrument music gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian
sayurmatua yaitu gonrang yang terdiri dari pangindungi, panirang dan paninting
sebagai pemegang tempo, sarunei sebagai pembawa melodi, ogung baggal dan
ogung etek sebagai penanda mula dan akhiran gual dan mongmongan baggal dan
mongmongan etek sebagai pengantar jarak antara ogung dan gonrang.
Kata kunci : Gonrang sipitu-pitu, SayurMatua, Simalungun
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan berkat-Nya Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di
Universitas Negeri Medan. Skripsi ini berjudul “Bentuk penyajian Gonrang
sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan
Pematang Raya Kabupaten Simalungun.”.
Dalam penyelesaian Skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak baik moral maupun materil. Oleh karena itu dengan ketulusan dan
kerendahan hati penulis menuturkan ucapan terimakasih yang tiada terhingga
kepada:
1.
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd Rektor Universitas Negeri Medan,
2.
Dr. Isda Pramuniati, M. Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan ,
3.
Uyuni Widiastuti, M.Pd Ketua Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan.
4.
Dra. Pita HD Silitonga, M.Pd Sekretaris Jurusan Sendratasik, Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
5.
Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn, M. Sn Ketua Prodi Pendidikan Musik dan
Narasumber I.
6.
Lamhot B Sihombing M.Pd sebagai Narasumber II
7.
Esra PT Siburian, M.Sn Pembimbing Skripsi I
8.
Herna HirzaS.Pd, M.Sn Pembimbing Skripsi II
9.
Seluruh Dosen di Jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan,
10. Para Pegawai Tata Usaha FBS Universitas Negeri Medan : Kurnia Hendra
Putra, Indri Hapsari, Dahliana, Albert Paul Sirait, M Abror Harahap dan yang
lain tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
11. Orang tua tercinta, Ayahanda Mangantar Manurung dan Ibu Raunim
Damanik, S.Pd yang selalu mendidik, memberikan kasih sayang yang tak
terhingga, mendukung baik secara moril maupun materil, memberikan
ii
motivasi, semangat dan doa yang tulus tiada hentinya demi kesuksesan
Penulis.
12. Sahat Damanik, Kepala Sanggar tor-tor elak-elak, Keluarga Drs Jansudin
Damanik serta Keluarga Bapak Surya Purba yang telah membantu dan
memberikan informasi kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi.
13. Hendra Gunawan Siregar yang telah memberikan dukungan dan motivasi
serta membantu penulis untuk menyelesaikan Skripsi.
14. Teman-teman terbaik penulis, Ajeng, Tinton, Hana, Petra, Grace, Tika, Ade,
Yesaya, Nancy, Kristina, Sisilia, Monalisa, dan Andre Barus serta temanteman seperjuangan Pendidikan Musik 2011 yang telah memberikan doa
,motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga kebaikan mereka mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam
penulisan Skripsi ini, baik berkenan dengan bentuk maupun isinya. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan saran, kritik dan koreksi yang bersifat membangun
demi penyempurnaan Skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Skripsi yang sederhana ini dapat
berguna dan mermanfaat bagi penulis dan pembaca dalam usaha peningkatan
mutu pendidikan, khususnya dibidang pendidikan musik.
Medan,
April 2016
Penulis
Maria Fabyola Manurung
NIM : 2111542012
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vi
BAB IPENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7
C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ............................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian................................................................................. 9
F. Manfaat Penelitian.............................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL........ 12
A. Landasan Teoritis ............................................................................... 12
1. Teori Bentuk Penyajian ................................................................. 12
2. Teori Fungsi................................................................................... 14
3. Teori Musik ................................................................................... 18
4. Teori instrumen Musik .................................................................. 24
5. Pengertian Gonrang sipitu-pitu ..................................................... 25
6. Pengertian upacara kematian Sayur Matua ................................... 29
B. Kerangka konseptual................ .......................................................... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 34
A. Metode Penelitian.............................................................................. 34
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 35
C. Populasi dan Sampel penelitian.......................................................... 35
1. Populasi ......................................................................................... 35
2. Sampel ........................................................................................... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 36
1.
Observasi .................................................................................... 37
2.
Wawancara ................................................................................. 38
iv
3.
Dokumentasi................................................................................ 38
4.
Kerja Laboratorium ..................................................................... 40
E. Teknik Analisis data........................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 43
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 43
B. Bentuk Penyajian Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur
Matua.............................................. ................................................... 52
C. Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada Upacara kematian Sayur Matua... 116
D. Kegunaan Instrumen Musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada upacara
Kematian Sayur Matua...................................................................... 120
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 125
A. Kesimpulan........................................................................................ 125
B. Saran ............................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 129
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Seperangkat Gonrang Sipitu-pitu ................................................26
Gambar 2.2
Sarunei.........................................................................................27
Gambar 2.3
Seperangkat Ogung dan Mongmongan .......................................28
Gambar 2.4
Kerangka Konseptual ..................................................................28
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Simalungun........................................................43
Gambar 4.2. Desa Raya....................................................................................44
Gambar 4.3. Ibadah pembuka acara Mandingguri ...........................................55
Gambar 4.4. Penyerahan sirih kepada Tondong pamumpus ............................56
Gambar 4.5. Pemberian porsa kepada pihak Tondong Pamumpus..................57
Gambar 4.6. Pamakeon Porsa kepada anak laki-laki dari orangtua yang
meninggal ....................................................................................58
Gambar 4.7. Pemberian demban dan haporsa kepada panggual .....................59
Gambar 4.8. Pemukulan Gonrang oleh cucu ...................................................60
Gambar 4.9. Partitur Gual Parahot ..................................................................62
Gambar 4.10. Partitur Gual Sayur Matua ..........................................................68
Gambar 4.11. Partitur Gual Rambing-Rambing.................................................72
Gambar 4.12. Partitur Gual Boniala – Boniala (TapeiTuah).............................75
Gambar 4.13. Partitur Gual Haro – Haro ..........................................................79
Gambar 4.14. Partitur Gual Pasu – Pasu ...........................................................86
Gambar 4.15. Partitur Gual Dinggur–Dinggur ..................................................92
Gambar 4.16. Partitur Gual Batara guru ...........................................................97
Gambar 4.17. Wawancara dengan Tatang atur.................................................100
Gambar 4.18. Pemberian kain putih kepada Jenazah........................................103
Gambar 4.19 Memasukkan jenazah kedalam peti............................................104
Gambar 4.20. Partitur Gual Sabung- Sabungan Dihur .....................................105
Gambar 4.21. Tondong pamumpus membawa tombuan sayurmatua ...............108
Gambar 4.22. Proses mangalo-mangalo tondong .............................................108
Gambar 4.23. Acara makan Umum...................................................................113
Gambar 4.24. Hasuhutan memberikan sirih kepada pargual sebagai
penutup….....................................................................................115
i
Gambar 4.25. Keluarga mengantarkan Jenazah kepemakaman ........................116
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keanekaragaman suku
bangsa dan budaya. Seluruh suku yang tersebar mulai dari sabang sampai
merauke mempunyai budaya serta ritual tradisi masing-masing baik dalam hal
bahasa, kesenian serta tarian. Keanekaragaman bangsa Indonesia ditandai dengan
adat istiadatnya masing- masing dan sesuai dengan kebudayaannya yang dipatuhi
dan dilaksanakan warganya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
memiliki seni budaya, masing-masing suku di Indonesia mempunyai seni budaya
tersendiri yang masih banyak belum diketahui oleh asal usulnya, keberadaannya
dan bentuk penyajiannya. Salah satu provinsi yang kaya dengan kesenian serta
adat istiadatnya adalah Sumatera Utara.
Sumatera Utara memiliki wilayah yang luas terbagidari beberapa daerah
yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan terdapat beberapa suku, ras, agama,
dan golongan. Diantara semua itu ada beberapa suku yang bertautan dan saling
melengkapi menjadi suatu etnis, adapun etnis tersebut terdiri dari Batak Toba,
Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, Pesisir, Sibolga, Nias,
inilah sub etnik yang ada di Sumatera Utara.
Salah satu etnis dari Sumatera utara adalah Simalungun, secara Etimologi,
kata “Simalungun” menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri,
namun arti sebenarnya secara tepat sukar untuk dipahami. Kata “Simalungun”
1
2
dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “orang”, Ma sebagai kata
sambung yang berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, kesepian, jarang
dikunjungi”. Dengan demikian Simalungun berarti “Ia yang bersedih, sunyi atau
kesepian”. Perkataan Simalungun sudah dipergunakan orang Belanda dengan
nama Simeloengoen-Landen (tanah simalungun) yang meliputi beberapa kerajaankerajaan yakni kerajaan Siantar, kerajaan Tanah Jawa, kerajaan Panei, kerajaan
Raya, kerajaan Purba, kerajaan Silimakuta, dan kerajaan Dolok Silou. Dimana
sebelumnya wilayah itu lebih dikenal dengan nama Batak Timur karena letaknya
di sebelah timur Tapanuli akan tetapi suku Batak Timur kemudian berganti nama
yaitu Simalungun. Sebelum masuknya Belanda cukup banyak wilayah yang
berpenduduk Simalungun menaklukan diri (martuan/marpuang) kepenguasaan
wilayah lain seperti Padang, Serdang, Deli, Batubara, Asahan dan Karo. Dan
mereka membaurkan diri dengan budaya yang ada dan menanggalkan identitas
nya sebagai identitasnya Simalungun, namun ada juga yang masih mempertahan
kan indentitasn suku Simalungunnya termasuk dalam sistem pemerintaha huta
(kampong) (Dasuha, 2003:1).
Simalungun memiliki berbagai jenis kesenian diantaranya seni vokal yang
disebut inggou dan musik instrumen yang disebut gual, tari-tarian, adat dan
kebisaaan yang lainnya yang berbentuk budaya. Salah satunya adalah kesenian
Simalungun yang dikenal dengan istilah “Gonrang ” yang artinya sama dengan
Gondang (batak toba). Gonrang pada awalnya berperan sebagai media yang
menghubungkan manusia dengan sesamanya dalam hubungan horizontal,
Gonrang merupakan suatu ansambel musik Simalungun yang keberadaannya
3
sangat dilestarikan pada zamannya. Di Simalungun ada dua ansambel musik
tradisional, yaitu Gonrang Sipitu-pitu dan Gonrang sidua-dua, Gonrang siduadua adalah seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri dari dua
buah Gonrang (Gonrang sidua- dua) satu buah sarunei dan dua buah ogung.
Gonrang Sipitu-pitu (Gonrang bolon) adalah seperangkat alat musik
tradisional Simalungun yang terdiri dari tujuh buah gendang yang ditempatkan
pada sebuah rak, Gonrang pertama dimulai dari yang terbesar adalah sebagai
pangindungi. Gonrang kedua, ketiga, dan keempat disebut panirang. Gonrang
keenam dan ketujuh disebut panintingi. Gonrang sipitu-pitu diiringi oleh alat
musik sarunei bolon, ogung baggal (gong besar), ogung etek (gong kecil),
mongmongan baggal, mongmongan etek. Pargual (pemain) terdiri dari lima orang
pemain: satu orang pemain sarunei, tiga orang pemain gendang, satu orang
pemain ogung baggal dan ogung etek, satu orang pemain mongmongan baggal
dan mongmongan etek. Gonrang sipitu-pitu sebenarnya sama dengan gonrang
bolon, bedanya hanya saat gonrang sipitu-pitu digunakan di acara dukacita (pos
niuhur) dan gonrang bolon digunakan di acara sukacita (malas niuhur), Dalam
penelitian ini penulis fokus terhadap pembahasan Gonrang sipitu-pitu.
Dari wawancara dengan Bapak Damanik seorang Seniman yang tinggal di
Raya kabupaten Simalungun, Beliau mengatakan bahwa keberadaan alat musik
Gonrang sipitu-pitu pada saat ini jarang ditemukan pada masyarakat Simalungun.
Karena besarnya pengaruh musik modern dan dengan alasan
keinginan
kesederhanaan masyarakat dalam melakukan adat dengan maksud tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya, mereka sering menggunakan gonrang dengan 6 buah
4
gonrang dengan 2 pemain saja (gonraang bolon) hingga membuat musik
Gonrang sipitu-pitu pada masyarakat Simalungun jarang digunakan.
Bapak Sahat Damanik merupakan salah satu dari sekian masyarakat
Simalungun yang masih menjunjung tinggi budaya Simalungun. Salah satu
caranya agar Ia dapat mempertahankan budaya Simalungun yaitu dengan
mendirikan sanggar tortor elak elak. Beliau mengajak muda-mudi dan remaja di
Raya yang berminat bergabung ke sanggar yang dibentuknya untuk belajar
kebudayaan Simalungun yang meliputi tarian, silat, musik terutama belajar
Gonrang Sipitu-pitu. Beliau mengatakan selain sikap ketidak pedulian masyarakat
Simalungun terhadap kesenian Simalungun dan terbatasnya jumlah seniman
membuat kesenian Simalungun hampir punah sehingga sebagian masyarakat
Simalungun menggunakan gonrang dengan satu orang pemain saja dengan
dipadukan alat musik modern keyboard, peralihan ini diakibatkan karena alat
musik serta seniman yang dapat memainkan musik modern lebih mudah
ditemukan dibandingkan alat musik serta seniman yang memainkan Gonrang
sipitu-pitu. Bapak Sahat Damanik dan komunitasnya adalah seniman yang
memainkan Gonrang Sipitu- pitu pada upacara adat yang ada di Raya kabupaten
Simalungun, Beliau mengatakan Gonrang sipitu-pitu di Desa Raya hanya
digunakan untuk mengiringi upacara adat pernikahan, acara-acara kebudayaan dan
upacara kematian. Walaupun Gonrang Sipitu-sipitu sudah jarang tetapi
sebahagian warga di Raya masih ada yang tetap mencari dan menggunakan
Gonrang Sipitu-pitu untuk mengiringi acara adat yang mereka laksanakan.
5
Salah satu acara yang masih menggunakan Gonrang sipitu-pitu di Raya
kabupaten Simalungun adalah upacara kematian Sayur matua. Adapun keyakinan
masyarakat Simalungun untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar
belakang dari kepercayaan mereka tentang kehidupan bahwa masih ada kehidupan
lain dibalik kehidupan didunia ini. Berbicara tentang upacara kematian pada suku
Simalungun terutama di Raya kabupaten Simalungun, dapat kita tinjau dari
defenisi dari istilah kematian Namatei Sayur Matua adalah seseorang yang
meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak lakilaki atau anak perempuan. Orang yang meninggal Sayur matua bagi masyarakat di
Desa Raya kabupaten Simalungun adalah orang yang meninggal tersebut sudah
wajar karena telah menyelesaikan semua tugas-tugasnya di dunia kepada semua
keturunanya. Apabila seluruh anak-anaknya telah menikah dan melahirkan cucu
baginya, orang yang meninggal tersebut telah menyelesaikan tugasnya sebagai
seorang orangtua.
Dalam pelaksanaan upacara adat kematian sayur matua dibagi dalam dua
acara, yang pertama adalah acara mangiligi(baca:mangiliki) dan yang kedua
adalah acara mandigguri. Pada acara adat kematian mangiligi acara tersebut
diadakan pada siang hari, dan acara adat mandingguri adalah acara adat yang
dilakukan pada malam hari. Kedua acara tersebut adalah pemberian rasa hormat
kepada orang tua yang meninggal tersebut. Selain perbedaan waktu pelaksana,
mandingguri dan mangiligi dibedakan atas bentuk penyajian acara adat yang ada
didalamnya. Pada acara mandingguri tidak ada acara mangalo alo tondong yang
6
artinya penyambutan keluarga atau tamu, namun pada acara mangiligi, mangaloalo terdapat didalamnya.
Gonrang Sipitu- sipitu dimainkan di luar rumah dan Gonrang sipitu-pitu
berhenti dimainkan pada saat mendekati tengah malam, meskipun hasil tradisi
yang asli, musik ini dimainkan secara nonstop. Mendekati senja hari setelah
berlangsungnya upacara disertai dengan kata-kata penghiburan menuju lokasi
penguburan mulai dilaksanakan dengan dipimpin oleh para pemain musik dan
pengusung jenazah. Demikianlah seorang warga Simalungun dibaringkan ke
peristirahatannya yang terakhir hasil tata cara yang digariskan oleh tradisi.
Gonrang sipitu-pitu sangat berperan penting dalam upacara kematian
sayur matua, apalagi ada beberapa acara adat yang wajib dilakukan dan diirngin
beberapa gual yang dimintak tatang atur atau bisa disebut protokol dalam upacara
tersebut, contoh nya acara mangalo-ngalo tondong oleh pihak tondong pamumpus
(keluarga terdekat). Disaat gonrang sipitu-pitu dimainkan bisaanya yang akan
dilakukan masyarakat Simalungun adalah menari (menortor), walaupun gonrang
sipitu-pitu sering sekali digantikan perannya oleh keyboard, gonrang dan seruling
saja.
Berdasarkan uraian diatas, nampak jelas bahwa Gonrang sipitu-pitu
berperan aktif sebagai pengiring dalam upacara kematian Sayur matua. Sebagai
bagian dari budaya di Desa Raya kabupaten Simalungun dan budaya Nusantara,
sangat penting dijaga kelestariannya terutama Gonrang Sipitu-pitu.
Sehingga dari uraian-uraian yang telah dijabarkan maka penulis tertarik
untuk meneliti, mengkaji, serta menuliskan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan
7
judul “Bentuk Penyajian Dan Fungsi Gonrang Sipitu-pitu Pada Upacara
Kematian Sayur Matua Di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun”.
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian perlu dilakukan identifikasi masalah. Hal ini dilakukan
agar penelitian menjadi terarah serta dapat mencakup masalah yang dibahas tidak
terlalu luas. Hasil pendapat Sugiyono (2011:30) mengatakan bahwa:
“Dalam merumuskan ataupun membatasi permasalahan dalam
suatu penelitian sangatlah bervariasi dan tergantung pada
kesenangan peneliti. Oleh karena itu perlu hati-hati dan jeli
dalam mengevaluasi rumusan permasalahan peneltian, dan
dirangkum kedalam beberapa pertanyaan yang jelas.”
Dengan adanya identifikasi masalah berarti ada upaya untuk mendekatkan
serta mengenal permasalahan, sehingga masalah yang akan dibahas tidak meluas
dan melebar, serta mencapai sasaran peneliti untuk mencari jawabannya. Adapun
beberapa yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana keberadaan Gonrang sipitu-pitu pada masyarakat Simalungun di
Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun ?
2.
Alat musik apa saja yang dipakai dalam Gonrang Sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?
3.
Bagaimana Bentuk penyajian Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian
Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun?
8
4.
Bagaimana Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua
di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun ?
5.
Bagaimana penggunaan instrumen musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada
upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah, keterbatasan waktu, dana dan
kemampuan teoritis, maka penulis perlu membuat pembatasan masalah untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penelitian ini. Pembatasan
masalah bertujuan untuk mempersempit ruang lingkup permasalahan agar topik
yang akan dibahas menjadi terfokus, dan menjaga agar permasalahannya tidak
melebar.
Hal
ini
sejalan
dengan
pendapat
Sugiyono
(2010:207)
bahwa
:”Pembatasan masalah fokus dengan yang didasarkan pada tingkat kepentingan
dan fasebilitas masalah yang akan dipecahkan”.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka penulis
membatasi ruang lingkup permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Bentuk penyajian musik Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?
2. Bagaimana Fungsi Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua
di Desa Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun?
9
3. Bagaimana penggunaan instrumen musik dalam musik Gonrang sipitu-pitu
pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun ?
D. Rumusan Masalah
Hasil Sugiyono (2011:288) : ”Rumusan masalah merupakan bentuk
pertanyaan yang dapat memandu peneliti untuk mengumpulkan data dilapangan”.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, maka rumusan
masalah yang akan dibahas dan dipecahkan dalam penilitian ini adalah:
Bagaimanakah bentuk penyajian dan fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?.
E. Tujuan Penelitian
Hasil Soewadji (2012:92) :”Tujuan penelitian adalah merupakan rumusan
dari apa yang hendak dicapai oleh peneliti dalam penelitiannya”. Dengan
pendapat tersebut dapat diketahui pikiran dan arah suatu penelitian juga dapat
digunakan oleh peneliti untuk memperjelas atau lebih menegaskan penomena
yang sedang diteliti. Untuk melihat berhasil tidaknya suatu kegiatan dapat dilihat
melalui tercapai tujuan yang telah ditetapkan maka penulis menuliskan tujuan
yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain ;
1. Untuk mengetahui bentuk penyajian musik Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun.
10
2. Untuk mengetahui Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur
Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun.
3. Untuk mengetahui kegunaaan instrumen musik dalam musik Gonrang sipitupitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang
Raya Kabupaten Simalungun.
F. Manfaat Penelitian
Selain tujuan penelitian, setiap penelitian harus memiliki manfaat sehingga
penelitian tersebut tidak hanya teori semata tetapi dapat dipakai oleh pihak-pihak
yang membutuhkan. Hasil Hariwijaya (2008:50) yang mengatakan bahwa
:“Manfaat penelitian adalah apa yg diharapkan dari hasil penelitian tersebut,
dalam al ini mencakup dua hal yakni kegunaan dalam pengembangan ilmu dan
manfaat dibidang praktik.”
Berdasarkan pendapat tersebut maka manfaat penelitian merupakan hal-hal
yang diharapkan dari hasil penelitian dalam hal ilmu pengetahuan dan praktik.
Hasil dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Untuk memahami dan mengetahui Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang
Sipitu-pitu pada Upacara kematian Sayur matua di Desa Raya Kecamatan
Pematang Raya Kabupaten Simalungun.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat atau
lembaga yang mengemban visi dan misi kebudayaan khususnya bidang
pendidikan seni musik dan pariwisata di Kabupaten Simalungun.
11
3. Sebagai penambah pengetahuan bagi pembaca tentang Kesenian Simalungun
terutama tentang Gonrang Sipitu-pitu.
4. Menambah sumber kajian bagi perpustakaan Jurusan Sendratasik Program
Studi Seni Musik Universitas Negeri Medan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pelaksanaan upacara kematian
sayur matua di kabupaten Simalungun, penulis mengambil kesimpulan yaitu :
1. Upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat simalungun merupakan upacara
adat yaitu upacara kematian sayur matua yang bertujuan untuk mengantarkan
jenazah terakhir ketempat peristirahatnya. mereka mempercayai kematian
sayur matua adalah suatu keberuntungan karena Tuhan sudah memberikan
umur yang panjang sehingga orang yang meninggal sayur matua sudah
menyelesaikan tugasnya sampai selesai. Bentuk upacaranya dilakukan selama
dua hari, hari pertama adalah acara mandingguri. Acara mandingguri
dilakukan pada malam hari, mandingguri yang berarti berjaga adalah
bertujuan agar keluarga yang ditinggal terjaga sampai pagi menjelang. Acara
manddingguri berlaku pada upacara kematian sayur matua, dimana acara ini
keluarga yang ditinggal mengikhlaskan kepergian dari orang tua yang me
ninggal tersebut dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Acara
mandingguri terdiri dari 1) acara pembuka yaitu pelaksanaan ibadah,
penyerahan demban, pemberian dan pemakaian porsa serta pemukulan
gonrang oleh cucu dari orang tua yang meninggal tersebut. Kemudian 2)acara
inti dimana ada 8 gual yang dimainkan yaitu gual parahot sebagai gual
pembuka lalu disusul dengan gual sayur matua, gual rambing-rambing
125
125
126
ramos,gual boniala-boniala/ tapei tuah, gual haro-haro, gual pasu-pasu, gual
dinggur-dinggur, gual batara guru. Lalu 3) ditutup dengan acara penutup.
Pada hari kedua yaitu acara mangiligi yang dilakukan pada pagi hari sampai
menjelang sore hari sampai nantinya jenazah diantar ke pemakaman dan
dikebumikan. Acara mangiligi adalaha acara adat yang dilakukan pada siang
hari dimana di acara mangiligi inilah dilakukan adat “mangalo-ngalo
tondong” setiap tondong (keluarga) yang datang dan disambut dengan alunan
Gual atau musik Keyboard dan Gonrang saja itu semua tergantung permintaan
tatang atur atau permintaan dari setiap tondong. Gual yang dimainkan pada
acara mangiligi adalah gual sabung-sabungan dihur, gual sayur matua, dan
gual haro-haro. Tondong yang datang dan melakukan adat mangiligi adalah
tondong pamumpus, tondong bona niari dan tondong mangihut, tondong
sanina dan pariban, simatua dari parboru, boru dan pahoppu. Acara
mangiligi diawalai dan diakhiri dengan ibadah, setelah acara mangiligi selesai
dilanjutkan lah dengan acara manakkil gonrang, hata podah-podah, menutup
peti jenazah dan terakhir acara penguburan.
2. Fungsi musik gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian sayur matua, penulis
melian 9 fungsi yang terdapat opada upacar tersebut adapun 8 fungsi musik
tersebut adalah
1. Fungsi pengungkapan emosional
2. Fungsi penghayatan etetis
3. Fungsi hiburan
4. Fungsi komunikasi
127
5. Fungsi simbolis
6. Fungsi reaksi jasmani
7. Fungsi pengesahan lembaga sosial
8. Fungsi kesinambungan budaya
9. Fungsi sebagai peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan sosial
3. Gonrang sipitu-pitu merupakan sekelompok alat musik tradisional Batak
Simalungun yang digunakan untuk mengiringi upacara adat termasuk upacara
kematian sayur matua. Instrument yang digunakan adalah gonrang yang
teridir atas pangindungi, panirang, dan paninting. Ada juga sarunei, ogung
baggal dan ogung etek serta mongmongan baggal dan mongmongan etek.
Gonrang sipitu-pitu pada umumnya dimainkan oleh 5 pargual (pemain) 3
orang pemain gonrang, 1 orang pemain sarunei dan 1 orang pemain ogung
baggal dan ogungetek, serta 1 orang pemain mongmongan baggal dan
mongmongan etek. Masing-masing instrument musik memiliki kegunaan,
dimana adanya keharmonisan dalam permainan msing-masing instrumen yang
adalah dalam kelompok gonrang sipitu-pitu.
B. SARAN
1. Penggunaan alat musik tradisional Batak Simalungun yang digunakan oleh
masyrakat Simalungun hendaknya dipertahankan melihat dampak positif dari
penggunaan alat musik tradisional tersebut dengan baik, seharusnya dalam
acara mangiligi yaitu acara mangalo-ngalo tondong baik dari tondong
manapun yang datang tatang atur sebaiknya meminta kepada pargual untuk
128
memainkan gual saja dari pada memainkan lagu-lagu pop daerah yang sudah
dimainkan keyboard (alat musik modern) demi menjaga kelestarian budaya
Batak Simalungun
2. Karena faktor pargual (pemain musik) merupakan hal yang sangan penting,
hendaknya pembinaan, festival bermain musik dan manortor (menari) dan
pengajaran tentang musik tetap diperthan kan, karena pengaruh atau dampak
perkembangan jaman dapat mempengaruhi generasi muda untuk berpaling
dari tradisi seni budayanya.
3. Melihat dari fakta yang sesungguhnya, masyarakat Simalungun dari sebagian
daerah terlihat kurang memperhatikan budayanya sendiri, ditinjau dari setiap
acara yang dilakukan mereka lebih banyak menggunakan keyboard dan
gonrang dengan satu pemain serta seruling saja untuk mengiringi acara,
bahkan sebenarnya gonrang sipitu-pitu sudah terlihat jarang digunakan
apalagi pada upacara kematian sayur matua. Sebaiknya masyarakat
Simalungun mempertahankan budaya mereka dengan tetap menggunakan
gonrang sipitu-pitu pada acara/upacara adat yang akan dilakukan agar
kelestarian budaya Simalungun tidak punah.
DAFTAR PUSTAKA
Banoe, Pono.2003. Pengantar Pengetahuan Harmoni. Yogyakarta: Kaninsus
Clauidah T .Khatarina.2015. Fungsi tortor pada acara mandingguri dalam
Upacara kematian Sayur Matua masyarakat Simalungun. skripsi:
Universitas Negeri Medan
Dasuha, dkk. 2003. Tole! Den Timorlanden Den DasEvangelium. Kolportase
GKPS (bekerjasama dengan Panitia Bolon 100 Tahun Injil di
Simalungun).
Djohan, (2005).Psikologi Musik.Yogyakarta : Buku Baik Yogyakarta
Djelantik, A.A.M. 2000.Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat
SeniPertunjukan Indonesia.
________________ 2004.Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2000. Seni Dalam Ritual Agama.Yogyakarta .yayasan untuk
Indonesia.
Hariwijaya, M dan triton.2008, Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal dan
Skripsi.Yogyakarta. Oryza.
Hasibuan, Melayu S.P, (2006). Manajemen Sumber daya Manusia, Edisi Revisi I.
Jakarta: Bumi Aksara.
Kamien. 2004. Musik An Appreciation Usa: Mc Crow Hill, Inc.
Koentjaraningrat.1985, Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Jakarta: Dian Rakyat.
Linggono, Budi. 1993, Bentuk dan Analisis Musik, Jakarta.Depdikbud.
Maryeni. 2005.“Metode Penelitian Kebudayaan”. Jakarta : Bumi Pustaka
Merriam , Alan P. 1964. The Aantropogy Of Music. Evanston Illinois: North
Western University Press.
Miller. 2002. “The Rule Of Music In My Life” : Quantum teaching.
Pasaribu, Ben M. 2004. “Musikalitas + Etnisitas = Pluralitas”. Dalam Musik
Etnik.Medan : Pusat Dokumentasi Kebudayaan Batak HKBP Nomensen.
Peter, Nichol. 2005. Panduan Praktis Membaca Notasi Musik. Jakarta: PT
Saragih,Topot. 2013. Simalunguncenter.kab Simalungun : Simalungun center.
129
130
Sianipar, irvan RH.2011.Studi deskriptif Gondang Sabanguna dalam upacara
kematian Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan.
skripsi: Universitas Sumatera Utara.
Sinaga. Delfiana .2015. Gondang Hasapi Pada Acara Ritual Parmalim Si
Pahasada Di Huta Tinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir (Kajian Bentuk Penyajina dan Fungsi). skripsi: Universitas
Negeri Medan.
Sitohang, R. Lerin. 2014. Bentuk Dan Penyajian Musik Gondang Mangaliat
Dalam Upacara Adat Panangkok Saring-Saring di Desa Sabulan
Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir.skripsi : Universitas Negeri
Medan.
Soeharto, M.1992. Kamus Musik. Jakarta: Gramedia Widiasarana
_________ 2001. Musik Dalam Mencerdaskan Anak. Jakarta .Cakrawala.
Soewadji, 2012, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.Bandung . Alfabeta
Sugiyono. 2010. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabetha
_________2011. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabetha
Supranto. 2004. Produser Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Takkari, Muhammad. 2013. Jurnal. Kesenian Sumatera Utara : Bentuk pemikiran
mengenai arah dan pengembangan Fungsinya. Jurnal . FIB Universitas
Sumatera Utara.
Tini. 2015. Bentuk Penyajan dan fungsi Musik tradisional Bdendo Suku Dayak
Kanayant di Kalimantan Barat. skripsi: Universitas negeri Yoyakarta.
Wahyuni Suryanita, (2012). Fungsi dan manfaat Laboratorium Sebagai Sumber
Belajar. Artikel. http://wahyunisaryunita.blogspot.com/2012/12/fungsidan-manfaat-laboratorium-sebagai.htm
http://www.silaban.net/2006/03/19fungsi-musik-gonrang-pada-masyarakatsimalungun.
http://www.budayamusik.2010/03/10.blogsopt.co.id
PADA UPACARA KEMATIAN SAYUR MATUA DI DESA
RAYA KECAMATAN PEMATANG RAYA
KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
oleh :
MARIA FABYOLA MANURUNG
NIM 2111542012
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2016
ABSTRAK
MARIA FABYOLA MANURUNG.NIM 2111542012.Bentuk penyajian
Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya
Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun. Fakultas Bahasa dan
Seni. Universitas Negeri Medan. 2016
Penelitian ini merupakan Bentuk Penyajian Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk penyajian
musik gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur matua, untuk mengetahui
Fungsi gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur matua, untuk
mengetahui penggunaan instrument musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada
upacara kematian Sayur matua di Desa Raya kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun.
Penelitian berdasarkan landasan teoritis yang menjelaskan Teori bentuk
penyajian, teori fungsi, teorimusik, teori instrument musik, dan teori upacara
kematian sayurmatua.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sampel dalam
penelitian ini adalah seniman–seniman serta pihak yang mendukung upacara
kematian sayurmatua. Pengumpulan data ini dilakukan dengan metode observasi
atau pengamatan, wawancara, dokumentasi dan kerja laboratorium.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk penyajian upacara kematian
SayurMatua dilaksanakan selama dua hari yaitu pada hari pertama adalah acara
Mandigguri yang dilakukan pada malam hari terdapat Sembilan gual yang
dibunyikan tetapi ada satu gual yang dimainkan dua kali yaitu gual sayur matua
jadi ada delapan jenis gual yang dimainkan di acara mandingguri. Pada hari kedua
adalah acara mangiligi yang dilakukan pada siang hari terdapat tiga gual yang
dimainkan untuk mengiringi acara mangiligi yaitu gual sayur matua, gual haroharo dan gual sabung-sabungan dihur. Terdapat Sembilan fungsi gonrang sipitupitu pada upacara kematian sayur matua, yaitu fungsi pengungkapan emosional,
penghayatan etetis, hiburan, komunikasi, simbolis, reaksi jasmani, pengesahan
lembaga sosial, kesinambungan budaya, peneguh ritus keagamaan dan ikatan
sosial. Kegunaan instrument music gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian
sayurmatua yaitu gonrang yang terdiri dari pangindungi, panirang dan paninting
sebagai pemegang tempo, sarunei sebagai pembawa melodi, ogung baggal dan
ogung etek sebagai penanda mula dan akhiran gual dan mongmongan baggal dan
mongmongan etek sebagai pengantar jarak antara ogung dan gonrang.
Kata kunci : Gonrang sipitu-pitu, SayurMatua, Simalungun
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan berkat-Nya Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di
Universitas Negeri Medan. Skripsi ini berjudul “Bentuk penyajian Gonrang
sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan
Pematang Raya Kabupaten Simalungun.”.
Dalam penyelesaian Skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak baik moral maupun materil. Oleh karena itu dengan ketulusan dan
kerendahan hati penulis menuturkan ucapan terimakasih yang tiada terhingga
kepada:
1.
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd Rektor Universitas Negeri Medan,
2.
Dr. Isda Pramuniati, M. Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Medan ,
3.
Uyuni Widiastuti, M.Pd Ketua Jurusan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Medan.
4.
Dra. Pita HD Silitonga, M.Pd Sekretaris Jurusan Sendratasik, Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
5.
Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn, M. Sn Ketua Prodi Pendidikan Musik dan
Narasumber I.
6.
Lamhot B Sihombing M.Pd sebagai Narasumber II
7.
Esra PT Siburian, M.Sn Pembimbing Skripsi I
8.
Herna HirzaS.Pd, M.Sn Pembimbing Skripsi II
9.
Seluruh Dosen di Jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Medan,
10. Para Pegawai Tata Usaha FBS Universitas Negeri Medan : Kurnia Hendra
Putra, Indri Hapsari, Dahliana, Albert Paul Sirait, M Abror Harahap dan yang
lain tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
11. Orang tua tercinta, Ayahanda Mangantar Manurung dan Ibu Raunim
Damanik, S.Pd yang selalu mendidik, memberikan kasih sayang yang tak
terhingga, mendukung baik secara moril maupun materil, memberikan
ii
motivasi, semangat dan doa yang tulus tiada hentinya demi kesuksesan
Penulis.
12. Sahat Damanik, Kepala Sanggar tor-tor elak-elak, Keluarga Drs Jansudin
Damanik serta Keluarga Bapak Surya Purba yang telah membantu dan
memberikan informasi kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi.
13. Hendra Gunawan Siregar yang telah memberikan dukungan dan motivasi
serta membantu penulis untuk menyelesaikan Skripsi.
14. Teman-teman terbaik penulis, Ajeng, Tinton, Hana, Petra, Grace, Tika, Ade,
Yesaya, Nancy, Kristina, Sisilia, Monalisa, dan Andre Barus serta temanteman seperjuangan Pendidikan Musik 2011 yang telah memberikan doa
,motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga kebaikan mereka mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam
penulisan Skripsi ini, baik berkenan dengan bentuk maupun isinya. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan saran, kritik dan koreksi yang bersifat membangun
demi penyempurnaan Skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Skripsi yang sederhana ini dapat
berguna dan mermanfaat bagi penulis dan pembaca dalam usaha peningkatan
mutu pendidikan, khususnya dibidang pendidikan musik.
Medan,
April 2016
Penulis
Maria Fabyola Manurung
NIM : 2111542012
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vi
BAB IPENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7
C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ............................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian................................................................................. 9
F. Manfaat Penelitian.............................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL........ 12
A. Landasan Teoritis ............................................................................... 12
1. Teori Bentuk Penyajian ................................................................. 12
2. Teori Fungsi................................................................................... 14
3. Teori Musik ................................................................................... 18
4. Teori instrumen Musik .................................................................. 24
5. Pengertian Gonrang sipitu-pitu ..................................................... 25
6. Pengertian upacara kematian Sayur Matua ................................... 29
B. Kerangka konseptual................ .......................................................... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 34
A. Metode Penelitian.............................................................................. 34
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 35
C. Populasi dan Sampel penelitian.......................................................... 35
1. Populasi ......................................................................................... 35
2. Sampel ........................................................................................... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 36
1.
Observasi .................................................................................... 37
2.
Wawancara ................................................................................. 38
iv
3.
Dokumentasi................................................................................ 38
4.
Kerja Laboratorium ..................................................................... 40
E. Teknik Analisis data........................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 43
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 43
B. Bentuk Penyajian Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur
Matua.............................................. ................................................... 52
C. Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada Upacara kematian Sayur Matua... 116
D. Kegunaan Instrumen Musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada upacara
Kematian Sayur Matua...................................................................... 120
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 125
A. Kesimpulan........................................................................................ 125
B. Saran ............................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 129
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Seperangkat Gonrang Sipitu-pitu ................................................26
Gambar 2.2
Sarunei.........................................................................................27
Gambar 2.3
Seperangkat Ogung dan Mongmongan .......................................28
Gambar 2.4
Kerangka Konseptual ..................................................................28
Gambar 4.1. Peta Kabupaten Simalungun........................................................43
Gambar 4.2. Desa Raya....................................................................................44
Gambar 4.3. Ibadah pembuka acara Mandingguri ...........................................55
Gambar 4.4. Penyerahan sirih kepada Tondong pamumpus ............................56
Gambar 4.5. Pemberian porsa kepada pihak Tondong Pamumpus..................57
Gambar 4.6. Pamakeon Porsa kepada anak laki-laki dari orangtua yang
meninggal ....................................................................................58
Gambar 4.7. Pemberian demban dan haporsa kepada panggual .....................59
Gambar 4.8. Pemukulan Gonrang oleh cucu ...................................................60
Gambar 4.9. Partitur Gual Parahot ..................................................................62
Gambar 4.10. Partitur Gual Sayur Matua ..........................................................68
Gambar 4.11. Partitur Gual Rambing-Rambing.................................................72
Gambar 4.12. Partitur Gual Boniala – Boniala (TapeiTuah).............................75
Gambar 4.13. Partitur Gual Haro – Haro ..........................................................79
Gambar 4.14. Partitur Gual Pasu – Pasu ...........................................................86
Gambar 4.15. Partitur Gual Dinggur–Dinggur ..................................................92
Gambar 4.16. Partitur Gual Batara guru ...........................................................97
Gambar 4.17. Wawancara dengan Tatang atur.................................................100
Gambar 4.18. Pemberian kain putih kepada Jenazah........................................103
Gambar 4.19 Memasukkan jenazah kedalam peti............................................104
Gambar 4.20. Partitur Gual Sabung- Sabungan Dihur .....................................105
Gambar 4.21. Tondong pamumpus membawa tombuan sayurmatua ...............108
Gambar 4.22. Proses mangalo-mangalo tondong .............................................108
Gambar 4.23. Acara makan Umum...................................................................113
Gambar 4.24. Hasuhutan memberikan sirih kepada pargual sebagai
penutup….....................................................................................115
i
Gambar 4.25. Keluarga mengantarkan Jenazah kepemakaman ........................116
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keanekaragaman suku
bangsa dan budaya. Seluruh suku yang tersebar mulai dari sabang sampai
merauke mempunyai budaya serta ritual tradisi masing-masing baik dalam hal
bahasa, kesenian serta tarian. Keanekaragaman bangsa Indonesia ditandai dengan
adat istiadatnya masing- masing dan sesuai dengan kebudayaannya yang dipatuhi
dan dilaksanakan warganya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
memiliki seni budaya, masing-masing suku di Indonesia mempunyai seni budaya
tersendiri yang masih banyak belum diketahui oleh asal usulnya, keberadaannya
dan bentuk penyajiannya. Salah satu provinsi yang kaya dengan kesenian serta
adat istiadatnya adalah Sumatera Utara.
Sumatera Utara memiliki wilayah yang luas terbagidari beberapa daerah
yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan terdapat beberapa suku, ras, agama,
dan golongan. Diantara semua itu ada beberapa suku yang bertautan dan saling
melengkapi menjadi suatu etnis, adapun etnis tersebut terdiri dari Batak Toba,
Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, Pesisir, Sibolga, Nias,
inilah sub etnik yang ada di Sumatera Utara.
Salah satu etnis dari Sumatera utara adalah Simalungun, secara Etimologi,
kata “Simalungun” menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri,
namun arti sebenarnya secara tepat sukar untuk dipahami. Kata “Simalungun”
1
2
dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “orang”, Ma sebagai kata
sambung yang berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, kesepian, jarang
dikunjungi”. Dengan demikian Simalungun berarti “Ia yang bersedih, sunyi atau
kesepian”. Perkataan Simalungun sudah dipergunakan orang Belanda dengan
nama Simeloengoen-Landen (tanah simalungun) yang meliputi beberapa kerajaankerajaan yakni kerajaan Siantar, kerajaan Tanah Jawa, kerajaan Panei, kerajaan
Raya, kerajaan Purba, kerajaan Silimakuta, dan kerajaan Dolok Silou. Dimana
sebelumnya wilayah itu lebih dikenal dengan nama Batak Timur karena letaknya
di sebelah timur Tapanuli akan tetapi suku Batak Timur kemudian berganti nama
yaitu Simalungun. Sebelum masuknya Belanda cukup banyak wilayah yang
berpenduduk Simalungun menaklukan diri (martuan/marpuang) kepenguasaan
wilayah lain seperti Padang, Serdang, Deli, Batubara, Asahan dan Karo. Dan
mereka membaurkan diri dengan budaya yang ada dan menanggalkan identitas
nya sebagai identitasnya Simalungun, namun ada juga yang masih mempertahan
kan indentitasn suku Simalungunnya termasuk dalam sistem pemerintaha huta
(kampong) (Dasuha, 2003:1).
Simalungun memiliki berbagai jenis kesenian diantaranya seni vokal yang
disebut inggou dan musik instrumen yang disebut gual, tari-tarian, adat dan
kebisaaan yang lainnya yang berbentuk budaya. Salah satunya adalah kesenian
Simalungun yang dikenal dengan istilah “Gonrang ” yang artinya sama dengan
Gondang (batak toba). Gonrang pada awalnya berperan sebagai media yang
menghubungkan manusia dengan sesamanya dalam hubungan horizontal,
Gonrang merupakan suatu ansambel musik Simalungun yang keberadaannya
3
sangat dilestarikan pada zamannya. Di Simalungun ada dua ansambel musik
tradisional, yaitu Gonrang Sipitu-pitu dan Gonrang sidua-dua, Gonrang siduadua adalah seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri dari dua
buah Gonrang (Gonrang sidua- dua) satu buah sarunei dan dua buah ogung.
Gonrang Sipitu-pitu (Gonrang bolon) adalah seperangkat alat musik
tradisional Simalungun yang terdiri dari tujuh buah gendang yang ditempatkan
pada sebuah rak, Gonrang pertama dimulai dari yang terbesar adalah sebagai
pangindungi. Gonrang kedua, ketiga, dan keempat disebut panirang. Gonrang
keenam dan ketujuh disebut panintingi. Gonrang sipitu-pitu diiringi oleh alat
musik sarunei bolon, ogung baggal (gong besar), ogung etek (gong kecil),
mongmongan baggal, mongmongan etek. Pargual (pemain) terdiri dari lima orang
pemain: satu orang pemain sarunei, tiga orang pemain gendang, satu orang
pemain ogung baggal dan ogung etek, satu orang pemain mongmongan baggal
dan mongmongan etek. Gonrang sipitu-pitu sebenarnya sama dengan gonrang
bolon, bedanya hanya saat gonrang sipitu-pitu digunakan di acara dukacita (pos
niuhur) dan gonrang bolon digunakan di acara sukacita (malas niuhur), Dalam
penelitian ini penulis fokus terhadap pembahasan Gonrang sipitu-pitu.
Dari wawancara dengan Bapak Damanik seorang Seniman yang tinggal di
Raya kabupaten Simalungun, Beliau mengatakan bahwa keberadaan alat musik
Gonrang sipitu-pitu pada saat ini jarang ditemukan pada masyarakat Simalungun.
Karena besarnya pengaruh musik modern dan dengan alasan
keinginan
kesederhanaan masyarakat dalam melakukan adat dengan maksud tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya, mereka sering menggunakan gonrang dengan 6 buah
4
gonrang dengan 2 pemain saja (gonraang bolon) hingga membuat musik
Gonrang sipitu-pitu pada masyarakat Simalungun jarang digunakan.
Bapak Sahat Damanik merupakan salah satu dari sekian masyarakat
Simalungun yang masih menjunjung tinggi budaya Simalungun. Salah satu
caranya agar Ia dapat mempertahankan budaya Simalungun yaitu dengan
mendirikan sanggar tortor elak elak. Beliau mengajak muda-mudi dan remaja di
Raya yang berminat bergabung ke sanggar yang dibentuknya untuk belajar
kebudayaan Simalungun yang meliputi tarian, silat, musik terutama belajar
Gonrang Sipitu-pitu. Beliau mengatakan selain sikap ketidak pedulian masyarakat
Simalungun terhadap kesenian Simalungun dan terbatasnya jumlah seniman
membuat kesenian Simalungun hampir punah sehingga sebagian masyarakat
Simalungun menggunakan gonrang dengan satu orang pemain saja dengan
dipadukan alat musik modern keyboard, peralihan ini diakibatkan karena alat
musik serta seniman yang dapat memainkan musik modern lebih mudah
ditemukan dibandingkan alat musik serta seniman yang memainkan Gonrang
sipitu-pitu. Bapak Sahat Damanik dan komunitasnya adalah seniman yang
memainkan Gonrang Sipitu- pitu pada upacara adat yang ada di Raya kabupaten
Simalungun, Beliau mengatakan Gonrang sipitu-pitu di Desa Raya hanya
digunakan untuk mengiringi upacara adat pernikahan, acara-acara kebudayaan dan
upacara kematian. Walaupun Gonrang Sipitu-sipitu sudah jarang tetapi
sebahagian warga di Raya masih ada yang tetap mencari dan menggunakan
Gonrang Sipitu-pitu untuk mengiringi acara adat yang mereka laksanakan.
5
Salah satu acara yang masih menggunakan Gonrang sipitu-pitu di Raya
kabupaten Simalungun adalah upacara kematian Sayur matua. Adapun keyakinan
masyarakat Simalungun untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar
belakang dari kepercayaan mereka tentang kehidupan bahwa masih ada kehidupan
lain dibalik kehidupan didunia ini. Berbicara tentang upacara kematian pada suku
Simalungun terutama di Raya kabupaten Simalungun, dapat kita tinjau dari
defenisi dari istilah kematian Namatei Sayur Matua adalah seseorang yang
meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak lakilaki atau anak perempuan. Orang yang meninggal Sayur matua bagi masyarakat di
Desa Raya kabupaten Simalungun adalah orang yang meninggal tersebut sudah
wajar karena telah menyelesaikan semua tugas-tugasnya di dunia kepada semua
keturunanya. Apabila seluruh anak-anaknya telah menikah dan melahirkan cucu
baginya, orang yang meninggal tersebut telah menyelesaikan tugasnya sebagai
seorang orangtua.
Dalam pelaksanaan upacara adat kematian sayur matua dibagi dalam dua
acara, yang pertama adalah acara mangiligi(baca:mangiliki) dan yang kedua
adalah acara mandigguri. Pada acara adat kematian mangiligi acara tersebut
diadakan pada siang hari, dan acara adat mandingguri adalah acara adat yang
dilakukan pada malam hari. Kedua acara tersebut adalah pemberian rasa hormat
kepada orang tua yang meninggal tersebut. Selain perbedaan waktu pelaksana,
mandingguri dan mangiligi dibedakan atas bentuk penyajian acara adat yang ada
didalamnya. Pada acara mandingguri tidak ada acara mangalo alo tondong yang
6
artinya penyambutan keluarga atau tamu, namun pada acara mangiligi, mangaloalo terdapat didalamnya.
Gonrang Sipitu- sipitu dimainkan di luar rumah dan Gonrang sipitu-pitu
berhenti dimainkan pada saat mendekati tengah malam, meskipun hasil tradisi
yang asli, musik ini dimainkan secara nonstop. Mendekati senja hari setelah
berlangsungnya upacara disertai dengan kata-kata penghiburan menuju lokasi
penguburan mulai dilaksanakan dengan dipimpin oleh para pemain musik dan
pengusung jenazah. Demikianlah seorang warga Simalungun dibaringkan ke
peristirahatannya yang terakhir hasil tata cara yang digariskan oleh tradisi.
Gonrang sipitu-pitu sangat berperan penting dalam upacara kematian
sayur matua, apalagi ada beberapa acara adat yang wajib dilakukan dan diirngin
beberapa gual yang dimintak tatang atur atau bisa disebut protokol dalam upacara
tersebut, contoh nya acara mangalo-ngalo tondong oleh pihak tondong pamumpus
(keluarga terdekat). Disaat gonrang sipitu-pitu dimainkan bisaanya yang akan
dilakukan masyarakat Simalungun adalah menari (menortor), walaupun gonrang
sipitu-pitu sering sekali digantikan perannya oleh keyboard, gonrang dan seruling
saja.
Berdasarkan uraian diatas, nampak jelas bahwa Gonrang sipitu-pitu
berperan aktif sebagai pengiring dalam upacara kematian Sayur matua. Sebagai
bagian dari budaya di Desa Raya kabupaten Simalungun dan budaya Nusantara,
sangat penting dijaga kelestariannya terutama Gonrang Sipitu-pitu.
Sehingga dari uraian-uraian yang telah dijabarkan maka penulis tertarik
untuk meneliti, mengkaji, serta menuliskan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan
7
judul “Bentuk Penyajian Dan Fungsi Gonrang Sipitu-pitu Pada Upacara
Kematian Sayur Matua Di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun”.
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian perlu dilakukan identifikasi masalah. Hal ini dilakukan
agar penelitian menjadi terarah serta dapat mencakup masalah yang dibahas tidak
terlalu luas. Hasil pendapat Sugiyono (2011:30) mengatakan bahwa:
“Dalam merumuskan ataupun membatasi permasalahan dalam
suatu penelitian sangatlah bervariasi dan tergantung pada
kesenangan peneliti. Oleh karena itu perlu hati-hati dan jeli
dalam mengevaluasi rumusan permasalahan peneltian, dan
dirangkum kedalam beberapa pertanyaan yang jelas.”
Dengan adanya identifikasi masalah berarti ada upaya untuk mendekatkan
serta mengenal permasalahan, sehingga masalah yang akan dibahas tidak meluas
dan melebar, serta mencapai sasaran peneliti untuk mencari jawabannya. Adapun
beberapa yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana keberadaan Gonrang sipitu-pitu pada masyarakat Simalungun di
Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun ?
2.
Alat musik apa saja yang dipakai dalam Gonrang Sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?
3.
Bagaimana Bentuk penyajian Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian
Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun?
8
4.
Bagaimana Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua
di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun ?
5.
Bagaimana penggunaan instrumen musik dalam Gonrang sipitu-pitu pada
upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah, keterbatasan waktu, dana dan
kemampuan teoritis, maka penulis perlu membuat pembatasan masalah untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penelitian ini. Pembatasan
masalah bertujuan untuk mempersempit ruang lingkup permasalahan agar topik
yang akan dibahas menjadi terfokus, dan menjaga agar permasalahannya tidak
melebar.
Hal
ini
sejalan
dengan
pendapat
Sugiyono
(2010:207)
bahwa
:”Pembatasan masalah fokus dengan yang didasarkan pada tingkat kepentingan
dan fasebilitas masalah yang akan dipecahkan”.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka penulis
membatasi ruang lingkup permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Bentuk penyajian musik Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?
2. Bagaimana Fungsi Gonrang Sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur Matua
di Desa Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun?
9
3. Bagaimana penggunaan instrumen musik dalam musik Gonrang sipitu-pitu
pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya
Kabupaten Simalungun ?
D. Rumusan Masalah
Hasil Sugiyono (2011:288) : ”Rumusan masalah merupakan bentuk
pertanyaan yang dapat memandu peneliti untuk mengumpulkan data dilapangan”.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, maka rumusan
masalah yang akan dibahas dan dipecahkan dalam penilitian ini adalah:
Bagaimanakah bentuk penyajian dan fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun ?.
E. Tujuan Penelitian
Hasil Soewadji (2012:92) :”Tujuan penelitian adalah merupakan rumusan
dari apa yang hendak dicapai oleh peneliti dalam penelitiannya”. Dengan
pendapat tersebut dapat diketahui pikiran dan arah suatu penelitian juga dapat
digunakan oleh peneliti untuk memperjelas atau lebih menegaskan penomena
yang sedang diteliti. Untuk melihat berhasil tidaknya suatu kegiatan dapat dilihat
melalui tercapai tujuan yang telah ditetapkan maka penulis menuliskan tujuan
yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain ;
1. Untuk mengetahui bentuk penyajian musik Gonrang sipitu-pitu pada upacara
kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten
Simalungun.
10
2. Untuk mengetahui Fungsi Gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian Sayur
Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang Raya Kabupaten Simalungun.
3. Untuk mengetahui kegunaaan instrumen musik dalam musik Gonrang sipitupitu pada upacara kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan Pematang
Raya Kabupaten Simalungun.
F. Manfaat Penelitian
Selain tujuan penelitian, setiap penelitian harus memiliki manfaat sehingga
penelitian tersebut tidak hanya teori semata tetapi dapat dipakai oleh pihak-pihak
yang membutuhkan. Hasil Hariwijaya (2008:50) yang mengatakan bahwa
:“Manfaat penelitian adalah apa yg diharapkan dari hasil penelitian tersebut,
dalam al ini mencakup dua hal yakni kegunaan dalam pengembangan ilmu dan
manfaat dibidang praktik.”
Berdasarkan pendapat tersebut maka manfaat penelitian merupakan hal-hal
yang diharapkan dari hasil penelitian dalam hal ilmu pengetahuan dan praktik.
Hasil dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Untuk memahami dan mengetahui Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang
Sipitu-pitu pada Upacara kematian Sayur matua di Desa Raya Kecamatan
Pematang Raya Kabupaten Simalungun.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat atau
lembaga yang mengemban visi dan misi kebudayaan khususnya bidang
pendidikan seni musik dan pariwisata di Kabupaten Simalungun.
11
3. Sebagai penambah pengetahuan bagi pembaca tentang Kesenian Simalungun
terutama tentang Gonrang Sipitu-pitu.
4. Menambah sumber kajian bagi perpustakaan Jurusan Sendratasik Program
Studi Seni Musik Universitas Negeri Medan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pelaksanaan upacara kematian
sayur matua di kabupaten Simalungun, penulis mengambil kesimpulan yaitu :
1. Upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat simalungun merupakan upacara
adat yaitu upacara kematian sayur matua yang bertujuan untuk mengantarkan
jenazah terakhir ketempat peristirahatnya. mereka mempercayai kematian
sayur matua adalah suatu keberuntungan karena Tuhan sudah memberikan
umur yang panjang sehingga orang yang meninggal sayur matua sudah
menyelesaikan tugasnya sampai selesai. Bentuk upacaranya dilakukan selama
dua hari, hari pertama adalah acara mandingguri. Acara mandingguri
dilakukan pada malam hari, mandingguri yang berarti berjaga adalah
bertujuan agar keluarga yang ditinggal terjaga sampai pagi menjelang. Acara
manddingguri berlaku pada upacara kematian sayur matua, dimana acara ini
keluarga yang ditinggal mengikhlaskan kepergian dari orang tua yang me
ninggal tersebut dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Acara
mandingguri terdiri dari 1) acara pembuka yaitu pelaksanaan ibadah,
penyerahan demban, pemberian dan pemakaian porsa serta pemukulan
gonrang oleh cucu dari orang tua yang meninggal tersebut. Kemudian 2)acara
inti dimana ada 8 gual yang dimainkan yaitu gual parahot sebagai gual
pembuka lalu disusul dengan gual sayur matua, gual rambing-rambing
125
125
126
ramos,gual boniala-boniala/ tapei tuah, gual haro-haro, gual pasu-pasu, gual
dinggur-dinggur, gual batara guru. Lalu 3) ditutup dengan acara penutup.
Pada hari kedua yaitu acara mangiligi yang dilakukan pada pagi hari sampai
menjelang sore hari sampai nantinya jenazah diantar ke pemakaman dan
dikebumikan. Acara mangiligi adalaha acara adat yang dilakukan pada siang
hari dimana di acara mangiligi inilah dilakukan adat “mangalo-ngalo
tondong” setiap tondong (keluarga) yang datang dan disambut dengan alunan
Gual atau musik Keyboard dan Gonrang saja itu semua tergantung permintaan
tatang atur atau permintaan dari setiap tondong. Gual yang dimainkan pada
acara mangiligi adalah gual sabung-sabungan dihur, gual sayur matua, dan
gual haro-haro. Tondong yang datang dan melakukan adat mangiligi adalah
tondong pamumpus, tondong bona niari dan tondong mangihut, tondong
sanina dan pariban, simatua dari parboru, boru dan pahoppu. Acara
mangiligi diawalai dan diakhiri dengan ibadah, setelah acara mangiligi selesai
dilanjutkan lah dengan acara manakkil gonrang, hata podah-podah, menutup
peti jenazah dan terakhir acara penguburan.
2. Fungsi musik gonrang sipitu-pitu pada upacara kematian sayur matua, penulis
melian 9 fungsi yang terdapat opada upacar tersebut adapun 8 fungsi musik
tersebut adalah
1. Fungsi pengungkapan emosional
2. Fungsi penghayatan etetis
3. Fungsi hiburan
4. Fungsi komunikasi
127
5. Fungsi simbolis
6. Fungsi reaksi jasmani
7. Fungsi pengesahan lembaga sosial
8. Fungsi kesinambungan budaya
9. Fungsi sebagai peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan sosial
3. Gonrang sipitu-pitu merupakan sekelompok alat musik tradisional Batak
Simalungun yang digunakan untuk mengiringi upacara adat termasuk upacara
kematian sayur matua. Instrument yang digunakan adalah gonrang yang
teridir atas pangindungi, panirang, dan paninting. Ada juga sarunei, ogung
baggal dan ogung etek serta mongmongan baggal dan mongmongan etek.
Gonrang sipitu-pitu pada umumnya dimainkan oleh 5 pargual (pemain) 3
orang pemain gonrang, 1 orang pemain sarunei dan 1 orang pemain ogung
baggal dan ogungetek, serta 1 orang pemain mongmongan baggal dan
mongmongan etek. Masing-masing instrument musik memiliki kegunaan,
dimana adanya keharmonisan dalam permainan msing-masing instrumen yang
adalah dalam kelompok gonrang sipitu-pitu.
B. SARAN
1. Penggunaan alat musik tradisional Batak Simalungun yang digunakan oleh
masyrakat Simalungun hendaknya dipertahankan melihat dampak positif dari
penggunaan alat musik tradisional tersebut dengan baik, seharusnya dalam
acara mangiligi yaitu acara mangalo-ngalo tondong baik dari tondong
manapun yang datang tatang atur sebaiknya meminta kepada pargual untuk
128
memainkan gual saja dari pada memainkan lagu-lagu pop daerah yang sudah
dimainkan keyboard (alat musik modern) demi menjaga kelestarian budaya
Batak Simalungun
2. Karena faktor pargual (pemain musik) merupakan hal yang sangan penting,
hendaknya pembinaan, festival bermain musik dan manortor (menari) dan
pengajaran tentang musik tetap diperthan kan, karena pengaruh atau dampak
perkembangan jaman dapat mempengaruhi generasi muda untuk berpaling
dari tradisi seni budayanya.
3. Melihat dari fakta yang sesungguhnya, masyarakat Simalungun dari sebagian
daerah terlihat kurang memperhatikan budayanya sendiri, ditinjau dari setiap
acara yang dilakukan mereka lebih banyak menggunakan keyboard dan
gonrang dengan satu pemain serta seruling saja untuk mengiringi acara,
bahkan sebenarnya gonrang sipitu-pitu sudah terlihat jarang digunakan
apalagi pada upacara kematian sayur matua. Sebaiknya masyarakat
Simalungun mempertahankan budaya mereka dengan tetap menggunakan
gonrang sipitu-pitu pada acara/upacara adat yang akan dilakukan agar
kelestarian budaya Simalungun tidak punah.
DAFTAR PUSTAKA
Banoe, Pono.2003. Pengantar Pengetahuan Harmoni. Yogyakarta: Kaninsus
Clauidah T .Khatarina.2015. Fungsi tortor pada acara mandingguri dalam
Upacara kematian Sayur Matua masyarakat Simalungun. skripsi:
Universitas Negeri Medan
Dasuha, dkk. 2003. Tole! Den Timorlanden Den DasEvangelium. Kolportase
GKPS (bekerjasama dengan Panitia Bolon 100 Tahun Injil di
Simalungun).
Djohan, (2005).Psikologi Musik.Yogyakarta : Buku Baik Yogyakarta
Djelantik, A.A.M. 2000.Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat
SeniPertunjukan Indonesia.
________________ 2004.Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2000. Seni Dalam Ritual Agama.Yogyakarta .yayasan untuk
Indonesia.
Hariwijaya, M dan triton.2008, Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal dan
Skripsi.Yogyakarta. Oryza.
Hasibuan, Melayu S.P, (2006). Manajemen Sumber daya Manusia, Edisi Revisi I.
Jakarta: Bumi Aksara.
Kamien. 2004. Musik An Appreciation Usa: Mc Crow Hill, Inc.
Koentjaraningrat.1985, Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Jakarta: Dian Rakyat.
Linggono, Budi. 1993, Bentuk dan Analisis Musik, Jakarta.Depdikbud.
Maryeni. 2005.“Metode Penelitian Kebudayaan”. Jakarta : Bumi Pustaka
Merriam , Alan P. 1964. The Aantropogy Of Music. Evanston Illinois: North
Western University Press.
Miller. 2002. “The Rule Of Music In My Life” : Quantum teaching.
Pasaribu, Ben M. 2004. “Musikalitas + Etnisitas = Pluralitas”. Dalam Musik
Etnik.Medan : Pusat Dokumentasi Kebudayaan Batak HKBP Nomensen.
Peter, Nichol. 2005. Panduan Praktis Membaca Notasi Musik. Jakarta: PT
Saragih,Topot. 2013. Simalunguncenter.kab Simalungun : Simalungun center.
129
130
Sianipar, irvan RH.2011.Studi deskriptif Gondang Sabanguna dalam upacara
kematian Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan.
skripsi: Universitas Sumatera Utara.
Sinaga. Delfiana .2015. Gondang Hasapi Pada Acara Ritual Parmalim Si
Pahasada Di Huta Tinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir (Kajian Bentuk Penyajina dan Fungsi). skripsi: Universitas
Negeri Medan.
Sitohang, R. Lerin. 2014. Bentuk Dan Penyajian Musik Gondang Mangaliat
Dalam Upacara Adat Panangkok Saring-Saring di Desa Sabulan
Kecamatan Sitiotio Kabupaten Samosir.skripsi : Universitas Negeri
Medan.
Soeharto, M.1992. Kamus Musik. Jakarta: Gramedia Widiasarana
_________ 2001. Musik Dalam Mencerdaskan Anak. Jakarta .Cakrawala.
Soewadji, 2012, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.Bandung . Alfabeta
Sugiyono. 2010. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabetha
_________2011. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabetha
Supranto. 2004. Produser Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Takkari, Muhammad. 2013. Jurnal. Kesenian Sumatera Utara : Bentuk pemikiran
mengenai arah dan pengembangan Fungsinya. Jurnal . FIB Universitas
Sumatera Utara.
Tini. 2015. Bentuk Penyajan dan fungsi Musik tradisional Bdendo Suku Dayak
Kanayant di Kalimantan Barat. skripsi: Universitas negeri Yoyakarta.
Wahyuni Suryanita, (2012). Fungsi dan manfaat Laboratorium Sebagai Sumber
Belajar. Artikel. http://wahyunisaryunita.blogspot.com/2012/12/fungsidan-manfaat-laboratorium-sebagai.htm
http://www.silaban.net/2006/03/19fungsi-musik-gonrang-pada-masyarakatsimalungun.
http://www.budayamusik.2010/03/10.blogsopt.co.id