51
Dalam kajian ini, sesuai dengan objek dan tujuannya, teori mengenai unsur- unsur novel lebih mengacu pada teori Chatman yang membagi unsur fiksi menjadi
unsur cerita dan unsur wacana. Namun demikian, pendapat Stanton 1967 mengenai pembagian unsur fiksi menjadi tema, fakta, dan sarana cerita juga tidak ditinggalkan,
terutama kaitannya dengan gaya bahasa sebagai sarana sastra.
2. Fenomena Novel Indonesia Mutakhir
Novel Indonesia berkembang pesat sejak dekade 1970-an karena didukung oleh beberapa faktor yakni: 1 adanya maecenas sastra berhubungan dengan makin stabilnya
keadaan ekonomi Indonesia, 2 kebebasan mencipta sastra bersastra yang relatif terselenggara sejak tahun 1967, 3 dukungan pers yang menyediakan rubrik sastra dan
budaya dalam majalah dan surat kabar, dan 4 berkembangnya konsumen sastra terutama di kalangan muda Sumardjo, 1982: 15-16; lihat Toda, 1987: 18.
Penggunaan istilah novel Indonesia mutakhir bukan periode atau angkatan 1970-an atau Angkatan 2000 dimaksudkan untuk menghindari polemik mengenai
lahirnya angkatan sastra dalam dunia sastra Indonesia yang sering menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Sejak Angkatan 66 dicetuskan oleh H.B. Jassin hingga 1990-
an, sastra Indonesia seolah-olah mengalami stagnasi karena tidak ada angkatan sastra baru. Padahal realitasnya banyak karya sastra yang terbit pada dekade 1970-an hingga
1990-an yang memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan Angkatan 66. Baru pada tahun 2000 muncul Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia 2000 yang
dikemukakan oleh Korrie Layun Rampan. Mencermati realitas itulah maka pengertian novel Indonesia mutakhir di sini
lebih mengacu pada pandangan Budi Darma dalam Aminuddin, 1990: 133, bahwa banyak faktor di luar sastra yang ikut menentukan sastra, termasuk angkatan sastra.
Gejala-gejala dalam sastra yang membentuk sastra Indonesia mutakhir menurut Darma menyangkut filsafat, kerinduan arkitipal dan sofistikasi dalam karya sastra.
Filsafat dan sastra kadang-kadang menjadi satu. Filsafat dapat diucapkan lewat
sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus dapat bertindak sebagai filsafat. Salah satu aliran filsafat yang muncul dalam sastra Indonesia pada beberapa dekade terakhir adalah
eksistensialisme yang derivasinya meliputi allienisme yang menyiratkan kesendirian atau keterasingan dan absurdisme yang menyiratkan bahwa kehidupan kita tidak
mempunyai makna Darma dalam Aminuddin, 1990: 134-135. Perkembangan
52
absurdisme dalam sastra menjadi bermacam-macam, antara lain berbentuk karya sastra antilogika, antiplot dan antiperwatakan. Allienisme dan absurdisme terlihat antara lain
dalam karya-karya Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, dan Danarto.
Kerinduan arkitipal menyaran pada adanya kecenderungan para sastrawan
yang berusaha menggali kembali akar tradisi subkebudayaan. Bangsa Indonesia yang heterogen berpijak pada dua dunia yang saling menunjang yakni subkebudayaan
masing-masing di satu pihak dan kebudayaan Indonesia di pihak lain. Sadar atau tidak kita pasti dilanda kerinduan arkitipal, yakni rindu terhadap sub-subkebudayaan budaya
lokal masing-masing. Karya-karya Y.B. Mangunwijaya seperti novel Burung-burung Manyar 1981, Burung-burung Rantau 1984, Umar Kayam dalam novel Para Priyayi
1992, Ahmad Tohari dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk 1982, 1985, 1986, dan A.A. Navis dalam novel Kemarau 1971, menyiratkan arkitipal itu.
Munculnya sastra sufi dengan dimensi transendentalnya juga merupakan pengejawantahan kerinduan arkitipal. Agama dan keyakinan terhadap Tuhan juga
subkebudayaan. Hakikat kerinduan arkitipal adalah kerinduan terhadap sebuah subkebudayaan yang telah membentuk kita menjadi manusia Indonesia. Sufisme beserta
transendentalnya juga telah membentuk sebagian wajah manusia Indonesia Budi Darma, dalam Aminuddin, 1990: 138. Karya sastra yang mengandung muatan sufisme,
misalnya Khutbah di Atas Bukit 1976 karya Kuntowijoyo, Godlob 1974 dan Adam Marifat 1982 karya Danarto.
Sastra bermuatan sejarah juga merupakan pengejawantahan dari arkitipal. Sejarah berdimensi nostalgia, sedangkan nostalgia dapat menjadi saudara kembar
kerinduan arkitipal Darma dalam Aminuddin Ed, 1990: 138. Banyak sastra Indonesia yang mengangkat masalah sejarah, misalnya karya-karya Y.B. Mangunwijaya
: Burung-burung Manyar 1981 dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk 1982; 2003 karya Ahmad Tohari.
Adapun sofistikasi menyaran pada pandangan pemikiran baru yang mengkristal
dalam filsafat. Sebuah pandangan dapat dirumuskan jika memenuhi prasyarat tertentu, antara lain pandangan itu harus mendasar. Biasanya, pandangan yang mendasar dapat
lahir karena adanya suatu krisis besar Darma dalam Aminuddin Ed., 1990: 139. Menurut Darma, setelah lahirnya eksistensialisme, perkembangan dunia
pemikiran lebih bersifat evolusioner. Dalam proses evolusioner itu para pemikir bersifat
53
evolusioner pula, yang juga terjadi dalam sastra. Kosongnya filsafat, yakni filsafat yang memadu sastra seperti eksistensialisme tentu saja tidak identik dengan kosongnya
perilaku dan kebudayaan. Sastra tetap membawakan pemikiran, meskipun belum tentu pemikiran itu telah dirumuskan menjadi filsafat.
St. Takdir Alisyahbana STA selalu memperjuangkan nilai-nilai tertentu yang sudah dirumuskan sendiri sebelumnya. Misalnya, sastra harus membawakan gagasan
besar, harus merombak dan harus membawa modernisasi. Satrawan Indonesia yang lain sebenarnya juga membawa gagasan baru, hanya saja mungkin tidak sehebat STA yang
muncul sejak masa sebelum kemerdekaan hingga zaman modern. Iwan Simatupang, Ahmad Tohari, Danarto, Kuntowijoyo juga Ayu Utami dapat dikatakan juga
mengusung gagasan-gagasan baru yang cukup mendasar dalam karyanya. Mengacu pandangan Budi Darma tersebut, RDP dapat dikategorikan sebagai
novel Indonesia mutakhir. RDP yang terbit pada dekade 1980-an mengandung gejala- gejala setidaknya meliputi kerinduan arkitipal dan sofistikasi.
G. Teori Strukturalisme Dinamik