Deteksi Dan Identifikasi Erwinia Chrysanthemi Yang Berasosiasi Dengan Penyakit Busuk Lunak Pada Tanaman Kentang Di Jawa

i

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Erwinia chrysanthemi
YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT BUSUK LUNAK
PADA TANAMAN KENTANG DI JAWA

HAERANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan
Identifikasi Erwinia chrysanthemi yang Berasosiasi dengan Penyakit Busuk
Lunak pada Tanaman Kentang di Jawa adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Haerani
NIM A351130434

RINGKASAN
HAERANI. Deteksi dan Identifikasi Erwinia chrysanthemi yang Berasosiasi
dengan Penyakit Busuk Lunak pada Tanaman Kentang di Jawa. Dibimbing oleh
ABDJAD ASIH NAWANGSIH dan TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas hortikultura yang
banyak dikonsumsi masyarakat. Kebutuhan kentang yang cukup tinggi belum
dapat dipenuhi pasar dalam negeri sehingga Indonesia masih mengimpor kentang
baik untuk konsumsi maupun benih. Dalam proses importasi ada kemungkinan
terbawanya patogen dari negara lain. Salah satu patogen penting pada tanaman
kentang adalah Erwinia chrysanthemi (direklasifikasi sebagai Dickeya spp.) yang
menyebabkan gejala busuk lunak dan layu. Sampai saat ini Badan Karantina
Pertanian (Barantan) masih melakukan pemutakhiran data wilayah sebar
E. chrysanthemi di Indonesia.

Sebanyak 400 sampel tanaman kentang yang menunjukkan gejala layu serta
busuk lunak diambil dari Jawa Barat (Pangalengan dan Garut), Jawa Tengah
(Dieng), dan Jawa Timur (Batu-Malang). Insidensi E. chrysanthemi ditentukan
berdasarkan uji serologi dengan indirect enzyme-linked immunosorbent assay (IELISA) menggunakan antiserum E. chrysanthemi. Sampel yang menunjukkan
hasil positif pada pengujian ELISA kemudian diisolasi menggunakan media
casamino acid peptone glucose (CPG). Beberapa sifat fisiologi yang diuji yaitu
Gram, oksidase, katalase, oksidasi-fermentasi, dan kemampuan menyebabkan
busuk pada umbi kentang. Isolat bakteri yang memiliki ciri fisiologi mirip dengan
E. chrysanthemi kemudian diidentifikasi menggunakan GEN III OmniLog® ID
System (Biolog, Hayward, CA, USA) yang dikonfirmasi melalui deteksi asam
nukleat polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer spesifik
E.chrysanthemi, 16S rRNA dan perunutan DNA.
Insidensi E. chrysanthemi berdasarkan ELISA menunjukkan sebanyak 105
sampel positif dari total 400 sampel tanaman yang diuji, terdiri atas 3 sampel (3%)
dari Pangalengan, 1 sampel (1%) dari Garut, 3 sampel (3%) dari Malang, dan 98
sampel (98%) dari Dieng. E. chrysanthemi diisolasi dari sampel dengan reaksi
positif kecuali sampel dari Malang dan Dieng. Hanya 2 dari 3 sampel asal Malang
yang diisolasi karena kondisi sampel sudah sangat kering, sedangkan dari lokasi
Dieng hanya diisolasi 4 sampel yang memiliki nilai absorbansi ELISA (NAE)
tertinggi. Total sampel yang diisolasi bakterinya ada 10 sampel dan diperoleh

sebanyak 37 isolat bakteri. Sebanyak 18 isolat menunjukkan reaksi lesio lokal
pada tanaman tembakau. Berdasarkan hasil uji fisiologi, 4 isolat dari 18 isolat
yang diuji memiliki ciri-ciri genus Erwinia yaitu isolat 49P-5, 71G-1, 71G-6, dan
14M-6. Berdasarkan uji pemanfaatan sumber karbon menggunakan GEN III
OmniLog ID System, keempat isolat bakteri tersebut teridentifikasi sebagai
Flavimonas oryzihabitans, Pantoea dispersa, Pantoea agglomerans, dan
Pseudomonas syringae pv. primulae. Konfirmasi hasil identifikasi berdasarkan
GEN III OmniLog ID System dengan PCR menggunakan primer spesifik
menunjukkan tidak ada DNA yang teramplifikasi. Hal ini menunjukkan keempat
isolat bakteri bukan E. chrysanthemi. Namun, keempat DNA teramplifikasi
dengan primer universal 16S rRNA. Hasil perunutan gen 16S rDNA isolat 49P-5,
71G-1, 71G-6, dan 14M-6 berturut-turut adalah Pseudomonas oryzihabitans,

Pantoea agglomerans, dan Pseudomonas viridiflava dengan homologi yang tinggi
terhadap isolat yang telah dideposit di Genbank, kecuali homologi
P. agglomerans (80.5-83.8%). E. chrysanthemi tidak ditemukan di semua wilayah
pengambilan sampel.
Kata kunci: 16S rRNA, layu, OmniLog, Pantoea agglomerans, Pseudomonas
viridiflava


SUMMARY
HAERANI. Detection and Identification of Erwinia chrysanthemi Associated
with Soft Rot Disease on Potato in Java. Supervised by ABDJAD ASIH
NAWANGSIH and TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Potato (Solanum tuberosum L.) is an important horticulture commodity.
Demand of potato in Indonesia is quite high and domestic market can not comply,
thus Indonesia is still importing potatoes for consumption and seed, although there
is possibility of pathogen carried by the process of importation. One of the
emerging pathogens on potato plants is Erwinia chrysanthemi (reclassified as
Dickeya spp.). This bacteria causing soft rot and wilting symptoms. Until now the
Agricultural Quarantine Agency of Indonesia (AQAI) is still updating data and
information related to E. chrysanthemi distribution on potato plant in Java.
A total of 400 samples of potato plants with of wilting and soft rot
symptoms was obtained from West Java (Pangalengan and Garut), Central Java
(Dieng) and East Java (Batu-Malang). The incidence of E. chrysanthemi tested
serologically by indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA) using
antisera E. chrysanthemi. Samples which showed positive results on ELISA were
isolated using casamino acid-peptone-glucose medium (CPG). Ten samples
showed positive result. Further, bacteria were isolated, purified, and subjected to
several tests such as physiology (Gram, oxidase, catalase, and oxidationfermentation test), the carbon source utilization test using GEN III OmniLog® ID

System, PCR and sequencing of the 16S rRNA sequence.
Among 400 samples, there were 105 samples showed positive result for
E. chrysanthemi consists of 3 samples (3%), 1 sample (1%), 3 samples (3%), and
98 samples (98%) from Pangalengan, Garut, Malang, and Dieng, respectively. All
positive samples of E. chrysanthemi was isolated except for samples from Malang
and Dieng. There was only 2 out of 3 samples from Malang were able to be
isolated. Furthermore, only 4 samples with ELISA highest absorbancy value
isolated from Dieng. Therefore only 10 samples isolated from total 400 samples
and 37 bacterial isolates was obtained. A total of 18 isolates showed local lesions
reaction on tobacco plants.
Based on physiological characters, there were 4 isolates similar to the
genus Erwinia i.e. 49P -5, 71G-1, 71G-6, and 14M-6. By the carbon source
utilization tests using GEN III OmniLog ID System, 4 bacterial isolates was
identified as Flavimonas oryzihabitans, Pantoea dispersa, Pantoea agglomerans,
and Pseudomonas syringae pv. primulae. However, PCR using specific primer
and nucleotide sequences analysis of the 16S rRNA indicated that those isolates
are not E. chrysanthemi. Those 4 isolates identified as Pseudomonas
oryzihabitans, Pantoea agglomerans, and Pseudomonas viridiflava with highest
homology to corresponding isolates deposited in Genbank, except homology of
P. agglomerans (80.5-83.8%). E. chrysanthemi was not found in the potato

sampling area in Java.
Keywords: 16S rRNA, OmniLog, Pantoea agglomerans, Pseudomonas
viridiflava, wilt

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Erwinia chrysanthemi
YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT BUSUK LUNAK
PADA TANAMAN KENTANG DI JAWA

HAERANI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Supriadi, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai dengan Januari 2015 ini ialah Deteksi
dan Identifikasi Erwinia chrysanthemi yang Berasosiasi dengan Penyakit Busuk
Lunak pada Tanaman Kentang di Jawa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi
dan Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing yang telah banyak

memberi saran dan masukan selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis juga
menyampaikan penghargaan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
selaku ketua Program Studi Fitopatologi, Dr Ir Pudjianto, MSi selaku ketua
Program Studi Entomologi, dan Prof Dr Ir Supriadi, MSc selaku dosen penguji
tamu yang telah memberikan saran dan masukan, serta staf pengajar Departemen
Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti
pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan karya ilmiah ini. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
rekomendasi hingga penulis dapat melanjutkan studi S2 di IPB yaitu: Prof Dr Ir
Sri Hendrastuti Hidayat, MSc, Dr Ir Purnama Hidayat, MSc, Dr Ir Kikin Hamzah
Mutaqin, MSi, Dr Antarjo Dikin, MSc, dan Dr Ir Agus Sunanto, MP. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Giyanto, MSi dan Refa Firgianto, SP
yang telah berkenan memberikan isolat kontrol positif. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian sebagai penyandang dana
beasiswa Program Khusus Karantina pada Sekolah Pascasarjana IPB, Ir Purwo
Widiarto, MMA selaku Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
dan Iyar, SP selaku Kepala Wilayah Kerja Kantor Pos Bogor atas bantuan sarana
dalam kegiatan penelitian ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan rasa terima
kasih kepada rekan kerja di Laboratorium BBKP Tanjung Priok; Eneng Rina,
Iman Mardian, Didiet, serta rekan-rekan satu angkatan (Kelas 2013-2014) dan

teman-teman di laboratorium Bakteriologi PTN atas bantuan dan dukungannya.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Mbak Sari Nurulita dan
Tatit Sastrini yang telah membimbing dalam pengujian di laboratorium. Selain itu
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Alit, Miftachul Huda,
Bapak Agus Susilo, Mbak Mintarsih, Devi Ayu Komalaningrat, Sari, Dede Sri
Rahayu, Sylvia Herli Dianti, dan Sisca Prayudani Usman yang telah membantu
penulis selama proses pengambilan sampel di lapangan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, kakak, suami, anakanak, dan seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam proses penelitian ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu
per satu.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Haerani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv


DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2


TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Penting pada Tanaman Kentang yang disebabkan oleh Bakteri
Penyakit Busuk Lunak
Perkembangan E. chrysanthemi
Deteksi dan Identifikasi

3
3
5
7
8

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Pengambilan Sampel Tanaman
Deteksi Serologi
Isolasi dan Pemurnian Isolat
Uji Hipersensitivitas
Identifikasi Bakteri Busuk Lunak yang diduga E. chrysanthemi

10
10
10
10
10
11
11
12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala layu yang ditemukan di lapangan
Insidensi E. chrysanthemi berdasarkan Uji Serologi
Isolasi dan Pemurnian Isolat
Uji Hipersensitivitas
Identifikasi Isolat yang diduga E. chrysanthemi

17
17
18
19
20
21

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

64

DAFTAR TABEL
1 Penamaan terbaru anggota genus Dickeya dan inang utamanya
2 Ciri morfologi isolat bakteri asal tanaman kentang
3 Hasil pengujian hipersensitivitas isolat bakteri asal tanaman kentang
pada daun tembakau
4 Hasil pengujian patogenisitas dan fisiologi isolat bakteri asal tanaman
kentang dari beberapa sentra pertanaman kentang di Jawa
5 Hasil identifikasi isolat bakteri asal tanaman kentang berdasarkan
pemanfaatan sumber karbon dengan GEN III OmniLog ID System
6 Hasil BLAST nukleotida 16S rRNA isolat bakteri asal tanaman kentang
7 Homologi sikuen nukleotida gen 16S DNA isolat 49P-5, 71G-1, 71G-6,
dan 14M-6 dengan isolat-isolat dari negara lain

8
19
20
21
22
23
24

DAFTAR GAMBAR
1 Gejala penyakit yang disebabkan oleh R. solanacearum pada umbi
kentang; (a) oose keluar dari mata tunas umbi kentang (tertutup tanah),
(b) gejala pada jaringan vaskular berupa perubahan warna menjadi
kecoklatan serta adanya eksudat bakteri berwarna krem
2 Gejala penyakit kudis pada umbi kentang; (a) tipe menonjol, (b) tipe
cork lesion
3 Pengujian Gram, Isolat bakteri Gram negatif akan lengket apabila
dicampurkan dengan KOH 3% (a) sedangkan Gram positif tidak
lengket (b)
4 Uji katalase positif (a) dan negatif (b)
5 Uji katalase positif (kanan) dan oksidase negatif (kiri)
6 Pengujian O-ksidasi dan Fermentasi (O/F); (a) media O-F tanpa
glukosa, diinokulasi isolat kontrol +, (b) media O-F tanpa inokulasi, (c)
media O-F tanpa inokulasi dengan minyak parafin, (d) pengujian
kontrol +, (e) pengujian kontrol + dengan parafin
7 Pengujian pembusukan pada irisan umbi kentang, (a) diinokulasi isolat
kontrol positif (E. chrysanthemi asal anggrek), (b) tanpa inokulasi
8 Gejala layu dan busuk lunak pada tanaman kentang pada lokasi
pertanaman kentang di Pangalengan (a, e, dan i), Garut (b, f, dan j),
Dieng (c, g, dan k) dan Malang (d, h, dan l)
9 Hasil uji hipersensitif isolat bakteri asal tanaman kentang (a) isolat
14M-6 dan kontrol setelah 24 jam, (b) isolat 49P-5 setelah 48 jam (c)
isolat 71G-1 dan 71G-6 setelah 48 jam
10 Dendogram hasil pengujian GEN III OmniLog ID System terhadap
beberapa isolat asal tanaman kentang dan kontrol positif
E. chrysanthemi
11 Visualisasi hasil PCR menggunakan primer spesifik E. chrysanthemi (a)
dan primer universal 16S rRNA (b). M = penanda DNA(a)100 pb dan
(b) = 1 Kb (Thermo Scientific). Kolom 1= isolat 49P-5, 2= isolat 71G-

3
4

12
12
13

13
14

18

21

22

1, 3= isolat 71G-6, 4= isolat 14M-6, K(-) = kontrol negatif, K(+) =
E. chrysanthemi
12 Pohon filogeni P. oryzihabitans asal Indonesia (dicetak tebal) yang
diisolasi dari tanaman kentang bergejala busuk lunak dibandingkan
dengan E. chrysanthemi (PNG/ EF530559.1), D. zeae (Mexico/
KJ438953.1), D. paradisiaca (NCPPB2511), D. chrysanthemi (NZ/
EF178670.1), D. dadantii (Jepang/ AB713545.1), D. dianthicola
(Jepang/ AB713574.1), P. oryzihabitans (Jepang/ KP278170.1), dan
P. oryzihabitans (Cina/EU709757.1), P. oryzihabitans (Cina/
JX067903.1)
13 Pohon filogeni P. viridiflava asal Indonesia (dicetak tebal) yang
diisolasi dari tanaman kentang bergejala busuk lunak dibandingkan
dengan E. chrysanthemi (PNG/ EF530559.1), D. zeae (Mexico/
KJ438953.1), D. paradisiaca (NCPPB2511), D. chrysanthemi (NZ/
EF178670.1), D. dadantii (Jepang/ AB713545.1), D. dianthicola
(Jepang/ AB713574.1), P. viridiflava (Hungaria/ HE585219.1), dan
P. viridiflava (Spanyol/ GQ398129.1)

23

25

26

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

6

7

8

Nilai absorbansi ELISA sampel komposit tanaman kentang asal
Pangalengan Jawa Barat pada reaksi indirect ELISA menggunakan
antisera E. chrysanthemi
Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal
Pangalengan pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi
Nilai absorbansi ELISA sampel komposit tanaman kentang asal Garut
Jawa Barat pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi
Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal Garut
Jawa Barat pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi
Nilai absorbansi ELISA sampel komposit tanaman kentang asal Dieng
Jawa Tengah pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi
Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal Dieng
Jawa Tengah pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi (Plate-1)
Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal Dieng
Jawa Tengah pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi (Plate-2)
Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal Dieng
Jawa Tengah pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi (Plate-3)

36

37

38

38

39

40

41

42

9 Nilai absorbansi ELISA sampel komposit tanaman kentang asal BatuMalang Jawa Timur pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi
10 Nilai absorbansi ELISA sampel individu tanaman kentang asal BatuMalang Jawa Timur pada reaksi indirect ELISA menggunakan antisera
E. chrysanthemi (Plate-3)
11 Morfologi koloni isolat yang diduga genus Erwinia pada media NA
12 Hasil pembacaan pemanfaatan sumber karbon isolat 49P-5
menggunakan GEN III OmniLog ID System
13 Hasil pembacaan pemanfaatan sumber karbon isolat 71G-1
menggunakan GEN III OmniLog ID System
14 Hasil pembacaan pemanfaatan sumber karbon isolat 71G-6
menggunakan GEN III OmniLog ID System
15 Hasil pembacaan pemanfaatan sumber karbon isolat 14M-6
menggunakan GEN III OmniLog ID System
16 Runutan basa nukleotida isolat 49P-5 asal Pangalengan Jawa Barat
17 Runutan basa nukleotida isolat 71G-1 asal Garut Jawa Barat
18 Runutan basa nukleotida isolat 71G-6 asal Garut Jawa Barat
19 Runutan basa nukleotida isolat 14M-6 asal Batu-Malang Jawa Timur

43

43
44
45
46
47
48
49
53
57
60

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan data rata-rata produksi kentang nasional tahun 2008-2012,
sentra produksi kentang di Indonesia tersebar di 6 provinsi yang memberikan
kontribusi 92.81% dari produksi nasional. Jawa Barat merupakan sentra utama
produksi kentang di Indonesia dengan kontribusi sebesar 25.57% diikuti oleh
Jawa Tengah sebesar 24.63%, Sulawesi Utara sebesar 11.91%, Sumatera Utara
sebesar 11.91%, Jawa Timur sebesar 11.08% dan Jambi sebesar 7.70%.
Sementara provinsi lainnya hanya berkontribusi 7.19%. Kebutuhan kentang di
Indonesia cukup tinggi akan tetapi belum dapat dipenuhi oleh pasar dalam negeri
sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor kentang baik untuk
konsumsi maupun benih. Apabila dibandingkan dengan produksi kentang di
Eropa yang rata-ratanya mencapai sekitar 25.5 ton per hektar, produksi kentang di
Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 16 ton per hektar. Hal ini
kemungkinan terkait dengan ketersediaan benih kentang berkualitas yang baru
mencapai sekitar 10% dari kebutuhan nasional. Adapun volume impor kentang
untuk bibit tahun 2010 sampai 2012 berturut-turut sebesar 1 906.40 ton, 2 254.93
ton, 2 018.15 ton, sedangkan untuk konsumsi berturut-turut sebesar 89 271.81 ton,
106 899.26, dan 83 158.47 ton (Baharuddin et al. 2012; Barantan 2013; Pusdatin
2013).
Importasi kentang ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus
melalui pemeriksaan untuk menghindari kemungkinan terbawanya Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK). Berdasarkan lampiran Peraturan
Menteri Pertanian No. 93/Permentan/OT. 140/12/2011 tanggal 29 Desember 2011
tentang Jenis OPTK, terdapat 30 target pemeriksaan pada komoditas kentang.
Salah satu OPTK penting yang saat ini banyak diperhatikan adalah Erwinia
chrysanthemi (direklasifikasi sebagai Dickeya spp.) terkait dengan introduksi dan
penyebarannya yang saat ini meningkat di Eropa (Toth et al. 2011). Hingga saat
ini E. chrysanthemi tergolong kedalam OPTK A2 yang persebarannya tercatat
masih terbatas di wilayah Sumatera (Lampung) dan Jawa Barat (Bogor). Terkait
dengan reklasifikasi E. chrysanthemi menjadi Dickeya spp., status patogen ini
diusulkan menjadi A1 (belum ada di Indonesia) yang terdiri atas 7 spesies yaitu:
D. chrysanthemi, D. dadantii, D. dianthicola, D. dieffenbachiae, D. paradisiaca,
D. solani, dan D. zeae.
Sampai saat ini Badan Karantina Pertanian (Barantan) masih melakukan
pemutakhiran data mengenai wilayah sebar E. chrysanthemi. Dalam kegiatan
Pemantauan OPTK Barantan tahun 2011 E. chrysanthemi ditemukan pada
tanaman kentang dan cabai di wilayah Jawa Tengah (Kabupaten Batang dan
Brebes). Tahun 2013 E. chrysanthemi ditemukan pada tanaman jagung, kentang,
dan pisang di wilayah Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara, Banyumas, dan
Purbalingga), dan Jawa Timur (Kabupaten Malang). Akan tetapi temuan tersebut
masih harus divalidasi karena deteksi yang dilakukan hanya berdasarkan uji
serologi menggunakan antisera poliklonal.
Penyakit busuk pada kentang yang disebabkan oleh E. chrysanthemi di
pulau Jawa pertama kali dilaporkan oleh Muhammad Machmud pada tahun 1985
(Semangun 1989). E. chrysanthemi dilaporkan juga menyebabkan pembusukan

2

pada daun dan pangkal batang tanaman lidah buaya di Semplak, Bogor, Jawa
Barat (Supriadi et al. 2002). Beberapa informasi mengenai perkembangan
E. chrysanthemi di Indonesia mengarah pada D. dadantii (Hanudin et al. 2013).
Muharam et al. (2012) juga melaporkan bahwa salah satu penyebab penyakit
busuk lunak pada tanaman anggrek Phalaenopsis yang berasal dari DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan DI Yogyakarta ialah D. dadantii. Selain itu E. chrysanthemi
biovar 3 (sinonim dengan D. dadantii) diisolasi dari tanaman lidah buaya pada
lahan gambut di Kalimantan Barat (Supriyanto et al. 2011).
Kehilangan hasil pada tanaman kentang yang disebabkan oleh infeksi
Dickeya spp. di negara Israel yang merupakan pengimpor utama benih umbi
kentang dari Eropa mencapai 20-25% dengan kejadian penyakit lebih dari 15%.
Kerugian akibat infeksi patogen ini terhadap produksi kentang di Eropa
disebabkan oleh penolakan dan penurunan grade benih umbi kentang pada proses
sertifikasi benih karena diberlakukannya standar sertifikasi benih yang cukup
ketat oleh Uni Eropa. Infeksi Pectobacterium dan Dickeya pada tanaman kentang
di Belanda menyebabkan kerugian hingga €30 M, sedangkan di Finlandia
kejadian penyakit berdasarkan gejala busuk umbi kentang di lapangan mencapai
5-6% (Toth et al. 2011). Sebagai salah satu negara pengimpor kentang dari Eropa,
Indonesia harus mewaspadai kemungkinan masuknya patogen tersebut melalui
umbi bibit kentang. Beberapa wilayah yang menjadi daerah produksi kentang di
Pulau Jawa yaitu Pangalengan, Garut (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), dan
Batu-Malang (Jawa Timur). Pada lokasi tersebut diduga menjadi tempat
introduksi patogen dari luar negeri karena petani menanam kentang varietas
Atlantik yang benihnya merupakan benih impor. Perlu ditelusuri kemungkinan
masuk dan tersebarnya E. chrysanthemi ke wilayah Indonesia dengan mendeteksi
keberadaan patogen tersebut di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
E. chrysanthemi penyebab busuk lunak pada tanaman kentang di Jawa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang dapat menjadi
masukan bagi Barantan terkait status dan sebaran E. chrysanthemi penyebab
busuk lunak pada tanaman kentang di Jawa.
Hipotesis
Penyakit busuk lunak pada tanaman kentang di beberapa sentra pertanaman
kentang di Jawa disebabkan oleh E. chrysanthemi.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Penting pada Tanaman Kentang yang disebabkan oleh Bakteri
Beberapa penyakit penting disebabkan oleh bakteri pada tanaman kentang
menjadi ancaman utama terhadap produksi kentang yaitu layu bakteri, kudis, dan
busuk lunak. Penyakit layu bakteri masih merupakan kendala utama dalam
produksi kentang di Indonesia. Gejala layu bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia solanacearum mirip dengan gejala layu yang disebabkan oleh
kekurangan air atau karena infeksi patogen lain seperti Fusarium dan Verticillium.
Untuk mengetahui penyebab layu dapat dilakukan perendaman potongan batang
tanaman sakit dalam air jernih. Apabila gejala layu disebabkan oleh bakteri, maka
dalam beberapa menit potongan batang tersebut akan mengeluarkan cairan putih
keruh yang merupakan eksudat bakteri. Di Indonesia, penyakit layu bakteri dapat
ditemukan di seluruh daerah sentra produksi kentang di Pulau Jawa. Penyakit ini
menyebabkan kematian tanaman kentang hingga 10-30% bahkan dapat
menurunkan hasil produksi kentang sampai 80%. Selain pada tanaman kentang,
penyakit layu bakteri juga merupakan penyakit utama pada tanaman tomat,
terung, cabai, lada, jahe, kacang tanah, pisang, dan tembakau baik di daerah tropis
maupun subtropis (Semangun 1989; Arora dan Khurana 2004; Purwito dan
Wattimena 2008).

a

b

Gambar 1 Gejala penyakit yang disebabkan oleh R. solanacearum pada umbi
kentang; (a) oose keluar dari mata tunas umbi kentang (tertutup
tanah), (b) gejala pada jaringan vaskular berupa perubahan warna
menjadi kecoklatan serta adanya eksudat bakteri berwarna krem
Bagian mata tunas umbi kentang yang terinfeksi R. solanacearum
mengeluarkan lendir yang merupakan eksudat bakteri, bagian ini biasanya terutup
oleh tanah yang menempel pada lendir (Gambar 1a). Gejala penyakit ini
ditemukan di tempat pengambilan sampel Pangalengan, Jawa Barat yang mirip
dengan gejala yang dideskripsikan oleh Arora dan Khurana (2004). Apabila umbi
dibelah, maka akan terlihat jaringan vaskular yang berwarna kecoklatan dan
adanya eksudat bakteri berwarna krem sampai kelabu (Gambar 1b). Gejala busuk
ini mirip dengan penyakit busuk cincin yang disebabkan oleh Clavibacter
michiganensis subsp. sepedonicus, namun pada jaringan vaskular umbi yang
terinfeksi penyakit busuk cincin akan terlihat masa seperti keju berbau busuk
dengan warna kuning pucat sampai coklat muda, umbi yang terserang busuk

4

cincin mata tunasnya tidak mengeluarkan lendir (Semangun 1989; Duriat et al.
2006).
Penyakit kudis terdapat pada beberapa area penanaman kentang di Afrika,
Asia, Eropa, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Penyakit ini menyebabkan
lesio pada bagian permukaan umbi kentang dan berpengaruh terhadap kualitas
produk. Umbi kentang yang bergejala penyakit kudis akan turun harga jualnya
karena tampilannya yang kurang menarik dan juga perlu dikupas lebih dalam
sebelum dapat dikonsumsi. Lembaga sertifikasi benih di India menetapkan
kejadian penyakit kudis pada benih kentang tidak boleh melebihi 5% per lot, hal
tersebut menimbulkan kerugian yang cukup besar pada industri benih. Penyebab
penyakit kudis adalah Streptomyces scabies, S. acidiscabies, S. turgidscabis,
S. collinus, S. griseus, S. longisporoflavus, S. cinereus, S. violaceoruber,
S. arbogriseolus, S. griseoflavus, dan S. catenulae (Arora dan Khurana 2004).
Patogen utama penyebab penyakit kudis adalah S. scabies yang telah dilaporkan
menyebabkan lesio seperti kudis pada permukaan umbi kentang. Patogen ini dapat
menginfeksi tanaman umbi-umbian yang lain diantaranya lobak, parsnip (wortel
putih), bit, dan wortel. Gejala penyakit kudis pada permukaan umbi kentang
bervariasi seperti corklike lesion, menonjol, dan lesio berlubang. Gejala kudis
biasanya terlambat ditemukan pada akhir musim tanam atau pada saat panen.
Lesio berawal dari spot kecil kecoklatan yang kemudian melebar menjadi lesio
sirkular water-soaked. Lesio sirkular tersebut kemudian bersatu membentuk area
kudis yang lebar. Pada kasus infeksi yang parah, lesio dapat menutupi seluruh
permukaan umbi. Patogen penyebab kudis pada umbi kentang dapat bertahan pada
tanah, permukaan umbi, maupun sisa-siasa tanaman. Populasi patogen dapat
ditekan dengan cara melakukan rotasi tanaman bukan inang, akan tetapi tidak
dapat menghilangkan keberadaanya di dalam tanah (Wharton et al. 2007).

a

b

Gambar 2 Gejala penyakit kudis pada umbi kentang; (a) tipe menonjol, (b) tipe
cork lesion (Sumber foto: Aprilyani)
Bakteri S. scabies termasuk kelompok Actinobacteria. Patogen ini dapat
membentuk miselium bercabang, spora berbentuk seperti rantai spiral yang dapat
terlepas dan membentuk spora individu. Apabila spora sudah matang akan
terbentuk pigmen warna abu-abu. Ketika spora kontak dengan inang yang sesuai

5

maka spora akan berkecambah dan proses infeksi dimulai (Wharton et al. 2007).
Gejala kudis yang ditemukan pada tempat pengambilan sampel di kawasan Dieng,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah adalah tipe menonjol
dan cork lesion (Gambar 2).
Penyakit busuk lunak bakteri dapat ditemukan di hampir semua lokasi
penanaman kentang dan dapat memengaruhi tanaman pada semua tahapan
pertumbuhan. Penyakit ini menyebabkan busuk lunak pada saat pemanenan,
transit, penyimpanan, dan menyebabkan gejala busuk kaki pada daun selama masa
tanam. Gejala black leg terjadi terutama pada daerah beriklim temperate dengan
kondisi daun tanaman yang rimbun/rapat. Kehilangan hasil pada proses
penyimpanan atau transit dalam kondisi ventilasi yang buruk dapat mencapai
80%. Bakteri yang dilaporkan dapat menimbulkan gejala busuk lunak adalah
E. carotovora subsp. carotovora, E. carotovora subsp. atroseptica (sinonim
Pectobacterium carotovorum), E. chrysanthemi, Bacillus polymixa, B. subtilis,
B. mesentericus, B. megaterium, Pseudomonas marginalis, P. viridiflava,
Clostridium spp., Micrococcus spp., dan Flavobacterium (Arora dan Khurana
2004).
Penyakit Busuk Lunak
Bakteri penting penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman kentang
maupun pertanaman hortikultura yang lain adalah Pectobacterium (soft rot
Enterrobacteriaceae) dan Erwinia spp. (pectinolitic) yang direklasifikasi sebagai
Dickeya spp (Czajkowski et al. 2014).
Gejala busuk lunak
Gejala penyakit busuk lunak pada tanaman kentang di lapangan yang
disebabkan oleh E. chrysanthemi maupun Pectobacterium spp. sangat mirip.
Kisaran gejala bergantung pada spesies, isolat, kondisi lingkungan dan jenis
kultivar yang digunakan. Penyakit yang disebabkan oleh E. chrysanthemi
(Dickeya spp.) pada kondisi basah dan hangat akan menunjukkan gejala busuk
batang (stem rotting) yang mirip dengan gejala infeksi P. atrosepticum. Tanaman
yang terserang P. atrosepticum secara khas menunjukkan gejala black leg pada
kondisi lingkungan yang dingin dan lembab, sedangkan gejala penyakit yang
desebabkan oleh Dickeya spp. sebagian besar ditemukan pada kondisi hangat
ketika suhu melebihi 25 ᵒC. D. dianthicola dan D. solani dapat berkembang
dengan baik pada suhu 21 ᵒC dan 27 ᵒC sedangkan Pectobacterium atrosepticum
dapat tumbuh pada suhu 21ᵒC akan tetapi tidak mampu berkembang pada suhu 27
ᵒC. Dickeya lebih agresif menyerang tanaman kentang dibandingkan
Pectobacterium atrosepticum karena mampu menyerang jaringan vaskular lebih
cepat (Elphinstone dan Toth 2007; Toth et al. 2011).
Gejala busuk lunak pada umbi kentang, sangat mirip baik disebabkan oleh
Dickeya spp. atau Pectobacterium spp. Busuk lunak pada umbi kentang berupa
perubahan warna jaringan vaskular hingga pembusukan secara keseluruhan. Pada
bagian tepi jaringan yang busuk akan berwarna hitam. Lesio biasanya pertama
kali berkembang di lentisel, pada bagian menempelnya stolon atau pada luka
Penelitian terbaru di Scottish Crop Research Institute (SCRI) menunjukan bahwa
pada suhu yang lebih tinggi (27 ᵒC) Dickeya spp., menyebabkan busuk yang lebih
parah dibandingkan P. atrosepticum dan memperlihatkan gejala busuk yang
berwarna krem seperti keju. Gejala awal pada daun bagian atas berupa layu

6

dengan tepian daunnya mengering bahkan hingga keseluruhan daun. Gejala
seperti ini akan terlihat pada daun di bagian bawah, pada kasus yang ekstrim
keseluruhan tanaman akan mengering. Seringkali hanya satu bagian batang saja
yang menunjukan gejala. Perkembangan gejala biasanya berhubungan dengan
busuk lunak pada umbi yang menjadi indukan. Jaringan vaskular berwarna
kecoklatan, perkembangannya dari bagian bawah menuju ke atas hingga akhirnya
jaringan batang mengalami nekrosis. Sedangkan pada bagian luar batang tetap
terlihat hijau hingga daun menjadi layu secara keseluruhan. Pada kondisi hangat
dan kering gejala biasanya akan terlihat ketika suhu udara mencapai 25 ᵒC
(Drive 2007; Elphinstone dan Toth 2007; Toth et al 2011).
Gejala busuk lunak dan busuk kaki yang disebabkan oleh Pectobacterium
spp. mudah dibedakan dengan gejala yang disebabkan oleh patogen lain secara
visual sedangkan gejala penyakit yang disebabkan oleh D. dianthicola atau
D. solani dalam kondisi hangat dan kering akan sulit dibedakan dengan gejala
layu yang disebabkan oleh Verticillium dahliae atau layu karena senescence.
Gejala pada umbi yang disebabkan oleh Dickeya spp. juga akan sulit dibedakan
dengan penyakit lain seperti busuk cincin yang disebabkan oleh bakteri
R. solanacearum atau C. michiganensis subsp. sepedonicus karena gejalanya
sangat mirip yaitu memucatnya warna dan membusuknya jaringan cincin vaskular
pada bagian dalam umbi kentang.
Penyebaran patogen
Dickeya spp. menyebar luas melewati batas-batas negara, terbawa oleh
bagian tanaman yang terinfeksi. Penyebaran yang paling penting dari patogen ini
yaitu melalui benih umbi kentang yang terinfeksi laten. Patogen dapat terbawa
pada permukaan umbi, lentisel, dan pada sistem vaskular tanaman yang secara
sistematik memasuki tanaman melalui stolon (dari tanaman indukan) atau melalui
akar. Patogen menginfeksi lentisel melalui permukaan umbi yang basah,
menyebabkan permukaan tersebut tertekan secara sirkuler. Umbi busuk menyebar
dengan cepat pada saat pengangkutan atau penyimpanan di gudang. Baik di
lapangan maupun di gudang, busuk lunak sering dipicu oleh kerusakan mekanis
atau kerusakan oleh serangan hama dan penyakit lainnya pada umbi. Selain
melalui umbi kentang, patogen ini juga dilaporkan dapat terbawa aliran air sungai
(Toth et al. 2011).
Pengendalian penyakit busuk lunak
Pengendalian penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh Pectobacterium
atrosepticum maupun Dickeya spp. di Eropa dilakukan melalui sertifikasi benih
seiring dengan peraturan yang telah ditetapkan secara nasional maupun di
komunitas Eropa. Sebagian besar benih umbi kentang diturunkan dari nuclear
stock microplants yang bebas dari patogen. Status kesehatan benih ini terus
dikonfirmasi setiap 4 tahun melalui survei pada 25–30 benih setiap kultivar.
Skema klasifikasi benih umbi kentang menetapkan toleransi terhadap level gejala
busuk lunak dan busuk kaki yang dilakukan saat inspeksi visual di lahan
pertanaman dan terhadap umbi kentang setelah pemanenan sebelum dipasarkan.
Untuk benih berkualitas tinggi ditetapkan zero tolerance terhadap penyakit busuk
lunak dan busuk kaki baik di pertanaman maupun pada umbi. Tetapi toleransi
pada tingkat perbanyakan benih berikutnya bervariasi di setiap negara (Drive
2007; Toth et al 2011).

7

Perkembangan E. chrysanthemi
Bakteri E. chrysanthemi merupakan Gram-negatif, anaerobik fakultatif, rodshaped berukuran 1.1-3.8 × 0.5-1 µm, biasanya tunggal, motile dengan beberapa
flagel tipe peritrik. Bakteri ini memiliki sifat oksidase-negatif, katalase-positif,
dapat memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat. Ciri utama yang
membedakan Erwinia yang menyebabkan busuk lunak dari spesies Erwinia yang
lain adalah kemampuan untuk memproduksi enzym pectolytic dalam jumlah yang
sangat besar sehingga dapat melunakkan jaringan parenkim pada berbagai jenis
tumbuhan. Kisaran tanaman inang E. chrysanthemi cukup luas, terutama pisang,
Chrysanthemum spp., Dianthus spp., jagung, kentang dan tomat (Samson et al.
2005; CABI 2007).
Pada awal perkembangannya E. chrysanthemi dibagi kedalam kelompok
patovarnya sesuai dengan inangnya masing-masing. E. chrysanthemi telah
diisolasi dari lebih 50 jenis tanaman yang berbeda. Sistem klasifikasi lainnya
dengan menggunakan kriteria biokimia dan fisiologi seperti pertumbuhan pada 39
ᵒC, produksi arginin dihidrolase, dan kemampuan untuk mengatabolisis beberapa
jenis gula telah disampaikan oleh Samigon dan Nassan-Agha (1978), akan tetapi
pengelompokkan berdasarkan biovar ini tidak berkorelasi dengan patovar.
Boccara et al. (1991) mengklasifikasi E. chrysanthemi dengan menggunakan
restriction fragment length polymorphisms (RFLP) dari 52 strain E. chrysanthemi
yang telah diisolasi dari beberapa inang dengan lokasi yang berbeda dan
mengelompokannya ke dalam 10 grup.
Meskipun Waldee (1945) telah mengusulkan penggolongan pectolytic
Erwiniae ke dalam genus baru yaitu Pectobacterium berdasarkan sifat
biokimianya, baru pada tahun 1998 diperoleh informasi terbaru dari analisis 16S
rDNA yang mendorong diterimanya penamaan ini secara luas oleh komunitas
ilmiah. Pectobacterium carotovorum subsp.carotovorum (syn. Erwinia
carotovora subsp. carotovora) dan Pectobacterium atrosepticum (syn. Erwinia
carotovora subsp. atroseptica) tetap berada pada genus ini. Analisis terbaru
Pectobacterium chrysanthemi berdasarkan 16S rDNA, hibridisasi DNA, dan
karakter biokimia menunjukkan bahwa patogen ini dapat dibedakan dari
pectobacteria dan digolongkan ke dalam kelompok dan genus yang baru dengan
nama yang diusulkan yaitu Dickeya (sesuai nama peneliti, microbiologist Robert
S. Dickey). Belum lama ini Dickeya dibagi ke dalam 6 spesies berdasarkan
klasifikasi biovar dan patovar (Samson et al. 2005), kemudian bertambah satu
jenis lagi yaitu D. solani (Toth et al. 2011).

8

Tabel 1 Penamaan terbaru anggota genus Dickeya dan inang utamanya
Nama Baru
D. dianthicola

D. dadantii

D. zeae

D. chrysanthemi bv.
chrysanthemi
D. chrysanthemi bv.
parthenii
D. paradisiaca

D. dieffenbachiae

Nama Sebelumnya
E. chrysanthemi biovar 1, 7, dan 9
E. chrysanthemi pv dianthicola
Pectobacterium chrysanthemi pv.
Dianthicola
E. chrysanthemi biovar 3
(beberapa strains)
P. chrysanthemi biovar 3
(beberapa strains)
E. chrysanthemi biovar 8 dan
strains lain pada biovar 3
P. chrysanthemi biovar 8
dan strains lain pada biovar 3
E. chrysanthemi biovar 5
E. chrysanthemi pv. chrysanthemi
P. chrysanthemi pv. chrysanthemi
E. chrysanthemi biovar 6
E. chrysanthemi pv. parthenii
P. chrysanthemi pv. parthenii
E. chrysanthemi biovar 4
E. chrysanthemi pv. paradisiaca
E. paradisiaca
Brenneria paradisiaca
E. chrysanthemi biovar 2
E. chrysanthemi pv. dieffenbachiae
P. chrysanthemi pv. dieffenbachiae

Inang
anyelir, kentang, tomat, chicory,
artichoke, dahlia dan cocor
bebek.
Pelargonium sp, nenas,
kentang, Dianthus spp.,
Euphorbia sp., ubi jalar, pisang,
jagung, Philodendron sp., dan
saintpaulia.
jagung, kentang, nanas,
pisang, tembakau, padi,
Brachiaria, dan krisan
krisan, chicory, tomat, dan bunga
matahari
Parthenium, artichoke, dan
Philodendron
pisang, jagung, dan kentang

cocor bebek, tomat, dan
pisang

Sumber tabel: Samson et al. 2005

Dickeya spp. pertama kali dilaporkan ditemukan pada tanaman kentang di
Eropa yaitu di Belanda pada tahun 1970an, kemudian juga dilaporkan telah
ditemukan pada beberapa negara lain di Eropa. Sebagian besar isolat Dickeya spp.
yang ditemukan di Eropa adalah D. dianthicola. Patogen ini secara luas telah
dilaporkan ditemukan pada berbagai inang termasuk kentang. Selain dapat
berkembang pada iklim dingin, patogen ini pun dapat beradaptasi pada iklim
hangat. Pada 5 tahun terakhir kehilangan hasil pada tanaman kentang yang
disebabkan oleh Dickeya spp. telah meningkat secara signifikan pada beberapa
kultivar di sejumlah negara Eropa dan Israel (merupakan negara pengimpor utama
benih umbi kentang dari Eropa). Hal ini berkaitan dengan munculnya patogen
baru Dickeya spp. yang menyebar melalui perdagangan benih umbi kentang, dan
kemungkinan bisa memberikan dampak yang lebih besar sebagai konsekuensi dari
perubahan iklim (Toth dan Elphinston 2007; Toth et al. 2011; Garlant et al. 2013).
Deteksi dan Identifikasi
Beberapa cara untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bakteri penyebab
busuk lunak (Pectobacterium dan Dickeya) seperti morfologi dan biologi, serologi
(immunologi), dan molekuler berdasarkan amplifikasi sikuen asam nukleat
(Czajikowski et al. 2014). Secara morfologi pertumbuhan Erwinia yang
menyebabkan busuk lunak dapat diamati dengan jelas pada media selektif crystal

9

violet pectate (CVP) yang mengandung NaNO3, sodium polypectate, dan crystal
violet. Selain Erwinia, bakteri lain yang juga menyebabkan busuk lunak dapat
tumbuh pada media CVP. Pada media tersebut Erwinia penyebab busuk lunak
dapat dibedakan dari Pseudomonas spp. dari cekungan yang terbentuk pada
permukaan media datar (Cuppels dan Kelman 1973). Pada media CVP Erwinia
akan membentuk cekungan setelah 48 jam. E. carotovora subsp. atroseptica
membentuk cekungan hanya pada suhu 27 ºC, sedangkan E. carotovora subsp.
carotovora hingga suhu 33.5 ºC dan E. chrysanthemi hingga suhu 37 ºC (De Boer
dan Kelman 2001).
Metode serologi sangat berguna untuk identifikasi awal isolat bakteri yang
dimurnikan dari sampel tanaman maupun tanah. Antisera dan kit ELISA telah
tersedia secara komersial dan dapat medeteksi Dickeya spp., antibodi umumnya
secara langsung mendeteksi O-serogroup 1 dan hanya mengenali 68% strain. Kit
ELISA komersial dapat memberikan hasil false positive, juga memiliki
keterbatasan terkait sensitivitas deteksi. Telah ditemukan pula antibodi
monoklonal yang dapat mendeteksi isolat D. dianthicola dan beberapa spesies
Dickeya yang lain dengan metode triple antobody sandwich (TAS) ELISA. Akan
tetapi sensitivitasnya terbatas hanya 107 cfu/mL Alternatif lain dari metode
serologi adalah Luminex xMAP® technology yang dapat digunakan untuk
mendeteksi P. atrosepticum dan D. dianthicola, akan tetapi perlu dilakukan
pengayaan bakteri pada media semi selektif polypectate broth agar kerapatan
bakteri berada pada tingkat yang dapat terdeteksi (Elphinstone dan Toth 2007).
Metode PCR dengan pasangan primer ADE1/ADE2 dapat digunakan untuk
mendeteksi E. chrysanthemi dengan sensitivitas hingga 103 cfu/mL. Bagian
conserved region gen pectate lyase (pelADE) berukuran 420 pb sangat spesifik
pada E. chrysanthemi. Tidak ada produk PCR diperoleh dari sampel yang
diekstrak baik dari bakteri pektinolitik maupun non pektinolitik genus lain (Nassar
et al. 1996). Pasangan primer lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi
E. chrysanthemi adalah Ec3F/Ec4R. Primer ini didisain untuk membedakan 2
bakteri penyebab busuk lunak yaitu E. chrysanthemi dan E. carotovora subsp.
carotovora. Fragmen DNA berukuran 548 pb teramplifikasi dari E. chrysanthemi,
sedangkan E. carotovora subsp. carotovora berukuran 497 pb (Hseu et al. 2007).
Teknik lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri adalah uji
pemanfaatan sumber karbon yang telah dikomersialkan, yaitu GEN III
OmniLog® ID System (Biolog, Hayward, CA, USA). Metode ini didesain untuk
menganalisis reaksi biokimia yang terdiri atas 94 senyawa karbon yang berbeda
termasuk gula, asam karboksilat, asam amino, dan peptida (71 diantaranya
merupakan sumber karbon dan 23 uji kimiawi, termasuk pH, toleransi terhadap
garam, dan uji sensitivitas terhadap bahan kimia). GEN III OmniLog ID System
merupakan metode cepat yang telah distandardisasi untuk menentukan reaksi
oksidasi bakteri terhadap berbagai sumber karbon secara simultan. Hasil dari
reaksi tersebut kemudian dibandingkan dengan basis data melalui analisis hasil
reaksi ‘ya’ dan ‘tidak’ sehingga dapat mengidentifikasi sampel bakteri yang diuji
(Sandle et al. 2013).

10

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor dan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung
Priok, Wilayah Kerja Bogor. Penelitian dilakukan sejak bulan Juli 2014 sampai
dengan Januari 2015.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Thermo Scientific Multiscan® FC Microplate
Photometer (ELISA Reader), Biolog MicroStation Reader, turbidimeter, dan
thermocycler PCR. Bahan yang digunakan adalah kit ELISA E. chrysanthemi
(kode: 1080, Agdia), GEN III OmniLog® ID System (Biolog, Hayward, CA,
USA), primer spesifik E. chrysanthemi Ec3F dan Ec4R, serta primer universal
16S rRNA 27F dan 1429R.
Pengambilan Sampel Tanaman
Sampel tanaman kentang diambil dari 4 lokasi pertanaman yaitu Kecamatan
Pangalengan Jawa Barat pada posisi S 07’ 11 851’ E 107’ 36 476’ di ketinggian
1459 m, Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut Jawa Barat pada posisi S 07’ 24
22 26’ E 107’ 49 38 76’ pada ketinggian 1380 m, kawasan Dieng Kecamatan
Batur Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah pada posisi S 07’ 12 087’ E 109’ 46
057’ pada ketinggian 1400 m, dan Kecamatan Bumiaji Kota Batu-Malang Jawa
Timur pada posisi S 07’44 937’ E 112’ 32 049’ di ketinggian 1656 m. Tiap lokasi
diambil 100 tanaman yang menunjukkan gejala layu serta busuk basah. Bagian
tanaman yang diambil adalah pangkal batang dan umbi. Umur tanaman berkisar
antara 50-90 hari setelah tanam (HST). Sampel dimasukkan ke dalam amplop
coklat, diberi nomor dan disusun dalam wadah yang tidak terlalu rapat agar tidak
basah/busuk, disimpan dalam kulkas bersuhu 4 ᵒC sampai digunakan untuk
pengujian.
Deteksi Serologi
Deteksi serologi terhadap sampel tanaman bergejala layu dilakukan untuk
menentukan insidensi E. chysanthemi dan seleksi awal sampel yang akan
diisolasi. Deteksi serologi dilakukan dengan indirect enzyme-linked
immunosorbent assay (I-ELISA) menggunakan probe antibody (IgG Rabbit) dan
conjugate [Goat anti-Rabbit (IgG-AP) enzym conjugate] E. chrysanthemi
(Adgen). Sampel tanaman dari lapangan dibuat menjadi 20 sampel komposit dari
tiap lokasi; 1 sampel komposit terdiri atas 5 tanaman. Pada sampel komposit yang
positif, selanjutnya dideteksi lagi tiap individu untuk mengetahui insidensidari
tiap lokasi. Bagian pangkal batang dan umbi tanaman kentang digerus dalam
coating buffer dengan perbandingan 1:4 (b:v), kemudian dimasukkan ke dalam
sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100 µL dan diinkubasi pada suhu 4
o
C selama semalam. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci sebanyak 3 kali dengan
phosphat buffer saline tween (PBST), kemudian plat mikrotiter diisi dengan 200

11

µL blocking buffer (5 g non fat dried milk powder dalam 100 ml PBST) dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Plat dicuci 3 kali dengan PBST, dan
diberi 100 µL antiserum pertama E. chrysanthemi (dilarutkan dalam bufer
konjugat dengan perbandingan 1:8000), dan selanjutnya diinkubasi selama 2 jam
pada suhu 37 oC. Setelah 2 jam, plat dicuci 3 kali kemudian diisi 100 µL GAR-AP
conjugate yang dilarutkan dalam bufer konjugat (1:4000). Setelah diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 37 oC plat dicuci 3 kali dengan PBST. Sumuran diisi
dengan 100 µL pNPP yang dilarutkan dalam bufer pNPP dengan perbandingan
1:1. Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dilakukan pengamatan
secara kuantitatif menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.
Reaksi dihentikan dengan cara menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µL
ke dalam masing-masing sumuran. Pada setiap pengujian disertakan kontrol
negatif, kontrol positif, dan bufer. Uji dinyatakan positif jika nilai absorbansi
ELISA (NAE) sampel uji ≥ 2 kali NAE kontrol negatif (tanaman sehat).
Isolasi dan Pemurnian Isolat
Sampel individu yang menunjukkan positif E. chrysanthemi pada pengujian
ELISA, kemudian diisolasi menggunakan media selektif casamino acid peptone
glucose (CPG) (Cuppels dan Kelman 1974). Batang dan umbi dari tanaman
kentang bergejala layu dan busuk dicuci dengan air mengalir kemudian
disterilisasi permukaan menggunakan alkohol 70%. Selanjutnya batang dan umbi
dicacah menggunakan skalpel steril (sebelumnya telah dicelupkan dalam alkohol
70% dan dibakar api bunsen). Potongan sampel direndam dalam akuades steril
hingga keluar masa bakteri (oose), kemudian divortex. Suspensi diencerkan
bertingkat, dan sebanyak 100 µL dari masing-masing pengenceran ditumbuhkan
pada media CPG.
Koloni tunggal bakteri yang tumbuh setelah 24-48 jam diambil
menggunakan jarum ose steril (dicelupkan dalam alkohol 70% dan dibakar api
bunsen), dan digores pada media nutrient agar (NA) dengan metode kuadran.
Koloni tunggal yang tumbuh kemudian digores kembali pada media NA untuk
memastikan bahwa bakteri yang tumbuh berasal dari koloni tunggal. Isolat murni
bakteri yang diduga E. chrysanthemi kemudian diidentifikasi.
Sebelum dilakukan identifikasi, isolat bakteri terlebih dahulu diuji sifat
patogennya melalui uji hipersensitivitas sehingga diharapkan hanya bakteri yang
memiliki sifat patogen saja yang disertakan dalam rangkaian pengujian.
Uji Hipersensitivitas
Suspensi bakteri dengan kepadatan 109 CFU/mL berumur 24 jam diambil
menggunakan syringe steril yang telah dilepas bagian jarumnya, disuntikkan ke
tanaman tembakau dari bagian bawah daun. Setelah 24-48 jam diamati gejala
yang muncul pada bagian daun tembakau yang disuntik dengann suspensi bakteri.

12

Identifikasi Bakteri Busuk Lunak yang diduga E. chrysanthemi
Karakter fisiologi
Menurut Hyman et al. (2002), beberapa pengujian sifat fisiologi yang perlu
dilakukan untuk mengetahui karakter Erwinia yaitu uji oksidase, katalase,
oksidasi-fermentasi, dan kemampuan untuk menyebabkan busuk pada umbi
kentang. Tahapan pengujian dikerjakan sesuai dengan prosedur yang telah
dilakukan oleh De Boer dan Kelman (2001).
Uji Gram. Gelas objek steril, ditetesi larutan KOH 3% pada bagian
tengahnya. Koloni bakteri diambil menggunakan jarum ose, kemudian
dicampurkan dalam larutan KOH tersebut. Perlahan ose diangkat dari campuran
tersebut. Apabila campuran bakteri dan KOH menempel/lengket pada jarum ose
saat terangkat, maka koloni bakteri tersebut tergolong Gram negatif. Sebaliknya
apabila campuran tidak menempel/lengket menunjukkan bakteri Gram positif
(Gambar 3).

a

b

Gambar 3 Pengujian Gram, Isolat bakteri Gram negatif akan lengket apabila
dicampurkan dengan KOH 3% (a) sedangkan Gram positif tidak lengket
(b)
Uji katalase. Gelas objek steril, ditetesi larutan H2O2 (hidrogen peroksida)
pada bagian tengah. Koloni bakteri diambil menggunakan jarum ose, kemudian
dicampurkan dalam larutan H2O2 tersebut. Apabila muncul gelembung maka
koloni bakteri tersebut bersifat katalase positif dan sebaliknya jika tidak muncul
gelembung (Gambar 4).

a

b
Gambar 4 Uji katalase positif (a) dan negatif (b)

Uji oksidase. Uji katalase dilakukan pada kertas saring steril. Kertas ditetesi
larutan tetramethyl-p-phenylenediamine dihydrochl