Perlindungan Hukum Bagi Debitur atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Sertifikat/Dibawah Tangan (Studi Kanwil Kementerian Hukum dan Ham Sumut)

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdulkadir,Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata, Bandung : PT.Citra Aditya
Bakti.
Dja’is, Mochammad dan Koosmargono,RMJ, 2008, Membaca dan mengerti
HIR.Bandung : Badan Penerbit Undip.
Fuady,Minir, 2000, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya.
Gunawan W & Ahmad Y, 2000, Jamian Fidusia.Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Harahap, M Yahya, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Jakarta, Sinar Grafika.
HS,Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo
Persada : Jakarta.
Kamello,Tan, 2014, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang diDambakan,
Bandung : Alumni
Mertokusumo,Sudikno, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :
Liberty.
Prasodjo, Ratnawati W, 1999, Pokok-Pokok Undang-Undang No 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan fidusia, Majalah Hukum Trisakti.Nomor 3/Tahun
XXIV/Oktober
Riduan,Syahriani H, 2000, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT Citra
Aditya.

Saleh, K Wantjik, 2002, Kitab Hukum Acara Pedata HIR/RBG, Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya
Bakti.
Satrio,J.2005.Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan Fidusia, Bandung : Citra
Adittya Bakti.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.
Soesilo,R, 1996, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Bogor : Politea.
Subekti, R.2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita
Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Jakarta : PT.Pradnya Paramitha.
Sumarningsi, F Eka, 2001, Peraturan Jabatan Notaris, Semarang : Diktat Kuliah
Program Studi Notariat Fakutas Hukum Universitas Diponegoro.
Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta : Sinar Grafika.
Usman, Rachmadi, 2011, Hukum Kebendaan, Jakarta : Sinar Grafika.

Universitas Sumatera Utara

Wulan S,Retno dan Iskandar O, 2001, Hukum Acara Perdata dalam teori dan
praktik, Bandung : Mundur Maju.

B. Peraturan PerUndang-Undangan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/Pmk.010/2012 Tentang
Pendaftaran Jaminan fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan
fidusia
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan fidusia
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusia Jaminan
fidusia
Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum dan Umum Nomor
Ahu.Ot.03.01-01 Tahun 2013 Tentang Proses Permohonan Jaminan Fidusia pada
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor-06.Ot.03.01.
Tahun 2013 Tentang Pemberlakuan Sitem Administrasi Pendaftaran Jaminan
fidusia Secara Elektronik (Online System)
Undang-Undang Jaminan fidusia No 42 Tahun 1999
Undang-Undang No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
C. Akses Internet
Artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di
Bawah Tangan tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H.diakses 1 Maret 2016

Hukum Online.Akibat Eksekusi jaminan fidusia dibawah tangan.diakses tgl 10
Februari 2016
http://deedyienz.blogspot.com/2012/01/akbat-hukum-fidusia-dengan-aktadibawah.html, Diakses tanggal 1 April 2016
http://hukumonline.com/berita/baca/terbit-peraturan-kapolri-tentang-eksekusi-fidusia
diakses tanggal 3 Desember 2015
Trik dan Intriks, “Akibat Hukum Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan”,
www. Hukum Online.Com
www.ditjenahu,kemenkumham.go.id
C. Wawancara
Wawancara dengan Jawasmar,SH,.M.K Kepala Pelayanan umum Kanwil
Kemenkumham Sumut Tgl 10 Maret 2016
Wawancara dengan Musa Daulay,SH,M.Kn Notaris dan PPAT di Padang Lawas tgl 1
Maret 2016

Universitas Sumatera Utara

BAB III
TINJAUAN HUKUM EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

A. Pengertian Eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari
proses pemeriksaaan perkara. Oleh kerena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib
beracara yang terkandung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui
pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perUndang-Undangan
dalam HIR atau RBG.16
Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim atau
menjalankan putusan hakim.Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan putusan atau
eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/RBG.
Pengertian Eksekusi menurut R.Subekti dikatakan bahwa “Eksekusi atau
pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau
mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.17

16

M.Yahya Harahap,2001, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, hal


1
17

Mochammad Djais, 2000, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Semarang, Fakultas Hukum
Universitas Diponegor, hal 12

Universitas Sumatera Utara

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “Eksekusi adalah tindakan paksaan oleh
pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela”.18
M.Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa “Eksekusi sebagai tindakan hukum
yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,
merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh
karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari
keseluruhan proses Hukum Acara Perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam
HIR/RBG”.19
Menurut Sri Soedewi Sofyan adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan

hak-hak kreditur dalam perutangan yang terhadap harta kekayaan debitur, manakala
perutangan itu tidak dipenuhi secara sukarela oleh debitur.20
Hukum eksekusi ini sebenarnya tidak diperlukan apabila pihak yang dikalahkan
dengan sukarela mentaati bunyi putusan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak
semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya. Oleh karena itu diperlukan
suatu aturan bilamana putusan tidak ditaati dan bagaimana cara pelaksanaannya.
Lebih lanjut dapat dilihat pendapat Bachtiar Sibarani. yang menyatakan bahwa
eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah berkekuatan
18

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktik, Bandung, Mundur Maju ,hal 130
19
M.Yahya Harahap,Op.cit, hal 1
20
Sri Soedewi,1980, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan perorangan. Liberty, Yogyakarta, hal 32

Universitas Sumatera Utara


hukum tetap/pelaksanaan

secara paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan

dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.21
Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh Mochammad
Dja’is yang menyatakan bahwa “ Eksekusi adalah upaya kreditur merealisasikan hak
secara paksa karena debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya.
Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa
hukum.
Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUJF.
Yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan
benda yang menjadi objek jaminan fidusia. penyebab timbulnya eksekusi jaminan
fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak
memenuhi prestasinya walaupun sudah diberikan somasi.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa eksekusi tidak hanya diartikan
dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas. Eksekusi tidak hanya pelaksanaan
terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum kepada pihak yang kalah, yang
tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela, tetapi eksekusi dapat
dilaksanakan terhadap grosse surat hutang notaril dan benda jaminan eksekusi serta

eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi dalam arti luas merupakan suatu upaya
realisasi hak,bukan hanya merupakan pelaksanaan putusan pengadilan saja.
1. Jenis-Jenis Eksekusi Jaminan fidusia
Didalam Pasal 29 UUJF diatur jenis-jenis eksekusi jaminan fidusia, yaitu22

21

Bachtiar Sibarani, 2001, Perate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis Vol.15,
September , hal 6

Universitas Sumatera Utara

a.

Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yakni lewat suatu
penetapan pengadilan. menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
(HIR), setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat
eksekusi. Pasal 224 HIR menyatakan bahwa Grosse dari akta hipotik dan surat
hutang yang dibuat dihadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama

dengan kekuatan suatu keputusan hakim. jika tidak dengan jalan damai, maka
surat yang demikian dieksekusi dengan perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat
tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara
yang dinyatakan dalam Pasal-Pasal sebelumnya dari Pasal 224 HIR, tetapi
dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah
diizinkan dengan keputusan hakim.
Selanjutnya, Pasal 15 UUJF menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan
fidusia

dicantumkan

KETUHANAN

kata-kata

“DEMI

KEADILAN


BERDASARKAN

YANG MAHA ESA”. sertifikat jaminan fidusia tersebut

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang penuh. Dari Pasal-Pasal tersebut diatas
terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukian adalah
bahwa dalam akta tersebut terdapat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Irah-irah inilah yang
memberikan titel eksekutorial, yakni titel yang memberikan titel eksekutorial,
22

Munir Fuady, Op.Cit, hal 58

Universitas Sumatera Utara

yaitu titel yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan.
Dengan demikian, akta tersebut tinggal di eksekusi (tanpa perlu lagi suatu
putusan pengadilan). karena itu yang dimaksud dengan fiat eksekusi adalah
eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang

telah berkekuatan pasti. yakni dengan cara meminta “Fiat” dari ketua pengadilan,
yaitu memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi.
ketua pengadilan tersebut akan memimpin eksekusi sebagaimana yang dimaksud
dalam HIR.
b.

Eksekusi Fidusia Secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum
Eksekusi fidusia dapat juga dilakukan dengan jalan mengeksekusinya oleh
penerima fidusia lewat lembaga pelelangan umum (kantor lelang), dimana hasil
pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya.
Parate eksekusi lewat pelelangan umum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan
pengadilan sama sekali (Pasal 29 ayat(1) huruf b).

c.

Eksekusi Fidusia Secara Parate Eksekusi Secara Penjualan Di bawah Tangan
Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi (mengeksekusi
tanpa lewat pengadilan) dengan cara menjual benda objek fidusia tersebut secara
dibawah tangan, asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Menurut UUJF Pasal
(29), maka syarat-syarat agar suatu fidusia dapat dieksekusi secara di bawah
tangan adalah sebagai berikut:
`

1). Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima
eksekusi.

Universitas Sumatera Utara

2). Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak
3). Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan
4). Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.
5). Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (tahun) bulan
sejak diberitahukan secara tertulis.
d.

Eksekusi Fidusia Lewat Gugatan Biasa
Seperti telah dijelaskan bahwa model-model eksekusi Jaminan fidusia menurut
Pasal 29 UUJF adalah sebagai berikut:
1).Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yakni lewat
suatu penetapan pengadilan.
2).Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan
pengadilan) di depan pelelangan umum.
3).Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditur sendiri.
Dalam Pasal 29 tersebut tidak disebutkan cara eksekusi fidusia lewat gugatan

biasa. lalu, apakah ini berarti bahwa gugatan biasa tidak dapat dilakukan untuk
mengeksekusi fidusia tersebut, tentu tidak demikian jawabannya.
Sungguhpun tidak disebutkan dalam UUJF, tetapi tentunya pihak kreditur dapat
menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan. Sebab
keberadaan UUJF dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan
hukum acara yng umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada dalam hukum

Universitas Sumatera Utara

acara umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang Fidusia,
khususnya tentang cara eksekusinya yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum
acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan biasa ke Pengadilan Negeri yang
berwenang. Tambahan pula bukankah keberadaan model-model eksekusi khusus
dalam UUJF tersebut untuk mempermudah dan membantu pihak kreditur untuk
menagih hutangnya yang mempunyai jaminan fidusia dengan jalan mengeksekusi
jaminan fidusia tersebut. satu hal disebabkan eksekusi fidusia lewat gugatan biasa
memakan waktu yang lama dan dengan prosedur berbelit-belit. dan hal tersebut
sangat tidak praktis dan tidak efisien bagi hutang dengan jaminan fidusia tersebut.
2. Asas Eksekusi
Asas-asas umum eksekusi :23
a. Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
1). Pada prispsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat “dijalankan”.Sehingga pada
asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata) . karena hanya dalam
putusan yang telah berkekuatan hukum terkandung wujud hubungan hukum
yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara;
2). Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara suda tetap dan
pasti :
a).Hubungan Hukum tersebut mesti ditaati, dan
23

M.Yahya Haraha, Op.Cit, hal 6

Universitas Sumatera Utara

b).Mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat)
3).Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum terkandung
wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara
4).Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar
putusan yang telah mempeoleh kekuatan hukum tetap:
a). Dapat dilakukan atau dijalankan secara “sukarela” oleh pihak Tergugat,
dan
b). Bila enggan menjalankan secara “sukarela”, hubungan hukum yang
ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan “dengan paksa” dengan
bantuan “kekuatan umum”
Pada prinsipnya, apabila terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan
upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan yang bersangkutan belum
berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata. Prinsip ini ditegaskan
dalam Putusan MA No.1043 K/Sip/1971. 24
Dengan demikian eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum guna menjalankan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. selama putusan belum memperoleh
kekuatan hukum tetap , putusan belum dapat dijalankan. Dengan kata lain, selama
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi
belum dapat berfungsi, eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan
memaksa, terhitung :

24

Yurisprudensi MA No.1043 Tahun 1971 hal 271

Universitas Sumatera Utara

1). Sejak tanggal putusan putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dan
2). Pihak Tergugat (yang kalah) tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara
sukarela.
Sehingga, jika ditinjau dari segi yuridis, asas ini mengandung makna bahwa
eksekusi menurut “hukum perdata” adalah “menjalankan putusan” yang telah
berkekuatan hukum tetap. Cara menjalankan pelaksanaannya secara paksa dengan
bantuan kekuatan umum, apabila pihak Tergugat (pihak yang kalah) tidak memenuhi
putusan secara sukarela. Cara melaksanakan putusan (eksekusi) diatur dalam Pasal
195 HIR atau Pasal 206 RBG serta Pasal-Pasal berikutnya.
b. Pengecualian terhadap asas umum
Beberapa

pengecualian

yang

dibenarkan

Undang-Undang

yang

memperkenankan eksekusi dapat dijalankan diluar putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, antara lain :25
1). Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (berdasarkan Pasal
180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1 RBG);
2). Pelaksanaan putusan provisi, (berdasarkan Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191
ayat 1 RBG, maupun Pasal 54 dan 55 RV);
3). Akta perdamaian, (berdasarkan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG);
4). Eksekusi terhadap Grosse Akta, (berdasarkan Pasal 224 HIR atau Pasal 258
RBG);
5). Eksekusi Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF), (berdasarkan
Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan fidusia),
25

Ibid, hal 9

Universitas Sumatera Utara

c. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak tergugat
tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan sukarela. Keengganan tergugat
menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan menimbulkan konsekuensi
hukum berupa tindakan paksa yang disebut “eksekusi”26
d. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat Kondemnator
Hanya putusan yang bersifat kondemnator (condemnatoir) yang bisa
dieksekusi, yakni putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
“penghukuman” . Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur
penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau noneksekutebel.27
e. Eksekusi atas Perintah dan di bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat 1 HIR atau Pasal 206 ayat 1 RBG
didalamnya berisi beberapa hal yang perlu dipedomani dan dijelaskan, yakni:
1). Menentukan Pengadilan Negeri mana yang berwenang menjalankan eksekusi
putusan, yakni
a). di Pengadilan Negeri mana perkara (gugatan) diajukan, dan
b). di Pengadilan Negeri mana perkara diperiksa dan diputus ditingkat pertama
Manfaat dari ketentuan ini adalah kepastian kewenangan eksekusi bertujuan
menghindari saling rebutan di antara Pengadilan Negeri.

26
27

Ibid, hal 12
R.Subekti, 1977, Hukum Acara Perdata, Jakarta, BPHN, hal 128

Universitas Sumatera Utara

2). Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan hanya diberikan kepada
Pengadilan Negeri.
3). Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
B. Pengaturan Pelaksanaan Eksekusi
UUJF memberikan kemudahan melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate.
Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata monopoli jaminan
fidusia karena dalam gadai pun dikenal lembaga serupa. Pasal 29 UUJF bahwa
apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang
menjadi objek jaminan fidusia. dapat dilakukan dengan cara : 1.Pelaksanaan titel
eksekutorial, 2.Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui pelelangan

umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan, 3.Penjualan di bawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia, jika dengan cara demikian
dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.Hal ini sudah
dibahas sebelumnya diatas.
Adapun Pengaturan mengenai Eksekusi adalah :
1. Menurut UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan
Pasal 34 UUJF. salah satu cara eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial. Sertifikat jaminan
fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga ketika debitor cidera janji,
kreditor dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia tersebut langsung dapat

Universitas Sumatera Utara

melaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat
para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Pasal 30 UUJF pemberi wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Penjelasan : Dalam hal
pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada
waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang
berwenang.
Pasal 31 UUJF : dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri
atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku. Pasal 32

UUJF : Setiap janji untuk

melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan
cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 29 dan
Pasal 31 batal demi hukum. Pasal 33 UUJF : setiap janji yang memberi kewenangan
kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia
apabila debitor cidera janji batal demi hukum.
Pasal 34 UUJF ayat (1) dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan
penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.
ayat (2) Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Dari pengaturan Pasal-Pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa eksekusi jaminan
fidusia dapat dilakukan melalui cara-cara, antara lain : Eksekusi langsung dengan titel

Universitas Sumatera Utara

eksekutorial yang berarti sama kekuatannya dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Eksekusi ini dibenarkan oleh UUJF karena menurut Pasal
15 ayat (2) UUJF sertifikat jaminan fidusia menggunakan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan
putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial
dan berarti akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan
pengadilan.
Karena itu yang dimaksud dengan eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta
seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni
dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari
ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin
eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR. Eksekusi terhadap barang tersebut dapat
dilakukan dengan cara penjualan di pasar atau bursa sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk pasar dan bursa tersebut sesuai dengan maksud Pasal 31 UUJF
.Meskipun UUJF tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke Pengadilan, tetapi
tentunya pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke
Pengadilan. sebab, keberadaan UUJF dengan model-model eksekusi khusus tidak
untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam
UUJF yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi
umum lewat gugatan ke Pengadilan negeri yang berwenang. 28

28

Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan,Yogyakarta, laksbang
Pressindo, hal 125

Universitas Sumatera Utara

Pada saat ini lembaga jaminan fidusia telah mendapat pengaturan dalam UUJF.
Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur ketentuan-ketentuan yang harus
dipenuhi dan ditaati dalam melakukan perjanjian fidusia, termasuk diantaranya adalah
ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan objek jaminan fidusia di kantor
pendaftaran fidusia (Pasal 11 ayat(1) jo, Pasal 12 ayat(1) UUJF).
Sejak diundangkan pada tanggal 30 September 1999, dalam praktik pemberian
kredit dengan jaminan fidusia yang seharusnya mengacu pada UUJF ternyata masih
banyak terjadi pelanggaran, sebagai salah satu contohnya adalah masih banyak pihak
bank maupun lembaga pembiayaan (finance) yang tidak mendaftarkan objek jaminan
fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pasal 11 ayat (1) UUJF sudah mengatur bahwa benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka
ketentuan-ketentuan dalam UUJF tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya
ketentuan-ketentuan dalam UUJF maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia
itu didaftarkan. UUJF mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh
Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif eksekusi barang
jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang dan penjualan di bawah tangan.
Eksekusi jaminan fidusia menurut UUJF sebenarnya hanya mengenal dua cara
eksekusi meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga cara. Kedua cara
tersebut yaitu; Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia
melalui lelang atas kekuasaan penerima penerima fidusia sendiri dengan

Universitas Sumatera Utara

menggunakan parate eksekusi. Arti parate eksekusi menurut kamus hukum, ialah
pelaksanakan yang langsung tanpa melewati proses (Pengadilan atau Hakim).
Arti parate eksekusi yang diberikan doktrin adalah kewenangan untuk menjual
atas kekuasaan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim,
yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan, tanpa harus minta fiat dari ketua
Pengadilan. disinalah letak inkonsistensi dari Pasal-Pasal tersebut diatas, pengertian
parate eksekusi di dalam UUJF kurang lebih merupakan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang atau oleh putusan pengadilan salah satu pihak untuk
melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak
lainnya cidera janji 29 . Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a
dinyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia memiliki titel eksekusi yang memiliki
kekuatan hukum tetap yang setara dengan putusan pengadilan.
Namun kemudian, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merumuskan bahwa
penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri melalui pelelangan umum. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa, “
Dalam Undang-Undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi
jaminan fidusia melalui lembaga eksekusi.” Jika debitor cidera janji, maka pemegang
jaminan fidusia

dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang atas

kekuasaan sendiri (parate eksekusi), pemahaman dari penjelasan Pasal 15 ayat (3)
terhadap lembaga parate eksekusi, menunjukkan kehendak pembentuk UndangUndang melalui penafsiran otentik untuk mengatur lembaga parate eksekusi,
29

Ibid, hal 127

Universitas Sumatera Utara

maksudnya pengaturan lembaga parate eksekusi masuk dalam ranah Hukum Acara
Perdata. Karena eksekusi barang jaminan fidusia dalam UUJF meniru eksekusi Hak
Tanggungan pada Undang-Undang Hak Tanggungan, maka kasus yang dihadapi
sama dengan inkonsistensi Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 9 UUHT. Ada unsur yang
sama dalam eksekusi Hak Tanggungan dengan eksekusi jaminan fidusia,yaitu:
1. Debitur cidera janji;
2. Kreditur penerima jaminan mempunyai hak menjual objek jaminan fidusia atas
kekuasaan sendiri;
3. Syarat penjualan pelelangan umum;
4. Hak kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
Sebelum ada UUJF, eksekusi barang bergerak yang diikat dengan fidusia pada
umumnya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kuitansi kosong yang
sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor. Pada
waktu yang lalu, mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui
pelelangan umum. Oleh karena itu, seharusnya eksekusi barang jaminan fidusia yang
telah mempunyai eksekusi tidak melalui pelelangan umum. karena secara umum,
pelelangan umum diperlukan suatu keputusan Ketua Pengadilan untuk melaksanakan
lelang. Sehingga menyimpang dari ketentuan titel eksekusi yang tidak memerlukan
campur tangan pengadilan atau hakim dalam pelaksanaan jaminan fidusia.
UUJF mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh UndangUndang

Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif eksekusi barang jaminan

Universitas Sumatera Utara

fidusia melalui penjualan secara lelang dan penjualan dibawah tangan. Eksekusi
jaminan,

fidusia menurut UUJF sebenarnya hanya mengenal dua cara eksekusi

meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga cara. Melaksanakan titel
eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi. Arti parate eksekusi
menurut kamus hukum ialah pelaksanaan yang langsung tanpa melalui proses
Pengadilan.
2. Menurut Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011
Untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Polri menerbitkan
Peraturan Kapolri (Perkap) No.8 Tahun 2011. Mulai berlaku sejak 22 Juni 2011,
Perkap ini bertujuan untuk terselenggaranya pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
secara aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan diterbitkannya
Perkap ini juga untuk melindungi keselamatan dan keamanan penerima jaminan
fidusia dan masyarakat dari perbuatan yang menimbulkan kerugian harta benda atau
keselamatan jiwa.
Berdasarkan Perkap ini, pengamanan terhadap objek jaminan fidusia bisa
dilakukan jika memenuhi syarat :
a. Ada permintaan dari pemohon;
b. Memiliki akta jaminan fidusia;
c. Jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
d. Memiliki sertifikat jaminan fidusia; dan

Universitas Sumatera Utara

e. Jaminan fidusia berada di wilayah Negara Indonesia;30
Tujuannya untuk menyelenggarakan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia
secara aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan, melindungi
keselamatan penerima jaminan fidusia, pemberi jaminan fidusia, dan/ atau
masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan /atau
keselamatan jiwa.
Penarikan jaminan fidusia tersebut sering sekali terjadi di dalam praktik dan
memberikan dampak negatif berupa bantahan, ataupun perlawanan di lapangan. Maka
untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia POLRI menerbitkan
Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011 yang berlaku sejak 22 Juni 2011 dengan tujuan :
untuk menyelenggarakan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia secara aman, tertib,
lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan; melindungi keselamatan penerima jaminan
fidusia, pemberi jaminan fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat
menimbulkan kerugian harta benda dan/atau keselamatan jiwa.
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum
dalam Pasal 7 Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011.
a. Permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh
penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres
tempat eksekusi dilaksanakan.
b. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila
permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.

30

http://hukumonline.com/berita/baca/terbit-peraturan-kapolri-tentang-eksekusi-fidusia diakses
tanggal 3 Desember 2015

Universitas Sumatera Utara

Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum
dalam Pasal 7 Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011, dimana permohonan pengamanan
eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau
kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan.
Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila
permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.
3. Menurut Hukum Acara
Hukum acara mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan
hukum materil dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum materil. Hukum
acara perdata secara umum yaitu peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di Pengadilan) sejak diajukan gugatan,
dilaksanakannya gugatan sampai pelaksanaan putusan hakim.
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan hukum perdata.31
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah
hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata
materil.32
Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantara hakim. Hukum acara
31
32

Muhammad Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata.Bandung, PT.Citra Aditya Bakti,hal 12
Retno Wulan S dan Iskandar O,2001. Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktik. hal 1

Universitas Sumatera Utara

adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan
hukum perdata materil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada
putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
“eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.33
Didalam Hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang
diajukan dipersidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh
para pihak yang bersangkutan.Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru
dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan hakim
(hasil proses) dengan peristiwanya yang terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru
sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai.
Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para
pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya.
putusan yang dijatuhkan itu diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan
yang tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat diterima tidak hanya
oleh penggugat akan tetapi juga oleh tergugat.
Putusan pengadilan semacam itu penting sekali, terutama demi pembinaan
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Oleh karena itu hakim dalam
menjatuhkan putusan akan selalu berusaha agar putusannya kelak seberapa mungkin
dapat diterima oleh masyarakat, dan akan berusaha agar lingkungan orang yang akan
dapat menerima putusannya itu seluas mungkin. Apabila harapan itu terpenuhi, maka
dapat diketahui dari indikatornya antara lain masing-masing pihak menerima putusan
tersebut dengan senang hati dan tidak menggunakan upaya hukum selanjutnya
(banding maupun kasasi). seandainya masih menggunakan upaya-upaya hukum
banding dan kasasi, itu berarti masih belum dapat menerima putusan tersebut secara
sukrela sepenuhnya.34
Digunakannya hak-hak para pihak berupa upaya hukum banding dan kasasi,
bukan berarti bahwa putusan peradilan tingkat pertama itu keliru. secara yuridis,
33

Syahrani H Riduan, 2000, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, hal 10
34
M.Yahya Harahap, Op.Cit , hal 27

Universitas Sumatera Utara

setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum sebelum ada pembatalan oleh
pengadilan yang lebih tinggi (asas res judicata pro veritate habetur). ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum, bukan berarti kebenaran
peristiwa yang bersangkutan telah tecapai dan persengketaan telah terselesaikan
dengan sepenuhnya dengan sempurna. akan tetapi secara formal harus diterima
bahwa dengan dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim atas suatu sengketa tertentu
antara para pihak, berarti untuk sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai.
Dalam hukum acara perdata diatur tentang upaya paksa untuk merealisasi hak
penggugat yang menang kreditor apabila tergugat yang dikalahkan/ debitor tidak mau
secara sukarela memenuhi kewajibannya. Upaya paksa untuk merealisasi hak tersebut
dapat langsung mewujudkan hak penggugat yang menang/kreditur, dapat pula berupa
dorongan agar tergugat yang kalah/debitur segera memenuhi kewajibannya.
Upaya paksa yang hasilnya langsung mewujudkan hak penggugat yang menang
/ kreditor disebut eksekusi realisasi langsung, dan yang hasilnya berupa dorongan
agar tergugat yang kalah/debitor segera memenuhi kewajibannya dinamakan eksekusi
realisasi tidak langsung. Eksekusi realisasi langsung dalam HIR terdiri dari eksekusi
membayar sejumlah uang (Pasal 195-Pasal 206 HIR), eksekusi melakukan perbuatan
(Pasal 225,228 (2) jo Pasal 195-206 HIR), eksekusi dengan pertolongan hakim atas
grosse akta hipotek dan grosse surat utang notaril (Pasal 224 HIR) dan eksekusi riil
objek lelang Pasal 200 (11) HIR.
Eksekusi realisasi tidak langsung berupa gijzeling (sandera) diatur dalam Pasal
209-Pasal 223 HIR. Dalam lapangan Hukum Perdata ketentuan tentang upaya paksa
untuk merealisasi hak atau sanksi ditemukan tersebar dalam berbagai peraturan
hukum materil perdata dan hukum ajektif perdata syarat ketentuan hukum acara
perdata dengan objek eksekusi (upaya paksa untuk merealisasi hak atau sanksi) tidak

Universitas Sumatera Utara

hanya putusan hakim. Walaupun demikian, pada saat ini para Sarjana Hukum Perdata
hanya mengakui bahwa eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim. Defenisi ini
tidak tepat karena sesuai dengan objek eksekusi yang diatur dalam hukum perdata
materil, Hukum Perdata Ajektif maupun Hukum Acara Perdata. HIR sebagai sumber
utama Hukum Acara Perdata di Jawa dan Madura mengatur objek eksekusi tidak
hanya putusan hakim, malainkan meliputi juga grosse akta hipotik dan grosse surat
utang notaril (Pasal 224 HIR), selain itu HIR mengatur juga eksekusi realisasi tidak
langsung dalam Pasal 209-223. Akibat dari pola pikir bahwa eksekusi adalah
pelaksanaan putusan hakim adalah terjadi ketidakkonsistenan antara defenisi eksekusi
dengan substansi eksekusi. Sebagai contoh mengenai hal ini adalah pendapat Sudikno
Mertokusumo yang di dalam defenisi tentang eksekusi menyebut bahwa objek
eksekusi adalah putusan hakim, namun dalam uraian lanjut tentang jenis-jenis
pelaksanaan putusan dan apa yang dapat dilaksanakan disebutkan bahwa disamping
putusan hakim, objek eksekusi meliputi pula grosse akta hipotik dan surat utang
notaril serta jaminan gadai.35
4.Eksekusi Menurut HIR/RBG
HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan RBG (Rechtsreglement voor de
Buitengewesten) adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi orang Bumiputera
sehingga dibuat sedemikian rupa sesuai kondisi masyarakat Bumiputera (Warga
Negara Indonesia). Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg
diterangkan bahwa gugatan perdata dapat diajukan tertulis maupun diajukan secara
lisan, dan dalam HIR dan RBg tidak pula menjelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhi surat gugatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan saat HIR dan RBg dibuat,
orang-orang Indonesia (Bumiputera) banyak yang belum pandai membaca dan
menulis, oleh karena itu jika kalau ditentukan gugatan harus dibuat dalam bentuk
tertulis akan sangat banyak orang Indonesia yang tidak dapat menuntut dan
mempertahankan hak perdatanya, hal mana jelas bertentangan dengan rasa keadilan.

35

Soepomo. 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,Jakarta,hal 137
cetakan kelima

Universitas Sumatera Utara

Kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal itu ditegaskan Pasal 200
ayat (1) HIR, Pasal 216 ayat (1) RBG yang berbunyi : “penjualan barang yang disita
dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau menurut keadaan yang akan
dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain
yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat
dipercaya yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat dimana
penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu.
Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, Undang-Undang memerintahkan
penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan kantor lelang, dan
penjualannya disebut penjualan lelang. Dengan demikian berdasarkan Pasal 200 ayat
(1) HIR, dalam pelaksanaan lelang ketua Pengadilan wajib meminta intervensi kantor
lelang dalam bentuk menjalankan penjualan barang sitaan dimaksud. Terhadap
prosedur eksekusi jaminan atas hak tanggungan (HT) berdasarkan Peraturan Lelang
(LN 1908-2015) jo. Pasal 200 HIR, yaitu:
a. Penjualan di muka umum
b. Dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang
c. Cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun, dan
d. Bentuk penawaran dilakukan secara tertulis.
Sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan
dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara dan syarat-syarat sita
eksekusi diatur dalam Pasal 197 HIR atau Pasal 208 RBG.
5. Eksekusi Menurut KUHPerdata

Universitas Sumatera Utara

Dalam hukum acara perdata diatur tentang upaya paksa untuk merealisasi hak
penggugat yang menang/ Kreditor apabila tergugat yang dikalahkan/ debitor tidak
mau secara suka rela memenuhi kewajibannya. Upaya paksa untuk merealisasi hak
tersebut dapat langsung mewujudkan hak penggugat yang menang/kreditur, dapat
pula berupa dorongan agar tergugat yang kalah/debitor segera memenuhi
kewajibannya. Upaya paksa yang hasilnya langsung mewujudkan hak penggugat
yang menang/kreditor disebut eksekusi realisasi langsung dan yang hasilnya berupa
dorongan agar tergugat yang kalah/debitor segera memenuhi kewajibannya
dinamakan eksekusi realisasi tidak langsung.
HIR sebagai sumber utama hukum acara aerdata di Jawa dan Madura mengatur
objek eksekusi tidak hanya putusan hakim, melainkan meliputi juga grosse akta
hipotek dan grosse surat utang notaril (Pasal 224 HIR), selain itu HIR mengatur juga
eksekusi realisasi tidak langsung dalam Pasal 209-223. Akibat dari pola pikir bahwa
eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim, adalah terjadi ketidak konsistenan antara
defenisi eksekusi dengan substansi eksekusi. Sebagai contoh menengenai hal ini
adalah pendapat Sudikno Mertokusumo, yang didalam defenisi tentang eksekusi
menyebut bahwa objek eksekusi adalah putusan hakim, namun dalam uraian lanjut
tentang jenis-jenis pelaksanaan putusan dan apa yang dapat dilaksanakan disebutkan
bahwa disamping putusan hakim, objek eksekusi meliputi pula grosse akta hipotek
dan surat utang notaril serta jaminan gadai.
Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan umum dan jaminan khusus. Pasal
1311 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disamping sebagai kelanjutan dan
penyempurnaan Pasal 1311 KUHPerdata yang menegaskan persamaan kedudukan

Universitas Sumatera Utara

para kreditur, juga memungkinkan diadakannya suatu jaminan khusus apabila di
antara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dan hal ini dapat
terjadi karena ketentuan Undang-Undang maupun karena diperjanjikan.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa segala
kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan, sedangkan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut “Kebendaaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.36
Kemudian sselanjutnya dalam hal eksekusi benda bergerak, dalam ketentuan
Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penyerahan kebendaan bergerak
yang berwujud dilakukan dengan penyerahan secara nyata (Feitelijke levering) atau
penyerahan dari tangan. walau demikian adakalanya penyerahan (levering) dilakukan
dengan cara lain seperti :
a. Traditio bre manu, yaitu suatu bentuk penyerahan dengan cara dimana barang
yang akan diserahkan karena suatu hal sudah berada dalam penguasaan pihak
yang akan menerima penyerahan atau penyerahan secara nyata, missal
penyerahan dalam sewa beli.

36

R Subekti Kitab dan R.Tjitrosudibio. Undang-Undang Hukum Perdata BW.Jakarta;Pradnya
Paramita.Pasal 1131

Universitas Sumatera Utara

b. Traditio longga mamu, yaitu bentuk penyerahan dimana barang yang akan
diserahkan berada dalam penggunaan pihak ketiga atau dilakukan dengan balik
nama atau penyerahan surat-surat.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERHADAP EKSEKUSI OBJEK
JAMINAN FIDUSIA TANPA SERTIFIKAT
A. Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia Di Kanwil Kementerian Hukum dan Ham
Sumut
Sebelum lahirnya UUJF, tidak ada kewajiban dan pengaturan pendaftaran
jaminan fidusia. ketidakadaan pendaftaran kewajiban dan pengaturan pendaftaran
jaminan fidusia tersebut sangat dirasakan dalam praktik sebagai kekurangan dan
kelemahan bagi pranata hukum jaminan fidusia. sebab disamping menimbulkan
ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut
menyebabkan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur publisitas, sehingga susah
dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktiknya.
Atas pertimbangan itu, di dalam UUJF diatur tentang (kewajiban) pendaftaran
jaminan fidusia agar memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan dan perlu diingat pendaftaran jaminan fidusia ini memberikan hak
yang didahulukan (Preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. karena
jaminan fidusia memberikan hak kepada pihak pemberi jaminan fidusia untuk tetap
menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan,
diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam UUJF tersebut dapat memberikan
jaminan kepada pihak penerima jaminan fidusia dan pihak yang mempunyai
kepentingan terhadap benda tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian pendaftaran jaminan fidusia ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum bagi para pihak, baik bagi pemberi jaminan fidusia,
apalagi bagi peneriman jaminan fidusia, sehingga dapat memberikan perlindungan
hukum terhadap penerima jaminan fidusia (kreditur) dan pihak ketiga lainnya.
Setidaknya dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia dimaksud, akan lebih
menjamin hak preferensi dari kreditor (penerima fidusia) terhadap kreditor lain atas
hasil penjualan benda objek jaminan fidusia yang bersangkutan. Selain itu,
pendaftaran

jaminan fidusia menentukan pula kelahiran hak preferensi kreditur

(penerima fidusia). Ini dikarenakan jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi
fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan
kepercayaan , diharapkan sistem pendaftaran jaminan fidusia ini dapat memberikan
jaminan kepada pihak penerima fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan
terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut..
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa maksud dan tujuan sistem
pendaftaran jaminan fidusia untuk :
1. Memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan terutama
terhadap keditur lain mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan
fidusia;
2. Melahirkan ikatan jaminan fidusia bagi kreditur (penerima fidusia);
3. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada kreditor (penerima
fidusia) terhadap kreditur lain, berhubung pemberi fidusia tetap menguasai
benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan;
4. Memenuhi asas publisitas.

Universitas Sumatera Utara

5. Memberikan kekuatan eksekutorial dalam melaksanakan eksekusi objek
jaminan fidusia (Pasal 15 ayat (1) UUJF). 37
Sebelum berlakunya UUJF terdapat banyak kelemahan-kelemahan tentang
jaminan fidusia antara lain sebagai berikut :
1. Tidak adanya

pendaftaran;

dengan

tidak adanya

pendaftaran,

dapat

menyebabkan tidak adanya keadilan dan kepastian hukum.
2. Tidak adanya publisitas; dengan tidak didaftarkannya objek jaminan fidusia
yang dijadikan jaminan fidusia, maka akan merugikan pihak ketiga, karena
tidak mengetahui apakah objek jaminan fidusia itu sedang dibebani objek
jaminan fidusia atau tidak.
3. Adanya fidusia ulang; dengan tidak adanya pendaftaran terhadap jaminan
fidusia, dapat mengakibatkan adanya fidusia ulang.38
Adanya kelemahan-kelemahan tersebut di atas, dapat ditutupi dan dilengkapi
dengan kehadiran Undang-Undang tentang jaminan fidusia, namun UUJF tersebut
juga masih terdapat kelemahan-kelemahan terutama mengenai pembebanan objek
jaminan fidusia dan pendaftaran akta jaminan fidusia yang dapat memungkinkan para
pihak untuk tidak membebankan dan tidak mendaftarkan jaminan tersebut.
Permasalahan pendaftaran fidusia tersebut sangatlah mendasar dan sangat
pokok mengingat banyak pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak
mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Dikatakan sangat
mendasar karena penerima fidusia sangat lemah posisinya, apabila pembebanan objek
37

Rachmadi usman, Op.Cit, hal 200
Hukum online, “akibat hukum jaminan fidusia yang belum didaftarkan”.diakses tanggal 1
februari 2016.
38

Universitas Sumatera Utara

jaminan fidusia dan pendaftaran jaminan fidusia tersebut tidak dilaksanakan oleh
notaris akibat kelelaiannya, atau adanya kerjasama antara pemberi jaminan fidusia
dan penerima jaminan fidusia serta notaris untuk tidak membebani objek jaminan
fidusia dan mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
Disamping itu pihak ketiga juga merupakan pihak yang harus dilindungi oleh
pemberi fidusia dan penerima fidusia, manakala objek jaminan fidusia disewakan
atau dipinjam pakaikan kepada pihak ketiga tersebut. UUJF mengatur secara tegas
mengenai kewajiban pembebanan, pedaftaran serta sanksi akibat adanya kesengajaan
atau kelalaian apabila para pihak tidak membebani objek jaminan fidusia dan tidak
mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang tersebut
dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum terutama bagi para pihak yang
membuat perjanjian kredit atau perjanjian pengikatan jaminan fidusia atau juga
terhadap pihak ketiga manakala pemberi fidusia atau debitur wanprestasi terhadap
hutangnya.
Untuk memberikan kepastian hukum, Pasal 11 UUJF mewajibkan benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia untuk didaftarkan di kantor pendaftaran jaminan
fidusia. pendaftar