Kajian bioekologi udang putih (Penaeus merguiensis de Man)
SUMATERA UTARA
MISWAR BUDI MULYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Bioekologi Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Miswar Budi Mulya NIM C561060011
(3)
ABSTRACT
Miswar BUDI MULYA. Bioecological Study White Shrimp (Penaeus merguiensis de Man).
Under direction of
DIETRIECH G.BENGEN, RICHARDUS F.KASWADJI, and ETTY RIANI.White shrimp abundance is greatly influenced by food availability, existence of predators and competitors, as well as by characteristics of mangrove habitat. Changes in habitat quality in mangrove ecosystem directly affects the growth of this biota. The objective of the research were to determine suitable habitat characteristics of white shrimp based on maturity stage, and to determine spawning peak season and recruitment of white shrimp in mangrove ecosystem of Percut Sei Tuan North Sumatera. White shrimp habitat characteristics was evaluated based on biophysical and chemical parameters of environment at each station using principal component analysis. Spatio-temporal distribution was evaluated based on gonads maturity index using correspondence analysis.
Temporal distribution of female white shrimp was evaluated based on the maturity of gonads in each observation month.Correlation
a
nalysis of white shrimp spatial distribution with size, sex, gonads maturity, and mangrove species at each station/zone was also performed.P
rincipal component analysis results described that correlation between parameters centered on two main axes, each explaining 76.27% and 17.62% of total range.The
analysis classified three groups of individuals/station.Group I consisted stations 1, 2, and 3 characterized by dissolved oxygen, nitrate, phosphate, current speed, and clay substrate.Group II consisted stations 4 and 5 characterized by mangrove density, litter production, plankton abundance and macrozoobenthos, and high litter decomposition rates.Group III consisted of six stations characterized by water temperature, brightness, depth, salinity, pH, and high sand substrate.Analysis of white shrimp spatial distribution based on gonads maturity level using correspondence analysis showed information which centered on two main axes, each explaining 65.17% and 28.60% of total range. Analysis results also showed female adult white shrimps with mature gonads were found in waters which have temperature 29.00°C - 30.5°C, salinity 31‰ - 31.20‰, and pH 7.05 - 7.40. Spawning peak season of white shrimp in Mangrove Ecosystem of Percut Sei Tuan in June and January, and recruitment between September and October, as well as February and March.Keywords: white shrimp, bioecological, spatio-temporal distribution, mangrove ecosystem
(4)
RINGKASAN
MISWAR BUDI MULYA. Kajian Bioekologi Udang Putih (Penaeus merguiensis
de Man). Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, RICHARDUS F. KASWADJI, DAN ETTY RIANI.
Ekosistem mangrove memainkan peran penting dalam menunjang kehidupan udang putih. Tingginya produktivitas dan adanya ketersediaan pakan alami pada ekosistem ini, menjadikan udang putih yang berukuran kecil akan tumbuh dan berkembang menjadi udang dewasa. Udang putih pada semua fase hidupnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitatnya. Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan merupakan salah satu kawasan yang terletak di pesisir timur Sumatera Utara. Pada saat ini di beberapa bagian kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan telah mengalami degradasi akibat adanya kegiatan konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain, sehingga mengurangi fungsi ekosistem ini dalam menunjang kehidupan udang putih yang sebagian siklus hidupnya sangat bergantung pada ekosistem mangrove. Udang putih dalam menjalani kehidupannya selain sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, predator maupun kompetitor, juga oleh karakteristik habitat ekosistem mangrove tempat hidupnya. Perubahan kualitas habitat yang terjadi pada ekosistem mangrove secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan biota ini. Kelestarian populasi udang putih di alam dapat dijaga melalui upaya pengelolaan baik melalui tindakan konservasi habitat maupun pemulihan bagi populasi udang putih yang sudah tidak stabil. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara mendapatkan informasi mengenai aspek bioekologi udang putih secara lebih detail, baik yang mencakup struktur populasi dan aspek reproduksi, sampai pada faktor-faktor biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Struktur populasi udang putih dilakukan dengan menganalisa pola distribusi spasial dan temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan dan umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, serta rekruitmen. Aspek reproduksi dengan menganalisa rasio kelamin, ukuran dewasa kelamin, dan pola pemijahan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik habitat yang sesuai bagi keberadaan udang putih betina dewasa kelamin dan matang gonad, mengetahui puncak musim pemijahan dan rekruitmen udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara.
Karakteristik habitat udang putih berdasarkan variasi parameter biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun dianalisa menggunakan principal component analysis, pola distribusi menggunakan indeks distribusi Morisita, pola pertumbuhan menggunakan regresi linier sederhana, parameter pertumbuhan menggunakan program ELEFAN yang terakomodasi dalam program FISAT II, ukuran minimum dan maksimum dapat diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap, laju mortalitas dianalisa menggunakan laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FISAT II, dan rekruitmen udang putih dapat diketahui melalui analisa pola rekruitmen dari program FISAT II. Tingkat kematangan gonad udang putih betina dilihat berdasarkan bentuk, ukuran, warna gonad, panjang karapaks, dan bobot tubuh. Rasio kelamin dapat diketahui dengan analisa perbandingan jumlah individu jantan terhadap individu betina yang tertangkap pada tiap stasiun, dan
(5)
pola pemijahan dapat diketahui dengan melihat tingkat kematangan gonad udang betina (TKG 4) pada setiap bulan.
Distribusi spasial udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, tingkat kematangan gonad, dan distribusi temporal udang betina pada tiap bulan pengamatan dianalisa menggunakan correspondence analysis. Pada penelitian ini juga dilakukan analisa keterkaitan distribusi spasial udang putih berdasarkan kelas ukuran, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad dengan jenis mangrove pada setiap zona/stasiun.
Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisik kimia lingkungan pada matriks korelasi menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter terpusat pada dua sumbu utama yang masing-masing menjelaskan sebesar 71,26% dan 12,53% dari ragam total. Dalam diagram sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 membentuk 3 kelompok individu/stasiun yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik kimia berbeda. Kelompok individu I yang terdiri atas Stasiun 1, 2, dan 3 dicirikan oleh kandungan oksigen terlarut, nitrat, fosfat, kecepatan arus, dan lumpur yang tinggi. Kelompok individu II yang terdiri atas Stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh kerapatan mangrove, produksi serasah, kelimpahan plankton, kelimpahan makrozoobentos, dan laju dekomposisi serasah yang tinggi. Kelompok individu III terdiri atas Stasiun 6 dicirikan oleh suhu air, kecerahan air, kedalaman perairan, salinitas air, salinitas substrat, pH, dan substrat pasir yang tinggi.
Kelimpahan udang putih jantan maupun betina tertinggi dijumpai pada Stasiun 5 masing-masing sebesar 139 ind/m2 dan 142 ind/m2, sedangkan terendah pada Stasiun 1 masing-masing sebesar 119 ind/m2. Kelas ukuran udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan dikelompokkan atas tiga kelas ukuran, yaitu: berukuran kecil dengan panjang karapaks 1,85 cm – 2,94 cm, sedang dengan panjang karapaks > 2,94 cm – 4,03 cm, dan besar dengan panjang karapaks > 4,03 cm. Kelimpahan udang putih betina matang gonad tertinggi dijumpai pada Stasiun 6 sebesar 119 ind/m2, sedangkan terendah pada Stasiun a dan 2 masing-masing sebesar 5 ind/m2 dan 4 ind/m2. Panjang karapaks minimum
udang putih jantan berkisar 1,85 cm – 1,99 cm dengan bobot tubuh 1,74 g – 2,19 g, dan panjang karapaks maksimum berkisar 4,04 cm – 4,36 cm dengan
bobot tubuh 17,31 g – 29,95 g. Panjang karapaks minimum udang betina berkisar 2,40 cm – 2,42 cm dengan bobot tubuh 3,42 g – 3,44 g, dan panjang karapaks maksimum berkisar 4,27 cm – 4,69 cm dengan bobot tubuh 17,53 g – 37,81 g. Ukuran panjang karapaks udang putih betina pertama kali matang gonad adalah 4,54 cm.
Pola pertumbuhan udang putih di lokasi kajian termasuk ke dalam pola pertumbuhan allometrik negatif. Panjang karapaks infiniti (L∞) yang mampu dicapai udang putih jantan maupun betina yang tertangkap selama 12 bulan pengamatan pada tiap stasiun, masing-masing sebesar 4.36 cm dan 4.69 cm, dengan nilai koefisien pertumbuhan sebesar 1.10 dan 0.77. Laju mortalitas udang putih jantan lebih tinggi dari udang betina dengan nilai laju mortalitas total masing-masing sebesar 4.81 per tahun dan 3.98 per tahun, laju mortalitas alami
3.03 per tahun dan 2.31 per tahun, sedangkan laju mortalitas penangkapan 1.78 per tahun dan 1.67 pertahun. Pemijahan udang putih di Ekosistem Mangrove
(6)
Februari dan Maret.
Hasil analisis distribusi spasial kelas ukuran dan jenis kelamin udang putih menggunakan correspondence analysis, memperlihatkan informasi distribusi spasial terpusat pada 2 sumbu utama yang masing-masing menjelaskan sebesar 81.74% dan 16.05% dari ragam total. Hasil analisis juga mampu mengelompokkan titik-titik pengamatan atas 3 kelompok besar yang mempunyai keterkaitan erat antara kelompok udang putih menurut kelas ukuran dan jenis kelamin dengan stasiun pengamatan yang masing-masing memiliki karakteristik biofisik berbeda. Kelompok I terdiri atas Stasiun 1, 2, dan 3 dicirikan oleh melimpahnya udang putih jantan maupun betina berukuran kecil dengan karakteristik habitat memiliki kandungan oksigen terlarut tinggi, nitrat, fosfat, kecepatan arus, dan kandungan lumpur yang tinggi. Kelompok II terdiri atas Stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh melimpahnya udang putih jantan dan betina berukuran sedang dengan karakteristik habitat memiliki kerapatan mangrove tinggi, produksi serasah tinggi, laju dekomposisi serasah tinggi, kelimpahan plankton dan makrozoobentos tinggi. Kelompok III terdiri atas Stasiun 6 yang merupakan zona depan/perairan pantai, dicirikan oleh melimpahnya udang putih jantan dan betina berukuran besar, dengan karakteristik habitat memiliki suhu air tinggi, kecerahan air tinggi, kedalaman air tinggi, salinitas air dan substrat tinggi, pH air tinggi, serta substrat pasir tinggi.
Hasil analisis distribusi spasial udang putih menurut tingkat kematangan gonad menggunakan correspondence analysis memperlihatkan informasi distribusi spasial terpusat pada 2 sumbu utama yang masing-masing menjelaskan sebesar 65.17% dan 28.60% dari ragam total. Hasil analisis juga memperlihatkan udang putih betina dewasa kelamin dan sudah matang gonad banyak ditemukan pada perairan yang memiliki suhu 29.00°C-30.05°C, salinitas 31‰-31.20‰, dan pH 7.05-7.40.
Keywords: udang putih
,
bioekologi, distribusi spasio-temporal, ekosistem mangrove(7)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(8)
KAJIAN BIOEKOLOGI UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis
de Man) DI EKOSISTEM MANGROVE PERCUT SEI TUAN
SUMATERA UTARA
MISWAR BUDI MULYA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(9)
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Prof. Dr. Ir. Dedi Soedarma, DEA
(10)
Nama : Miswar Budi Mulya
NIM : C561060011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Ketua
Dr. Ir. Richardus F Kaswadji, M.Sc. Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, MSc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr.
(11)
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2010 – Desember 2010 ini adalah bioekologi, dengan Judul Kajian Bioekologi Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA; Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, MSc, dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, perhatian, bimbingan maupun saran serta masukan hingga selesainya karya ilmiah ini.
2. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedarma, DEA
atas kritik dan sarannya demi perbaikan karya ilmiah ini.
3. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu Kelautan, yang telah memfasilitasi kami untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Institut Pertanian Bogor.
4. Staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberi dan memperkaya bekal ilmu serta wawasan kepada kami.
5. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor, serta Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa pendidikan melalui beasiswa BPPS.
6. Bapak Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara, Bapak Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang yang telah mendukung penelitian ini, dan mahasiswa Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama pengumpulan data.
7. Teman-teman angkatan 2006 Program Studi Ilmu Kelautan, terutama Dr. Ir. Muhammad Ramli, MSi atas kebersamaannya.
8. Kedua Orangtua ku: Almarhum Bapak Mislan dan Almarhumah Ibu Mariam yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh rasa kasih sayang, hingga penulis dapat meraih cita-cita.
9. Keluarga besar Almarhum Bapak H. Iskandar Hadinoto, terutama kakanda Ismet Irawadi yang selalu memberikan semangat dan dukungan materi hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Doktor.
10.Istri dan anak-anak ku tercinta, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Januari 2012
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 10 Oktober 1969 sebagai anak kelima dari pasangan Bapak Mislan (Alm) dan Ibu Mariam (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, lulus pada Tahun 1995. Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program
Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh
pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara sejak tahun 1997. Dua buah artikel ilmiah berjudul Distribusi dan Pola Pertumbuhan Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara akan diterbitkan pada jurnal Omni Akuatika pada tahun 2012. Artikel lain berjudul Kelimpahan dan Performa Reproduksi Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man) di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara akan diterbitkan pada jurnal Biologi Sumatera pada tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 2
1.3. Kerangka Pemikiran ... 4
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Kebaharuan Penelitian (Novelty) ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Deskripsi Hutan mangrove ... 7
2.2. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ... 7
2.3. Peran Ekosistem Mangrove dalam Menunjang Sumberdaya Udang Penaeid ... 9
2.4. Sistematika dan Morfologi Udang Putih P. merguiensis de Man ... 10
2.5. Daur Hidup Udang Putih ... 12
2.6. Pakan dan Pemanfaatan Pakan ... 15
2.7. Pertumbuhan Udang Putih ... 15
2.8. Reproduksi Udang Putih ... 17
2.9. Tingkat Kematangan Gonad ... 19
2.10. Rekruitmen Udang Putih ... 20
2.11. Preferensi Udang Putih terhadap Parameter Fisik Kimia Air ... 21
III. METODE PENELITIAN ... 23
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23
3.2. Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan ... 23
3.3. Aspek yang Dikaji ... 26
3.4. Prosedur Pengumpulan Data ... 28
3.4.1. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat ... 28
3.4.2. Parameter Biologi ... 29
3.4.2.1. Pengukuran Vegetasi Mangrove ... 29
3.4.2.2. Pengukuran Produksi Serasah Mangrove ... 30
3.4.2.3. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah ... 31
3.4.2.4. Pengambilan Contoh Plankton dan Makrozoobentos .... 33
3.4.2.5. Pengambilan Contoh Udang Putih ... 34
3.5. Analisa Data ... 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
4.1. Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat ... 45
4.1.1. Suhu Air ... 45
4.1.2. Kecerahan Air ... 45
4.1.3. Kecepatan Arus ... 46
4.1.4. Kedalaman Perairan ... 46
4.1.5. Oksigen Terlarut ... 46
(14)
4.1.7. pH air ... 47
4.1.8. Nitrat dan Fosfat ... 48
4.1.9. Fraksi Substrat ... 48
4.2. Parameter Biologi ... 50
4.2.1. Kerapatan Mangrove ... 50
4.2.2. Produksi Serasah ... 51
4.2.3. Laju Dekomposisi Serasah ... 53
4.2.4. Kelimpahan Plankton dan Makrozoobentos ... 54
4.3. Karakteristik Lingkungan Mangrove ... 56
4.4. Karakteristik Habitat Udang Putih ... 60
4.5. Kelimpahan Udang Putih ... 63
4.5.1. Kelimpahan Individu ... 63
4.5.2. Kelimpahan Udang Putih per Jenis Kelamin ... 64
4.5.3. Kelimpahan Udang Putih Berdasarkan Kelas Ukuran ... 65
4.5.4. Kelimpahan Udang Putih Betina Matang Gonad ... 66
4.6. Struktur Populasi Udang Putih ... 67
4.6.1. Ukuran Minimum dan Maksimum ... 67
4.6.2. Pola Distribusi Udang Putih ... 68
4.6.3. Pola Pertumbuhan Udang Putih ... 69
4.6.4. Faktor Kondisi ... 70
4.6.5. Parameter Pertumbuhan ... 71
4.6.6. Umur Teoritis Saat Panjang Karapaks Udang Nol ... 72
4.6.7. Laju Mortalitas ... 73
4.6.8. Rekruitmen ... 74
4.7. Aspek Reproduksi ... 75
4.7.1. Nisbah Kelamin ... 75
4.7.2. Ukuran Udang Betina Pertama Kali Matang Gonad ... 76
4.7.3. Pola Pemijahan ... 76
4.8. Distribusi Spasial Udang Putih P. merguiensis de Man ... 78
4.8.1. Distribusi Spasial Udang Putih Berdasarkan Kelas Ukuran dan Jenis Kelamin ... 78
4.8.2. Distribusi Spasial Udang Putih Berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad ... 81
4.9. Hubungan Distribusi Kelas Ukuran Udang Putih dengan Mangrove dan Karakteristik Lingkungannya... 84
4.10. Distribusi Temporal Udang Putih Berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad ... 88
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
5.1. Kesimpulan ... 91
5.2. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tingkatan, sub tingkatan dan ciri morfologi P. merguiensis de Man ... 12
2. Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran ... 24
3. Aspek bioekologi udang putih P. merguiensis de Man yang dikaji ... 26
4. Nilai parameter fisik kimia air dan substrat pada tiap stasiun ... 48
5. Produksi serasah (g/m2/th berat kering) pada tiap stasiun ... 52
6. Bobot serasah (g/berat kering) daun mangrove pada eksperimen laju dekomposisi ... 53
7. Nilai konstanta (k) laju dekomposisi serasah pada tiap stasiun ... 53
8. Kelimpahan udang putih (ind/ m2) pada tiap stasiun ... 63
9. Ketersediaan pakan alami udang putih pada tiap stasiun ... 64
10. Ukuran panjang karapaks dan bobot tubuh udang putih pada tiap stasiun ... 68
11. Indeks distribusi udang putih pada tiap stasiun ... 68
12. Laju mortalitas total (Z), alami (M), dan penangkapan (F) udang putih per tahun di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan ... 73
13. Persentase rekruitmen bulanan udang putih jantan dan betina di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan ... 75
14. Nisbah kelamin udang putih pada tiap stasiun ... 75
15. Hubungan distribusi kelas ukuran udang putih dengan jenis mangrove dan karakteristik lingkungan ... 87
(16)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran dan alur penelitian ... 5
2. Morfologi udang putih P. merguiensis de Man ... 11
3. Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man ... 13
4. Tingkat perkembangan dan kematangan gonad induk betina udang putih P. merguiensis de Man ... 20
5. Peta lokasi penelitian ... 25
6. Disain metode transek garis dalam pengukuran vegetasi mangrove ... 29
7. Prosedur penempatan litter-trap pada tiap stasiun ... 30
8. Prosedur pengukuran produksi serasah ... 31
9. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah ... 33
10. Ambai yang digunakan untuk pengambilan sampel udang putih ... 35
11. Nilai fraksi substrat (%) pada tiap stasiun ... 49
12. Kerapatan mangrove (ind/ha) kategori pohon pada tiap stasiun ... 50
13. Kerapatan mangrove (ind/ha) kategori permudaan pada tiap stasiun ... 51
14. Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen pada tiap stasiun ... 54
15. Kelimpahan plankton (sel/m3) pada tiap stasiun ... 55
16. Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) pada tiap stasiun ... 55
17. Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisik kimia lingkungan dan jenis mangrove pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 57
18. Diagram representasi sebaran atasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimia lingkungan dan jenis mangrove pada sumbu 1 dan 2 ... 58
19. Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 61
20. Diagram representasi sebaran stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan pada sumbu 1 dan 2 ... 62
21. Kelimpahan udang putih perjenis kelamin (ind/m2) pada tiap stasiun ... 65
22. Kelimpahan udang putih berdasarkan kelas ukuran (ind/m2) pada tiap stasiun ... 65
23. Kelimpahan udang putih matang gonad (ind/m2) pada tiap stasiun ... 66
24. Hubungan panjang bobot udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan ... 69
(17)
25. Faktor kondisi udang putih P. merguiensis de Man pada tiap
bulan di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan ... 71 26. Kurva parameter pertumbuhan udang putih selama 12 bulan
pengamatan ... 72 27. Kelimpahan udang putih berdasarkan tingkat kematangan gonad
(ind/m2) pada tiap stasiun ... 77
28. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan
modalitas ukuran dan jenis kelamin udang putih P. merguiensis de Man
pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 79 29. Diagram analisis koresponden keterkaitan stasiun pengamatan dengan
tingkat kematangan gonad (TKG) udang putih P. merguiensis de Man
pada sumbu 1 dan sumbu 2 ... 82 30. Hubungan distribusi kelas ukuran udang putih dengan jenis mangrove
dan karakteristik lingkungan pada tiap stasiun ... 84 31. Diagram analisis koresponden keterkaitan tingkat kematangan gonad
udang putih P. merguiensis dengan bulan pengamatan pada sumbu 1
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kerapatan jenis mangrove pada tiap stasiun ... 102
2. Produksi serasah (g/m2/30 hari berat kering) pada tiap stasiun ... 103
3. Kelimpahan plankton (sel/l) pada tiap stasiun ... 104
4. Kelimpahan makrozoobentos (ind/900 cm2) pada tiap stasiun ... 106
5. Data curah hujan di Kecamatan Percut Sei Tuan ... 107
6. Hasil analisis komponen utama jenis mangrove dan karakteristik lingkungan ... 108
7. Hasil analisis komponen utama karakteristik habitat udang putih ... 114
8. Kelimpahan udang putih jantan (ind/192 m2) pada tiap stasiun ... 118
9. Kelimpahan udang putih betina (ind/192 m2) pada tiap stasiun ... 119
10. Ketersediaan pakan alami pada tiap stasiun dalam tiap 1 (satu) ekor udang putih ... 120
11. Hasil analisis koresponden udang putih berdasarkan kelas ukuran dan jenis kelamin pada tiap stasiun ... 121
12. Hasil analisis koresponden udang putih berdasarkan tingkat kematangan gonad pada tiap stasiun ... 124
(19)
I PENDAHULUAN
1.1Latar BelakangEkosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini
didominasi oleh berbagai jenis pohon mangrove yang umumnya tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. Selain berfungsi sebagai peredam gelombang, pelindung pantai, dan perangkap sedimen, ekosistem mangrove juga berperan sebagai daerah asuhan/nursery ground dan mencari makan/feeding ground
berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan berbagai jenis kepiting. Ekosistem mangrove juga merupakan kawasan potensial untuk pengembangan sektor perikanan di wilayah pesisir, terutama yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang putih P. merguiensis de Man.
Udang putih P. merguiensis de Man termasuk ke dalam famili Penaeidae dan suku Decapoda. Biota ini banyak ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia, mulai dari daerah muara sungai yang ditumbuhi pohon mangrove, perairan pantai di sekitar kawasan mangrove seperti estuari, laguna, dan teluk, sampai perairan terbuka. Udang P. merguiensis de Man dalam perdagangan internasional lebih dikenal dengan sebutan jaira/jiaro (Pakistan), udang kaki merah (Malaysia), kung chaebauy (Thailand), pak ha (Hongkong), dan banana prawn atau white shrimp (Australia) (Holthuis 1980). Di Indonesia udang ini dikenal dengan nama udang putih atau udang jerbung, sedangkan di Medan Sumatera Utara lebih dikenal dengan nama udang kelong. Harga udang putih di Sumatera Utara pada tahun 2010 berkisar antara Rp 60.000,- sampai Rp 70.000,- per kilogram. Tingginya harga pasar dan semakin meningkatnya permintaan masyarakat, menjadikan udang putih ini sebagai salah satu komoditas unggulan daerah di sektor perikanan.
Ekosistem mangrove memainkan peran penting dalam menunjang kehidupan udang putih. Tingginya produktivitas dan adanya ketersediaan pakan alami pada ekosistem ini, menjadikan udang putih yang berukuran kecil akan tumbuh dan berkembang menjadi udang dewasa. Udang putih umumnya hidup sebagai fauna bentik di ekosistem mangrove dan mendapatkan makanan dari substrat dasar perairan. Ekosistem mangrove juga berperan dalam mendukung
(20)
distribusi udang putih. Hal ini disebabkan selain ekosistem mangrove selalu ada kaitannya dengan ketersediaan pakan alami seperti yang disebutkan di atas, juga karena karakteristik biofisik kimia lingkungannya mendukung aktifitas biota tersebut. Pramonowibowo et al. (2007) menyatakan suhu dan salinitas diduga merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi spasial udang putih, demikian pula dengan fraksi substrat.
Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan merupakan kawasan yang terletak di pesisir timur Sumatera Utara. Pada saat ini di beberapa bagian kawasan ini telah mengalami degradasi akibat adanya kegiatan konversi lahan menjadi peruntukan lain, seperti lahan permukiman, pertanian, dan pertambakan (BAPPEDA Kabupaten Deli Serdang 2008), serta adanya kegiatan penebangan kayu oleh masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini akan mengurangi luasan hutan mangrove, dan kemungkinan penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya udang putih akibat terjadinya kerusakan daerah asuhan dan mencari makan biota ini, sehingga berdampak langsung terhadap penurunan populasi udang putih di alam.
1.2 Perumusan Masalah
Produksi udang putih di Kecamatan Percut Sei Tuan pada lima tahun terakhir ini semakin mengalami penurunan. Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang (2009) menunjukkan sejak tahun 2004 sampai dengan
2008 telah terjadi penurunan produksi udang putih sebesar 23,39% dari 9.995,45 ton/tahun menjadi 7.657,51 ton/tahun. Semakin menurunnya produksi
udang putih di alam diduga disebabkan telah terjadinya penurunan kerapatan mangrove akibat adanya konversi hutan mangrove. Martosubroto (1978) menyatakan terdapat hubungan linier positif antara kerapatan mangrove dengan produksi udang. Semakin tinggi kerapatan mangrove, produksi udang yang dihasilkan juga semakin tinggi, demikian sebaliknya. Hal ini disebabkan hutan mangrove menyediakan makanan bagi udang dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun/serasah serta berbagai jenis plankton dan makrozoobentos. Kerapatan mangrove yang tinggi juga dapat meningkatkan tingkatan hidup udang juvenil, disebabkan perakaran mangrove yang menjulur
(21)
ke dalam perairan, menjadikannya sebagai tempat persembunyian bagi udang juvenil dari serangan predator.
Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan penulis pada tahun 2009 selama empat bulan pengamatan (April - Juli), mendapatkan data laju mortalitas alami (M) udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan sebesar 3,19, laju mortalitas penangkapan (F) 1,76, dan laju mortalitas total (Z) 4,95. Berdasarkan nilai laju mortalitas penangkapan dan mortalitas total tersebut, didapatkan nilai laju eksploitasi (E) sebesar 0,36. Sparre dan Venema (1999) menyatakan bila nilai laju eksploitasi (E) < 0,50, menggambarkan belum terjadinya over eksploitasi terhadap suatu biota di suatu kawasan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan penurunan populasi udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan lebih disebabkan oleh mortalitas alami. Laju mortalitas alami terjadi selain disebabkan udang putih yang tidak tertangkap akan mati secara alami karena pemangsaan dan mencapai umur tua, juga disebabkan daya dukung lingkungan yang kurang menunjang kehidupannya. Udang putih pada semua fase hidupnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitatnya. Konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain dapat mengurangi fungsi ekosistem ini dalam menunjang kehidupan udang putih yang sebagian siklus hidupnya sangat bergantung pada ekosistem mangrove. Udang putih dalam menjalani kehidupannya selain sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, predator maupun kompetitor, juga oleh karakteristik habitat ekosistem mangrove tempat hidupnya. Perubahan kualitas habitat yang terjadi pada Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan biota ini.
Kawasan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan memiliki garis pantai sepanjang 65 km yang seluruhnya ditumbuhi hutan mangrove. Pada saat ini kawasan mangrove Percut Sei Tuan telah mengalami degradasi cukup parah, yaitu sekitar 2.872 ha akibat adanya konversi lahan menjadi peruntukan lain, sehingga luas hutan mangrove yang masih dalam kondisi baik hanya sekitar 728 ha, dengan panjang garis pantai yang sama (BAPPEDA Kabupaten Deli Serdang 2008). Kondisi ini dapat merubah fungsi ekologis ekosistem mangrove yang merupakan perpaduan antara fungsi fisik dan biologi, dan dikhawatirkan akan berimplikasi
(22)
terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya udang putih akibat terjadinya kerusakan daerah asuhan dan mencari makan biota tersebut.
Kelestarian populasi udang putih di alam dapat dijaga melalui upaya pengelolaan baik melalui tindakan konservasi habitat maupun pemulihan bagi populasi udang putih yang sudah tidak stabil. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara mendapatkan informasi mengenai aspek bioekologi udang putih secara lebih detail, baik yang mencakup struktur populasi, aspek reproduksi, sampai pada faktor-faktor biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhannya.
1.3 Kerangka Pemikiran
Degradasi habitat/ekosistem mangrove dapat menjadi penyebab menurunnya populasi udang putih di alam, selain adanya kegiatan eksploitasi/penangkapan. Tingkat eksploitasi/penangkapan tidak dilihat dalam penelitian ini, disebabkan
dari hasil penelitian pendahuluan didapatkan tingkat eksploitasi yang rendah (E = 0,36). Kelestarian populasi udang putih di alam dapat dijaga dengan melakukan upaya-upaya pengelolaan baik melalui tindakan konservasi habitat maupun upaya pemulihan bagi populasi udang putih yang sudah tidak stabil.
Upaya konservasi habitat dilakukan dengan menganalisa karakteristik biofisik kimia lingkungan, yang mencakup parameter biologi dan fisik kimia. Data karakteristik biofisik kimia lingkungan tersebut diperoleh dengan melakukan pengklasifikasian wilayah (zona) berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (pertambakan, permukiman dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik habitat udang putih secara keseluruhan pada lokasi penelitian.
Pemulihan populasi udang putih dapat dilakukan dengan mengevaluasi struktur populasi dan aspek reproduksinya. Struktur populasi udang putih dilakukan dengan menganalisa pola distribusi spasial serta distribusi temporal (betina matang gonad), pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan dan umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, serta laju mortalitas di perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Kerangka pemikiran dan alur penelitian secara lebih jelas tersaji pada Gambar 1.
(23)
5 Sumberdaya
Perairan Percut Sei Tuan
Permasalahan
Pemecahan masalah
Udang putih
(P. merguiensis de Man)
Terjadi penurunan produksi
Degradasi habitat
Kajian bioekologi udang putih secara menyeluruh
Eksploitasi
Jenis data Udang Putih Karakteristik habitat
Keluaran Metode
Data dan informasi
Distribusi spasio-temporal
Pola pertumbuhan
•Parameter
pertumbuhan
•Ukuran min & maks
•Mortalitas
•Rekruitmen
Correspondence analysis
Regresi
linear FISAT II
•Rasio kelamin
•Dewasa kelamin
•Pola pemijahan
Principal component analysis
Gambar 1 Kerangka pemikiran dan alur penelitian. tidak diteliti.
Mengetahui karakteristik habitat yang sesuai bagi keberadaan udang putih betina dewasa kelamin dan matang gonad
•Kerapatan mangrove •Kedalaman perairan
•Produksi serasah •Fraksi substrat
•Laju dekomposisi •DO
•Suhu air •Salinitas
•Kecerahan air •pH
(24)
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
- Mengetahui karakteristik habitat yang sesuai bagi keberadaan udang putih betina dewasa kelamin dan matang gonad.
- Mengetahui puncak musim pemijahan dan rekruitmen udang putih di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan ekosistem mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi udang penaeid.
1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty)
Penelitian ini mengkaji parameter-parameter utama/parameter penting yang mempengaruhi distribusi spasial udang putih betina dewasa kelamin dan matang gonad.
(25)
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Hutan MangroveHutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove, yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Bengen (2002) menyatakan komunitas vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang-surut yang kuat. Gunarto (2004) dan Kasim (2006) menyatakan hutan mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuari sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa oleh air sungai dari daerah hulu. Kawasan mangrove merupakan kawasan yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.
Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis, Sneda dan
Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku (Bengen 2002). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Noor et al. (1999) menyatakan dari 202 jenis tersebut, 43 jenis disebut sebagai mangrove sejati (true mangrove), sedangkan jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove ikutan (associated mangrove).
2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi mencakup fungsi fisik dan biologi/ekologi (Knox 1986; Bengen 2002). 2.2.1 Fungsi Fisik
Hutan mangrove berperan penting dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir melalui penjebakan sedimen dan sisa bahan organik yang terbawa air sungai dari daratan. Kondisi ini menyebabkan pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-state equilibrium) sehingga akan memelihara ekosistem padang
(26)
lamun dan terumbu karang. Endapan lumpur yang terperangkap akan menyebabkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Proses ini menyebabkan mangrove sering dikatakan sebagai pembentuk daratan. Hutan mangrove juga berperan dalam melindungi pantai dari angin kencang, abrasi dan pengendali banjir.
2.2.2 Fungsi Biologi/Ekologis
Hutan mangrove mempunyai nilai produktivitas bersih yang cukup
tinggi, yakni biomassa sebesar 62,90 – 398,80 ton/ha/th dan guguran serasah 5,80 – 25,80 ton/ha/th. Hal ini disebabkan daun mangrove yang jatuh dan masuk
ke kolom air setelah mencapai dasar akan diuraikan oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian berupa detritus dapat digunakan sebagai makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan air lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di ekosistem ini. Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai sumber plasma nuftah. Snedaker dan Getter (1985) menyatakan sekitar 80% dari jenis-jenis biota laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase di ekosistem mangrove.
Hutan mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Fitoplankton selanjutnya dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustase termasuk udang putih. Sukardjo (1995) menyatakan guguran serasah daun mangrove sebesar 13,08 ton/ha/th dapat
menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Mahmudi et al. (2008) mendapatkan ekosistem mangrove di
Nguling Pasuruan hasil reboisasi dari jenis Rhizophora mucronata seluas 57,10 ha berpotensi menghasilkan produksi serasah daun sebesar 1.119,16 kg/ha/th dan menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 507,35 kg N/th, 21,90 kg P/th dan 25121,52 kg C/th.
(27)
2.3 Peran Ekosistem Mangrove dalam Menunjang Sumberdaya Udang Penaeid
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem ekologi tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, dipengaruhi pasang surut air laut, dan didominasi oleh
spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan payau (Santoso 2000). Ekosistem mangrove memainkan peran penting dalam menunjang kehidupan berbagai biota perairan termasuk udang putih. Chong et al. (1990) menyatakan campuran deposit organik dengan tumbuhan, bakteri, diatom, dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di substrat mangrove merupakan sumber makanan bagi udang putih. Biota ini umumnya menghabiskan masa mudanya (pascalarva dan juvenil) di ekosistem mangrove sebelum beruaya ke laut lepas untuk memijah.
Sebagai fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor yaitu: tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan perairan, dan keragaman vegetasi. Konsentrasi bahan organik yang tinggi pada ekosistem mangrove disebabkan adanya aliran air tawar dari sungai, pencampuran air akibat terjadinya pasang surut, serta produktivitas yang tinggi, merupakan faktor penting dari rantai makanan sehingga udang putih banyak ditemukan di ekosistem ini. Faktor kekeruhan di perairan mangrove juga merupakan salah satu penyebab banyaknya dijumpai populasi udang putih di ekosistem ini, disebabkan dapat menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran udang putih, yang akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup juvenil biota tersebut. Keragaman vegetasi mangrove yang tinggi dengan perakaran yang menjulur ke dalam perairan sangat baik sekali untuk tempat berlindung udang putih juvenil dari predator, sehingga biota ini banyak dijumpai di ekosistem mangrove (Knox 1986).
(28)
2.4 Sistematika dan Morfologi Udang Putih Penaeus merguiensis de Man Udang putih P. merguiensis de Man menurut Myers et al. (2008) dapat dikelompokkan ke dalam Kingdom Animalia, Phylum Arthropoda, Subphylum Crustacea, Class Malacostraca dengan sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Crustacea Class : Malacostraca
Subclass : Eumalacostraca Super Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobranchiata Super Family : Penaeoidea Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus merguiensis de Man
Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam Famili Penaedae (termasuk udang putih P. merguiensis) secara garis besar dapat dibedakan dari jenis udang famili lainnya oleh dua ciri utama yaitu : pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua tertutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan (periopod) pertama mempunyai capit (chelae) yang hampir sama besarnya (Naamin 1984).
Udang putih secara morfologi ditandai dengan warna badan yang berwarna putih kekuningan dengan bintik coklat dan hijau. Umumnya memiliki panjang total 24 cm untuk betina, dan 20 cm untuk jantan. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennulae bergaris-garis merah tua dan antena berwarna merah. Bittner dan Ahmad (1989) menyatakan tubuh udang putih dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (sepalotoraks), dan bagian tubuh sampai ke pangkal ekor yang disebut abdomen. Bagian kepala ditutupi oleh sebuah kelopak kepala (karapaks) yang bagian ujungnya meruncing dan bergigi disebut cucuk kepala (rostrum). Pada udang putih gigi rostrum bagian atas biasanya berjumlah 8 buah dan bagian bawah 5 buah sehingga didapatkan rumus gigi rostrum 8/5. Seluruh tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kulit luar yang mengeras (eksoskeleton) terbuat dari kitin (Gambar 2), di bagian kepala terdapat 13 ruas dan bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala diantara rahang (mandibula). Di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal rostrum terdapat mata
(29)
majemuk bertangkai yang dapat digerakkan. Ukuran mata udang putih jauh lebih besar dari udang windu, dan ukuran mata ini dapat digunakan untuk membedakan jenis udang putih dengan udang windu pada tingkat juvenil.
Gambar 2 Morfologi udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Bittner dan Ahmad (1989).
Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasangan antara lain sungut kecil (antenula), sungut besar (antena), sirip kepala (skafoserit), rahang bawah (mandibula), alat pembantu rahang/rahang atas (maksila) yang terdiri atas 2 pasang, dan maksiliped yang terdiri atas tiga pasang. Kaki jalan (periopod) terdiri atas lima pasang, dan 3 pasang diantaranya dilengkapi capit yang disebut chelae. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang (peliopod) yang terletak di setiap ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) yang ujungnya membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor
terdapat lubang dubur (anus). Secara keseluruhan ciri morfologi udang putih
P. Merguiensis de Man disajikan pada Tabel 1.
periopod sefalotoraks
karapaks
rostrum
mata majemuk antenula
skafoserit
abdomen
telson
uropoda antena
(30)
Tabel 1 Tingkatan, sub tingkatan dan ciri morfologi P. Merguiensis de Man (Bittner & Ahmad 1989)
Tingkatan Sub Tingkatan Ciri Morfologi
Nauplius (N) (Stadium 1)
Pembagian tubuh belum jelas, pasangan-pasangan setae terdapat pada ujung posterior
N I Sepasang setae pada ujung posterior
N II Dua pasang setae pada ujung posterior
N III Tiga pasang setae pada ujung posterior
N IV Empat pasang setae pada ujung posterior
N V Lima pasang setae pada ujung posterior
N VI Enam pasang setae pada ujung posterior
N VII Tujuh pasang setae pada ujung posterior
Zoea (Z) (Stadium II)
Z 1 Cehpalohtorax dan abdomen dapat dibedakan dengan jelas
Z II Sepasang mata majemuk mulai terlihat,
rostrum tumbuh di tengah karapaks
Z III Sepasang uropoda tumbuh
Mysis (M) (Stadium III)
M I Pangkal pleopoda timbul
M II Segmen pertama terbentuk
M III Pembentukan pleopoda sudah sempurna tetapi
belum terbuka Pascalarva (PL)
(Stadium IV)
PL I Pleopoda terbuka sempurna, telson sedikit
cekung di bagian tengah ujung posteriornya
PL II Telson datar pada ujung posteriornya
PL III Telson cembung pada ujung posteriornya,
formula telson 4/8/1, gigi rostrum 2/0
PL IV Formula telson 4/8/4, gigi rostrum 3/0 – 5/4
PL V Formula telson 4/4, 4/4, gigi rostrum 6/5
PL VI Formula telson 4/4,4/4, gii rostrum 6/5
2.5 Daur Hidup Udang Putih P. merguiensis de Man
Pada umumnya daur hidup udang penaeid menurut Dall et al. (1990) dibedakan atas 3 tipe, yaitu :
Tipe 1. Udang penaeid yang seluruh daur hidupnya berada di estuari, termasuk
dalam kelompok ini adalah: Metapenaeus elegans, M. conjunctus, M. benettae, M. moyebi dan M. brevicornis. Pada tipe ini pasca larva
cenderung bermigrasi ke bagian hulu sungai dengan salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi juvenil, bergerak kembali ke muara sungai yang bersalinitas lebih tinggi. Seluruh spesies penaeid ini bersifat euryhaline
(31)
Tipe 2. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di estuari, tetapi memijah di dasar perairan antara pantai (inshore) dan lepas pantai
(offshore). Termasuk dalam tipe ini adalah jenis Penaeus indicus, P. monodon, P. japonicus, P. merguiensis, P. setiferus, Parapenaeopsis
hardwickii dan Xiphopenaeus kroyery.
Tipe 3. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di pantai, tetapi memijah di dasar perairan lepas pantai. Udang jenis ini lebih menyukai salinitas tinggi, sehingga tahapan dari siklus hidupnya tidak ada yang tinggal di estuari, umumnya bersifat stenohaline. Termasuk di dalamnya Atypopenaeus dearmatus, Heteropenaeus longimanus, Macropetasma africanus, Protrachypene precipua, dan Trachypenaeus curvirostris.
Garcia dan Le Reste (1981), Dall et al. (1990), Naamin et al. (1992), Stewart (2005), dan FAO (2005) menyatakan daur hidup udang putih P. merguiensis
terbagi menjadi dua fase, yaitu fase laut dan fase estuari (Gambar 3).
Gambar 3 Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Stewart (2005).
Udang putih P. merguiensis banyak dijumpai di perairan tropik dan sub
tropik Asia dan Australia, antara 67° sampai 166° bujur timur dan antara 25° lintang utara sampai 29° lintang selatan. Di Indonesia, daerah penyebaran
(32)
udang putih adalah di perairan sepanjang pantai barat Sumatera, Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan Laut Arafura (Naamin 1984). Daerah penyebarannya mulai dari daerah muara sungai sampai ke tengah laut yang bervariasi menurut tingkatan hidupnya (larva, juvenil, dan dewasa).
Chan (1998) menyatakan pada udang penaeid termasuk udang putih, telurnya akan menetas setelah 14 - 24 jam menjadi larva sederhana yang disebut
nauplius. Setelah mengalami delapan kali pergantian kulit, nauplius berubah menjadi zoea selama lebih kurang 6 hari. Pada fase ini udang masih bersifat planktonis, dan mulai muncul ke permukaan perairan yang secara berangsur-angsur bergerak menuju perairan pantai yang ada di sekitarnya. Zoea akan berubah menjadi mysis setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 4 hari), sudah bersifat kanibalisme, dan sasarannya adalah udang-udang muda yang sedang moltingdan masih dalam kondisi lemah. Sifat kanibalisme ini sering muncul saat udang dalam kondisi lapar. Mysis akan berubah menjadi
pascalarva setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 10 hari). Dall et al. (1990) menyebutkan pada fase pascalarva ini udang sudah
aktif berenang dan bermigrasi ke bagian hulu yang memiliki salinitas rendah, dan mulai menuju ke dasar perairan. Kirkegaard et al. (1970) dalam Naamin (1984) dan Naamin et al. (1992) menyatakan pada saat pascalarva, udang putih umumnya
hidup di muara sungai yang ada hutan mangrovenya dengan salinitas rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki perakaran menjulur ke dalam perairan,
sehingga sangat baik untuk tempat berlindung udang tersebut dari predator. Di perairan mangrove, pascalarva secara bertahap akan berubah menjadi udang
muda/juvenil setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit (selama lebih kurang tiga bulan). Setelah tumbuh menjadi juvenil, udang akan bergerak kembali ke muara sungai berhutan bakau (dengan salinitas lebih tinggi), dan aktif mencari makan di kawasan ini. Selama tiga sampai empat bulan selanjutnya udang juvenil akan tumbuh menjadi dewasa, kemudian mulai beruaya ke arah perairan terbuka di sekitar kawasan tersebut (seperti estuari, laguna, dan teluk), yang selanjutnya akan sampai ke daerah pemijahan/spawning ground dengan kedalaman > 12 m.
(33)
2.6 Pakan dan Pemanfaatan Pakan
Vitalitas organisme adalah daya hidup untuk bertahan, tumbuh dan berperan dalam habitatnya. Vitalitas ditandai pada kemampuan memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan. Larva udang penaeid membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhannya. Selama stadia nauplius larva udang menggunakan kuning telur yang dibawa sejak menetas sebagai sumber pakannya. Kuning telur tersebut merupakan satu-satunya sumber materi dan energi bagi seluruh aktivitas metabolisme larva baik untuk keperluan osmoregulasi maupun untuk metamorfosis. Kualitas dan kuantitas kuning telur yang terkandung dalam tubuh nauplius sangat menentukan vitalitas larva. Makin besar energi yang digunakan untuk metabolisme (termasuk osmoregulasi) selama perkembangan telur maka kandungan kalori di dalam nauplius makin kecil sehingga vitalitas untuk hidup makin berkurang (Mathavan et al. 1986 dalam Anggoro 1992).
Larva udang mulai membutuhkan pakan dari luar pada stadia zoea, setelah kandungan kuning telurnya habis. Pada stadia zoea ini, udang mulai memakan plankton, detritus dan nauplius udang-udang kecil (Liao 1985), selanjutnya pada saat dewasa udang secara alamiah sudah bersifat omnivora, karnivora, pemakan bangkai serta pemakan detritus.
2.7 Pertumbuhan Udang Putih
Pertumbuhan adalah perubahan bentuk atau ukuran, baik panjang, bobot atau volume dalam jangka waktu tertentu (Hartnoll 1982). Secara morfologi, pertumbuhan diwujudkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis), sedangkan secara energetik pertumbuhan dapat diwujudkan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode tertentu. Allen et al. (1984) menyatakan pertumbuhan udang umumnya bersifat diskontinyu karena hanya terjadi setelah ganti kulit yaitu saat kulit luarnya belum mengeras sempurna. Hartnoll (1982) menyatakan pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui proses metamorfosis dan ganti kulit (molting), serta peningkatan biomassa sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi massa tubuh udang. Lebih lanjut Gilles (1979) dalam
Anggoro (1992) menyatakan hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh kelancaran ganti kulit, mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh osmoefektor
(34)
antara cairan intra sel (CIS) dengan cairan ekstra sel (CES). Osmoefektor anorganik (Na+ dan Cl-) berkonsentrasi tinggi di dalam cairan ekstra sel, sebaliknya osmoefektor organik (asam amino bebas) dan ion K+ berkonsentrasi tinggi di cairan intra sel. Perimbangan ini sangat menentukan pH optimum dan kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu dipertahankan agar sel-sel penyusun jaringan tubuh tumbuh dengan normal.
Pertumbuhan pada udang ditandai dengan adanya pergantian kulit/molting, yang secara sederhana digambarkan sebagai berikut : a) udang berganti kulit, melepaskan dirinya dari kulit luarnya yang keras/eksoskleton. b) air diserap, ukuran udang bertambah besar. c) kulit luar yang baru terbentuk, dan d) air secara bertahap hilang dan diganti dengan jaringan baru. Berdasarkan hal tersebut
pertumbuhan panjang individu merupakan fungsi berjenjang/step function. Tubuh udang akan bertambah panjang pada setiap ganti kulit, dan tidak bertambah
panjang pada saat antara ganti kulit (intermolt). Pada setiap ganti kulit integumen
membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll 1982; Fox 1972 dalam
Naamin 1984).
Anggoro (1992) menyatakan prinsip faali dan karakteristik ganti kulit pada udang sebagai berikut:
a. Mobilisasi dan akumulasi cadangan material metabolik seperti Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode antar ganti kulit (intermolt akhir).
b. Pembentukan kulit baru diiringi dengan reasorbsi material organik dan anorganik dari kulit lama selama periode persiapan/awal ganti kulit (premolt). c. Pelepasan kulit lama pada saat ganti kulit dan diikuti dengan absorpsi air dari
media eksternal dalam jumlah besar.
d. Pembentukan dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang berasal dari hemolimfe (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari media eksternal), yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt).
e. Pertumbuhan jaringan somatik selama periode setelah ganti kulit dan awal antar ganti kulit (intermolt awal).
(35)
Laju pertumbuhan udang secara internal tergantung pada kelancaran proses ganti kulit dan tingkat kerja osmotik/osmoregulasi yang dialaminya (Hartnoll 1982; Ferraris et al. 1987). Selama stadia larva, udang penaeid mengalami beberapa kali metamorfosis dan ganti kulit sampai stadia pascalarva (PL). Berdasarkan ciri-ciri morfologinya, tahap pertumbuhan larva udang penaeus dibedakan menjadi 4 stadia, yaitu: nauplius (N), zoea (Z), mysis (M) dan pascalarva (PL). Dari empat stadia tersebut dapat dibedakan lagi menjadi: enam sub stadia nauplius (N1-N6), tiga sub stadia zoea (Z1-Z3), tiga sub stadia mysis
(M1-M3) sebelum mencapai PL1 (Motoh 1981; Solis 1998). Pertumbuhan udang setelah substadia M3 lebih ditekankan pada perubahan biomassa, baik bobot maupun ukuran tubuh. Pada setiap ganti kulit sebagian massa hilang sebagai eksuvia. Kehilangan massa pada setiap ganti kulit ini mengakibatkan model pertumbuhan (bobot) udang menjadi diskontinyu (Allen 1984).
Pertumbuhan udang pada dasarnya bergantung kepada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut dipergunakan di dalam tubuh dan secara teoritis hanya akan terjadi bila kebutuhan minimum untuk kehidupannya terpenuhi. Udang memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi, dan kehilangan energi sebagai akibat metabolisme termasuk untuk keperluan osmoregulasi. Efisiensi pemanfaatan energi (pakan) untuk pertumbuhan sangat bergantung pada daya dukung lingkungannya (Anggoro 1992).
2.8 Reproduksi Udang Putih
Udang putih termasuk ke dalam kelompok heteroseksual, sehingga secara morfologi dapat dibedakan antara udang jantan dan betina (sexual dimorphisme). Udang jantan mempunyai alat kelamin yang disebut petasma terletak diantara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang betina disebut telikum yang terletak diantara pangkal kaki jalan keempat dan kelima dengan lubang saluran kelamin terletak diantara pangkal kaki ketiga (Bittner & Ahmad 1989).
Motoh (1981) menyatakan organ reproduksi udang putih jantan terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang testis, sepasang
vas deferens, dan sepasang terminal ampul. Testis terletak di tengah bagian dorsal
cephalothorax, tepatnya di bagian ventral jantung (tepat di bawah sinus perikardia dan bagian dorsal hepatopankreas). Vas deferens merupakan saluran testis yang
(36)
membentuk banyak gulungan berkelok-kelok, terletak di bagian anterior
memanjang sampai organ hepatopankreas membentuk tabung hampir lurus di bawah pinggiran posterolateral kepala dan diteruskan sampai ke terminal ampul
yang membesar. Terminal ampul merupakan alat yang membentuk kantong diselaputi dengan lapisan otot tipis yang terletak pada kaki jalan kelima. Organ eksternalnya adalah petasma yang merupakan modifikasi dari bagian endopodit kaki renang pertama. Petasma berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkannya pada alat kelamin betina. Organ eksternal lainnya adalah apendix masculina yang terletak pada kaki renang kedua. Organ reproduksi udang putih betina juga terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang ovarium yang memanjang di tengah bagian dorsal karapaks, tepatnya di bagian ventral jantung dan bagian dorsal hepatopankreas sampai ke bagian pangkal ekor. Saluran telur/oviduct keluar dari bagian tengah kedua sisi ovarium, bermuara pada suatu lubang yang terdapat dalam koksapodit dari pasang kaki jalan ketiga. Organ eksternal udang betina adalah telikum. Pada bagian dalam telikum terdapat seminal reseptakel yang berfungsi untuk menyimpan spermatofor setelah terjadi kopulasi.
Udang putih betina menurut Bittner dan Ahmad (1989) dapat menghasilkan telur hingga mencapai 100.000 butir dalam sekali peneluran. Peter et al. (2003) menyatakan udang putih P. merguiensis dapat menghasilkan telur berkisar 100.000 - 450.000 butir dalam sekali peneluran. Pada saat pelepasan telur biasanya induk udang betina berenang berputar-putar dengan kecepatan tinggi. Telur dilepaskan melalui saluran telur. Pelepasan telur membutuhkan waktu dua menit dan biasanya didahului oleh pelepasan sperma yang tersimpan di dalam telikum induk udang betina (Nurdjana 1986; Chamberlain 1987). Pembuahan terjadi di dalam air setelah sperma bertemu dengan telur. Pertemuan antara sperma dan telur seringkali telah dimulai pada saat telur dikeluarkan melalui bulu-bulu halus tempat menempelnya sperma di dalam telikum induk udang betina (Chamberlain et al. 1987).
(37)
2.9. Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan gambaran tentang perkembangan kematangan gonad. Gonad udang putih terletak pada bagian dorsal tubuh. Pengamatan tingkat kematangan gonad udang menurut Effendi (1997) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis lebih mudah sehingga banyak dilakukan oleh para peneliti. Motoh (1981), Croccos dan Kerr (1983), Primavera (1983), serta King (1995) menyatakan bahwa penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilakukan menggunakan variabel bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad. Motoh (1981) membuat kriteria lima tahapan perkembangan tingkat kematangan gonad sebagai berikut:
Tingkat 1 : Belum matang. Ovari tipis, bening dan tidak berwarna.
Tingkat 2 : Kematangan awal. Ovari membesar, bagian depan dan tengah berkembang.
Tingkat 3: Kematangan lanjut. Ovari berwarna hijau muda dan dapat dilihat melalui eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh. Tingkat 4: Matang telur. Ovari berwarna hijau tua. Ovum lebih besar dari
tingkatan sebelumnya. Pada tingkatan ini dianggap sebagai tingkat kematangan telur.
Tingkat 5: Spent. Ovari lembek dan kisut. Ovum sudah dilepaskan. Biasanya tubuh udang terasa lembek dan rongga bagian atas abdomen kosong. Primavera (1983), Naamin dan Purnomo (1972) dalam Naamin (1984) membagi tingkat TKG udang penaeid menjadi 5 tingkatan (Gambar 4).
Tingkat 1 : Gonad tipis dan transparan, belum terlihat dengan jelas. Tingkat 2 : Gonad terlihat seperti benang halus yang berwarna hijau pekat. Tingkat 3 : Gonad semakin tebal dengan warna semakin gelap.
Tingkat 4: Gonad semakin melebar, di bagian anteriornya (ruas badan pertama dan kedua) terlihat adanya lekukan-lekukan dan bulatan-bulatan. Pada tahap ini udang sudah siap memijah.
Tingkat 5: Gonad berwarna jernih atau pucat karena seluruh atau sebagian telurnya telah dilepas.
(38)
Gambar 4 Tingkat perkembangan dan kematangan gonad induk betina udang putih P. merguiensis de Man. Naamin dan Purnomo (1972) dalam
Naamin (1984).
Croccos dan Kerr (1983) menghubungkan tingkat kematangan gonad (TKG) dengan perubahan makroskopis ovari, sehingga dapat memperkirakan TKG udang tanpa harus melakukan pembedahan mikroskopis, sebagai berikut:
Tingkat 1: Ovari jernih, diameter lebih kecil dari usus. Oosit belum berkembang. Tingkat 2: Ovari buram dan diameter sama besar dengan usus. Ukuran oosit
bertambah
Tingkat 3: Ovari berwarna kekuningan dan diameter lebih besar dari usus. Vitelin terakumulasi dalam oosit.
Tingkat 4: Ovari berwarna lebih gelap dan terletak di bagian dorsal tubuh. Oosit matang
Tingkat 5: Ovari telah dipijahkan, sehingga lembek dan terbelit. Ovum yang tersisa diserap kembali (reabsorbsi).
2.10 Rekruitmen Udang Putih
Rekruitmen diartikan sebagai penambahan baru ke dalam stok perikanan (Effendie 1997). Stok adalah kelompok ukuran biota (udang) yang tersedia pada waktu tertentu sehingga dapat tertangkap oleh alat tangkap. Masuknya sediaan/stok dari luar wilayah perikanan ke dalam suatu stok perikanan berasal dari hasil reproduksi yang telah mencapai ukuran stok. Faktor penentu besarnya penambahan baru/rekruitmen udang putih di alam adalah jumlah induk udang yang siap memijah dan mortalitas pada rentang waktu antara pemijahan sampai
(39)
dengan udang mencapai ukuran stok, atau disebut juga dengan mortalitas per rekruitmen.
2.11 Preferensi Udang Putih terhadap Parameter Fisik-Kimia Air
Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di habitat alaminya. Udang putih di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia daur hidupnya. Faktor fisik kimia air yang mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di alam antara lain:
2.11.1 Suhu Perairan
Suhu perairan merupakan salah satu variabel utama yang mempengaruhi pertumbuhan udang putih. Fast dan Lester (1992) menyatakan suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas, maupun nafsu makan udang putih. Suhu perairan di bawah 20,00°C akan menghambat pertumbuhan udang putih. Suhu juga sangat dibutuhkan udang putih pada saat memijah guna menjaga kelulusan hidup larva, perkembangan embrio, dan penetasan telur.
2.11.2 Kedalaman Perairan
Kedalaman suatu perairan sangat mempengaruhi distribusi udang putih terutama dalam hal memijah. Udang berukuran dewasa banyak dijumpai pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 12,00 m (Kirkegaard et al. 1970). Crocos dan Kerr (1983) menyatakan P. merguiensis berukuran besar ditemukan memijah pada kedalaman < 15 m di perairan Teluk Carpentaria, Australia. Lebih lanjut Naamin (1984) menyatakan udang putih betina dewasa di Perairan Arafura banyak ditemukan memijah pada kedalaman antara 13,00 m – 35,00 m.
2.11.3 Kecepatan Arus
Kecepatan arus berperan dalam distribusi udang-udang muda/juvenil. Pertambahan aliran sungai akibat terjadinya hujan dapat menyebabkan
udang-udang muda banyak meninggalkan sungai. Kecepatan arus dapat mempengaruhi distribusi udang secara langsung maupun tidak langsung. Dall et al. (1990) menyatakan secara tidak langsung pengaruh kecepatan arus dapat menentukan distribusi partikel-partikel sedimen dasar, dan secara langsung dapat
(40)
mempengaruhi tingkah laku udang. Arus yang cukup kuat akan menyebabkan udang membenamkan diri di dalam substrat, sedangkan bila kecepatan arus lemah udang banyak melakukan aktifitas.
2.11.4 Salinitas
Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram), yang terkandung dalam 1 kg air laut. Salinitas berperan dalam mempengaruhi proses osmoregulasi udang putih khususnya selama proses penetasan telur dan pertumbuhan larva. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dan memiliki fluktuasi lebar dapat menyebabkan kematian embrio dan larva udang. Hal ini disebabkan terganggunya keseimbangan osmolaritas antara cairan di luar tubuh dan di dalam tubuh udang, serta berkaitan dengan perubahan daya absorbsi terhadap oksigen. Udang akan tumbuh lebih baik pada perairan dengan kisaran salinitas 15‰ - 30‰. Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan udang menurun (Boyd & Fast 1992).
2.11.5 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme perairan. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan termasuk udang putih. Kandungan oksigen terlarut dapat mempengaruhi kelulusan hidup udang putih juvenil. Gaudy dan Sloane (1981) dalam Anggoro (1992) menyatakan laju respirasi udang juvenil mengikuti ketersediaan oksigen perairan. Jika kelarutan oksigen dalam perairan tinggi, maka laju respirasi udang akan meningkat.
2.11.6 pH Air
Derajat keasaman atau pH merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. Nilai pH merupakan fakor penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air maupun di dalam embrio/telur udang. Telur udang memiliki toleransi yang rendah terhadap pH tinggi. pH air juga berperan dalam mendukung pertumbuhan udang. Nilai pH air yang terlalu rendah dapat menyebabkan kandungan CaCO3 pada kulit udang akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen akan meningkat, permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan (Sumeru & Anna 2010).
(41)
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi PenelitianPenelitian ini dilakukan selama satu tahun, dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2010 di perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan dengan melakukan pengklasifikasian wilayah berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (permukiman, pertambakan dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun mulai dari kawasan estuari hingga perairan pantai (Gambar 5). Ditetapkan 6 stasiun dengan kriteria: Stasiun 1 berada di Paluh Kebun Sayur yang berdekatan dengan permukiman penduduk dan lahan pertanian, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Nypa fruticans; Stasiun 2 berada di Paluh Ibus dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza; Stasiun 3 berada di Paluh Lenggadai dan vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis B. parviflora; Stasiun 4 berada di Paluh Tambi dan dijumpai lokasi pertambakan, umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Rhizophora mucronata; Stasiun 5 berada di Paluh Delapan Puluh yang merupakan kawasan alami dan umumnya vegetasi mangrove yang mendominasi adalah jenis Avicennia alba; Stasiun 6 berada di perairan pantai yang merupakan kawasan alami dan dan berjarak ± 120 m dari garis pantai. Vegetasi mangrove yang mendominasi umumnya adalah jenis Sonneratia alba.
Pada tiap stasiun selanjutnya dibuat sub stasiun-sub stasiun pengamatan masing-masing sebanyak tiga buah.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah belt transek, jaring ambai/ apong, plankton net, Eckman grab, litter-trap, litter-bag, kompas, counter, refraktometer, termometer Hg, pH meter, soil tester, sechi disk, sieve, sieve set,
timbangan analitik, toven, tali penduga, cool box, botol niskin, jangka sorong,
Global Positioning System (GPS), mikroskop binokuler, mikroskop stereo,
sedgwick rafter counting, meteran gulung, dan buku identifikasi, sedangkan bahan yang digunakan adalah contoh vegetasi mangrove, serasah mangrove, contoh udang putih, contoh plankton dan makrozoobentos, contoh air dan substrat, bahan
(42)
pengawet (larutan lugol 10%, alkohol 96%, formalin 10%, dan es), serta tempat/wadah sampel, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran
Parameter Satuan Alat/ Bahan dan Metode yang
digunakan
Tempat pengukuran I. FISIK-KIMIA AIR DAN FRAKSI
SUBSTRAT
Suhu perairan º C termometer Hg insitu
Kecerahan air cm sechi disk insitu
Kedalaman perairan cm tali penduga insitu
Fraksi substrat % oven, sieve shaker laboratorium
Oksigen terlarut (DO) mg/l botol Winkler, alat titrasi, NaOHKI,
MnSO4, Amilum, Natrium TioSulfat (Titrimetri Winkler)
insitu
Salinitas air dan substrat ‰ refraktometer insitu
pH air - pH meter insitu
NO3 dan PO4 mg/l spektrofotometer laboratorium
II. BIOLOGI
Vegetasi mangrove Kerapatan jenis
belt transek, buku identifikasi, meteran, (diidentifikasi, diukur diameter batang, dihitung jumlah individu perjenis, dan dianalisa)
insitu dan laboratorium
Ketersediaan pakan alami
Plankton ind/l plankton net, lugol 10% (pencacahan) insitu dan
laboratorium
Makrozobentos ind/m2 Eckman grab, sieve set , formalin
10% (pencacahan)
insitu dan laboratorium Serasah mangrove
Produksi serasah g/m2/th litter- trap, oven, timbangan analitik
(serasah yang tertampung dalam
litter-trap diambil setiap 30 hari
selama 12 bulan, ditimbang menggunakan oven pada suhu 80ºC sampai beratnya konstan, ditimbang menggunakan timbangan analitik.
insitu dan laboratorium
Laju dekomposisi serasah litter-trap, litter-bag, timbangan
analitk (serasah dalam litter-trap
diambil sebanyak 10 gr dan
dimasukkan dalam litter-bag, diikat
pada pangkal batang mangrove, diambil setiap 15 hari sekali. Sisa
serasah dalam litter bag ditimbang
menggunakan timbangan analitik.
insitu dan laboratorium
Udang putih
Distribusi spasio-temporal, pola
pertumbuhan, parameter pertum-buhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, rekruitmen, dan aspek reproduksi.
buku identifikasi, jaring ambai, alkohol 96% (dihitung jumlah individu perjenis kelamin, diukur panjang karapaks minimum dan maksimum, diamati TKG nya, dianalisa.
insitu dan laboratorium
(43)
Gambar 5 Peta lokasi penelitian.
(44)
3.3 Aspek yang Dikaji
Penelitian ini mengkaji aspek biologi dan ekologi udang putih pada tiap stasiun di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Aspek ekologi yang dikaji mencakup: karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun, struktur populasi udang putih yang meliputi distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas, serta rekruitmen. Aspek biologi yang dikaji mencakup aspek reproduksi (rasio kelamin, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan) (Tabel 3). Dilakukan juga analisa keterkaitan distribusi udang putih menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhi pada tiap stasiun.
Tabel 3 Aspek bioekologi udang putih P. merguiensis de Man yang dikaji No Aspek yang dikaji Uraian
1. Aspek ekologi a.Pengamatan karakteristik biofisik kimia lingkungan pada tiap stasiun meliputi :
- Kerapatan mangrove.
- Ketersediaan pakan alami (kelimpahan plankton dan makrozoobentos)
- Produksi dan laju dekomposisi serasah
- Parameter fisik kimia, mencakup: suhu perairan, kecerahan air, kecepatan arus, kedalaman perairan, fraksi substrat, oksigen terlarut, salinitas air dan substrat, pH air, NO3, dan PO4.
b.Menganalisa struktur populasi udang putih, meliputi:
distribusi spasio-temporal, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas alami, serta persentase rekruitmen pada tiap stasiun.
c.Menganalisa hubungan distribusi spasial udang putih
menurut jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun, distribusi temporal betina matang gonad pada setiap bulan pengamatan dengan karakteristik biofisik kimia lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Aspek biologi Menganalisa aspek reproduksi udang putih, dengan melihat rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang betina pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan.
(45)
Pola distribusi udang putih dianalisa berdasarkan Indeks distribusi Morisita, selanjutnya dilakukan analisa menggunakan correspondence analysis (CA) menurut Bengen (2002) untuk melihat distribusi spasial udang putih berdasarkan jenis kelamin, kelas ukuran, dan betina matang gonad pada tiap stasiun. Distribusi temporal udang putih betina matang gonad pada setiap bulan juga dianalisa menggunakan correspondence analysis. Pola pertumbuhan udang putih diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks dan bobot tubuh melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre dan Venema (1999). Studi hubungan panjang bobot mempunyai nilai yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya. Parameter pertumbuhan udang mencakup panjang karapaks infiniti (L∞), koefisien pertumbuhan (K), dan umur teoritis pada saat udang berukuran panjang nol (to) dianalisa menggunakan program Elefan
(electronic lengths frequency analysis) yang terakomodasi dalam program Fisat II berdasarkan data frekwensi panjang karapaks. Persamaan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yang menggambarkan panjang karapaks udang sebagai fungsi dari umur dapat diketahui dari ketiga parameter tersebut. Persamaan pertumbuhan diplot dalam bentuk kurva pertumbuhan von Bertalanffy, dan dari persamaan tersebut dapat diduga umur teoritis udang putih. Ukuran minimum dan maksimum udang putih diketahui melalui ukuran panjang karapaks, bobot tubuh, dan panjang karapaks udang pertama kali tertangkap (Lc), yang dianalisa melalui kurva probabilitas dari program FISAT II. Laju mortalitas udang putih dapat diketahui dari data frekwensi panjang karapaks melalui analisa laju mortalitas model Beverton dan Holt dari FISAT II. Laju mortalitas alami udang
putih dapat diduga menggunakan rumus empiris Pauly dengan persamaan: Log M = -0,0066 – 0,2790 log L∞ + 0,6543 log K + 0,4634 log T. Rekruitmen
udang putih dapat diketahui melalui analisa pola rekruitmen dari program FISAT II, dengan menginput data parameter pertumbuhan.
Tingkat kematangan gonad udang putih betina dapat dilihat berdasarkan bentuk, ukuran, warna gonad, panjang karapaks, dan bobot tubuh. Rasio kelamin dapat diketahui dengan analisa perbandingan jumlah individu jantan terhadap individu betina yang tertangkap pada tiap stasiun, dan pola pemijahan dapat
(46)
diketahui dengan melihat tingkat kematangan gonad udang betina (kematangan gonad tingkat 4) pada setiap bulan.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data
3.4.1 Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat
Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara insitu pada tiap stasiun penelitian dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel udang putih pada saat air pasang dan surut. Khusus untuk fraksi substrat, pengukuran dilakukan di laboratorium. Prosedur pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat adalah sebagai berikut:
- Suhu air dasar perairan diukur dengan mengambil sampel air menggunakan botol niskin, lalu diukur suhunya dengan termometer Hg.
- Kecerahan air diukur menggunakan sechi disc.
- Kedalaman perairan diukur menggunakan tali penduga pada saat pengambilan sampel makrozoobentos.
- Fraksi substrat diukur dengan mengambil contoh substrat sebanyak 100 g menggunakan ekman grab, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C, lalu diayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya.
- Oksigen terlarut diukur dengan titrasi winkler.
- Salinitas air diukur menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan satu tetes air pada permukaan refraktometer, lalu ditutup dengan kaca penutup yang terdapat pada alat tersebut, selanjutnya dilakukan pembacaan melalui skala yang tertera pada alat tersebut untuk menggambarkan kadar salinitas perairan. Pengukuran salinitas susbstrat dilakukan dengan menyaring air substrat menggunakan kertas saring berukuran pori 0,45 μm (Hutagalung et al. 1997), selanjutnya air yang tersaring diteteskan sebanyak satu tetes pada permukaan refraktometer, lalu dibaca kadar salinitasnya.
- pH air diukur menggunakan pH meter.
- Pengukuran NO3 dan PO4 dilakukan dengan mengambil contoh air pada tiap
stasiun. Pengambilan contoh air dilakukan pada air permukaan sedalam 30 cm menggunakan botol berwarna gelap/botol Winkler. Contoh air
(47)
(Hutagalung et al. 1997), dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa kandungan unsur haranya.
3.4.2 Parameter Biologi
3.4.2.1 Pengukuran Vegetasi Mangrove
Pengukuran vegetasi mangrove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect)
sepanjang 30 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju ke arah darat/belakang hutan mangrove (Kusmana 1997; Bengen 2002; Fachrul 2007). Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 20 m. Data vegetasi mangrove diambil dari tiap transek menggunakan metode kuadrat dengan membuat 3 buah plot berukuran 10 m x 10 m untuk kategori pohon (diameter batang ≥ 10 cm) yang ditempatkan di sebelah kiri dan atau kanan transek. Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran 5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangrove (tinggi tanaman ≥ 1,5 m, diameter batang < 10 cm) seperti disajikan pada Gambar 6. Vegetasi mangrove yang ditemukan pada tiap plot selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002) dan Kusmana et al. (2005), lalu dihitung jumlah individu perjenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenisnya. Dihitung juga indeks dominansi jenis mangrove pada tiap stasiun.
Gambar 6 Disain metode transek garis dalam pengukuran vegetasi mangrove. 5 m x 5 m plot pengamatan permudaan mangrove, 10 m x 10 m plot pengamatan pohon, laut, lumpur.
(1)
Contributions of the points-rows (%)
F1 F2 F3 F4 F5
1 19.20 6.33 0.38 34.22 24.28
2 23.43 18.20 0.12 12.98 29.50
3 5.28 29.59 9.98 24.61 14.42
4 2.88 17.57 8.90 25.32 27.99
5 8.63 3.46 68.54 0.90 0.05
6 40.58 24.85 12.08 1.97 3.76
Squared cosines of the points-rows
F1 F2 F3 F4 F5
1 0.935 0.063 0.000 0.001 0.001
2 0.863 0.136 0.000 0.000 0.000
3 0.459 0.523 0.015 0.002 0.001
4 0.434 0.537 0.024 0.003 0.002
5 0.819 0.067 0.115 0.000 0.000
6 0.885 0.110 0.005 0.000 0.000
Coordinates of the points-columns
F1 F2 F3 F4 F5
Kj -0.254 -0.092 0.003 -0.009 0.009
Kb -0.338 -0.057 -0.014 0.012 -0.009
Sj 0.381 0.376 -0.063 0.014 0.011
Sb 0.144 0.319 0.090 -0.017 -0.011
Bj 1.109 -0.359 0.220 0.033 0.011
Bb 1.056 -0.261 -0.087 -0.013 -0.009
Standardized coordinates of the points-columns
F1 F2 F3 F4 F5
Kj -0.553 -0.444 0.055 -0.685 0.943
Kb -0.736 -0.273 -0.228 0.890 -0.961
Sj 0.830 1.817 -1.029 1.039 1.096
Sb 0.314 1.541 1.480 -1.242 -1.139
Bj 2.413 -1.735 3.593 2.496 1.143
(2)
Lampiran 11 lanjutan
Inertia of the points-columns
F1 F2 F3 F4 F5
Kj 0.023 0.003 0.000 0.000 0.000
Kb 0.034 0.001 0.000 0.000 0.000
Sj 0.017 0.017 0.000 0.000 0.000
Sb 0.002 0.012 0.001 0.000 0.000
Bj 0.041 0.004 0.002 0.000 0.000
Bb 0.094 0.006 0.001 0.000 0.000
Contributions of the points-columns (%)
F1 F2 F3 F4 F5
Kj 10.69 6.87 0.11 16.38 31.05
Kb 15.99 2.20 1.54 23.40 27.30
Sj 8.26 39.64 12.70 12.97 14.42
Sb 1.16 27.94 25.76 18.13 15.26
Bj 19.23 9.94 42.64 20.58 4.32
Bb 44.67 13.40 17.25 8.55 7.66
Squared cosines of the points-columns
F1 F2 F3 F4 F5
Kj 0.882 0.115 0.000 0.001 0.001
Kb 0.969 0.027 0.002 0.001 0.001
Sj 0.499 0.486 0.014 0.001 0.000
Sb 0.159 0.776 0.062 0.002 0.001
Bj 0.873 0.092 0.034 0.001 0.000
(3)
kematangan gonad pada tiap stasiun
Eigenvalues and variance percentages
F1 F2 F3
Eigenvalue 0.364 0.160 0.035
% variance 65.174 28.596 6.231
Cumulative % 65.174 93.769 100.000
Coordinates of the points-rows
F1 F2 F3
TKG 1 -0.476 -0.235 0.020
TKG 2 0.065 0.565 -0.147
TKG 3 0.827 0.078 0.337
TKG 4 1.557 -0.867 -0.425
Standardized coordinates of the points-rows
F1 F2 F3
TKG 1 -0.788 -0.588 0.107
TKG 2 0.107 1.413 -0.786
TKG 3 1.369 0.194 1.807
TKG 4 2.579 -2.168 -2.275
Inertia of the points-rows
F1 F2 F3
TKG 1 0.114 0.028 0.000
TKG 2 0.001 0.088 0.006
TKG 3 0.111 0.001 0.018
TKG 4 0.138 0.043 0.010
Contributions of the points-rows (%)
F1 F2 F3
TKG 1 31.39 17.50 0.58
TKG 2 0.32 55.08 17.03
TKG 3 30.35 0.61 52.86
(4)
Lampiran 12 lanjutan
Squared cosines of the points-rows
F1 F2 F3
TKG 1 0.802 0.196 0.001
TKG 2 0.012 0.926 0.062
TKG 3 0.851 0.007 0.142
TKG 4 0.722 0.224 0.054
Coordinates of the points-columns
F1 F2 F3
1 -0.722 -0.441 0.041
2 -0.788 -0.588 0.107
3 -0.496 0.064 -0.184
4 -0.115 0.514 -0.181
5 0.162 0.333 0.307
6 0.940 -0.347 -0.079
Standardized coordinates of the points-columns
F1 F2 F3
1 -1.196 -1.103 0.221
2 -1.305 -1.472 0.573
3 -0.822 0.161 -0.987
4 -0.191 1.287 -0.971
5 0.269 0.832 1.644
6 1.557 -0.867 -0.425
Inertia of the points-columns
F1 F2 F3
1 0.055 0.021 0.000
2 0.062 0.034 0.001
3 0.037 0.001 0.005
4 0.003 0.053 0.007
5 0.006 0.024 0.020
(5)
Contributions of the points-columns (%)
F1 F2 F3
1 15.11 12.85 0.52
2 16.90 21.47 3.26
3 10.05 0.39 14.49
4 0.73 33.00 18.79
5 1.57 15.05 58.81
6 55.65 17.25 4.14
Squared cosines of the points-columns
F1 F2 F3
1 0.727 0.271 0.002
2 0.635 0.354 0.012
3 0.866 0.015 0.119
4 0.043 0.852 0.106
5 0.114 0.478 0.407
(6)