Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Karena Debitornya Dinyatakan Pailit
DAFTAR PUSTAKA
Asikin Zainal, 2000, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Badrulzaman Darus Mariam, 1981, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung.
Bahsan M, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hamzah A. dan Manulang Senjun, dalam Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hartini Rahayu, 2007, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Kencana, Surabaya.
HS. Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kamello Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, PT. Alumni, Medan.
Pardede Marulak dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2008, Penelitian Hukum Tentang Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, Jakarta.
Salindeho John, 1994, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sofwan Masjchoen Soedewi Sri dalam Satrio J, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini Remy Sutan, 2002, Hukum Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Subekti R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya
Paramita, Cetakan XXXIII, Jakarta.
Soedarsono, 1986, Tanggapan Terhadap AP. Parlindungan, Fidusia sebagai Hak Jaminan, Sinar Harapan.
(2)
T. Oey Hoey, 1983, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, Jaminan Fidusia, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang
Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004.
Pasal 15 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman, Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan, hutang dan pembebanan fidusia atas rumah tersebut dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, 2001, Fokus Media, Bandung.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 2005, Fokus Media, Bandung.
(3)
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN
A. Pengertian Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Pengertian kepailitan dapat kita lihat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang, Bab I ketentuan umum, Pasal 1 Ayat (1) yang menyatakan bahwa : “kepailitan adalah, sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurus dan pemberesannya dilakukan oleh curator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang”. selanjutnya di dalam Ayat (2), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan debitur pailit adalah, debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Debitur
(4)
pailit dalam Pasal 2 Ayat (1) lebih lanjut dikatakana sebagai debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004 ini dapat kita lihat pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :
1. Debitur
a. Apabila debitur adalah Bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
b. Apabila debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian, Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
c. Apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Mentri Keuangan.
2. Kreditur, baik satu ataupun lebih.
3. Kejaksaan apabila kepentingan umum memaksa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank sebagai kreditur penerima jaminan fidusia jika debiturnya pailit, kedudukan bank yang bersangkutan adalah menjadi kreditur separatis. Kedudukan separatis dari bank seharusnya dicantumkan dalam akta jaminan fidusia sebagai penjelasan dari hak kreditur
(5)
penerima jaminan fidusia. Dalam Pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa hak separatis kreditur pemegang hak jaminan kebendaan ditangguhkan jangka waktunya selama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan. Ratio pembentuk undang-undang menetapkan adanya tenggang waktu itu dapat dilihat di dalam penjelasan Pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004 yang bertujuan untuk :
a. Memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian. b. Memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit. c. Memungkinkan curator menjalankan tugasnya secara optimal.
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.
Persoalannya adalah apakah hal itu tidak melanggar hak separatis pemegang jaminan fidusia. Karena di dalam pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa: “dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Apabila secara yuridis terjadi pelanggaran hak separatis, dan dilakukan penyimpangan terhadap norma hukum seperti yang tercantum didalam Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004, hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan membuat klausula dalam akta jaminan fidusia yang telah diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Walaupun dalam praktek jaminan
(6)
fidusia, klausula yang demikian belum pernah ditemukan dalam rangka melindungi hak separatis kreditur penerima jaminan fidusia.
B. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan
Dengan semakin maraknya usaha bisnis baik dari kalangan ekonomi atas menengah dan bawah sehingga membutuhkan fasilitas pendanaan untuk melangsungkan usaha bisnis, pembahasan tentang salah satu media pendanaan bisnis yang berupa jaminan fidusia dalam prespektif ini sangat penting karena hasilnya diharapkan dapat diaplikasikan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Di Indonesia maraknya krisis moneter dan diperparah lagi oleh krisis politik, krisis moneter diawali dengan melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang dolar AS. Hal itu telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap para kreditor luar negri, menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Di samping itu kredit macet di perbankan dalam negri juga makin membumbung tinggi secara luar biasa, sebelum krisis moneter perbankan di Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans yang memperhatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sector riil karena krisis moneter tersebut.
Pada situasi ini masyarakat kreditur mulai mencari-cari cara dan sarana untuk dapat menagih tagihannya dengan memuaskan. Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, yaitu faillissementsverordening, sangat tidak dapat diandalkan. Sementar
(7)
itu pula upaya restrukturisasi utang tidak terlalu tampak menjanjikan bagi para kreditur karena masih terpuruknya sektor riil. Selain itu dikhawatirkan upaya penyelesaian utang dengan menempuh restrukturisasi utang akan berlangsung lama. Banyak sekali debitur yang sulit dihubungi oleh para kreditnya karena berusaha mengelak untuk bertanggung jawab atas utang-utangnya. Sedangkan upaya restrukturisasi utang hanyalah mungkin di tempuh apabila debitor bersedia bertemu dan duduk berunding dengan para kreditur atau sebaiknya.
Adanya kesedian untuk berunding tersebut bisnis debitur harus memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Mengingat restrukturisasi itu masih belum dapat diharapkan akan berhasil dengan baik, sedangkan upaya dalam kepailitan dengan menggunakan faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti dan diubah. IMF sebagai pemberi utang kepada Pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter krisis Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negrinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu maka, IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi mengganti atau mengubah peraturan kepailitan berlaku yaitu, faillissementsverordening sebagai sarana penyelesaian utang-utang para krediturnya.
Karena hasil desakan IMF akhirnya pemerintah turun tangan dan lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas
(8)
undang-undang Kepailitan (Perpu Kepailitan) perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan kepailitan (faillissementsverordening).
Dari segi bahasa ada yang kurang dari judul perpu tersebut karena selama ini faillissementsverordening kita kenal sebagai “peraturan kepailitan”. Oleh penyusun perpu kata “verordening” telah diterjemahkan dengan kata “undang-undang”. Kalau verordening telah diterjemahkan dengan istilah “Peraturan” maka perpu kepailitan tersebut disebut sebagai Perpu No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Peraturan Kepailitan.22
Setelah diterbitkan Perpu Kepailitan ini pada tanggal 22 April 1998 oleh Pemerintah maka lima bulan kemudian Perpu Kepailitan telah diajukan kepada DPR dan pada 9 September 1998 Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas undang-undang tentang Kepailitan itu telah ditetapkan menjadi undang-undang No.4 Tahun 1998.23
22
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.29-31.
23
Ibid.
Berdasarkan perkembangan tersebut, selanjutnya oleh pemerintah dianggap perlu untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan diatas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu hal tersebut diatas maka pemerintah menganggap perlu untuk menerbitkan undang-
(9)
undang kepailitan yang baru yaitu UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Undang-undang ini dianggap perlu karena beberapa alasan, yaitu :24
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menurut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur yang lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.
Berdasarkan uraian diatas maka, sumber-sumber hukum kepailitan di Indonesia adalah :
1. KUHPerdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134.
24
(10)
2. Fallissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348 sepanjang belum diubah dengan UU No. 4 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitan.
3. UU No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Kepailitan.
4. UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 90. 5. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang.
C. Tujuan Hukum Kepailitan
Tujuan hukum kepailitan menurut Louis E. Levinthal dalam bukunya yang berjudul “ The Early History of Bankrupicy Law ” adalah :25
1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur dan diantaranya para kreditur.
2. Mencegah para debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.
3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, tujuan hukum kepailitan adalah :
1. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitur baik yang
25
(11)
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur, yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan – tagihannya terhadap debitur. Menurut hukum Indonesia.
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai dengan pari passu pembagian secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur tersebut. (Pasal 1132 KUHPerdata). 3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan kreditur. Dengan dinyatakan debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah tangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitur menjadi harta pailit.
4. Dalam hukum di Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan keadaan keuangan perusahaan menjadi buruk sehinggan perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6. Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitur.
(12)
Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004, maka tujuan UU Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang adalah :
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.
D. Syarat-syarat Kepailitan
Sangatlah penting untuk diketahui mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu apabila seseorang atau badan hukum bermaksud mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Pasal 1 Ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa : “debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan ”.
(13)
Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa : “debitur yang mempunyai dua atau lebih kurator dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitur hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat yaitu :
1. Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditur, atau dengan kata lain harus mempunyai lebih dari satu kreditur. 2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya. 3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
Artinya bahwa kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbiter.
Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut mengalami perubahan terhadap syarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) faillissementsverordening sebagai berikut : “setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditur
(14)
atau beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh Hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit”.
Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan kebenaran gugatan atau permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada penggugat atau pemohon, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor pemohon), dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja Kreditor-kreditor lain itu.
Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitor itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit.
(15)
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG JAMINAN FIDUSIA KARENA DEBITORNYA DINYATAKAN PAILIT
A. Kedudukan Kreditor Pemegang Fidusia Yang Debitornya Dinyatakan Pailit Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kenyataan harus dihormati, tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitor menurut peraturan perundangan-undangan. Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitor, hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedalnya. Akan tetapi, si pailit masih berhak melakukan tindakan – tindakan atas harta kekayaan sepanjang membawa keuntungan bagi boedelnya.
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut pasal 21 UUK dan PKPU, harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitor pada waktu putusan pailit diucapkan serta segala kekayaan yang diperoleh debitor pailit selama kepailitan.
2. Kepailitan semata – mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitor pailit.
3. Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaan yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diucapkan.
(16)
4. Segala perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.
5. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor dan debitor dan hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
6. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta diajukan oleh atau terhadap terhadap kurator.
7. Semua tuntutan atau yang bertujuan mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan.
8. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UUK dan PKPU, kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah – olah tidak terjadi kepailitan. Pihak kreditor tersebut, tidak kehilangan haknya untuk menahan barang tersebut meskipun ada putusan pailit.
9. Hak eksekusi kreditor yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UUK dan PKPU, dan pihak ketiga untuk menurut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum untuk 90 hari setelah putusan pailit diucapkan.
Pada dasarnya keduduakan kreditor adalah sama dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing – masing.
(17)
Bila kita lihat diatas, maka dapat diketahui bahwa pihak – pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah :
a. Debitor itu sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditor, melihat ketentuan itu, maka berarti debitor yang hanya memiliki seorang kreditor tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan.
b. Seorang kreditor atau lebih, baik secara sendiri – sendiri ataupun bersama – sama. Jika kreditor itu adalah satu – satunyakreditor maka permohaonan kepailitan itu tidak dapat diajukan oleh kreditor.
c. Jaksa atau penuntut umum
Bentuk awal dari fidusia adalah fidusia cum creditore. Penyerahan hak milik pada fidusia ini terjadi secara sempurna, sehingga penerima fidusia (kreditor) berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga.26
“dimana sebagai pemilik tentunya saja ia bebas berbuat apa pun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak milik atas barang tersebut kepada debitor pemberi fidusia, apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditor. Lebih daripada itu tidak ada pembatasan – pembatasan lain dalam hubungan fidusia cum creditore. Hak milik disini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik Hal senada juga, disampaikan oleh Dr. A. Veenhoven yang menyatakan :
26
Marulak Pardede dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Ri, Op.Cit., hal. 29
(18)
fidusia, hak miliknya digunakan pada syarat putus. Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).27
27
A. Veenhoven dalam Oey Hoey Tiong, Op.Cit., hal. 47.
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam membuat suatu perjanjian, dimana dengan adanya kebebasan berkontrak akan terciptanya suatu keadilan. Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan, jika para pihak memiliki kedudukan yang seimbang. Karena, jika tidak adanya keseimbangan maka kontrak dapat menjadi tidak seimbangan terhadap kedudukan para pihak.
Kedudukan yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah hanya mengikuti saja syarat – syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lainnya adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendaksehingga membawa keuntungan kepadanya.
Kreditor dalam Pasal 1 ayat (8) UUJF yaitu pihak yang mempunyaipiutang karena perjanjian atau undang – undan. Dalam hal ini kreditor yang dimaksud adalah bank dan nasabah sebagai kreditor. Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dengan bank, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan kontraktual. Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah adalah hubungan kontraktual, terhadap nasabah debitor hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara nasabah sebagai debitor.
(19)
Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan antara bank dengan nasabah sebagai debitor bersumber dari ketentuan – ketentuan KUHPerdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab, menurut Pasa 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang – undang bagi kedua belah pihak.
Perjanjian kredit bank, memuat serangkaian klausula atau covenant, dimana sebagian besar dari klausula merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditor dalam pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit antara bank dengan nasabahnya, bank seringkali memintakan jaminan kepada debitornya sebagai jaminan atas kredit yang dipinjamnya maka benda jaminannya akan dieksekusi olehbank tersebut.
Dalam Pasal 55 UUK dan PKPU mengakui hak separatis dari pemegang hak jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Pencantuman Pasal 55 UUK dan PKPU ini sangat penting bagi kepentingan dan pemberian perlindungan kepada kreditor. Menurut Pasal 56 ayat (2) UUK dan PKPU, apabila penagihan kreditor pemegang hak jaminan adalah suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dan 127 UUK dan PKPU, maka kreditor pemegang hak jaminan diperkenankan untuk berbuat demikian hanya sesudah piutang tersebut dicocokkan yang dilakukan dengan maksud untuk mengambil pelunasan atas jumlah piutang yang telah diakui dalam pencocokan utang – piutang tersebut.
Ketentuan hukum yang menentukan terjadinya keadaan yang disebut dengan automatic stay, yaitu keadaan status quo bagi debitor dan para kreditor, biasanya diberikan setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, tetapi justru selama
(20)
berlangsungnya pemeriksaan pailit oleh pengadilan yaitu sejak permohonan pailit didaftarkan di pengadilan atau pada saat negosiasi antara kreditor dan debitor dalam likuidasi terhadap pailit.
Secara konkrit tentang apa yang diuraikan dapat dilihat pada kasus sebagai berikut :
PT. NV MASS telah ditunjuk PT. STAR MOTOR Untuk menjadi agen penyaluran dan penjualan Sedan Mercedes, PT. NV MASS mendapat pembiayaan kredit exploitasi dari BANK MANDIRI sebesar150.000.000.000,- (seratus lima puluh miliar rupiah), untuk pembelian stock mobil Baby Benz dari PT. STAR MOTOR. Sebagai jaminan pelunasan utang PT. NV MASS, maka seluruh kendaraan yang dibeli dari PT. STAR MOTOR diserahkann sebagai agunan utama.
Dalam hal kredit yang diberikan oleh BANK MANDIRI kepada PT. NV MASS adalah exploitasi pembelian kendaraan sehingga jaminan pokok yang dkiminta oleh BANK MANDIRI adalah seluruh stock kendaraan yang dibiayai berdasarkan ketentuan dalam pemberian kredit. Mengenai bentuk jaminannya yang digunakan adalah jaminan fidusia, karena fidusia merupakan jaminan yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada penerima fidusia dalam hal ini adalah BANK MANDIRI terhadap kreditor lainnya, jika tidak memenuhi janjinya maka penerima fidusia atau BANK MANDIRI mempunyai hak untuk menjual benda yang dijaminkan atas kekuasannya sendiri karena sertifikat fidusia ini mempunyai kekuatan seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(21)
sekalipun barang yang di serahkan sebagai jaminan tetap berada dalam penguasaan si pemberi fidusia dalam hal ini PT. NV MASS.
Dalam memperoleh sertifikat jaminan fidusia ditempuh dengan adanya tahap-tahapnya sebagai berikut:
1. Tahapan Pembebanan Fidusia
Pertama, Pembuatan perjanjian pokok tentang hutang atau kredit yang menimbulkan hak dan kewajiban antara BANK MANDIRI dengan PT. NV MASS dapat dibuat secara dibawah tangan atau Notaris. Kedua, Pembuatan akta pembebanan jaminan fidusia harus dengan Akta Notaris dan dalam Bahasa Indonesia.
2. Pendaftaran Fidusia
Pertama, BANK MANDIRI atau wakilnya mengajukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia dengan melampirkan pernyataan fidusia yang memuat antara lain:
- Identitas pemberi dan penerima fidusia
- Tanggal, nomor akta dan tempat notaris yang membuat - Data perjanjian
- Obyek jaminan fidusia - Nilai penjamin
- Nilai obyek jaminan fidusia.
Kedua, mencatatkan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal permohonan penerima.
(22)
Ketiga, menerbitkan dan menyerahkan sertifikat fidusia kepada penerima atau wakilnya pada tanggal yang sama dengan tanggal penerima permohonan pendaftaran.
c. Sertifikat Jaminan Fidusia adalah Salinan Buku Daftar Fidusia yang memuat mengenai identitas pemberi dan penerima fidusia, tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan Notaris pembuat akta, data perjnjian pokok, uraian objek jaminan, nilai penjamin, dan nilai yang menjadi objek.
Dimana dalam melakuan penjualan kendaraan, PT. NV MASS sebagai pemberi fidusia tidak harus melakukan dengan meminta izin kepada BANK MANDIRI. Karena dalam hal ini tidak perlu dilakukan atau meminta izin terhadap BANK MANDIRI, karena yang dibiayai dengan kredit exploitasi BANK MANDIRI adalah barang persediaan. Hal ini mengacu pada ketentuan Undang – undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Karena menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1) pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
Apabila kendaraan tersebut bukan digolongkan sebagai investory dan dijual oleh PT. NV MASS tanpa izin dari BANK MANDIRI maka akan dikenakan sanksi, sanksinya dapat dikenakan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) kepada PT. NV MASS selaku pembeli fidusia hal ini sesuai dengan Pasal 36 Undang – undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Karena menurut ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang – undang No.42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan
(23)
kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kecuali telah ada persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
Selain kasus diatas, untuk menbuat dasar pembahasan dalam penulisan diberikan contoh lain yang berkaitan dengan jaminan fidusia, yaitu sebagai berikut :
BANK MANDIRI cabang Jakarta telah memberikan fasilitas kredit kepada PT. Blueberry Hill yang bergerak di bidang kontrak sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) melalui Perjanjian Kredit tanggal 15 Januari 1999. PT. Blueberry Hill didirikan dengan akta Notaris No. 119 tanggal 15 oktober 1999 dibuat dihadapan Datuk Maharjo, SH, Notaris di Jakarta. Anggaran dasarnya belum diumumkan dalam TBNRI namun sudah disetujui oleh Mentri Kehakiman tertanggal 2 Januari 2000. PT. Blueberry Hill melakukan kontrak kerja dengan PT (persero) Hutama Karya Jaya dalam pembangunan fly over dengan nilai proyek sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) yang pembayarannya oleh PT (persero) Hutama Karya Jaya kepada PT. Blueberry Hill dilakukan secara bertahap. Tahap I sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dan Tahap II sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) PT. Blusky adalah holding company dari PT. Blueberry Hill yang juga sebagai deposan dari BANK MANDIRI, memberikan jaminan tanah berikut bangunan kantor diatasnya seluas 800 m2 (delapan ratus meter persegi) yang terletak di JL. Jend. Gatot Subroto, Jakart Selatan, yan terdaftar atas nama Ny.Amanah Ernest, Direktur Utama PT. Blusky.
(24)
Dengan adanya 2 (dua) contoh kasus di atas dapat diambil kesamaan, dimana jaminan fidusia banyak digunakan, karena proses pembebenannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat. Karena para pelaku bisnis ingin semua prosesnya dapat dilaksanakan dengan baik. Dan apabila para pelaku usaha bisnis ingin mengalami pailit, para pelaku usaha bisnis tidak perlu merasa khawatir karena adanya jaminan yang mereka punya. Sehingga para pelaku usaha bisnis dapat terus melakukan kegiatannya. Dengan adanya jaminan fidusia ini, diharapkan segala sesuatunya dapat dilaksanakan dan dilakukan dengan sebaik – baiknya agar apabila terjadi sengketa, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan efesien dan efektif.
B. Hak Jaminan Fidusia Dalam Undang-Undang Kepailitan
Penjelasan Pasal 56 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 mengemukakan bahwa harta kepailitan adalah yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator, terbatas pada barang persediaan dan atau barang bergerak meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak jaminan. Ketenyuan ini menciptakan keadaan yang tidak menentu bagi eksekusi Hak Jaminan Fidusia oleh kreditur.
Di dalam praktek perkreditan bank barang-barang persediaan dan barang bergerak milik debitur yang memperoleh kredit dari bank hampir selalu dibebani dengan hak jaminan fidusia. Hak jaminan fidusia memberikan secara hukum hak kepemilikan kepada kreditur atas barang-barang yang dibebani dengan hak jaminan fidusia itu, tetapi penguasaan atas barang-barang itu ada pada debitur.
(25)
Dengan demikian, bagi benda-benda yang dibebani hak jaminan fidusia, kurator tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penjualan atas benda-benda tersebut. Benda-benda yang dibebani hak jaminan fidusia tersebut secara hukum dalam pelunasan hutang adalah milik kreditur bukan debitur.Sedangkan ketentuan hak gadai menentukan bahwa hak gadai sah apabila barang bergerak yang dibebani gadai itu diserahkan kepada kekuasaan kreditur pemegang hak gadai dan kekuasaan kreditur akan membatalkan berlakunya hak gadai tersebut. Barang yang dibebani hak gadai oleh kreditur kepada curator akan membatalkan sahnya gadai tersebut.
Ketentuan pasal 56 ayat (1) dan pasal 59 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 juga bertentangan dengan pasal 21 ayat UU Hak Tanggungan dinyatakan pailit, maka pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UU Hak Tanggungan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas maka ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yaitu hak tanggungan,hak gadai, hak fidusia, dan sebagainya harus melakukan haknya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insovensi (harta kekayaan debitur berada dalam keadaan tidak mampu membayar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004, setelah lewat jangka waktu sebagaimana telah dimaksud dalam ayat (1) yaitu telah lewat (2) dua bulan curator harus menuntut diserahkannya barang yang menjadi
(26)
agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualanann agunan tersebut.
Disamping ketentuan pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 itu telah mengabaikan berlakunya hak separatis dari kreditur pemengang hak jaminan (fidusia) maupun yang lain, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 2004 itu tidak realistis. Didalam praktek sangat sulit bagi seorang kreditur untuk dapat melakukan eksekusi hak-hak jaminannya dalam jangka waktu hanya 2 (dua) bulan.
Banyak faktor di luar kendali kreditur pemengang hak jaminan (fidusia) yang membuat berlarut-larutnya eksekusi hak jaminan itu. Misalnya mungkinkah bagi bank untuk dapat menjual sebuah pabrik semen atau sebuah hotel berbintang 5 (lima) yang merupakan agunan dalam waktu 2 (dua) bulan saja. Masa persiapan, ditambah masa untuk mendapatkan pembeli sampai kepada menyelesaikan perjanjian jual-beli dan penerimaaan uang penjualan pabrik semen atau hotel tersebut dapat memakan waktu antara 1-2 tahunbahkan tidak mustahil bisa lebih lama dari 2 (dua) tahun.
Adalah menarik untuk menyimak ketentun Pasal 59 ayat 3 (tiga) UU No. 37 thun 2004.
Menurut pasal 59 ayat (3) UU No.37 tahun 2004 tersebut, setiap waktu kuartor dapat membebaskan barang yang menjadi agunan dengan membayar kepada kreditur yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar barang agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan barang agunan tersebut. Kata “dapat” dalam rumusan pasal 59 ayat (3) tahun 2004 tersebut berarti “wewenang” .
(27)
Sehubungan dengan ketentuan dengan pasal ini, pertanyaan ialah “ apakah kreditur hak jaminan yang bersangkutan wajib menyerahkan barang tersebut apabila curator menggunakan wewenangnya itu ?Bolehkah kreditur menolak ? Apa akibat hukumannya apablila kreditur menolak ? Ternyata di dalam Undang-Undang tidak terdapat jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berlakunya ketentuan pasal tersebut juga berarti bahwa dimungkinkan bagi kurator untuk tidak menjul barang yang dibebani dengan hak jaminan itu melalui lelang sebagaimana ditetukan oleh berbagai undag-undang yang mengatur mengenai hak jaminan (fidusia).
Pertanyaan lain yang muncul sehubungan dengan ketentuan pasal 59 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004 ialah (i) Siapa yang menentukan harga pasar barang agunan itu. (ii) Apakah harga pasar itu boleh ditetukan secara sepihak oleh kurator tanpa persetujuan kreditur atau tanpa persetujuan pemilik barang (agunan itu dapat milik debitur sendiri maupun milik pihak ketiga) ? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tidak diatur dalam undang-undang. Seharusnya penentuan harga pasar barang agunan itu ditentukan oleh perusahaan penilai yang independent. Namun biayanya tidak murah. Akan timbul masalah mengenai biaya perusahaan penilai itu apabila barangnya tidak besar dan atau nilai kreditnya tidak besar. Dengan kata lain untuk barang agunan nilainya tidak besar dan atau nilai kreditnya tidak besar sebaiknya kurator tidak melakukan pembebasan barang agunan itu sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004.
Di dalam praktek harga antara pasar dan harga jual sangat berbeda. Dalam dunia perbankan dikenal perbedaan antara harga pasar (market price) dan harga
(28)
lidukasi (liqudiation price). Dapat terjadi bahwa harga likuidasi jauh sekali di bawah harga pasar. Dengan kata lain, apabila berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (3) UU No.37 tahun 2004, kurator membebaskan barang agunan dengan membayar kepada kreditor dengan harga pasar, yaitu dalam hal pasar lebih rendah dari jumlah tagihan, tetapi ketika barang agunan itu dijual dan harga jadinya (harga liduikasinya) jauh lebih rendah dari harga pasar yang menjadi nilai tebusan barang agunan itu oleh kurator.
C. Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Fidusia Terhadap Eksekusi Yang Diumumkan Oleh Kreditor Lain Atas Debitor Yang Dinyatakan Pailit
Tiap kreditor mempunyai keistimewaan masing – masing ada beberapa macam kreditor, diantaranya sebagai berikut :
1. Kreditor Separatis
Kreditor separatis ialah kreditor ialah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak – hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan dari debitor. Kreditor ini dapat menjual sendiri barang – barang yang menjadi jaminan, seolah – olah tidak terjadi kepailitan.28
28
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 105.
(29)
Dikatakan separatis yang berkonotasi “pemisahan”, dikarenakan kedudukan kreditor tersebut memaang dipisahkan darikreditor lainnya, dalam arti dia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan, yang terpisah dengan harta pailit.
Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai budel pailit. Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut untuk tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor bersaing.
Hak jaminan kebendaan yang memberikan hak menjual sendiri secara lelang dan untuk memperoleh pelunasan secara mendahului terdiri dari :
a. Gadai yang di atur dalam Bab XX Buku III KUHPerdata, untuk kebendaan bergerak dengan cara melepaskan kebendaan yang dijaminkan tersebut dari penguasa pihak yang memberikan jaminan kebendaan berupa gadai tersebut.
b. Hipotik yang diatur dalam Bab XXI Buku III KUHPerdata, yang menurut Pasal 314 KUHDagang berlaku untuk kapal laut yang memiliki ukuran sekurang – kurangnya dua puluh meter kubik dan didaftar di syahbandar Direktorat Jendral Perhubungan Laut Departemen Perhubungan sehingga memiliki kebangsaan sebagai kapal Indonesia dan diperlakukan sebagai benda tidak bergerak. Sementara itu yang tidak terdaftar dianggap sebagai benda
(30)
bergerak sehingga padanya berlaku ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata.
c. Hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang – undang No. 4 Tahun 1996 yang mengatur mengenai penjaminan hak – hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang dianggap melekat dan diperuntukkan untuk dipergunakan secara bersama – sama dengan bidang tanah yang diatasnya terdapat hak – hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan.
d. Jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No.42 Tahun 1999. Undang-Undang ini tidak memberikan rumusan positif mengenai kebendaan yang dapat dijaminkan secara fidusia. UUjF, menetapkan bahwa jaminan fidusia tidak berlaku terhadap :
d.1. hak tangungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang – undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda – benda tersebut wajib daftar. Tetapi, bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak dibebani hak tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
d.2. hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih.
d.3. hipotek atas pesawat terbang. d.4. gadai
(31)
Dengan demikian jaminan fidusia meliputi seluruh kebendaan yang tidak dapat dijaminkan dengan tiga jenis jaminan kebendaan diatas.
2. Kreditor Preferent/Istimewa
Dikatakan istimewa disebabkan kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor preferent ini berada dibawah pemegang hak kebendaan. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak untuk didahulukan di antara orang – orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik. Hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang – undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang piutang lainnya, semata – mata berdasarkan sifat piutangnya.
Selanjutnya KUHPerdata mengatur mengenai kreditor preferent, dimana menurut KUHPerdata kreditor preferent ialah kreditor pemegang hak istimewa yang disebut dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Pada Pasal 1139 KUHPerdata mengatakan : piutang – piutang yang diistimewakan terhadap benda – benda tertentu, ialah :
a. Biaya perkara yang semata – mata disebabkan kerena suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut, terlebih dahulu daripada semua piutang – piutang lainnya
(32)
yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotik.
b. Uang – uang sewa benda – benda tak bergerak, biaya – biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segela apa yang mengenai kewajiban memenuhi perjanjian sewa.
c. Harta pembelian benda – benda bergerak yang belum dibayar. d. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang. e. Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu barang, yang
masih harus dibayar kepada seorang tukang.
f. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumaah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu.
g. Upah – upah pengangkutan dan biaya – biaya tambahan.
h. Apa yang harus dibayar kepada tukang – tukang batu, tukang – tukang kayu dan lain – lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan – perbaikan benda – benda tak bergerak, asal saja piutangnya tidak boleh tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang.
i. Penggantian – penggantian serta pembayaran – pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai – pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan – kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.
(33)
Selanjutnya Pasal 1149 KUHPerdata mengatakan : piutang – piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya ialah yang disebutkan dibawah ini, piutang – piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda – benda itu menurut urutan sebagai berikut :
a. Biaya – biaya perkara, yang semata – mata disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan, biaya – biaya ini didahulukan dari pada gadai dan hipotek.
b. Biaya – biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika benda – benda itu terlampautinggi.
c. Segala biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yangpenghabisan.
d. Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q, jumlah uang – uang pengeluaran yang dilakukan oleh buruh guna kepentingan majikan.
e. Piutang karena penyerahan bahan – bahan makanan, yang dilakukan kepada debitor dan keluarganya selama waktu enam bulan terakhir.
f. Piutang – piutng penguasa sekolah berasrama untuk tahun penghabisan.
g. Piutang anak – anak yang belum dewasa dan orang – orang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka, mengenai pengurusan mereka sekedar piutang – piutang itu tidak dapat diambilkan pelunasan dari hipotek atau lain jaminan yang harus diadakan menurut Bab XV Buku satu KUHPerdata ini begitu pula tunjangan – tunjangan menurut Buku I oleh orang tua harus
(34)
dibayar untuk pemeliharaan dan pendidikan anak – anak mereka yang sah yang belum dewasa.
3. Kreditor Konkuren
Kreditor yang dikenal juga dengan kreditor bersaing. Kreditor konkuren ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor, pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing – masing kreditor konkuren tersebut.29
Pasal – pasal dalam KUHPerdata sebagaimana yang dijelaskan diatas mengatur mengenai urutan prioritas masa kreditor, apabila tidak ditentukan bahwa suatu piutang merupakan hak istimewa yang berkedudukan lebih tinggi dari pada Terlihat jelas bahwa kedudukan kreditor pemegang hak jaminan fidusia apabaila debitor dinyatakan pailit adalah kreditor separatis. Dimana kreditor separatis adalah pemegang hak jaminan kebendaan, dimana hak jaminan kebendaan yang dimilki oleh kreditor pemegang hak jaminan tersebut untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kebendaannya dan untuk selanjutnya memperoleh pelunasan secara mendahulu dari kreditor – kreditor lainnya dari hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan kepadanya tersebut.
29
(35)
piutang yang dijamin dengan suatu hak jaminan, maka urutn kreditornya adalah sebagai berikut :
a. Kesatu, kreditor yang memilki piutang yang dijamin dengan hak jaminan. b. Kedua, kreditornyang memilki hak istimewa.
c. Ketiga, kreditor konkuren.
Tetapi apabila suatu hak istimewa ditentukan harus dilunasi terlebih dahulu dari pada kreditor lainnya termasuk para kreditor pemegang hak jaminan, maka urutan para kreditornya sebagai berikut :
a. Kesatu, kreditor memilki hak istimewa.
b. Kedua, kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan. c. Ketiga, kreditor konkuren.
Walaupun kreditor separatis dapat mengeksekusi dan mengambil sendiri hasil penjualan hak jaminan, kreditor tersebut tetap tunduk pada hukum tentang penangguhan eksekusi untuk masa tertentu, yakni selama maksimum 90 hari untuk kepailitan,dan maksimum 270 hari untuk penundaan kewajiban pembayaran hutang. Maka, dalam hubungan dengan aset – aset yang dijaminkan tersebut, kedudukan kreditor separatis sangat lebih tinggi dari kreditor yang diistimewakan lainnya. Dengan perkataan lain bahwa kedudukan kreditor separatis adalah yang tertinggi dibandingkan kreditor lainnya.
Pada prinsipnya, kepailitan tidak berlaku bagi kreditor separatis, walaupun terhadapnya dikenakan kewajiban eksekusi jaminan utang. Pihak kreditor separatis tidak berhak untuk ikut dan untuk diberlakukan suatu perdamaian, akan tetapi dalam
(36)
kepailitan kreditor separatis harus mengajukan tagihannya untuk diverifikasi tanpa harus melepaskan kedudukannya selaku kreditor preferent, dan apabila terdapat bantahan kreditor separatis maka dia tidak mempunyai suara dalam perdamaian kecuali dia melepaskan bagiannya sebagai kreditor separatis sehingga menjadi kreditor konkuren.
Salah satu ciri jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala hak agunan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum. Misalnya, ketentuan eksekusi di Amerika Serikat yang membolehkan pihak kreditor mengambil sendiri barang objek jaminan fidusia asalkan dapat dijual didepan umum, atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik.
Fidusia sebagai salah satu jenis jaminan utang juga harus memiliki unsur – unsur yang cepat, murah, dan pasti. Dalam prakteknya Undang – undang jaminan fidusia juga memberi kemudahan dalam melaksanatkan eksekusi melalui lembaga parate aksekusi. Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata monoli jaminan fidusia, karena dalam hal gadai juga dikenal lembaga serupa.30
Berlakunya Undang – undang Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 (UURS) menciptakan prosedur yang lebih mudah yaitu lewat eksekusi dibawah tangan, tetapi disamping syaratnya yang berat eksekusi dibawah tangan versi UURS tentunya hanya berlaku atas fidusia yang berhubungan dengan rumah susun saja. Karena itu dalam
30
(37)
praktek eksekusi fidusia dibawah tangan sangat jarang digunakan. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh Undang – undang tentang fidusia ini adalah dengan mengambil pola aksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang – undang Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996, yaitu dengan mengatur aksekusi fidusia secara bervariasi sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi yang diinginkan.
Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitor atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia walaupun mereka telah diberikan somasi.31
1. Pelaksanaan title oleh penerima fidusia Ada 4 cara eksekusi jaminan fidusia, yaitu:
Yang dimaksud dengan title eksekutorial, ialah tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan, yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita tanpa perantara hakim.32
a. Akta Hipotek (berdasarkan Pasal 224 HIR)
Ada beberapa akta (tulisan) yang mempunyai titel ekskutorial, yakni yang disebut dengan grosse akta, yaitu :
b. Akta Pengakuan Hutang (berdasarkan Pasal 1224 HIR)
31
Salim HS, Op.Cit., hal. 90. 32
(38)
c. Akta Hak Tanggungan (berdasarkan Undang – Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996)
d. Akta Fidusia (berdasarkan Undang – Undang Fidusia No. 42 Tahun 1999)
Menurut kitab Undang – undang Hukum Acara Perdata HIR setiap akta yang mempunyai titel ekskutorial dapat diajukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa grose akta hipotek dan surat hutang yang dibuat dihadapan Notaris di indonesia yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu keputusan hakim, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan.
Pasal 15 dari UUJF No. 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia memuat dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dari Pasal-pasal tersebut diatas terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukan adalah bahwa dalam akta tersebut terdapat kata yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, kata-kata inilah yang memberikan titel eksekutorial yaitu yang mensejajarkan akekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan.
Yang dimaksug dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum pasti, yakni
(39)
dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan, yaitu memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi.
2. Eksekusi fidusia secara parate eksekusi lewat pelelangan umum
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
Eksekusi fidusia dapat dilakukan dengan jalan melalui lembaga parate eksekusi yaitu melalui lembaga pelelangan umum (kantor lelang), dimana hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya. Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, menyatakan bahwa apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang atau si pemberi jaminan cidera janji setelah tenggang waktu yang diberikan lampau, atau jika telah ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang jaminannya dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.
Eksekusi lewat pelelangan umum ini dapat melibatkan pengadilan sama sekali, seperti yang tercantum pada Pasal 29 ayat (1) hurup b UUJF yang menyatakan bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Pada prinsipnya bahwa penjualan
(40)
benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.
Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan fidusia, yaitu :
a. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.
b. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor atau pemberi fidusia tetap bertanggugjawab atas hutang yang belum dibayar.33
3. Eksekusi fidusia secara parate eksekusi melalui penjualan dibawah tangan Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi (mengeksekusi tanpa lewat pengadilan) dengan cara menjual benda objek fidusia tersebut secara dibawah tangan, apabila penjualan melelui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik dari si pemberi fidusia maupun si penerima fidusia.
Penjualan dibawah tangan dilakukan, dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima fidusia. b. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
33
(41)
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis.
Menjadi pertanyaan bagaiman bila fidusia dibuat dibawah tangan dan tidak didaftarkan. Apakah kreditor masih mendapat perlindungan hukum ? ada dua pokok kajian, yaitu : Pertama, perlindungan kreditor terhadap debitornya. Dalam hal ini apakah perjanjian yang dibuat dibawah tangan oleh kreditor dengan debitor mengikat bagi para pihak, dan Kedua, perlindungan kreditor dari kreditor lainnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena dalam fidusia berdasarkan Pasal 8 UUJF yang mengatakan “jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari 1(satu) penerima fidusia”, atau berdasarkan ketentuan Pasal 28 UUJF dan Pasal 1 sub 2 dikatakan bahwa “kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain.
Perlindungan kreditor dari fidusia yang dibuat berdasarkan akta dibawah tangan dapat dipergunakan ketentuan Pasal 1138 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi yang membuatnya. Perjanjian yang dibuat dibawah tangan ini dapat dijadikan bukti bahwa antara para pihak telah terjadi ikatan.
Perlindungan kreditor terhadap benda milik debitor dijadikan jaminan dapat dipergunakan dasar hukum dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatakan
(42)
“segala benda-benda bergerak dan tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitor itu”. Jadi, perlindungan kreditor atas benda jaminan ini sebagai jaminan umum.
Terhadap benda-benda ini maka akta dibawah tangan sudah cukup sebagai dasar peralihan hak milik atas benda bergerak tidak berwujud tersebut. Jadi, perlindungan kreditor itu dapat diperkuat dengan ketentuan Pasal 1613 KUHPerdata, dimana akta dibawah tangan sudah dianggap cukup untuk melakukan penyerahan. Apabila terjadi bahwa benda yang difidusiakan yang berada ditangan pemberi fidusia dijual pada pihak ketiga maka kreditor dapat dilakukan aksi hukum yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata “kreditor boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitor”.
Perlindungan kreditor dari kreditor-kreditor lainnya yang memilki hak yang dilakukan atau hak istimewa, dapat dilakukan dengan cara akta fidusia yang dibuat secara dibawah tangan tersebut didaftarkan. Fungsi pendaftaran disini adalah untuk menentukan saat lahirnya fidusia dalam rangka menentukan tingkatan kedudukan kreditor yang didahulukan oleh kedudukan kreditor yang didahulukan dari kreditor lainnya. Ketentuan pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa “segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak, maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan, jadi hak-hak seorang kreditor menurut Pasal tersebut dijamin dengan :
(43)
1. Semua barang-barang yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat hutang dibuat.
2. Semua barang yang ada, artinya barang-barang yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan kreditor, tetapi kemudian menjadi miliknya. Dengan perkataan lain hak kreditor meliputi barang-barang yang akan menjadi miliknya ada dikemudian hari benar dikemudian hari benar-benar jadi miliknya.
3. Baik barang bergerak maupun tidak bergerak terhadap penjualan seluruh harta kekayaan debitor tersebut, dan kemudian hasil penjualan tersebut dibagikan secara profesional kepada para kreditor hanya terjadi dalam hal ada kepailitan debitor atau dalam hal debitor dinyatakan pailit.
Telah disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi jaminan hutang bisa kreditor separatis dan bisa juga pihak kurator. Hal ini bergantung pada hubungan aset dengan kreditor (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu kapan eksekusi dilaksanakan.
Cara penjualan aset atau barang-barang, pada prinsipnya dilakukan dengan mengajukan lelang dikantor lelang. Tata cara pelelangan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk lelang tersebut.
Akan tetapi, penjualan harta pailit dapat juga dilakukan secara dibawah tangan, asal saja untuk pembuatan tersebut telah mendapat izin dari hakim pengawas. Hal ini tentunya dilakukan oleh kurator apabila kurator yakin bahwa penjualan dengan cara dibawah tangan atau penjualan langsung (tanpa campur tangan oleh
(44)
kantor lelang) akan menghasilkan yang lebih baik, antara lain karena dapat menghemat biaya.34
34
(45)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan dari bab-bab di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan kreditor pemegang fidusia apabila debitor dinyatakan pailit maka kreditor pemegang fidusia mempunyai hak yang didahulukan dan di istimewakan dari kreditor lain. Kedudukan kreditor pemegang jaminan fidusia ini dapat dibenarkan, karena pemegang jaminan fidusia tidak ditemukan dua kreditor terhadap objek fidusia ini sesungguhnya kreditor pemilik benda dengan fidusia ini sesungguhnya kreditor pemilik benda dengan demikian tidak termasuk harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit. Berdasarkan kedudukan jaminan ini kreditor pemegang jaminan fidusia mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan dilindungi haknya.
2. Hak jaminan fidusia dalam Undang-Undang Kepailitan, Pasal 56 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 kepailitan adalah yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator, terbatas pada barang persediaan dan atau barang bergerak meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak jaminan. Ketentuan ini menciptakan keadaan yang tidak menentu bagi eksekusi Hak Jaminan Fidusia oleh kreditur. Di dalam praktek perkreditan bank barang-barang persediaan dan barang bergerak milik debitur yang memperoleh kredit dari bank hampir selalu dibebani dengan hak
(46)
jaminan fidusia. Hak jaminan fidusia memberikan secara hukum hak kepemilikan kepada kreditur atas barang-barang yang dibebani dengan hak jaminan fidusia. 3. Perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia terhadap eksekusi
sangat dilindungi secara utuh dan kuat. Karena, benda milik debitor yang dipegang oleh kreditor yang dinyatakan pailit secara yuridis adalah milik kreditor, bukan debitor yang pailit. Oleh karena itu, benda jaminan fidusia yang dipegang oleh debitor bukan menjadi objek dari benda yang dinyatakan pailit milik kreditor. Kekuatan milik kreditor atas benda yang difidusiakan adalah hak kebendaan dalam bentuk hak milik yang kuat dan terlindungi.
B. Saran
1. Bagi para pelaku bisnis atau kreditor hendaknya dapat memanfaatkan sedemikian rupa dengan itikad baik dalam mengeksekusi dan menahan harta milik debitor sepanjang sesuai dengan besarnya utang yang dimiliki debitor kepada kreditor. 2. Kepada kreditor pemegang hak jaminan fidusia hendaknya mengoptimalkan
waktu yang diberikan untuk mengeksekusi benda jaminannya selama 2(dua) bulan tersebut dalam mengeksekusi benda jaminannya.
3. Untuk memperoleh perlindungan hukum bagi kreditor yang kuat, harus didaftarkan agar ada kekuatan eksekutorialnya dan menghindarkan fidusia yang dilakukan dengan akta di bawah tangan tidak memiliki hak kebendaan melainkan memiliki hak perorangan. Dengan bervariasinya eksekusi hak jaminan yang
(47)
diberikan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia, para kreditor hendaknya memilih model eksekusi yang lebih menjamin terlindunginya hak-hak debitor.
(48)
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia adalah suatu lembaga jaminan yang bersifat perorangan, yang kini banyak dipraktikkan dalam lalu – lintas hukum perkreditan atau pinjam – meminjam. Lembaga ini hanya kalah dalam besarnya kredit yang disalurkan, akan tetapi lebih banyak yang menempuh perjanjian kredit ini.8
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia (UUJF) juga mengunakan istilah Fidusia.9
a. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dalam Pasal 1 UUJF memberikan pengertian fidusia dan jaminan fidusia sebagai berikut :
b. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang
8
John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 4.
9
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 50.
(49)
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUJF diatas mengenai pengertian jaminan fidusia, UUJF secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan kepada penerima fidusia yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya, dimana hak ini tidak hapus karena adanya kapailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia untuk menggambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian kredit bank. Hal ini melihat bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF, di dalam pemberian perjanjian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahukui yaitu perjanjian utang – piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri, perjanjian ini harus mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan juga akan berakhir.
Sebagai salah satu perjanjian assessoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
(50)
Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.
2. Keabsahan semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak terpenuhi.10
Selain memiliki sifat diatas, jaminan fidusia juga memiliki beberapa unsur-unsur yaitu :
a. Adanya hak jaminan
b. Adanya objek, yaitu benda bergerak / tidak bergerak
c. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor.11
Sebagai salah satu hak kebendaan, jaminan fidusia menganut prinsip droit de preference, yaitu hak didahulukan terhadap kreditor lain untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan, dan hak tersebut tidak dapat di hapus karena kepailitan dan likuidasi si pemberi fidusia. Dengan adanya prinsip mendahului ini, kreditor pemegang hak jaminan fidusia dapat langsung mengeksekusi hak- haknya atas benda jaminannya untuk memenuhi utang dari debitur, hal ini juga
10
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal. 131.
11
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 57.
(51)
terdapat dalam kepailitan yang menyatakan bahwa kreditor pemegang hak jaminan dapat dieksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Pernyataan di atas didukung oleh Teori Hukum jaminan (lines theory), dimana menurut teori ini jika pemilik fidusia pailit, maka benda jaminan fidusia tidak termasuk atau benda diluar boedel pailit, dan curator kepailitan tidak berhak menuntut benda fidusia. Dengan teori hukum jaminan ini kreditor pemegang hak jaminan mempunyai kedudukan yang diutamakan dari kreditor lainnya, oleh karena benda yang dijaminkan oleh debitor kepada kreditor pemegang hak jaminan fidusia dapat langsung mengeksekusi haknya atas benda yang dijadikan jaminan tersebut untuk melunasi utang dari debitur, karena benda jaminan tersebut berada diluar boedel pailit debitur.
Dalam pasal 55 PKPU menyatakan bahwa apabila debitor mengalami kepailitan maka kreditor pemegang hak jaminan fidusia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan pada Pasal 56 UUK dan PKPU, hak kreditor di atas ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Penangguhan tersebut dilakukan dengan tujuan antara lain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan harta pailit, atau untuk memungkinkan curator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Selama masa penangguhan baik kreditor maupun pihak ketiga dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang digunakan menjadi agunan, karena tujuan umum kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para
(52)
kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator sehingga sitaan terpisah, atau eksekusi terpisah oleh kreditor dapat dihindari dan digantikan dengan sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing – masing.
B. Sejarah Jaminan Fidusia dan Perkembangannya
Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi, yang pada mulanya tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan sejarah, lembaga jaminan fidusia selanjutnya diatur dalam yurisprudensi dan sekarang telah mendapat pengakuan dalam undang-undang.
Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law.12
Jus civile diartikan sebagai hukum sipil yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat untuk kalangan warga sendiri (jus civile est quodsibi populus constituit), sedangkan jus gentium artinya hukum bangsa-bangsa. Sistem civil law di kenal juga sebagai hukum Eropa Kontinental yang berakar dari tradisi hukum indo-jerman dan romawi. Dalam proses perkembangannya sistem civil law tidak saja di jumpai dibenua Eropa Istilah civil law berasal dari kata latin “jus civile” yang diperlakukan kepada masyarakat romawi. Dan terdapat pula hukum yang mengatur warga romawi dengan orang asing yang di kenal sebagai “jus gentium”.
12
(53)
melainkan berlaku secara luas diberbagai negara diluar Eropa, antara lain di indonesia.
Dalam hukum Romawi khusussnya dibidang hukum perjanjian pada tingkat awal perkembangannya tidak terdapat bentuk yuridis yang memadai untuk memberikan jaminan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, karena hak gadai dan hipotik sebagai jaminan belum berkembang. Sementara itu kebutuhan masyarakat Romawi akan bentuk lembaga jaminan pada saat itu sangat dirasakan dalam hubungannya dengan peminjaman uang, sehingga praktek menggunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pemberian jaminan kebendaan oleh debitur kepada krediturnya dengan pengalihan hak miik secara kepercayaan.13
Mengenai istilah fidusia ini, Mahadi menjelaskan bahwa kata fidusia berasal dari bahasa Latin. Kata tersebut merupakan kata benda artinya kepercayaan terhadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Selain itu terdapat kata “fido” merupakan kata kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu. Subekti mengatakan bahwa dalam fidusia terkandung kata “fides” artinya kepercayaan pihak berhutang percaya bahwa pihak berpiutang memiliki barangnya itu hanya untuk jaminan.14
13
Tan Kamello, Ibid. 14
R. Subekti, Op.Cit., 1982, hal. 82.
Dalam bukunya yang lain Subekti menjelaskan arti kata “fiduciar” adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimpal baik oleh satu pihak kepada yang lain,
(54)
bahwa apa yang dikeluarkan ditampakkan sebagai pemindahan milik. Sebenarnya (kedalam intern hanya suatu jaminan saja untuk suatu hutang).15
Jadi fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi yang memiliki dua pengertian yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda istilah fidusia memiliki arti seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepetingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati, dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban untuk melakukan perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat, istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).16
Lembaga jaminan di indonesia lahir ketika adanya kasus bierbrouwerij aresst di Belanda, dan setelah itu muncul pula persoalan hukum di indonesia dalam perkara Dalam kehidupan sehari-hari, sebelum berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999, selama ini kita mengenal lembaga jaminan fidusia dalam bentuk “Fiduciaire Eigendomsoverdracht” atau disingkat FEO yang berarti pengalihan hak milik secara kepercayaan. Pranata jaminan FEO ini timbul berkenaan dengan ketentuan dalam pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Kitab Undang-undang Perdata) yang mengatur tentang gadai. Sesuai dengan pasal ini kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya.
15
R. Subekti, Op.Cit., hal. 76. 16
(55)
Bataafsche Petroleum Maatschappij v. Pedro Clignett yang diputus pada tanggal 18 agustus 1932 oleh Hooggerechtschof (Hgh). Putusan tersebut merupakan tonggak awal lahirnya fidusia di indonesia dan sekaligus menjadi yurisprudensi pertama sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam jaminan gadai. Sejak keputusan tersebut kehidupan lembaga jaminan fidusia semakin diminati oleh pelaku usaha khususnya yang membutuhkan kredit bank dengan jaminan barang bergerak yang masih dapat dipergunakan untuk melanjutkan usahanya tanpa harus melepaskan kekuasaan atas barang jaminan itu secara fisik. Hal ini berarti merupakan sikap responsiv dari kalangan perbankan terhadap kebutuhan masyarakat.
Setelah eksistensi fidusia diakui di indonesia, muncul kembali putusan Hgh tahun 1993 tentang fidusia dengan objek tanah hak grant. Putusan ini membawa perubahan terhadap objek fidusia. Sementara itu pemakaian lembaga fidusia dikalangan pelaku usaha terus berlangsung. Setelah kemerdekaan, jaminan fidusia kembalai mendapat pengakuan yurisprudensi dalam putusan pengadilan tinggi surabaya tahun 1951 dengan menetapkan pembatalan perjanjian fidusia atas benda-benda tidak bergerak milik pihak ketiga.
Perkembangan fidusia semakin luas ketika pada tahun 1960 dengan terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas UUPA tidak mengaturnya walaupun memilki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan
(56)
hutang.17
Perhatian serius terhadap perkembangan lembaga fidusia telah mendapat tempat tersendiri dari kalangan ahli hukum yang terealisi dalam wujud Seminar Nasional. Pendapat dan unsur dikemukakan untuk mengatur persoalan dan fidusia yakni apakah dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup diatur dalam yurispundensi atau dilakukan dalam undang-undang. Sebelum perjuangan akademik berhasil, terjadi problem hukum yang menyangkut fidusia yaitu apakah tanah beserta bangunannya yang belum jelas status haknya dapat dijadikan objek Lagi pula pemakaian hak pakai sebagai jaminan hutang dengan ikatan hipotik telah ditegaskan dalam surat Mentri Dalam Negri.
Sifat fidusia ini sebagai jaminan selain digemari oleh dunia perbankan dan para penggunanya juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan UUPA tersebut. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan bahwa pertumbuhan fidusia di indonesia mengalami perkembangan yang lain. Perkembangan menjurus ke arah yang begitu semarak pertumbuhannya, subur dan meluas kearah jaminan dengan benda tidak bergerak. Namun, apa yang diestiminasikan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dengan fidusia dapat diterapkan pada benda tidak bergerak, kurang mendapat sambutan dari Mahkamah Agung terbukti dari keputusannya No.372/SIP/1970 tahun 1971 dengan menetapkan bahwa fidusia atas benda-benda tidak bergerak adalah batal. Putusan tersebut mendapat tanggapan dan reaksi keras dari para ahli hukum.
17
Soedarsono, Tanggapan Terhadap AP. Parlindungan, Fidusia sebagai Hak Jaminan, Sinar Harapan, 1986, hal. 113.
(57)
fidusia. Persoalan ini diselesaikan lewat putusan MA No. 3216/K/Pdt/1984 tanggal 28 juli 1986 yang menetapkan pengakuan fidusia atas tanah belum bersertifikat.
Pada tahun 1986 usaha untuk mengukuhkan jaminan fidusia dalama bentuk berhasil yakni dengan dikeluarkannya UU No.16 tahun 1985 tentang undang-undang rumah susun. Menurut Soedarsono, dengan pengukuhan fidusia dalam UURS harapan masyarakat telah terpenuhi dan pengertian fidusia telah dibakukan. Pengertian fidusia yang tercantum pada UURS membawa perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia. Pengakuan fidusia tersebut juga diikuti dalam UU No.4 tahun 1992 tentang pemukiman dan perumahan, yang menitikberatkan jaminan fidusia adalah rumah berlepas dari hak atas tanah.18
Tujuan dibentuknya UU jaminan fidusia ini adalah memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat dalam rangka menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pengaturan ini dimaksud agar
Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua undang-undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Akhirnya pada tahun 1999, persoalan jaminan fidusia dapat dituntaskan dengan menggundangkan UU No.42 Tahun 1999 yang selanjutnya disebut dengan UU jaminan fidusia.
18
Pasal 15 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman, Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan, hutang dan pembebanan fidusia atas rumah tersebut dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris.
(58)
para pemakai jaminan fidusia mendapat kejelasan sehingga tidak mendapat hambatan dalam pelaksanaannya. Jika dianalisa Undang-Undang Jaminan Fidusia ini tampaklah pada pelaksanaan eksekusi dimana salah satu hak yang diberikan undang-undang kepada kreditur jaminan fidusia adalah untuk menguasai jaminan fidusia. Masalahnya disini adalah bagaimana apabila petugas bank tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia. Undang-Undang tidak ada memberikan sanksi hanya ditentukan bahwa kreditur penerima jaminan fidusia dapat meminta bantuan dari pihak yang berwenang.
Disini tidak ada kepastian hukum dengan siapa yang dimaksud dalam pihak yang berwenang. Apakah cukup petugas bank beserta satpam, pihak kepolosian atau hakim. Namun yang pasti tidak menggunakan jasa penagih hutang (debt collector) sebagaimana yang terjadi pada sekarang ini. Demikian juga sangat mengganggu kepastian hukum dalam praktek adalah apabila benda yang menjadi jaminan fidusia sudah berada pada pihak ketiga ketika hendak dieksekusi secara langsung.
Dalam praktek memang sulit untuk menciptakan suatu kepastian hukum dalam hal jaminan fidusia. Kemungkinan resiko yang diambil oleh kreditur pertama jaminan fidusia apabila benda objek jaminan diambil secara paksaan adalah melakukan tindak pidana main hakim sendiri, atau melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dapat digugat oleh pemberi jaminan fidusia, dan resiko yang dialami kreditur itu adalah merupakan upaya bagi debitur pemberi jaminan fidusia untuk mengulur-ulur waktu saja dan solusinya apabila kreditur tersebut ingkar janji maka dengan itikad baik menyerahkan barang yang menjadi objek jaminan fidusia.
(1)
ABSTRAK Kemala Atika Hayati* Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS**
M. Siddik, S.H. M.Hum.***
Dalam kegiatan bisnis, selalu membutuhkan modal dan modal dapat diperoleh secara internal dan eksternal milik orang lain. Untuk modal yang berasal dari orang lain, dibutuhkan pemakaian orang lain itu membutuhkan pinjaman yang memerlukan jaminan. Dari hal ini muncul masalah – masalah hukum yaitu : bagaimana kedudukan kreditor pemegang jaminan fidusia karena debitornya dinyatakan pailit, Hak jaminan fidusia dalam Undang-Undang Kepailitan, perlindungan hukum kreditor pemegang fidusia terhadap eksekusi yang diumumkan oleh kreditor lain atas debitor yang dinyatakan pailit.
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan bangunan atau rumah di atas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun yang tidak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang. Debitur pemberi fidusia mengalami kepailitan, maka kreditur berhak untuk memilki benda jaminan fidusia tersebut. Untuk pelunasan utang debitur dan dalam hal ini kreditur disebut memiliki hak separatis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank sebagai kreditur penenrima fidusia karena debiturnya dinyatakan pailit maka kedudukan bank yang bersangkutan tersebut menjadi kreditur separatis. Diitentukan bahwa hak separatis kreditur hak jaminan kebendaan ditangguhkan jangka waktunya selama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan. Hak separatis dari bank seharusnya dicantumkan pada akta jaminan fidusia sebagai hak kreditur penerima jaminan fidusia.
Kedudukan kreditor pemegang fidusia mempunyai hak yang didahulukan dan di istimewakan, perlindungan hukum terhadap pemegang fidsia terhadap eksekusi sangat dilindungi secara utuh dan kuat. Sarannya : para pelaku bisnis atau kreditor hendaknya dapatmemanfaatkan sedemikian rupa dengan itikad baik dalam mengeksekusi dan menahan harta milik debitor.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum USU. **
(2)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, penulis panjatkan sebagai rasa syukur atas segala limpahan dan curahan rahmat-Nya yang tak henti-hentinya dan tak terhingga yang selalu diberikan kepada seluruh umat manusia, yang mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berfikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.
Shalawat beriring salam penulis persembahkan ke haribaan Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa nikmat Iman dan Islam kepada kita semua.
Skripsi Penulis ini berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KREDITOR PEMEGANG JAMINAN FIDUSIA KARENA DEBITORNYA DINYATAKAN PAILIT”. Penulisan Skripsi ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.
Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, Penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH. M.S sebagai Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing I dan juga sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan bantuan,
(3)
bimbingan, nasehat, pengarahan, dan dukungan moril kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak M. Siddik, SH. M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya kepada Penulis untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan yang berguna kepada Penulis sehingga skripsi ini selesai.
4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Kepada Ayahanda H. M. Yunus Rasyid SH.,M.Hum dan Ibunda Hj. Aminah S.Pd, terima kasih atas doa dan dukungannya serta kasih sayang yang diberikan Ayahanda dan Ibunda, baik moril maupun materil. Skripsi ini Penulis persembahkan buat Ayahanda dan Ibunda.
7. Kepada yang penulis sayangi adikku Afina Zahrina, Yunia Hazraina, Muhammad Naufal Mahbub, dan keluarga terima kasih dukungannya.
8. Kepada yang penulis sayangi Pak Cik Anaitullah, SH, M.Hum dan Mak Cik Sri Rahayu, SH terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.
9. Kepada yang sangat penulis sayangi M. Reza Fahlevi, yang telah memberi perhatian, semangat dan doa terus menerus sehingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Kepada sahabat-sahabatku yang sangat penulis sayangi ; Fadhilah Astrid, Nindya Sari, Diannovi, Nurul Atikah. Terima kasih untuk dukungan kalian. Kenangan-kenangan itu tidak akan pernah terlupakan dan persahabatan ini selamanya.
(4)
11. Kepada sahabat-sahabat terdahulu yang kini telah terpisah oleh jarak; Disa, Nana, Dian, Dede, Faiz, Reza, Zulfi, Yalza. Persahabatan ini akan selamanya, dan persahabatan yang telah lama kita jalin ini tidak akan pernah terhapus oleh waktu.
12. Kepada sahabat-sahabat yang sangat penulis cintai ; Fella, Dita, Dea, Dini, Bulan, Maya. 13. Kepada Rekan-rekan Mahasiswa Program Reguler Mandiri yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
Akhir kata kiranya diharapkan oleh Penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Dan semoga dengan skripsi ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.
Medan, Oktober 2010 Penulis
Kemala Atika Hayati
(5)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
...
i
KATA PENGANTAR
...
ii
DAFTAR ISI
...
v
BAB I
: PENDAHULUAN
...
1
A.
Latar Belakang ...
1
B.
Perumusan Masalah ...
4
C.
Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ...
4
D.
Keaslian Penulisan ...
5
E.
Tinjauan Kepustakaan ...
6
F.
Metode Penulisan ...
11
G.
Sistematika Penulisan...
13
BAB II
: TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA
...
15
A.
Pengertian Jaminan Fidusia ...
15
B.
Sejarah Jaminan Fidusia dan Perkembangannya ...
19
C.
Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ...
27
D.
Hapusnya Jaminan Fidusia ...
29
BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN
...
31
(6)