Identifikasi Keragaman Gen ATP Binding Cassette (ABCG2|PstI) pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN ATP BINDING
CASSETTE (ABCG2|PstI) PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP

WINDA TRISTIA NOVITASARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Keragaman
Gen ATP Binding Cassette (ABCG2|PstI) pada Sapi Friesian Holstein dengan
Metode PCR-RFLP adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Winda Tristia Novitasari
NIM D14090011

1

ABSTRAK
WINDA TRISTIA NOVITASARI. Identifikasi Keragaman Gen ATP Binding
Cassette (ABCG2|PstI) pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP.
Dibimbing oleh CECE SUMANTRI dan ANNEKE ANGGRAENI.
Gen ATP Binding Cassette (ABCG2) berpengaruh pada produksi dan
komposisi susu. Reseptor yang disandi gen ABCG2 pada sel epitel alveoli

kelenjar susu akan mengikat substrat spesifik seperti riboflavin, yang disekresikan
secara aktif, sehingga susu kaya kandungan riboflavin. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi keragaman genetik gen ABCG2 pada sapi Friesian
Holstein (FH) dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphism (PCR-RFLP). Penelitian ini menggunakan sapi FH
sebanyak 224 ekor dari tujuh lokasi (BBIB Singasari, BIB Lembang, BPPTU
Baturaden, BET Cipelang, BPPT-SP Cikole, KPSBU Pasir Kemis, dan Cilumber).
Data dianalisis frekuensi alel, frekuensi genotipe, dan nilai PIC. Hasil genotyping
menghasilkan dua alel, yaitu alel A (292 pb) dan alel C (268 pb, 24 pb); serta tiga
genotipe (AA, AC, dan CC). Secara keseluruhan, frekuensi genotipe homozigot
AA ditemukan paling tinggi (0.964) vs heterozigot AC (0.031) dan homozigot CC
(0.004); dengan frekuensi alel (A = 0.98; C = 0.02). Sapi FH pengamatan
memiliki nilai PIC berkisar 0.000-0.189. Disimpulkan bahwa gen ABCG2|PstI
pada sapi FH pengamatan bersifat polimorfik, kecuali pada BBIB Singasari dan
BET Cipelang bersifat monomorfik.
Kata kunci: Friesian Holstein, gen ABCG2, keragaman genetik, PCR-RFLP

ABSTRACT
WINDA TRISTIA NOVITASARI. Polymorphism Identification of the ATP
Binding Cassette (ABCG2|PstI) Gene in Holstein Friesian Cattle by PCR-RFLP

Method. Supervised by CECE SUMANTRI and ANNEKE ANGGRAENI.
ATP Binding Cassette (ABCG2) has effects on milk production and
composition. Reseptor which is encoded by the ABCG2 gene on alveoli epitel of
mammary gland will bind its specific substrates, such as riboflavin, that are
actively secreted, so milk will be rich of riboflavin. This study was aimed to
identify the ABCG2 gene polymorphism in Holstein Friesian (HF) by Polymerase
Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)
method. This study used HF cattle by 224 heads from seven locations (BBIB
Singasari, BIB Lembang, BPPTU Baturaden, BET Cipelang, BPPT-SP Cikole,
KPSBU Pasir Kemis, and Cilumber). Data were analyzed for genotype frequency,
allele frequency, and PIC value. Genotyping analysis resulted two alleles, namely
A allele (292 bp) and C allele (268 bp, 24 bp); that resulted three genotypes,
namely AA, AC, and CC. Analysis of genotype frequency resulted that AA
homozygous was very highest (0.964) vs AC heterozygous (0.031) and CC
homozygous (0.004); with allele frequency (A = 0.98; C = 0.02). PIC value
ranged 0.000-0.189. This study concluded that ABCG2|PstI were polimorphic in

2

tested populations, the exception of monomorphic was in BBIB Singasari and

BET Cipelang.
Keywords: ABCG2 gene, Friesian Holstein, polymorphism identification, PCRRFLP

4

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN ATP BINDING
CASSETTE (ABCG2|PstI) PADA SAPI FRIESIAN
HOLSTEIN DENGAN METODE PCR-RFLP

WINDA TRISTIA NOVITASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

3

Judul Skripsi : Identifikasi Keragaman Gen ATP Binding Cassette (ABCG2IPstl)
pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP
:Winda Tristia Novitasari
Nama
:D14090011
NIM

Disetujui oleh

Ir Anne

aeni MSi PhD
mbimbing II

Diketahui oleh


J '

I



Tanggal Lulus:

N・Zeセ

ece Sumantri, MAgrSc
Ketua Departemen

[Z ヲ@

-

11 1 S£P 2013


6

Judul Skripsi : Identifikasi Keragaman Gen ATP Binding Cassette (ABCG2|PstI)
pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP
Nama
: Winda Tristia Novitasari
NIM
: D14090011

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Pembimbing I

Ir Anneke Anggraeni, MSi PhD
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

5

7

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian ini berjudul Identifikasi Keragaman Gen ATP Binding
Cassette (ABCG2|PstI) pada Sapi Friesian Holstein dengan Metode PCR-RFLP.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
dan Ir Anneke Anggraeni, MSi PhD selaku dosen pembimbing atas bimbingannya
selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Dr Jakaria, SPt MSi, Ir Anita S Tjakraadidjaja, MRurSc, dan
Bapak Edit Lesa Aditia, SPt MSc selaku komisi penguji dalam ujian sidang
sarjana, yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam perbaikan
penulisan skripsi ini, serta Dr Ir Asnath M Fuah, MS selaku dosen pembimbing

akademik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada kak Eryk, Ferdy,
Irine, Isyana atas segala bentuk arahan teknis selama pelaksanaan penelitian di
Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan penulis kepada kedua orang tua, Bapak Sutrisno dan Ibu
Laswiwinarsih, seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya, serta
sahabat, dan teman-teman Golden Ranch 46.

Bogor, September 2013

Winda Tristia Novitasari

8

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
Ekstraksi DNA
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Elektroforesis
Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP)
Genotyping
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen ABCG2|PstI
Keragaman Gen ABCG2|PstI
Frekuensi Genotipe dan Alel Gen ABCG2|PstI
Derajat Polimorfisme Gen ABCG2|PstI
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA


vii
viii
viii
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
5
5
6
8
10
10
11

1

DAFTAR TABEL
1 Frekuensi genotipe dan alel gen ABCG2|PstI pada sapi FH
2 Keragaman gen ABCG2 pada beberapa bangsa sapi FH
3 Nilai PIC gen ABCG2|PstI pada sapi Friesian Holstein

8
9
10

DAFTAR GAMBAR
1 Amplifikasi gen ABCG2 pada gel agarose 1.5 %
2 Posisi penempelan primer forward dan reverse pada sekuen gen
ABCG2|PstI
3 Visualisasi hasil fragmen gen ABCG2|PstI pada gel agarose 2%

5
6
7

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi perah jenis Bos taurus
yang umum dipelihara di Indonesia, karena mempunyai kemampuan untuk
memproduksi susu dalam jumlah tinggi. Rataan produksi susu sapi FH di daerah
asalnya saat ini sekitar 6 900-7 600 liter/tahun (DEFRA 2012), sedangkan di
Indonesia hanya sekitar 1 700-2 300 liter/tahun (Dirjen PKH 2011). Jumlah
produksi dan komposisi susu dipengaruhi oleh faktor genotipe, lingkungan, dan
interaksi antara keduanya. Sifat ekonomis tersebut pada dasarnya merupakan sifat
kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen. Salah satu upaya meningkatkan
kemampuan genetik dalam hal jumlah produksi dan komposisi susu dapat melalui
seleksi terhadap kandidat gen-gen major yang mengontrol sifat terkait.
Pemanfaatan teknologi molekuler memungkinkan untuk dilakukannya seleksi
pada tingkat DNA, yang diharapkan akan meningkatkan respon seleksi.
Identifikasi terhadap keragaman gen yang terkait dengan sifat yang ingin
diperbaiki merupakan langkah awal untuk dapat mengetahui individu ternak yang
memiliki genotipe dengan ekspresi keunggulan sifat tersebut.
Gen ATP Binding Cassette, subfamily G, member 2 (ABCG2) yang terletak
pada kisaran wilayah 49 ± 0.5 cM dalam susunan QTL (Quantitative Traits Loci)
dari kromosom 6 (BTA6), berada dalam wilayah yang sama dengan gen
PPARGC1 dan SPP1 (Ogorevc et al. 2009), diketahui sebagai salah satu gen yang
berpengaruh besar terhadap sifat susu (Ron et al. 2001; Olsen et al. 2005). Gen
ABCG2|PstI memiliki dua alel, yaitu alel A dan alel C. Adanya perubahan alel A
menjadi alel C menyebabkan terjadinya perubahan sintesis asam amino tyrosine
menjadi serine pada posisi kodon ke-581 (Y581S) di exon 14. Alel A berpengaruh
pada produksi susu yang rendah dengan persentase lemak dan protein susu yang
tinggi, sebaliknya alel C berpengaruh pada produksi susu yang tinggi dan
persentase lemak dan protein susu yang rendah (Cohen-Zinder et al. 2005; Olsen
et al. 2007). Dengan demikian identifikasi keragaman gen ABCG2 pada sapi
perah FH di Indonesia dapat digunakan sebagai langkah awal dalam upaya
perbaikan sifat produksi susu. Oleh karena itu diperlukan adanya penelitian
mengenai keragaman genetik gen ABCG2 yang terkait dengan sifat produksi dan
komposisi susu (protein dan lemak) pada sapi perah Friesian Holstein di
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen ABCG2|PstI
pada sapi perah Friesian Holstein (FH) dengan metode Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi keragaman gen ABCG2
menggunakan sampel sapi perah Friesian Holstein dari UPT Nasional (BBIB
Singasari, BIB Lembang, BPPTU Baturaden, dan BET Cipelang), UPT Daerah

2

(BPPT-SP Cikole), dan Peternakan Rakyat (KPSBU Pasar Kemis dan Cilumber).
Keragaman gen diidentifikasi menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim
restriksi PstI.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu pada bulan Januari 2013
sampai April 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler
Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Sampel penelitian ini menggunakan hasil ekstraksi DNA sapi FH, koleksi
Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Sampel
darah sapi FH bersumber dari UPT Nasional (BBIB Singasari = 26 jantan, BIB
Lembang = 8 jantan, BPPTU Baturaden = 112 betina, dan BET Cipelang = 18
betina), UPT Daerah (BPPT-SP Cikole = 17 betina), dan Peternakan Rakyat
(KPSBU Pasir Kemis = 21 betina dan Cilumber = 22 betina).
Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan meliputi
sampel darah/semen, DW, 1xSTE, 10% SDS, Proteinase-K (5mg/ml), NaCl 5 M,
phenol, CIAA, EtOH 70%, buffer TE 80%.
Bahan-bahan untuk proses PCR meliputi primer forward, primer reverse,
dNTPs, MgCl2, 10xBuffer, dan Taq polymerase, destilated water. Primer yang
digunakan mengacu pada hasil modifikasi Komisarek dan Dorynek (2009) yaitu
forward: 5’-AAC AGC CTC AGC TCC AGA GAG ATA T-3’ dan reverse: 3’CGG TGA CAG ATA AGG AGA ACA TAC T-5’.
Proses elektroforesis menggunakan gel agarose 1.5%, 0.5xTBE, Ethidium
Bromide, loading dye, dan marker 100 pb. Bahan-bahan untuk RFLP meliputi
enzim restriksi PstI, buffer O, dan destilated water.
Alat
Peralatan yang digunakan dikelompokkan sesuai dengan urutan proses
kerja. Pertama, elektroforesis meliputi mikropipet beserta tip, vortex, sentrifuge,
inkubator, rotary mixer, freezer. Kedua, proses PCR meliputi mikropipet, tip,
tabung 1.5 ml, tabung 0.2 ml, rak tabung, vortex, sentrifuge, dan AB Applied
Biosystem GeneAmp* PCR System 9700/Eppendorf. Ketiga, proses elektroforesis
(timbangan digital, gelas kimia, sudip, cetakan gel, sisir, gelas ukur, cawan,
microwave, mikropipet, tip, magnetic stirrer, power supply 100 volt, dan uv
transilluminator). Keempat, proses Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP) meliputi mikropipet, tip, tabung 1.5 ml, tabung 0.5 ml, rak tabung, vortex,
sentrifuge, dan inkubator.

3

Prosedur
Ekstraksi DNA
DNA diisolasi dengan metode phenol chloroform mengacu pada Sambrook
et al. (1989). Sampel darah sebanyak 200 µl ditambah dengan 1 000 µl DW
(destilated water), disentrifuse pada 8000 rpm selama lima menit, supernatan
dibuang. Selanjutnya untuk melisiskan sel, degradasi protein dan bahan organik
dilakukan dengan penambahan 1xSTE 350 µl, 10% SDS 40 µl, dan 10 µl
Proteinase K (5 mg/ml) serta dikocok (tilting) dalam inkubator dengan suhu 55 °C
selama dua jam. Pemurnian sel dilakukan dengan menambahkan 40 µl NaCl 5 M,
400 µl phenol, dan 400 µl CIAA (24:1) serta dikocok pada suhu ruang selama satu
jam. Fase DNA dipisahkan dari fase phenol dengan sentrifugasi pada 12 000 rpm
selama lima menit. Setelah itu, supernatan dipindah ke tabung baru, ditambahkan
40 µl NaCl 5 M dan 800 µl EtOH, dihomogenkan, dan dilakukan freezing over
night. Campuran tersebut selanjutnya disentrifugasi pada 12 000 rpm selama lima
menit, supernatan dibuang, serta ditambah dengan 800 µl EtOH 70%. Tahap
tersebut diulangi, selanjutnya diuapkan. DNA yang berupa benang putih
dilarutkan dengan 100 µl buffer TE 80%.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Ekstraksi sampel DNA sebanyak 2 µl menggunakan mikropipet dimasukkan
ke dalam tabung 0.2 ml. Kemudian ditambahkan 13 µl PCR mix (0.1 µl primer
forward dan reverse; 0.1 µl dNTPs; 0.5 µl MgCl2; 1.5 µl 10xbuffer; 0.05 µl Taq
polymerase; 10.75 µl destilated water). Sampel selanjutnya disentrifuse,
kemudian dimasukkan ke dalam mesin thermocycler (AB Applied Biosystem
GeneAmp* PCR System 9700/Eppendorf).
Kondisi PCR yang digunakan meliputi predenaturasi (95 °C, 5 menit),
denaturasi (95 °C, 30 detik), annealing (58 °C, 45 detik), ekstensi (72 °C, 1
menit), ekstensi akhir (72 °C, 5 menit), dengan jumlah siklus PCR sebanyak 35
siklus.
Elektroforesis
Elektroforesis diawali dengan pembuatan gel agarose 1.5%. Gel agarose
dibuat dengan melarutkan agarose (0.45 g untuk cetakan besar atau 0.3 g untuk
cetakan kecil) dengan 0,5xTBE (30 ml untuk cetakan besar atau 20 ml untuk
cetakan kecil). Larutan agarose kemudian dipanaskan dalam microwave (suhu
medium high selama ± 5 menit). Setelah itu, larutan agarose diaduk dengan
magnetic stirrer dan ditambahkan Ethidium Bromide (2.5 µl untuk cetakan besar
atau 2 µl untuk cetakan kecil). Larutan agarose didiamkan hingga berubah bentuk
menjadi gel.
Elektroforesis menggunakan 5 µl sampel hasil PCR yang dicampur dengan
1 µl loading dye, sehingga diperoleh warna campuran biru, selanjutnya sampel
dimasukkan ke dalam sumur. Sementara itu, 2 µl marker 100 pb dimasukkan ke
dalam sumur, sebagai alat dalam penentuan panjang fragmen DNA. Elektroforesis
dilakukan pada power supply 100 volt selama ± 35 menit. Hasil elektroforesis
divisualisasikan dengan uv transilluminator.

4

Restriction Fragments Length Polymorphism (RFLP)
Sampel hasil PCR sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam tabung 0,5 ml
menggunakan mikropipet. Sebanyak 2 µl RE mix (0.7 µl buffer O; 0.3 µl PstI; 1
µl destilated water) selanjutnya ditambahkan ke dalam sampel. Sampel
disentrifuse dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 16 jam.
Sampel hasil PCR-RFLP dielektroforesis pada gel agarose 2% dengan tegangan
100 volt. Hasil elektroforesis divisualisasi dengan uv transilluminator.
Genotyping
Genotyping dilakukan dengan menarik lurus fragmen pita DNA sampel ke
arah marker, selanjutnya dibandingkan terhadap marker untuk mengetahui
panjang fragmen. Diperoleh genotipe AA apabila terdapat satu fragmen pita DNA
(292 pb), genotipe AC dengan tiga fragmen pita DNA (292 pb, 268 pb, dan 24
pb), genotipe CC dengan dua fragmen pita DNA (268 pb dan 24 pb).
Analisis Data
Data hasil genotyping gen ABCG2|PstI dihitung mengenai frekuensi
genotipe, frekuensi alel, dan nilai PIC. Selanjutnya data dianalisis dan
dibandingkan antarlokasi sumber sampel sapi FH pengamatan.
Frekuensi Alel dan Genotipe
Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap
jumlah populasi yang diamati. Keragaman genotipe pada masing-masing individu
ternak dapat ditentukan berdasarkan fragmen pita-pita yang ditemukan. Frekuensi
genotipe (Xii) diukur dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai
berikut:

Frekuensi alel merupakan frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi
atau jumlah suatu alel terhadap jumlah keseluruhan alel yang terdapat dalam suatu
populasi. Frekuensi alel (Xi) dari gen ABCG2 dihitung berdasarkan rumus Nei
dan Kumar (2000) sebagai berikut:

Keterangan:
Χii
Χi
nii
nij
N

: frekuensi genotipe ke-ii
: frekuensi alel ke-i
: jumlah individu bergenotipe ii
: jumlah individu bergenotipe ij
: jumlah individu sampel

5

Polymorphic Information Content (PIC)
Kegunaan dari marker genetik untuk analisa garis keturunan bergantung
pada seberapa sering marker tersebut ditemukan dalam kondisi polimorfik.
Derajat polimorfisme dapat diukur dengan menghitung nilai PIC (Buchanan dan
Thue 1998). Perhitungan nilai PIC mempertimbangkan jumlah alel yang dimiliki
oleh lokus marker dan frekuensi dari alel-alel tersebut (Botstein et al. 1980).

Keterangan:
k
pi
pj

: jumlah alel
: frekuensi alel ke-i
: frekuensi alel ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen ABCG2|PstI
Amplifikasi gen ABCG2 pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode PCR. PCR merupakan reaksi perbanyakan jumlah molekul DNA
secara in vitro di dalam mesin thermocycler dengan bantuan oligonukleotida
rantai pendek dari primer forward dan reverse, yang memiliki susunan basa
nukleotida berkomplemen dengan DNA target; serta enzim Taq polymerase, yang
berperan dalam sintesis molekul DNA baru (Muladno 2010). Hasil amplifikasi
gen ABCG2 menggunakan marker 100 pb pada gel agarose 1.5% ditampilkan
dalam Gambar 1.
M

1

2

3

4

5

6

7

500 pb
400 pb
300 pb

292 pb

200 pb
100 pb

Gambar 1 Amplifikasi gen ABCG2 sepanjang 292 pb pada gel agarose 1.5 %.
M (marker); 1-7 (sampel)

6

Amplifikasi gen ABCG2|PstI menunjukkan bahwa panjang pita yang
diperoleh adalah 292 pb. Hal ini sesuai dengan penelitian Komisarek dan Dorynek
(2009) yang menyebutkan bahwa panjang fragmen hasil amplifikasi gen ABCG2
adalah 292 pb. Tingkat keberhasilan amplifikasi gen ABCG2 mencapai 100%
pada seluruh populasi, kecuali pada BBIB Singasari (81.25%) dan BPPTU
Baturaden (90.32%). Adapun berdasarkan keseluruhan sampel, tingkat
keberhasilan amplifikasi sebesar 92.56%.
Beberapa faktor yang menentukan tingkat keberhasilan PCR, antara lain
suhu annealing, kualitas DNA hasil ekstraksi, dan komposisi bahan-bahan
penyusun mix PCR yang digunakan. Beberapa hal yang penting untuk
diperhatikan agar diperoleh hasil PCR yang optimal yaitu suhu annealing,
konsentrasi Mg2+, konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target (Viljoen et al.
2005). Adapun posisi penempelan primer pada sekuen gen ABCG2|PstI
(GenBank Nomor Akses AJ871176) ditampilkan pada Gambar 2.

62281
62341
62401
62461
62521
62581

tattataaat
agaggatagg
agtattcacg
ttcttggtat
tgccttggtt
ctccttatct

forward
atatttagat ccctaaacag cctcagctcc
gtaagtcttc agagtagtgg aaagaatttc
agactgtcag ggacttaaag aggctatttg
ttgttttttg
tagatatttt
cagggctgtt
gtcatggctt caatacttga gcattcctcg
gtcaccgtgc tggttcattg tccccatgct
reverse

agagagatat
aaagaagagt
ctagacggca
ggtaaatctc
atacggctat
ggaaacagcc

acacatacaa
tgtccttagc
ccagatctga
aaaaccgtcg
gcg|gtatgtt
agaataaagc

Keterangan:
Terjadi mutasi pada situs pemotongan enzim restriksi PstI (ctgca|g) pada posisi 62569 (Exon 14)
Alel A : 5’...ATACGGCTATGCAGTATGTT...3’  sintesis AA tyrosine
Alel C : 5’...ATACGGCTCTGCAGTATGTT...3’  sintesis AA serine
: Posisi penempelan primer
_____ : Situs pemotongan enzim restriksi PstI

Gambar 2 Posisi penempelan primer forward dan reverse pada sekuen gen
ABCG2|PstI

Keragaman Gen ABCG2|PstI
Analisis keragaman dilakukan setelah DNA hasil amplifikasi dipotong
dengan menggunakan enzim restriksi. PstI merupakan enzim restriksi yang
memiliki titik potong spesifik yaitu 5’ CTGCA|G 3’. Primer reverse yang
digunakan pada penelitian ini telah dimodifikasi oleh Komisarek dan Dorynek
(2009) dengan tujuan agar diperoleh titik potong oleh enzim PstI. Teknik
introduksi sekuen primer ke dalam bagian dari situs restriksi dikenal dengan
istilah PIRA (Primer Introduced Restriction Analysis). Teknik PIRA-PCR
umumnya digunakan untuk mendeteksi keberadaan single nucleotide
polymorphisms (SNP). Untuk membuat rekayasa RFLP, ketidakcocokan
(mismatch) berupa basa tunggal (single base) biasanya diintroduksikan pada
ujung 3’ dari primer yang dekat dengan titik mutasi (Ke et al. 2001). Hasil
pemotongan enzim PstI menghasilkan tiga fragmen dengan panjang berbeda yaitu
292 pb (alel A) serta 268 pb dan 24 pb (alel C). Dengan demikian suatu individu

7

dikatakan memiliki genotipe AA apabila proses restriksi menghasilkan satu
fragmen pita (292 pb), genotipe AC jika tiga fragmen pita (292 pb, 268 pb, dan 24
pb), dan genotipe CC jika dua fragmen pita (268 pb dan 24 pb). Hasil genotiping
gen ABCG2|PstI pada gel agarose 2% dapat dilihat pada Gambar 3.
M

1

2

3

4

5

6

7

500 pb
400 pb
300 pb

292 pb
268 pb

200 pb

100 pb

CC

AA

AA

AA

AC

AC

AA

Gambar 3 Visualisasi hasil fragmen gen ABCG2|PstI pada gel agarose 2%.
Genotipe AA (292 pb), AC (292 pb, 268 pb, 24 pb), dan CC (268 pb,
24 pb)
Gambar 3 mengilustrasikan untuk masing-masing genotipe, panjang
fragmen yang diperoleh sesuai dengan penelitian Komisarek dan Dorynek (2009).
Panjang fragmen 24 pb tidak ditemukan pada genotipe AC dan CC. Hal ini
disebabkan karena fragmen tersebut telah mengalami running off saat
elektroforesis. Molekul DNA yang lebih kecil memiliki kecepatan bermigrasi ke
kutub positif lebih cepat dibandingkan molekul DNA yang lebih besar saat
elektroforesis (Muladno 2010). Namun demikian, adanya fragmen 292 pb dan 268
pb pada genotipe AC; serta fragmen 268 pb pada genotipe CC sudah cukup untuk
mengidentifikasi kedua genotipe tersebut. Identifikasi keragaman gen ABCG2
menunjukkan bahwa ketiga genotipe (AA, AC, dan CC) ditemukan pada 224 sapi
FH pengamatan. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Komisarek dan Dorynek (2009) menggunakan 453 ekor Polish Holstein; Yildrim
dan Sahin (2010) dengan 207 ekor Turkish Holstein. Hasil penelitian keduanya
tidak menemukan adanya individu dengan genotipe homozigot CC.
Berdasarkan 224 ekor sapi FH pengamatan, genotipe homozigot AA paling
banyak ditemukan. Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu bahwa
jumlah genotipe AC hanya sedikit ditemui pada lima lokasi, yaitu BIB Lembang
(1 ekor), BPPT-SP Cikole (2 ekor), KPSBU Pasar Kemis (1 ekor), BPPTU
Baturaden (2 ekor), dan Cilumber (1 ekor), bahkan genotipe homozigot CC hanya
ditemui di lokasi BPPT-SP Cikole (1 ekor). Dengan demikian keragaman gen
ABCG2 terendah ditemukan pada lokasi BBIB Singasari dan BET Cipelang
karena hanya terdapat satu jenis genotipe yaitu genotipe homozigot AA.
Sebaliknya, keragaman gen tertinggi ditemukan pada lokasi BPPT-SP Cikole
karena terdapat tiga genotipe yaitu AA, AC, dan CC.

8

Frekuensi Genotipe dan Alel Gen ABCG2|PstI
Nilai frekuensi genotipe dan alel sapi FH pengamatan di masing-masing
lokasi ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Frekuensi genotipe dan alel gen ABCG2|PstI pada sapi FH
Sumber

UPT
Nasional
(164)

Lokasi

Jenis
Kelamin

AC

CC

A

C

1.000
(26)
0.880
(7)
0.980
(110)
1.000
(18)
0.982
(161)

0.000
(0)
0.120
(1)
0.020
(2)
0.000
(0)
0.018
(3)

0.000
(0)
0.000
(0)
0.000
(0)
0.000
(0)
0.000
(0)

1.00

0.00

0.94

0.06

0.99

0.01

1.00

0.00

0.991

0.009

0.820
(14)

0.120
(2)

0.060
(1)

0.88

0.12

0.820
(14)

0.120
(2)

0.060
(1)

0.88

0.12

Betina

0.950
(20)

0.050
(1)

0.000
(0)

0.97

0.03

Betina

0.950
(21)

0.050
(1)

0.000
(0)

0.98

0.02

Subtotal

0.953
(41)

0.047
(2)

0.000
(0)

0.98

0.02

Total (224)

0.964
(216)

0.031
(7)

0.004
(1)

0.98

0.02

BBIB Singasari
(26)

Jantan

BIB Lembang
(8)

Jantan

BBPTU Baturaden
(112)
BET Cipelang
(18)

Betina
Betina

BPPT-SP Cikole
(17)

Betina

Subtotal
Peternakan
Rakyat
(43)

Alel

AA

Subtotal
UPT
Daerah
(17)

Genotipe

KPSBU Pasar
Kemis
(21)
Cilumber
(22)

Keterangan: (...) = jumlah sampel

Frekuensi genotipe homozigot AA menunjukkan nilai tertinggi pada seluruh
lokasi, dibandingkan dengan genotipe AC dan homozigot CC. Frekuensi genotipe
AA memiliki kisaran 0.82-1.00. Frekuensi genotipe AA bernilai 1.00 ditemukan
pada BBIB Singasari dan BET Cipelang, menunjukkan bahwa pada keseluruhan
sapi FH pengamatan bergenotipe AA. Sementara itu, frekuensi genotipe CC
bernilai 0.00 pada seluruh lokasi, kecuali di BPPT-SP Cikole (0.06). Nilai
frekuensi genotipe 0.00 tersebut menunjukkan bahwa pada sapi FH pengamatan
tidak ditemukan adanya individu bergenotipe CC. Secara keseluruhan dari 224
sapi FH yang diamati, frekuensi genotipe AA > AC > CC (AA = 0.964; AC =
0.031; dan CC = 0.004). Hasil penelitian Komisarek dan Dorynek (2009)
memperoleh nilai frekuensi genotipe AA dan AC masing-masing sebesar 0.985
dan 0.015 serta tidak ditemui individu bergenotipe CC.
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai frekuensi alel A pada sapi FH di
BBIB Singasari bernilai 1.00 yang menunjukkan bahwa semua ternak tersebut
bergenotipe AA, sedangkan pada sapi FH di BIB Lembang diperoleh frekuensi

9

alel A sebesar 0.94 dan frekuensi alel C sebesar 0.06. Pada sapi perah FH betina
di BET Cipelang diperoleh frekuensi alel A sebesar 1.00, sedangkan pada
keempat lokasi lainnya diperoleh nilai frekuensi alel A dengan kisaran 0.88-0.99.
Untuk keseluruhan sapi FH pengamatan, menunjukkan bahwa frekuensi total alel
A sebesar 0.98 dan alel C sebesar 0.02. Dengan demikian, frekuensi alel A sangat
tinggi jika dibandingkan dengan alel C. Hal ini sesuai dengan studi pada sapi FH
lainnya, dengan frekuensi alel A = 0.99 dan alel C = 0.01 (Komisarek dan
Dorynek 2009); frekuensi alel A = 0.98 dan alel C = 0.02 (Yildrim dan Elif 2010);
frekuensi alel A = 0.80 dan alel C = 0.20 (Cohen-Zinder et al. 2005).
Ron et al. (2006) dalam penelitiannya pada gen ABCG2 dengan 35 bangsa
sapi perah (3 Bos indicus dan 32 Bos taurus), menjelaskan bahwa alel A
ditemukan paling banyak pada seluruh bangsa dan tidak ditemukan alel C pada
bangsa Bos indicus. Sebaliknya, alel C hanya ditemukan pada 12 bangsa Bos
taurus, dengan kisaran frekuensi alel A sebesar 0.80-0.99. Keragaman gen
ABCG2 pada beberapa bangsa sapi perah di dunia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Keragaman gen ABCG2 pada beberapa bangsa sapi FH di dunia
Jumlah
Ternak
Hasil
Sumber
ternak
Frekuensi alel
Yildrim dan Sahin
Turkish Holstein
207
(A = 0.98; C = 0.02)
(2010)
Frekuensi alel
Komisarek dan
Polish Holstein
453
(A = 0.99; C = 0.01)
Dorynek (2009)
Frekuensi alel
Israeli Holstein
341
(A = 0.80; C = 0.20)
Cohen-Zinder et al.
(2005)
Frekuensi alel
US Holstein
9
(A = 0.95; C = 0.05)
Frekuensi alel
German Holstein
27
(A = 1.00; C = 0.00)
Frekuensi alel
British Friesian
37
(A = 0.93; C = 0.07)
Ron et al. (2006)
Frekuensi alel
Ayrshire
32
(A = 1.00; C = 0.00)
Frekuensi alel
Hereford
39
(A = 1.00; C = 0.00)
Tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi alel gen ABCG2|PstI yang
diperoleh pada hasil penelitian sapi Friesian Holstein pengamatan tidak jauh
berbeda dengan frekuensi alel yang terdapat pada beberapa bangsa sapi perah di
dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada gen ABCG2, alel A
memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan alel C, sehingga seleksi terhadap
alel A akan lebih terbatas untuk dilakukan.
Tingkat keragaman suatu gen dalam suatu populasi dapat dilihat
berdasarkan nilai dari frekuensi alel (Nei 1987). Suatu alel dapat dikatakan
bersifat polimorfik apabila frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0.99 (Nei
1987). Adapun suatu populasi dapat dikatakan beragam apabila terdapat dua atau
lebih alel dalam suatu lokus dengan frekuensi yang cukup (Falconer dan Mackay
1996). Dengan demikian disimpulkan bahwa gen ABCG2 pada keseluruhan

10

populasi bersifat polimorfik karena memiliki frekuensi alel kurang dari atau sama
dengan 0.99 (0.88-0.99), kecuali pada lokasi di BBIB Singasari dan BET
Cipelang yang bersifat monomorfik (frekuensi alel sama dengan 1.00).
Derajat Polimorfisme Gen ABCG2|PstI
Derajat polimorfisme suatu gen dapat diketahui dengan menghitung nilai
PIC. Nilai PIC dari gen ABCG2|PstI ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai PIC gen ABCG2|PstI pada sapi Friesian Holstein
Sumber
UPT Nasional
UPT Daerah
Peternakan Rakyat

Lokasi
BBIB Singasari
BIB Lembang
BPPTU Baturaden
BET Cipelang
BPPT SP Cikole
KPSBU Pasir Kemis
Cilumber

PIC
0.000
0.106
0.020
0.000
0.189
0.056
0.038

PIC menggambarkan nilai heterozigositas yang tekoreksi oleh informasi
perkawinan sebagian (partially informative mating). Nilai PIC memiliki kisaran 01. Nilai PIC sama dengan nol diperoleh apabila hanya ditemukan satu alel pada
marker genetik, sedangkan diperoleh nilai PIC sama dengan satu (PIC = 1)
apabila terdapat jumlah alel yang tak terhingga (Hildebrand et al. 1992). Apabila
suatu gen hanya memiliki dua alel maka akan dihasilkan nilai PIC maksimum
sebesar 0.375 (Hildebrand et al. 1992).
Nilai PIC sama dengan nol ditemukan pada lokasi BBIB Singasari dan BET
Cipelang, menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut gen ABCG2|PstI bersifat
monomorfik karena hanya ditemukan satu alel, yaitu alel A. Sementara di lokasi
lainnya, derajat polimorfisme tertinggi dari gen ABCG2|PstI ditemukan di lokasi
BPPT SP Cikole (PIC = 0.189). Secara keseluruhan derajat polimorfisme gen
ABCG2|PstI memiliki kisaran 0.020-0.189.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara keseluruhan pada sapi FH pengamatan, gen ABCG2|PstI bersifat
polimorfik, dengan diperoleh dua alel yaitu alel A (292 pb) dan alel C (268 pb, 24
pb); serta tiga genotipe yaitu AA, AC, dan CC. Gen ABCG2|PstI ditemukan
bersifat monomorfik dengan hanya diperoleh satu alel, yaitu alel A di BBIB
Singasari dan BET Cipelang. Frekuensi genotipe AA ditemukan sangat tinggi
(0.964), sedangkan kedua genotipe lainnya sangat rendah (AC = 0.031 dan CC =
0.004), dengan frekuensi alel (A = 0.98 dan C = 0.02), serta nilai derajat
polimorfisme dengan kisaran 0.020 - 0.189.

11

Saran
Penambahan sampel sapi FH perlu dilakukan untuk memperoleh data lebih
akurat mengenai kondisi keragaman gen ABCG2 pada sapi FH di Indonesia.
Selain itu diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui hubungan antara
keragaman gen ABCG2|PstI terhadap sifat produksi dan komposisi susu sapi FH
serta kemampuan gen ABCG2 sebagai multidrugs transporter.

DAFTAR PUSTAKA
Botstein D, White RL, Skolnick M, Davis RW. 1980.Construction of a genetic
linkage map in man using restriction fragment length polymorphisms. Am. J.
Hum. Genet. 32: 314–331.
Buchanan FC, Thue TD. 1998. Intrabreed polymorphic information content of
microsatellites in cattle and sheep. [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 23];
Canada (CAN): Can. J. Anim. Sci. 78:425-428. Tersedia pada:
http://pubs.aic.ca/doi/pdfplus/10.4141/A98-002.
Cohen-Zinder M, Serioussi E, Larkin DM, Loor JJ, Evertvan der Wind A, Lee JH,
Drackley JK, Band MR, Hernandez AG, Shani M et al. 2005. Identification of
a missense mutation in the bovine ABCG2 gene with a major effect on the
QTL on chromosome 6 affecting milk yield and composition in Holstein cattle.
Genome Res. 15 (7):936-944.doi:10.1101/gr.3806705.
[DEFRA]. Department for Environment, Food and Rural Affairs. 2012.
Agriculture in the United Kingdom. Northern Ireland (UK): Department of
Agriculture and Rural Development.
[Dirjen PKH]. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian Republik Indonesia.
Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitive Genetics. Ed ke-4.
New York (US): Longman.
Hildebrand CE, Torney DC, Wagner RP. 1992. Informativeness of polymorphic
DNA markers. Los Alamos Sci. 20:100-102.
Ke Xiayi, Collins A, Ye S. 2001. PIRA PCR designer for restriction analysis of
single nucleotide polymorphism. Bioinformatics Appl. Note. 17(9):838-839.
Komisarek J, Dorynek Z. 2009. Effect of ABCG2, PPARGC1A, OLR1 and SCD
gene polymorphism on estimated breeding values for functional and production
traits in Polish Holstein-Friesian bulls. J Appl Genet. 50(2):125-132.doi:
10.1007/BF03195663.
Muladno. 2010. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Ed ke-2. Bogor (ID):
Pustaka Wirausaha Muda & USESE Foundation.
Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York (USA): Columbia
University Press.
Nei M, Kumar, S. 2000. Molecular, Evolution and Phylogenetics. New York
(US): Oxford University Press.
Ogorevc J, Kunej T, Razpet A, Dovc P. 2009. Database of cattle candidate genes
and genetic markers for milk production and mastitis. J Anim Genetics.
40(6):832-851.doi:10.1111/j.1365-2052.2009.01921.x.

12

Olsen HG, Lien S, Gautier M, Nilsen H, Roseth A, Berg PR, Sundsaasen KK,
Svendsen M, Meuwissen THE. 2005. Mapping of a milk production
quantitative trait locus to a 420-kb region on bovine chromosome 6. Amerika
(US): Genetics. 169(1):275-283 .doi: 10.1534/genetics.104.031559.
Olsen HG, Nilsen H, Hayes B, Berg PR, Svendsen M, Lien S, Meuwissen THE.
2007. Genetic support for a quantitative trait nucleotide in the ABCG2 gene
affecting milk composition of dairy cattle. BMC Genet.8:32.doi:
10.1186/1471-2156-8-32.
Ron M, Cohen-Zinder M, Peter C, Weller JI, Erhardt G. 2006. A polymorphism in
ABCG2 in Bos indicus and Bos taurus cattle breeds. J Dairy Sci. 89(12):49214923.doi:10.3168/jds.S0022-0302(06)72542-5.
Ron M, Kliger D, Feldmesser E, Seroussi E, Ezra E, Weller JI. 2001. Multiple
quantitative trait locus analysis of bovine chromosome 6 in the Israeli Holstein
population by a daughter design. [Internet]. [diunduh 2013 Juli 15]; Amerika
(US):
Genetics.
159(2):727-735.
Tersedia
pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc.articles/PMC1461848/.
Sambrook, J, Fritsch F, Miniatis T. 1989. Molecular Cloning Laboratory Manual.
3rd Edition. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Viljoen GJ, Nel LH, Crowther JR. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook.
Netherland (NL): Springer.
Yildrim M, Sahin E. 2010. ABCG2 gene polymorphism in Holstein cows of
Turkey: research article. Kafkas Univ Vet Fak Derg [Internet]. [diunduh 2012
Nov 7]; Turki (TR). Kafkas Univ Vet Fak Derg. 16 (3): 473-476. Tersedia
pada: http://vetdergi.kafkas.edu.tr/extdocs/2010 3/473 476.pdf.

RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dilahirkan di
Rembang pada 1 November 1991 dari pasangan Bapak Sutrisno dan Ibu
Laswiwinarsih. Penulis menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Lasem pada
2003-2006 dan SMA Negeri 1 Rembang pada 2006-2009 dan diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI)
pada 2009 dengan Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dengan Minor
Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif tergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER) periode 2010-2011
sebagai Sekretaris Divisi Ruminansia Besar, Fapet Goes to Village (FTV 20102011) serta mengikuti berbagai kepanitiaan dalam lingkup Fakultas maupun
Universitas. Adapun beasiswa yang pernah diperoleh penulis yaitu PPA (2009),
KSE (2010), Bank Indonesia (2011), dan Beasiswa Indofood Sukses MakmurKSE (2012). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Mata
Kuliah Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan dan Integrasi Proses
Nutrisi pada 2013.