Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Receptor Exon 8 (GHR|SspI) pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP

RINGKASAN
Febynia Mutiara Zainatha. D14080220. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Growth
Hormone Receptor Exon 8 (GHR|SSpI) pada Sapi Friesian Holstein dengan
Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D
Growth Hormone Receptor (GHR) merupakan suatu protein transmembran
yang mengikat GH dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi. Gen Growth Hormone
membutuhkan suatu reseptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan, yaitu
gen Growth Hormone Receptor (GHR). Gen GHR memiliki fungsi sebagai mediasi
gen pertumbuhan yang mempengaruhi sifat pertumbuhan karkas pada sapi pedaging
dan sifat produksi susu pada sapi perah. Gen GHR diharapkan dapat menjadi
informasi sebagai gen yang mempengaruhi produktifitas ternak melalui analisis dari
keragaman gen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman
gen Growth Hormone Receptor (GHR) exon 8 dengan menggunakan enzim restriksi
SSpI pada sapi Friesian Holstein dengan metode PCR-RFLP pada lima daerah yang
berbeda, yaitu KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, BIB
Lembang, dan BBIB Singosari.
Materi penelitian berupa sampel darah sebanyak 302 sampel dan semen sapi
FH sebanyak 10 sampel dengan total sebanyak 312 ekor yang terdiri dari sapi

pejantan yang berasal dari BIB Lembang (10 ekor) dan BBIB Singosari (32 ekor)
serta sapi betina yang berasal dari BPPT SP Cikole (81 ekor), KPSBU Pasir Kemis
(95 ekor), dan KPSBU Cilumber (94 ekor). Amplifikasi gen GHR|SSpI dilakukan
dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Hasil produk amplifikasi adalah sepanjang 230 bp.
Genotipe yang ditemukan pada gen GHR|SSpI adalah AA (230 BP), AT (230 bp, 200
bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp) dengan dua macam alel yaitu alel A dan alel T.
Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi genotipe tertinggi yang terdapat
di semua populasi adalah genotipe TT dan frekuensi genotipe terendah adalah
genotipe AA. Nilai frekuensi alel total untuk semua populasi memperlihatkan bahwa
frekuensi alel tertinggi sebesar 0,728 untuk alel T dan terendah sebesar 0,272 untuk
alel A. Sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis
berada pada keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 hitung > χ2 0,05). Hasil
analisis heterozigositas menunjukkan bahwa sapi FH di BPPT SP Cikole dan
KPSBU Pasir Kemis memiliki nilai heterozigositas pengamatan (Ho) yang lebih
rendah dari nilai heterozigositas harapan (He), sedangkan nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) pada sapi FH di KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB
Lembang lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapannya (He). Kesimpulan yang
dapat diambil dari hasil analisis adalah gen GHR|SSpI pada BPPT SP Cikole,
KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Lembang dan BBIB Singosari bersifat

polimorfik.
Kata-kata kunci : gen GHR, keragaman genetik, PCR-RFLP

ABSTRACT
Identification of the Growth Hormone Receptor Exon 8 (GHR|SSpI) Gene
Polymorphism in Holstein Friesian with PCR-RFLP Method
Zainatha, F. M., C. Sumatri, and A. Anggraeni
Growth Hormone Receptor (GHR) is one factor affecting animal growth. GHR is
required by growth hormone (GH) to carry out its effect on target tissues. The
objective of this study was to identify polymorphism of the Growth Hormone
Receptor gene in dairy cattle (Holstein Friesian) from BPPT SP Cikole, KPSBU
Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Singosari and BBIB Lembang. The gene
polymorphism was identified with Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphism (PCR-RFLP) method using SSpI restriction enzyme.
Genotyping in this study was performed on 312 animals. The product of
amplification was 230 bp. Genotyping the GHR gene produced two alleles (A and T)
and three genotypes (AA, AT, TT). Results from the analysis of the allele and
genotype frequencies showed that the T allele had a higher frequencies than the A
allele and TT genotype had a higher frequencies than AA or AT genotypes from all
population. The GHR gene in HF from BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber, and

KPSBU Pasir Kemis were in Hardy-Weinberg equilibrium. The equilibrium HardyWeinberg in HF from BIB Lembang and BBIB Singosari could not be calculated.
Heterozigosity value of GHR gene (Ho) were lower than heterozigosity value in HF
(He) from BPPT SP Cikole and KPSBU Pasir Kemis. In HF from other population,
heterozigosity value of GHR gene (Ho) were higher than heterozigosity value (He).
The conclusion was that GHR|SSpI gene in HF from BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir
Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Lembang and BBIB Singosari was polymorphic.
Keywords : GHR gene, polymorphism, PCR-RFLP

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa sapi Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu bangsa sapi
penghasil susu tertinggi dibandingkan bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis
maupun sub tropis. Produksi susu sapi FH di Indonesia rata-rata 10 liter/hari. Namun
demikian, produksi susu sapi FH belum dapat memenuhi kebutuhan susu di dalam
negeri. Perbaikan mutu genetik sapi FH di Indonesia dapat dikatakan sangat lambat,
walaupun sudah dilakukan inseminasi buatan. Hal ini dikarenakan belum adanya
recording yang baik pada peternakan-peternakan di Indonesia. Salah satu cara untuk
memperbaiki mutu genetik adalah dengan melakukan seleksi pada sapi FH itu
sendiri. Perkembangan teknologi molekuler saat ini dapat lebih mempermudah dalam
melakukan seleksi dibandingkan dengan cara lainnya. Seleksi melalui molekuler

dapat dilakukan dengan melihat keragaman gen yang mempengaruhi produksi susu
sapi FH.
Salah satu teknologi molekuler yang dapat digunakan untuk menganalisis
keragaman gen adalah PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment

Lenght Polymorphism). Metode PCR memanfaatkan perbedaan pola pemotongan
enzim

restriksi

atau

enzim

pemotong

yang

berbeda-beda


pada

setiap

mikroorganisme. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya
keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan
kualitas susu (Sumantri et al., 2007).
Hormon pertumbuhan (Growth Hormone) merupakan salah satu hormon
yang mempengaruhi produksi susu pada sapi perah. Hormon pertumbuhan ini
diekspresikan oleh gen-gen. Gen Growth Hormone memiliki berat molekul yang
tinggi sehingga sulit memasuki sel-sel yang harus melewati membran sel. Oleh
karena itu, gen GH membutuhkan gen Growth Hormone Receptor (GHR) sebagai
reseptor yang terdapat dalam membran sel, agar gen GH dapat memberikan efeknya
ke target sel tanpa merusak membrannya (Djojosoebagio, 1996).
Gen GHR memiliki fungsi sebagai mediasi gen pertumbuhan yang
mempengaruhi sifat pertumbuhan karkas pada sapi pedaging dan sifat produksi susu
pada sapi perah. Gen GHR pada sapi dipetakan sebagai gen tunggal yang terletak

pada kromosom 20 (Moody et al., 1995), terdiri atas 10 exon dan 9 intron dan


memiliki panjang 25.688 pb (Lucy et al., 1998, Jiang dan Lucy, 2001). Menurut
Blott et al. (2003) terdapat beberapa exon yang diduga mempengaruhi produksi susu
sapi perah, yaitu exon 3. 8, 9, dan10. Exon 8 merupakan exon yang diduga sebagai
kandidat yang paling mempengaruhi produksi susu sapi perah. Keragaman gen GHR
di exon 8 ini dapat dianalisis dengan menggunakan enzim rekstriksi SSpI. Oleh
karena itu diperlukan penelitian mengenai keragaman gen GHR di exon 8 dan
pengaruhnya terhadap produktifitas sapi perah. Keragaman gen GHR exon 8 ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi untuk seleksi dalam hal peningkatan mutu
genetic sapi FH di Indonesia

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth
Hormone Receptor (GHR) exon 8 dengan menggunakan enzim restriksi SSpI pada
sapi Friesian Holstein dengan metode PCR-RFLP pada lima daerah yang berbeda,
yaitu KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, BIB Lembang, dan
BBIB Singosari.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak
terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di
sana. Sapi ini berasal dari Belanda yaitu di provinsi North Holand dan West
Friesland yang memiliki padang rumput yang sangat luas. Sapi FH mempunyai
beberapa keunggulan, salah satunya yaitu jinak, tidak tahan panas tetapi sapi ini
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Ciri-ciri sapi Friesian
Holstein yang baik adalah memiliki tubuh luas ke belakang, sistem dan bentuk
perambingan baik, puting simetris, dan efisiensi pakan tinggi yang dialihkan menjadi
produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). Sapi ini tubuhnya memiliki pola warna
hitam dan putih dan ada pula yang memiliki pola warna merah dan putih. Gambar
sapi FH dapat dilihat pada Gambar 1.
Ukuran badan, kecepatan pertumbuhan serta karkasnya yang bagus
menyebabkan sapi ini sangat disukai pula untuk tujuan produksi daging serta pedet
untuk dipotong selain untuk produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). Bangsa
Friesian Holstein sangat menonjol dibandingkan bangsa lain karena memiliki jumlah
produksi susu yang banyak dengan kadar lemak yang rendah. Sifat seperti ini sangat
dibutuhkan oleh peternak sapi perah saat ini.
Bangsa sapi FH merupakan penghasil susu tertinggi dibandingkan bangsa
sapi perah lainnya di daerah tropis maupun sub tropis dengan kadar lemak yang

rendah. Populasi sapi perah di Indonesia diperkirakan sebanyak 487.000 ekor yang
sebagian besar adalah bangsa sapi Friesian Holstein (FH) (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2009). Susu dihasilkan di sentra-sentra produksi sapi perah seperti di
provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar
antara 3.000-3.900 l per laktasi (Dwiyanto et al., 2000). Produksi susu merupakan
sifat kuantitatif yang dikendalikan banyak gen, sehingga ekspresinya merupakan
akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi keduanya.

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein Jantan
Sumber : http://dompi.co.id

Gen Growth Hormone (GH)
Pertumbuhan merupakan salah satu sifat utama dan penting dari makhluk
hidup. Secara umum pertumbuhan memiliki aspek yang luas seperti pertumbuhan
sel, organ, fetus, tulang dan beberapa aspek lain yang terkait dengan pertumbuhan
individu (Zulkharnaim et al., 2010). Pertumbuhan suatu individu dipengaruhi oleh
hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan merupakan hormon anabolik yang
disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lobus anterior pituitary (Ayuk
dan Sheppard, 2006). Hormon pertumbuhan diekspresikan oleh gen-gen. Gen

Growth Hormone adalah salah satu gen yang penting yang diperlukan untuk
pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, dan pertumbuhan badan normal. Oleh
karena itu, gen GH sering dijadikan kandidat untuk program Marker Assisted
Selection pada sapi (Beauchemin et al., 2006). Gen GH mempunyai panjang 2800 pb
dengan 5 ekson dan 4 intron dan terletak pada kromosom ke 19 (Ardiyanti et al.,
2009).
Fungsi dari gen GH khususnya pada ternak menjadi sangat penting karena
gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. Menurut Sumantran
et al. (1992) gen GH terbukti menjadi pengatur utama pada pertumbuhan pasca
kelahiran, metabolisme pada mamalia, kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh,
kesehatan. Selanjutnya, gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi
susu, karkas dan respon immun (Ge et al., 2003).
Gen Growth Hormone Receptor (GHR) menjadi kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH membutuhkan reseptor dalam
mekanisme ekspresinya ke target jaringan (Zulkharnaim et al., 2010). Zhou dan

4

Jiang (2005) menyatakan bahwa pada tingkatan jaringan, gen GH dimediasi oleh gen
GHR.

Gen Growth Hormone Receptor (GHR)
Menurut Di Stasio et al. (2005), Growth Hormone Receptor (GHR)
merupakan suatu protein transmembran yang mengikat GH dengan afinitas dan
spesifitas yang tinggi. Gen Growth Hormone memiliki berat molekul yang tinggi
sehingga sulit memasuki sel-sel yang harus melewati membran sel. Oleh karena itu,
gen GH membutuhkan reseptor yang terdapat dalam membran sel, agar gen GH
dapat memberikan efeknya ke target sel tanpa merusak membrannya (Djojosoebagio,
1996).

Gen GHR pada sapi dipetakan sebagai gen tunggal yang terletak pada
kromosom 20 (Moody et al., 1995), terdiri atas 10 ekson dan 9 intron dan memiliki
panjang 25.688 pb (Lucy et al., 1998, Jiang dan Lucy, 2001). Gambar rekonstruksi
gen GHR dapat dilihat pada Gambar 2. Proses transkripsi gen GHR pada sapi di
inisiasikan oleh tiga promotor exon utama 1A, 1B, dan 1C (Jiang dan Lucy, 2001).

Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen Growth Hormone Receptor Berdasarkan
Sekuen Gen GHR di GenBank (Kode Akses. EF207442)

5


Hasil produk PCR pada gen GHR exon 8 adalah sepanjang 230 bp. Hasil
pemotongan fragmen GHR oleh SspI menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (230 bp),
AT (230 bp, 200 bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp). Genotipe TT adalah genotipe
yang mempunyai karakteristik produksi susu paling rendah dibandingkan dengan
genotipe AT dan AA (Khatib et al., 2009). Menurut Komisarek et al. (2010) genotipe
AA merupakan genotipe yang mempunyai karakteristik produksi susu paling tinggi.
Keragaman Genetik
Menurut Kirby (1990) keragaman genetik atau polimorfisme genetik adalah
terdapatnya lebih dari satu bentuk atau macam genotipe di dalam populasi.
Keragaman genetik adalah perbedaan di dalam runutan DNA antar individu,
kelompok, atau suatu populasi. Sumber keragaman ini dapat disebabkan oleh adanya
pengulangan urutan sekuen, insersi, delesi, dan rekombinasi.
Keragaman genetik dapat digunakan untuk mengetahui dan melestarikan
bangsa-bangsa dalam suatu populasi yang erat kaitannya dengan penciri atau suatu
sifat khusus (Blott et al., 1998). Suatu populasi yang alami memiliki tingkat
keragaman yang tinggi. Frekuensi genotipe dan alel merupakan suatu parameter
dasar untuk mempelajari proses terjadinya evolusi karena perubahan genetik pada
sebuah populasi yang biasanya digambarkan dengan adanya perubahan pada
frekuensi alel (Nei dan Kumar, 2000).
Tingkat keragaman dalam suatu populasi dapat dilihat dari frekuensi alelnya.
Frekuensi alel adalah rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang
ditemukan dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Menurut Falconer dan
Mackay (1996), suatu populasi dinilai beragam apabila memiliki dua atau lebih alel
dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup. Suatu alel dikatakan polimorfik jika
memiliki frekuensi alel sama atau kurang dari 0,99.
Hukum Hardy-Weinberg dapat menggambarkan keseimbangan suatu lokus
dalam populasi yang telah mengalami kawin acak dan bebas dari faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan
pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Noor (2000) menyatakan bahwa hukum ini
memperlihatkan frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup
besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya jika tidak

6

terjadinya seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang
demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang).
Ukuran tinggi rendahnya keragaman genetik dalam suatu kelompok atau
populasi dapat dilihat berdasarkan nilai heterozigositas. Semakin tinggi derajat
heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan
semakin tinggi (Avise, 1994). Menurut Nei (1987), derajat heterozigositas adalah
rataan presentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan presentase individu
heterozigot dalam populasi.
Analisis Keragaman DNA
Analisis keragaman DNA bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
RFLP, SSCP, DGGE, dan sequencing. Polimerase Chain Reaction (PCR) adalah
suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target yang telah
ditentukan dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan
molekul DNA tersebut dengan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek. Proses
yang terjadi dalam PCR meliputi tiga tahap yang penting yaitu denaturasi (pemisahan
untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan
primer) (Muladno, 2002). Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi
genetik dalam kromosom yang menyandikan penyakit yang diturunkan (Orita et al.,
1989) ataupun untuk mendeteksi keragaman gen yang berhubungan dengan sifat-sifat
ekonomis ternak seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).
Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP juga dapat digunakan untuk analisis
keragaman DNA. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang
memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal
dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Asumsi yang
mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada
nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi bentuk
(conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001).
Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan migrasinya dalam gel
poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo et al., 1998). Metode PCR-SSCP
dapat mendeteksi perubahan pada satu basa tetapi tidak dapat diketahui basa mana
yang berubah.

7

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP)
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) adalah suatu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR
memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong
yang berbeda-beda pada setiap mikroorganisme (Orita et al., 1989). Prinsip kerja
RFLP adalah menghilangkan semua mutasi untuk menciptakan sekuen rekognisi
baru. Metode ini bisa mendeteksi mutasi jika situs restriksi mengalami perubahan
susunan basa. Apabila mutasi terjadi diluar situs restriksi, maka mutasi tersebut tidak
dapat dideteksi. Menurut Nei dan Kumar (2000), atas dasar terpotong atau tidaknya
fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat
divisualisasikan melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukan ada
tidaknya polimorfisme pada suatu individu atau populasi. Analisis RFLP biasa
digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan
sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).

8

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika
Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan selama enam bulan, yaitu dari September 2011 sampai dengan Maret
2012.
Materi
Ternak
Sampel darah dan semen yang digunakan merupakan koleksi sampel
Laboratorium Genetika Molekuler tahun 2008-2010. Jumlah sampel yang digunakan
adalah 312 sampel berasal dari lima daerah yang berbeda (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel
Darah.
Asal Sampel

Jenis Kelamin

Asal DNA

Jumlah Sampel

KPSBU Pasir Kemis

Betina

Darah

95

KPSBU Cilumber

Betina

Darah

94

BPPT SP Cikole

Betina

Darah

81

BBIB Singosari

Jantan

Darah

32

BIB Lembang

Jantan

Semen

10

Jumlah

312

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah alkohol, es, dan kapas. Alat yang digunakan
antara lain jarum vacutainer, tabung vacum 10 ml dan termos.
Ekstraksi DNA
Bahan yang digunakan adalah DW (Destilation Water), NaCl, Proteinase-K,
1x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat),
CIAA (klorofom iso amil alkohol), fenol, etanol absolut, dan buffer TE 80% (tris

EDTA). Alat yang digunakan antara lain autoclave, satu set pipet mikro dan tipnya,
vortexmixer, alat sentrifugasi, refrigerator, dan freezer.
Primer
Primer yang digunakan dalam penelitian untuk mengamplifikasi gen Growth
Hormone Receptor (GHR) menurut Khatib et al. (2009) adalah
forward: 5´-CTT TGG AAT ACT TGG GCT AGC AGT GAC A”A”T AT-3´;
reverse: 5´ -GTC TCT CTG TGG ACA CAA CA-3‟
Amplifikasi DNA dengan PCR-RFLP
Bahan yang digunakan adalah air bebas ion (steril), sampel DNA, buffer,
MgCl2, pasangan primer, enzim taq dan dNTP, enzim retriksi SSpI dan buffer G.
Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro dan tipnya, alat sentrifugasi, tabung
PCR, mesin PCR, vortex, lemari es.
Elektroforesis
Bahan yang digunakan adalah air destilasi, agarose, 0,5x TBE, EtBr, loading
dye (0,01% Xylene Cyanol, 0,01% Bromtimolblue, 50% gliserol), dan marker 100
bp. Alat yang digunakan antara lain satu set alat pencetak gel, power supply 100 volt,
pipet mikro, tip dan alat gelas.
Genotyping
Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,
Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose
2% adalah sebagai berikut: agarose 0,6 g, 0,5 x TBE 30 ml, dan 2,5 μl EtBr. Alat-alat
yang digunakan antara lain adalah microwive, stirer, magnetic stirer, gelas ukur,
tabung erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply 100 volt,
gelas ukur, tip, pipet makro dan mikro.
Prosedur
Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan terdiri dari sampel darah dan semen. Pengambilan
sampel darah dilakukan pada empat tempat berbeda, yaitu KSPBU Pasir Kemis,
KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, dan BBIB Singosari. Sampel darah diambil

10

melalui vena jugularis menggunakan jarum vacutainer tabung vacum yang
ditambahkan alkohol 70%. Sampel disimpan dalam termos es atau lemari es sampai
akan digunakan lebih lanjut. Sampel semen didapatkan dengan cara membeli ke BIB
Lembang. Sampel kemudian ditambahkan dengan alcohol 70 % dan disimpan pada
suhu ruang.
Ekstraksi DNA
Sampel darah dan semen diambil sebanyak 200 µl, kemudian ditambahkan
1.000 μl DW untuk sampel darah dan 1000 µl untuk sampel semen. Sampel divortex
lalu didiamkan selama 5 menit. Setelah itu disentrifuse pada kecepatan 8.000 rpm
selama 5 menit, lalu supernatan dibuang, dan diulangi seperti proses sebelumnya,
kemudian ditambahkan 10 µl proteinase-K yang berfungsi untuk menghancurkan
protein, 350 µl 1xSTE (sodium tris-EDTA) dan 40 µl 10% SDS (sodium dodesil
sulfat) yang berfungsi untuk melisiskan membran sel. Campuran tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 55oC selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan alat
pemutar (tilting).
Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu
dengan menambahkan 40 µl 5M NaCl, 400 µl larutan fenol dan CIAA (chloroform
iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama 1 jam. Molekul
DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase fenol dengan alat sentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk fase DNA, diambil
sebanyak 400 µl pada fase DNA untuk dipindahkan ke tabung baru 1,5 ml.
Kemudian ditambahkan 5M NaCl sebanyak 40 µl dan etanol absolut sebanyak 800
µl. Molekul DNA kemudian disimpan selama semalam (over night) pada suhu -20oC.
Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang
diperoleh dibuang. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu endapan DNA
disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Amplifikasi gen GHR dilakukan dengan menggunakan campuran yang terdiri
dari 1 µl sampel DNA yang sudah diekstraksi, 10,85 µl DW, 0,3 µl primer, 0,05 µl
taq polymerase, 1,5 µl buffer, 0,3 µl dNTP dan 1 µl MgCl2. Campuran tersebut

11

kemudian dimasukan ke dalam mesin PCR dengan kondisi suhu pradenaturasi 95oC
selama 5 menit, 35 siklus (denaturasi 95oC selama 45 detik, annealing 60oC selama
45 detik dan elongasi 72oC selama 1 menit) dan elongasi akhir 72oC selama 5 menit.
Elektroforesis
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR pada
gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan cara
memanaskan agarose 0,45 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5xTBE 30 ml serta
menambahkan 2,5 μl EtBr pada saat distearer sampai didapatkan larutan jernih.
Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam pencetak gel serta menempatkan sisir
di dekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir
dicabut sehingga akan terbentuk sumur-sumur yang digunakan untuk menempatkan
sebanyak 5μl produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%,
Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%). Gel ditempatkan ke dalam gel tray
elektroforesis yang sudah terisi larutan buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang
bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (migrasi) ke arah positif (anode).
Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA
dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu dengan menarik garis lurus antara posisi
pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin diukur dengan posisi pita DNA
marker, kita dapat mengestimasi ukuran sampel DNA karena ukuran DNA pengukur
telah diketahui.
Genotyping
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) dilakukan dengan menggunakan sebanyak 2 μl produk PCR yang
dipindahkan ke dalam tabung 0,5 ml dan ditambahkan 1 μl DW, 0,3 μl enzim
restriksi SspI dan 0,7 μl buffer G. Campuran tersebut diinkubasikan dalam inkubator
pada suhu 37°C selama 16 jam. Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim
restriksi kemudian dielektroforesis pada gel agarose 2% dengan tegangan 100 volt
selama 30 menit. Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat
panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet dan dibandingkan dengan
marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel
diperbandingkan untuk menentukan genotipe pita DNA.

12

Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel. Menurut
Khatib et al. (2009), alel yang dihasilkan dari genotyping adalah alel A sepanjang
230 bp dan alel T sepanjang 200 bp dan 30 bp. Hasil pemotongan fragmen GHR oleh
SSpI menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp), dan
TT (200 bp, 30 bp) (Khatib et al., 2009).
Rancangan dan Analisa Data
Frekuensi Genotipe dan Alel
Keragaman genotipe pada masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita
yang ditemukan. Frekuensi genotipe dapat diperkirakan dengan menghitung
perbandingan jumlah genotipe pada populasi bedasarkan rumus Nei dan Kumar
(2000) :

Keterangan:

= frekuensi genotipe ke-ii
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu sampel

Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada
suatu lokus dalam populasi. Frekuensi alel masing-masing alel setiap lokus dihitung
berdasarkan rumus Nei (1987) :

Keterangan:
Xi
nii
nij
n

= frekuensi alel ke-i
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu bergenotipe ij
= jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan Chi-Kuadrat (Hartl and Clark,
1997):

Keterangan:
x2

= uji Chi-Kuadrat (obs-exs)2

13

obs
exp

= jumlah pengamatan genotipe ke-ii
= jumlah harapan genotipe ke-ii

Derajat bebas (db) dihitung untuk mendapatkan nilai x2 tabel. Nilai derajat
bebas dihitung berdasarkan Allendorf dan Luikart (2007) dengan menggunakan
rumus :
Db = (Genotipe-1) – (Alel-1)
Heterozigositas
Keragaman genetik (genetic variability) dilakukan melalui estimasi frekuensi
heterozigositas pegamatan (H0), heterozigositas harapan (He) (Weir, 1996) :

Keterangan :
Ho
Nij
N

= nilai heterozigositas pengamatan
= jumlah individu heterozigositas
= jumlah individu yang dianalisis

Keterangan :
He
P1i
n

= nilai heterozigositas harapan
= frekuensi alel homozigot
= jumlah alel

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen GHR|SSpI
Proses amplifikasi gen GHR|SSpI pada sapi FH di KPSBU Pasir Kemis,
KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, BIB Lembang, dan BBIB Singosari dilakukan
dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Produk amplifikasi gen
GHR|SSpI yang didapatkan adalah sepanjang 230 bp. Hal ini sesuai dengan Khatib et
al. (2009) yang menyatakan bahwa produk hasil amplifikasi gen GHR|SSpI exon 8
adalah sepanjang 230 bp. Hasil amplifikasi gen GHR|SSpI sepanjang 230 bp pada gel
agarose 1,5 % disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen GHR|SSpI Sepanjang 230 bp
pada Gel Agarose 1,5 %. M (Marker) dan 1-13 (Sampel)
Amplifikasi gen GHR|SSpI berhasil 96% atau sebanyak 312 sampel dari
jumlah semua sampel yang diteliti yaitu 325 sampel. Ketidakberhasilan amplifikasi
dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti suhu annealing (penempelan primer),
jumlah komponen pereaksi yang digunakan, kualitas dan kuantitas DNA hasil
ekstraksi (Muladno, 2002). Posisi penempelan primer pada sekuen GHR|SSpI (Gen
Bank Kode Akses. EF207442) disajikan pada Gambar 6. Suhu annealing sangat
berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses ampilifikasi DNA. Suhu annealing
merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer pada situs pemotongan
DNA selama proses ampilifikasi berlangsung. Suhu annealing yang dipakai pada
penelitian ini adalah pada suhu 60o C selama 45 detik.

Forward
1983 ttccagtttc catggttctt aattattatc tttggaatac ttgggctagc agtgacaat|a
2043 tttttactca tattttctaa acagcaaagg taagtgtgat ataacctact ctgatatgtt
3003 ttgccagtta tttagcaaat gtccatgttt ccattttttg tttgatgttt tcttttgtga
3063 atcctgagtg aagtgtttca tcaacccagt gaaacgttat cgctctacat ttacatcttt
4023 gttgtgtcca cagagagaca acacaggtct cagttttatc tggaaagttg cataggatgt

reverse

Alel T: 5’-----agtgacAAT|ATTttta----3’
Alel A: 5’-----agtgacAATATAttta----3’
Keterangan

: Alel T mempunyai basa T pada posisi basa ke 2044
Alel A mempunyai basa A pada posisi basa ke 2044

Gambar 6. Posisi Penempelan Primer (cetak tebal) pada Sekuen Gen Growth
Hormone Receptor Terjadi Mutasi pada Situs Pemotongan SspI
(aat|att)
Pendeteksian keragaman gen GHR|SSpI exon 8 pada sapi FH menggunakan
metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism). PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari
produk PCR. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman
pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas
susu (Sumantri et al., 2007). Pemotongan fragmen tersebut dilakukan dengan
menggunakan enzim restriksi SSpI dengan buffer G. Suhu inkubasi enzim ini adalah
37o C. Enzim ini memotong situs aat|att yang pada produk PCR berada pada basa ke
2042. Enzim SSpI tidak akan mengenali situs pemotongan apabila terjadi mutasi
pada sekuen gen. Khatib et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi mutasi pada basa
ke- 2044 di sekuen gen GHR|SSpI. Mutasi adalah suatu perubahan struktur kimia gen
yang berakibat perubahan fungsi gen. Mutasi yang terjadi adalah perubahan asam
amino phenylalanine yang mengkodekan alel T menjadi asam amino tyrosine yang
mengkodekan alel A (Komisarek et al., 2010). Mutasi yang terjadi merupakan mutasi
substitusi transversi dimana terjadi perubahan basa pirimidin (T-C) berubah menjadi
basa purin (A-G). Mutasi ini bersifat non-synonimus atau mutasi yang menyebabkan
perubahan asam amino. Mutasi ini menyebabkan produk amplifikasi tidak akan
dikenali oleh enzim dan tidak akan terpotong. Mutasi pada gen GHR telah
diasosiasikan sebagai Larontype dwarfism pada manusia (Godowski et al., 1989),
16

sex-linked dwarfism pada ayam (Burnside et al., 1992), sifat pertumbuhan pada sapi
pedaging (Hale et al., 2000) dan sifat produksi susu pada sapi Holstein (Aggrey et
al., 1999). Hasil pemotongan fragmen GHR oleh SSpI menghasilkan tiga genotipe
yaitu AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp) (Khatib et
al., 2009). Gen GHR pada sapi perah mempengaruhi sifat produksi susu (Aggrey et
al., 1999).

Hasil pemotongan fragmen GHR oleh SspI pada gel agarose 2 %

disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Visualisasi Hasil PCR-RFLP pada Gen GHR|SSpI pada Gel Agarose 2%
dengan Genotype AA (230 bp), AT (230 bp, 200 bp, 30 bp) dan
TT (200 bp, 30 bp)
Keragaman gen GHR|SSpI pada sapi Friesian Holstein untuk setiap lokasi
diilustrasikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Keragaman Gen GHR|SSpI Exon 8 pada Sapi Friesian Holstein
Setiap Populasi
17

Genotipe yang banyak terdapat pada sapi FH di BPPT SP Cikole adalah
genotipe TT (45/81) yang diikuti dengan genotipe AT (28/81) dan terakhir adalah
genotipe AA (8/81). Sapi FH di daerah KPSBU Pasir Kemis memiliki jumlah
genotipe TT dan AT yang sama yaitu (42/95) kemudian genotipe paling sedikit
adalah genotipe AA (11/95). Genotipe terbanyak pada daerah KPSBU Cilumber
adalah genotipe AT (49/94) kemudian diikuti dengan genotipe TT (42/94) dan
terakhir adalah genotipe AA (3/94). Genotipe TT pada sapi FH di BBIB Singosari
merupakan genotipe terbanyak (17/32) kemudian diikuti genotipe AT (15/32) dan
tidak terdapat genotipe AA. Sapi FH di BIB Lembang memiliki genotipe TT
sebanyak 9 dan hanya memiliki 1 genotipe AT dari jumlah 10 sampel.
Frekuensi Genotipe dan Alel Gen GHR|SSpI
Hasil analisis nilai frekuensi genotipe dan alel gen GHR|SSpI pada sapi FH di
setiap populasi dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Alel pada Sapi FH di Setiap Populasi
Populasi

Genotipe
AA

Alel

AT

TT

A

T

BPPT SP Cikole (81)

0,099 (8)

0,346 (28)

0,556 (45)

0,272

0,728

KPSBU Pasir Kemis (95)

0,116 (11)

0,442 (42)

0,442 (42)

0,337

0,663

KPSBU Cilumber (94)

0,032 (3)

0,447 (42)

0,521 (49)

0,255

0,745

BBIB Singosari (32)

0,000 (0)

0,469 (15)

0,531 (17)

0,234

0,766

BIB Lembang (10)

0,000 (0)

0,100 (1)

0,900 (9)

0,050

0,950

Total (312)

0,071 (22)

0,410 (128)

0,519 (162)

0,276

0,724

Keterangan : (…) = jumlah sampel

Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah genotipe yang muncul pada
suatu populasi. Frekuensi genotipe dan alel merupakan parameter dasar untuk
mempelajari proses terjadinya evolusi karena perubahan genetik pada sebuah
populasi biasanya digambarkan dengan adanya perubahan pada frekuensi alel (Nei
dan Kumar, 2000). Tabel 2. menunjukkan bahwa frekuensi genotipe total dari sapi
FH di semua populasi sebesar 0,071 untuk genotipe AA, 0,410 untuk genotipe AT,
dan 0,519 untuk genotipe TT. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa
genotipe tertinggi yang terdapat di semua populasi adalah genotipe TT dan genotipe
18

terendah adalah genotipe AA. Nilai frekuensi genotipe tertinggi pada sapi FH di
BPPT Cikole sebesar 0,556 yaitu genotipe TT. Begitu pula dengan sapi FH di
KPSBU Cilumber yang memiliki nilai frekuensi genotipe tertinggi untuk genotipe
TT yaitu sebesar 0,521. Nilai frekuensi genotipe TT dan AT pada sapi FH di KPSBU
Pasir Kemis memiliki proporsi yang sama yaitu 0,442. Sapi FH pejantan yang berada
pada BBIB Singosari dan BIB Lembang memiliki frekuensi genotipe tertinggi untuk
genotipe TT yaitu sebesar 0,531 dan 0,9. Hal ini menunjukkan hasil yang sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Komisarek et al. (2010) pada sapi Jersey yaitu
nilai frekuensi tertinggi adalah genotipe TT sebesar 0,74 dan frekuensi terendah
adalah genotipe AA sebesar 0,04. Begitu pula dengan hasil penelitian Fontanesi et al.
(2007) pada sapi Italian Holstein Friesian, Italian Brown, Jersey, Italian Simmental,
Reggiana, Rendena, Modenese yang menunjukkan bahwa nilai frekuensi tertinggi
adalah genotipe TT dengan nilai berkisar 0,509-0,894 dan frekuensi terendah adalah
genotipe AA dengan nilai berkisar 0,000-0,056. Menurut hasil penelitian Rahmatalla
et al. (2011) nilai frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe TT dengan nilai 0,691
dan terendah adalah genotipe AA dengan nilai 0,0021.
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau
jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei
dan Kumar, 2000). Nilai frekuensi alel total untuk semua populasi memperlihatkan
bahwa frekuensi alel tertinggi sebesar 0,724 untuk alel T dan terendah sebesar 0,276
untuk alel A. Frekuensi alel pada sapi FH betina di BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir
Kemis, dan Cilumber menunjukkan persamaan untuk nilai frekuensi alel tertinggi
yaitu alel T dengan nilai berkisar antara 0,663-0,745. Begitu pula dengan nilai
frekuensi pada sapi FH pejantan di BBIB Singosari dan BIB Lembang yang memiliki
frekuensi alel tertinggi untuk alel T sebesar 0,766 dan 0,950. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Komisarek et al. (2010) pada sapi Jersey dimana
frekuensi alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan nilai sebesar 0,85 untuk alel
T dan 0,15 untuk alel A. Menurut hasil penelitian Viitala (2006) pada sapi Finnish
Ayrshire frekuensi alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan nilai sebesar 0,89
untuk alel T dan 0,11 untuk alel A. Hasil penelitian Fontanesi et al. (2007)
menunjukkan bahwa pada sapi Italian Holstein Friesian, Italian Brown, Jersey,
Italian Simmental, Reggiana, Rendena, Modenese memiliki nilai frekuensi alel T

19

yang lebih besar dibandingkan dengan alel A dengan nilai berkisar antara 0,7270,947. Menurut hasil penelitian Rahmatalla et al. (2011) pada sapi Germany Holstein
menunjukkan nilai frekuensi pada alel T lebih besar dibandingkan alel A dengan
nilai 0,835 untuk alel T dan 0,165 untuk alel A.
Nei (1987) menyatakan tingkat keragaman dalam populasi digambarkan dari
frekuensi alel. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama atau
kurang dari 0.99. Menurut Falconer dan Mackay (1996), suatu populasi dinilai
beragam apabila memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi
yang cukup. Berdasarkan hasil analisis frekuensi alel dapat dikatakan bahwa gen
GHR|SSpI bersifat polimorfik pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir
Kemis, KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB Lembang.
Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen GHR|SSpI
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam
populasi yang telah mengalami kawin acak dan bebas dari faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran genetik
(Gillespie, 1998). Noor (2000) menyatakan bahwa hukum ini memperlihatkan
frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan
berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya jika tidak terjadinya seleksi,
migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam
keadaan equilibrium (seimbang). Hasil pengujian keseimbangan Hardy-Weinberg
gen GHR|SSpI pada sapi FH di setiap populasi dengan Chi-Kuadrat (χ2) disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan Uji Chi-Kuadrat (χ2)
pada Sapi FH di Setiap Populasi
Jumlah Sapi

χ2 hitung

BPPT SP Cikole

81 ekor

1,293tn

KPSBU Pasir Kemis

95 ekor

0,010tn

KPSBU Cilumber

94 ekor

2,879tn

BBIB Singosari

32 ekor

2,999td

BIB Lembang

10 ekor

0,028td

Populasi

Keterangan :

tn = tidak berbeda nyata
td = tidak dapat dianalisis
χ2 0,05 = 3,84 dan χ2 0,01 = 6,64

20

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU
Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis berada pada keadaan keseimbangan HardyWeinberg (χ2 hitung < χ2

0,05).

Suatu populasi dinyatakan dalam keadaan

keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe dan frekuensi alel tetap dari
generasi ke generasi karena akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak ke
dalam populasi yang besar (Vasconcellos et al., 2003). Hal ini menunjukkan tidak
adanya seleksi, migrasi, mutasi ataupun genetic drift pada ketiga daerah tersebut
seperti yang dikatakan oleh Noor (2010), ketidakseimbangan dapat diakibatkan
karena terjadinya seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift.
Sapi FH di BBIB Singosari dan BIB Lembang tidak dapat dianalisis dengan
menggunakan uji Chi-Kuadrat karena populasi tersebut tidak memenuhi syarat untuk
pengujian. Kedua populasi tersebut hanya memiliki dua macam genotipe dan dua
macam alel sehingga derjat bebasnya bernilai nol. Allendorf dan Luikart (2007)
menyatakan bahwa derajat bebas merupakan hasil pengurangan antara jumlah
genotipe dengan jumlah alel.
Pendugaan Nilai Heterozigositas Gen GHR|SSpI
Hartl dan Carlk (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan
dan nilai heterozigositas harapan juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Hasil
analisis heterozigositas pada sapi FH di setiap populasi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pendugaan Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai Hetezigositas
Harapan (He) Gen GHR|SSpI
Populasi

Jumlah Sapi

Ho

He

BPPT SP Cikole

81 ekor

0,346

0,396

KPSBU Pasir Kemis

95 ekor

0,442

0,447

KPSBU Cilumber

94 ekor

0,447

0,380

BBIB Singosari

32 ekor

0,469

0,359

BIB Lembang

10 ekor

0,100

0,095

Keterangan :

Ho = heterozigositas pengamatan
He = heterozigositas harapan

Hasil analisis heterozigositas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pada sapi FH
di BPPT SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis memiliki nilai heterozigositas
21

pengamatan (Ho) yang lebih rendah dari nilai heterozigositas harapan (He).
Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa apabila nilai heterozigositas pengamatan
(Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat mengindikasikan adanya
derajat endogami atau perkawinan dalam kelompok.
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH di KPSBU Cilumber,
BBIB Singosari, dan BIB Lembang lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapannya
(He). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi perkawinan dalam kelompok di
populasi tersebut. Sapi FH pada BIB Lembang dan BBIB Singosari menyediakan
semen beku dimana sapi FH yang digunakan berasal dari luar Indonesia sehingga
tidak ada perkawinan dalam populasi. Nilai heterozigositas pengamatan pada semua
populasi berkisar antara 0,100-0,469 dimana nilai tersebut lebih rendah dari 0,5.
Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5
mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada sapi FH di semua lokasi memliki variasi gen yang rendah.

22

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Gen GHR|SSpI pada sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber, KPSBU
Pasir Kemis, BIB Lembang, dan BBIB Singosari bersifat polimorfik. Genotipe yang
ditemukan yaitu AA, AT, dan TT dengan alel A dan T. Sapi FH pada BPPT Cikole,
KPSBU Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis berada pada keseimbangan HardyWeinberg. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH yang berasal dari
BPPT SP Cikole dan KPSBU Pasir Kemis lebih rendah dari nilai heterozigositas
harapan (He), sedangkan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) pada sapi FH di
KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB Lembang lebih tinggi dari nilai
heterozigositas harapannya (He).
Saran
Perlu dilakukan penambahan sampel dari berbagai populasi lain agar dapat
lebih banyak mengetahui keragaman dari gen GHR|SSpI. Selain itu perlu juga
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara keragaman gen
GHR|SSpI dengan produksi susu sapi FH.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE
RECEPTOR EXON 8 (GHR|SSpI) PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI
FEBYNIA MUTIARA ZAINATHA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE
RECEPTOR EXON 8 (GHR|SSpI) PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI
FEBYNIA MUTIARA ZAINATHA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Febynia Mutiara Zainatha. D14080220. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Growth
Hormone Receptor Exon 8 (GHR|SSpI) pada Sapi Friesian Holstein dengan
Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D
Growth Hormone Receptor (GHR) merupakan suatu protein transmembran
yang mengikat GH dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi. Gen Growth Hormone
membutuhkan suatu reseptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan, yaitu
gen Growth Hormone Receptor (GHR). Gen GHR memiliki fungsi sebagai mediasi
gen pertumbuhan yang mempengaruhi sifat pertumbuhan karkas pada sapi pedaging
dan sifat produksi susu pada sapi perah. Gen GHR diharapkan dapat menjadi
informasi sebagai gen yang mempengaruhi produktifitas ternak melalui analisis dari
keragaman gen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman
gen Growth Hormone Receptor (GHR) exon 8 dengan menggunakan enzim restriksi
SSpI pada sapi Friesian Holstein dengan metode PCR-RFLP pada lima daerah yang
berbeda, yaitu KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BPPT SP Cikole, BIB
Lembang, dan BBIB Singosari.
Materi penelitian berupa sampel darah sebanyak 302 sampel dan semen sapi
FH sebanyak 10 sampel dengan total sebanyak 312 ekor yang terdiri dari sapi
pejantan yang berasal dari BIB Lembang (10 ekor) dan BBIB Singosari (32 ekor)
serta sapi betina yang berasal dari BPPT SP Cikole (81 ekor), KPSBU Pasir Kemis
(95 ekor), dan KPSBU Cilumber (94 ekor). Amplifikasi gen GHR|SSpI dilakukan
dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP). Hasil produk amplifikasi adalah sepanjang 230 bp.
Genotipe yang ditemukan pada gen GHR|SSpI adalah AA (230 BP), AT (230 bp, 200
bp, 30 bp), dan TT (200 bp, 30 bp) dengan dua macam alel yaitu alel A dan alel T.
Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi genotipe tertinggi yang terdapat
di semua populasi adalah genotipe TT dan frekuensi genotipe terendah adalah
genotipe AA. Nilai frekuensi alel total untuk semua populasi memperlihatkan bahwa
frekuensi alel tertinggi sebesar 0,728 untuk alel T dan terendah sebesar 0,272 untuk
alel A. Sapi FH di BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber dan KPSBU Pasir Kemis
berada pada keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 hitung > χ2 0,05). Hasil
analisis heterozigositas menunjukkan bahwa sapi FH di BPPT SP Cikole dan
KPSBU Pasir Kemis memiliki nilai heterozigositas pengamatan (Ho) yang lebih
rendah dari nilai heterozigositas harapan (He), sedangkan nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) pada sapi FH di KPSBU Cilumber, BBIB Singosari, dan BIB
Lembang lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapannya (He). Kesimpulan yang
dapat diambil dari hasil analisis adalah gen GHR|SSpI pada BPPT SP Cikole,
KPSBU Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Lembang dan BBIB Singosari bersifat
polimorfik.
Kata-kata kunci : gen GHR, keragaman genetik, PCR-RFLP

ABSTRACT
Identification of the Growth Hormone Receptor Exon 8 (GHR|SSpI) Gene
Polymorphism in Holstein Friesian with PCR-RFLP Method
Zainatha, F. M., C. Sumatri, and A. Anggraeni
Growth Hormone Receptor (GHR) is one factor affecting animal growth. GHR is
required by growth hormone (GH) to carry out its effect on target tissues. The
objective of this study was to identify polymorphism of the Growth Hormone
Receptor gene in dairy cattle (Holstein Friesian) from BPPT SP Cikole, KPSBU
Pasir Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Singosari and BBIB Lembang. The gene
polymorphism was identified with Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphism (PCR-RFLP) method using SSpI restriction enzyme.
Genotyping in this study was performed on 312 animals. The product of
amplification was 230 bp. Genotyping the GHR gene produced two alleles (A and T)
and three genotypes (AA, AT, TT). Results from the analysis of the allele and
genotype frequencies showed that the T allele had a higher frequencies than the A
allele and TT genotype had a higher frequencies than AA or AT genotypes from all
population. The GHR gene in HF from BPPT SP Cikole, KPSBU Cilumber, and
KPSBU Pasir Kemis were in Hardy-Weinberg equilibrium. The equilibrium HardyWeinberg in HF from BIB Lembang and BBIB Singosari could not be calculated.
Heterozigosity value of GHR gene (Ho) were lower than heterozigosity value in HF
(He) from BPPT SP Cikole and KPSBU Pasir Kemis. In HF from other population,
heterozigosity value of GHR gene (Ho) were higher than heterozigosity value (He).
The conclusion was that GHR|SSpI gene in HF from BPPT SP Cikole, KPSBU Pasir
Kemis, KPSBU Cilumber, BIB Lembang and BBIB Singosari was polymorphic.
Keywords : GHR gene, polymorphism, PCR-RFLP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE
RECEPTOR EXON 8 (GHR|SSpI) PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP

FEBYNIA MUTIARA ZAINATHA
D14080220

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul

: Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Receptor Exon 8
(GHR|SspI) pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP

Nama

: Febynia Mutiara Zainatha

NIM

: D14080220

Menyetujui,
Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc )
NIP. 19591212 198603 1 004

(Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D)
NIP. 19630924 199803 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc )
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 25 Juni 2012

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1990 di Jakarta. Penulis adalah
anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Chandra Mahadewa dan Ibu
Indira Komala.
Penulis mengawali pendidikan dasar tahun 1995 di TK Tunas Kasih,
Cimanggis. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan ke SD Kartika XI-3 Jakarta
pada tahun 1996 hingga kemudian pindah ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah
Bogor pada tahun keempat. Setelah itu penulis pindah kembali ke SDN Batu Ampar
04 Jakarta hingga menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan
menengah pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di
SMP Negeri 20 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas
pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008 di SMA N 14 Jakarta Timur.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Selama mengikuti pendidikan,
penulis mengikuti organisasi non akademis dalam Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Peternakan pada tahun 2011. Penulis juga menjadi Manage