Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|Alu-1) pada Sapi Lokal Indonesia dengan Teknik PCR-RFLP

RINGKASAN
Rayhanah Bey Nasution. DI4080014. 2013. Identifikasi Keragaman Gen Follicle
Stimulating Hormone Receptor (FSHR|Alu-1) pada Sapi Lokal Indonesia dengan
Teknik PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si.
Upaya perbaikan genetik terhadap mutu produktivitas ternak dapat dilakukan
melalui seleksi pada tingkat molekuler. Perbaikan mutu genetik ternak terhadap nilai
produktivitas terutama dalam reproduksi untuk menghasilkan fenotipe dan genotipe
ternak yang lebih baik sangat dipengaruhi oleh keberadaan gen di dalamnya. Gen
yang sangat berperan penting terhadap kemampuan fungsi reproduksi tersebut adalah
gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR). Sampel uji pelaksanaan
penelitian ini dilakukan pada sapi lokal Indonesia yang terdiri atas sapi Bali, Aceh,
Pesisir, PO, dan Katingan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman Gen
Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) dengan teknik Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi di
Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak (LGMT), Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Total sampel yang diamati berjumlah 129 sampel DNA. Sampel
tersebut terdiri dari 16 sampel sapi Bali, 12 sapi Aceh, 29 sapi Pesisir, 32 sapi PO,

dan 40 sapi Katingan. Sampel tersebut berasal dari sejumlah tempat, seperti BIB
(Balai Inseminasi Buatan) Lembang dan Singosari, BIBD (Balai Inseminasi Buatan
Daerah) sapi Bali dan BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) sapi Bali.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu amplifik asi DNA melalui
proses Polymerase Chain Reaction (PCR) dan pemotongan DNA sel target dengan
teknik Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Enzim restriksi yang
digunakan adalah enzim Alu-1 yang memotong pada posisi basa spesifik AG|CT.
Nilai keragaman gen FSHR diperoleh dengan analisis frekuensi genotipe, frekuensi
alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho), dan nilai heterozigositas harapan (He).
Produk PCR yang dihasilkan dari proses amplifikasi gen FSHR dengan suhu
annealing 60°C selama 45 detik mempunyai panjang fragmen sebanyak 306 pb.
Pemotongan DNA terhadap produk PCR dengan teknik RFLP terhadap gen
(FSHR|Alu-1) menghasilkan dua jenis alel (C dan G) dan menghasilkan tiga macam
genotipe yaitu, CC (243 dan 63 bp), CG (243, 193, 63 dan 50 bp), dan GG (193, 50
dan 63 bp). Pendugaan nilai heterozigositas tertinggi ditemukan pada sapi Aceh dan
heterozigositas terendah pada sapi Bali. Identifikasi keragaman gen FSHR|Alu-1
menujukkan bahwa sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan bersifat polimorifk
dengan sapi Bali memiliki sifat gen homozigot (nilai genotipe CC dan GG).
Kata-kata kunci: sapi, gen FSHR, PCR-RFLP, keragaman genetik.


ABSTRACT
Identification Polymorphism of The Follicle Stimulating Hormone Receptor
(FSHR|Alu-1) Gene in Indonesian Cattle Using PCR-RFLP Technique.
Nasution, R. B., C. Sumantri and Jakaria
Polymerase chain reaction (PCR) is a technology to amplificate the specific
fragments of DNA in vitro. PCR-RFLP is one of the PCR technic was developed to
visualize the differences of DNA levels by using enzyme restriction. This research
was conducted to identify polymorphism of Follicle Stimulating Hormone Receptor
(FSHR) gene in Indonesian cattle, consits of Bali, Aceh, PO, Pesisir and Katingan.
Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) gene is the one of the esensial
hormone receptor in reproductivity animal system. It will induce the spermatogenesis
and oogenesis process with spesific receptor interaction on male and female cell
target. Total of sampels used in this reseach are 129 samples consist of Bali Cattle 16
heads, Aceh 12 heads, PO 29 heads, Pesisir 32 heads, and Katingan 40 heads. The
result of this identify polymorphism showed that there are two alelles of C and G and
three genotipes (CC, CG, and GG) in Aceh, PO, Pesisir, and Katingan cattle.
Heterozygositas of each sample showed that heterozygositas expectation (He) is
higher than heterozygositas observation (Ho). The higest heterozygosity value was
found in Pesisir Aceh cattle, while the lower heterozygosity value was found in Bali
cattle population. Based on the analysis, Indonesian cattle breed (Aceh cattle, Pesisir

cattle, PO cattle, and katingan cattle) are polymorphic in FSHR gene with three
genotipes (GG, GC, CC) and two alelles (G and C), while the Bali cattle is
homozigot with only two genotipes CC and GG.
Keywords: Cattle, FSHR Gene, PCR-RFLP, Polymorphism.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi sumber daya genetik sapi lokal Indonesia sangat beragam dan belum
dimanfaatkan secara optimal. Populasi sapi yang semakin berkembang di Indonesia
telah menghasilkan sumber daya genetik yang lebih beragam pula. Sumber daya
genetik yang semakin beragam akan membuat populasi tersebut semakin tahan untuk
hidup dalam jangka waktu yang lebih lama dan semakin tinggi daya adaptasi
populasi terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002).
Pelaksanaan seleksi pada tingkat molekuler terhadap sumber daya genetik
tersebut belum banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut dilakukan sebagai upaya
untuk mendapatkan ternak lokal unggul yang memiliki produktivitas tinggi dalam
rangka meningkatkan kemampuan produksi dan reproduksi pada sapi lokal
Indonesia.
Salah satu gen yang esensial dalam mempengaruhi sifat reproduksi pada
ternak sapi lokal adalah gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR).

Keberadaan gen tersebut dapat membantu peningkatan produksi sperma dalam testis
sapi jantan dan produksi sel ovum pada betina. Keterbatasan informasi dan teknologi
terkait dengan pemanfaatan sumber daya genetik gen FSHR menyebabkan masih
kecil sekali optimasi produksi yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, penelitiaan ini
dilakukan untuk menelaah lagi keragaman gen FSHR pada sapi lokal agar dapat
dijadikan salah satu acuan untuk pemanfaatan dalam peningkatan produktifitas
maupun kelestarian plasma nutfah sapi lokal Indonesia.
Identifikasi keragaman gen FSHR pada sapi lokal ini salah satunya dapat
dilakukan melalui teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Penelitian ini diamati pada ternak sapi Bali, Aceh,
Pesisir, PO, dan Katingan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman gen Follicle Stimulating
Hormone Receptor (FSHR|Alu-1) dengan menggunakan teknik PCR-RFLP pada sapi
Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan.

TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia
Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu
terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini, 2004). MacHugh

(1996) mengemukakan bahwa sapi yang terdapat di Asia khususnya di Indonesia
merupakan sapi yang termasuk dalam spesies Bos bibos dan sapi persilangan (cross
breed) yang berbeda dari sapi domestikasi yang terdapat di Afrika dan Eropa,
meskipun diduga bahwa pola penyebarannya berasal dari wilayah India (Bos indicus)
yang merupakan tipe sapi berpunuk (Zebu). Hasil domestikasi spesies liar Bos bibos
banteng adalah sapi Bali (Bos sundaicus) atau (Bos javanicus) yang sekarang telah
menjadi bangsa ternak asli Indonesia (Directorate Generale of Livestock Service,
2003; Martojo, 2003).
Sumber daya genetik (ternak) yang merupakan wujud keanekaragaman
hayati, ialah material genetik, yaitu bahan dari binatang/ternak yang mengandung
unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). Kepentingan dan penggunaan
sumber daya ini untuk kepentingan manusia, mencakup informasi yang berkenaan
dengan ekspresi genetik untuk menambahkan nilai pemanfaatannya. Nilai
pemanfaatan ini terkandung di dalam sifat-sifat yang terdapat pada dan proses-proses
yang berlangsung di dalam makhluk hidup. Berdasarkan kandungan ini, sumber daya
genetik mempunyai nilai manfaat, baik secara nyata maupun secara potensial (Setiadi
et al., 2006).
Sumber daya genetik ternak adalah semua yang termasuk dalam spesies,
bangsa dan strain (galur) ternak yang secara ekonomi, ilmiah dan budaya penting
bagi umat manusia baik dalam bentuk makanan maupun produksi (Food Agriculture

Organization, 2011). Departemen Pertanian (2006) menyatakan bahwa sumber daya
genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam bentuk individu suatu populasi
rumpun ternak secara genetik unik, terbentuk dalam proses domestikasi dari masingmasing spesies yang memiliki potensial serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul.
Kergaman ternak sapi erat kaitannya dengan daya reproduksi ternak. Daya
reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi oleh lama kehidupan, dimana lama
kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan sapi perah

yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini sangat penting
bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan
ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1985). Tinggi
rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu, angka
kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu
antara melahirkan sampai bunting kembali (service periode); angka kawin per
kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto,
1995).

Keragaman ternak sapi di Indonesia merupakan hasil keragaman karakteristik
fenotipik yang terdapat pada masing-masing individu ternak. Berikut disajikan
karakteristik fenotipik pada sapi lokal Indonesia, yaitu sapi lokal Indonesia Bali,

Aceh, Pesisir, PO Katingan (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Fenotipik Sapi Lokal Indonesia
Ternak
Karakteristik
Literatur
Sapi Bali
Warna bulu merah bata, hitam, namun Hardjosubroto (1994).
pada saat dewasa berubah menjadi
hitam.
Sapi berukuran sedang, berdada dalam Panjaitan et al. (2003).
dengan warna bulu merah kecoklatan.
Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam.
Kakinya dari lutut ke bawah terdapat
warna putih. Warna putih juga terdapat
pada bagian bawah paha dan bagian
pantatnya. Sapi jantan berwarna lebih
coklat (gelap) dari pada sapi betina. Bila
sapi jantan dikebiri maka akan berwarna
merah kembali.
Sapi Aceh


Warna
tubuh
dominan
merah Keputusan
Menteri
kecoklatan, bagian kepala (mata, telinga Pertanian (2011).
bagian dalam dan bibir bagian atas
berwarna keputih-putihan), leher lebih
gelap pada ternak jantan, garis
punggung cokelat kehitaman, paha
belakang berwarna merah bata, bagian
pantat berwarna cokelat muda, kaki
berwarna keputih-putihan, ujung ekor
berwarna hitam, rambut berwarnamerah
bata hingga cokelat, bentuk muka dan
punggung umumnya cekung, bentuk
tanduk mengarah ke samping dan
melengkung ke atas, bentuk telinga
3


Sapi Pesisir

Sapi PO

Sapi Katingan

kecil dan mengarah ke samping tidak
terkulai.
Warna tubuh bervariasi, memiliki warna
coklat yang lebih gelap pada bagian
depan dibandingkan bagian belakang
tubuhnya, pada ternak jantan gumba
berukuran sedang.
Memiliki bobot badan dan ukuran tubuh
lebih kecil dibandingkan dengan sapi
lokal lainnya, sapi pesisir jantan dewasa
(umur 4-6 tahun) memiliki bobot badan
160 kg, jauh lebih rendah dibandingkan
dengan bobot badan sapi lainnya.

Warna bulu sapi pesisir memiliki pola
tunggal. Warna bulu dikelompokkan
menjadi lima warna utama, yaitu merah
bata (34,35%), kuning (25,51%), coklat
(19,96%), hitam (10,91%) dan putih
(9,26%).
Bersifat
jinak
sehingga
mudah
dikendalikan saat pemeliharaan. Sapi
memiliki tanduk kecil, pendek dan
mengarah ke luar seperti tanduk
kambing. Sapi jantan memiliki kepala
pendek dan membulat, sedangkan sapi
betina mempunyai kepala agak panjang
dan tipis, kemudi miring, pendek dan
tipis.
Punuk besar, terdapat lipatan kulit di
leher dan perut, telinga panjang

menggantung, kepala relatif pendek
dengan profil melengkung, mata besar
dan tenang, tanduk pendek, kadangkadang hanya berupa “bungkul” kecil
saja, mulai dagu sampai bagian dada
terdapat gelambir yang lebar dan
panjang. Bulu sapi ini berwarna putih
kehitaman dengan warna hitam di
sekitar lubang mata selebar 1 cm.
Sapi jantan memiliki ukuran tubuh yang
tidak terlalu besar dibandingkan sapi
betina, memiliki gumba yang cukup
jelas, tonjolan pada kepala bagian atas
pada betina, tanduk melengkung ke
depan, warna bulu mata bervariasi,
warna teracak didominasi warna hitam
dan coklat kemerahan, warna bulu
variasi putih sampai dengan hitam.

Namikawa. et al.
(1982), Otsuka et al.
(1980), Adrial (2010).

Parker dalam
Adrial (2002).

Anwar (2004).

Saladin (1983).

Sosoroamidjojo
(1975), Wiliamson et
al. (1978).

Utomo et al. (2010).

4

Karakterisik fenotipik pada ternak digunakan sebagai penciri atau pembeda
antara jenis ternak. Perbedaan karakteristik fenotipik dari bangsa sapi lokal Indonesia
yaitu sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) Sapi Bali

(b) Sapi Aceh

(c) Sapi Pesisir

(d) Sapi PO

(e) Sapi Katingan

Gambar 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Lokal Indonesia. (a) Sapi Bali; (b)
Sapi Aceh; (c) Sapi Pesisir; (d) Sapi PO; dan (e) Sapi Katingan.
Sumber: (a) Saputra (2008); (b) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh (2011); (c) Sarbaini
(2004); (d) Jakaria (2011); (e) Balai PengkajianTeknologi Pertanian Kalimantan Tengah
(2011).

5

Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR)
Keberadaan hormon FSH sangat dipengaruhi oleh adanya gen FSH dan gen
FSHR. Gen FSH terbagi atas dua subunit yaitu α-subunit dan β-subunit dengan
struktur yang berbeda (Alfredo, 1998). Salah satu fungdi FSH adalah merangsang
pertumbuhan folikel pada ovarium dan menginisiasi serta meningkatkan kerja sel-sel
sertoli pada proses spermatogenesis (Xing et al., 2001), fungsi tersebut didukung
oleh aktivasi reseptor spesifik yang disebut FSH reseptor (Simoni et al., 1997)
Gen FSHR diperlukan untuk membawa gen FSH ke target jaringan sehingga
dapat diterjemahkan menjadi protein hingga menjadi hormon FSH. Gen FSHR
terdapat pada kromosom 11 dan terdiri dari 10 exon dan 9 intron dengan panjang
2375 bp (Houde et al., 1994).

Keterangan: =
Ekson 1
Ekson 2
Ekson 3
Ekson 4
Ekson 5

=
=
=
=
=

251 bp
72 bp
75 bp
75 bp
72 bp

ekson

= intron

Ekson 6 = 78 bp
Ekson 7 = 69 bp
Ekson 8 = 75 bp
Ekson 9 = 186 bp
Ekson 10 = >1234 bp

Gambar 2. Struktur Gen FSHR
Sumber: Leslie & Griswold, 2002

Sistem ekspresi gen reseptor FSH (FSHR) merupakan sel yang sangat
spesifik yang berperan dalam siklus awal pada respon mutakhir sel Sertoli ke FSH.
Respon sel yang sangat spesifik dan penting dari FSH ini terhadap proses
spermatogenesis memperluas karakteristik pembawa dari gen FSHR (Heckert &
Griswold, 2002).
Tombasco et al. (2000); Vasconcellos et al. (2003); dan Allan et al. (2007)
melaporkan bahwa terdapat keragaman gen FSHR pada sapi Nelore yang
berhubungan dengan produktivitas dan reproduktifitas. Rahal et al. (2000)
menemukan dua situs mutasi gen FSHR pada sapi yang berhubungan pada sifat
reproduksi. FSHR hanya terekspresi pada sel-sel granulosa di ovarium dan sel-sel
sertoli di testis (Leslie et al. 1998).
6

FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang dihasilkan di kelenjar hipofisis
anterior akan memberikan pengaruh terhadap sel-sel sertoli yang terletak di dalam
tubulus siminiferus. Pengaruh tersebut akan membantu untuk pemberian nutrien bagi
sperma yang sedang berkembang dan mendukung spermatogenesis dalam
penyediaan bahan makanan bagi sperma, serta melepaskan sel sperma yang telah
matur di akhir proses spermatogenesis. Proses oogenesis, FSH akan merangsang
perkembangan folikel (tempat berkembangnya ovum). Rangsangan perkembangan
tersebut akan menghasilkan perkembangan hormon lainnya yang mendukung kerja
oogenesis seperti dihasilkannya hormon estrogen dan progesteron (Yulianto, 2011).
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism
(PCR-RFLP)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknologi untuk
mengamplifikasi (memperbanyak) fragmen DNA spesifik secara in vitro (Mullis,
1986). Williams (2005), PCR merupakan suatu teknik yang dapat menggandakan
jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida
yang berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Proses PCR terdiri atas
tiga tahapan: (1) Denaturasi, yaitu perubahan struktur DNA utas ganda menjadi utas
tunggal, (2) Annealing, yaitu penempelan primer pada sekuens DNA komplementer
yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi, yaitu pemanjangan primer oleh DNA
polymerase (Muladno, 2002).
PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in
vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer
merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang
akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan
DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis
(Williams, 2005).
PCR-RFLP merupakan salah satu metode dalam PCR yang dikembangkan
untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan oleh penggunaan
enzim pemotong (restriction enzyme). Enzim restriksi ini dapat memotong DNA
pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Metode PCR
memanfaatkan urutan nukleotida yang dikenali oleh enzim restriksi dan disebut

7

dengan situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi maka enzim restriksi
tidak mampu mengenalinya. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi ada
atau tidaknya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis
(Sumantri et al., 2007).

8

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian
Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian telah
dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2012.
Materi
Sampel
Sampel darah yang digunakan berasal dari sapi lokal Indonesia yang terdiri
atas sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan. Sampel tersebut merupakan koleksi
Laboratorium Genetika Molekuler Ternak dengan jumlah seperti yang tertera pada
Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jumlah Sampel Sapi yang Digunakan
No
1

Ternak Sapi

Asal

Bali

BIB Bali

n
16

2

Aceh

Kab. Aceh Besar

12

3

Pesisir

Kab. Pesisir Selatan

29

4

PO

BIB Lembang

32

5

Katingan

Kalimantan Tengah

40

Total

129

Keterangan: n = jumlah individu

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk mengambil sampel adalah alkohol 70%, es batu
dan kapas. Bahan yang digunakan untuk mengekstraksi DNA adalah sampel darah,
Destilation Water (DW), NaCl, Proteinase-K, 1 x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M
EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat), CIAA, ethanol absolute, ethanol 70%,
phenol, dan buffer TE 80% (tris EDTA). Bahan yang digunakan untuk
mengamplifikasi gen FSHR dengan teknik PCR-RFLP adalah sampel DNA,
destilated water (DW), buffer, MgCl2, pasangan primer fragmen Gen FSHR|Alu-1,
enzim Taq polymerase, dNTP (deoxy Nucleotida Triphosfat). dan enzim restriksi

Alu-1 serta buffernya. Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading
dye, marker 100 pb, enzim restriksi Alu-1, 0,5 x TBE, dan Ethidium Bromide (EtBr).
Bahan yang digunakan untuk elektroforesis produk PCR adalah produk PCR,
agarose, loading dye, marker 100pb, 0,5 x TBE, dan Ethidium Bromide.
Alat yang digunakan untuk mengambil sampel adalah jarum venoject, tabung
vacutainer 10 ml dan termos. Alat yang diperlukan untuk mengekstraksi DNA
adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip, vortexmixer, autoclave,
microsentrifuge, rotary mixer, inkubator, dan freezer. Alat yang digunakan untuk
mengamplifikasi gen FSHR|Alu-1 adalah satu set pipet mikro, tip pipet, mesin
sentrifuse, mesin thermosycler, rak dan tabung eppendorf, dan vortex. Alat yang
digunakan untuk genotyping adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,
gelas ukur, stirrer, microwave, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply
electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans iluminator, dan sarung tangan. Alat yang
digunakan untuk elektroforesis fragmen DNA adalah tip pipet, mikropipet, gelas
kimia, gelas ukur, stirrer, microwave, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power
supply electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans iluminator, dan sarung tangan.
Prosedur
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada sapi lokal Indonesia, yaitu sapi Bali,
Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan. Sampel darah diambil melalui vena jugularis (pada
bagian leher sapi) dengan menggunakan jarum venoject pada tabung vaccutainer
yang ditambahkan ethanol absolute dengan perbandingan 1 : 2 dan disimpan dalam
lemari es hingga akan digunakan lebih lanjut. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan data sekunder yang merupakan koleksi Laboratorium
Genetika Molekuler Ternak. Sampel diperoleh dari berbagai tempat di Balai
Inseminasi Buatan.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan metode yang dikemukakan
oleh Sambrook et al. (1989). Pengekstraksian DNA dimulai dengan persiapan
sampel terlebih dahulu. Sebanyak 200 µl sampel darah dimasukkan ke dalam tabung
1,5 ml dan ditambahkan 1000 µl DW (destilation water). Campuran sampel darah
10

dan DW dikocok atau divortex dan didiamkan selama lima menit, kemudian
disentrifuge selama lima menit dengan kecepatan 8000 rpm. Supernatan yang
terbentuk dibuang dan seperti proses sebelumnya diulangi kembali. Tahapan
selanjutnya adalah degradasi protein dalam DNA. Penambahan Proteinase-K
sebanyak 10 µl, 350 µl 1xSTE (sodium tris-EDTA) serta 40 µl 10% SDS (sodium
dodesil sulfat) ke dalam tip mix. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu
55oC selama 2 jam sambil dikocok perlahan menggunakan alat pemutar.
Tahapan degradasi bahan organik dilakukan dengan cara menambahkan NaCl
sebanyak 40 µl 5M, larutan fenol 400 µl dan 400 µl CIAA (chloroform iso amil
alcohol), lalu dikocok pelan dalam suhu ruang selama satu jam. Bagian akhir dari
tahapan ekstraksi DNA adalah presipitasi DNA. Proses ini dilakukan dengan
sentifugasi larutan hasil degradasi bahan organik dengan kecepatan 12.000 rpm
selama lima menit sehingga terbentuk fase DNA. Sebanyak 40 µl dari fase DNA
yang terbentuk diambil dan dipindahkan ke dalam tabung baru 1,5 ml. NaCl 5 M
sebanyak 40 µl dan ethanol absolute sebanyak 800 µl ditambahkan, kemudian
dihomogenkan dan didiamkan over night pada suhu -20oC. Molekul DNA yang
terbentuk selanjutnya dipisahkan dari ethanol absolute dengan cara disentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit dan supernatan yang diperoleh
dibuang, kemudian ditambahkan kembali 800 µl ethanol absolute dan kembali
disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Endapan molekul
DNA diperoleh dengan cara membuang bagian supernatan yang terbentuk. Endapan
tersebut kemudian didiamkan sampai kering dan disuspensikan dalam 100 µl 80%
buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Amplifikasi dilakukan menggunakan metode PCR-RFLP. 1 µl sampel DNA,
10,85 µl DW, 0,3 µl primer, 0,05 µl taq polymerase, 1,5 µl buffer, 0,3 µl dNTP dan
1 µl MgCl2 dicampurkan sebagai mix untuk mengamplifikasi DNA. Tahapan
Amplifikasi invitro berlangsung sebanyak 35 siklus dengan menggunakan mesin
thermocycler. Kondisi suhu yang terjadi yakni pada saat pra-denaturasi 94oC selama
lima menit, 35 siklus dengan tahapan masing-masing siklus terdiri dari denaturasi
94oC selama 45 detik, anneling pada suhu 60oC selama 45 detik dan ekstensi pada

11

suhu 72oC selama satu menit. Tahap selanjutnya adalah ekstensi akhir 72 oC selama
lima menit.
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen FSHR|Alu-1 berdasarkan
Houde et al. (1994) adalah forward: 5’-CTG CCT CCC TCA AGG TGC CCC TC3’; dan reverse: 5’-CCC CCT AAG ACA TTT AGC CCA GAACT-3’ (Gambar 3).
1
61
121
181
241
301

Forward
atctctgcct ccctcaaggtgcccctcatc actgtgtcca agtcaaagatcctcctggtc
ctgttctacc ccatcaactcctgtgccaac cccttcctct atgccatcttcaccaagaac
ttccgcaggg atttcttcattctgctgagc aagtttggct gctatgaagtgcaagcccag
AC|CTataggt cagaaacctcatccactgcc cacaactttc atccaaggaacggccactgc
cccccAG|CTcccagggttactaatggttcc aattacacac ttatccccctaagacattta
gccaagaact aaaacacaat
Reverse

Keterangan :

AG|CT
Alel C
Alel G

: primer forward
: primer reverse
: situs pemotongan enzim Alu-I
: mempunyai basa C pada posisi basa ke 193
: mempunyai basa G pada posisi basa ke 193

Gambar 3. Posisi penempelan primer pada sekuen Posisi Penempelan Primer (cetak
tebal) pada sekuen gen FSHR|Alu-1 (gene bank accses code: L22319.1).
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang
digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA
target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH)
pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer
dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan
protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari database
GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui
maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan
DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang
terdekat (Handoyo et al., 2001).
Elektroforesis
Tahapan proses elektroforesis produk PCR dilakukan dengan pembuatan gel
agarose 1% terlebih dahulu, dengan cara melarutkan agarose sebanyak 0,30 g
dengan larutan 0,5 x TBE 30 ml. Larutan tersebut kemudian dipanaskan dalam
microwave selama lima menit dan distirer dengan menambahkan 2,5 µl EtBr.
Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam cetakan gel dan sisir cetakan
12

ditempatkan di bagian tepian gel, lalu dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah
mengeras, sisir cetakan gel diangkat sehingga terbentuk sumur-sumur. Tahapan
berikutnya, sebanyak 5 µl produk PCR dicampur dengan 1 µl loading dye
(bromothymol blue 0,01%, xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) menggunakan
mikropipet dan dimasukkan masing-masing ke dalam sumur gel. 2 µl marker
dicampur dengan loading dye dan diletakkan di posisi paling kiri sumur yang
berfungsi sebagai penanda. Gel tersebut kemudian diletakkan ke dalam gel tray
elektroforesis yang berisi larutan buffer dan dialiri listrik 100 volt sekitar 30 menit.
Molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (bermigrasi) ke
arah positif. Gel agarose diangkat setelah proses elektroforesis selesai yang ditandai
dengan garis biru yang telah mendekati ambang batas sumur gel. Hasil panjang pita
DNA diamati dengan menggunakan sinar ultraviolet. Tahapan ini dilakukan dengan
menarik garis lurus antara posisi pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin
diukur dengan posisi pita DNA marker.
Genotyping
Genotyping dilakukan dengan teknik analisis Restriction Fragment Lenght
Polymorphism (RLFP). Tahapan awal proses ini adalah mencampurkan produk PCR
sebanyak 5 µl ke dalam tabung 0,5 ml kemudian ditambahkan 0,2 µl enzim restriksi
Alu-1. Mix tersebut kemudian diinkubasi selama 16 jam pada suhu 37oC.
Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi selama proses
inkubasi dikeluarkan dari inkubator, kemudian masing-masing tip ditambahkan
loading

dye

sebanyak

1

µl.

Masing-masing

sampel

tersebut

kemudian

dielektroforesis kembali dengan tegangan 100 volt sekitar 30 menit pada gel
agarose. Sampel DNA yang telah selesai dielektroforesis kemudian diangkat dan
diamati panjang pita DNA yang terbentuk menggunakan sinar ultraviolet. Panjang
pita yang terlihat dibandingkan dengan penanda marker untuk mengetahui
panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan dengan marker untuk
menentukan genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai
satu tipe atau alel yang bersifat homozigot.

13

Rancangan dan Analisis Data
Keragaman genotipe pada masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita
yang ditemukan. Masing-masing sampel dianalisis menggunakan pendekatan nilai
frekuensi genotipe, frekuensi alel, dan nilai heterozigositas.
Frekuensi Genotipe dan Alel
Frekuensi genotipe dan alel gen FSHR|Alu-1dihitung berdasarkan rumus (Nei
& Kumar, 2000) :
Frekuensi genotipe adalah Xii =
Keterangan :
xii
= frekuensi genotipe ke-ii
nii
= jumlah individu bergenotipe ii
N
= jumlah individu sampel

Frekuensi alel adalah Xi =
Keterangan :
xi
= frekuensi alel ke-i
nii
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu bergenotipe ij
nij
N
= jumlah individu sampel

Heterozigositas
Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan
(He) dihitung menggunakan rumus Weir (1996) :

Keterangan :
= heterozigositas pengamatan (populasi)
Ho
nij
= jumlah individu heterozigot
N
= jumlah individu yang diamati




Keterangan :
He
= nilai heterozigositas harapan
xi
= frekuensi alel
q
= jumlah alel

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen FSHR|Alu-1
Amplifikasi fragmen gen FSHR|Alu-1 dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60°C selama 45 detik dan
diperoleh produk PCR dengan panjang 306 pb yang divisualisasikan dengan
menggunakan 1,5% gel agarose. Primer yang digunakan dalam proses PCR ini
menggunakan rancangan Houde et al. (1994). Proses amplifikasi fragmen gen
FSHR|Alu-1 berhasil dilakukan 100% pada sampel sapi lokal Indonesia yang terdiri
atas sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan dengan jumlah sampel sebanyak 129
sampel (Gambar 4).

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-16= produk amplifikasi gen FSHR|Alu-1.

Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR|Alu-1pada gel agarose 1,5%.
Suhu annealing dalam amplifikasi fragmen gen merupakan perlakuan suhu
optimum terjadinya penempelan primer pada titik pemotongan DNA. Penelitian ini
menggunakan suhu annealing 60°C, yang berbeda dengan kondisi suhu penempelan
primer yang disarankan oleh Palmer et al. (1998) yaitu 62°C. Perbedaan suhu
annealing tersebut dikarenakan perbedaan komposisi mix yang digunakan untuk
amplifikasi gen berbeda. Muladno (2002) menyatakan bahwa suhu penempelan
primer (annealing) berkisar antara 36°C sampai dengan 72°C, namun suhu yang
biasa digunakan 50-60°C. Keberhasilan amplifikasi gen menurut Palumbi (1986),
ditentukan oleh kondisi penempelan primer gen target (DNA genom) pada saat
proses PCR, kondisi mesin thermocycler dan tergantung pada interaksi komponen
campuran PCR.
Follicle Stimulating Hormone (FSH) sangat berpengaruh terhadap proses
sistem reproduksi ternak. Keberadaan gen Receptor Follicle Stimulating Hormone
(FSHR) membantu terjadinya proses reproduksi. Gen FSHR akan membawa FSH

melalui impuls FSHR menuju sel target sehingga proses pembentukan sel ovum pada
ternak betina dan sel spermatozoa pada ternak jantan dapat terjadi. Penempelan
primer yang terjadi melalui primer forward dan reverse yang akan menjadi
perhitungan panjang primer dari produk PCR yang dihasilkan. Amplifikasi DNA gen
FSHR pada sampel sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan melalui proses PCR
menghasilkan panjang produk amplifikasi DNA sepanjang 306 bp.
Keragaman Gen FSHR|Alu-1
Keragaman gen FSHR|Alu-1 dapat dideteksi dengan teknik PCR-RFLP
menggunakan enzim restriksiAlu-1. Enzim restriksiAlu-1 memotong DNA dengan
mengenali situs pemotongan AG|CT. Keragaman genetik berdasarkan frekuensi
genotipe dan alel tersebut akan terdeteksi setelah terjadi pemotongan pada titik
potong DNA.
Fragmen gen FSHR|Alu-1yang dihasilkan setelah proses PCR dan RFLP dari
masing-masing sampel sapi diperoleh dua macam alel (C dan G) dan tiga macam
genotipe (CC, CG, dan GG). Alel C merupakan titik potong yang dikenali oleh
enzim restriksi dalam fragmen gen FSHR pada posisi basa ke 243 pb, sedangkan alel
G berada pada posisi basa ke 193 pb dan 243 pb. Pemotongan alel C menghasilkan
dua fragmen (243 pb dan 63 pb) dan pemotongan alel G menghasilkan tiga fragmen
(193, 63 dan 50 pb).
Keragaman genotipe fragmen gen FSHR|Alu-1 yang dihasilkan menunjukkan
kemunculan pita yang beragam dengan tiga macam genotipe, yaitu CC, CG, dan GG.
Genotipe CC terdiri dari dua pita dengan panjang 243 dan 63 pb, genotipe CG terdiri
dari empat pita dengan panjang 243, 193, 63, dan 50 pb, sedangkan genotipe GG
terdiri dari tiga pita dengan panjang 193, 63, dan 50 pb (Marson, 2005).
Genotipe homozigot CC dan GG menujukkan bahwa masing-masing tetua
menyumbangkan jumlah gen (alel) yang sama, sedangkan ternak dengan genotipe
heterozigot (GC) menunjukkan bahwa ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang
berbeda dari kedua tetuanya.
Hasil visualisasi produk PCR-RFLP pada gel agarose 2% ditampilkan pada
Gambar 5. Hasil visualisasi tersebut menunjukkan pita yang terlihat adalah pita
dengan panjang 243 dan 193 pb, sedangkan panjang pita 63 dan 50 pb tidak dapat

16

dilihat. Hal tersebut terjadi karena gel yang digunakan untuk menvisualisasikan hasil
genotyping dalam penelitian ini adalah gel Agarose.

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-16= produk PCR-RFLP.

Gambar 5. Hasil Visualisasi PCR-RFLP Gen FSHR|Alu-1 pada gel agarose 2%.
Muladno (2002) menyatakan bahwa agarose dengan konsentrasi 2% dapat
menganalisis ukuran DNA yang berada pada kisaran 100 hingga 200 pb. Sehingga
pita dengan titik potong 63 dan 50 pb tidak terlihat dalam gel tray pada proses
elektroforesis. Gel yang dapat menvisualisikan titik potong DNA di bawah 100 bp
adalah gel Poliakrilamid. Elektroforesis dengan gel poliakrilamida lebih efektif
memisahkan fragmen DNA pada kisaran 5-500 bp, namun pembuatannya lebih sulit
dibanding agarose karena poliakrilamid bisasanya digunakan dengan resolusi yang
lebih tinggi (Windiastika, 2012). Sketsa visualisasi Penentuan Genotipe Gen
FSHR|Alu-1 ditunjukkan pada Gambar 6.

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-3= pemotongan dengan enzim Alu-1

Gambar 6. Sketsa Visualisasi Penentuan Genotipe Gen FSHR|Alu-1.

17

Hasil pemotongan fragmen gen FSHR|Alu-1 pada masing-masing individu
ternak sapi menunjukkan alel yang berbeda dikarenakan terjadinya proses mutasi
gen. Mutasi yang terjadi pada fragmen gen FSHR|Alu-1 merupakan perubahan basa
yang dikenali oleh enzim restriksi Alu-1. Mutasi tersebut merupakan mutasi
substitusi transversi dengan terjadinya perubahan basa purin (Guanin) menjadi basa
pirimidin (Cytocine). Mutasi transversi terjadi karena adanya subtitusi antara satu
basa purin (Adenin atau Guanin) menjadi satu basa pirimidin (Timin atau Cytocine)
ataupun sebaliknya (Li et al., 2000).
Genotipe yang ditemukan pada masing-masing sapi lokal Indonesia adalah
genotipe CC dan GG pada sapi Bali. Hasil identifikasi gen sapi Bali dengan genotipe
homozigot CC atau GG mengindikasikan bahwa kedua tetua masing-masing
menyumbangkan sejumlah gen (alel) yang sama. Genotipe yang muncul pada sapi Aceh,
Pesisir, PO, dan Katingan adalah genotipe CC, CG, dan GG. Hal ini menunjukkan

bahwa tetua ternak menyumbangkan sejumlah gen (alel) yang sama dan adanya gen
dari tetua yang menghasilkan kombinasi gen pada keturunannya.
Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe Gen FSHR|Alu-1
Hasil analisis frekuensi alel (C dan G) dan frekuensi genotipe (CC, CG, dan
GG) fragmen gen FSHR|Alu-1 pada sapi lokal Indonesia yaitu sapi Bali, Aceh,
Pesisir, PO, dan Katingan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe dari Gen FSHR|Alu-1

Bali

16

Frekuensi Alel
C
G
0,125
0,875

Aceh

12

0,542

0,458

0,333

0,417

0,250

Pesisir

29

0,379

0,621

0,276

0,207

0,517

PO

32

0,609

0,391

0,583

0,094

0,344

Katingan

40

0,188

0,813

0,050

0,275

0,675

Ternak Sapi

n

Frekuensi Genotipe
CC
CG
GG
0,125
0,000
0,875

Keterangan: n = jumlah individu

Frekuensi alel merupakan frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau
jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei
dan Kumar, 2000). Hasil PCR-RFLP gen FSHR|Alu-1 yang ditampilkan pada Tabel
3 menunjukkan bahwa seluruh sampel sapi memiliki dua jenis alel yaitu alel C dan
18

G. Frekuensi alel sapi Aceh dan PO menunjukkan bahwa nilai frekuensi alel C yang
lebih tinggi dibandingkan dengan alel G, sedangkan sapi Bali, Pesisir dan Katingan
menunjukkan nilai frekuensi alel yang tertinggi adalah alel G dan alel yang terendah
adalah alel C. Hasil keragaman gen FSHR|Alu-1 menunjukkan bahwa seluruh sampel
sapi bersifat polimorfik. Hal tersebut dikarenakan, frekuensi alel masing-masing
ternak sapi bernilai kurang dari 0,99. Menurut Nei (1987), suatu alel dikatakan
polimorfik jika frekuensi alel bernilai sama dengan atau kurang dari 0,99 atau lebih
dari 1% (Nei dan Kumar, 2000).
Identifikasi frekuensi genotipe gen FSHR|Alu-1 menunjukkan bahwa sapi
Bali hanya menunjukkan dua macam genotipe yaitu genotipe CC dan GG. Hasil
frekuensi genotipe sapi Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan menunjukkan frekuensi
genotipe yang lebih beragam, dengan ditemukannya ketiga macam genotipe yaitu
CC, CG, dan GG. Sapi Aceh menunjukkan tiga macam genotipe dengan genotipe
tertinggi adalah CG dan terendah adalah GG. Sapi Pesisir menghasilkan genotipe
tertinggi adalah GG dan genotipe terendah CG. Frekuensi genotipe tertinggi sapi PO
adalah CC dan terendah adalah GG, sedangkan sapi Katingan menunjukkan
frekuensi genotipe tertinggi adalah GG dan terendah adalah CC. Frekuensi tertinggi
yang ditemukan pada genotipe CC dan GG menunjukkan bahwa salah satu tetua
menyumbangkan gen yang lebih dominan, sedangkan frekuensi genotipe CG
menunjukkan bahwa ternak memiliki kombinasi gen yang sama besar dari kedua
tetuanya.
Noor (2000), menyatakan jika frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup
besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi,
dan genetic drift, selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi
frekuensi genotipe. Frekuensi genotipe yang seringkali muncul pada individu ternak
dapat dijadikan sebagai salah satu alel (penciri) spesifik pada semua bangsa sapi
Indonesia.
Heterozigositas
Hasil analisis pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (H o) dan nilai
heterozigositas harapan (He) gen FSHR|Alu-1 pada sapi lokal Indonesia yaitu sapi
Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan disajikan pada Tabel 4.

19

Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He)
gen FSHR|Alu-1
Ternak Sapi

n

Heterozigositas

Bali

16

Ho
0,000

He
0,219

Aceh

12

0,417

0,497

Pesisir

29

0,207

0,471

PO

32

0,094

0,476

Katingan

40

0,275

0,305

Keterangan: n = jumlah individu

Keragaman genetik gen FSHR|Alu-1 dapat dilihat berdasarkan nilai
heterozigositas. Nilai heterozigositas merupakan salah satu parameter yang
digunakan untuk mengukur tingkat keragaman genetik dalam suatu populasi (Johari
et al., 2007). Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk
mengukur variasi genetik, heterozigositas disebut juga sebagai keragaman gen (Nei,
1987). Perhitungan nilai heterozigositas menurut Nei (1987), adalah nilai
heterozigositas yang memiliki nilai berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu),
apabila heterozigositas sama dengan 0 (nol), maka diantara populasi yang diukur
tersebut memilki hubungan genetik yang sangat dekat dan apabila nilai
heterozigositas sama dengan 1 (satu), maka diantara populasi yang diukur tidak
terdapat hubungan genetik atau pertalian genetik sama sekali.
Penetapan nilai heterozigositas ini didasarkan pada nilai frekuensi alel
masing-masing sampel yang menghasilkan perbedaan persentasi nilai frekuensi
genotipe. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan
(He) dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak
dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak (Hartl et al., 1997). Nilai
heterozigositas pengamatan (Ho) dihitung berdasarkan nilai genotipe yang bersifat
heterozigot, yaitu genotipe CG. Moioli et al. (2004) menjelaskan bahwa nilai
heterozigositas harapan (He) merupakan pendugaan keragaman genetik yang tepat
dalam populasi ternak karena perhitungannya didasarkan langsung pada frekuensi
alel.
Perhitungan yang diperoleh dari berdasarkan Tabel 4 di atas menujukkan
bahwa pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) tertinggi terdapat pada sapi

20

Aceh (0,417). Tingginya nilai heterozigositas pada sapi Aceh menunjukkan
keragaman genetik yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi tingginya nilai
heterozigositas pada populasi sapi Aceh disebabkan oleh perkawinan acak atau
peluang inbreeding yang rendah (Mulliadi et al., 2010). Avise (1994) menyatakan
jika semakin tinggi derajat heterozigositas dalam suatu populasi maka daya tahan
populasi tersebut akan semakin tinggi.
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) terendah ditemukan pada sapi Bali
(0,000). Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa heterozigositas dengan nilai di
bawah 50% akan mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi. Hal
ini menunjukkan bahwa rendahnya keragaman gen FSHR|Alu-1 pada sapi Bali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil PCR-RFLP gen FSHR|Alu-1
terhadap sampel sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan memiliki nilai
heterosigositas

pengamatan

(Ho)

yang

lebih

rendah

dibandingkan

nilai

heterosigositas harapan (He). Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih
rendah dari nilai He, hal ini mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan
dalam kelompok) sebagai akibat proses seleksi yang intensif.
Apabila ditemukan perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) maka dapat dijadikan sebagai
indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis
(Tambasco et al., 2003). Sebaliknya dengan ditemukannya nilai Ho dan He yang
relatif sama, maka menunjukkan keseimbangan genotipe pada populasi tersebut.

21

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keragaman gen FSHR|Alu-1 pada sapi lokal Indonesia yang terdiri atas sapi
Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan bersifat polimorfik. Identifikasi frekuensi alel
gen FSHR|Alu-1, ditemukan dua macam alel, yaitu alel C dan G. Nilai frekuensi
genotipe yang diperoleh pada sapi Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan adalah tiga
macam genotipe, yaitu CC, CG, dan GG, sedangkan pada sapi Bali hanya ditemukan
genotipe CC dan GG.
Saran
Penelitian mengenai keragaman gen FSHR dengan enzim restriksi Alu-1
perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak lagi. Studi pustaka
mengenai keragaman gen FSHR perlu diadakan kajian ulang sebagai representative
hasil penelitian yang dapat dibandingkan dengan hasil telaah ilmiah.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING
HORMONE RECEPTOR (FSHR|Alu-1) PADA SAPI LOKAL
INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

SKRIPSI
RAYHANAH BEY NASUTION

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING
HORMONE RECEPTOR (FSHR|Alu-1) PADA SAPI LOKAL
INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

SKRIPSI
RAYHANAH BEY NASUTION

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

RINGKASAN
Rayhanah Bey Nasution. DI4080014. 2013. Identifikasi Keragaman Gen Follicle
Stimulating Hormone Receptor (FSHR|Alu-1) pada Sapi Lokal Indonesia dengan
Teknik PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si.
Upaya perbaikan genetik terhadap mutu produktivitas ternak dapat dilakukan
melalui seleksi pada tingkat molekuler. Perbaikan mutu genetik ternak terhadap nilai
produktivitas terutama dalam reproduksi untuk menghasilkan fenotipe dan genotipe
ternak yang lebih baik sangat dipengaruhi oleh keberadaan gen di dalamnya. Gen
yang sangat berperan penting terhadap kemampuan fungsi reproduksi tersebut adalah
gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR). Sampel uji pelaksanaan
penelitian ini dilakukan pada sapi lokal Indonesia yang terdiri atas sapi Bali, Aceh,
Pesisir, PO, dan Katingan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman Gen
Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) dengan teknik Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi di
Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak (LGMT), Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Total sampel yang diamati berjumlah 129 sampel DNA. Sampel
tersebut terdiri dari 16 sampel sapi Bali, 12 sapi Aceh, 29 sapi Pesisir, 32 sapi PO,
dan 40 sapi Katingan. Sampel tersebut berasal dari sejumlah tempat, seperti BIB
(Balai Inseminasi Buatan) Lembang dan Singosari, BIBD (Balai Inseminasi Buatan
Daerah) sapi Bali dan BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) sapi Bali.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu amplifik asi DNA melalui
proses Polymerase Chain Reaction (PCR) dan pemotongan DNA sel target dengan
teknik Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Enzim restriksi yang
digunakan adalah enzim Alu-1 yang memotong pada posisi basa spesifik AG|CT.
Nilai keragaman gen FSHR diperoleh dengan analisis frekuensi genotipe, frekuensi
alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho), dan nilai heterozigositas harapan (He).
Produk PCR yang dihasilkan dari proses amplifikasi gen FSHR dengan suhu
annealing 60°C selama 45 detik mempunyai panjang fragmen sebanyak 306 pb.
Pemotongan DNA terhadap produk PCR dengan teknik RFLP terhadap gen
(FSHR|Alu-1) menghasilkan dua jenis alel (C dan G) dan menghasilkan tiga macam
genotipe yaitu, CC (243 dan 63 bp), CG (243, 193, 63 dan 50 bp), dan GG (193, 50
dan 63 bp). Pendugaan nilai heterozigositas tertinggi ditemukan pada sapi Aceh dan
heterozigositas terendah pada sapi Bali. Identifikasi keragaman gen FSHR|Alu-1
menujukkan bahwa sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan bersifat polimorifk
dengan sapi Bali memiliki sifat gen homozigot (nilai genotipe CC dan GG).
Kata-kata kunci: sapi, gen FSHR, PCR-RFLP, keragaman genetik.

ABSTRACT
Identification Polymorphism of The Follicle Stimulating Hormone Receptor
(FSHR|Alu-1) Gene in Indonesian Cattle Using PCR-RFLP Technique.
Nasution, R. B., C. Sumantri and Jakaria
Polymerase chain reaction (PCR) is a technology to amplificate the specific
fragments of DNA in vitro. PCR-RFLP is one of the PCR technic was developed to
visualize the differences of DNA levels by using enzyme restriction. This research
was conducted to identify polymorphism of Follicle Stimulating Hormone Receptor
(FSHR) gene in Indonesian cattle, consits of Bali, Aceh, PO, Pesisir and Katingan.
Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) gene is the one of the esensial
hormone receptor in reproductivity animal system. It will induce the spermatogenesis
and oogenesis process with spesific receptor interaction on male and female cell
target. Total of sampels used in this reseach are 129 samples consist of Bali Cattle 16
heads, Aceh 12 heads, PO 29 heads, Pesisir 32 heads, and Katingan 40 heads. The
result of this identify polymorphism showed that there are two alelles of C and G and
three genotipes (CC, CG, and GG) in Aceh, PO, Pesisir, and Katingan cattle.
Heterozygositas of each sample showed that heterozygositas expectation (He) is
higher than heterozygositas observation (Ho). The higest heterozygosity value was
found in Pesisir Aceh cattle, while the lower heterozygosity value was found in Bali
cattle population. Based on the analysis, Indonesian cattle breed (Aceh cattle, Pesisir
cattle, PO cattle, and katingan cattle) are polymorphic in FSHR gene with three
genotipes (GG, GC, CC) and two alelles (G and C), while the Bali cattle is
homozigot with only two genotipes CC and GG.
Keywords: Cattle, FSHR Gene, PCR-RFLP, Polymorphism.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING
HORMONE RECEPTOR (FSHR|Alu-1) PADA SAPI LOKAL
INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

RAYHANAH BEY NASUTION
D14080014

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

Judul : Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor
(FSHR|Alu-1) pada Sapi Lokal Indonesia dengan Teknik PCR-RFLP
Nama : Rayhanah Bey Nasution
NIM : D14080014

Menyetujui,
Pembimbing Utama

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004

Pembimbing Anggota

Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
NIP. 19660105 199303 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 17 Desember 2012

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rayhanah Bey Nasution, dilahirkan di kota Rantauprapat,
Sumatera Utara pada tanggal 5 November 1990. Penulis merupakan anak pertama
dari 5 bersaudara dari pasangan Busthamey Muhammad Nasution, BA dan Farida
Hanum Dalimunthe, S.PdI. Pendidikan yang ditempuh Penulis dimulai dari Taman
Kanak-kanak, SD Negeri 117470, MTs Negeri 1, SMA Negeri 3 yang semuanya
dijalani di tempat kelahiran Penulis, Rantauprapat.
Penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Peternakan di Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Aktivitas Penulis selama menjadi mahasiswi adalah
sebagai mahasiswi aktif dan ikut bergabung di berbagai kepanitian dan organisasi.
Penulis tercatat merupakan bagian dari kepengurusan Lembaga Dakwah Fakultas
Peternakan Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim Al-An’aam (FAMM Al-An’aam)
sebagai Staf Informasi dan Komunikasi periode 2009-2010, Ketua Departemen
Keputrian periode 2010-2011 dan Majelis Syuro periode 2011-2012. Penulis juga
bergabung di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM D) dalam
kabinet D’Knights sebagai Staf Departemen Riset dan Pengembangan Mahasiswa
Eksternal periode 2009-2010.
Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di bidang
Kewirausahaan (PKM-K) yang didanai oleh Dikti dengan judul “Sabun Prasasti
(Propolis Ekstra Susu Aroma Terapi) sebagai Produk Alternatif Kesehatan dan
Kecantikan Kulit”. Penulis pun pernah mengikuti event International