bahasa menurut Wittgenstein

PERSPEKTIF BAHASA MENURUT
LUDWIG WITTGENSTEIN
1. Bahasa dan Filsafat
Bahasa adalah salah satu dari beberapa hal yang sangat penting di dalam filsafat. Tanpa
bahasa, kita akan sulit untuk mengerti akan sesuatu, di dalam ungkapan atau tulisan suatu
bahasa pasti mengandung makna, dan makna itu akan merujuk sesuatu fakta. Lalu, apa
sebenarnya bahasa itu ? menurut saya bahasa merupakan suatu tanda yang dibuat oleh
manusia sesuatu dengan aturan yang dibuat oleh manusia juga untuk merujuk kepada sesuatu,
sehingga bahasa itu mempunyai makna.
Walaupun begitu bahasa di dalam filsafat juga tidak lepas dari kritik. Permasalahan yang
ada di dalam filsafat tentang bahasa itu adalah 1) apa yang menyebabkan di dalam bahasa
terdapat ambigu ?; 2) apa itu bahasa ?; 3) permasalahan makna, sehingga bahasa itu bisa
memiliki makna; 4) apa yang bisa dimengerti dan tidak bisa dimengerti oleh bahasa itu
sendiri ? itu merupakan permasalahan-permasalahan dasar tentang bahasa, dimana bahasa itu
sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

2. Ludwig Wittgenstein
Salah satu filsuf yang membahas tentang bahasa adalah Ludwig Wittgenstein. Ia lahir di
Wina, Austria pada tanggal 26 April 1889. Ia dibesarkan oleh orang tua mereka sebagai
seorang Kristiani, ayah dan ibunya merupakan keturunan Yahudi namun ayahnya beragama
Kristen Protestan, sedangkan ibunya beragama Katolik. Sejak kecil Wittgenstein sangat

menyukai musik, maka dari itu ia sangat mahir bermain klarinet dan bersiul. Siulan
Wittgenstein sangat berbeda dengan siulan lainnya, karena siulan Wittgenstein itu bisa
memainkan lagu-lagu klasik yang ada. Contoh-contoh yang ia berikan di dalam tulisnnya pun
tidak terlepas dari kesukaannya dia terhadap musik.
Pada tahun 1906, ia belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Berlin, lalu ia melanjutkan
kembali studinya di Manchester. Pada awalnya ia sangat tertarik dengan matematika dan
filsafat matematika. Pada tahun 1911, ia bertemu dengan Frege, lalu saat itu Frege
menyarankan Wittgenstein untuk belajar pada Bertrand Russel. Pada tahun 1912 ia masuk
Universitas Cambridgedan mempelajari filsafat di bawah bimbingan Russel.

Sewaktu Perang Dunia I, ia menjadi sukarelawan untuk tentara Austria, di dalam
tugasnya sebagai sukarelawan itu, ia menulis buku tentang filsafat yang diselesaikannya pada
tahun 1918. Dan ketika ia ditahan oleh tentara Italia, ia mengirim tulisannya itu kepada Frege
dan Russell. Hal inilah yang membuat Wittgenstein dibebaskan oleh Russell. Ia menulis
sebuah karya yang merupakan hasil dari perbincangannya dengan Russell, yaitu
Logischphilosophiche Abhandlungen. Lalu tulisan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan judul Tractatus Logico Philosophus yang pada kata pengantarnya ditulis oleh Russell.
Buku inilah yang sangat mempengaruhi kelompok Lingkaran Wina.
Buku selanjutnya yang ia tulis adalah Philosophical Investigation, buku ini ia selesaikan
pada tahun 1947. Buku ini berisi kritik terhadapa pemahaman dirinya sendiri terhadap isi dari

Tractatus, maka dari itu saat ini, untuk mempermudah mengerti pemikiran Wittgenstein
digunakan istilah Wittgenstein I (Tractatus Logico Philosophus), dan Wittgenstein II
(Philosophical Investigation).
Pada sebelum akhir kehidupannya ia sering sekali mengalami depresi, dikarenakan oleh
penyakit jiwa yang ia alami, dan juga ketakutannya terhadap penyakit jiwa itu. Menurut
Wittgenstein, hanya dengan berfilsafat ia bisa mangatasi depresinya itu. Kata-kata terakhir
yang ia katakan adalah “Tell them I’ve had a Wonderful life”1

3. Wittgenstein I : Tractatus Logico Philosophus
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bukti Wittgenstein I adalah bukunya yang berjudul
Tractatus Logico Philosophus. Pada kata pengantar buku tersebut tertulis “Perhaps this book
will be understood only by someone who has himself already had the thoughts that are
expressed in it--or at least similar thoughts.”2. Hal ini ingin menjelaskan bahwa buku ini
sebenarnya bisa dimengerti ketika kita mempunyai pengalaman. Hal ini bisa menjelaskan
bahwa pemikiran Wittgenstein I berlandaskan pada pengalaman manusia.
Isi buku Tractatus sebenarnya tidak menjelaskan teori apapun, tapi isinya lebih ke
pengungkapan dan penggunaan bahasa sehingga bahasa itu bisa memiliki makna. Teori
Wittgenstein I sangat mirip dengan atomisme logis Bertrand Russel. Di dalam pengantarnya
tertulis “The whole sense of the book might be summed up the following words: what can be
said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.” 3.

hal ini menjelaskan bahwa apa yang bisa dikatakan berarti harus bisa dijelaskan secara
1 Filsafat Barat Kontemporer Jerman-Barat, Jakarta, 2002, hlm 44
2 Tractatus Logico Philosophus, Routledge, Inggris, 2001, hlm 2
3 Tractatus Logico Philosophus, Routledge, Inggris, 2001, hlm 2

faktual, dan apa yang tidak bisa dijelaskan berarti tidak memiliki makna, jadi lebih baik diam
ketika terdapat bahasa yang tidak bisa dijelaskan.
Inti pemikiran dari Wittgenstein I adalah picture theory yang bisa dianggap sebagai teori
pemaknaan bahasa. Wittgenstein menjelaskan bahwa bahasa itu harus menggambarkan
realitas yang ada, dan makna dari bahasa itu akan timbul dari realitas tersebut. Contohnya
adalah apabila polisi melakukan olah TKP bukan di tempat kejadian, polisi akan
menggunakan sesuatu benda yang bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya terjadi.
Hal ini menyebutkan bahwa bahasa merupakan analogi dari realitas.
Di dalam penjelasannya Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi itu terdiri dari namanama, dan nama-nama itu menunjuk kepada suatu obyek di dalam realitas. Namun menurut
Wittgenstein nama itu sendiri tidak memiliki makna, nama itu tidak bisa dikatakan benar atau
salah di dalam penggunaannya. Namun ketika nama itu sudah masuk ke dalam proposisi
maka nama itu secara langsung memiliki makna. Di dalam bukunya yaitu Tractatus
Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan apa yang disebut nama itu sendiri. Tapi menurut saya
yang dimaksudkan Wittgenstein tentang nama itu contohnya seperti kursi, kita tahu kursi itu
ada di dalam realitas kita, namun apabila kursi itu berdiri sendiri tanpa ada penjelasan maka

kita tidak tahu kursi apakah itu. Namun ketika kita katakan kursi yang berwarna merah itu
biasa digunakan untuk duduk tamu. Maka kita mengerti makna kursi itu sendiri dan tahu
kursi mana yang dimaksud.
Konsekuensi picture theory milik Wittgenstein adalah bahwa proposisi metafisis itu tidak
bermakna, karena secara relaitas tidak bisa ditunjuk. Maka dari itu Wittgenstein bisa
dianggap sebagai anti-metafisika. Pada akhir dari Tractatus

ia menjelaskan bahwa ada

beberapa hal yang dianggap “mistis”, yaitu
1. Subyek, The subject does not belong to the world: rather, it is a limit of
the world4. Hal ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita yang
menggunakan bahasa ini tidak termasuk dari dunia dikarenakan kita
menggambarkan dunia dan seharusnya kita berada di luar dunia

2. Kematian, Death is not an event in life: we do not live to experience
death5. Kematian bukanlah bagian dari kejadian-kejadian, jadi mana
mungkin kematian itu bisa dijelaskan dengan bahasa. Kematian adalah
batas dunia dari yang tiada.


4 Tractatus Logico Philosophus, 5.632
5 Tractatus Logico Philosophus, 6.4311

3. Allah, God does not reveal himself in the world6. Allah tidak dapat
dipandang bahwa Ia berada di dalam dunia. Dan apabila Allah itu
berada di dalam dunia, seharusnya Allah itu mempunyai makna, tapi
kita masih tidak mengetahui makna Allah itu sendiri.

4. Bahasa, My propositions are elucidatory in this way: he who
understands me finally recognizes them as senseless, when he has
climbed out through them, on them, over them. (He must so to speak
throw away the ladder, after he has climbed up on it.)7. Bahasa itu
tidak mungkin bisa menggambarkan dirinya sendiri. Bahasa itu seperti
cermin, jadi tidak mungkin cermin bisa memantulkan bayangannya
sendiri. Dari penjelasan ini sebenarnya jelas bahwa Tractatus itu bukan
berusaha menjelaskan bahasa, namun ingin menjelaskan bahwa buku
tersebut itu tidak bermakna. Ia hanya ingin menunjukkan dunia lewat
bahasa.

4. Wittgenstein II : Philosophical Investigations

Philosophical Investigations adalah buku kedua dari Wittgenstein, buku ini berbeda
dengan Tractatus yang berupa poin-poin yang berusaha menjelaskan poin utamanya dengan
bahasa-bahasa yang singkat. Buku ini berisi dari 693 poin atau bisa dikatakan paragraph
dengan bahasa yang cukup rumit.
Di dalam bukunya yang ini, Wittgenstein berusaha mengkritisi apa yang pernah ia tulis di
Tractatus. Menurut Wittgenstein bahasa itu bukan sekedar mencari hakikatnya, namun yang
lebih penting adalah bagaimana kita menggunakan bahasa tesebut. Di dalam Tractatus
Wittgenstein berusaha menemukan hakikat bahasa sebagai sebuah tanda atau gambaran
darai sebuah realitas, namun hal ini sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa selain
perbedaan dari tanda atau gambaran tersebut.
Di dalam kritik terhadap teorinya sendiri, ia berpendapat sebenarnya kita itu bukan
mencari hakikat bahasa, namun lebih ke permasalahan bagaimana penggunaan bahasa itu
bisa terjadi di dalam kehidupan. Maka dari itu Wittgenstein mengeluarkan teori “language
games” atau permainan bahasa.

6 Tractatus Logico Philosophus, 6.432
7
Tractatus Logico Philosophus, 6.54

“Here the term "language-game" is meant to bring into prominence the fact that the

speaking of language is part of an activity, or of a form of life”8
Apabila kita lihat pernyataan diatas, kita akan melihat bahwa permainan bahasa itu ingin
mengungkapkan bahwa bahasa adalah salah satu bentuk aktivitas manusia atau bentuk
kehidupan.
Lalu apa itu permainan bahasa ? istilah permainan bahasa itu sendiri ingin menjelaskan
bahwa sebenarnya di dalam bahasa itu terdapat suatu aturan-aturan yang berbeda-beda
sehingga kita bisa mengerti dan memahami. Contohnya adalah aturan bahasa di dalam
penulisan cerita dengan bahasa untuk pembacaan cerita tersebut, di dalam penulisan cerita
terdapat aturan untuk menggunakan tanda baca, namun ketika kita membacakannya kita tidak
mungkin untuk membacakan tanda baca tersebut, atau contoh lainnya adalah di dalam setiap
cabang olahraga pasti mempunyai aturan-aturan yang berbeda-beda, kita tidak mungkin
menggunakan peraturan sepakbola di dalam olahraga basket, begitu pula sebaliknya. Berikut
ini adalah contoh permainan bahasa yang diungkapkan di dalam bukunya yaitu Philosophical
Investigations :



Giving orders, and obeying them—




Describing the appearance of an object, or giving its measurements-



Constructing an object from a description (a drawing)—



Reporting an event—



Speculating about an event—



Forming and testing a hypothesis—




Presenting the results of an experiment in tables and diagrams—



Making up a story; and reading it—



Play-acting—



Singing catches—



Guessing riddles—




Making a joke; telling it—



Solving a problem in practical arithmetic—



Translating from one language into another—



Asking, thanking, cursing, greeting, praying9

8 Philosophical Investigations, Oxford, Inggris, 23
9 ibid

Di dalam bukunya Wittgenstein tidak berusaha untuk menunjukkan aturan-aturan baku yang
ada di dalam bahasa itu, ia hanya ingin menunjukkan bahwa penggunaan bahasa satu dengan

bahasa yang lain itu akan berbeda.
Wittgenstein juga menjelaskan bahwa cara kita mengkaji bahasa itu adalah dengan cara
grammatical investigation. Walaupun ia melihat bagaimana caranya kita mengkaji bahasa,
tapi tetap saja dia tidak menunjukkan aturan gramatika apa yang harusnya diikuti agar kita
bisa memahami bahasa, ia hanya menjelaskan caranya yaitu dengan cara mengikuti aturanaturan yang ada. Sebagai contoh saat ini terdapat bahasa yang kita sebut sebagai bahasa alay,
di dalam bahasa alay ini pengungkapan bahasa itu digabungkan antara huruf dengan angka
ataupun dengan cara tidak menggunakan spasi, contohnya “4ku s4y46 K@^^u”. Lalu cara
kita untuk memahami bahasa tesebut adalah dengan cara memahami aturan yang ada di
dalam bahasa alay tersebut, kita tidak bisa memaksakan aturan bahasa yang kita biasa
pergunakan ke dalam bahasa tersebut apabila kita ingin memahami bahasa itu.
5. Kesimpulan
Wittgenstein adalah salah satu filsuf yang sangat penting di dalam filsafat kontemporer,
khususnya di bidang bahasa. Apabila kita lihat di dalam pemikirannya, Wittgenstein I lebih
membahas tentang persoalan analitik bahasa. Di dalam pembahasannya ia berusaha untuk
menteorisasi bahasa dengan pembahasan yang obyektif, namun di Wittgenstein II
pembahasannya lebih ke bagaimana bahasa itu digunakan atau dengan kata lain bahasa
sebagai sesuatu yang berguna di dalam kehidupan manusia (pragmatisme)
Apabila kita lihat lebih jauh lagi, pemikiran Wittgenstein I ini sangat mempengaruhi
pemikiran dari “lingkaran Wina” yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran filsuf-filsuf
Cambridge lalu berkembang kemudian di Oxford. Sedangkan Wittgenstein II memperlihatkan
bahwa bahasa itu bernilai guna, sehingga bahasa dianggap penting di dalam kehidupan
manusia. Kedua pandangan Wittgenstein terhadap bahasa ini membuat pemahaman kita
tentang bahasa itu menjadi semakin berwarna, sehingga semakin menunjukkan bahwa tidak
ada yang pasti di dalam suatu pemikiran, kecuali ketidakpastian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA


K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002



Riko, Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing,
2011



Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico Philosophus. Inggris: Routledge, 2001



Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigations. Translated by G. Anscombe.
Oxford: Blackwell Publisher Ltd, 1986



G. Anscombe, An Introduction to Wittgenstein ‘Tractatus’, London: Hutchinson, 1959

SEJARAH FILSAFAT KONTEMPORER

PERSPEKTIF BAHASA MENURUT
LUDWIG WITTGENSTEIN

Nama

:

Almatius Surya Griyantika

NPM

:

1006771913