Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 070200368

AHMAD HUDA DAYAN NASUTION

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN


(2)

SKRIPSI

isusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 070200368

AHMAD HUDA DAYAN NASUTION

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA DAGANG DIKETAHUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUM

NIP: 196603031985081001 DR Hasim Purba SH MHum

DISETUJUI OLEH

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Megarita,SH,CN,MHum

NIP :196110111988132001 NIP : 197604142002122003 Dr.Idha Aprilyana S,SH,MHum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan hidayahnya maka skripsi penulis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN” ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Skripsi merupakan salah satu prasyarat dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Univesrsitas Sumatera Utara. Skripsi juga melatih seorang mahasiswa dalam menulis suatu karya ilmiah dan memeperdalam wawasan khussunya dalam hal ini mengenai kajian kredit dan hukum hak tanggungan.

Adapun ucapan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan adik penulis atas segala dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menguatkan hati penulis dalam melaksanakan tugasnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kesempurnaan tulisan ini di masa yang akan datang.

Akhirul kalam penulis mengharapkan agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,khususnya bagi pegawai

Penulis

Ahmad Huda Dayan Nst


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penulisan... 10

D. Manfaat Penulisan... 10

E. Keaslian Penulisan... 11

F. Tinjauan Kepustakaan... 11

G. Metode Penelitian... 16

H. Sistematika Penulisan………... 22

BAB II: PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI INDONESIA... 24

A.Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian Menurut KUH Perdata ... 24

B.Tinjuauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank... 26

C.Kredit Macet dan Wan Prestasi... 32

D.Pengertian dan Dasar Yuridis Hukum Jaminan di Indonesia... 38

E.Jenis-Jenis Jaminan... 40

F. Persyaratan dan Kegunaan Benda Jaminan Dalam Perjanjian Kredit.... 43

BAB III: TINJAUAN HUKUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA...... 45

A.Konsep-Konsep Dasar Hukum Hak Tanggungan……….. 45

B.Azas-Azas Hak Tanggungan……… ……… 50

C.Subjek dan Objek Hak Tanggungan……….……… 52

D.Tata Cara Pemberian,Pendaftaran dan Hapusnya Hak Tanggungan.... 54


(5)

BAB IV EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PERLINDUNGAN

KREDITUR DALAM PERJANIAN KREDIT... ..……… 61

A.Prosedur Umum Pemberian Kredit Dengan Jaminan di Indonesia... 61

B.Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan... 69

C.Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan dan Perlindungan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 80

A. Kesimpulan……… 80

B. Saran ... 81


(6)

A B S T R A K Ahmad Huda Dayan Nst*

Megarita** Idha Aprilyana***

Hak tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam

tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Penelitian ini mengkaji mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan saat debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; serta Penafsiran ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini lebih menekankan kepada perlindungan kreditur dikarenakan sebeludanya pemberian hak jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur telah terlebih dahulu memberikan prestasi kepada debitur yang nantinya harus dikembalikan oleh debitur

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur saat debitur wanprestasi menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah bahwa dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yang memiliki irah-irah dan mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim berkekuatan hukum tetap, maka apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, dapat meminta bantuan secara langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi melalui pelelangan umum dari KPKNL guna memperoleh pelunasan piutang kreditur. Serta penafsiran dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur

Kata Kunci : Kredit, Hak Tanggungan dan Eksekusi Hak Tanggungan

*Mahasiswa departemen Hukum Ekonomi **Dosen Pembimbing I


(7)

A B S T R A K Ahmad Huda Dayan Nst*

Megarita** Idha Aprilyana***

Hak tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam

tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Penelitian ini mengkaji mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan saat debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; serta Penafsiran ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini lebih menekankan kepada perlindungan kreditur dikarenakan sebeludanya pemberian hak jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur telah terlebih dahulu memberikan prestasi kepada debitur yang nantinya harus dikembalikan oleh debitur

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur saat debitur wanprestasi menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah bahwa dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yang memiliki irah-irah dan mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim berkekuatan hukum tetap, maka apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, dapat meminta bantuan secara langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi melalui pelelangan umum dari KPKNL guna memperoleh pelunasan piutang kreditur. Serta penafsiran dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur

Kata Kunci : Kredit, Hak Tanggungan dan Eksekusi Hak Tanggungan

*Mahasiswa departemen Hukum Ekonomi **Dosen Pembimbing I


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi pemerintah maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan meningkatnya kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui perkreditan.

Kegiatan pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya berfungsi untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, dan khususnya bagi perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri karena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat.

Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain


(9)

melalui kredit perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditur sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitur sebagai pihak yang berhutang. Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini, bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.

Kredit perbankan ini telah dimanfaatkan dan dipraktekkan oleh masyarakat sejak puluhan tahun lalu dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan pengertian kredit : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut, maka dalam pembukuan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit.


(10)

Pembiayaan/pendanaan yang diberikan perbankan atau dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut tentunya bukan merupakan dana milik perbankan itu sendiri dikarenakan modal yang dimiliki perbankan memang terbatas, namun juga merupakan dana titipan milik masyarakat umum yang disimpan dalam berbagai bentuk seperti halnya tabungan, giro maupun deposito. Hal ini sejalan dengan dasar bisnis perbankan yaitu penghimpun dana masyarakat (funding) dan penyalur kembali (lending) serta kaitannya dengan fungsi bank

yaitu intermediasi.1

Dalam pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, karena resiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh Undang-Undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar (resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan

yang mendukung (resiko hukum).2

Resiko-resiko yang umumnya merugikan kreditur tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh pihak bank, sehingga dalam proses pemberian kredit diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur

1

M Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan. ( Jakarta :Rajawali Press 2007) Hal 73-74.

2

Badriyah Harun. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. (Yogyakarta : Pustaka Yustisia.2010) Hal.2


(11)

untuk membayar hutangnya serta memperhatikan asas-asas perkreditan bank yang

sehat.3 Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur tersebut, maka

sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama

terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan istilah 7 P yaitu para pihak (Party),

Tujuan (Purpose), Pembayaran (Payment), Keuntungan (Profitability),

Perlindungan (Protection), Kepribadian (Personality), dan Kemungkinan

(Prospect)4 Salah satu hal yang dipersyaratkan bank sebagai kreditur dalam

pemberian kredit yaitu adanya protection atau perlindungan berupa jaminan yang

harus diberikan debitur guna menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan kepastian hukum, khususnya apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan,

debitur tidak meluasi hutangnya atau melakukan wanprestasi.5

Untuk mengurangi berbagai resiko tersebut maka jaminan pemberian kredit atau pembiayaan dalam arti keyakinan atas kemampuan nasabah/debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, maka bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan

dan prospek usaha dari nasabah debitur tersebut.6

Agunan atau jaminan kebendaan dalam hal ini merupakan salah satu unsur pemberian kredit yang paling krusial. Agunan dengan kata lain merupakan pengaman bagi bank dengan tujuan agar debitur dapat berhati-hati dan memanfaatkan fasilitas kredit yang diberikan agar tidak kehilangan harta benda yang menjadi objek dari agunan tersebut.

4

Badriyah Hanum, Op Cit Hal 7 5

Ibid,. Hal.13 6


(12)

Agunan yang diberikan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditur, karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang debitur,

dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur.7

Dalam praktek perbankan, dapat diperhatikan bahwa penjualan (pencairan) objek atau jaminan kredit dilakukan guna melunasi kredit dari debitur. Penjualan jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan diderita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui

ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan.8

Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan pihak debitur untuk memenuhi kewajibannya untuk

7

Gatot Supramono. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis. (Jakarta : Djambatan,1996) Hal.75

8


(13)

melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan hati-hati, dimana hal tersebut diharapkan akan mendorong pihak debitur untuk melunasi hutangnya sehingga dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang debitur kepada bank.

Dalam praktik perbankan, umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit yang disetujui oleh bank, sehingga pihak debitur diharapkan segera melunasi hutangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (asset) yang diserahkan sebagai jaminan kredit dalam hal kredit tersebut ditetapkan sebagai kredit macet. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dimana ketentuan dalam Pasal ini sering dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan”.9

9

Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta : Pradnya Paramita,2006) Hal.291


(14)

Bentuk jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan bahwa sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat dibebankan pada hak atas

tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hypoytheek dan

Credietverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya undang-undang

Pokok agraria tersebut, lembaga hak tanggungan ini belum dapat berfungsi Sebagaimana mestinya, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya Secara lengkap, serta ketentuan dalam peraturan tersebut sudah tidak sesuai Dengan asas hukum tanah nasional dan kurang memenuhi kebutuhan ekonomi di

Bidang perkreditan.10

Lembaga jaminan hak tanggungan ini telah diakui eksistensinya melalui Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan menjadikan kepentingan Debitur maupun kreditur mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Tujuan utama diundangkannya undang-undang hak tanggungan ini, khususnya Memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditur apabila debitur melakukan

10

Yudha Pandu. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan. (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing,2008) Hal 65-66


(15)

perbuatan melawan hukum berupa wanprestasi. Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan menyatakan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak Atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-bendalain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain.

Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan. Dalam proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa pihak kreditur dirugikan ketika pihak debitur melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan suatu aturan hukum dalam pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit, yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi pihak kreditur apabila debitur wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini menjadi latar belakang untuk dilakukan penelitian tentang bagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah memberikan perlindungan hukum kepada kreditur khususnya apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan Hak Tanggungan


(16)

Sejak pertengahan Tahun 1997 Indonesia mengalami kritis moneter yang mengakibatkan kesulitan besar terhadap perekonomian nasional terutama dunia usaha. Menghadapi hal tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan, di antaranya dalam bidang perbankan telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK 1998). Ketentuan Undang-Undang Kepailitan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil terbuka dan efektif. Oleh karenanya harus ada keseimbangan dalam perlindungan hukum baik bagi kreditur maupun debitur.

Adapun latar belakang pemilihan judul ini adalah untuk mengungkap lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kreditur dalam eksekusi hak tanggungan. Penitikberatan pada perlindungan kreditur dikarenakan kreditur pemegang hak tanggungan merupakan kreditur yang harus diutamakan. Disamping itu kreditur dalam hal ini telah memberikan suatu prestasi kepada debitur yang wajib dipenuhi pengembaliannya kepada debitur karenan menyangkut dana pihak ketiga. Oleh karena itu kreditur pemegang hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dibanding kreditur lainnya.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur umum pemberian kredit dengan jaminan di

Indonesia?


(17)

3. Bagaimanakah pelaksanaan eksekusi hak perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui prosedur umum dalam pemberian kredit di Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan

3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi hak perjanjian kredit dengan

jaminan hak tanggungan

D. Manfaat Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa manfaat yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan pengertian dan pendalaman lebih luas kepada masyarakat tentang

prosedur umum pemberian kredit

b. Memberikan gambaran umum tentang kedudukan kreditur pemegang hak

tanggungan.

c. Mengetahui keberadaan hak tanggungan serta bagaimanakah eksekusi

pelaksanannya dan perlindungan terhadap kreditur pemegang hak.

2. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian lainnya secara praktis diharapkan dapat menjadi rujukan ataupun referensi bagi para praktisi hukum maupun praktisi perbankan dalam hal menjadi rujukan dalam proses penyelesaian kewajiban pembayaran kredit macet dengan menggunakan lembaga hak tanggungan serta


(18)

pelaksanaannya. Manfaat praktis lainnya juga dapat sebagai informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang pelaksanaan eksekusi hak tanggunga. E. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini adalah murni hasil karya ilmiah penulis sendiri yang belum pernah dipublikasikan dimanapun juga, meskipun terdapat beberapa karya tulisan lain yang hampir serupa memuat permasalahan perkreditan maupun hak tanggungan. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dan apabila ditemukan karya ilmiah lainnya yang memiliki kesamaan satu sama lainnya maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan Kepustakaan adalah suatu studi awal yang berkenaan atau memiliki hubungan dengan topik yang ada secara relevan dengan menggunakan berbagai literatur atau bacaan dalam studinya. Adapun tinjauan kepustakaan ini mempunyai beberapa tujuan yaitu:

1. Memberitahu khalayak/pembaca tentang penelitian terkait berkenaan dengan

studi/ topik yang sedang dilaporkan.

2. Menghubungkan suatu studi dengan dialog yang lebih luas dan

berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka yang diperuntukkan untuk mengisi kekurangan dan memperluas studi-studi sebelumnya.

3. Memberikan kerangka bagi suatu studi dalam pembahasan ataupun


(19)

4. Sebagai landasan untuk membandingkan suatu studi dengan temuan-temuan lain.11

Adapun kini yang menjadi tinjauan kepustakaan tentang skripsi yang berjudul perlindungan hukum bagi kreditur dalam eksekusi perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan ini terbagi dalam 4 sub bagian yaitu:

a. Pengertian Perjanjian

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.12

1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata

kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belahpihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;

Abdulkadir Muhammad dalam bukunya berjudul “Hukum Perdata Indonesia” berpendapat bahwa definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu :

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan

(zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak

11

Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan Tinjauan Pustaka dalam

http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauan-pustaka.pdf Tangal akses 06 Mei 2011.

12


(20)

mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;

3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga

perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;

4) Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas

untuk apa.13

b. Pengertian Kredit

Istilah kredit bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, karena sering dijumpai pada anggota masyarakat yang melakukan jual beli barang secara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai (kontan), tetapi dengan cara mengangsur. Masyarakat pada umumnya mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas. Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu

credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan

dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditur memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas

13

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,.2000) Hal 224-225.


(21)

pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan jumlah dan mutu yang

sama14

Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada jangka waktu yang telah disepakati Mengenai istilah kredit, terdapat beberapa pengertian antara lain :

1) Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

2) OP. Simorangkir Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang)

dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen

kepercayaan, risiko dan pertukuran ekonomi di masa-masa mendatang.15

14

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. (Bandung; Alfabeta, 2005) Hal 97-98.

15

OP Simorangkir dalam Hermansyah , Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Hal. 57


(22)

c. Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutangpiutang

(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok

serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya

pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum

antara keduanya. Pada saat penyerahan uang dilakukan, maka baru berlaku

ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah

pihak.Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan adalahperjanjian standard

(standard contract). Hal ini terlihat dalam praktek bahwa setiap bank telah

menyediakan blanko perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu. Formulir ini diberikan kepada setiap pemohon kredit, isinya tidak dirundingkan

dengan pemohon,kepada pemohon hanya diminta pendapat untuk menerima atau

tidaksyarat-syarat dalam formulir.16

Perjanjian standard atau baku kredit dapat dibedakan menjadi 2(dua)

bagian, yaitu perjanjian induk (hoof contract) dan perjanjian tambahan (hulp

contract, algemeen voor warden). Perjanjian induk mengatur tentang hal-hal

pokok dan perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian induk.

d. Pengertian Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah securitycof law,

zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Menurut J. Satrio hukum jaminan

16

Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti.1991) Hal.36


(23)

diartikan sebagai : “Peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur”

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie

yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur

tehadap krediturnya.17 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan dalam Pasal 1 angka 23 bahwa agunan yang merupakan bagian dari istilah jaminan adalah : “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

G. Metode Penelitian

Menurut pendapat koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian

adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods")

adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang bersangkutan. Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang

obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.18

17

Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2005) Hal 6

18


(24)

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian

normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research)

yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang

tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim

melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial

process)19

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

.

20

Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang

19

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi Press,2006) Hal.118.

20

Ronny H Soemitro Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998) Hal. 9.


(25)

dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.21

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yanghendak dicapai sebelumnya. Metodolgi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup :

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

d. Perbandingan hukum;

e. Sejarah hukum

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok

21

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:Rajawali Pers, 2001), Hal. 13-14.


(26)

tertentu. Deskriptif analis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang perlindungan hukum bagi kreditur dalam eksekusi jaminan kredit dengan hak tanggungan di indonesia. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literature.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai

sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari

peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.


(27)

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari


(28)

studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan pelaksanaan lembaga paksa badan.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian

diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

Analisis data adalah tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Dalam tahap ini harus melakukan pemilahan datadata yang telah diperoleh. Penganalisisan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi

Analisis data yang dipergunakan adalah analisa data dengan cara melakukan analisa terhadap pasal-pasal yang isinya merupakan kaedah hukum, dalam hal ini adalah analisis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Setelah dilakukan analisa, maka dilakukan konstruksi data yang dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal


(29)

tertentu ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari system hukum tersebut

G. Sistematika Penulisan

Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini,dipaparkan pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada pembahasan karya ilmiah ini.meliputi latar belakang permasalahan,keaslian penulisan,tujuan penulisan,manfaat penulisan, tinjauan-kepustakaan,metode penulisan dan pengumpulan data yang digunakan serta sistematika penulisannya sendiri

BAB II : PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI INDONESIA

Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan hukum dalam pelaksanaan perjanjian kredit terutama di kredit perbankan dengan menyertakan jaminan yang secara khusus membahas jaminan yang diikat dengan hak tanggungan. Bab ini


(30)

akan membahas meliputi pengertian dan seluk beluk hukum perkreditan

BAB III : KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

Didalam bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai bagaimana keberadaan hak tanggungan dalam praktiknya di Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian, azas-azas dan tata cara untuk mendaftarkan hak tanggungan pada prakteknya khusunya pada saat perjanjian kredit

BAB IV: EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan

pembahasan yang bersumber dari penelitian ( research ). Aspek yang

akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur yag menunggak/wanprestasi kredit macet dan bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan pada kreditur pemegang hak tanggungan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan berdasarkan hasil pembasan setiap bab dalam permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan pemaparan kesimpulan tersebut.


(31)

BAB II

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian Menurut KUH Perdata

Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Adanya Persetujuan Kedua Belah Pihak/Konsensus

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seiya sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, biasanya

pihak-pihak mengadakan perundingan (negoitiation) dimana pihak yang satu

memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya, kemudian pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan. Kehendak itu dapat dinyatakan baik secara bebas maupun diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun juga dan berdasarkan kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk pula tidak adanya kekhilafan


(32)

dan penipuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa dikatakan tidak adanya paksaan itu apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia sehingga orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian.

Akibat hukum tidak adanya persetujuan kehendak (karena paksaan, kekhilafan, maupun penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu 5 (lima) tahun, dalam hal terdapat paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dan dalam hal terdapat kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu

2. Kecakapan Para Pihak

Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami, sehingga apabila hendak melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya dan bagi seorang istri harus ada izin suaminya. Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan


(33)

pembatalannya kepada hakim, dan apabila pembatalannya tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan maka perjanjian tetap berlaku.

3. Ada Objek Tertentu

Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan

4. Ada Sebab Yang Halal

Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah

suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah

sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak

Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, karena yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh Undang-Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank

Muchdarsyah Sinungan menyatakan bahwa “Kredit adalah uang bank yang dipinjamkan kepada nasabah dan akan dikembalikan pada suatu waktu


(34)

tertentu di masa mendatang disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga”22 Mariam Darus Badrulzaman menyatakan secara umum kredit diartikan sebagai

“The ability to borrow on the opinion conceived by the lender that we will be repaid”.23

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur guna pencapaian tujuan dalam pemenuhan kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun untuk kebutuhan sehari-hari. Pihak yang memperoleh kredit (debitur) harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya tersebut, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya, sedangkan bagi pihak pemberi fasilitas kredit (kreditur), secara material harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan

Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka intisari pengertian kredit

adalah adanya unsur kepercayaan serta pertimbangan untuk saling

tolong-menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan

kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan

mengambilkontraprestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adanya bantuan

dari kreditur untuk menutupi kebutuhan berupa prestasi. Hanya saja antara

prestasi dan kontraprestasi terdapat suatu masa yang memisahkannya dan kondisi

semacam ini mengakibatkan adanya risiko berupa ketidaktentuan, sehingga

diperlukan suatu jaminan dalampemberian kredit tersebut.Sebelumnya dikatakan

bahwa kredit diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti bahwa prestasi

yang diberikan dapatdikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan waktu dan

syaratsyaratyang disepakati bersama.

22

Muchdarsyah Sinungan. Manajemen Dana Bank. Edisi Kedua. (Jakarta : Bumi Aksara, 1993) Hal. 212.

23

Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,1991) Hal.23


(35)

perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan. Suatu kredit mencapai fungsinya, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat, apabila secara sosial ekonomis membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak debitur dan kreditur sama-sama memperoleh keuntungan, dan mengakibatkan tambahan penerimaan negara dari pajak, serta membawa dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.

Kredit perbankan, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha guna membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan berupa barang maupun jasa

Menurut pendapat H. Budi Untung dalam bukunya “Hukum Jaminan Keperdataan”, disebutkan bahwa kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Meningkatkan daya guna uang;

2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;

3. Meningkatkan daya guna dan peredaran uang;

4. Sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi;

5. Meningkatkan kegairahan usaha;

6. Meningkatkan pemerataan pendapatan; dan

7. Meningkatkan hubungan internasional24

Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank adalah seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Dalam pengertian kredit yang diatur dalam

24


(36)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa dalam pengertian kredit tersebut terkandung perkataan perjanjian pinjam-meminjam sebagai dasar diadakannya perjanjian kredit, atas dasar itu pula dapat dikatakan bahwa kredit adalah suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.

Adapun perjanjian kredit oleh beberapa sarjana hukum dikuasai dan merujuk pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII Buku III Tentang Pinjam Meminjam. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam meminjam uang menurut Pasal 1754 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis pakai dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah

yang sama mulai dari jenis maupun mutu yang sama pula.25

Perjanjian kredit menurut hukum perdata adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal 1754-1769. Dengan demikian perbuatan suatu perjanjian kredit dapat berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi dapat pula berdasarkan kesepakatan para pihak, artinya dalam hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan dalam hal tertentu yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak.

Pada Pasal 1754 Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa: Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan

25

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. (Bandung; Alfabeta, 2005) Hal 97-98.


(37)

karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Dalam hal ini maka dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754-1769.

Sebagai suatu perjanjian maka perjanjian kredit itu tidak terlepas dari Kitab Undang Hukum Perdata, Undang Perbankan dan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Perjanjian kredit tersebut merupakan perjanjian

pendahuluan (voorovereenkomst) dalam hal ini tentunya yang dimaksud adalah

perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang.26

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutangpiutang

(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok

serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya

pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum

antara keduanya Perjanjian standard atau baku kredit dapat dibedakan menjadi 2

(dua) bagian, yaitu perjanjian induk (hoof contract) dan perjanjian tambahan (hulp

contract, algemeen voor warden). Perjanjian induk mengatur tentang hal-hal

Dimana apabila kedua belah pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti ini, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti akan telah terjadi, perjanjian tersebut bersifat konsensuil obligator yaitu bila uangnya telah diserahkan (bersifat riil) kepada peminjam, maka lahirlah perjanjian pinjam-mengganti.

26


(38)

pokok dan perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian induk

Ruang lingkup pengaturan tentang perjanjian kredit sebagai berikut :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian

pinjam-meminjam uang;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, meliputi Pasal 1 angka 11 tentang Pengertian Kredit; Perjanjian anjak-piutang, yaitu perjanjian

pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihanserta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan jangk pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri;

Berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai Perjanjian Kredit, maka dapat disimpulkan bahwa dasar dalam perjanjian kredit adalah perjanjian pinjammeminjam uang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengn mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula” Menurut Budi Untung, secara yuridis terdapat 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu :

1. Perjanjian kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan, yaitu perjanjian

pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara

mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Lazimnya dalam

penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata;


(39)

2. Perjanjian kredit autentik, yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada

nasabahnya yang hanya dibuat dibuat oleh atau dihadapan notaris.27

C. Kredit Macet dan Wan Prestasi

Kredit yang diberikan oleh kreditur kepada debitur selalu mengandung risiko, maka pemberian kredit dilandasi atas kemampuan, kesanggupan dan itikad baik dari kreditur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam rangka memperoleh keyakinan tersebut, koperasi sebagai kreditur perlu melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur. Karena dengan proses analisis kredit yang baik diharapkan kredit yang diberikan kepada debitur akan berjalan lancar dan dapat dikembalikan tepat pada waktunya. Akan tetapi pada kenyataannya harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud mengingat kredit yang telah diberikan tetap mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pengembaliannya

Kredit macet merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan demikian dalam hukum perdata dinamakan wanprestasi atau ingkar janji. Kredit macet dapat disebut juga sebagai kredit bermasalah. Pengertian kredit bermasalah secara yuridis tidak terdapat dalam berbagai literatur maupun perundang-undangan. Adapun kredit bermaslah itu sendiri dapat disimpulkan yaitu suatu

27


(40)

keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh

kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.28

Sumber-sumber penyebab terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh nasabah atau penyebab terjadinya kredit bermasalah pada bank dapat

dikemukakan sebagai berikut:29

1. Kepentingan Pribadi (Self Dealing)

Self dealing terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat pemberi kredit terhadap permohonan yang diajukan nasabah, berupa pemberian kredit yang tidak layak atas dasar yang kurang sehat terhadap nasabahnya dengan harapan mendapatkan kompensasi berupa pemberian imbalan dari nasabah.

2. Kecemasan akan Pendapatan (Anxiety for Income)

Pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan perkreditan merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar bank sehingga ambisi ataupun nafsu yang berlebihan untuk memperoleh laba bank melalui penerimaan bunga kredit sering menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit.

3. Kompromi Terhadap Prinsip-Prinsip Kredit (Compromise of Credit

Principles)

Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui pemberian kredit yang mengandung risiko yang potensial menjadi kredit yang bermasalah.

28

A.Totok Budi Santoso, Sigit Triandari, Y. Sri Susilo. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: Salemba Empat, 2000) Hal 41

29


(41)

4. Kurangnya Informasi Kredit (Incomplete Credit Information)

Terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, disamping informasi lainnya seperti penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan kembali kredit.

5. Kegagalan dalam Menentukan Tindakan Eksekusi Perjanjian Kredit (Failure

to Obtain or Enforce Liquidation Agreements)

Sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban yang telah diperjanjikan, meskipun nasabah mampu dan wajib membayarnya, juga merupakan penyebab timbulnya kredit-kredit yang tidak sehat dan mengakibatkan kredit bermasalah bagi bank.

6. Kemudahan (Complacency)

Sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan mengakibatkan terjadinya kegagalan atas pelunasan kembali kredit yang diberikan

7. Kurangnya Pengawasan (Lack of Supervising)

Karena kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah pemberian kredit, kondisi kredit berkembang menjadi kerugian karena nasabah tidak memenuhi kewajibannya dengan baik.

8. Kurangnya Kemampuan Teknis (Technical Incompetence)

Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan kredit dari aspek keuangan meupun aspek lainnya akan berakibat kegagalan dalam operasi perkreditan suatu bank. Para pejabat kredit harus senantiasan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan tugasnya dan


(42)

jangan memberikan kredit kepada usaha atau sektor yang tidak dikenal dengan baik.30

Prestasi merupakan isi dari perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi (kelalaian). Wanprestasi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1243

Kitab Undang‐undang Hukum Perdata dapat terjadi karena, tidak melakukan apa

yang disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak dilakukan dengan semestinya, menjalankan hal yang dijanjikan akan tetapi terlambat melaksanakannya, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sehingga dapat dikatakan wanprestasi seorang debitur dapat berupa, sama sekali tidak memenuhi prestasi, tidak tunai memenuhi prestasi,

terlambat memenuhi prestasi, keliru memenuhi prestasi.31 Perkataan wanprestasi

berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam

perjanjian32

Suatu keadaan dapat digolongkan wanprestasi yang menyebabkan kredit macet apabila memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan

2. Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah diperjanjikan;

3. Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan;

30

Sudjendro, Penyebab Kredit Bermasalah dalam http://bank-kita.blogspot.com/2011/02/penyebab-kredit-bermasalah.html Tanggal akses 06 Mei 2011

31

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin,1999) cet. 6, Hal.18.

32

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, Hal. 2.21


(43)

4. Debitur menyerahkan sesuatu yang tidak diperjnjikan;

5. Debitur melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian yang telah

dibuatnya atau menyalahgunakan isi perjanjian.

Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada tiga macam perbuatan yang tergolong wanprestasi, yaitu :

1. Debitur sama sekali tidak membayar angsuran kredit;

2. Debitur membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya), akan tetapi

yang digolongkan sebagai kredit macet dalam hal ini adalah jika debitur kurang membayar satu kali angsuran;

3. Debitur membayar lunas kredit setelah jangka waktu perjanjian berakhir.

Istilah wanprestasi atau cidera janji diatur dalam Pasal 1243 jo. Pasal 1763

Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan pengertian

wanprestasi atau cidera janji, yaitu : a) Lalai memenuhi perjanjian;

b) Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; c) Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu

yang ditentukan.

2 Pasal 1763 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan pengertian yang lebih spesifik, bahwa wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan

Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh faktor‐faktor yang berasal dari

sudut eksternal maupun internal. Faktor terjadinya kredit bermasalah yang bersifat internal pada umumnya berkaitan dengan pihak analisis kurang teliti sehingga apa


(44)

yang seharusnya terjadi tidak dapat diprediksi sebelumnya atau mungkin salah dalam melakukan perhitungan. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas kredit atau yang menyebabkan kredit bermasalah adalah keadaan perekonomian tidak mendukung perkembangan usaha namun disatu sisi debitur mempunyai kemauan atau itikad untuk membayar akan tetapi disisi lain ada pula debitur yang tidak mempunyai kemauan atau itikad untuk tidak membayar

Menurut Pasal 1267 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata, maka pihak

yang ingkar janji atau wanprestasi dapat dibebani untuk memenuhi perjanjian atau dibatalkannya perjanjian disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Ini juga dapat diartikan bahwa pihak yang ingkar janji dapat hanya dibebani kewajiban ganti kerugian saja atau pemenuhan perjanjian dengan ganti rugi saja.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kredit macet yang

berasal dari nasabah, antara lain:33

1. Nasabah Menyalahgunakan Kredit Yang Diperoleh Setiap kredit yang

diperoleh nasabah telah diperjanjikan tujuan pemakainnya sehingga nasabah harus mempergunakan kredit sesuai dengan tujuannya, Pemakaian kredit yang menyimpang, misalnya kredit untuk pengangkutan dipergunakan untuk pertanian akan mengakibatkan usaha nasabah gagal.

2. Nasabah Kurang Mampu Mengelola Usaha Hal ini dapat terjadi karena

nasabah yang kurang menguasai bidang usaha, karena nasabah mampu menyakinkan bank akan keberhasilan usahanya. Akibatnya usaha yang dibiayai dengan kredit tidak dapat berjalan dengan baik.

33


(45)

3. Nasabah Beritikad Tidak Baik Ada sebagian nasabah yang sengaja dengan segala daya upaya mendapatkan kredit tetapi setelah kredit diterima untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungajawabkan. Nasabah sejak awal tidak berniat mengembalikan kredit walaupun dengan resiko apapun, biasanya sebelum kredit jatuh tempo nasabah sudah melarikan diri untuk menghindari tanggung jawab.

D. Pengertian dan Dasar Yuridis Hukum Jaminan

Hukum jaminan pada dasarnya adalah “Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”

Berdasarkan definisi mengenai hukum jaminan tersebut, maka unsur-unsur

yang terkandung dalam pengertian hukum jaminan adalah :34

1. Adanya kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 (dua)

macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis berupa peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi serta kaidah hukum jaminan tidak tertulis berupa kaidah hukum yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang

atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit dan lazim disebut sebagai debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima

34

RHS Hasibuan, Hukum Jaminan, Karya Tulis publikasi dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22085/3/Chapter%20II.pdf Akses Tanggal 28 Juli 2012


(46)

barang jaminan dari pemberi jaminan dan yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum atau biasanya pihak bank yang sering disebut sebagai kreditur.

3. Adanya jaminan, pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepda kreditur

adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterril merupakan jaminan perorangan.

4. Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi

jaminanbertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa

debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya35

Dalam membicarakan hukum jaminan maka ada dikenal 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu :

1. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;

35


(47)

2. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;

3. Asas tidak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak

dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian;

4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.

Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi

tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai36

E.Jenis-Jenis Jaminan

Istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah collateral yang merupakan

bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Artinya, pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, dimana “agunan” berkaitan dengan barang, sedangkan “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan barang, tetapi berkaitan dengan watak/perilaku (character),Kemampuan (capacity),Modal (capital), Jaminan (collateral) dan

Kondisi ekonomi (condition of economy) dari nasabah debitur yang berkaitan.

Agunan dalam hal ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan

adalah untuk medapatkan fasilitas kredit dari bank sehingga jaminan tersebut diberikan/diserahkan kepada bank.

36


(48)

Agunan pada perkreditan di Bank menurut UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1 Angka 23 adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah.37 Disebut sebagai jaminan tambahan karena pada

pelaksanaan pemberian jaminan bukan merupakan satu-satunya faktor dalam pemberian kredit oleh perbankan. Karakter debitur dan kelayakan usaha merupakan faktor utama dan oleh karenanya agunan sering disebut juga sebagai

pengaman terakhir dalam pemberian dan pelunasan kredit.38

Bentuk-bentuk agunan sesuai dengan penjelasan Pasal 8 UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan adalah segala sesuatu yang dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya berdasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petruk dan lain lain yang sejenis.

Adapun bentuk-bentuk agunan lainnya berdasarkan peraturan bank Indonesia atau PBI No 9 Tahun 2007 Pasal 46 dapat berupa surat berharga atau efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai, tanah atau gedung tempat tinggal yang diikat dengan hak tanggungan, mesin-mesin yang satu kesatuan dengan tanah dan juga diikat dengan hak tanggungan, pesawat udara atau kapal laut yang diikat dengan hak hipotek, kendaraan bermotor yang

diikat dengan fidusia dan resi gudang yang diikat dengan hak jaminan.39

Jaminan/agunan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

37

UU Republik Indonesia No 1 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1 angka 23 38

M Bahsan,.O p Cit Hal 102 39


(49)

1. Hak jaminan yang bersifat kebendaan (materiil), yaitu memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Hak jaminan materiil atau kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena

a. Kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas

tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur;

b. Ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat

kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Dalam hal ini terhadap tekanan psikologis kepada debitur untuk melunasi utang-utangnya karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga baginya

Menurut J. Satrio menyatakan bahwa hak jaminan kebendaan memiliki ciri khas, yaitu :

1. Mempunyai hubungan langsung dengan atau atas benda tertentu milik debitur;

2. Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja;

3. Mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti bendanya di

tangan siapapun berada;

4. Yang lebih tua mempunyai kedudukan lebih tinggi;

5. Dapat dipindahtangankan atau dialihkan kepada orang lain

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan kebendaan bergerak dan jaminan kebendaan tidak bergerak. Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan


(50)

dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hipotek dan hak tanggungan sebagai jaminan utang

2. Hak Jaminan Perorangan Jaminan imateriil atau perorangan adalah hak yang

memberikan kepada kreditur suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih. Adanya lebih dari seorang debitur, bisa karena ada debitur serta tanggung menanggung atau karena

adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan dirinya sebagai borg

Adapun jaminan perseorangan ini dapat berupa penjaminan utang atau

borgtocht (personal guarantee), jaminan perusahaan (corporate guarantee),

perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank (bank guarantee).

F. Persyaratan dan Kegunaan Benda Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syaratsyarat tertentu. Menurut Rachmadi Usman, syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah :

a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukannya;

b. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) debitur untuk melakukan atau


(51)

c. Memberikan kepastian kepada kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan

untuk melunasi hutangnya debitur.40

Adapun Kegunaan benda jaminan adalah

a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan

dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian;

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai

usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaanya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil;

c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui agar pihak debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan

kekayaan yang telah dijaminkan.41

40

Rachmadi Usman. Hukum Jaminan Keperdataan. (Jakarta : Sinar Grafika,2008) Hal. 67

41


(52)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA

A. Konsep-Konsep Dasar Hak Tanggungan

a. Pengertian Hak Tanggungan

Tanggungan merupakan barang yang dijadikan jaminan guna pelunasan hutang dari Debitur. Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah adalah : “ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

kepada kreditur-kreditur lain”.42

Menurut Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada

pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada

atau disebut droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah dipindahtangankan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak

42


(53)

tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila debitur cidera janji;

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga

dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;

d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan kemudahan

bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.43

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tantang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa telah disediakan lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak-hak atas tanah, yaitu

hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hypoteek dan creditverband. Selama

30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang- Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap sesuai yang dikehendaki Pasal 51 tersebut.

44

Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan zaman Kolonial Belanda tersebut sudah tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional dan dalam kenyatannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih

diberlakukan ketentuan Hypoteek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUH

Perdata Indonesia dan ketentuan creditverband dalam Staatsblad 1908-542

sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai

hal-hal yang belum terdapat aturannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria.

43

Ibid,.

44

Yudha Pandu. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan. (Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing,2008) Hal.65


(1)

Selanjutnya dalam hal terjadi kepailitan, maka berdasarkan pasal 56A UUK hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaanya untu jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Dengan ditangguhkannya eksekusi hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan oleh kurator. Sehingga harta pailit yang dapat diguanakan atau dijual oleh kurator terbataas hanya pada barang persedian (inventory) dan atas barang bergerak (current asset) walaupun harta pailit tersebut telah dibebani dengan hak agunan atas kebendaan. Dalam hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata). Bahwa kedudukan kreditur preferen adalah yang tertinggi dibandingakan dengan kreditur yang lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi: "Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kredit yang diberikan oleh perbankan sebagaian besar berasal dari penghimpunan dana masyarakat yang sewaktu-waktu harus siap apabila dikembalikan lagi kepada masyarakat. Oleh karena itu perbankan wajib untuk menjaga kualitas pelemparan kredit yang dilakukannya dengan memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat diantaranya prinsip 5C. Hal lainnya adalah dalam hal pemberian kredit, bank harus mengikuti prosedur dan syarat umum yag ditentukan terutama dalam hal pengikatan kredit termasuk juga pengikatan jaminan kredit berupa hak tanggungan. Pengikatan hak tanggungan yang tepat akan memudahkan bank untuk melakukan eksekusi jaminan apabila debitur cidera janji (wanprestasi)

2. Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam hal ini memiliki sifat yang lebih diutamakan daripada kreditur-kreditur lainnya termasuk juga hak dalam eksekusi jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi sekaligus mencegah debitur melakukan wan prestasi ataupun menggadaikan hak tanggungan kepada pihak lainnya.

3. Berdasarkan Penjelasan Umum angka 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, bahwa walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku. Namun secara umum eksekusi dalam hak tanggungan dapat dilakukan kreditur dalam hal ini dengan menyerahkan kepada Kantor Pelayanan


(3)

Kepiutangan dan Lelang Negara (KPKNL) untuk diadakan lelang dan eksekusi objek hak tanggungan.

B. Saran

1. Perlu adanya sosialisasi dan pemahaman lebih lanjut kepada setiap debitur yang akan mengajukan kredit di perbankan bahwasannya terdapat prosder-prosedur yang secara umum harus dilakukan sebelum kredit tersebut dicairkan antara lain adalah mengenai kepastian jaminan kredit. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan eksekusi dan menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban baik debitur maupun kreditur 2. Jaminan bahwa pemegang hak tanggungan memiliki sifat untuk lebih

diutamakan daripada kreditur-keditur lainnya selayaknya dapat menjadi pedoman bagi pihak perbankan agar dapat lebih hati-hati dalam pengikatan hak tanggungan agar eksekusi hak tanggungan dapat berjalan lancar dan perbankan akan memperoleh jaminan penyelesaian kredit macet yang dialaminya

3. Bank Pemerintah sebagai kreditur pada umunmya belum sepenuhnya memanfaatkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 dengan sebaik-baiknya, karena apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur biasanya bank sebagai kreditur mengajukan permohonan eksekusi dengan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum guna memperoleh pelunasan piutangnya. Padahal, proses seperti ini akan memakan waktu yang cukup lama dan berbelit-belit. Seharusnya bank dapat mengacu pada ketentuan Pasal 6 tersebut karena akan


(4)

lebih efisien, yaitu bank dapat mengajukan permohonan lelang secara langsung kepada Kantor Penjualan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) agar objek Hak Tanggungan dapat langsung dilelang, sehingga kreditur tidak menunggu waktu yang lama untuk memperoleh pelunasan piutangnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Abdul R. Sulaiman, Dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek, Jakarta :Prenada Media 2004

Amin, Mochammad, 1984 Hukum Kepailitan dan Surseance, Garuda, Malang Danang Ari. Study Tentang Perlindungan Dagang. Surakarta, UMM. 2008

Fuady, Munir, 1999, Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang FH UGM, 1981

Komaruddin, Kamus Perbankan, Jakarta: Grafindo, 1994

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta, Pradnya Paramita. 1974

Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999

Nating, Imran, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : Raja Grafindp. 2004 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Rudi A, Lontoh Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001

Remi Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni,1999.

Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998


(6)

Sunarmi, Hukum Kepailitan Medan: Sofmedia, 2010

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan, Yogyakarta:Seksi Hukum Dagang FH UGM. 1981.

Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra

Aditya Bakti, 1993

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Peraturan Bank Indonesia/ PBI No 5/8/PBI/2003 Tentang Manajemen Resiko Bagi Bank Umum