seorang sahabat adalah hujjah; bahkan sebagian ulama berpendapat, bahwa penafsiran sahabat dihukumkan
sebagai perkataan yang muaranya sampai kepada Nabi saw.
Saya katakan: Betul, memang begitu kaidahnya. Tetapi, wajib baginya menjawab kelemahan-kelemahan atsar ter-
sebut sesuai ilmu hadits. Sebagaimana kita ketahui bersama, hal itu perlu dilakukan karena masalah yang sedang kita
bahas ini adalah masalah khilafiyah. Dia perlu membantah orang yang berbeda pendapat dengannya yang mendhaifkan
atsar tersebut. Kalau dia mengakui kedhaifan atsar tersebut, mengapa dia gunakan berhujjah? Kalau dia nilai atsar
terse-but shahih, mengapa dia tidak membantah dan memperta-hankan hujjahnya? Ini tidak sesuai dengan
anjuran dia sendiri yang dia sampaikan dalam Risalahnya hlm. 32. Dia mengatakan: Wajib bagi orang yang
membahas suatu masalah berlaku adil dan obyektif Dan wajib pula bagi dia meneliti dalil-dalil dua kubu yang
berbeda pendapat sebagaimana seorang hakim yang hendak memutuskan masalah bagi dua orang yang
bersengketa.
Wahai orang-orang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan. Termasuk dosa besar di
sisi Allah kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan. QS. Ash Shaff: 2 dan 3 .
2. Atsar kedua.
Ibnu Sirin Ubaidah As Salmani pernah ditanya tentang ayat idna mengulurkan jilbab. Lalu Ibnu Sirin menutup-
kan selimut ke seluruh kepala hingga ke dahinya, dan juga wajahnya, kecuali matanya yang sebelah kiri. Atsar ini
Http:kampungsunnah.wordpress.com
67
diriwayatkan oleh As Suyuthi di dalam kitab Ad Durr, dan dinukil oleh Syaikh At Tuwaijiri pada hlm. 163-164.
Atsar dhaif di atas dijadikan hujjah oleh Syaikh At Tuwaijiri dan orang-orang yang bertakl id kepadanya. Sebab-sebab
kedhaifan atsar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Atsar tersebut terputus sanadnya atau mauquf
13
, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Hal itu karena Ibnu Sirin
Ubaidah As Salmani adalah seorang tabiin. Seorang tabiin bila meriwayatkan hadits langsung dari Nabi, maka
haditsnya dikatakan hadits mursal, yang tidak boleh dijadikan berhujjah. Lalu, bagaimana bila atsar yang
mauquf, yang hanya sampai kepada sahabat seperti atsar di atas? Jelas lebih tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi atsar
tersebut bertentangan dengan penafsiran Si Penerje-mah Al Quran, Ibnu Abbas, dan para sahabat lain yang sejalan
dengannya.
Mereka tidak teguh dalam menetapkan mata mana yang boleh terbuka. Dalam satu riwayat dikatakan: Mata kiri.
Dalam riwayat yang lain dikatakan: Mata kanan, sebagai- mana diriwayatkan oleh Ath Thabari XXII33. Dalam
riwayat lainnya lagi dikatakan: Sebelah matanya, sebagai- mana tersebut di dalam kitab Ahkam Al Quran karya Al
Jashash III444 dan lainnya.
Ibnu Taimiyah menyebutkan atsar tersebut di dalam kitab Al Fatawa XV371 meskipun dengan lafazh yang sama
sekali beda. Dia berkata, Ubaidah As Salmani dan lainnya menyebutkan bahwa dulu para wanita mukminah
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka dari atas kepala hingga tidak kelihatan sedikitpun kecuali dua
matanya untuk melihat ketika berjalan.
13 Mauquf adalah istilah dalam ilmu hadits yang dinisbatkan kepada suatu perkataan atau perbuatan yang hanya sampai kepada sahabat. Pert.
68 http:kampungsunnah.wordpress.com
Syaikh AtTuwaijiri hlm. 166 dan Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 13 menukil perkataan tersebut
dan menyetujuinya.
Kita bisa melihat bahwa atsar-atsar tentang menutup wajah idhthirab
14
. Idhthirab menurut para ulama hadits menjadi sebab lemahnya suatu hadits atau atsar
-meskipun hanya berbeda lafazh sedikit saja- sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Karena
idhthirab menunjukkan bahwa si periwayat tidak menguasai atau
tidak hafal dengan perkataan yang disampaikannya. Padahal atsar yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di
atas tidak hanya berbeda sedikit lafazhnya dengan atsar yang kita bahas di muka. Lagi pula atsar yang dia
sampaikan itu tidak dalam rangka menafsirkan ayat. Atsar tersebut hanyalah menyebutkan keadaan pakaian
wanita pada masa itu. Kalau tentang hal ini, betul dan memang begitu, karena banyak riwayat
yang menunjukkan hal itu sebagaimana telah saya sebutkan
di dalam kitab Al Jilbab pada bahas-an Syariat Menutup Wajah hlm. 104. Akan tetapi adanya riwayat-riwayat
semacam itu tidak menunjukkan wajibnya menutup wajah, karena semata-mata hanya menyebutkan
perbuatan sebagian wanita pada masa itu yang tidak menafikan adanya wanita lain yang tidak menutup
wajahnya. Bahkan di zaman Rasulullah saw saja ada wanita yang tidak menutup wajahnya sebagaimana
tersebut di dalam beberapa riwayat.
2. Atsar tersebut bertentangan dengan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat idna yang telah dijelaskan di muka,
sehingga tidak disangsikan lagi mesti tertolak.
3. Atsar ketiga. Dari Muhammad bin Kaab Al Qurzhi