Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia (Studi Pada Lembaga Pendaftaran Fidusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Propinsi Aceh)

(1)

TINJAUAN ATAS PELAKSANAAN PENGHAPUSAN JAMINAN

FIDUSIA (STUDI PADA LEMBAGA PENDAFTARAN FIDUSIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PROPINSI ACEH)

TESIS

Oleh

GOMSALATI

097011128

/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN ATAS PELAKSANAAN PENGHAPUSAN JAMINAN

FIDUSIA (STUDI PADA LEMBAGA PENDAFTARAN FIDUSIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PROPINSI ACEH)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

GOMSALATI

097011128

/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN ATAS PELAKSANAAN PENGHAPUSAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI PADA LEMBAGA PENDAFTARAN FIDUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PROPINSI ACEH)

Nama Mahasiswa : Gomsalati

Nomor Pokok : 097011128

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Chairani Bustami,SH, SpN, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia dinyatakan bahwa jaminan fidusia harus dibuat dengan akta Notaril dan harus didaftarkan, untuk menjamin kepastian hukum, dengan demikian kreditur akan mendapatkan kedudukan preferent dari kreditur-kreditur lainnya. Dan mempunyai kekuatan exscutorial apabila debitur wanprestasi, selanjutnya ada juga diatur tentang cara pencoretan jaminan fidusia bagi fidusia-fidusia yang sudah terdaftar di lembaga pendaftaran fidusia yang hutangnya telah lunas. Tetapi di Lembaga Pendaftaran Fidusia Propinsi Aceh tidak pernah sekalipun dilakukan pencoretan terhadap fidusia yang sudah terdaftar dan sudah lunas, sehingga sering terjadi pembebanan-pembebanan kembali terhadap satu benda yang masih terdaftar sebagai benda jaminan fidusia. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang apakah yang melatar belakangi pembuatan akta jaminan Fidusia

harus Notaril, mengapa jaminan Fidusia tidak pernah dilakukan

pencoretan/penghapusan, hal-hal apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pencoretan/penghapusan fidusia khususnya pada lembaga pendaftaran fidusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia propinsi Aceh.

Penelitian ini bersifat deskriptif, Analitis, menggunakan pendekatan Normatif dan sosiologis dengan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dengan data sekunder, primer, tertier berupa peraturan Perundang-undangan melakukan wawancara, analisis data yang dilakukan secara kwantatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Pembuatan Akte Jaminan Fidusia harus dibuat secara Notaril guna dapat didaftarkan pada lembaga pendaftaran fidusia untuk

menjamin kepastian hukum sehingga kreditur mendapat kedudukan

diutamakan/preferensi dari kreditur lainnya dan mempunyai kekuatan ekscutorial apabila debitur wanprestasi. Diketahui juga bahwa jaminan fidusia tidak dilakukan pencoretan/penghapusan karena ketidak pedulian para pihak terutama Bank (Penerima Fidusia) yang menurut Undang-undang Fidusia adalah pihak yang wajib memberitahukan tentang pelunasan hutang, karena menganggap bahwa tidak ada kepentingan lagi atas benda jaminan karena hutangnya sudah lunas, sehingga sulit dibuktikan bahwa suatu fidusia sudah lunas atau belum, akibatnya besar sekali kemungkinan terjadi Pembebanan Fidusia kembali terhadap benda-benda yang sama yang masih dalam status dijaminkan secara fidusia sehingga tidak jelas siapa kreditur pertama yang berhak atas jaminan tersebut ditambah lagi dengan jaraknya lembaga pendaftaran Fidusia dari daerah yang selama ini hanya berada di ibukota propinsi,


(6)

demikian juga nasabah selaku pemberi fidusia tidak perduli atas penghapusan/pencoretan tersebut karena menganggap penghapusan/pencoretan tersebut hanyalah tindakan administratif belaka, semuanya itu menjadi hambatan dalam pelaksanaan pencoretan/ penghapusan fidusia khususnya pada lembaga pendaftaran fidusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia Propinsi Aceh.

Disarankan agar para Pihak membuat akta jaminan fidusia secara notaril dan didaftarkan sehingga kreditur mempunyai hak preferent dan mempunyai kekuatan exscutorial apabila debitur wanprestasi. Selanjutnya kepada bank untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu membuat laporan dan mengirimkan bukti pelunasan hutang debitur dan melampirkan sertifikat fidusianya, dan debitur hendaklah turut aktif secara berkala meminta kepada bank untuk menerbitkan bukti pelunasan hutangnya agar dapat memohonkan sendiri pencoretan fidusianya sehingga benda miliknya benar-benar kembali kepemilikan kepadanya..

Hendaklah pemerintah lebih tegas mengatur tentang batas waktu penghapusan/pencoretan jaminan fidusia tersebut dengan mewajibkan kepada penerima fidusia membuat surat kiasa yang isinya memberi kuasa kepada debitur untuk melakukan pencoretan sendiri tentunya dengan mencantumkan/ memperhatikan batas waktu kuasa (tanggal berlakunya surat kuasa tersebut). Kuasa mana sudah dilampirkan bersamaan dengan pendaftaran fidusianya dan hendaklah pada saaat pendaftaran dibuat catatan “sedang dibebani fidusia” pada buku kepemilikan benda fidusia, sehingga siapapun dapat mengetahui suatu benda sedang dibebani fidusia atau tidak dan hendaknya dapat mendirikan pos-pos tempat pendaftaran fidusia di Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota.


(7)

ABSTRACT

In Law No. 42/1999 on fiduciary, it is stated that fiduciary guarantee must be made based on the notarial document. The fiduciary guarantee must be registered to guarantee the legal certainly that the creditor will get a preferential position compared to the other creditors and have an executorial power when the debtor cannot keep his promise. Also a regulation on how to eliminate the fiduciary guarantee for the one which have been registered and have been paid in the fiduciary registration office. But, in the fiduciary registration office of the province of Aceh, the fiduciary which have been registered and paid were never discarded that repayment still occur frequently for the items which are still registered as fiduciary guarantee. Therefore, it is necessary to do a study on why the fiduciary guarantee act must be made by a public notary, why the fiduciary guarantee act must be made by a public notary, why the fiduciary guarantee which have been registered and paid were never discarded, what constraints were faced in the implementation discarding the fiduciary guarantee especially in the fiduciary registration office of the Ministry of Law and Human Rights, the Province Aceh.

This was an analytical and descriptive study using the normative and sociological approach. The primary data were obtained through interview and the secondary and tertiary data for this study in the form of regulation of legislation were obtained through library research. The data obtained through were quantitatively analyzed.

The result of study showed that the act for fiduciary guarantee must be made by a public notary that it can be registered in the fiduciary registration office to obtain a legal certainly that the creditor can get the preferential power compared to the other creditor and have an executorial power when the debtor cannot keep his promise. It was also found that the fiduciary guarantee were not discarded because the fiduciary receivers, especially the banks did not care about it even though according to law on fiduciary, the bank is a party which must let the debtor know about the payment of his debt. Since it was regarded that there was no more interest on the object guaranteed because the debtor has paid his debt that it was difficult to prove whether or not a fiduciary has been paid and who the first creditor responsible to for the guarantee was unclear because it was very far for them to get to the fiduciary registration office which is located in the capital of the province. The consequence was the repayment for the same items of fiduciary guarantee may probably occur because the fiduciary provider did not care whether or not the guarantee was discarded because to them it was only for administration interest. All of these become the constraints in the implementation of discarding the fiduciary guaranteed especially the one registered in the fiduciary registration office of the Ministry of Law and Human Rights, the province of Aceh.

The parties involved are suggested to go the public notary to make the act of fiduciary guarantee and then register it that the creditor can have preferential right


(8)

and executorial power when the debtor cannot keep his promise. The banks are suggested to apply the stipulation in Article 26 of Law on Fiduciary Guarantee such as making a report and sending the proof that the debtor has paid his debt and enclose the certificate of its fiduciary. The debtor should be periodically active to ask the bank to issue the proof that the debtor has finished his debt that he himself can apply for the discarding of his fiduciary that his property really comes back to him as the owner.

The government should be strict on regulating the deadline of discarding the fiduciary guarantee by requiring the fiduciary to make a power of attorney stating that he trust the debtor to discard the fiduciary by himself by putting/paying attention to the deadline of the power attorney. This power of attorney was enclosed when the registration of fiduciary with the written note saying “being responsible to pay for the fiduciary on the book of ownership of the fiduciary item that any one can know whether or not the owner of the item is being responsible to pay the fiduciary. The government is also suggested to establish the posts for the fiduciary. The government is also suggested to establish the posts for the fiduciary registration in the district and cities in the province of Aceh.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya serta kasihNya yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Dalam penulisan Tesis ini penulis memilih judul “TINJAUAN ATAS PELAKSANAAN

PENCORETAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI PADA LEMBAGA

PENDAFTARAN FIDUSIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA PROPINSI ACEH )”.

Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan studi di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan Tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada Bapak Prof Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu HJ. Chairani Bustami, SH, Spn, MKn serta Ibu Dr T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada penulis, dalam penulisan Tesis ini.

Tidak lupa pula penulis sampaikan terima kasih yang mendalam dan tulus secara khusus kepada Bapak Syahril Sofyan, SH, MKn dan Ibu Syafnil Gani SH, MKn masing-masing selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta masukan kepada penulis, dalam penulisan Tesis ini.


(10)

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku ketua Program Studi Magister Kenotariatan dan ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

Secara Khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Suami tercinta yang telah bersusah payah dengan penuh pengorbanan, kesabaran, mengizinkan dan mendukung dengan ketulusan dan kasih sayang serta memberikan doa restu sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(11)

Ucapan terima kasih beriring doa juga penulis persembahkan kepada Ayah, Bunda dan Ananda tercinta yang selalu memberikan dukungan moril, sehingga penulis dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan dan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada Kakanda dan Adinda keluarga besarku, keluarga H. Syeh Nurdin dan teman-teman serta sahabatku tujuh sekawan : Lila Meutia, Netti Sumiati, Adawiyah, Rudi Haposan, Taufik dan Bukhari Muhammad yang selalu mengingatkan pada saat lupa, memberi semangat dan selalu memberikan pemikiran, kritik dan saran, dan membantu penulis dalam proses penulisan tesis baik moril ataupun materil dari awal penulisan hingga selesainya penulisan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Kenotariatan.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 8

1. Kerangka Teori ... 8

2. Konsepsi... 19

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat Penelitian ... 22

2. Jenis Penelitian ... 23

3. Sumber Data ... 23


(13)

5. Analisis Data... 25

BAB II : LATAR BELAKANG PEMBUATAN AKTE JAMINAN FIDUSIA SECARA NOTARIL ... 26

1. Undang-undang Jaminan Fidusia Sebagai Ketentuan yang Mengatur Lembaga Jaminan Fidusia ... 27

A. Pengertian Jaminan Fidusia ... 27

B. Sejarah dan Perkembangan Jaminan Fidusia... 31

C. Ruang Lingkup, Objek dan Subjek Dalam Jaminan Fidusia... 35

2. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kebendaan ... 46

A. Hak Kebendaan Dalam Jaminan Fidusia ... 46

B. Jaminan Fidusia Merupakan hak Atas Benda Bukan Tanah ... 48

3. Pembuatan Akte Jaminan Fidusia Harus Notaril ... 51

BAB III : PENGHAPUSAN/PENCORETAN TERHADAP JAMINAN FIDUSIA... 59

A. Beberapa Asas Hukum Dalam Jaminan Fidusia... 59

B. Hapusnya Hutang Pokok Dalam Jaminan Fidusia... 74


(14)

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN

PENGHAPUSAN/PENCORETAN JAMINAN FIDUSIA... 87

A. Perubahan, Pencoretan atau Penghapusan Daftar Jaminan Fidusia dan Sertifikatnya ... 87

B. Pendaftaran Jaminan Fidusia ... 91

C. Hambatan-hambatan Dalam Pelaksanaan Pencoretan/ Penghapusan Fidusia... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100


(15)

ABSTRAK

Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia dinyatakan bahwa jaminan fidusia harus dibuat dengan akta Notaril dan harus didaftarkan, untuk menjamin kepastian hukum, dengan demikian kreditur akan mendapatkan kedudukan preferent dari kreditur-kreditur lainnya. Dan mempunyai kekuatan exscutorial apabila debitur wanprestasi, selanjutnya ada juga diatur tentang cara pencoretan jaminan fidusia bagi fidusia-fidusia yang sudah terdaftar di lembaga pendaftaran fidusia yang hutangnya telah lunas. Tetapi di Lembaga Pendaftaran Fidusia Propinsi Aceh tidak pernah sekalipun dilakukan pencoretan terhadap fidusia yang sudah terdaftar dan sudah lunas, sehingga sering terjadi pembebanan-pembebanan kembali terhadap satu benda yang masih terdaftar sebagai benda jaminan fidusia. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang apakah yang melatar belakangi pembuatan akta jaminan Fidusia

harus Notaril, mengapa jaminan Fidusia tidak pernah dilakukan

pencoretan/penghapusan, hal-hal apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pencoretan/penghapusan fidusia khususnya pada lembaga pendaftaran fidusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia propinsi Aceh.

Penelitian ini bersifat deskriptif, Analitis, menggunakan pendekatan Normatif dan sosiologis dengan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dengan data sekunder, primer, tertier berupa peraturan Perundang-undangan melakukan wawancara, analisis data yang dilakukan secara kwantatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Pembuatan Akte Jaminan Fidusia harus dibuat secara Notaril guna dapat didaftarkan pada lembaga pendaftaran fidusia untuk

menjamin kepastian hukum sehingga kreditur mendapat kedudukan

diutamakan/preferensi dari kreditur lainnya dan mempunyai kekuatan ekscutorial apabila debitur wanprestasi. Diketahui juga bahwa jaminan fidusia tidak dilakukan pencoretan/penghapusan karena ketidak pedulian para pihak terutama Bank (Penerima Fidusia) yang menurut Undang-undang Fidusia adalah pihak yang wajib memberitahukan tentang pelunasan hutang, karena menganggap bahwa tidak ada kepentingan lagi atas benda jaminan karena hutangnya sudah lunas, sehingga sulit dibuktikan bahwa suatu fidusia sudah lunas atau belum, akibatnya besar sekali kemungkinan terjadi Pembebanan Fidusia kembali terhadap benda-benda yang sama yang masih dalam status dijaminkan secara fidusia sehingga tidak jelas siapa kreditur pertama yang berhak atas jaminan tersebut ditambah lagi dengan jaraknya lembaga pendaftaran Fidusia dari daerah yang selama ini hanya berada di ibukota propinsi,


(16)

demikian juga nasabah selaku pemberi fidusia tidak perduli atas penghapusan/pencoretan tersebut karena menganggap penghapusan/pencoretan tersebut hanyalah tindakan administratif belaka, semuanya itu menjadi hambatan dalam pelaksanaan pencoretan/ penghapusan fidusia khususnya pada lembaga pendaftaran fidusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia Propinsi Aceh.

Disarankan agar para Pihak membuat akta jaminan fidusia secara notaril dan didaftarkan sehingga kreditur mempunyai hak preferent dan mempunyai kekuatan exscutorial apabila debitur wanprestasi. Selanjutnya kepada bank untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu membuat laporan dan mengirimkan bukti pelunasan hutang debitur dan melampirkan sertifikat fidusianya, dan debitur hendaklah turut aktif secara berkala meminta kepada bank untuk menerbitkan bukti pelunasan hutangnya agar dapat memohonkan sendiri pencoretan fidusianya sehingga benda miliknya benar-benar kembali kepemilikan kepadanya..

Hendaklah pemerintah lebih tegas mengatur tentang batas waktu penghapusan/pencoretan jaminan fidusia tersebut dengan mewajibkan kepada penerima fidusia membuat surat kiasa yang isinya memberi kuasa kepada debitur untuk melakukan pencoretan sendiri tentunya dengan mencantumkan/ memperhatikan batas waktu kuasa (tanggal berlakunya surat kuasa tersebut). Kuasa mana sudah dilampirkan bersamaan dengan pendaftaran fidusianya dan hendaklah pada saaat pendaftaran dibuat catatan “sedang dibebani fidusia” pada buku kepemilikan benda fidusia, sehingga siapapun dapat mengetahui suatu benda sedang dibebani fidusia atau tidak dan hendaknya dapat mendirikan pos-pos tempat pendaftaran fidusia di Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota.


(17)

ABSTRACT

In Law No. 42/1999 on fiduciary, it is stated that fiduciary guarantee must be made based on the notarial document. The fiduciary guarantee must be registered to guarantee the legal certainly that the creditor will get a preferential position compared to the other creditors and have an executorial power when the debtor cannot keep his promise. Also a regulation on how to eliminate the fiduciary guarantee for the one which have been registered and have been paid in the fiduciary registration office. But, in the fiduciary registration office of the province of Aceh, the fiduciary which have been registered and paid were never discarded that repayment still occur frequently for the items which are still registered as fiduciary guarantee. Therefore, it is necessary to do a study on why the fiduciary guarantee act must be made by a public notary, why the fiduciary guarantee act must be made by a public notary, why the fiduciary guarantee which have been registered and paid were never discarded, what constraints were faced in the implementation discarding the fiduciary guarantee especially in the fiduciary registration office of the Ministry of Law and Human Rights, the Province Aceh.

This was an analytical and descriptive study using the normative and sociological approach. The primary data were obtained through interview and the secondary and tertiary data for this study in the form of regulation of legislation were obtained through library research. The data obtained through were quantitatively analyzed.

The result of study showed that the act for fiduciary guarantee must be made by a public notary that it can be registered in the fiduciary registration office to obtain a legal certainly that the creditor can get the preferential power compared to the other creditor and have an executorial power when the debtor cannot keep his promise. It was also found that the fiduciary guarantee were not discarded because the fiduciary receivers, especially the banks did not care about it even though according to law on fiduciary, the bank is a party which must let the debtor know about the payment of his debt. Since it was regarded that there was no more interest on the object guaranteed because the debtor has paid his debt that it was difficult to prove whether or not a fiduciary has been paid and who the first creditor responsible to for the guarantee was unclear because it was very far for them to get to the fiduciary registration office which is located in the capital of the province. The consequence was the repayment for the same items of fiduciary guarantee may probably occur because the fiduciary provider did not care whether or not the guarantee was discarded because to them it was only for administration interest. All of these become the constraints in the implementation of discarding the fiduciary guaranteed especially the one registered in the fiduciary registration office of the Ministry of Law and Human Rights, the province of Aceh.

The parties involved are suggested to go the public notary to make the act of fiduciary guarantee and then register it that the creditor can have preferential right


(18)

and executorial power when the debtor cannot keep his promise. The banks are suggested to apply the stipulation in Article 26 of Law on Fiduciary Guarantee such as making a report and sending the proof that the debtor has paid his debt and enclose the certificate of its fiduciary. The debtor should be periodically active to ask the bank to issue the proof that the debtor has finished his debt that he himself can apply for the discarding of his fiduciary that his property really comes back to him as the owner.

The government should be strict on regulating the deadline of discarding the fiduciary guarantee by requiring the fiduciary to make a power of attorney stating that he trust the debtor to discard the fiduciary by himself by putting/paying attention to the deadline of the power attorney. This power of attorney was enclosed when the registration of fiduciary with the written note saying “being responsible to pay for the fiduciary on the book of ownership of the fiduciary item that any one can know whether or not the owner of the item is being responsible to pay the fiduciary. The government is also suggested to establish the posts for the fiduciary. The government is also suggested to establish the posts for the fiduciary registration in the district and cities in the province of Aceh.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Para pelaku ekonomi terus berusaha mendapatkan dana guna memulai, meneruskan dan mengembangkan usahanya. Untuk mendapatkan modal yang cepat dan aman cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan lembaga pembiayaan terutama Bank.

Berhutang terutama pada Bank tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis, hal itu bagi kaum pelaku ekonomi adalah mutlak dalam perputaran usahanya.1 Lembaga perbankkan dalam pendistribusian kredit pada masyarakat, selain diwajibkan oleh undang-undang tentu menerapkan aturan-aturan agar transaksi pinjam-meminjam itu dapat berlangsung dengan baik, dan saling memuaskan semua pihak yang terkait, prinsipnya saling membutuhkan dan aman. Untuk itulah dalam pinjam meminjam ini diterapkan adanya jaminan (collateral) dari pihak yang berhutang (debitur) dan pembuatan akte secara autentik bagi yang berpiutang (kreditur).

1 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan dan Kepailitan, Makalah Pembanding dalam Seminar

Sosialisasi Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan dengan PT. Madiri (Persero), Jakarta : tanggal 9-10 Mei 2000, hal.1.


(20)

Jaminan sangat penting sekali dalam pemberian kredit dan juga merupakan suatu keharusan karena bagi perbankan, setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung resiko,oleh karena itu perlu unsur pengamanan dalam pengembaliannya.Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability)dan keuntungan (portability).2

Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, akan menjadi tekanan phsikologis bagi debitur, sehingga debitur selalu membayar hutangnya sesuai dengan perjanjian antara debitur dengan kreditur, yang mana jika terjadi wanprestasi jaminan yang diberikan oleh debitur, dapat dijadikan perlunasan hutangnya oleh kreditur dengan cara menjual atau dengan cara lain yang dibenarkan oleh undang-undang.

Jaminan adalah suatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk memberikan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.3

Jaminan menurut undang-undang perbankan diberi arti sebagai keyakinan akan itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

2 Muchdaryah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, Jakarta,

Bina Aksara, 1989, hal. 4.

3 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty


(21)

hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan4.

Dari zaman ketika manusia mengenal pinjam-meminjam, sejak itupula manusia sudah mengenal tentang jaminan tetapi terbatas pada jaminan kebendaan yang tetap dan berwujud, yang pada akhirnya dikenal dengan nama gadai, hipotik/hak tanggungan.

Seiring dengan kebutuhan dana yang dihadapi dalam dunia usaha, kenyataannya para pelaku usaha membutuhkan lembaga jaminan tertentu selain lembaga gadai, hipotik, dan hak tanggungan tersebut. Dimana perusahaan-perusahaan kecil, pertokoan, pengecer, rumah makan, memerlukan kredit untuk memperluas usahanya dengan jaminan barang dagangannya, begitu pula pegawai-pegawai kecil, rumah tangga memerlukan kredit untuk keperluan rumah tangga dengan jaminan alat-alat perkakas rumah tangganya dan perusahaan-perusahaan tembakau dan beras memerlukan kredit untuk perluasan usahanya dengan jaminan pergudangan dan pabrik-pabriknya serta usaha-usaha pertanian juga memerlukan kredit untuk meningkatkan hasil pertaniannya dengan jaminan alat-alat pertaniannya.5

Semuanya itu menimbulkan pula kebutuhan akan adanya lembaga jaminan lain selain gadai dan jaminan yang diatur dalam Undang-undang hak tanggungan dibutuhkan pula suatu lembaga jaminan yang memberikan kemungkinan benda bergerak menjadi jaminan tetapi benda tersebut tetap berada dalam tangan dan tetap bisa dipakai untuk usaha sipemberi jaminan. Jaminan inilah yang saat ini dikenal dengan nama Fidusia.

Fidusia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 (selanjutnya disingkat Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum

4 Ari Sukamti Hutagalung, Transaksi Berjamin, Jakarta, Fakultas Hukum UI, 2005, hal 649. 5 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan

Khususnya Fidusia Didalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Bulak Sumur, Yogyakarta, 1977, hal. 74.


(22)

Jaminan, Liberty Yogyakarta, 1984, hal, 50 dengan UUJF) memberikan batasan dan pengertian bahwa fidusia adalah sebagai pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dikatakan berdasarkan kepercayaan, karena benda yang dijadikan jaminan tersebut tetap berada ditangan atau di bawah penguasaan pemilik benda, yaitu pihak berhutang/debitur.

Bahwa sekalipun berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Fidusia, dengan pendaftaran jaminan fidusia, berarti terjadi peralihan kepemilikian benda jaminan fidusia. Sedangkan dalam pasal 26 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa tindakan selanjutnya setelah pelunasan hutang adalah melakukan pencoretan fidusia dari buku daftar fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Yang dengan demikian sertifikat fidusia yang sudah terbit harus dicabut, namun tidak pernah dicabut karena Undang-Undang Jaminan Fidusia sama sekali tidak ada mengatur bahwa sertifikat itu harus dicabut atau dikembalikan meskipun kewajiban melaporkan pencoretan fidusia dibebankan kepada Penerima fidusia.6

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan ditempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada didalam maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi azas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.

6 Hasil Wawancara dengan Taufik, SH, dan Bukhari Muhammad, SH, Notaris Kota


(23)

Ketiga alasan yang menjadi dasar hapusnya jaminan fidusia adalah sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan pelunasannya. Apabila piutang hapus karena hapusnya hutang atau pelepasan hutang maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.7

Selain itu menurut UUJF menegaskan bahwa terhadap benda yang sudah dibebani fidusia, tidak dapat dibebani lagi sebelum dihapus. Sedangkan dalam kenyataannya banyak benda-benda yang sudah dibebani fidusia, sudah didaftar kemudian sudah dilunasi tetapi tidak dilakukan pencoretan, selanjutnya dibebani kembali dengan hutang-hutang berikutnya

Keadaan inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian pada lembaga Pendaftaran Fidusia di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Propinsi Aceh, sebagai lembaga tempat pendaftaran dan penghapusan Fidusia dengan judul tulisan “Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia (Studi Pada Lembaga Pendaftaran Fidusia Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Propinsi Aceh)”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapatlah dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah yang melatar belakangi pembuatan akta jaminan fidusia secara Notaril?

7


(24)

2. Kenapa jaminan fidusia tidak dilakukan penghapusan/Pencoretan fidusia oleh para pihak

3. Apakah hal-hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan/penghapusan Pencoretan Fidusia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang diajukan. Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang pembuatan akta jaminan fidusia dibuat secara Notaril

2. Untuk mengetahui mengapa jaminan fidusia tidak dilakukan penghapusan/ pencoretan.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaan pencoretan jaminan fidusia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan hukum jaminan dan khususnya hukum jaminan Fidusia terutama tentang penghapusan/Pencoretan Jaminan Fidusia serta menambah khasanah perpustakaan.


(25)

2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum tentang hukum jaminan fidusia dan diharapkan penelitian ini juga dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari jaminan fidusia bagi para pihak baik akademis, praktisi hukum, notaris dan pihak-pihak yang terkait.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya dilingkungan perpustakaan Hukum program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia”.

Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang mengangkat tentang jaminan fidusia, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda, yaitu :

1. Tesis atas nama NILA WATI, NIM : 037011059, dengan judul, “Dilema Pemberlakuan Pembatasan Jangka Waktu Pendaftaran Fidusia”.

2. Tesis atas nama TAWIL, NIM : 067011008, dengan judul, “ Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Perjanjian Fidusia”.

3. Tesis atas nama RUMIRIS RAMARITO NAINGGOLAN, NIM : 067011078, dengan judul kajian Yuridis Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada Unit Simpan Pinjam Koperasi”.


(26)

4. Tesis atas nama HENDRI, NIM : 067011040, dengan judul, “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Fidusia Dalam Perjanjian Fidusia yang dibuat di Bawah Tangan”.

5. Tesis atas nama WINSTON, NIM : 067011106, dengan judul, “Aspek-Aspek Hak Perorangan Dan Hak Kebendaan Dalam Jaminan Fidusia”.

6. Tesis atas nama HERU PURNAMA, NIM : 055114072, dengan judul, “Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa Beli Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia”.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.8

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi9 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.10 Menurut Soerjono

8 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal 80. 9 J.J.J.M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal 203. 10 Ibid, hal. 116.


(27)

Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan Ilmu Hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.11

Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai jaminan Fidusia dan Penghapusan Jaminan Fidusia, dan mengenai permasalahan dari Penghapusan itu sendiri.

Adapun teori menurut Maria S.W. Soemarjono, adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut.13

Mengenai Penghapusan Jaminan Fidusia dalam penulisan tesis ini juga menggunakan kerangka teori sebagai pisau analitis yakni pendafataran itu untuk suatu

11 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta : UI Press, 1986, hal. 6.

12 Snelbecker dalam Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja

Rosdakarya, 1993, hal 34-35.

13 Maria S.W. Soemarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta, Gramedia,


(28)

kepastian hukum. Radbruch menyatakan tentang kepastian hukum guna mewujudkan Legal Order sebagai berikut :

“Eksistensi suatu legal order adalah lebih penting daripada keadilan dan kelayakan itu sendiri, yang menetapkan tugas besar kedua dari hukum,

sementara yang pertama sama - sama diakui oleh seluruhnya adalah kepastian hukum yakni ketertiban dan ketentraman”14.

Selanjutnya Radbruch menyatakan bahwa :

“Kepastian hukum tidak hanya mensyaratkan keabsahan peraturan hukum yang dibuat melalui kekuasaan, melainkan juga menuntut pada seluruh isinya, dapat diadministrasikan dengan pasti sehingga dapat dilaksanakan”15

Menurut Award, sistem diartikan sebagai hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur (An Organized Functioning Relationship Among Units Or Components)16, selanjutnya menurut Mariam Darus suatu sistem adalah kumpulan azas-azas yang terpadu, yang merupakan landasan, diatas mana dibangun tertib hukum.17

Sebagaimana perjanjian hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian assesoir (perjanjian buntutan), Maksudnya adalah perjanjian

14 Lihat Radbruch, Legal Philosophy dalam Wilk Kurt, dikutip dalam Endang Purwaningsih

”Perkembangan Hukum Intelectual" Property Right Kajian Hukum Terhadap hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komperatif Hukum Paten, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005, hal. 206.

15

Ibid, hal. 206.

16 Award, Elis M, dalam Ok. Saidin, Aspek Hukum Haki, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa,

2004, hal. 19.

17 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional Bandung :


(29)

assesoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang.18

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.19

Jaminan Fidusia adalah sub system hukum jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan tidak dapat terlepas dari hukum benda karena kaitannya sangat erat, terutama dalam jaminan kebendaan. Didalam literatur jaminan selalu dikaitkan dengan hak kebendaan, karena didalam KUHPerdata jaminan merupakan hak kebendaan dan merupakan bagian dari hukum benda yang diatur dalam Buku II KUH Perdata. Apabila melihat sistematika KUHPerdata, maka akan terlihat seolah-olah jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, karena pengaturan jaminan kebendaan tersebut terdapat dalam Buku II tentang Benda, sedangkan perjanjian jaminan perorangan (Persoonlijke Zekerheidsrechten, personal guaranty) seperti perjanjian penangguhan (Bortoght) di dalam KUH Perdata merupakan suatu jenis perjanjian yang diatur dalam Buku III tentang perikatan.20

18

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung Citra Aditya Bakti 2005, hal. 19.

19 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1976, hal. 1.

20 Djuhaenan Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain, Bandung


(30)

Dalam keanekaragaman bidang hukum yang mengatur mengenai hukum benda terdapat beberapa azas umum yang melandasinya. Azas umum dalam KUHPerdata antara lain:21

1. Asas tertutup, dengan ini dimaksudkan bahwa tidak dapat dibuat hak kebendaan baru selain yang telah disebut secara limitatif dalam undang-undang. Azas ini dimaksudkan agar ada kepastian hukum dalam hak kebendaan.

2. Asas absolute, bahwa hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap siapapun, setiap orang harus menghormati hak tersebut.

3. Asas dapat diserahkan, bahwa pemilikan benda mengandung wewenang untuk menyerahkan bendanya.

4. Asas mengikuti (Droit de suite), bahwa hak kebendaan akan mengikuti bendanya di tangan siapapun berada.

5. Asas publisitas, bahwa pendaftaran benda merupakan kepemilikan

6. Asas individual, bahwa objek hak kebendaan hanya terhadap benda yang dapat ditentukan.

7. Asas totalitas, bahwa hak milik hanya dapat diletakkan terhadap benda secara totalitas atau secara keseluruhan dan tidak dapat pada bagian-bagian benda. 8. Asas pelekatan (asesi), yaitu azas yang melekatkan benda pelengkap pada benda

pokoknya.

21


(31)

9. Asas besit merupakan title sempurna, azas ini berlaku bagi benda bergerak dan terdapat dalam pasal 1977 KUHPerdata. Azas ini hanya berlaku bagi benda bergerak tidak atas nama ataupun tidak terdaftar.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menyebutkan azas-azas umum itu sebagai berikut :22

1. Asas pemaksa, berarti berlakunya ketentuan hukum benda merupakan hukum pemaksa, jadi tidak dapat disampingi.

2. Asas dapat dipindahkan, kecuali hak pakai dan hak mendiami hak benda dapat dipindahkan.

3. Asas individual, objek hak kebendaan selalu benda tertentu, artinya orang hanya dapat menjadi milik dari barang berwujud yang merupakan kesatuan

4. Asas totalitas, hak kebendaan selalu terletak pada keseluruhan objek.

5. Asas tidak dapat dipisahkan, yang berhak tidak dapat memindah tangankan sebagian wewenangnya termasuk hak kebendaan yang ada padanya.

6. Asas prioritas, semua hak kebendaan memberi wewenang yang sejenis dengan wewenang-wewenang dari egeindom meskipun luasnya berbeda.

7. Asas percampuran, hak kebendaan yang terbatas hanya mungkin terhadap benda milik orang lain, tidak dapat seseorang untuk kepentingannya memperoleh hak gadai atas barang miliknya sendiri.

22


(32)

8. Perlakuan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak adalah berlainan. Aturan mengenai pemindahan, pembebanan, bezit dan verjaring

9. Asas publisitas, mengenai benda tidak bergerak pembebanannya dan penyerahannya harus dengan pendaftaran di dalam register umum.

10. Sifat perjanjian zakelijk, yaitu perjanjian untuk mengadakan benda hak kebendaan.

Pengertian hukum jaminan sendiri tidak dapat ditemukan dalam peraturan yang ada namun untuk menemukan rumusan hukum jaminan harus menelaahnya dari arti dan fungsi jaminan itu sendiri. Oleh karena tidak dapat menemukan rumusan tentang arti hukum jaminan di dalam literatur, maka hukum jaminan kiranya dirumuskan sebagai berikut :

“Perangkat hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi”.23

Dalam rumusan ini tercakup pengertian jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (jaminan pihak ketiga). Satrio juga memberikan rumusan tentang hukum jaminan yaitu :

“Peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan – jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur.”24

23 Djuhaendah hasan, Op.Cit, hal. 231. 24


(33)

Jadi hukum jaminan mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Mariam darus juga mengemukakan pengertian jaminan adalah :

“Suatu tanggungan yang dibebankan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan”25.

Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditur guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat assesoir dari perjanjian pokok (Perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitur dan kreditur.

Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.26 Jelas bahwa jaminan berfungsi untuk memberikan perlindungan bagi kreditur yang meminjamkan uangnya, perlindungan yang dimaksud adalah adanya kepastian hukum dan rasa aman bagi kreditur bahwa uang yang dipinjamkannya akan dilunasi oleh debitur, apabila ternyata tidak dilunasi oleh debitur, maka kreditur dapat menjual barang jaminan tersebut sebagai upaya pelunasan hutang.

Dalam Pasal 1 butir 1 UUJF telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

25 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit 26


(34)

dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilk benda”.

Sedangkan pengertian jaminan fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir 2 adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Pada prinsipnya, system hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Karakter kebendaan pada jaminan Fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa jaminan Fidusia memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para pemakainya.27

Jaminan Fidusia juga menganut azas droit de suite, yaitu jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda

27


(35)

tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan fidusia.

Sebagai hak kebendaan, Jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (Droit de Preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak tersebut tidak hapus walaupun terjadi kepailitan pada debitur. Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan. Pengakuan hak separatis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang Fidusia.28

Beberapa prinsip utama dalam Jaminan fidusia yakni :

a. Pemegang fidusia berfungsi sebagai jaminan bukan sebagai pemilik sebenarnya b. Pemegang Fidusia berhak mengeksekusi barang jaminan jika ada wanprestasi dari

debitur,

c. Objek jaminan fidusia wajib dikembalikan kepada pemberi fidusia jika hutang sudah dilunasi,

d. Jika hasil eksekusi barang fidusia melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pemberi Fidusia.29

Pemberi fidusia dilakukan dengan Constitutum Possessorium yang artinya penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali.

Dengan demikian dari apa yang telah disampaikan diatas maka Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yakni perjanjian piutang dan hal ini disebutkan didalam Pasal 4 UUJF yaitu: ”Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para

28 Ibid, hal. 29.

29


(36)

pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Perjanjian yang dapat menimbulkan hutang piutang dapat berupa perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lainnya.

Berkaitan dengan azas dari Jaminan Fidusia tersebut bahwa objek Jaminan Fidusia mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji.

Obyek yang terdapat didalam jaminan fidusia meliputi : a. Benda dapat dimiliki dan dapat dialihkan

b. Benda berwujud dan tidak berwujud,

c. Benda bergerak dan tidak bergerak (yang dapat diikat dengan hak Tanggungan, hipotik ),

d. Benda yang sudah ada maupun benda yang akan ada, e. Benda persediaan(Stok barang dagangan)30

Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, maka semua benda milik debitur, bergerak atau tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Akan tetapi, Pihak kreditor umumnya tidak puas dengan jaminan umum berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut, dengan alasan sebagai berikut :

1. Benda tidak khusus.

Dalam hal ini didalam Pasal 1131 KUH Perdata tidak menunjuk terhadap suatu barang khusus tertentu, tetapi menunjuk terhadap semua barang milik debitur 2. Benda tidak diblokir

Jika dibuat jaminan hutang khusus, maka dapat ditentukan bahwa benda tersebut tidak dapat dialihkan kecuali izin pihak kreditur.

30


(37)

3. Jaminan tidak mengikuti benda

Apabila benda obyek jaminan hutang dialihkan kepada pihak lain oleh debitor, maka hak kreditur tetap melekat pada benda tersebut, terlepas ditangan siapapun benda tersebut berada.

4. Tidak ada kedudukan preferensi dari Kreditur.

Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan atas Pasal 1131 KUHPerdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus oleh hukum diberikan hak preferensi, artinya krediturnya diberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) pembayaran hutangnya yan diambil dari hasil penjualan benda jaminan hutang.31

Untuk memberikan kepastian hukum Pasal 11 UUJF mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Pendaftaran memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia, selain itu Pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan perwujudan dari azas publisitas dan kepastian hukum.32

Hak kebendaan dari jaminan Fidusia baru lahir sejak dilakukannya pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya Sertifkat Jaminan Fidusia.

Pendaftaran Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaril, Pendaftaran fidusia yang tidak dibuat dengan akta notaril maka aktanya tidak dapat didaftarkan. Secara

31 Ibid, hal. 138.

32


(38)

teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan hukum (Formalitas Causa) dan sebagai alat bukti (Probationis Causa).33

Dengan demikian akta yang dibuat di bawah tangan akan mengakibatkan jaminan fidusia ini tidak dapat didaftarkan karena akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih bisa dipungkiri. Akta di bawah tangan juga tidak mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum.

Jaminan Fdusia bersifat hak kebendaan, itu dibuktikan dengan adanya kewajiban untuk mendaftarkan fidusianya, dan memiliki hak di dahului atas benda-benda tertentu.Jaminan itu hanya menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertenu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap kekayaan debitur seumumnya.

Pendaftaran dilakukan setelah akta Jaminan Fidusia telah ditandatangani oleh para pihak pada Kantor Pendaftaran Fidusia ditempat kedudukan pihak pemberi fidusia. Terhadap objek jaminan Fidusia yang berada diluar wilayah Indonesia, Pendaftarannya tetap dilakukan dimana kedudukan pemberi fidusia. Untuk selanjutnya dilakukan penghapusannya ditempat mana fidusia itu didaftarkan.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi

33


(39)

dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.34

Konsep berasal dari bahasa latin, Conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.35

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari suatu istilah yang dipakai untuk ditemukannya suatu kebenaran dengan substansi yang diperlukan.36

Maka dalam penelitian ini disusun beberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

- Jaminan adalah suatu hak atas suatu benda debitur yang hak kepemilikannya dipegang oleh kreditur sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, untuk kepastian akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.

- Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, yang mana hak kepemilikannya dipegang oleh kreditur, sedangkan bendanya masih dikuasai debitur.

- Benda Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar

34 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal

3.

35 Qomaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,

Jakarta Bumi Aksara, 2000, hal 122.

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Universitas Airlangga, Cetakan I, 2005, hal.


(40)

maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak, yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotik.

- Benda terdaftar adalah benda yang didaftarkan kepada instansi tertentu yang memiliki dengan bukti tertentu bisa berupa sertifikat ataupun tanda bukti lain. - Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan atau

karena ditentukan undang-undang.

- Benda tidak bergerak adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindakan atau karena peruntukannya atau karena ditentukan undang-undang. - Benda bukan tanah adalah benda selain tanah baik yang sifatnya bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, baik terdaftar ataupun tidak.

- Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk mata uang rupiah.

- Piutang adalah hak yang dimiliki oleh kreditur untuk menerima pembayaran atas pelunasan hutang debitur.

- Pemberi Jaminan Fidusia adalah orang atau badan usaha baik berbadan hukum atau tidak yang memiki benda yang akan dijadikan sebagai benda jaminan dalam perjanjian jaminan Fidusia.

- Penerima Jaminan Fidusia adalah perorangan, Bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang untuk sebagai pelunasan hutang pemberi


(41)

fidusia kepada penerima fidusia yang mana pembayarannya dijamin dengan benda jaminan fidusia dan harta kekayaan lainnya dari pemberi jaminan fidusia

- Akta jaminan fidusia adalah akta notaris yang berisikan pemberian jaminan fidusia kepada kreditur tertentu sebagai jaminan pelunasan piutangnya.

- Jaminan kebendaan adalah merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan objek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji. - Pendaftaran jaminan fidusia adalah Pendaftaran jaminan fidusia yang

dilakukan dikantor pendaftaran fidusia ditempat kedudukan pemberi fidusia. - Kantor Pendaftaran fidusia adalah merupakan bagian dalam lingkungan

Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia dan bukan merupakan institusi yang mandiri. Kantor pendaftaran fidusia untuk pertama kali didirikan di Jakarta dan secara bertahap, sesuai kebutuhan didirikan di ibukota Propinsi di seluruh wilayah Republik Indonesia.

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskripsi analitis maksudnya adalah penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah menjelaskan serta menganalisa permasalahan dalam pendaftaran jaminan fidusia, yang dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang kemudian dilakukan analisis.


(42)

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan pendekatan dan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.37

Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.38

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian hukum ini dilakukan pendekatan normatif (yang berkaitan dengan sinkronisasi hukum) dan sosiologis (yang berkaitan dengan efektifitas hukum).39 Digabungkannya pendekatan normatif (legal resereach) dan empiris atau sosiologis secara sekaligus dimaksudkan untuk lebih mendapatkan hasil penelitian yang lebih memadai, sebab dengan cara ini akan diperoleh data baik dari segi prakteknya maupun teori ilmiahnya.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan. Dari penelitian kepustakaan dikumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari :

37 M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal 13. 38 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 43.

39 Bambang Sunggono; Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Grafindo Persada, Jakarta,


(43)

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yakni norma (dasar), peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perjanjian, jaminan kebendaan, jaminan fidusia dan tata cara pendaftaran fidusia. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain: tukisan atau pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan perjanjian, hukum perjanjian, dan fidusia

3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yng memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder.

4. Teknik dan alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data penelitian ini diperoleh dengan alat pengumpulan data yang dilakukan dengan mengumpulkan cara yaitu : a. Studi kepustakaan (Library research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

b. Wawancara

Pedoman wawancara dengan nara sumber yang hanya berperan sebagai informan.Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah


(44)

disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai pendukung penelitian hukum normatif dalam penyusunan tesis ini.

5. Analisis Data

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif yaitu yang dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa yang kemudian dikaitkan dengan data lainnya.40

Adapun sumber data yang berupa hokum yang diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel dimaksud diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis. Data primer dan data sekunder yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kuantatif dengan logika deduktif yakni berfikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan yang diidentifikasi.

40 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1999,


(45)

BAB II

LATAR BELAKANG PEMBUATAN AKTE JAMINAN FIDUSIA SECARA NOTARIL

1. Undang-Undang Jaminan Fidusia Sebagai Ketentuan Yang Mengatur Lembaga Jaminan Fidusia

A. Pengertian Jaminan Fidusia

Sebagai suatu lembaga jaminan, pengertian fidusia telah ditemukan dan dikenal dalam masyarakat hukum Romawi dengan nama fidusia cum creditore contracta, yaitu janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor di mana diperjanjikan debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditornya sebagai jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan atas suatu benda tersebut kepada debitor bilamana utangnya sudah dilunasi.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia membedakan definisi fidusia dengan jaminan fidusia. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan ”fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Kemudian Pasal 1 butir 2 menyebutkan, ”jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam


(46)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”.

Rumusan yang membedakan pengertian fidusia dengan jaminan fidusia menimbulkan anggapan bahwa Undang-U ndang Nomor 42 Tahun 1999 telah memberikan nama baru bagi lembaga hak jaminan yang semula dikenal sebagai fidusia, yaitu jaminan fidusia.41 Rupanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 membedakan antara fidusia sebagai suatu perbuatan hukum pengalihan hak kepemilikan atas dasar kepercayaan dengan fidusia sebagai suatu lembaga jaminan. Akan tetapi pembedaan ini masih dapat dipertanyakan konsistensinya jika melihat ternyata Undang-Undang ini menyebut pemberi fidusia terhadap pihak yang memberi jaminan fidusia dan penerima fidusia terhadap kreditor selaku pihak yang menerima jaminan fidusia.42 Apalagi jika kemudian kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yang berbunyi, ”setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila kreditor cedera janji, batal demi hukum.”

Sehingga berkaitan dengan hal di atas Bachtiar Sibarani mengatakan :

ternyata pemakaian istilah dan pengertian fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak berguna sama sekali. Artinya sekiranya istilah dan arti fidusia dihilangkan maka pengikatan dan eksekusi pengikatan barang bergerak yang dalam penguasaan pemiliknya tidak terpengaruh. Oleh karena itu sesuai dengan materi yang diatur didalamnya, maka judul yang cocok

41 Arie Sukanti Hutagalung, Op.Cit, hal. 728. 42


(47)

untuk Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah tentang Hak Tanggungan Atas Barang Bergerak. Kalau mau judul itu dapat ditambah dengan perkataan ”di luar gadai” atau ”Yang dikuasai oleh pemilik”.43

Unsur yang terkadung dalam rumusan jaminan fidusia sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahuun 1999 adalah :

a. Hak jaminan; b. Benda bergerak; c. Benda

d. Tidak bergerak, khususnya bangunan;

e. Tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan; f. Sebagai agunan;

g. Untuk pelunasan utang; h. Kedudukan yang diutamakan.

Unsur hak jaminan dalam jaminan fidusia adalah hak yang memberikan kepada kreditor suatu kedudukan yang lebih baik dari kreditor lain yang tidak memperjanjikan hak jaminan, baik hak jaminan kebendaan maupun jaminan hak pribadi. Hak jaminan yang demikian ini biasa disebut dengan hak preferen atau dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia disebut dengan hak yang diutamakan (Pasal 1 sub 2) dan hak yang didahulukan (Pasal 27).

43


(48)

Hak preferen dalam jaminan fidusia ternyata dapat dikritisi jika kita hubungkan dengan konstruksi hukum cinstitutum possesorium yang melekat pada fidusia. Dalam konstruksi hukum ini terjadi peralihan kepemilikan benda agunan kepada kreditor walaupun secara fisik benda tersebut tetap dikuasi pemberi (jaminan) fidusia. Adalah hal yang wajar jika dalam konstruksi hukum yang demikian pihak kreditor yang selaku penerima fidusia menerima uang hasil penjualan benda agunan yang sebenarnya sudah dimiliki. Sehingga dalam hal ini hak preferen tidaklah menjadi masalah.44

Tiga unsur berikutnya dalam rumusan jaminan fidusia adalah benda bergerak, benda tidak bergerak khususnya bangunan dan unsur tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Ketiga unsur ini adalah benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia, termasuk di dalamnya adalah piutang.

Selanjutnya adalah unsur sebagai agunan. Unsur ini berhubungan dengan unsur hak jaminan. Yang ditekankan dalam unsur ini adalah walaupun terjadi penyerahan hak kepemilikan atas benda yang menjadi agunan akan tetapi hanyalah dimaksudkan sebagai jaminan atas pelunasan utang debitor kepada kreditor. Dalam konteks prefensi, unsur ini memberikan kepada pihak kreditor yang secara khusus menerima benda agunan suatu kedudukan yang lebih baik dibanding kreditor lain yang tidak memperjanjikan hak jaminan.

44


(49)

Sedangkan unsur berikut yaitu unsur untuk pelunasan suatu utang memberi penekanan bahwa perjanjian pemberian jaminan fidusia bersifat assecoir, perjanjian pemberian jaminan dapat dibuat jika terdapat perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.

Unsur terakhir yaitu kedudukan yang diutamakan. Unsur ini menekankan bahwa kreditor preferen mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada kreditor konkuren.

B. Sejarah dan Perkembangan Jaminan Fidusia

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, di Indonesia saat ini dikenal bentuk hak jaminan, yaitu :45

- Hak tanggungan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT);

- Hipotik, diatur dalam Pasal 314 KUH Dagang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Pelayaran beserta PP Nomor 23 Tahun 1985 bagi Hipotik Kapal dan dalam Pasal 12 UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan bagi Hipotik Pesawat;

- Gadai (Pand), diatur dalam Pasal 1150-1160 KUH Perdata;

- Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; dan

45


(50)

- Jaminan pribadi (Borgtocht/Personal Guarantee) yang diatur dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata. Khusus pada jenis jaminan ini penulis dapat tambahkan bahwa yang dimaksud adalah jenis jaminan penangguhan secara umum sehingga jaminan perusahaan (corporate guarantee) termasuk pada jenis jaminan ini.

Sebagai suatu hak jaminan kebendaan, jaminan fidusia yang saat ini pengaturannya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan praktis masyarakat. Jika terhadap benda-benda bergerak sepenuhnya dipergunakan lembaga jaminan kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata yaitu gadai yang mensyaratkan kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai, maka tentunya hal ini akan menimbulkan hambatan pada debitor/pemberi jaminan yang menjalankan kegiatan usaha tertentu di mana penguasaan benda yang menjadi agunan justru diperlukan dalam kegiatan usahanya.

Kebutuhan praktis dalam masyarakat terjawab oleh konstruksi penyerahan jaminan kebendaan yang dinamakan constitutum possesorium, yaitu suatu bentuk penyerahan jaminan kebendaan atas barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi jaminan/debitor kepada kreditor di mana penguasaan fisik atas barang itu tetap pada debitor/pemberi jaminan, dengan ketentuan bahwa jika debitor melunasi utangnya sesuai yang diperjanjian, maka kreditor berkewajiban untuk hak milik atas barang agunan kepada debitor/pemberi jaminan. Konstruksi constitutum possesorium inilah yang melandasi berkembangnya lembaga jaminan fidusia.


(51)

Perkembangan pada zaman Romawi, didahului pengenalan terhadap asal kata fides yang mengandung arti kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa pihak yang menerima fidusia bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah terjadi pelunasan utang. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pihak pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang agunan yang tetap dikuasai oleh pemberi fidusia.

Ketika itu pada masyarakat Romawi dikenal dua bentuk jaminan fidusia. Yang pertama adalah apa yang disebut fidusia cum creditore dan yang kedua adalah apa yang disebut dengan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari suatu bentuk perjanjian yang disebut factum fiduciae yang mengharuskan adanya penyerahan hak atau disebut in iure cessio. Pada bentuk fidusia yang pertama kewenangan yang dimiliki oleh kreditor akan lebih besar karena dianggap sebagai pemilik atas benda agunan yang diserahkan. Sebaliknya debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan atas penyerahan hak milik benda agunan tadi. Sedangkan bentuk fidusia yang kedua atau dikenal dengan fidusia cum amico contracta adalah suatu bentuk fidusia yang sama dengan lembaga trust pada sistem hukum cammon law. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan ke luar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada temannya dengan janji bahwa temannya tersebut


(52)

akan mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya kembali dari perjalanan.46

Kelemahan bentuk fidusia cum creditore adalah tidak adanya perlindungan yang didapat oleh pihak debitor. Pihak debitor hanya memperoleh kekuatan yang diperoleh berdasarkan kepercayaan dan moral belaka.47 Kelemahan tersebut yang menyebabkan fidusia terdesak dan akhirnya hilang sama sekali dari hukum Romawi.

Di negara Belanda keberadaan lembaga jaminan fidusia awalnya mendapat tantangan yang keras dari yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata. Tidak memenuhi syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan.48 Tetapi kemudian melalui Bierbrouwerij Arrest tertanggal 25 Januari 1929, Hoge Raad telah mengakui lembaga jaminan ini.

Walaupun lembaga jaminan fidusia ini tumbuh dari kebutuhan praktis masyarakat, akan tetapi pertimbangan yang diberikan oleh Hoge Raad pada waktu itu lebih menitikberatkan segi hukumnya daripada segi kemasyarakatannya.49 Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan lembaga jaminan ini dikemudian hari.

Di Indonesia lembaga jaminan fidusia pertama kali memperoleh pengakuan melalui Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara antara

46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Cetakan ke-3, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2003, hal. 121.

47 Ibid, hal, 120.

48 H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Cetakan I, Jakarta : PT.

Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.

49 Ibid.


(53)

Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melawan Clignet. Arrest ini memutuskan bahwa walaupun lembaga jaminan kebendaan benda bergerak dalam KUH Perdata adalah berupa gadai akan tetapi tidak tertutup kemungkinan para pihak mengadakan perjanjian lain bilamana dirasakan perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur hubungan hukum pengikatan jaminan kebendaan diantara mereka.

Perjanjian fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak dimaksudkan sebagai perjanjian gadai sehingga menurut Hoggerechtshof, karena fidusia bukan perjanjian gadai maka tidak perlu memenuhi unsur-unsur gadai.50 Lahirnya arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan yang mendesak dari pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk pengembangan usahanya tanpa perlu alat-alat produksi ataupun benda persediaan diserahkan kepada pihak kreditor dikarenakan diperlukan dalam menjalankan kegiatan usahanya.

C. Ruang Lingkup, Objek, dan Subjek Dalam Jaminan Fidusia

Ruang lingkup jaminan fidusia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia yang menegaskan bahwa, “Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia.” Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa, “Undang-undang ini tidak berlaku terhadap: a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda

50


(54)

tersebut wajib didaftar, b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih, c. Hipotek atas pesawat terbang, dan d. Gadai.”

Membicarakan ruang lingkup jaminan fidusia sebagaimana ketentuan Pasal 2 di atas berarti membicarakan benda yang dapat dibebani jaminan fidusia. Pengertian benda seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 1 butir 4 adalah, “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yan berwujud maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.”

Jika kita memperhatikan ketentuan Pasal 9 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia, ditegaskan bahwa, ”jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.” Ketentuan Pasal ini menegaskan bahwa selain benda sebagaimana ditentukan Pasal 1 butir 4, yang dapat menjadi objek jaminan fidusia adalah termasuk piutang. Jadi seseorang yang mempunyai hak untuk menerima pembayaran dari orang lain, dapat mengagunkan haknya tersebut sebagai pelunasan atas perikatan utang piutang (perjanjian kredit) yang dibuatnya dengan pihak kreditor. Hal ini yang membuat lembaga jaminan fidusia dapat menggantikan FEO dan cessie jaminan atas piutang-piutang (zekerheidscessie van schuldvorderingen, fiduciary assignment of receivables) yang dalam praktek pemberian kredit banyak digunakan.


(1)

sehingga jauh dari Daerah Tingkat II karenanya membutuhkan waktu dan biaya.

- Penerima fidusia (bank) tidak pernah mengirimkan surat pemberitahuan penghapusan/pencoretan kepada Kantor Lembaga Pendaftaran Fidusia Propinsi Aceh, sehingga debitur/pemilik barang tidak dapat memohonkan penghapusan fidusianya.

B. Saran

1. Untuk keamanan dirinya sebagai kreditur Bank hendaklah membuat akte secara notaril, sehingga memposisikan Bank sebagai kreditur yang preferen dan jika debitur wanprestasi dapat dilakukan segera eksekusinya dan bank sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Jaminan Fidusia hendaklah membuat laporan dan mengirimkan bukti pelunasan hutang debitur dan melampirkan Sertifikat fidusianya.

2. Debitur hendaklah turut aktif secara berkala meminta kepada bank untuk menerbitkan bukti pelunasan hutangnya beserta lampiran-lampirannya terutama sertifikat fidusianya agar dapat memohonkan sendiri penghapusan / pencoretan fidusianya sehingga benda miliknya benar-benar kembali kepemilikan kepadanya. 3. Hendaklah pemerintah lebih tegas mengatur tentang batas waktu penghapusan/pencoretan jaminan fidusia tersebut dengan mewajibkan kepada Penerima Fidusia membuat surat kuasa tersendiri yang isinya memberi Kuasa kepada debitur untuk melakukan pencoretan sendiri tentunya dengan


(2)

mencantumkan / memperhatikan batas waktu kuasa ( tanggal berlakunya Surat Kuasa tersebut ). Kuasa mana sudah dilampirkan bersamaan dengan pendaftaran fidusianya. dan hendaklah pada saat pendaftaran dibuat catatan “sedang dibebani fidusia” pada buku kepemilikan benda fidusia, sehingga siapapun dapat mengetahui suatu benda sedang dibebani fidusia atau tidak, dan hendaklah dapat mendirikan pos-pos tempat pendaftaran fidusia di Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. PERPUSTAKAAN

Ari Sukamti Hutagalung, Transaksi Berjamin, Jakarta, Fakultas Hukum UI, 2005. Award, Elis M, dalam Ok. Saidin, “Aspek Hukum Haki”, Jakarta : Raja Grafindo

Perkasa, 2004.

Bambang Sunggono; Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Djuhaenan Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain, Bandung Citra Aditya Bakti.

Fred G. Tambunan, Mencermati Pokok-pokok UU Fidusia Jakarta, tanggal 26-27 November 1999.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Cetakan ke-3, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Cetakan I, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty Yogyakarta, 1984.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42, LN No. 168 Tahun 1999.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Cipta Aditya Bakti Bandung, Cetakan V, 2007.

J.J.J.M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.


(4)

Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1999.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, Cetakan 20, Jakarta : Pradnya Paramita, 1995, Pasal 584.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1870 dan Sutarno, Aspek-aspek Hukum

Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta, 2003.

Kohar A. Notaris dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983. M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998.

M. Solly Lubis, “Filsafat Ilmu dan Penelitian”, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Maria S.W. Soemarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta, Gramedia, 1989.

Mariam Darus Badrulzaman, “Mencari Sistem Hukum Benda Nasional”, Bandung : Alumni, 1983.

Muchdaryah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, Jakarta, Bina Aksara, 1989.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung Citra Aditya Bakti 2005.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Universitas Airlangga, Cetakan I, 2005. Purwaningsih ”Perkembangan Hukum Intelectual" Property Right Kajian Hukum

Terhadap hak Atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komperatif Hukum Paten, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005.

R. Subekti,” Hukum Perjanjian”, Jakarta : Intermasa, 1976.

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2004.


(5)

Sofwan, Sri Soedewi Masjhoeh, Hukum Perdata Hukum Benda, Yogyakarta : Liberty, 2000.

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan

Fidusia Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1997.

Snelbecker dalam Lexy J Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993.

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta : UI Press, 1986.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Didalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Bulak Sumur, Yogyakarta, 1977. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Benda”, Yogyakarta : Liberty, 1981. Sudikno Mertukusumo,”Hukum Acara Perdata, Yogyakarta Liberty, 1982. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan dan Kepailitan, Makalah Pembanding dalam

Seminar Sosialisasi Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan dengan PT. Madiri (Persero), Jakarta : tanggal 9-10 Mei 2000.

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Alumni, Bandung, 2006.

Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, LN. No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632, Penjelasan Umum angka 4.

Qomaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta Bumi Aksara, 2000.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000.


(6)

Undang-Undang Fidusia No. 42 Tahun 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Hak Tanggungan Republik Indonesia Tahun 1996.

C. JURNAL

Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cetakan II, Jakarta : Balai Pustaka, 2002.

Hasil Wawancara dengan Kepala Kantor Pendaftaran Fidusia Provinsi Aceh, pada tanggal 25 Mei 2010.

Kata “baru” untuk membedakan dengan hukum benda yang lama buatan kolonial dan hukum tanah adapt yang masih terikat pada sifat kedaerahan.