Distribusi dan Pola Pertumbuhan Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara
43
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
44
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
45
Lampiran 2. Alat Tangkap Pukat Cincin Mini yang Digunakan dalam Sampling
Udang Putih
Universitas Sumatera Utara
46
Lampiran 3. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
Universitas Sumatera Utara
47
Lampiran 3. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian. Lanjutan
Universitas Sumatera Utara
48
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Universitas Sumatera Utara
49
Lampiran 5. Tabulasi Data Parameter Fisik Kimia Perairan di Tiap Stasiun
Sampling ke 1
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan Arus
Salinitas
(°C)
(m)
(cm)
(m/det)
(‰)
pH
DO
BOD5
(mg/l)
(mg/l)
1.1
30,00
4,03
56,00
0,17
31,00
7,10
4,45
0,60
1.2
30,20
4,23
42,00
0,16
31,00
7,10
4,45
0,60
2.1
30,00
1,53
30,00
0,07
30,00
6,30
4,00
0,65
2.2
30,00
1,56
31,00
0,09
30,00
6,30
4,00
0,65
3.1
30,00
3,41
94,00
0,10
29,00
5,90
3,85
0,80
3.2
31,00
3,33
90,00
0,12
29,00
5,90
3,85
0,80
pH
DO
BOD5
(mg/l)
(mg/l)
Sampling ke 2
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan Arus
Salinitas
(°C)
(m)
(cm)
(m/det)
(‰)
1.1
29,00
2,89
91,00
0,09
29,00
6,95
4,40
0,70
1.2
29,00
2,75
90,00
0,09
29,00
6,95
4,45
0,60
2.1
30,00
1,97
75,00
0,17
28,00
7,00
3,90
0,75
2.2
30,00
2,00
80,00
0,17
28,00
7,00
4,10
0,55
3.1
30,00
5,24
80,00
0,05
30,00
7,10
3,90
0,70
3.2
30,00
5,81
90,00
0,05
30,00
7,10
3,85
0,78
Universitas Sumatera Utara
50
Lampiran 6. Hasil Analisis Laboratorium Fraksi Substrat pada Tiap Stasiun
Setelah di dapatkan nilai dari liat, pasir dan debu sesuai dengan
perhitungan sebelumnnya selanjutnya tekstur substrat dianalisis berdasarkan
perbandingan pasir, liat dan debu pada Segitiga USDA.
Stasiun
1
2
3
Pasir
57,84
51,84
69,84
Fraksi Substrat (%)
Debu
20,56
24,56
14,56
Liat
21,60
23,60
15,60
Universitas Sumatera Utara
51
Lampiran 7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun
Sampling ke 1
No
Stasiun
1
Panjang (cm)
2
Berat (g)
Panjang (cm)
3
Berat (g)
Panjang (cm)
Berat (g)
1
4,7
0,6
3,5
0,6
3,2
0,6
2
5,2
0,7
4,7
0,6
3,7
0,6
3
5,3
0,8
4,8
0,7
3,8
0,6
4
5,5
1,0
4,9
0,7
4,0
0,6
5
5,7
1,0
5,0
0,8
4,2
0,6
6
5,7
1,1
5,0
0,8
4,5
0,6
7
5,7
1,1
5,0
0,9
5,1
0,9
8
5,7
1,1
5,0
0,9
5,5
1,1
9
5,8
1,1
5,1
0,9
6,0
1,4
10
5,9
1,2
5,1
0,9
8,9
4,0
11
5,9
1,2
5,1
1,0
9,5
5,0
12
6,0
1,3
5,4
1,0
11,7
8,4
13
6,1
1,3
5,5
1,0
0
0
14
6,1
1,5
5,5
1,0
0
0
15
6,1
1,5
5,5
1,1
0
0
16
6,2
1,6
5,6
1,1
0
0
17
6,2
1,6
5,6
1,1
0
0
18
6,4
1,6
5,6
1,1
0
0
19
6,4
1,6
5,7
1,2
0
0
20
6,6
1,6
5,7
1,2
0
0
21
6,6
1,6
5,8
1,2
0
0
22
6,7
1,7
5,8
1,2
0
0
23
6,7
1,7
5,9
1,2
0
0
24
6,7
1,7
6,0
1,2
0
0
25
6,8
1,7
6,0
1,2
0
0
26
6,8
1,7
6,0
1,2
0
0
27
6,9
1,8
6,1
1,2
0
0
28
6,9
1,9
6,1
1,3
0
0
29
6,9
2,0
6,1
1,3
0
0
30
6,9
2,0
6,1
1,3
0
0
31
7,0
2,1
6,2
1,4
0
0
32
7,0
2,1
6,2
1,4
0
0
33
7,1
2,1
6,2
1,5
0
0
34
7,2
2,2
6,2
1,5
0
0
35
7,2
2,3
6,3
1,5
0
0
36
7,2
2,5
6,4
1,5
0
0
37
7,3
2,5
6,4
1,5
0
0
38
7,5
2,8
6,4
1,5
0
0
Universitas Sumatera Utara
52
Lampiran7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun. Lanjutan
No
Stasiun
1
Panjang (cm)
2
Berat (g)
3
Panjang (cm)
Berat (g)Panjang (cm)
Berat (g)
39
7,7
2,8
6,5
1,5
0
0
40
7,8
3,1
6,5
1,6
0
0
41
8,0
3,6
6,5
1,6
0
0
42
8,2
4,1
6,5
1,6
0
0
43
8,8
4,8
6,5
1,6
0
0
44
9,1
4,9
6,6
1,7
0
0
45
9,4
5,7
6,7
1,7
0
0
46
9,9
5,9
6,7
1,8
0
0
47
10,4
6,4
6,8
1,8
0
0
48
10,8
7,2
6,8
1,8
0
0
49
12,3
11,0
6,8
1,8
0
0
50
0
0
6,8
1,8
0
0
51
0
0
6,8
1,9
0
0
52
0
0
6,9
2,0
0
0
53
0
0
6,9
2,0
0
0
54
0
0
6,9
2,1
0
0
55
0
0
6,9
2,2
0
0
56
0
0
7,0
2,2
0
0
57
0
0
7,1
2,2
0
0
58
0
0
7,1
2,2
0
0
59
0
0
7,1
2,3
0
0
60
0
0
7,2
2,3
0
0
61
0
0
7,2
2,3
0
0
62
0
0
7,2
2,5
0
0
63
0
0
7,3
2,5
0
0
64
0
0
7,5
2,5
0
0
65
0
0
7,5
2,7
0
0
66
0
0
7,6
2,8
0
0
67
0
0
7,6
3,0
0
0
68
0
0
7,7
3,0
0
0
69
0
0
7,9
3,5
0
0
70
0
0
8,0
3,6
0
0
71
72
0
0
0
0
8,5
8,5
3,7
4,7
0
0
0
0
73
74
0
0
0
0
8,6
8,8
4,7
4,9
0
0
0
0
75
0
0
9,0
5,1
0
0
Universitas Sumatera Utara
53
Lampiran7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun. Lanjutan
76
77
0
0
0
0
9,4
9,6
5,9
6,3
0
0
0
0
78
79
0
0
0
0
10,1
12,6
11,0
11,3
0
0
0
0
80
0
0
13,7
18,8
0
0
Sampling ke 2
No
Stasiun
1
2
Panjang (cm)
1
Berat (g)
10,5
14
Panjang (cm)
3
Berat (g)
12,5
24
Panjang (cm)
6,8
Berat (g)
4
2
9,2
18
10
12
8,6
8
3
10,3
16
9,5
8
7,6
4
4
8,8
14
10,9
14
6,2
1
5
10,8
4
10,4
12
5,2
1
6
10,9
2
9,2
6
5,9
1
7
10,2
2
0
0
0
0
8
10,8
12
0
0
0
0
9
6,8
8
0
0
0
0
10
7,3
18
0
0
0
0
11
67
1,5
0
0
0
0
12
5,6
1,5
0
0
0
0
13
5
1,5
0
0
0
0
14
7,9
6
0
0
0
0
15
6,2
4
0
0
0
0
16
6,4
2,1
0
0
0
0
17
6,1
1,9
0
0
0
0
18
6
8
0
0
0
0
19
6,2
1,2
0
0
0
0
20
5,2
2,8
0
0
0
0
Universitas Sumatera Utara
54
Lampiran 8. Contoh Perhitungan Faktor Kondisi (Stasiun 3)
L
3,2
W
0,6
Log L
0,5051
Log W
log a
a
b
aLb
-0,2218
1,7190
FK = W/aLb
0,0191
2,4916
0,3464
1,7319
4,0
0,6
0,6021
-0,2218
0,6041
0,9933
3,7
0,6
0,5682
-0,2218
0,4974
1,2062
5,1
0,9
0,7076
-0,0458
1,1066
0,8133
8,9
4,0
0,9494
0,6021
4,4309
0,9028
3,8
0,6
0,5798
-0,2218
0,5316
1,1287
0,8796
4,2
0,6
0,6232
-0,2218
0,6821
6,0
1,4
0,7782
0,1461
1,6589
0,8439
5,5
1,1
0,7404
0,0414
1,3356
0,8236
11,7
8,4
1,0682
0,9243
8,7596
0,9590
9,5
5,0
0,9777
0,6990
5,2130
0,9591
4,5
0,6
0,6532
-0,2218
0,8101
0,7407
6,8
4,0
0,8325
0,6021
2,2661
1,7652
8,6
8,0
0,9345
0,9031
4,0681
1,9665
7,6
4,0
0,8808
0,6021
2,9897
1,3379
6,2
1,0
0,7924
0,0000
1,8002
0,5555
5,2
1,0
0,7160
0,0000
1,1614
0,8610
5,9
1,0
0,7709
0,0000
1,5909
0,6286
FK rata-rata
1,0609
Universitas Sumatera Utara
55
Lampiran 9. Hasil Tangkapan Udang Putih Yang Didapat
Universitas Sumatera Utara
56
Lampiran 10.
Sampel Air
Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
Larutan Sampel Berwarna Coklat
Sampel Berwarna
Kuning Pucat
Sampel Berwarna
Biru
Sampel Bening
Hasil
Universitas Sumatera Utara
39
DAFTAR PUSTAKA
Allen P.C, LW Botsford, AM Schuur, WE Johnston. 1984. Bioeconomics of
Aquaculture. Elsevier. Amsterdam.
American Public Healt Association. 1979. Standart Methods for the Examination
of Water and Wastewater. New York.
Anggoro S. 1992. Efek Osmotik Berbagai Tingkat Salinitas Media Terhadap Daya
Tetas Telur dan Vitalitas Larva Udang Windu Penaeus monodon F
(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Deli Serdang.
2008. Rencana Strategis Kawasan Pesisir Pantai Kabupaten Deli Serdang.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press, Medan.
Bengen D.G. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/ Multidimensi.
Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Bittner A and M Ahmad. 1989. Budidaya Air. Seri Studi Pertanian. Kerjasama
Jerman dan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Brower J, J Zard, dan C.N.V Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Third edition. W.M.C Brown Publishers. United States of
America.
Chan T.Y. 1998. Shrimps and prawns. Di dalam: Carpenter K.E, Niem V.H. Eds.
The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Vol. 2.
Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks. Food and Agriculture
Organization of the United Nations Rome.
Dall W, B.J Hill, P.C Rothlisberg, D.J Sharples. 1990. The Biology of the
Penaedae. di dalam: Blaxer JHS, Southward AJ. Eds): Marine Biology 27.
Academic Press, London.
Ediwarman, 2010. Pengaruh Tepung Ikan
Lokal
Dalam Ikan Induk
Terhadap Pematangan Gonad dan Kualitas Telur Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus Blkr). IPB,
Bogor.Effendie MI. 1997. Biologi
Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta
Effendie M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta
Fachrul M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
40
Fast A. W, dan L. J Lester. 1992. Pond Monitoring and Management Marine
Shrimp Culture Principle and Practise. Elsevier Science Publisher
Amsterdam. Netherlands.
Ferraris R. P, P Estepa, J. M Ladja, E.G.D Jesus. 1987. Osmotic and Chloride
Regulation in the Hemolymph of Tiger Prawn. Penaeus monodon During
Molting in Various Salinities. Marine Biology 95: 377-385.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2005. Penaeus monodon. Culture
Aquatic Species Information Programme. Tanggal browsing: 15 April 2015.
Gonawi, G.R. 2009. Habitat dan Struktur Komunitas
Chideung Bogor , Jawa Barat. IPB, Bogor.
Nekton di Sungai
Hartnoll R.G. 1982. Growth. in Bliss DE. Editor. The Biology of Crustacea. Vol.
2. Embryology, Morphology and Genetics. Academic Press. A Subsidiary of
Harcourt Brace Jovanovich Publisher. New York.
Hutagalung H.P, D Setiapermana, S.H Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Lingkungan Hidup. No. 02/ Men KLH/1998.
Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kepmen LH). 2004. Baku Mutu
Air Laut untuk Biota Laut. No. 51. Jakarta.
Mulfizar, Z.A. Muchlisin dan I. Dewiyanti. 2012. Hubungan Panjang Berat dan
Faktor Kondisi Tiga Jenis Ikan yang Tertangkap di Perairan Kuala Gigieng,
Aceh Besar, Provinsi Aceh. Jurnal Depik. 1 (1):1 - 9.
Mulya M.B, D.G Bengen, R.F Kaswadji, R. Etty 2011. Distribusi dan Pola
Pertumbuhan Udang Putih Penaeus merguinensis de Man di Ekosistem
Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Jurnal Omni Akuatika 1 (13):
49-56.
Mulya M.B. 2012. Kajian Bioekologi Udang Putih Penaeus merguinensis de Man
di Perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Disertasi.
(tidak dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Myers P, T Dewey, R Espinosa, G Hammond, T Jones. 2008. The Animal
Diversity. University of Michigan Museum of Zoology
Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de
Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak
Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Universitas Sumatera Utara
41
Newell G.E and R.C Newell. 1977. Marine Plankton. A Practical guide 5th edition.
Hutchinson of London.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Panjaitan, E.F. 2004. Pengaruh Suhu Air yang Berbeda Terhadap Laju
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Botia
macracanthus) Bleeker. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen
Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Peter J.C, dan J. D. Kerr 2003. Maturation and spawning of the banana prawn
Penaeus merguiensis de Man (Crustacea: Penaeidae) in the Gulf of
Carpentaria, Australia. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology (69): 37-59.
Pratiwi R. 2002. Aspek Biologi Udang Ekonomis Penting. Jurnal Oseana.32 (2):
15–24
Pramonowibowo, A. Hartoko, A. Ghofar . 2007. Density of Banana Shrimp
(Penaeus merguiensis de Man) in Semarang Territory Waters. Jurnal Pasir
Laut 2 (2) : 18-29.
Salmin, 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oseana. 30. 21 – 26.
Saputra S.W. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans de
Man) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solis N.B. 1998. Biology and Culture of Penaeus Monodon. Brackswater
Aquaculture Information System. Aquaculture Departement. Southst Asian
Fisheries. Development Center. Philippines.
Sparre P and S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Sumeru S.U, dan S. Anna . 2010. Persyaratan Biologis dan Kebiasaan Udang
Windu. Glitter Text. Tanggal browsing 14 Maret 2016.
Supriadi I.H. 2001. Dinamika Estuaria Tropik. Jurnal Oseana. 16 (4) : 1-11.
Tomas C.R. 1997. Identifying Marine Phytoplankton. Academic Press. California.
USA.
Universitas Sumatera Utara
42
Tung H,S.Y. Lee, C.P Keenan, G Marsden. 2002. Effect of Temperature on
Spawning of Penaeus merguiensis. Journal of Thermal Biology 27: 433–437
Universitas Sumatera Utara
16
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel udang putih dilakukan pada bulan Mei – Juni 2015 di
perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara, sedangkan
analisis udang putih yang didapatkan dan fraksi substrat, dilakukan di
Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Ditentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan
(pertambakan dan perkebunan).
Deskripsi Area
Stasiun 1
Stasiun ini berada di Paluh Tabuan bagian hulu dengan lebar estuari
30-35 m. Stasiun ini letaknya berdekatan dengan areal pertambakan milik
masyarakat. Secara geografis stasiun ini terletak pada kordinat 3052’682’’ LU dan
98038’25’’ BT (Gambar 4).
Gambar 4. Stasiun Penelitian 1
Universitas Sumatera Utara
17
Stasiun 2
Stasiun ini berada di Paluh Tabuan bagian hilir dengan lebar estuari
20-25 m. Stasiun ini letakna berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit. Secara
geografis terletak pada kordinat 3052’154’’ LU dan 98038’334’’ BT (Gambar 5).
Gambar 5. Stasiun Penelitian 2
Stasiun 3
Stasiun ini berada di Paluh Semai dengan lebar estuari berkisar
40 m - 50 m. Stasiun ini merupakan daerah mangrove alami. Secara geografis
terletak pada kordinat 3054’009’’ LU dan 98039’367’’ BT (Gambar 6).
Gambar 6. Stasiun Penelitian 3
Universitas Sumatera Utara
18
Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pukat cincin mini,
refraktometer, termometer Hg, pH meter, sechi disk, timbangan analitik, tali
penduga, cool box, jangka sorong, Global Positioning System (GPS), mikroskop
binokuler dan meteran gulung.
Bahan yang digunakan adalah alkohol 96%, batu es, dan wadah sampel.
Parameter yang diukur, alat/bahan, dan tempat pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Parameter yang diukur, alat/bahan, dan tempat pengukuran
Parameter
I. FISIKA KIMIA AIR
Suhu perairan (ºC)
Kecerahan air (cm)
Kedalaman air (m)
Fraksi substrat (%)
Oksigen terlarut (mg/l)
BOD5 (mg/l)
Salinitas air (‰)
pH air
II. UDANG PUTIH
Kelimpahan, distribusi pola
pertumbuhan, faktor kondisi.
Alat/ Bahan yang digunakan
Tempat pengukuran
termometer Hg
sechi disk
tali penduga
oven, sieve shaker
botol Winkler, alat titrasi,
NaOHKI, MnSO4, Amilum,
Natrium TioSulfat (Titrimetri
Winkler)
Refraktometer
pH meter
di lapangan
di lapangan
di lapangan
di laboratorium
di lapangan
di laboratorium
di lapangan
di lapangan
Pukat cincin mini, alkohol 96% di lapangan
(dihitung jumlah individu, dan di laboratorium
diukur panjang karapas dan
berat tubuh udang, dianalisis.
Pengukuran Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika-kimia air yang mencakup suhu air,
kedalaman air, kecerahan air, kecepatan arus, pH air, oksigen terlarut, dan
salinitas air dilakukan langsung di lapangan pada tiap stasiun dengan tiga kali
pengulangan sebelum pengambilan sampel udang putih. Khusus untuk BOD5 dan
fraksi substrat pengukuran dilakukan di laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
19
Pengambilan Sampel Udang Putih
Pengambilan sampel udang putih dilakukan di perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan
(pertambakan dan perkebunan), menggunakan pukat cincin mini yang terbuat dari
bahan nilon polifilamen. Pukat cincin mini yang digunakan memiliki panjang
10 m, dengan diameter bukaan mulut 3 m.
Pengambilan sampel udang putih dilakukan setiap 21 hari sekali mulai jam
08.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB pada saat pasang dengan cara menarik
pukat cincin mini menggunakan perahu motor 10 GT (mengikuti kebiasaan
nelayan setempat). Pada setiap sampling hanya dilakukan satu kali penarikan
pukat cincin mini sepanjang 10 m di setiap stasiun, sehingga kemungkinan
kerusakan ekosistem di lokasi penelitian dapat diminimalisir.
Udang putih yang didapat di tiap stasiun dihitung jumlah individunya,
diukur panjang karapas dan berat tubuh udang, selanjutnya dilakukan analisis
yang meliputi kelimpahan individu, distribusi, pola pertumbuhan, dan faktor
kondisi.
Analisis Data
Kelimpahan Udang Putih
Kelimpahan udang putih dianalisis menggunakan persamaan menurut
Brower et al. (1990) sebagai berikut:
∑ ni
n
N=
i =1
A
dengan : N = kelimpahan udang putih (ind/m2)
∑ni = jumlah individu udang putih
A = luas bukaan mulut pukat cincin mini (7,065 m2)
Universitas Sumatera Utara
20
Distribusi Udang Putih
Distribusi udang putih dianalisis berdasarkan Indeks distribusi Morista
(Bengen, 1998) dengan persamaan sebagai berikut:
n 2
∑ xi − N i
i =1
Id = n
N i ( N i − 1)
dengan:
Id
n
Ni
Σxi2
= Indeks distribusi Morista
= banyaknya plot (pukat cincin mini yang digunakan)
= jumlah total individu
= jumlah kuadrat individu
Kriteria distribusi udang putih dapat dikelompokkan atas tiga kelompok
berdasarkan
nilai
Indeks
distribusi
Morista.
Distribusi
suatu
populasi
dikategorikan acak jika memiliki nilai Indeks distribusi (Id) = 1,00. Distribusi
suatu populasi dikategorikan normal jika memiliki nilai Indeks distribusi (Id) = 0,
dan distribusi suatu populasi dikategorikan berkelompok jika memiliki nilai
Indeks distribusi (Id) ≠ 1 atau Id ≠ 0.
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan udang putih dinalisis dengan melihat hubungan panjang
berat melalui analisis regresi linier (Sparre dan Venema, 1999).
W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L
dengan : W = bobot basah (g)
L = lebar karapas
a dan b = konstanta
Universitas Sumatera Utara
21
Faktor Kondisi Udang Putih
Keadaan yang menyatakan kemontokan udang putih dengan angka
dinamakan faktor kondisi atau ponderal indeks. Analisis faktor kondisi dilakukan
menggunakan persamaam menurut Lagler (1961) dalam Saputra (2005) sebagai
berikut.
K=
W
aLb
dengan:
W = berat udang putih (g)
L = panjang karapas udang putih (cm)
a dan b = konstanta
Universitas Sumatera Utara
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika kimia air dilakukan sebelum pengambilan
sampel udang. Parameter fisika kimia air yang diukur meliputi suhu air,
kedalaman air, kecerahan air, kecepatan arus, salinitas, pH air, DO, dan BOD5
Hasil pengukuran parameter fisika kimia air di tiap stasiun dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Nilai Parameter Fisika Kimia Air pada Tiap Stasiun
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan
Salinitas
Air (°C)
Air (m)
Air (cm)
pH
DO
BOD5
Arus (m/det)
Air (‰)
Air
(mg/l)
(mg/l)
1
30,10
4,13
49,00
0,17
31,00
7,10
4,45
0,60
2
30,00
1,55
30,50
0,08
30,00
6,30
4,00
0,65
3
30,50
3,37
92,00
0,11
29,00
5,90
3,85
0,80
Keterangan :
Stasiun 1 : Berdekatan dengan pertambakan (3052’682’’LU dan 980 38’25” BT)
Stasiun 2 : Berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit (30 52’154”LU dan 980 38’ 334”BT)
Stasiun 3 : Daerah mangrove alami ( 30 54’ 009”LU dan 980 39’ 367”BT)
Suhu Air
Hasil pengukuran suhu air pada tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 30,00°C-30,50°C (Tabel 2). Suhu air tertinggi dijumpai pada
stasiun 3 sebesar 30,50°C, diikuti oleh staiun 1 sebesar 30,10°C, dan terendah
pada stasiun 2 sebesar 30,00°C.
Kedalaman Air
Hasil pengukuran kedalaman air di tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 1,55 m – 4,13 m (Tabel 2). Kedalaman air tertinggi dijumpai
Universitas Sumatera Utara
23
pada stasiun 1 sebesar 4,13 m, diikuti oleh stasiun 3 sebesar 3,37 m, dan
terendah pada stasiun 2 sebesar 1,55 m.
Kecerahan air
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Hasil
pengukuran terhadap kecerahan air menunjukkan nilai yang berkisar antara
30,50 cm – 92,00 cm (Tabel 2). Kecerahan air tertinggi dijumpai pada stasiun 3
sebesar 92 cm, diikuti oleh stasiun 1 sebesar 49,00 cm, dan terendah pada stasiun
2 sebesar 30,50 cm.
Kecepatan Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus di tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 0,08 m/detik – 0,17 m/detik (Tabel 2). Nilai kecepatan arus
tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 0,17 m/detik, diikuti oleh stasiun 3
sebesar 0,11 m/detik, dan terendah pada stasiun 2 sebesar 0,08 m/detik.
Salinitas Air
Hasil pengukuran salinitas air mendapatkan nilai berkisar antara 29,00‰ –
31,00‰ (Tabel 2). Nilai salinitas air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar
31,00‰, diikuti oleh stasiun 2 sebesar 30,00‰, dan terendah pada stasiun 3
sebesar 29,00‰.
Universitas Sumatera Utara
24
pH Air
Hasil pengukuran pH air mendapatkan nilai yang berkisar antara
5,90 – 7,10 (Tabel 2). Nilai pH air tertinggi dijumpai pada stasiun 1sebesar 7,10,
diikuti oleh stasiun 2 sebesar 6,30, dan terendah pada stasiun 3 sebesar 5,90.
Kandungan Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada tiap stasiun
mendapatkan nilai berkisar antara 3,85 mg/l - 4.45 mg/l (Tabel 2). Nilai
kandungan oksigen terlarut tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 4,,45 mg/l,
diikuti oleh stasiun 2 sebesar 4,00 mg/l, dan terndah pada stasiun 3 sebesar
3,85 mg/l.
Bichemical oxygen demand (BOD)
Hasil pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD5) pada tiap stasiun
mendapatkan nilai berkisar antara 0,60 mg/l - 0,80 mg/l (Tabel 2). Nilai BOD5
tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 0,80 mg/l, diikuti oleh stasiun 2 sebesar
0,65 mg/l, dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,60 mg/l.
Fraksi Substrat
Hasil analisis fraksi substrat perairan pada tiap stasiun mendapatkan nilai
yang bervariasi (Gambar 7). Hasil analisis menunjukkan fraksi pasir mendominasi
pada tiap stasiun dengan nilai masing-masing sebesar 57,84% (stasiun 1), 51,84%
(stasiun 2), dan 69,84%.
Universitas Sumatera Utara
25
Gambar 7. Nilai Fraksi Substrat (%) pada Tiap Stasiun
Kelimpahan Udang Putih
Hasil penelitian mendapatkan kelimpahan udang putih memiliki nilai yang
bervariasi pada tiap stasiun, seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kelimpahan Udang Putih (ind/m2) pada Tiap Stasiun
Hasil peneitian mendapatkan bahwa nilai kelimpahan udang putih tertinggi
dijumpai di stasiun 2 dengan nilai kelimpahan sebesar 12,17 ind/m2, diikuti oleh
stasiun 1 dengan nilai kelimpahan sebesar 9,76 indm2, dan kelimpahan terendah
dijumpai pada stasiun 3 sebesar 2,55 ind/m2.
Universitas Sumatera Utara
26
Distribusi Udang Putih
Data kelimpahan udang putih yang didapat, selanjutnya dilakukan analisis
distribusi udang putih pada tiap stasiun menggunakan analisis Indeks distribusi
Morista, seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks Distribusi Udang Putih pada Tiap Stasiun
Stasiun
Jumlah individu
Id
1
69
2,0
2
86
2,0
3
18
2,0
Pola Pertumbuhan Udang Putih
Pola pertumbuhan udang putih diukur melalui analisis hubungan panjang
berat udang putih yang didapatkan di setiap stasiun menggunakan analisis regresi
linear. Hubungan panjang berat yang dianalisis adalah hubungan panjang berat
utuh atau panjang berat keseluruhan individu udang putih dimana bagian
tubuhnya masih utuh. Sampel udang yang digunakan pada tiap stasiun masingmasing sebanyak 69 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 4,7 cm 12,3 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 11,0 g (stasiun 1), 86 ekor dengan ukuran
panjang karapas berkisar antara 3,5 cm - 13,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g –
15,8 g (stasiun 2), dan 18 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara
3,2 cm - 11,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 9,0 g (stasiun 3) (Lampiran 7).
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih dapat dilihat pada Gambar 9.
Universitas Sumatera Utara
27
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 9. Hubungan Panjang Berat Udang Putih pada Tiap Stasiun
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih pada tiap stasiun
memperlihatkan bahwa hasil hubungan panjang berat udang putih pada stasiun 1
memiliki persamaan: Log W = 0,005 + 3,044 log L atau dalam bentuk
eksponensialnya adalah: W = 0,005L3,044 dengan nilai koefisien korelasi
(R) = 0,976. Stasiun 2 memiliki persamaan Log W = 0,004 + 3,139 log L atau
dalam bentuk eksponensialnya adalah: W = 0,004L3,139 dengan nilai koefisien
korelasi (R) = 0,959., dan Stasiun 3 memiliki persamaan Log W = 0,021 + 2,394
log L atau dalam bentuk eksponensialnya adalah: W = 0,021L2,394 dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
28
koefisien korelasi (R) = 0,939. Nilai b menggambarkan pola pertumbuhan udang
putih, sedangkan keeratan hubungan antara panjang karapas udang putih dan
bobot tubuhnya dapat diketahui melalui nilai koefisien korelasi (R), sehingga
melalui persamaan tersebut dapat ditentukan apakah individu dari populasi udang
putih pada kawasan ini dapat diduga bobot tubuhnya melalui ukuran panjang
karapasnya.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil pengukuran faktor kondisi udang putih pada tiap stasiun
menunjukkan nilai yang berkisar antara 1,0057 – 1,0244, seperti terlihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Faktor Kondisi Udang Putih pada Tiap Stasiun.
Stasiun
FK
1
2
3
1,0057
1,0142
1,0244
Universitas Sumatera Utara
29
Pembahasan
Parameter Fisik Kimia Air
Suhu Air
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam perairan dan berperan
penting dalam proses metabolisme udang putih. Hasil penelitian mendapatkan
suhu air tertinggi dijumpai pada stasiun 3 (Tabel 2). Tingginya suhu air pada
stasiun 3 diduga disebabkan adanya perbedaan waktu pengukuran. Pengukuran
suhu air di stasiun 3 dilakukan menjelang tengah hari (sekitar pukul 11.00 WIB),
sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air juga sedikit lebih
tinggi dibanding stasiun lainnya, yang berpengaruh terhadap kondisi suhu
perairannya. Officer (1976) dalam Azis (2007) menyatakan suhu perairan
dipengaruhi oleh tingginya penyinaran matahari yang masuk ke kolom air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu di perairan estuari Suaka
Margsatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi untuk mendukung
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan penyataan Naamin (1984) yang
menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada suhu 10,00°C-36,00°C.
Panjaitan (2004) menyatakan peningkatan suhu perairan dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi yang akan mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Selanjutnya Tung dkk (2002) menyatakan suhu
air di bawah 20,00°C akan menghambat pertumbuhan udang putih
Kedalaman Air
Hasil penelitian mendapatkan bahwa stasiun 2 memiliki kedalaman
yang lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Rendahnya kedalaman air pada
Universitas Sumatera Utara
30
stasiun 2 disebabkan stasiun ini merupakan daerah yang berada di areal
perkebunan kelapa sawit. Pada stasiun ini masih dijumpai adanya penggunaan
alat berat (belko) untuk kegiatan penanaman sawit, sehingga kemungkinan
masuknya guguran tanah perkebunan ke kolom air diduga sebagai salah satu
penyebab lebih dangkalnya perairan di stasiun ini.
Kecerahan Air
Kecerahan air pada tiap stasiun menunjukkan nilai yang berkisar antara
30,50 cm – 92,00 cm. Kondisi ini menggambarkan perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading relatif keruh.
Hal ini sesuai dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004) tentang baku mutu air laut
untuk biota laut, yang menyatakan bahwa nilai baku mutu untuk kecerahan air laut
adalah > 3 m. Bila kecerahan air < 3 m maka perairan tersebut dapat
dikategorikan keruh. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung kehidupan
udang putih.
Kecepatan Arus
Hasil penelitian mendapatkan kecepatan arus tertinggi dijumpai pada
stasiun 1 sebesar 0,17 m.detik (Tabel 2). Tingginya kecepatan arus pada stasiun 1
disebabkan kondisi
topografi
sungai
yang sedikit
membelok sehingga
menyebabkan arusnya lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Barus (2004)
yang menyatakan pada alur sungai yang membelok kecepatan arus paling tinggi
akan dijumpai pada bagian luar pinggir sungai.
Universitas Sumatera Utara
31
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan
estuari Suaka Margastwa Karang Gading tergolong relatif tenang dan sangat baik
bagi kehidupan udang putih. Dall et al., (1990) menyatakan arus yang cukup
tenang sangat disukai oleh udang putih. Bila kecepatan arus lemah, udang putih
banyak melakukan aktifitas mencari makan untuk pertumbuhannya, sedangkan
bila kecepatan arus cukup kuat, udang putih akan membenamkan diri di dalam
substrat.
Salinitas Air
Salinitas air berperan dalam mempengaruhi proses osmoregulasi udang
putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai salinitas air di perairan estuari Suaka
Margasatwa Keang Gading masih dalam kisaran toleransi untuk mendukung
kehidupan udang putih. Boyd dan Fast (1992) menyatakan udang dapat hidup dan
tumbuh dengan baik pada perairan dengan kisaran salinitas antara 15‰ - 30‰.
Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan udang
menurun.
pH Air
Derajat keasaman atau pH berperan dalam mendukung pertumbuhan
udang. Hasil penelitian mendapatkan stasiun 3 memiliki nilai pH yang rendah
(5,90). Rendahnya nilai pH air pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini memiliki
salinitas cukup rendah, sehingga kondisi perairannya sedikit lebih asam dibanding
stasiun lainnya. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai pH air
pada tiap stasiun masih dalam kisaran toleransi untuk mendukung kehidupan
Universitas Sumatera Utara
32
udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumeru dan Anna (2010) yang
menyatakan pH air optimal untuk pertumbuhan udang putih berkisar antara 5,90 –
8,00. Nilai pH air yang terlalu rendah dapat menyebabkan kandungan CaCO3
pada kulit udang akan berkurang, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat,
permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan.
DO (Disolved Oxygen)
Disolved oxygen atau kandungan oksigen terlarut dalam perairan
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun
anorganik sehingga dapat membantu mengurangi beban pencemaran pada
perairan secara alami (Salmin, 2005). Hasil penelitian mendapatkan bahwa stasiun
3 memiliki niai kandungan oksigen terlarut lebih rendah dibanding stasiun lainnya
(Tabel 2). Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun 3 disebabkan
stasiun ini memiliki suhu perairan yang cukup tinggi dibanding stasiun lainnya.
Tingginya suhu perairan pada stasiun ini dapat menyebabkan rendahnya
kandungan oksigen terlarut. Boyd (1990) menyatakan kelarutan oksigen perairan
akan mengalami penurunan jika suhu perairan tinggi. Hal ini disebabkan biota
perairan akan lebih aktif bergerak, sehingga memerlukan lebih banyak oksigen
dalam perairan. Peningkatan suhu perairan sebesar 10○C akan menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali
lipat.
Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai oksigen terlarut di
perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi
Universitas Sumatera Utara
33
untuk kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 2 (1988) tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan yang menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang
diperbolehkan untuk badan air golongan C (perikanan) adalah lebih besar dari
3 mg/l. Boyd (1995) juga menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada
perairan yang memiliki kandungan oksigen minimal sebesar 3,00 mg/l.
BOD (Biochemical Oxygen Demand )
Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan senyawa
organik. Hasil penelitian mendapatkan nilai BOD tertinggi dijumpai pada stasiun
3 (0,80 mg/l). Tingginya nilai BOD pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini
merupakan perairan yang berdekatan dengan areal perkebunan kelapa sawit,
sehingga kemungkinan masuknya senyawa organik dari hasil pemupukan organik
ke badan perairan cukup tinggi. Hutagalung (1997) menyatakan tingginya nilai
BOD dalam suatu perairan mengindikasikan banyaknya senyawa organik yang
terdapat di perairan.
Fraksi Substrat
Kelimpahan dan distribusi biota perairan termasuk udang putih
dipengaruhi oleh fraksi substrat (Peter, 2002). Hasil analisis fraksi substrat
menggambarkan substrat dasar perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
didominasi oleh substrat pasir. Substrat pasir sangat disenangi oleh udang putih
untuk mendukung kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Penn (1975)
Universitas Sumatera Utara
34
dalam Naamin (1984) yang menyatakan udang putih lebih menyukai perairan
dengan substrat berpasir.
Kelimpahan Udang Putih
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelimpahan udang putih
tertinggi dijumpai pada stasiun 2, dan kelimpahan terendah dijumpai pada stasiun
3 (Gambar 11). Kelimpahan udang putih yang tinggi pada stasiun 2 disebabkan
kondisi lingkungan perairan di stasiun ini cukup mendukung kehidupan udang
putih. Stasiun 2 memiliki kecepatan arus yang relatif lebih tenang (0,08 m/detik)
dibanding stasiun lainnya. Perairan yang relatif tenang sangat baik untuk
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dall et al. (1990) yang
menyatakan arus yang cukup tenang sangat disukai oleh udang putih, terutama
dalam hal mencari makan untuk mendukung pertumbuhannya.
Stasiun 2 juga memiliki nilai kecerahan air yang cikup rendah (30,50 cm)
dibanding stasiun lainnya. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramonowibowo (2007)
yang menyatakan perairan yang relatif keruh merupakan salah satu penyebab
banyaknya dijumpai populasi udang putih di suatu perairan, karena dapat
menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di
perairan tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran, yang akhirnya dapat
meningkatkan tingkatan hidup juvenil udang putih.
Universitas Sumatera Utara
35
Distribusi Udang Putih
Hasil analisis distribusi udang putih menggunakan indeks distribusi
Morista mendapatkan nilai Id > 3, yang menggambarkan distribusi udang putih
pada tiap stasiun tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok. Pola distribusi
berkelompok merupakan pola yang paling umum dijumpai dalam populasi di
alam, disebabkan udang putih cenderung mencari habitat yang sesuai untuk dapat
mendukung kehidupannya (Odum, 1998).
Karakteristik lingkungan pada setiap stasiun sangat mendukung kehidupan
udang putih. Suhu perairan di lokasi penelitian yang berkisar antara 30,00°C 30,50°C merupakan salah satu faktor yang mendukung kehidupan udang putih.
Fast dan Lester (1992) menyatakan udang putih umumnya menyukai perairan
yang memiliki suhu air berkisar antara 28,00°C-31,00°C. Salinitas perairan di
lokasi penelitian yang berkisar antara 29‰-31‰ juga berperan terhadap pola
distribusi udang putih. Mulya (2012) menyatakan jika salinitas di perairan cukup
tinggi (>31‰) maka udang putih tidak akan beruaya ke laut dalam untuk
memijah. Kandungan oksigen terlarut yang sesuai pada tiap stasiun juga
mendukung kehidupan udang putih di perairan estuari Suaka margasatwa Karang
Gading. Anggoro (1992) menyatakan laju respirasi udang putih mengikuti
ketersediaan oksigen terlarut di perairan. Pada salinitas rendah dengan kelarutan
oksigen tinggi, laju respirasi udang akan meningkat, sehingga udang putih
termasuk ke dalam organisme respiratory conformer.
Universitas Sumatera Utara
36
Pola Pertmbuhan Udang Putih
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih yang didapatkan,
terlihat bahwa pertumbuhan udang putih pada stasiun 1 dan stasiun 2 bersifat
allometrik positif dengan nilai b > 3. Pada stasiun 3 terlihat terdapat perbedaan
nilai b, dimana nilai b yang didapatkan adalah lebih kecil dari 3 atau b < 3
(Gambar 9), sehingga dapat dikatakan pertumbuhan udang putih pada stasiun 3
bersifat allometrik negatif. Berdasarkan nilai b yang didapatkan pada tiap stasiun
dapat dikatakan bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 pertambahan berat udang
putih lebih cepat dari pertambahan panjang karapasnya, sedangkan pada stasiun 3
pertambahan panjang karapas udang putih lebih cepat dari pertambahan beratnya.
Effendie (1997) menyatakan bila nilai b = 3, maka pertumbuhan dikatakan
isometrik atau pertambahan panjang karapas sama dengan pertambahan berat
tubuhnya, sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3, pertumbuhan
dikatakan allometrik atau pertambahan panjang karapas tidak sama dengan
pertambahan beratnya. Pendapat yang sama diutarakan oleh Setyadi (2015) yang
menyatakan pertumbuhan dikatakan sebagai pertumbuhan alometrik positif bila
nilai b > 3, yang menggambarkan bahwa pertambahan berat lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan panjang, sedangkan pertumbuhan dinyatakan
sebagai pertumbuhan alometrik negatif apabila nilai b < 3, yang menggambarkan
bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat.
Hasil penelitian mendapatkan udang putih pada stasiun 1 dan 2 terlihat lebih
banyak berukuran sedikit lebih besar/gemuk dibanding stasiun 3 (Lampiran 7).
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor misalnya kondisi lingkungan dan
perbedaan letak geografis lokasi penangkapan. Jennings, dkk. (2001) dalam
Universitas Sumatera Utara
37
Mulfizar, dkk. (2012) juga menyatakan secara umum, nilai b tergantung pada
kondisi lingkungan seperti suhu, pH, salinitas dan letak geografis. Nilai salinitas
air yang didapatkan pada stasiun 3 terlihat lebih rendah dari stasiun 1 dan 2 (Tabel
2). Nilai salinitas air pada stasiun 3 adalah sebesar 29‰, sedangkan pada stasiun 1
dan 2 masing-masing sebesar 31‰ dan 30‰. Fast dan Lester (1992) menyatakan
udang putih berukuran kecil umumnya lebih banyak hidup pada salinitas yang
berkisar antara 25,00‰ – 29,00‰.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil analisis terhadap faktor kondisi udang putih pada tiap stasiun
mendapatkan bahwa secara keseluruhan nilai faktor kondisi udang putih di setiap
stasiun menunjukkan nilai FK > 1. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udang
putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading secara morfologi
dapat dikatakan memiliki kemontokan yang baik. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Saputra (2005) yang menyatakan jika nilai faktor kondisi berkisar
antara 2-4 maka tubuh udang dapat dikatakan agak langsing, dan jika nilai faktor
kondisi berkisar antara 1 - 3 maka dapat dikatakan tubuh udang memiliki
kemontokan yang baik. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diduga bahwa
pada saat melakukan penelitian (bulan Mei – Juni 2015) merupakan awal musim
pemijahan udang putih P. merguiensis de Man, walaupun banyak juga didapatkan
udang putih yang berukuran kecil.
Universitas Sumatera Utara
38
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1. Distribusi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok.
2. Pola pertumbuhan udang putih di stasiun 1 dan 2 perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading adalah allometrik positif, sedangkan pada stasiun
3 adalah allometrik negatif. Faktor kondisi udang putih di setiap stasiun secara
morfologi memiliki kemontokan yang baik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang aspek reproduksi dan laju
eksploitasi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
dalam upaya pelestarian biota ini di alam.
2. Disarankan penggunaaan alat tangkap yang ramah lingkungan kepada nelayan
dalam mengeksploitasi sumberdaya udang putih di perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
5
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Udang Putih
Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom
Animalia, Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo
Decapoda, Famili Penaeidae, Genus Penaeus dan Spesies Penaeus merguiensis de
Man (Myers et al., 2008). Udang putih secara morfologi memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: Tubuh berwarna putih kekuningan dengan bintik coklat dan hijau.
Ujung ekor dan kaki berwarna merah, antennulae memilki garis merah tua dan
antena berwarna merah. Bittner dan Ahmad (1989) menyatakan tubuh udang putih
dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan
dada (sepalotoraks), dan bagian tubuh sampai ke pangkal ekor disebut abdomen.
Bagian kepala ditutupi karapas yang bagian ujungnya meruncing dan bergigi
disebut rostrum. Gigi rostrum bagian atas biasanya berjumlah 8 buah dan bagian
bawah 5 buah (8/5). Di bawah pangkal rostrum terdapat mata majemuk bertangkai
yang dapat digerakkan. Ukuran mata udang putih jauh lebih besar dari udang
windu, dan ukuran mata ini dapat digunakan untuk membedakan jenis udang putih
dengan udang windu pada tingkat juvenil.Tubuh terbagi atas ruas-ruas yang
ditutupi oleh eksoskeleton yang terbuat dari kitin, pada bagian kepala terdapat
13 ruas dan bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala diantara
rahang bawah/mandibula. Sisi kepala sebelah kanan dan kiri tertutup oleh kelopak
kepala, dimana terdapat insang. Kaki jalan/periopod terdiri atas lima pasang, dan
3 pasang diantaranya dilengkapi oleh capit/chelae. Pada bagian abdomen terdapat
lima pasang kaki renang (peliopod) yang terletak di setiap ruas, sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
6
ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas
atau sirip ekor (uropod) yang ujungnya membentuk ujung ekor (telson). Di bawah
pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus). Morfologi udang putih secara
lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.
c
j
k
a
i
d
l
b
g
f
e
h
Gambar 2. Morfologi udang putih P. merguiensis de Man (a) karapas
(b) mata (c) rostum (d) antena (e) antenula (f) kaki jalan (g) kaki
renang (h) telson (i) uropod (j) abdomen (k) sefalotoraks
(l) skafoserit.
Udang putih memiliki daerah penyebaran di perairan sepanjang pantai
timur Sumatera, Selat Malaka, pantai barat Sumatera, pantai utara Jawa, pantai
selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan Laut Arafura (Mulya, 2012).
Udang
putih
pada
tingkat
larva
membutuhkan
pakan
untuk
pertumbuhannya. Selama tingkat larva (nauplius) udang putih menggunakan
kuning telur yang dibawa sejak menetas sebagai sumber pakannya. Pada tingkat
mysis makanan udang putih berupa larva dari balanus, kopepoda, polikhaeta,
zooplankton, protozoa, dan rotifera. Pada tingat zoea udang putih mulai memakan
fitoplankton berupa diatom, dinoflagellata dan detritus. Pada stadia post larva dan
Universitas Sumatera Utara
7
juvenil udang putih memakan berbagai jenis algae, mesobentos, dan detritus. Pada
saat dewasa, udang putih sudah bersifat omnivora dan karnivora dengan pakan
alami berupa bivalvia kecil, gasropod, cacing anelida, cacing polikaeta, udangudang kecil, chironomus dan detritus (Pratiwi, 2008).
Daur Hidup Udang Putih
Daur hidup udang penaeid menurut Dall dkk. (1990) dibedakan atas tiga
macam, yaitu :
- Udang penaeid yang seluruh daur hidupnya berada di peairan estuari seperti:
Metapenaeus
elegans,
M.
conjunctus,M.
benettae,
M.
moyebi
dan
M. brevicornis. Pasca larva cenderung bermigrasi ke bagian hulu sungai dengan
salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi juvenil, bergerak kembali ke muara
sungai yang bersalinitas lebih tinggi. Seluruh spesies penaeid ini bersifat
eurihalin, tetapi mampu bertahan hidup di perairan tawar.
- Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di estuari, tetapi
memijah di dasar perairan antara pantai dan lepas pantai, seperti: Penaeus
indicus, P. monodon, P. japonicus, P. merguiensis, P. setiferus, Parapenaeopsis
hardwickii dan Xiphopenaeus kroyery.
- Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di perairan pantai,
tetapi memijah di dasar perairan lepas pantai. Udang jenis ini lebih menyukai
salinitas tinggi, sehingga tahapan dari siklus hidupnya tidak ada yang tinggal di
estuari, umumnya bersifat stenohalin, seperti Atypopenaeus dearmatus,
Heteropenaeus longimanus, Macropetasma africanus, Protrachypene precipua,
dan Trachypenaeus curvirostris.
Universitas Sumatera Utara
8
Daur hidup udang penaeid menurut FAO (2005) dibagi atas dua fase, yaitu
fase laut dan fase estuari (Gambar 3).
Gambar 3. Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man (FAO, 2005).
Udang putih banyak dijumpai di perairan tropik dan sub tropik Asia dan
Australia, antara 67° sampai 166° bujur timur dan antara 25° lintang utara sampai
29° lintang selatan. Daerah penyebarannya mulai dari daerah muara sungai
sampai ke tengah laut yang bervariasi menurut tingkatan hidupnya. Telur udang
putih akan menetas dalam waktu 14-24 jam menjadi nauplius. Dalam waktu
± 6 hari, nauplius selanjutnya berubah menjadi zoea setelah mengalami delapan
kali molting, dan pada tingkatan ini udang masih bersifat planktonis, sehingga
dengan bantuan arus akan menuju ke perairan pantai. Zoea akan berubah menjadi
mysis dalam waktu 4 hari, setelah mengalami tiga kali molting, dan sudah bersifat
kanibalisme, dengan pakan alaminya berupa udang-udang muda yang sedang
molting dan masih dalam kondisi lemah. Sifat kanibalisme ini sering muncul saat
udang dalam kondisi lapar. Dalam waktu ± 10 hari mysis akan berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
9
pascalarva setelah mengalami tiga kali molting (Chan,1998). Selanjutnya
Dall dkk., (1990) menyatakan pada tahap pascalarva ini udang sudah aktif
berenang dan bermigrasi ke daerah hulu estuari yang memiliki salinitas rendah,
dan mulai menuju ke dasar perairan. Mulya dkk., (2011) menyatakan pada saat
pascalarva, udang putih umumnya hidup di perairan estuari yang ditumbuhi hutan
mangrove dengan salinitas rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki
perakaran menjulur ke dalam perairan, sehingga sangat baik untuk tempat berlindung
dari serangan predator. Pascalarva secara bertahap akan berubah menjadi udang
juvenil setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit (± 3 bulan) dan aktif
mencari makan di perairan ini. Selama tiga sampai empat bulan udang juvenil
akan tumbuh menjadi dewasa, kemudian mulai beruaya ke arah perairan terbuka
untuk memijah.
Pertumbuhan Udang Putih
Pertumbuhan adalah perubahan bentuk dan ukuran, baik panjang, bobot
atau volume dalam waktu tertentu. Secara morfologi pertumbuhan diartikan
sebagai
perubahan
bentuk
(metamorfosis),
sedangkan
secara
energetik
pertumbuhan diartikan sebagai perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh
pada periode tertentu (Efendi, 1997). Pertumbuhan udang umumnya bersifat
diskontinyu karena hanya terjadi setelah ganti kulit yaitu saat kulit luarnya belum
mengeras sempurna (Allen dkk,1984). Hartnoll (1982) menyatakan pertumbuhan
larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan
struktur melalui proses metamorfosis dan ganti kulit, serta peningkatan biomassa
sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi massa tubuh udang.
Universitas Sumatera Utara
10
Tahap pertumbuhan udang penaeus dibedakan menjadi 4 stadia, yaitu:
stadia nauplius, stadia zoea, stadia mysis dan stadia pascalarva. Dari empat stadia
tersebut dapat dibedakan lagi menjadi: enam sub stadia nauplius (N1-N6), tiga sub
stadia zoea (Z1-Z3), tiga sub stadia mysis (M1-M3) sebelum mencapai PL1.
Pertumbuhan udang setelah substadia M3 lebih ditekankan pada perubahan
biomassa, baik bobot maupun ukuran tubuh. Pada setiap ganti kulit sebagian
massa hilang. Kehilangan massa pada setiap ganti kulit ini mengakibatkan
pertumbuhan udang menjadi diskontinyu.
Ferraris dkk. (1987)
menyatakan pertumbuhan udang secara internal
tergantung pada kelancaran proses molting dan tingkat kerja osmotik yang
dialaminya. Solis (1998) menyatakan selama stadia larva, udang penaeid
mengalami beberapa kali metamorfosis dan ganti kulit sampai stadia pascalarva.
Anggoro (1992) menyatakan hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh
kelancaran proses ganti kulit, mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh
osmoefektor antara cairan intra sel dengan cairan ekstra sel. Osmoefektor
anorganik (Na+ dan Cl-) berkonsentrasi tinggi di dalam cairan ekstra sel,
sebaliknya osmoefektor organik (asam amino bebas) dan ion K+ berkonsentrasi
tinggi di cairan intra sel. Perimbangan ini sangat menentukan pH optimum dan
kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu dipertahankan agar sel-sel
penyusun jaringan tubuh tumbuh dengan normal.
Pertumbuhan udang ditandai dengan adanya proses ganti kulit seperti
berikut ini:
- Udang mengalami proses molting atau melepaskan diri dari kulit luar
(eksoskleton).
Universitas Sumatera Utara
11
- Air diserap oleh udang yang menyebabkan ukuran udang bertambah besar.
- Kulit luar yang baru terbentuk
- Air secara bertahap hilang dan diganti dengan jaringan baru.
Pertumbuhan panjang udang merupakan fungsi berjenjang/step function.
Tubuh udang akan bertambah panjang pada setiap molting, dan tidak bertambah
panjang pada saat antar molting (intermolt). Pada setiap molting integumen
membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum
integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll 1982).
Pertumbuhan udang pada dasarnya bergantung kepada energi yang
tersedia, bagaimana energi tersebut digunakan di dalam tubuh dan akan terjadi
bila kebutuhan minimum untuk kehidupannya terpenuhi. Udang memperoleh
energi dari pakan yang dikonsumsi, dan kehilangan energi sebagai akiba
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
44
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
45
Lampiran 2. Alat Tangkap Pukat Cincin Mini yang Digunakan dalam Sampling
Udang Putih
Universitas Sumatera Utara
46
Lampiran 3. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
Universitas Sumatera Utara
47
Lampiran 3. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian. Lanjutan
Universitas Sumatera Utara
48
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Universitas Sumatera Utara
49
Lampiran 5. Tabulasi Data Parameter Fisik Kimia Perairan di Tiap Stasiun
Sampling ke 1
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan Arus
Salinitas
(°C)
(m)
(cm)
(m/det)
(‰)
pH
DO
BOD5
(mg/l)
(mg/l)
1.1
30,00
4,03
56,00
0,17
31,00
7,10
4,45
0,60
1.2
30,20
4,23
42,00
0,16
31,00
7,10
4,45
0,60
2.1
30,00
1,53
30,00
0,07
30,00
6,30
4,00
0,65
2.2
30,00
1,56
31,00
0,09
30,00
6,30
4,00
0,65
3.1
30,00
3,41
94,00
0,10
29,00
5,90
3,85
0,80
3.2
31,00
3,33
90,00
0,12
29,00
5,90
3,85
0,80
pH
DO
BOD5
(mg/l)
(mg/l)
Sampling ke 2
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan Arus
Salinitas
(°C)
(m)
(cm)
(m/det)
(‰)
1.1
29,00
2,89
91,00
0,09
29,00
6,95
4,40
0,70
1.2
29,00
2,75
90,00
0,09
29,00
6,95
4,45
0,60
2.1
30,00
1,97
75,00
0,17
28,00
7,00
3,90
0,75
2.2
30,00
2,00
80,00
0,17
28,00
7,00
4,10
0,55
3.1
30,00
5,24
80,00
0,05
30,00
7,10
3,90
0,70
3.2
30,00
5,81
90,00
0,05
30,00
7,10
3,85
0,78
Universitas Sumatera Utara
50
Lampiran 6. Hasil Analisis Laboratorium Fraksi Substrat pada Tiap Stasiun
Setelah di dapatkan nilai dari liat, pasir dan debu sesuai dengan
perhitungan sebelumnnya selanjutnya tekstur substrat dianalisis berdasarkan
perbandingan pasir, liat dan debu pada Segitiga USDA.
Stasiun
1
2
3
Pasir
57,84
51,84
69,84
Fraksi Substrat (%)
Debu
20,56
24,56
14,56
Liat
21,60
23,60
15,60
Universitas Sumatera Utara
51
Lampiran 7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun
Sampling ke 1
No
Stasiun
1
Panjang (cm)
2
Berat (g)
Panjang (cm)
3
Berat (g)
Panjang (cm)
Berat (g)
1
4,7
0,6
3,5
0,6
3,2
0,6
2
5,2
0,7
4,7
0,6
3,7
0,6
3
5,3
0,8
4,8
0,7
3,8
0,6
4
5,5
1,0
4,9
0,7
4,0
0,6
5
5,7
1,0
5,0
0,8
4,2
0,6
6
5,7
1,1
5,0
0,8
4,5
0,6
7
5,7
1,1
5,0
0,9
5,1
0,9
8
5,7
1,1
5,0
0,9
5,5
1,1
9
5,8
1,1
5,1
0,9
6,0
1,4
10
5,9
1,2
5,1
0,9
8,9
4,0
11
5,9
1,2
5,1
1,0
9,5
5,0
12
6,0
1,3
5,4
1,0
11,7
8,4
13
6,1
1,3
5,5
1,0
0
0
14
6,1
1,5
5,5
1,0
0
0
15
6,1
1,5
5,5
1,1
0
0
16
6,2
1,6
5,6
1,1
0
0
17
6,2
1,6
5,6
1,1
0
0
18
6,4
1,6
5,6
1,1
0
0
19
6,4
1,6
5,7
1,2
0
0
20
6,6
1,6
5,7
1,2
0
0
21
6,6
1,6
5,8
1,2
0
0
22
6,7
1,7
5,8
1,2
0
0
23
6,7
1,7
5,9
1,2
0
0
24
6,7
1,7
6,0
1,2
0
0
25
6,8
1,7
6,0
1,2
0
0
26
6,8
1,7
6,0
1,2
0
0
27
6,9
1,8
6,1
1,2
0
0
28
6,9
1,9
6,1
1,3
0
0
29
6,9
2,0
6,1
1,3
0
0
30
6,9
2,0
6,1
1,3
0
0
31
7,0
2,1
6,2
1,4
0
0
32
7,0
2,1
6,2
1,4
0
0
33
7,1
2,1
6,2
1,5
0
0
34
7,2
2,2
6,2
1,5
0
0
35
7,2
2,3
6,3
1,5
0
0
36
7,2
2,5
6,4
1,5
0
0
37
7,3
2,5
6,4
1,5
0
0
38
7,5
2,8
6,4
1,5
0
0
Universitas Sumatera Utara
52
Lampiran7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun. Lanjutan
No
Stasiun
1
Panjang (cm)
2
Berat (g)
3
Panjang (cm)
Berat (g)Panjang (cm)
Berat (g)
39
7,7
2,8
6,5
1,5
0
0
40
7,8
3,1
6,5
1,6
0
0
41
8,0
3,6
6,5
1,6
0
0
42
8,2
4,1
6,5
1,6
0
0
43
8,8
4,8
6,5
1,6
0
0
44
9,1
4,9
6,6
1,7
0
0
45
9,4
5,7
6,7
1,7
0
0
46
9,9
5,9
6,7
1,8
0
0
47
10,4
6,4
6,8
1,8
0
0
48
10,8
7,2
6,8
1,8
0
0
49
12,3
11,0
6,8
1,8
0
0
50
0
0
6,8
1,8
0
0
51
0
0
6,8
1,9
0
0
52
0
0
6,9
2,0
0
0
53
0
0
6,9
2,0
0
0
54
0
0
6,9
2,1
0
0
55
0
0
6,9
2,2
0
0
56
0
0
7,0
2,2
0
0
57
0
0
7,1
2,2
0
0
58
0
0
7,1
2,2
0
0
59
0
0
7,1
2,3
0
0
60
0
0
7,2
2,3
0
0
61
0
0
7,2
2,3
0
0
62
0
0
7,2
2,5
0
0
63
0
0
7,3
2,5
0
0
64
0
0
7,5
2,5
0
0
65
0
0
7,5
2,7
0
0
66
0
0
7,6
2,8
0
0
67
0
0
7,6
3,0
0
0
68
0
0
7,7
3,0
0
0
69
0
0
7,9
3,5
0
0
70
0
0
8,0
3,6
0
0
71
72
0
0
0
0
8,5
8,5
3,7
4,7
0
0
0
0
73
74
0
0
0
0
8,6
8,8
4,7
4,9
0
0
0
0
75
0
0
9,0
5,1
0
0
Universitas Sumatera Utara
53
Lampiran7. Tabulasi Data Udang Putih pada Tiap Stasiun. Lanjutan
76
77
0
0
0
0
9,4
9,6
5,9
6,3
0
0
0
0
78
79
0
0
0
0
10,1
12,6
11,0
11,3
0
0
0
0
80
0
0
13,7
18,8
0
0
Sampling ke 2
No
Stasiun
1
2
Panjang (cm)
1
Berat (g)
10,5
14
Panjang (cm)
3
Berat (g)
12,5
24
Panjang (cm)
6,8
Berat (g)
4
2
9,2
18
10
12
8,6
8
3
10,3
16
9,5
8
7,6
4
4
8,8
14
10,9
14
6,2
1
5
10,8
4
10,4
12
5,2
1
6
10,9
2
9,2
6
5,9
1
7
10,2
2
0
0
0
0
8
10,8
12
0
0
0
0
9
6,8
8
0
0
0
0
10
7,3
18
0
0
0
0
11
67
1,5
0
0
0
0
12
5,6
1,5
0
0
0
0
13
5
1,5
0
0
0
0
14
7,9
6
0
0
0
0
15
6,2
4
0
0
0
0
16
6,4
2,1
0
0
0
0
17
6,1
1,9
0
0
0
0
18
6
8
0
0
0
0
19
6,2
1,2
0
0
0
0
20
5,2
2,8
0
0
0
0
Universitas Sumatera Utara
54
Lampiran 8. Contoh Perhitungan Faktor Kondisi (Stasiun 3)
L
3,2
W
0,6
Log L
0,5051
Log W
log a
a
b
aLb
-0,2218
1,7190
FK = W/aLb
0,0191
2,4916
0,3464
1,7319
4,0
0,6
0,6021
-0,2218
0,6041
0,9933
3,7
0,6
0,5682
-0,2218
0,4974
1,2062
5,1
0,9
0,7076
-0,0458
1,1066
0,8133
8,9
4,0
0,9494
0,6021
4,4309
0,9028
3,8
0,6
0,5798
-0,2218
0,5316
1,1287
0,8796
4,2
0,6
0,6232
-0,2218
0,6821
6,0
1,4
0,7782
0,1461
1,6589
0,8439
5,5
1,1
0,7404
0,0414
1,3356
0,8236
11,7
8,4
1,0682
0,9243
8,7596
0,9590
9,5
5,0
0,9777
0,6990
5,2130
0,9591
4,5
0,6
0,6532
-0,2218
0,8101
0,7407
6,8
4,0
0,8325
0,6021
2,2661
1,7652
8,6
8,0
0,9345
0,9031
4,0681
1,9665
7,6
4,0
0,8808
0,6021
2,9897
1,3379
6,2
1,0
0,7924
0,0000
1,8002
0,5555
5,2
1,0
0,7160
0,0000
1,1614
0,8610
5,9
1,0
0,7709
0,0000
1,5909
0,6286
FK rata-rata
1,0609
Universitas Sumatera Utara
55
Lampiran 9. Hasil Tangkapan Udang Putih Yang Didapat
Universitas Sumatera Utara
56
Lampiran 10.
Sampel Air
Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
Larutan Sampel Berwarna Coklat
Sampel Berwarna
Kuning Pucat
Sampel Berwarna
Biru
Sampel Bening
Hasil
Universitas Sumatera Utara
39
DAFTAR PUSTAKA
Allen P.C, LW Botsford, AM Schuur, WE Johnston. 1984. Bioeconomics of
Aquaculture. Elsevier. Amsterdam.
American Public Healt Association. 1979. Standart Methods for the Examination
of Water and Wastewater. New York.
Anggoro S. 1992. Efek Osmotik Berbagai Tingkat Salinitas Media Terhadap Daya
Tetas Telur dan Vitalitas Larva Udang Windu Penaeus monodon F
(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Deli Serdang.
2008. Rencana Strategis Kawasan Pesisir Pantai Kabupaten Deli Serdang.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press, Medan.
Bengen D.G. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/ Multidimensi.
Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Bittner A and M Ahmad. 1989. Budidaya Air. Seri Studi Pertanian. Kerjasama
Jerman dan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Brower J, J Zard, dan C.N.V Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Third edition. W.M.C Brown Publishers. United States of
America.
Chan T.Y. 1998. Shrimps and prawns. Di dalam: Carpenter K.E, Niem V.H. Eds.
The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Vol. 2.
Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks. Food and Agriculture
Organization of the United Nations Rome.
Dall W, B.J Hill, P.C Rothlisberg, D.J Sharples. 1990. The Biology of the
Penaedae. di dalam: Blaxer JHS, Southward AJ. Eds): Marine Biology 27.
Academic Press, London.
Ediwarman, 2010. Pengaruh Tepung Ikan
Lokal
Dalam Ikan Induk
Terhadap Pematangan Gonad dan Kualitas Telur Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus Blkr). IPB,
Bogor.Effendie MI. 1997. Biologi
Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta
Effendie M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta
Fachrul M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
40
Fast A. W, dan L. J Lester. 1992. Pond Monitoring and Management Marine
Shrimp Culture Principle and Practise. Elsevier Science Publisher
Amsterdam. Netherlands.
Ferraris R. P, P Estepa, J. M Ladja, E.G.D Jesus. 1987. Osmotic and Chloride
Regulation in the Hemolymph of Tiger Prawn. Penaeus monodon During
Molting in Various Salinities. Marine Biology 95: 377-385.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2005. Penaeus monodon. Culture
Aquatic Species Information Programme. Tanggal browsing: 15 April 2015.
Gonawi, G.R. 2009. Habitat dan Struktur Komunitas
Chideung Bogor , Jawa Barat. IPB, Bogor.
Nekton di Sungai
Hartnoll R.G. 1982. Growth. in Bliss DE. Editor. The Biology of Crustacea. Vol.
2. Embryology, Morphology and Genetics. Academic Press. A Subsidiary of
Harcourt Brace Jovanovich Publisher. New York.
Hutagalung H.P, D Setiapermana, S.H Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Lingkungan Hidup. No. 02/ Men KLH/1998.
Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kepmen LH). 2004. Baku Mutu
Air Laut untuk Biota Laut. No. 51. Jakarta.
Mulfizar, Z.A. Muchlisin dan I. Dewiyanti. 2012. Hubungan Panjang Berat dan
Faktor Kondisi Tiga Jenis Ikan yang Tertangkap di Perairan Kuala Gigieng,
Aceh Besar, Provinsi Aceh. Jurnal Depik. 1 (1):1 - 9.
Mulya M.B, D.G Bengen, R.F Kaswadji, R. Etty 2011. Distribusi dan Pola
Pertumbuhan Udang Putih Penaeus merguinensis de Man di Ekosistem
Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Jurnal Omni Akuatika 1 (13):
49-56.
Mulya M.B. 2012. Kajian Bioekologi Udang Putih Penaeus merguinensis de Man
di Perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Disertasi.
(tidak dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Myers P, T Dewey, R Espinosa, G Hammond, T Jones. 2008. The Animal
Diversity. University of Michigan Museum of Zoology
Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de
Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak
Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Universitas Sumatera Utara
41
Newell G.E and R.C Newell. 1977. Marine Plankton. A Practical guide 5th edition.
Hutchinson of London.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Panjaitan, E.F. 2004. Pengaruh Suhu Air yang Berbeda Terhadap Laju
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Botia (Botia
macracanthus) Bleeker. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen
Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Peter J.C, dan J. D. Kerr 2003. Maturation and spawning of the banana prawn
Penaeus merguiensis de Man (Crustacea: Penaeidae) in the Gulf of
Carpentaria, Australia. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology (69): 37-59.
Pratiwi R. 2002. Aspek Biologi Udang Ekonomis Penting. Jurnal Oseana.32 (2):
15–24
Pramonowibowo, A. Hartoko, A. Ghofar . 2007. Density of Banana Shrimp
(Penaeus merguiensis de Man) in Semarang Territory Waters. Jurnal Pasir
Laut 2 (2) : 18-29.
Salmin, 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oseana. 30. 21 – 26.
Saputra S.W. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans de
Man) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solis N.B. 1998. Biology and Culture of Penaeus Monodon. Brackswater
Aquaculture Information System. Aquaculture Departement. Southst Asian
Fisheries. Development Center. Philippines.
Sparre P and S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Sumeru S.U, dan S. Anna . 2010. Persyaratan Biologis dan Kebiasaan Udang
Windu. Glitter Text. Tanggal browsing 14 Maret 2016.
Supriadi I.H. 2001. Dinamika Estuaria Tropik. Jurnal Oseana. 16 (4) : 1-11.
Tomas C.R. 1997. Identifying Marine Phytoplankton. Academic Press. California.
USA.
Universitas Sumatera Utara
42
Tung H,S.Y. Lee, C.P Keenan, G Marsden. 2002. Effect of Temperature on
Spawning of Penaeus merguiensis. Journal of Thermal Biology 27: 433–437
Universitas Sumatera Utara
16
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel udang putih dilakukan pada bulan Mei – Juni 2015 di
perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara, sedangkan
analisis udang putih yang didapatkan dan fraksi substrat, dilakukan di
Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Ditentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan
(pertambakan dan perkebunan).
Deskripsi Area
Stasiun 1
Stasiun ini berada di Paluh Tabuan bagian hulu dengan lebar estuari
30-35 m. Stasiun ini letaknya berdekatan dengan areal pertambakan milik
masyarakat. Secara geografis stasiun ini terletak pada kordinat 3052’682’’ LU dan
98038’25’’ BT (Gambar 4).
Gambar 4. Stasiun Penelitian 1
Universitas Sumatera Utara
17
Stasiun 2
Stasiun ini berada di Paluh Tabuan bagian hilir dengan lebar estuari
20-25 m. Stasiun ini letakna berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit. Secara
geografis terletak pada kordinat 3052’154’’ LU dan 98038’334’’ BT (Gambar 5).
Gambar 5. Stasiun Penelitian 2
Stasiun 3
Stasiun ini berada di Paluh Semai dengan lebar estuari berkisar
40 m - 50 m. Stasiun ini merupakan daerah mangrove alami. Secara geografis
terletak pada kordinat 3054’009’’ LU dan 98039’367’’ BT (Gambar 6).
Gambar 6. Stasiun Penelitian 3
Universitas Sumatera Utara
18
Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pukat cincin mini,
refraktometer, termometer Hg, pH meter, sechi disk, timbangan analitik, tali
penduga, cool box, jangka sorong, Global Positioning System (GPS), mikroskop
binokuler dan meteran gulung.
Bahan yang digunakan adalah alkohol 96%, batu es, dan wadah sampel.
Parameter yang diukur, alat/bahan, dan tempat pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Parameter yang diukur, alat/bahan, dan tempat pengukuran
Parameter
I. FISIKA KIMIA AIR
Suhu perairan (ºC)
Kecerahan air (cm)
Kedalaman air (m)
Fraksi substrat (%)
Oksigen terlarut (mg/l)
BOD5 (mg/l)
Salinitas air (‰)
pH air
II. UDANG PUTIH
Kelimpahan, distribusi pola
pertumbuhan, faktor kondisi.
Alat/ Bahan yang digunakan
Tempat pengukuran
termometer Hg
sechi disk
tali penduga
oven, sieve shaker
botol Winkler, alat titrasi,
NaOHKI, MnSO4, Amilum,
Natrium TioSulfat (Titrimetri
Winkler)
Refraktometer
pH meter
di lapangan
di lapangan
di lapangan
di laboratorium
di lapangan
di laboratorium
di lapangan
di lapangan
Pukat cincin mini, alkohol 96% di lapangan
(dihitung jumlah individu, dan di laboratorium
diukur panjang karapas dan
berat tubuh udang, dianalisis.
Pengukuran Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika-kimia air yang mencakup suhu air,
kedalaman air, kecerahan air, kecepatan arus, pH air, oksigen terlarut, dan
salinitas air dilakukan langsung di lapangan pada tiap stasiun dengan tiga kali
pengulangan sebelum pengambilan sampel udang putih. Khusus untuk BOD5 dan
fraksi substrat pengukuran dilakukan di laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
19
Pengambilan Sampel Udang Putih
Pengambilan sampel udang putih dilakukan di perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan
(pertambakan dan perkebunan), menggunakan pukat cincin mini yang terbuat dari
bahan nilon polifilamen. Pukat cincin mini yang digunakan memiliki panjang
10 m, dengan diameter bukaan mulut 3 m.
Pengambilan sampel udang putih dilakukan setiap 21 hari sekali mulai jam
08.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB pada saat pasang dengan cara menarik
pukat cincin mini menggunakan perahu motor 10 GT (mengikuti kebiasaan
nelayan setempat). Pada setiap sampling hanya dilakukan satu kali penarikan
pukat cincin mini sepanjang 10 m di setiap stasiun, sehingga kemungkinan
kerusakan ekosistem di lokasi penelitian dapat diminimalisir.
Udang putih yang didapat di tiap stasiun dihitung jumlah individunya,
diukur panjang karapas dan berat tubuh udang, selanjutnya dilakukan analisis
yang meliputi kelimpahan individu, distribusi, pola pertumbuhan, dan faktor
kondisi.
Analisis Data
Kelimpahan Udang Putih
Kelimpahan udang putih dianalisis menggunakan persamaan menurut
Brower et al. (1990) sebagai berikut:
∑ ni
n
N=
i =1
A
dengan : N = kelimpahan udang putih (ind/m2)
∑ni = jumlah individu udang putih
A = luas bukaan mulut pukat cincin mini (7,065 m2)
Universitas Sumatera Utara
20
Distribusi Udang Putih
Distribusi udang putih dianalisis berdasarkan Indeks distribusi Morista
(Bengen, 1998) dengan persamaan sebagai berikut:
n 2
∑ xi − N i
i =1
Id = n
N i ( N i − 1)
dengan:
Id
n
Ni
Σxi2
= Indeks distribusi Morista
= banyaknya plot (pukat cincin mini yang digunakan)
= jumlah total individu
= jumlah kuadrat individu
Kriteria distribusi udang putih dapat dikelompokkan atas tiga kelompok
berdasarkan
nilai
Indeks
distribusi
Morista.
Distribusi
suatu
populasi
dikategorikan acak jika memiliki nilai Indeks distribusi (Id) = 1,00. Distribusi
suatu populasi dikategorikan normal jika memiliki nilai Indeks distribusi (Id) = 0,
dan distribusi suatu populasi dikategorikan berkelompok jika memiliki nilai
Indeks distribusi (Id) ≠ 1 atau Id ≠ 0.
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan udang putih dinalisis dengan melihat hubungan panjang
berat melalui analisis regresi linier (Sparre dan Venema, 1999).
W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L
dengan : W = bobot basah (g)
L = lebar karapas
a dan b = konstanta
Universitas Sumatera Utara
21
Faktor Kondisi Udang Putih
Keadaan yang menyatakan kemontokan udang putih dengan angka
dinamakan faktor kondisi atau ponderal indeks. Analisis faktor kondisi dilakukan
menggunakan persamaam menurut Lagler (1961) dalam Saputra (2005) sebagai
berikut.
K=
W
aLb
dengan:
W = berat udang putih (g)
L = panjang karapas udang putih (cm)
a dan b = konstanta
Universitas Sumatera Utara
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika kimia air dilakukan sebelum pengambilan
sampel udang. Parameter fisika kimia air yang diukur meliputi suhu air,
kedalaman air, kecerahan air, kecepatan arus, salinitas, pH air, DO, dan BOD5
Hasil pengukuran parameter fisika kimia air di tiap stasiun dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Nilai Parameter Fisika Kimia Air pada Tiap Stasiun
Stasiun
Suhu
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan
Salinitas
Air (°C)
Air (m)
Air (cm)
pH
DO
BOD5
Arus (m/det)
Air (‰)
Air
(mg/l)
(mg/l)
1
30,10
4,13
49,00
0,17
31,00
7,10
4,45
0,60
2
30,00
1,55
30,50
0,08
30,00
6,30
4,00
0,65
3
30,50
3,37
92,00
0,11
29,00
5,90
3,85
0,80
Keterangan :
Stasiun 1 : Berdekatan dengan pertambakan (3052’682’’LU dan 980 38’25” BT)
Stasiun 2 : Berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit (30 52’154”LU dan 980 38’ 334”BT)
Stasiun 3 : Daerah mangrove alami ( 30 54’ 009”LU dan 980 39’ 367”BT)
Suhu Air
Hasil pengukuran suhu air pada tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 30,00°C-30,50°C (Tabel 2). Suhu air tertinggi dijumpai pada
stasiun 3 sebesar 30,50°C, diikuti oleh staiun 1 sebesar 30,10°C, dan terendah
pada stasiun 2 sebesar 30,00°C.
Kedalaman Air
Hasil pengukuran kedalaman air di tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 1,55 m – 4,13 m (Tabel 2). Kedalaman air tertinggi dijumpai
Universitas Sumatera Utara
23
pada stasiun 1 sebesar 4,13 m, diikuti oleh stasiun 3 sebesar 3,37 m, dan
terendah pada stasiun 2 sebesar 1,55 m.
Kecerahan air
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Hasil
pengukuran terhadap kecerahan air menunjukkan nilai yang berkisar antara
30,50 cm – 92,00 cm (Tabel 2). Kecerahan air tertinggi dijumpai pada stasiun 3
sebesar 92 cm, diikuti oleh stasiun 1 sebesar 49,00 cm, dan terendah pada stasiun
2 sebesar 30,50 cm.
Kecepatan Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus di tiap stasiun mendapatkan nilai yang
berkisar antara 0,08 m/detik – 0,17 m/detik (Tabel 2). Nilai kecepatan arus
tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 0,17 m/detik, diikuti oleh stasiun 3
sebesar 0,11 m/detik, dan terendah pada stasiun 2 sebesar 0,08 m/detik.
Salinitas Air
Hasil pengukuran salinitas air mendapatkan nilai berkisar antara 29,00‰ –
31,00‰ (Tabel 2). Nilai salinitas air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar
31,00‰, diikuti oleh stasiun 2 sebesar 30,00‰, dan terendah pada stasiun 3
sebesar 29,00‰.
Universitas Sumatera Utara
24
pH Air
Hasil pengukuran pH air mendapatkan nilai yang berkisar antara
5,90 – 7,10 (Tabel 2). Nilai pH air tertinggi dijumpai pada stasiun 1sebesar 7,10,
diikuti oleh stasiun 2 sebesar 6,30, dan terendah pada stasiun 3 sebesar 5,90.
Kandungan Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada tiap stasiun
mendapatkan nilai berkisar antara 3,85 mg/l - 4.45 mg/l (Tabel 2). Nilai
kandungan oksigen terlarut tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 4,,45 mg/l,
diikuti oleh stasiun 2 sebesar 4,00 mg/l, dan terndah pada stasiun 3 sebesar
3,85 mg/l.
Bichemical oxygen demand (BOD)
Hasil pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD5) pada tiap stasiun
mendapatkan nilai berkisar antara 0,60 mg/l - 0,80 mg/l (Tabel 2). Nilai BOD5
tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 0,80 mg/l, diikuti oleh stasiun 2 sebesar
0,65 mg/l, dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,60 mg/l.
Fraksi Substrat
Hasil analisis fraksi substrat perairan pada tiap stasiun mendapatkan nilai
yang bervariasi (Gambar 7). Hasil analisis menunjukkan fraksi pasir mendominasi
pada tiap stasiun dengan nilai masing-masing sebesar 57,84% (stasiun 1), 51,84%
(stasiun 2), dan 69,84%.
Universitas Sumatera Utara
25
Gambar 7. Nilai Fraksi Substrat (%) pada Tiap Stasiun
Kelimpahan Udang Putih
Hasil penelitian mendapatkan kelimpahan udang putih memiliki nilai yang
bervariasi pada tiap stasiun, seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kelimpahan Udang Putih (ind/m2) pada Tiap Stasiun
Hasil peneitian mendapatkan bahwa nilai kelimpahan udang putih tertinggi
dijumpai di stasiun 2 dengan nilai kelimpahan sebesar 12,17 ind/m2, diikuti oleh
stasiun 1 dengan nilai kelimpahan sebesar 9,76 indm2, dan kelimpahan terendah
dijumpai pada stasiun 3 sebesar 2,55 ind/m2.
Universitas Sumatera Utara
26
Distribusi Udang Putih
Data kelimpahan udang putih yang didapat, selanjutnya dilakukan analisis
distribusi udang putih pada tiap stasiun menggunakan analisis Indeks distribusi
Morista, seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks Distribusi Udang Putih pada Tiap Stasiun
Stasiun
Jumlah individu
Id
1
69
2,0
2
86
2,0
3
18
2,0
Pola Pertumbuhan Udang Putih
Pola pertumbuhan udang putih diukur melalui analisis hubungan panjang
berat udang putih yang didapatkan di setiap stasiun menggunakan analisis regresi
linear. Hubungan panjang berat yang dianalisis adalah hubungan panjang berat
utuh atau panjang berat keseluruhan individu udang putih dimana bagian
tubuhnya masih utuh. Sampel udang yang digunakan pada tiap stasiun masingmasing sebanyak 69 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 4,7 cm 12,3 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 11,0 g (stasiun 1), 86 ekor dengan ukuran
panjang karapas berkisar antara 3,5 cm - 13,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g –
15,8 g (stasiun 2), dan 18 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara
3,2 cm - 11,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 9,0 g (stasiun 3) (Lampiran 7).
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih dapat dilihat pada Gambar 9.
Universitas Sumatera Utara
27
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 9. Hubungan Panjang Berat Udang Putih pada Tiap Stasiun
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih pada tiap stasiun
memperlihatkan bahwa hasil hubungan panjang berat udang putih pada stasiun 1
memiliki persamaan: Log W = 0,005 + 3,044 log L atau dalam bentuk
eksponensialnya adalah: W = 0,005L3,044 dengan nilai koefisien korelasi
(R) = 0,976. Stasiun 2 memiliki persamaan Log W = 0,004 + 3,139 log L atau
dalam bentuk eksponensialnya adalah: W = 0,004L3,139 dengan nilai koefisien
korelasi (R) = 0,959., dan Stasiun 3 memiliki persamaan Log W = 0,021 + 2,394
log L atau dalam bentuk eksponensialnya adalah: W = 0,021L2,394 dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
28
koefisien korelasi (R) = 0,939. Nilai b menggambarkan pola pertumbuhan udang
putih, sedangkan keeratan hubungan antara panjang karapas udang putih dan
bobot tubuhnya dapat diketahui melalui nilai koefisien korelasi (R), sehingga
melalui persamaan tersebut dapat ditentukan apakah individu dari populasi udang
putih pada kawasan ini dapat diduga bobot tubuhnya melalui ukuran panjang
karapasnya.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil pengukuran faktor kondisi udang putih pada tiap stasiun
menunjukkan nilai yang berkisar antara 1,0057 – 1,0244, seperti terlihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Faktor Kondisi Udang Putih pada Tiap Stasiun.
Stasiun
FK
1
2
3
1,0057
1,0142
1,0244
Universitas Sumatera Utara
29
Pembahasan
Parameter Fisik Kimia Air
Suhu Air
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam perairan dan berperan
penting dalam proses metabolisme udang putih. Hasil penelitian mendapatkan
suhu air tertinggi dijumpai pada stasiun 3 (Tabel 2). Tingginya suhu air pada
stasiun 3 diduga disebabkan adanya perbedaan waktu pengukuran. Pengukuran
suhu air di stasiun 3 dilakukan menjelang tengah hari (sekitar pukul 11.00 WIB),
sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air juga sedikit lebih
tinggi dibanding stasiun lainnya, yang berpengaruh terhadap kondisi suhu
perairannya. Officer (1976) dalam Azis (2007) menyatakan suhu perairan
dipengaruhi oleh tingginya penyinaran matahari yang masuk ke kolom air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu di perairan estuari Suaka
Margsatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi untuk mendukung
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan penyataan Naamin (1984) yang
menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada suhu 10,00°C-36,00°C.
Panjaitan (2004) menyatakan peningkatan suhu perairan dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi yang akan mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Selanjutnya Tung dkk (2002) menyatakan suhu
air di bawah 20,00°C akan menghambat pertumbuhan udang putih
Kedalaman Air
Hasil penelitian mendapatkan bahwa stasiun 2 memiliki kedalaman
yang lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Rendahnya kedalaman air pada
Universitas Sumatera Utara
30
stasiun 2 disebabkan stasiun ini merupakan daerah yang berada di areal
perkebunan kelapa sawit. Pada stasiun ini masih dijumpai adanya penggunaan
alat berat (belko) untuk kegiatan penanaman sawit, sehingga kemungkinan
masuknya guguran tanah perkebunan ke kolom air diduga sebagai salah satu
penyebab lebih dangkalnya perairan di stasiun ini.
Kecerahan Air
Kecerahan air pada tiap stasiun menunjukkan nilai yang berkisar antara
30,50 cm – 92,00 cm. Kondisi ini menggambarkan perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading relatif keruh.
Hal ini sesuai dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004) tentang baku mutu air laut
untuk biota laut, yang menyatakan bahwa nilai baku mutu untuk kecerahan air laut
adalah > 3 m. Bila kecerahan air < 3 m maka perairan tersebut dapat
dikategorikan keruh. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung kehidupan
udang putih.
Kecepatan Arus
Hasil penelitian mendapatkan kecepatan arus tertinggi dijumpai pada
stasiun 1 sebesar 0,17 m.detik (Tabel 2). Tingginya kecepatan arus pada stasiun 1
disebabkan kondisi
topografi
sungai
yang sedikit
membelok sehingga
menyebabkan arusnya lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Barus (2004)
yang menyatakan pada alur sungai yang membelok kecepatan arus paling tinggi
akan dijumpai pada bagian luar pinggir sungai.
Universitas Sumatera Utara
31
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan
estuari Suaka Margastwa Karang Gading tergolong relatif tenang dan sangat baik
bagi kehidupan udang putih. Dall et al., (1990) menyatakan arus yang cukup
tenang sangat disukai oleh udang putih. Bila kecepatan arus lemah, udang putih
banyak melakukan aktifitas mencari makan untuk pertumbuhannya, sedangkan
bila kecepatan arus cukup kuat, udang putih akan membenamkan diri di dalam
substrat.
Salinitas Air
Salinitas air berperan dalam mempengaruhi proses osmoregulasi udang
putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai salinitas air di perairan estuari Suaka
Margasatwa Keang Gading masih dalam kisaran toleransi untuk mendukung
kehidupan udang putih. Boyd dan Fast (1992) menyatakan udang dapat hidup dan
tumbuh dengan baik pada perairan dengan kisaran salinitas antara 15‰ - 30‰.
Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan udang
menurun.
pH Air
Derajat keasaman atau pH berperan dalam mendukung pertumbuhan
udang. Hasil penelitian mendapatkan stasiun 3 memiliki nilai pH yang rendah
(5,90). Rendahnya nilai pH air pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini memiliki
salinitas cukup rendah, sehingga kondisi perairannya sedikit lebih asam dibanding
stasiun lainnya. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai pH air
pada tiap stasiun masih dalam kisaran toleransi untuk mendukung kehidupan
Universitas Sumatera Utara
32
udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumeru dan Anna (2010) yang
menyatakan pH air optimal untuk pertumbuhan udang putih berkisar antara 5,90 –
8,00. Nilai pH air yang terlalu rendah dapat menyebabkan kandungan CaCO3
pada kulit udang akan berkurang, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat,
permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan.
DO (Disolved Oxygen)
Disolved oxygen atau kandungan oksigen terlarut dalam perairan
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik maupun
anorganik sehingga dapat membantu mengurangi beban pencemaran pada
perairan secara alami (Salmin, 2005). Hasil penelitian mendapatkan bahwa stasiun
3 memiliki niai kandungan oksigen terlarut lebih rendah dibanding stasiun lainnya
(Tabel 2). Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun 3 disebabkan
stasiun ini memiliki suhu perairan yang cukup tinggi dibanding stasiun lainnya.
Tingginya suhu perairan pada stasiun ini dapat menyebabkan rendahnya
kandungan oksigen terlarut. Boyd (1990) menyatakan kelarutan oksigen perairan
akan mengalami penurunan jika suhu perairan tinggi. Hal ini disebabkan biota
perairan akan lebih aktif bergerak, sehingga memerlukan lebih banyak oksigen
dalam perairan. Peningkatan suhu perairan sebesar 10○C akan menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali
lipat.
Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai oksigen terlarut di
perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi
Universitas Sumatera Utara
33
untuk kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 2 (1988) tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan yang menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang
diperbolehkan untuk badan air golongan C (perikanan) adalah lebih besar dari
3 mg/l. Boyd (1995) juga menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada
perairan yang memiliki kandungan oksigen minimal sebesar 3,00 mg/l.
BOD (Biochemical Oxygen Demand )
Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk menguraikan senyawa
organik. Hasil penelitian mendapatkan nilai BOD tertinggi dijumpai pada stasiun
3 (0,80 mg/l). Tingginya nilai BOD pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini
merupakan perairan yang berdekatan dengan areal perkebunan kelapa sawit,
sehingga kemungkinan masuknya senyawa organik dari hasil pemupukan organik
ke badan perairan cukup tinggi. Hutagalung (1997) menyatakan tingginya nilai
BOD dalam suatu perairan mengindikasikan banyaknya senyawa organik yang
terdapat di perairan.
Fraksi Substrat
Kelimpahan dan distribusi biota perairan termasuk udang putih
dipengaruhi oleh fraksi substrat (Peter, 2002). Hasil analisis fraksi substrat
menggambarkan substrat dasar perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
didominasi oleh substrat pasir. Substrat pasir sangat disenangi oleh udang putih
untuk mendukung kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Penn (1975)
Universitas Sumatera Utara
34
dalam Naamin (1984) yang menyatakan udang putih lebih menyukai perairan
dengan substrat berpasir.
Kelimpahan Udang Putih
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelimpahan udang putih
tertinggi dijumpai pada stasiun 2, dan kelimpahan terendah dijumpai pada stasiun
3 (Gambar 11). Kelimpahan udang putih yang tinggi pada stasiun 2 disebabkan
kondisi lingkungan perairan di stasiun ini cukup mendukung kehidupan udang
putih. Stasiun 2 memiliki kecepatan arus yang relatif lebih tenang (0,08 m/detik)
dibanding stasiun lainnya. Perairan yang relatif tenang sangat baik untuk
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dall et al. (1990) yang
menyatakan arus yang cukup tenang sangat disukai oleh udang putih, terutama
dalam hal mencari makan untuk mendukung pertumbuhannya.
Stasiun 2 juga memiliki nilai kecerahan air yang cikup rendah (30,50 cm)
dibanding stasiun lainnya. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung
kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramonowibowo (2007)
yang menyatakan perairan yang relatif keruh merupakan salah satu penyebab
banyaknya dijumpai populasi udang putih di suatu perairan, karena dapat
menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di
perairan tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran, yang akhirnya dapat
meningkatkan tingkatan hidup juvenil udang putih.
Universitas Sumatera Utara
35
Distribusi Udang Putih
Hasil analisis distribusi udang putih menggunakan indeks distribusi
Morista mendapatkan nilai Id > 3, yang menggambarkan distribusi udang putih
pada tiap stasiun tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok. Pola distribusi
berkelompok merupakan pola yang paling umum dijumpai dalam populasi di
alam, disebabkan udang putih cenderung mencari habitat yang sesuai untuk dapat
mendukung kehidupannya (Odum, 1998).
Karakteristik lingkungan pada setiap stasiun sangat mendukung kehidupan
udang putih. Suhu perairan di lokasi penelitian yang berkisar antara 30,00°C 30,50°C merupakan salah satu faktor yang mendukung kehidupan udang putih.
Fast dan Lester (1992) menyatakan udang putih umumnya menyukai perairan
yang memiliki suhu air berkisar antara 28,00°C-31,00°C. Salinitas perairan di
lokasi penelitian yang berkisar antara 29‰-31‰ juga berperan terhadap pola
distribusi udang putih. Mulya (2012) menyatakan jika salinitas di perairan cukup
tinggi (>31‰) maka udang putih tidak akan beruaya ke laut dalam untuk
memijah. Kandungan oksigen terlarut yang sesuai pada tiap stasiun juga
mendukung kehidupan udang putih di perairan estuari Suaka margasatwa Karang
Gading. Anggoro (1992) menyatakan laju respirasi udang putih mengikuti
ketersediaan oksigen terlarut di perairan. Pada salinitas rendah dengan kelarutan
oksigen tinggi, laju respirasi udang akan meningkat, sehingga udang putih
termasuk ke dalam organisme respiratory conformer.
Universitas Sumatera Utara
36
Pola Pertmbuhan Udang Putih
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih yang didapatkan,
terlihat bahwa pertumbuhan udang putih pada stasiun 1 dan stasiun 2 bersifat
allometrik positif dengan nilai b > 3. Pada stasiun 3 terlihat terdapat perbedaan
nilai b, dimana nilai b yang didapatkan adalah lebih kecil dari 3 atau b < 3
(Gambar 9), sehingga dapat dikatakan pertumbuhan udang putih pada stasiun 3
bersifat allometrik negatif. Berdasarkan nilai b yang didapatkan pada tiap stasiun
dapat dikatakan bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 pertambahan berat udang
putih lebih cepat dari pertambahan panjang karapasnya, sedangkan pada stasiun 3
pertambahan panjang karapas udang putih lebih cepat dari pertambahan beratnya.
Effendie (1997) menyatakan bila nilai b = 3, maka pertumbuhan dikatakan
isometrik atau pertambahan panjang karapas sama dengan pertambahan berat
tubuhnya, sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3, pertumbuhan
dikatakan allometrik atau pertambahan panjang karapas tidak sama dengan
pertambahan beratnya. Pendapat yang sama diutarakan oleh Setyadi (2015) yang
menyatakan pertumbuhan dikatakan sebagai pertumbuhan alometrik positif bila
nilai b > 3, yang menggambarkan bahwa pertambahan berat lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan panjang, sedangkan pertumbuhan dinyatakan
sebagai pertumbuhan alometrik negatif apabila nilai b < 3, yang menggambarkan
bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat.
Hasil penelitian mendapatkan udang putih pada stasiun 1 dan 2 terlihat lebih
banyak berukuran sedikit lebih besar/gemuk dibanding stasiun 3 (Lampiran 7).
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor misalnya kondisi lingkungan dan
perbedaan letak geografis lokasi penangkapan. Jennings, dkk. (2001) dalam
Universitas Sumatera Utara
37
Mulfizar, dkk. (2012) juga menyatakan secara umum, nilai b tergantung pada
kondisi lingkungan seperti suhu, pH, salinitas dan letak geografis. Nilai salinitas
air yang didapatkan pada stasiun 3 terlihat lebih rendah dari stasiun 1 dan 2 (Tabel
2). Nilai salinitas air pada stasiun 3 adalah sebesar 29‰, sedangkan pada stasiun 1
dan 2 masing-masing sebesar 31‰ dan 30‰. Fast dan Lester (1992) menyatakan
udang putih berukuran kecil umumnya lebih banyak hidup pada salinitas yang
berkisar antara 25,00‰ – 29,00‰.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil analisis terhadap faktor kondisi udang putih pada tiap stasiun
mendapatkan bahwa secara keseluruhan nilai faktor kondisi udang putih di setiap
stasiun menunjukkan nilai FK > 1. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udang
putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading secara morfologi
dapat dikatakan memiliki kemontokan yang baik. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Saputra (2005) yang menyatakan jika nilai faktor kondisi berkisar
antara 2-4 maka tubuh udang dapat dikatakan agak langsing, dan jika nilai faktor
kondisi berkisar antara 1 - 3 maka dapat dikatakan tubuh udang memiliki
kemontokan yang baik. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diduga bahwa
pada saat melakukan penelitian (bulan Mei – Juni 2015) merupakan awal musim
pemijahan udang putih P. merguiensis de Man, walaupun banyak juga didapatkan
udang putih yang berukuran kecil.
Universitas Sumatera Utara
38
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
1. Distribusi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok.
2. Pola pertumbuhan udang putih di stasiun 1 dan 2 perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading adalah allometrik positif, sedangkan pada stasiun
3 adalah allometrik negatif. Faktor kondisi udang putih di setiap stasiun secara
morfologi memiliki kemontokan yang baik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang aspek reproduksi dan laju
eksploitasi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading
dalam upaya pelestarian biota ini di alam.
2. Disarankan penggunaaan alat tangkap yang ramah lingkungan kepada nelayan
dalam mengeksploitasi sumberdaya udang putih di perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
5
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Udang Putih
Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom
Animalia, Filum Arthropoda, Subfilum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo
Decapoda, Famili Penaeidae, Genus Penaeus dan Spesies Penaeus merguiensis de
Man (Myers et al., 2008). Udang putih secara morfologi memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: Tubuh berwarna putih kekuningan dengan bintik coklat dan hijau.
Ujung ekor dan kaki berwarna merah, antennulae memilki garis merah tua dan
antena berwarna merah. Bittner dan Ahmad (1989) menyatakan tubuh udang putih
dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan
dada (sepalotoraks), dan bagian tubuh sampai ke pangkal ekor disebut abdomen.
Bagian kepala ditutupi karapas yang bagian ujungnya meruncing dan bergigi
disebut rostrum. Gigi rostrum bagian atas biasanya berjumlah 8 buah dan bagian
bawah 5 buah (8/5). Di bawah pangkal rostrum terdapat mata majemuk bertangkai
yang dapat digerakkan. Ukuran mata udang putih jauh lebih besar dari udang
windu, dan ukuran mata ini dapat digunakan untuk membedakan jenis udang putih
dengan udang windu pada tingkat juvenil.Tubuh terbagi atas ruas-ruas yang
ditutupi oleh eksoskeleton yang terbuat dari kitin, pada bagian kepala terdapat
13 ruas dan bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala diantara
rahang bawah/mandibula. Sisi kepala sebelah kanan dan kiri tertutup oleh kelopak
kepala, dimana terdapat insang. Kaki jalan/periopod terdiri atas lima pasang, dan
3 pasang diantaranya dilengkapi oleh capit/chelae. Pada bagian abdomen terdapat
lima pasang kaki renang (peliopod) yang terletak di setiap ruas, sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
6
ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas
atau sirip ekor (uropod) yang ujungnya membentuk ujung ekor (telson). Di bawah
pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus). Morfologi udang putih secara
lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.
c
j
k
a
i
d
l
b
g
f
e
h
Gambar 2. Morfologi udang putih P. merguiensis de Man (a) karapas
(b) mata (c) rostum (d) antena (e) antenula (f) kaki jalan (g) kaki
renang (h) telson (i) uropod (j) abdomen (k) sefalotoraks
(l) skafoserit.
Udang putih memiliki daerah penyebaran di perairan sepanjang pantai
timur Sumatera, Selat Malaka, pantai barat Sumatera, pantai utara Jawa, pantai
selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan Laut Arafura (Mulya, 2012).
Udang
putih
pada
tingkat
larva
membutuhkan
pakan
untuk
pertumbuhannya. Selama tingkat larva (nauplius) udang putih menggunakan
kuning telur yang dibawa sejak menetas sebagai sumber pakannya. Pada tingkat
mysis makanan udang putih berupa larva dari balanus, kopepoda, polikhaeta,
zooplankton, protozoa, dan rotifera. Pada tingat zoea udang putih mulai memakan
fitoplankton berupa diatom, dinoflagellata dan detritus. Pada stadia post larva dan
Universitas Sumatera Utara
7
juvenil udang putih memakan berbagai jenis algae, mesobentos, dan detritus. Pada
saat dewasa, udang putih sudah bersifat omnivora dan karnivora dengan pakan
alami berupa bivalvia kecil, gasropod, cacing anelida, cacing polikaeta, udangudang kecil, chironomus dan detritus (Pratiwi, 2008).
Daur Hidup Udang Putih
Daur hidup udang penaeid menurut Dall dkk. (1990) dibedakan atas tiga
macam, yaitu :
- Udang penaeid yang seluruh daur hidupnya berada di peairan estuari seperti:
Metapenaeus
elegans,
M.
conjunctus,M.
benettae,
M.
moyebi
dan
M. brevicornis. Pasca larva cenderung bermigrasi ke bagian hulu sungai dengan
salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi juvenil, bergerak kembali ke muara
sungai yang bersalinitas lebih tinggi. Seluruh spesies penaeid ini bersifat
eurihalin, tetapi mampu bertahan hidup di perairan tawar.
- Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di estuari, tetapi
memijah di dasar perairan antara pantai dan lepas pantai, seperti: Penaeus
indicus, P. monodon, P. japonicus, P. merguiensis, P. setiferus, Parapenaeopsis
hardwickii dan Xiphopenaeus kroyery.
- Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di perairan pantai,
tetapi memijah di dasar perairan lepas pantai. Udang jenis ini lebih menyukai
salinitas tinggi, sehingga tahapan dari siklus hidupnya tidak ada yang tinggal di
estuari, umumnya bersifat stenohalin, seperti Atypopenaeus dearmatus,
Heteropenaeus longimanus, Macropetasma africanus, Protrachypene precipua,
dan Trachypenaeus curvirostris.
Universitas Sumatera Utara
8
Daur hidup udang penaeid menurut FAO (2005) dibagi atas dua fase, yaitu
fase laut dan fase estuari (Gambar 3).
Gambar 3. Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man (FAO, 2005).
Udang putih banyak dijumpai di perairan tropik dan sub tropik Asia dan
Australia, antara 67° sampai 166° bujur timur dan antara 25° lintang utara sampai
29° lintang selatan. Daerah penyebarannya mulai dari daerah muara sungai
sampai ke tengah laut yang bervariasi menurut tingkatan hidupnya. Telur udang
putih akan menetas dalam waktu 14-24 jam menjadi nauplius. Dalam waktu
± 6 hari, nauplius selanjutnya berubah menjadi zoea setelah mengalami delapan
kali molting, dan pada tingkatan ini udang masih bersifat planktonis, sehingga
dengan bantuan arus akan menuju ke perairan pantai. Zoea akan berubah menjadi
mysis dalam waktu 4 hari, setelah mengalami tiga kali molting, dan sudah bersifat
kanibalisme, dengan pakan alaminya berupa udang-udang muda yang sedang
molting dan masih dalam kondisi lemah. Sifat kanibalisme ini sering muncul saat
udang dalam kondisi lapar. Dalam waktu ± 10 hari mysis akan berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
9
pascalarva setelah mengalami tiga kali molting (Chan,1998). Selanjutnya
Dall dkk., (1990) menyatakan pada tahap pascalarva ini udang sudah aktif
berenang dan bermigrasi ke daerah hulu estuari yang memiliki salinitas rendah,
dan mulai menuju ke dasar perairan. Mulya dkk., (2011) menyatakan pada saat
pascalarva, udang putih umumnya hidup di perairan estuari yang ditumbuhi hutan
mangrove dengan salinitas rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki
perakaran menjulur ke dalam perairan, sehingga sangat baik untuk tempat berlindung
dari serangan predator. Pascalarva secara bertahap akan berubah menjadi udang
juvenil setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit (± 3 bulan) dan aktif
mencari makan di perairan ini. Selama tiga sampai empat bulan udang juvenil
akan tumbuh menjadi dewasa, kemudian mulai beruaya ke arah perairan terbuka
untuk memijah.
Pertumbuhan Udang Putih
Pertumbuhan adalah perubahan bentuk dan ukuran, baik panjang, bobot
atau volume dalam waktu tertentu. Secara morfologi pertumbuhan diartikan
sebagai
perubahan
bentuk
(metamorfosis),
sedangkan
secara
energetik
pertumbuhan diartikan sebagai perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh
pada periode tertentu (Efendi, 1997). Pertumbuhan udang umumnya bersifat
diskontinyu karena hanya terjadi setelah ganti kulit yaitu saat kulit luarnya belum
mengeras sempurna (Allen dkk,1984). Hartnoll (1982) menyatakan pertumbuhan
larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan
struktur melalui proses metamorfosis dan ganti kulit, serta peningkatan biomassa
sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi massa tubuh udang.
Universitas Sumatera Utara
10
Tahap pertumbuhan udang penaeus dibedakan menjadi 4 stadia, yaitu:
stadia nauplius, stadia zoea, stadia mysis dan stadia pascalarva. Dari empat stadia
tersebut dapat dibedakan lagi menjadi: enam sub stadia nauplius (N1-N6), tiga sub
stadia zoea (Z1-Z3), tiga sub stadia mysis (M1-M3) sebelum mencapai PL1.
Pertumbuhan udang setelah substadia M3 lebih ditekankan pada perubahan
biomassa, baik bobot maupun ukuran tubuh. Pada setiap ganti kulit sebagian
massa hilang. Kehilangan massa pada setiap ganti kulit ini mengakibatkan
pertumbuhan udang menjadi diskontinyu.
Ferraris dkk. (1987)
menyatakan pertumbuhan udang secara internal
tergantung pada kelancaran proses molting dan tingkat kerja osmotik yang
dialaminya. Solis (1998) menyatakan selama stadia larva, udang penaeid
mengalami beberapa kali metamorfosis dan ganti kulit sampai stadia pascalarva.
Anggoro (1992) menyatakan hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh
kelancaran proses ganti kulit, mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh
osmoefektor antara cairan intra sel dengan cairan ekstra sel. Osmoefektor
anorganik (Na+ dan Cl-) berkonsentrasi tinggi di dalam cairan ekstra sel,
sebaliknya osmoefektor organik (asam amino bebas) dan ion K+ berkonsentrasi
tinggi di cairan intra sel. Perimbangan ini sangat menentukan pH optimum dan
kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu dipertahankan agar sel-sel
penyusun jaringan tubuh tumbuh dengan normal.
Pertumbuhan udang ditandai dengan adanya proses ganti kulit seperti
berikut ini:
- Udang mengalami proses molting atau melepaskan diri dari kulit luar
(eksoskleton).
Universitas Sumatera Utara
11
- Air diserap oleh udang yang menyebabkan ukuran udang bertambah besar.
- Kulit luar yang baru terbentuk
- Air secara bertahap hilang dan diganti dengan jaringan baru.
Pertumbuhan panjang udang merupakan fungsi berjenjang/step function.
Tubuh udang akan bertambah panjang pada setiap molting, dan tidak bertambah
panjang pada saat antar molting (intermolt). Pada setiap molting integumen
membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum
integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll 1982).
Pertumbuhan udang pada dasarnya bergantung kepada energi yang
tersedia, bagaimana energi tersebut digunakan di dalam tubuh dan akan terjadi
bila kebutuhan minimum untuk kehidupannya terpenuhi. Udang memperoleh
energi dari pakan yang dikonsumsi, dan kehilangan energi sebagai akiba