Populasi dan habitat yaki (macac nigra) di cagar alam gunung duasudara sulawesi utara

*
o

P

g p p

ABSTRAK

EuuE

assg

2 ~n5 ~ns 3 I
$550

~

0 0

s


Q

s
s c

n

s S T Z Q
%9w
P
:
g

z

2

$ 22: 2;.p n
5.

g ' i 2 . r ~Q
= 8x9 5

2;7p',

37, . r g S

P
s - 0~ S IZ)

~

Qg~s-s

z

0 %

%
:

S s

0.0

s:

a< 2
n r r Q

Q
1nE7:.

5 $. a 2.

sigg
E

'6

32


3

&?
92

$ $:
P

a
L

z:
n
%
$
r

tT3a
Z


:3
i. 2
k%
$5
s-s

z$

i z? 3E
ms f g
g $

x.5 Il

L

"
B


9'

g

=
.
r

4

Q

s

*.

2.
Q

K


3
E

z

3
2

B
?-

~

. Populasi dan Habitat Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam
udara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh AN1 MARDIASTUTI dan
NDALL C. KYES
Kawasan Cagar Alam Gunung Duasudara merupakan salah satu tempat
mukannya yaki (Macaca nigra), yang keberadaannya semakin terancam oleh
ivitas manusia. Data dasar mengenai status populasi yaki serta kondisi habitat

dan habitat yaki di CA Gunung
na itu telah dilakukan suwei populasi dan pengamatan
bitat selama empat bulan (Mei sarnpai dengan Agustus 2005). Metode yang
Q
suwei populasi adalah line transect sampling.
amatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan pohon
ntuk diagram profil habitat.
asan juga dilakukan untuk
ai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan
Menurut hail suwei populasi yaki di CA Gunung Duasudara dengan luas
6 kelompok yaki, dengan jumlah anggota
yaitu 23,51 e k o r h 2 dengan
. Komposisi umur pada kelompok ini yaitu,
23,44% dan bayi 12,50%. Rasio jantan betina
digunakan dalam beraktifitas
dari 10 m). Persentase pemanfaatannya yaitu
yang digunakan sebagai pohon tidur antara
minum, pohon yang tinggi dan besar, serta
. Kanopi pohon yang tertutup dengan tajuk
pohon yang digunakan sebagai pohon tidur

um, Macaranga celebica Koord., Talauma
itu sebesar 6,33% apabila
un keberadaan populasi ini
masyarakat sekitar kawasan
aki di CA Gunung Duasudara.
i secara diam-diam, masih dapat
ain seperti tikus hutan, kelelawar
a menjadi satwa yang diburu
Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik semakin memperburuk
ndisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan
sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan
innya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan
primata endemik ini dapat terus dipertahankan.

*
o

P

g p p


ABSTRAK

EuuE

assg

2 ~n5 ~ns 3 I
$550

~

0 0

s

Q

s
s c


n

s S T Z Q
%9w
P
:
g

z

2

$ 22: 2;.p n
5.
g ' i 2 . r ~Q
= 8x9 5

2;7p',

37, . r g S

P
s - 0~ S IZ)

~

Qg~s-s

z

0 %

%
:
S s

0.0

s:

a< 2
n r r Q

Q
1nE7:.

5 $. a 2.

sigg
E

'6

32

3

&?
92

$ $:
P

a
L

z:
n
%
$
r

tT3a
Z

:3
i. 2
k%
$5
s-s

z$

i z? 3E
ms f g
g $

x.5 Il

L

"
B

9'

g

=
.
r

4

Q

s

*.

2.
Q

K

3
E

z

3
2

B
?-

~

. Populasi dan Habitat Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam
udara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh AN1 MARDIASTUTI dan
NDALL C. KYES
Kawasan Cagar Alam Gunung Duasudara merupakan salah satu tempat
mukannya yaki (Macaca nigra), yang keberadaannya semakin terancam oleh
ivitas manusia. Data dasar mengenai status populasi yaki serta kondisi habitat
dan habitat yaki di CA Gunung
na itu telah dilakukan suwei populasi dan pengamatan
bitat selama empat bulan (Mei sarnpai dengan Agustus 2005). Metode yang
Q
suwei populasi adalah line transect sampling.
amatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan pohon
ntuk diagram profil habitat.
asan juga dilakukan untuk
ai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan
Menurut hail suwei populasi yaki di CA Gunung Duasudara dengan luas
6 kelompok yaki, dengan jumlah anggota
yaitu 23,51 e k o r h 2 dengan
. Komposisi umur pada kelompok ini yaitu,
23,44% dan bayi 12,50%. Rasio jantan betina
digunakan dalam beraktifitas
dari 10 m). Persentase pemanfaatannya yaitu
yang digunakan sebagai pohon tidur antara
minum, pohon yang tinggi dan besar, serta
. Kanopi pohon yang tertutup dengan tajuk
pohon yang digunakan sebagai pohon tidur
um, Macaranga celebica Koord., Talauma
itu sebesar 6,33% apabila
un keberadaan populasi ini
masyarakat sekitar kawasan
aki di CA Gunung Duasudara.
i secara diam-diam, masih dapat
ain seperti tikus hutan, kelelawar
a menjadi satwa yang diburu
Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik semakin memperburuk
ndisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan
sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan
innya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan
primata endemik ini dapat terus dipertahankan.

POPULASI DAN HABITAT YAK1 (Macaca nigra)
DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA
SULAWESI UTARA

SYLVIA LAATUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Satwa primata merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia.
Sedikitnya 40 jenis spesies satwa primata dimiliki Indonesia, 21 jenis
diantaranya adalah endemik. Beberapa spesies monyet, kera dan
prosimian dapat kita temui dibeberapa tempat di Indonesia. Seluruh
kekayaan alam termasuk satwa primata tersebut dapat menjadi salah satu
sumber devisa negara, meskipun nilainya masih sangat kecil (0,5%),
dibandingkan komoditi kayu (Soehartono & Mardiastuti 2003), namun
demikian, keberadaan dan peran khusus satwa primata tidak boleh
diartikecilkan.
Keanekaragaman dan keendemikan satwa primata Indonesia, telah
banyak menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar
negeri. Begitu juga dengan penelitian-penelitian yang dihasilkan oleh
para peneliti baik dalam bidang ekologi maupun biomedis, sebagai
hewan model atau hewan laboratorium. Monyet yaki (Macaca nigra)
adalah salah satu hewan model yang digunakan dalam studi penyakit gula
(Sayuthi et al. 1997).
Yaki (Macaca nigra) adalah salah satu spesies Macaca dari 7
spesies Macaca yang ada di Sulawesi (Fooden 1969 dalam Whitten e t al.
1987). Diantara 3 spesies Macaca di Sulawesi bagian utara (M. nigru, M.
nigrescens dan M .hecki), yaki merupakan jenis yang paling terancam
keberadaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi maupun
habitatnya sernakin menurun dari tahun ke tahun. Kinnaird (1997)
melaporkan bahwa, akibat perburuan dan pengrusakan habitat saja,
populasi yaki di Cagar Alam (CA) Tangkoko Duasudara yang merupakan
salah satu tempat ditemukannya kelompok ini, telah mengalami
penurunan 75% sejak tahun 1979.
CA Gunung Duasudara merupakan

bagian dari kawasan CA

Tangkoko Duasudara yang terletak di ujung tenggara semenanjung utara
Kabupaten Minahasa. Kehadiran penduduk desa sekitar kawasan CA

Gunung Duasudara menimbulkan beberapa permasalahan yang secara
langsung atau tidak langsung mengancam kehidupan yaki.
Permasaiahan klasik yang dialami oieh hampir setiap negara
terhadap keberadaan satwaliar termasuk satwa primata adalah masalah
perburuan dan perambahan hutan. Masalah tersebut juga terjadi di CA
Gunung Duasudara. Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan
dan hasil hutan yang sangat tinggi, memicu masyarakat untuk melakukan
kegiatan perambahan hutan, penebangan liar, perburuan dan perdagangan
liar. Belum lagi masalah lain yang tidak bisa dikendalikan seperti
bencana alam (kebakaran), yang kerap terjadi di sekitar kawasan. Faktor
lain yang ikut menambah semua tekanan di atas yaitu lemahnya
pengelolaan kawasan lindung oleh pemerintah maupun pihat terkait.
Semua permasalahan diatas menyebabkan populasi yaki semakin
menurun. Apabila ha1 ini dibiarkan terus berlanjut, dapat dipastikan yaki
akan punah. Dalam rangka pembinaan dan pengelolaan kawasan guna
menyelamatkan yaki diperlukan data dasar. Adapun data dan informasi
terbaru mengenai populasi, penyebaran, habitat yaki dan aspek sosial
budaya masyararat di CA Gunung Duasudara sampai saat ini masih
sangat terbatas. Hal-ha1 inilah yang menjadi dasar mengapa penelitian ini
perlu dilakukan.
Tujuan
1. Mendapatkan informasi tentang populasi yaki yaitu kepadatan

populasi, ukuran kelompok, komposisC umur, nisbah kelamin dan
penyebaran yaki di CA Gunung Duasudara.
2. Mengetahui keadaan habitat yaki di CA Gunung Duasudara.
3. Mengetahui aktivitas masyarakat yang terkait dengan keberadaan yaki

di sekitar kawasan.

Manfaat
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah

satu sumber informasi dalam menyusun program konservasi habitat dan
populasi yaki di CA Gunung Duasudara.

Kerangka Pemikiran
Populasi satwaliar biasanya akan berubah mengikuti perubahan
atau dinamika lingkungan. Perubahan ini juga dapat sekaligus menjadi
ancaman, baik terhadap populasi, maupun habitat. Manusia sejauh ini
justru menjadi penyebab utama sekaligus menjadi ancaman bagi
kehidupan satwaliar. Ancaman terhadap kehidupan yaki di CA Gunung
Duasudara, secara umum dapat dibagi atas dua bagian yaitu ancaman
yang disebabkan oleh manusia, dan ancaman oleh lingkungan atau alam
Perambahan hutan dan perburuan, adalah aktivitas yang tiada henti
terjadi di sekitar kawasan. Penebangan pohon dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah pohon sebagai tempat aktivitas yaki dan penutup
tajuk hutan. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan atau sumber
pakan yaki di hutan. Pembukaan lahan juga dapat menyebabkan
fragmentasi hutan, yang pada akhirnya mempersempit daerah jelajah
yaki. Jalur-jalur penebangan yang ada, dengan sendirinya mempermudah
akses untuk masuk lebih jauh kedalam hutan bagi pemburu liar.
Kebakaran hutan di sekitar kawasan selama musim kemarau,
nyaris menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran ini terjadi entah secara
sengaja ditimbulkan di dalam kawasan untuk membersihkan tanah bagi
pertanian atau dari luar dan kemudian menyebar kedalam kawasan karena
tidak diawasi. Kebakaran juga memicu petani-petani _skala kecil untuk
memperluas lahan pertanian ke wilayah yang sebelumnya masih berupa
hutan yang tak terganggu.
Faktor yang ikut menambah semua tekanan tersebut yaitu
lemahnya infrastruktur dan kurang baiknya pengelolaan kawasan cagar
alam. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: tidak adanya data dasar
bagi pengelolaan kawasan atau usaha konservasi, pengawasan kurang
karena jumlah petugas lapangan sedikit, rendahnya tingkat pelatihan bagi
petugas, sarana dan prasarana terbatas dan tidak adanya koordinasi
antara instansi terkait. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian,
disaj ikan pada Gambar 1.

Yaki (M. nigra) di CA Gunung Duasudara

1

Ancaman

1
kawasan rendah

pemerintah

hutan
2. Perburuan
Saranalprasarana
titas SDM

Akibatnya :
1) habitat rusak
2) populasi yaki
menurun.

1

Penelitian / Survei
Habitat & Populasi

1,

Informasi 1 Data Dasar

Strategi Konservasi

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.

Bencana
alamlkebakaran

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi

Macaca nigra (Gambar 2) adalah salah satu dari tujuh monyet
Sulawesi yaitu Dare (M. maura), Yaki (M. nigra), Dihe (M. nigrescens),
Dige (M. hecki), Boti (M. tonkeana), Hada (M. ochreata) dan Endoke (M.
brunnescens) (Fooden 1969 dalam Whitten et al. 1987). Dari ketujuh
jenis monyet Sulawesi ini, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
dalam ha1 ukuran tubuh seperti tengkorak atau badan, tetapi monyetmonyet tersebut berbeda pada ciri-ciri eksternal yaitu pola warna, bentuk
ischial callosities (bantalan tungging), bentuk moncong dan rambut
kepala. Klasifikasi Macaca nigra (yaki) dalam taksonomi hewan :
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Primates

Subordo

: Antropoidea

Infraordo

: Catarrhini

Superfamili : Cercopithecoidea
Famili

: Cercopithecidae

Subfamili

: Cercopithecinae

Genus

: Macaca

Spesies

: Macaca nigra
- (Desmarest 1822)

Nama lokal : Yaki

Gambar 2 Macaca nigra $
(Rowe 1996).

(Corbet & Hill 1992; Collinge 1993)
Morfologi dan Anatomi

Macaca nigra memiliki ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan
jenis Macaca lainnya. Panjang tubuhnya 445-600 mm, panjang ekor 20
mm, dan bobot tubuh antara 7-15 kg (Supriatna & Hendras 2000).
Biasanya bobot tubuh jantan lebih besar dari betina, dan memiliki
perkembangan gigi taring yang baik (Animal Diversity 2004).

Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam,
namun bagian belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang
dibandingkan pada bagian lain. Wajahnya berwarna hitam dan tidak
ditumbuhi rambut. Moncongnya jauh lebih menonjol dibandingkan
dengan monyet Sulawesi lainnya. Kepala mempunyai jambul, yang
merupakan ciri khasnya dan memiliki kantung pipi yang besar (Supriatna
& Hendras 2000).

Warna tubuh betina dan monyet muda sedikit pucat, bila
dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan tunggingnya berbentuk
seperti "ginjal" dan berwarna kuning (Supriatna & Hendras 2000).
Selanjutnya menurut Arkive (2004), bantalan tungging pada yaki jantan,
ukurannya lebih kecil dan berbentuk hati. Sedangkan yaki betina
ukurannya lebih besar, bulat dan berwarna merah muda tua.
Pantat membengkak merah pada yaki betina menandakan bahwa
hewan tersebut sedang birahi (Napier & Napier 1967; Kinnaird 1997).
Yaki betina biasanya kawin dengan beberapa jantan dalam kelompok

(httv://www.geocities.com / Thetrovicsl paradise1 53011 P9000008.html;
2004). Masa kehamilan monyet hitam ini berkisar antara 170-190 hari
dengan jarak kelahiran sekitar 24 bulan dan dapat bertahan hidup hingga
26 tahun (Supriatna & Hendras 2000). Kelahiran anak tidak mengenal
musim sepanjang tahun. Bayi yaki berbulu putih pada wajah, lengan dan
bagian ba*ah Gadan. Warna ini akan berubah perlahan-lahan menjadi
hitam sebelum umur 4-6 bulan (Kinnaird 1997). Ketika bayi, yaki akan
terus melingkar pada bagian perut induknya dan menyusui selama kurang
lebih 1 tahun (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Uraian data
biologis yaki yang dirangkum dari berbagai sumber, dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1 Data biologis Macaca nigra (Yaki)
Data biologis
Panjang tubuh (mm)

Bobot badan (kg)

Dewasa kelamin (thn)
Sex ratio

Jantan

Betina

520-570 a'
445-600 b'
550 "
560
11
9,9 "
9-10
4-5
5,5-7,0 fl
1,O a)
1
1"

445-550 a)
445-600 b'
550 "
560
7 e'
5,5 "
7
3-5 d'
2,5-4,0 fl
3, 4 a'
q e'

2,0-3,0
36 a'
33-36

Siklus estrus (hari)
Lama bunting (hari)

Jarak kelahiran anak (bin)
Day range (kmlhari)

Home range (ha)
Lama hidup (thn)

114-320

a.b)

Panjang ekor (mm)
Kematian bayi (%)
Susunan gigi

g)

212312123 ")

Keterangan:
a) Rowe (1996),
b) Supriatna dan Hendras (2002),
c) Arkive (2004),
d) Singapore Zoological Garden Docents (2004).
e) Kinnaird (1997),
f ) Animal Diversity (2004) dan
g) Lee et al. (2001).

"
''

Perilaku Sosial

Hidup berkelompok merupakan ciri khas genus Macaca. Ukuran
dan komposisi setiap kelompok tergantung bentuk kelompok masingmasing.Yaki hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 20-70
ekor, yang terdiri dari banyak jantan dan betina atau sering disebut
multimale-multifemale. Perbandingan antara jantan dan betina dalam
kelompok 1:3,4

(Supriatna & Hendras 2000). Untuk membedakan

kelompok umurnya, dapat dilihat melalui perubahan bulunya.
Perilaku sosial yaki sangat terorganisir dan kompleks. Pejantan
membentuk hierarki kekuasaan. Hierarki kekuasaan atau kedudukan
dalam kelompok tersebut, disusun berdasarkan suatu kompetisi, dan
setiap saat akan berubah karena bertambahnya umur atau ketika individu
tersebut meninggalkan kelompoknya dan bergabung dengan kelompok
lain (Singapore Zoological Garden Docents 2004).
Seperti jenis Macaca lain, betina lebih cenderung untuk tetap
tinggal didalam kelompok yang sama seumur hidupnya, sedangkan jantan
akan meninggalkan kelompok dan bergabung dengan kelompok lain
(Singapore Zoological Garden Docents 2004). Pejantan paling dominan,
ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas
dalam mendapatkan makanan dan pasangan kawin (Kinnaird 1997).
Untuk

memperlihatkan

dominansi

dan

menghindari

terjadinya

perkelahian, jantan dewasa kadang menyeringai untuk memperlihatkan
gigi taringnya yang besar kepada lawannya (Arkive 2004).
Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan
anak, sehingga pejantan-pejantan sempat membersihkan segala parasit
dari bulu tubuhnya dan membantu betina memperkuat ikatan sosial
dengan anggota lainnya (Kinnaird 1997). Yaki remaja melewatkan waktu
dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran

atau bergumul dengan

sebayanya. Meringis lebar adalah senyuman mengajak bermain-main
bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997).
Yaki hidup semiarboreal dan terestrial, meskipun lebih dominan
hidup arboreal (di pohon), dan sering menggunakan dahan pohon untuk

melakukan penjelajahan. Umumnya pergerakan di tanah dan pada
percabangan pohon dilakukan secara quadropedal. Namur cara bergerak
yaki sangat bervariasi, biasa menggunakan kedua kakinya (bipedal),
menggantung (brankiasi), ataupun memanjat (Supriatna & Hendras
2000).
Daerah jelajah yaki berkisar antafa 114-320 ha (Rowe 1996;
Supriatna & Hendras 2000), dan jelajah hariannya dapat mencapai 6 km
(Rowe 1996). Daerah jelajah suatu kelompok, dapat juga menjadi daerah
jelajah kelompok lain. Daerah ini ditentukan berdasarkan kualitas hutan
dan distribusi sumberdaya makanan (buah-buahan) yang tersedia di
daerah tersebut (O'Brien & Kinnaird 1997).
Yaki aktif pada siang hari (diurnal) dan sore hari menjelang tidur,
memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi
pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera
mencari makan (Supriatna & Hendras 2000).
Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan
setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke
pohon lain untuk mencari makan. Terkadang suatu kelompok bertemu
kelompok lain, dan perkelahian dapat terjadi kalau kebetulan ada pohon
buah yang menjadi rebutan, terutama pohon buah ara yang buahnya
sangat digemari (Kinnaird 1997).

Makanan
Yaki memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk,
bunga, biji, buah dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska dan
invertebrata kecil (Supriatna & Hendras 2000; Rowe 1996), antara lain
tikus dan kadal (Arkive 2004). Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang
dimakan yaki. Yaki juga sering terlihat berada ditepi laut untuk mencari
moluska sebagai salah satu sumber pakannya (Supriatna & Hendras
2000). Yaki juga mengkonsumsi serangga untuk memenuhi. kebutuhan
proteinnya (Kinnaird 1997).
Yaki menghabiskan sebagian besar waktunya (59%) untuk
bergerak dan makan, dan sisanya (41%) untuk beristirahat dan

bersosialisasi (O'Brien & Kinnaird 1997). Yaki akan melompat dari satu
pohon ke pohon yang lain, sesekali berhenti untuk mengambil buahbuahan atau menangkap hewan-hewan kecil, dan pada akhirnya berhenti
pada batang pohon yang besar (misalnya Ficus), tempat dimana semua
yaki berkumpul dan makan (O'Brien & Kinnaird 1997). Pada siang hari,
kelompok yang besar (> 100 ekor) biasanya membentuk kelompokkelompok yang lebih kecil (10-25 ekor), untuk mencari makan (Arkive
2004).
Salah satu sumber makanan bagi yaki yang paling melimpah di CA
Gunung Duasudara adalah pohon ara (Ficus sp.) yang merupakan 20%
dari total makanan yaki. Di CA Tangkoko-Duasudara saja terdapat 45
jenis pohon ara (Kinnaird 1997). Buah ini sangat disukai karena bila
matang, banyak mengandung gula dan mudah dicerna. Selain itu
berbuahnya ara tidak mengikuti suatu pola musim sehingga buahnya
dapat diperoleh sepanjang tahun, cepat matang dan panen buahnya
melimpah sampai satu juta buah atau lebih (Kinnaird 1997).
Yaki memiliki kantung pipi yang besar yang berhubungan dengan
bagian leher, sehingga dapat menampung makanan dalam jumlah yang
hampir sama dengan perutnya (Singapore Zoological Garden Docents
2004). Ketika makan, biasanya yaki menyimpan makanannya dalam
kantung khusus di pipinya. Selagi berjalan, yaki kadang mengeluarkan
simpanan makanan dari kantungnya lalu mengunyah dan menelan
dagingnya, kemudian membuang bijinya. Biji yang dibuang yaki di lantai
hutan,

secara tidak langsung membantu proses regenerasi hutan

/ h t t v : / / ~ ~ ~ . g e ~ c i t i e s . c o m/

Thetrovicsl

varadisel

530 I/

P9000008.htm1;2004).
Yaki

sering

menggunakan

gigi

bagian

belakang

untuk

memecahkan biji-bijian atau makanan yang keras (Singapore Zoological
Garden Docents 20.04). Yaki lebih memilih makan di atas pohon, untuk
menghindari

predator

seperti

ular

Phyton

Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah tempat yang dihuni oleh suatu makhluk hidup
tertentu, bukan tempat pengungsian temporer, akan tetapi sungguhsungguh tempat dimana organisme tersebut hidup dan berkembang biak
dari generasi ke generasi (Dwidjoseputro 1990). Komponen habitat yang
paling utama terdiri dari makanan, air dan tempat berlindung. Makanan
dan air, sebagai komponen biotik, merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan makhluk hidup. Habitat juga berfungsi sebagai tempat hidup,
berkembang biak dan tempat berlindung dari bahaya serangan pemangsa
(Alikodra 2002).
Habitat yaki telah banyak menyusut akibat penebangan dan
pembukaan lahan untuk perkebunan. Saat ini yaki telah kehilangan 60%
habitat dari 12.000 km2,dan menempati areal seluas 2.750 km2 dalam
kawasan konservasi. Yaki dapat dijumpai pada hutan primer atau
sekunder dataran rendah (pesisir) hingga dataran tinggi (2.000 m dpl)
(Supriatna & Hendras 2000).
Yaki lebih menyukai daerah diantara hutan primer dan sekunder,
karena cocok untuk tempat tidur dan tempat untuk mencari makan. Setiap
kelompok memiliki pohon tidur masing-masing yang disukai. Biasanya
pohon tersebut tinggi dan merupakan sumber makanan bagi kelompoknya
(O'Brien & Kinnaird 1997).
Penyebaran yaki mulai dari CA Tangkoko Batuangus di bagian
utara hingga ke Sungai Onggak Dumoga, yang berbatasan dengan
penyebaran Macaca nigrescens. Di Sulawesi Utara sendiri dapat
dijumpai di CA Gunung Duasudara, Pulau Bacan, Manembo-nembo,
Kotamobagu dan Modayak. Jenis ini telah diintroduksi di Pulau Bacan
Maluku dan populasinya telah mencapai ratusan ribu ekor, lebih banyak
dibandingkan pada habitat aslinya (Supriatna & Hendras 2000). Adapun
penyebaran monyet yaki di Indonesia dan Sulawesi Utara, dapat dilihat
pada Gambar 3 dan 4.

-

Gambar 3 Daerah penyebaran yaki di Sulawesi Utara dan Pulau Bacan,
Maluku (Rosenbaum et al. 1998).

Keterangan :

---- - - -

.

.2
..x
..5
....3
...

= batas

penyebaran yaki
yg diketahui adanya yaki
yg diduga adanya yaki

= daerah
= daerah

Gambar 4 Daerah penyebaran yaki di Sulawesi Utara (Lee 1997).

Populasi

Populasi satwaliar merupakan salah satu bagian penting dalam
pengelolaan satwaliar dalam suatu kawasan, sehingga dapat disusun
strategi pengelolaan dengan tepat. Populasi dapat berubah sewaktu-waktu
mengikuti keadaan lingkungan dimana satwaliar tersebut tinggal.
Adapun batasan populasi adalah kelompok organisme yang terdiri
dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan
yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Batasan lain tentang
populasi menurut Wirakusumah (2003) adalah kumpulan individu
organisme-organisme disuatu tempat yang memiliki sifat-sifat serupa,
mempunyai asal usul yang sama, dan tidak ada yang menghalangi
individu-individu anggotanya untuk berhubungan
mengembangkan

keturunan

secara

bebas.

satu sama lain

Individu-individu

itu

merupakan kumpulan-kumpulan heteroseksual.
Ciri-ciri dasar suatu populasi adalah kepadatan, perbandingan
kelamin, struktur umur, kematian dan kehadiran. Metode pengukuran
atau sensus populasi dapat dibagi menjadi 3 cara yaitu sensus langsung,
tidak langsung dan kombinasi antara sensus langsung dan tidak langsung
(Alikodra 2002)
Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu ruang,
umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau
. ..

volume ( ~ l i k h d r a 2002; Heddy e;

al. 1989). Beberapa parameter

populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan yaitu mortalitas,
natalitas, imigrasi dan emigrasi. Kepadatan populasi bervariasi menurut
wilayah dan tipe hutan, sehingga hasil analisis dari suatu wilayah, tidak
dapat langsung digunakan untuk wilayah lain (Alikodra 2002).
Yaki termasuk hewan yang hidupnya berkelompok. Sebelum
populasinya di hutan menurun, kelompok yaki dapat ditemui dengan
jumlah yang besar (>lo0 ekor/kelompok). Namun saat ini yaki ditemukan
dalam kelompok-kelompok kecil (Arkive 2004). Pada umumnya faktor
perburuan ataupun pemanenan yang tidak terkendali serta perusakan
habitat

merupakan

penyebab

utama

yang

dapat

menyebabkan

menurunnya populasi satwaliar sampai tahap kritis (Rosenbaum et al.
1998).
Beberapa penelitian tentang populasi yaki di Sulawesi Utara telah
dan masih dilakukan sampai saat

ini. Sugardjito et al. (1989)

melaporkan bahwa kepadatan populasi yaki tahun 1987-1988 di CA
Tangkoko Batuangus Duasudara yaitu 98,2 ekor/km2, dengan luas daerah
survei 11,34 km2. Penelitian di tempat yang sama juga dilakukan oleh
Rosenbaum et al. pada tahun 1992- 1994, diperoleh kepadatan populasi
yaki 141,7 ekor/km2, dengan luas daerah survei 61 km2. Adapun
kepadatan populasi yaki khususnya di CA Gunung Duasudara yaitu 25,l
ekor/krn2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian ini adalah penelitian
terakhir yang dilakukan di CA Gunung Duasudara, selama 10 tahun
terakhir. Disebutkan juga bahwa penyebab utama penurunan populasi ini
akibat kerusakan habitat, perburuan dan kekeringan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kyes selama 4 tahun berturut-turut
(1999-2002) di CA Tangkoko, menunjukkan populasi yang stabil, dengan
kepadatan populasi pada tahun terakhir 42,l ekor/km2 (Kyes et al. 2004).
Menurut Lee et al. (2001), apabila pemanenan suatu jenis satwa
dilakukan secara berlebihan, populasi tidak dapat lagi menghasilkan
keturunan untuk menggantikan yang mati karena perburuan terus
menerus

dan sebab-sebab tidak langsung lainnya seperti hilangnya

habitat dan gangguan" lain: Populasi tersebut kemudian akan menyusut
dan rentan bagi kepunahan setempat. Selanjutnya disebutkan bahwa yaki
memiliki tingkat reproduksi yang rendah dan membutuhkan waktu yang
panjang bagi satwa muda untuk merijadi dewasa. Bahkan tekanan
perburuan tingkat sedang saja mungkin dapat menurunkan populasi yaki
(Lee et al. 200 1).
Ancaman terhadap Populasi Yaki

Menurut Mittermeier et al. (1986), beberapa ancaman terhadap
kelangsungan hidup satwa primata terbagi dalam 3 faktor utama :
destruksi habitat, perburuan untuk konsumsi atau tujuan lain dan

penangkapan hidup-hidup baik untuk dieksport atau dijual. Akibat yang
ditimbulkan dari ketiga faktor tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis
satwa

primata

maupun

daerah

tempat

satwa

tersebut

tinggal.

Ditambahkan lagi bahwa ketiga faktor tersebut disebabkan oleh beberapa
ha1 antara lain : tingkat dan jenis aktivitas manusia dimana satwa
tersebut tinggal, tradisi perburuan lokal, jumlah permintaan satwa
primata baik sebagai hewan model maupun untuk diperjualbelikan,
ukuran dan tingkat kesukaan terhadap satwa tersebut (Mittermeier e t al.
1986).
Diantara tiga jenis Macaca yang hidup di Sulawesi bagian utara
(Macaca nigra, M. nigrescens dan M. hecki), yaki merupakan jenis yang
paling terancam (Lee e t al. 2001). Ancaman utama bagi binatang ini
adalah perburuan subsisten dan pasar. Yaki diburu untuk dimakan dalam
perayaan dan pesta, yang disuplai lewat pasar-pasar gelap. Ancaman lain
terhadap yaki adalah penangkapan hidup-hidup untuk dipelihara, serta
kerusakan habitat (Lee e t al. 2001).
Menurut Riyanto (2004), kawasan hutan merupakan sumberdaya
alam

yang

terbuka,

sehingga

akses

masyarakat

untuk

masuk

memanfaatkannya sangat besar. Adanya pemukiman yang terletak di
sekitar kawasan,
kawasan

cagar

memperbesar kemungkinan berkurangnya
alam.

Daerah

yang

semestinya

menjadi

daerah
tempat

perlindungan yaki menjadi sasaran penduduk untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Pola tanam tradisional masih digunakan penduduk untuk bercocok
tanam. Setelah panen, lahan ditinggalkan dan akhirnya menjadi padang
rumput atau hutan sekunder.
Di CA Tangkoko-Duasudara, kebakaran hutan selama musim
kemarau nyaris menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran itu terjadi entah
secara sengaja ditimbulkan di dalam kawasan untuk membersihkan tanah
bagi pertanian atau dari luar dan kemudian menyebar kedalam kawasan
karena tidak diawasi (Lee et al. 2001).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosenbaum e t al. (1998) di
CA Gunung Duasudara bahwa kegiatan perburuan dan perambahan hutan

menjadi penyebab utama berkurangnya populasi yaki. Berbeda dengan
Pulau Bacan di Maluku Utara, tekanan akibat aktivitas manusia relatif
kecil dibandingkan di Sulawesi Utara. Populasi manusia yang tidak
terlalu padat dan larangan untuk mengkonsumsi yaki oleh agama,
merupakan dua faktor yang mempengaruhi populasi yaki. Yaki biasanya
diburu oleh penduduk karena dianggap sebagai hama pertanian. Ada juga
yang memburu anak yaki untuk dijadikan hewan peliharaan, namun ha1
ini jarang terjadi (Rosenbaum et al. 1998).
Akses untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan semakin besar
dengan kehadiran pemburu-pemburu liar. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya beberapa perangkap di dalam hutan. Menurut Riyanto
(2004), pemburu liar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
a) pemburu liar untuk memperoleh daging satwa guna kebutuhan
sehari-hari,
b) pemburu

liar

untuk

keperluan

perdagangan

satwa

guna

pemeliharaan, dan
c) pemburu liar karena hobi berburu satwa.
Dua butir pertama merupakan kelompok-kelompok yang sering
ditemui di CA Gunung Duasudara. Selain kedua butir diatas, alasan
mengapa yaki diburu adalah karena yaki sering mengambil tanaman
perkebunan, sehingga dianggap sebagai hama oleh penduduk sekitar
kawasan (Dwiyahreni et al. 2001).
Lee (1997) menambahkan bahwa adanya kenaikan populasi
manusia dari tahun ke tahun telah meningkatkan pemintaan daging
satwa.

Hal

ini

menciptakan

suatu

situasi

yang

mengakibatkan

kebanyakan satwa yang diburu di daerah barat Sulawesi bagian utara
adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ditambah lagi dengan tidak
adanya larangan agama dalam ha1 mengkonsumsi daging satwaliar
tertentu, mengakibatkan permintaan satwaliar di pasaran bertambah.
Proses

penegakan

hukum

terhadap

pelanggaran

perburuan

satwaliar termasuk yaki, agaknya belum dapat dilaksanakan secara tegas,
karena para pemburu liar tersebut kebanyakan adalah masyarakat sekitar

hutan, yang mempunyai latar belakang ekonomi lemah dan berpendidikan
rendah (Riyanto 2004).
Status Konservasi Yaki

Yaki dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian
29 Januari 1970 No. 4211kpt1um1811970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni
1991 No. 30 1IKpts-I111991 dan Undang-Undang No.5 tahun 1990. Dalam
daftar yang dikeluarkan IUCN, yaki digolongkan sebagai satwa
"endangered" dan dicantumkan dalam Appendix I1 CITES (Supriatna &

Hendras 2000). Rosenbaum et al. (1998), mengambil kesimpulan bahwa
tanpa tekanan perburuan, status yaki akan masuk dalam kategori extinct
dalam 25-50 tahun yang akan datang.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Di Propinsi Sulawesi Utara, hutan konservasi yang telah ditunjuk
dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi adalah
sejumlah 14 unit. CA Gunung Duasudara adalah satu dari tujuh unit
cagar alam di Sulawesi Utara.
Letak, Luas dan Dasar Hukum

CA Gunung Duasudara secara geografis terletak kurang lebih
125'3'-125'15'

BT dan 1'30'-1°34'

LU. Secara administratif terletak di

Kecamatan Bitung Utara dan Bitung Tengah Kotamadya Bitung. Cagar
alam

ini

ditetapkan

berdasarkan

SK.

Menteri

Pertanian

No.

700/Kpts/Um/7/1978, pada tanggal 13 November 1978, dengan luas
4.299 ha dan diperuntukkan antara lain bagi perlindungan yaki, burung
rangkong, tarsius dan maleo. Cagar alam ini mempunyai dua puncak
dengan ketinggian 1.36 1 m dpl.
Topografi

Kawasan CA Gunung Duasudara berbatasan langsung dengan CA
Gunung Tangkoko-Batuangus,

dengan topografi dari landai sampai

bergunung, mulai dari hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan
lumut.
Iklim dan Tanah

Berdasarkan tipe klasifikasi iklim menurut Schmid dan Ferguson,
tergolong kelas B1, yang mempunyai curah hujan 2.500-3.000
Temperatur rata-rata 20°C-25'C.

mmlthn.

Musim kemarau dimulai pada bulan

April sampai dengan November dan musim penghujan pada bulan
Desember sampai dengan Maret.
Jenis tanah di kawasan CA Gunung Duasudara umumnya sama
seperti di kawasan CA Gunung Tangkoko, dengan tipe tanah regosol.
Tanahnya berbutir-butir dengan kadar abu yang sangat tinggi (BKSDA
1998).

Potensi Flora dan Fauna

Kawasan CA Gunung Duasudara memiliki potensi biotik (flora
dan fauna) dengan tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi. Terdapat
beberapa jenis potensi biotik yang endemik, Jenis-jenis flora yang ada
antara lain : beringin (Ficus spp.), aras (Duabanga meluccana), nantu
(Palaquium obtusifolium), kananga (Canangium odoratum), coro (Ficus
variegatus),

kayu

arang

(Eugenia

sp.),

gopasa

(Lagerstroemia

ovalifolia), woka (Livistona rotundifolia), cempaka (Elmerrilia ovalis),
wasian (Ficus laurifolia) dan lain lain.
Adapun jenis-jenis fauna yang terdapat di kawasan ini diantaranya
yaki (Macaca nigra), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang
(Ailurops ursinus), babi hutan (Sus celebensis), tikus (Rattus sp.), burung
maleo (Macrocephalon maleo), burung rangkong (Rhyticeros cassidix)
dan lain-lain (BKSDA 1998).
Pencapaian ke Lokasi
CA Gunung Duasudara berjarak kurang lebih 55 km dari kota

Manado ke batas kawasan di Desa Duasudara dan 10 km dari kota Bitung
ke batas kawasan di Desa Pinangunian. Alat transportasi yang umum
digunakan oleh penduduk disekitar kawasan adalah kendaraan roda
empat (pick up) dan ojek. Waktu yang ditempuh dari Manado kurang
lebih 1,5 sampai 2 jam, sedang dari kota Bitung kurang lebih 20 menit
(BKSDA 1998).
Adapun tiga desa yang letaknya paling dekat dengan CA Gunung
Duasudara dan dijadikan desa contoh dalam penelitian ini adalah Desa
Pinangunian, Desa Duasudara dan Desa Donuwudu (Gambar 5).
Gambaran umum mengenai ketiga desa ini adalah sebagai berikut :
1. Profil Desa Pinangunian, Kecamatan Bitung Timur
Desa ini memiliki luas 1027,3 ha, dengan jumlah kepala
keluarga 189. Jumlah penduduk 702 jiwa (laki-laki 353 jiwa dan
perempuan 349 jiwa) (Dwiyahreni et al. 2001).

Batas desa sebelah utara dengan kawasan CA Tangkoko,
sebelah timur perkebunan Desa Makawidey dan Tandurusa, sebelah
selatan dengan Desa Winenet dan Kekenturan, dan sebelah barat
dengan CA Tangkoko-Duasudara (Dwiyahreni et al. 2001). Desa ini
terletak sangat dekat dengan CA Gunung Duasudara, pada ketinggian
kurang lebih 500 m dpl di kaki gunung Duasudara. Jalan yang
ditempuh dari kota Bitung menuju Desa Pinangunian tidak begitu
baik dan cukup berbahaya, dengan kondisi jalan beraspal yang mulai
rusak dan berbatu-batu. Apabila hujan deras datang, air hujan akan
mengalir melalui jalan, karena tidak tersedianya selokan air, sehingga
memperparah kondisi jalan.
Mata pencarian utama yaitu bertani dan berkebun (134 orang).
Luas perkebunan yaitu 357,25 ha. Tanaman perkebunan yang ditanam
umumnya kelapa. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai
buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, dan tukang.
Hasil pertanian dan perkebunan, dipasarkan di Desa Pinangunian
sendiri atau di pasar terdekat yang terletak di Desa Winenet. Tidak
sedikit masyarakat yang membawa hasil pertanian di pasar besar
(pasar Girian) yang terletak di kota Bitung.
Masalah umum yang dialami oleh penduduk dalam ha1
bercocok

tanam

yaitu

kurangnya pengetahuan

dalam

bertani.

Beberapa bantuan bibit (bawang dan kacang) yang diberikan oleh
Departemen Kehutanan tidak berhasil dengan baik. Bantuan tersebut
hanya dinikmati dalam satu kali tanam dan tidak dilanjutkan oleh
masyarakat.
2. Profil Desa Duasudara, Kecamatan Bitung Utara
Jumlah kepala keluarga 227 dengan jumlah penduduk 874 jiwa
(laki-laki 466 jiwa dan perempuan 408 jiwa), dengan luas 1.501 ha.
Batas desa sebelah utara dengan kelurahan Pinasungkulan, sebelah
timur berbatasan CA Tangkoko Duasudara, sebelah selatan dengan
kelurahan Danowudu, dan sebelah barat dengan Desa Apela
(Dwiyahreni et al. 2001).

Mata pencarian utama yaitu bertani. Masalah umum yang
dialami oleh penduduk dalam ha1 bercocok tanam yaitu kurangnya
pengetahuan dalam bertani, kurangnya modal usaha dan gangguan
satwa pada kebun yang berbatasan dengan cagar alam. Gangguan
terjadi terutama pada musim tanam dan panen.
Masyarakat umumnya memiliki beberapa ekor ayam dan babi,
tetapi belum ada yang dapat menjadi sumber pendapatan alternatif
selain dari hasil pertanian.
3. Profil Desa Danowudu, Kecamatan Bitung Utara

Desa ini berbatasan dengan CA Gunung Duasudara disebelah
utara, Desa Pinokalan dan Kec. Bitung Tengah disebelah selatan,
Desa Tewaan dan Apela disebelah barat dan sabelah timur dengan
cagar alam Bitung tengah. Jarak desa ke ibukota propinsi kira-kira 45
km, dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam.
Jumlah kepala keluarga 378 dengan jumlah penduduk 1.529
jiwa (laki-laki 775 jiwa dan perempuan 754 jiwa), dengan kepadatan
penduduk 40 jiwa/km2.
Mata pencarian penduduk antara lain bertani, wiraswasta,
pegawai negeri dan buruh. Beberapa penduduk bermatapecarian
sebagai tukang ojek, dengan rute perjalanan dari desa menuju Bitung
atau Girian. Menurut data sekunder yang diambil di kantor kelurahan,
penduduk yang memiliki tanah perkebunan dan tanah tegallladang
berjumlah masing-masing 263 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa,
pekerjaan bertanilberladang, masih menjadi mata pencarian pokok
masyarakat setempat.

/

Nature Reserve boundary

-Recreation Park (R.P.) boundary

IAL 15LL.>ESL

r")

V~llagefcity

Sumber peta: Kyes (2005)

Gambar 5 Lokasi penelitian.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan di kawasan CA Gunung
Duasudara Kota Bitung Propinsi Sulawesi Utara (survei populasi yaki),
dan desa-desa yang berbatasan langsung dengan cagar alam yaitu Desa
Pinangunian, Duasudara dan Danowudu (survei aktivitas masyarakat).
Penelitian berlangsung kurang lebih empat bulan yakni dari bulan Mei
sampai dengan Agustus 2005.
Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kompas,
binokuler, pita transek, GPS (Global Positioning System) Gamin, jam,
kamera, meteran (50 m), dbh (diameter at breast height) m dan alat tulis
menulis. Bahan antara lain: peta lokasi penelitian (skala 1:50.000),
borang, dan data iklim.
Metode Penelitian

Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan di lapangan dilakukan beberapa minggu
sebelum penelitian dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi awal tentang keberadaan yaki dan lokasi penelitian, baik dari
masyarakat setempat atau disekitar kawasan, dan dari instansi terkait.
Selain itu juga mencari informasi awal tentang kondisi masyarakat
disekitar kawasan.
Survei Populasi
Metode pengumpulan data populasi dilakukan menggunakan
metode line transect sampling (NRC 1981), dengan membuat transek
sebanyak 3 buah. Lebar transek 100 m (50 m kiri, 50 m kanan), dan
diulang masing-masing sebanyak 20 kali pada setiap transek. Total
survei populasi yang dilakukan untuk ketiga jalur yaitu 60 kali. Panjang
transek untuk ketiga jalur yaitu 3 km (jalur A dan C) dan 2,4 km (jalur
B). Posisi jalur pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

VV+lZ
S

.

Legenda
JalurA
Jalur B
Jalur C

0Pemukiman
N ~ a l a utama
n
Garis pantai

G. Duasudara

Batas kawasan
Kontur

0

737mo

4000

mrno

mmo

7wmo

0

741mo

742000

7umo

744030

wmo

746~00

4000 Meters

I

Gambar 6 Jalur penelitian dan desa yang disurvei.

Desa yg disurvei

Panjang transek tidak seragam, disesuiakan dengan kondisi
lapangan yang cukup sulit dan berbahaya. Pada saat pembuatan transek,
menyertakan penduduk yang tinggal di desa terdekat dengan lokasi
penelitian, yang mengetahui keadaan hutan serta keberadaan yaki.
Survei dilakukan pada waktu yang sama setiap hari yaitu pagi
pada pukul 06.00-1 1.00 dan siang hari pukul 13.00-17.00. Pada waktu
tersebut, diasumsikan bahwa yaki sedang aktif mencari makan atau
melakukan aktivitas lainnya. Menurut Freese (1 975); Green (1 978 a,b)
dalam NRC (1981), satwa primata Iebih mudah diamati ketika mereka

sedang

beraktivitas

daripada

beristirahat.

Apabila

cuaca

tidak

memungkinkan (hujan, berkabut atau berangin), survei ditunda pada
keesokan harinya.
Survei populasi dilakukan dengan berjalan sepanjang garis
transek, dengan kecepatan kira-kira 1-1,5 kmljam (disesuaikan dengan
situasi dan kondisi di lapangan) dan sesekali berhenti beberapa menit
untuk mendengar atau mengamati keadaan sekeliling. Selama survei,
diusahakan untuk tidak menimbulkan suara yang akan menarik perhatian
yaki, sehingga yaki lari untuk menghindar. Apabila bertemu dengan yaki,
dilakukan pengamatan dan pencatatan peubah-peubah yang diamati
dalam lembar pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Selain itu
dicatat juga posisi geografis yaki pada saat survei dengan menggunakan
GPS. Adapun peubah-peubah yang diamati yaitu kepadatan populasi,
ukuran

kelompok,

sebaran kelompok,

komposisi

umur

(dewasa,

remajalanak, bayi) dan nisbah kelamin Cjantan dan betina). Batasan
peubah-peubah yang diamati adalah sebagai berikut ini.
1. Kepadatan populasi

Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah
individu atau kelompok disetiap lokasi contoh.
2. Ukuran kelompok
Data ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung semua
anggota dalam satu kelompok yang ditemui selama sensus dilakukan.

3. Komposisi umur dan nisbah kelamin

Data komposisi umur ditentukan dengan mengidentifikasi
setiap anggota kelompok ke dalam beberapa kelompok umur.
a. Bayi (infant) : berumur 0-1 tahun. Rambut pada lengan berwarna
putih, wajah dan bagian bawah badan. Masih menyusui dan
dirawat oleh induknya selama kurang lebih setahun. Induk akan
selalu membawa bayinya kemanapun induk pergi dengan cara
meletakkan bayi pada bagian depan perut.
b. Anakhemaja (juvenile) : berumur di atas satu tahun sampai kirakira mencapai dewasa kelamin.

Umumnya kelompok umur ini

lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berrnain.

Ukuran

tubuh sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan umur.
c. Dewasa (adult) : dicirikan dengan pertumbuhan tubuh yang
optimal dan kematangan reproduksi.
antara jantan dan betina berbeda.

Kematangan reproduksi

Betina lebih dahulu matang

reproduksi ditandai dengan pembengkakan di daerah ischial
sebagai gejala estrus. Pada jantan ditandai dengan berfungsi
optimalnya organ genitalia dan karakter seks sekunder. Penanda
lain untuk betina yang telah melahirkan adalah melihat puting
susu yang panjang dan menggantung serta berwarna merah jambu.
Data nisbah kelamin diambil dengan cara mengidentifikasi
jumlah jantan dan betina dewasa, berdasarkan organ kelamin (bentuk
dan warna bantalan tunggingnya), ukuran tubuh dan beberapa
karakteristik lainnya, seperti yang telah disebutkan diatas. Dalam
menentukan komposisi umur dan kelamin menggunakan binokuler,
dan diperlukan ketelitian yang cukup tinggi.
Pengamatan Habitat dan Penyebaran Yaki
Pengamatan terhadap. habitat bertujuan untuk

mendapatkan

informasi mengenai karakteristik dan hubungan antara yaki dan habitat,
dalam ha1 ini CA Gunung Duasudara. Pengamatan difokuskan pada

pemanfaatan strata atau tajuk pohon oleh yaki dalam melakukan
aktivitas, serta pengamatan pohon tidur (sleeping trees).
Pengamatan pemanfaatan strata ini dilakukan bersamaan dengan
survei populasi, dengan mencatat selang ketinggian di atas pohon, yang
digunakan oleh yaki yang pertama kali terlihat serta aktivitas yang
dilakukan pada saat terlihat. Pemanfaatan stratum oleh yaki dibagi
menjadi 5 kategori yaitu
a) stratum A dengan ketinggian diatas 20 m, merupakan lapisan teratas
yang mempunyai batang tinggi, tegak lurus dan bertajuk diskontinu;
b) stratum I3 dengan ketinggian antara 10-20 m, umumnya bertajuk
kontinu dan batang pohon banyak bercabang;
c) stratum C dengan ketinggian antara 5-10 m, tajuknya kontinu, terdiri
dari pohon-pohon yang kecil, rendah dan banyak cabang;
d) stratum D adalah lapisan perdu dan semak, tingginya 0-5 m;
e) stratum E merupakan lantai hutan dan lapisan penutup tanah.
Pengamatan pemanfaatan pohon tidudmakan yang digunakan yaki,
dilakukan dengan membuat masing-masing satu plot vegetasi pada setiap
jalur, dengan ukuran 20x50 m. Plot dibuat pada daerah tempat yaki
tidurlmakan, dengan mengidentifikasi semua pohon dalam petak contoh
yang mempunyai dbh 2 20 cm. Data yang diperlukan yaitu jenis, tinggi
dan diameter pohon, tinggi dan lebar tajuk, serta posisi pohon dalam
plot contoh. Pohon yang tidak diketahui jenisnya, kemudian dibuat
herbarium dan diidentifikasi di laboratorium Herbarium Bogoriense
Bogor.

Data

yang

diperoleh

kemudian

digambarkan

dengan

menggunakan Program Core1 Draw 12, sehingga diperoleh profil pohon
tidurlmakan yang digunakan oleh yaki.
Sebaran kelompok yaki diperoleh dengan mencatat koordinat
tempat ditemukan yaki dengan bantuan GPS, dan memetakannya kedalam
peta lokasi penelitian dengan menggunakan Program Arcview GIS 3.2.

Survei Aktivitas Masyarakat
Survei dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi
struktural, yang dibuat untuk mendapatkan jawaban secara terbuka.
Wawancara ditujukan kepada masyarakat yang berada di 3 (tiga) desa
yang berbatasan langsung dengan kawasan. Seleksi responden tidak
dilakukan

secara acak,

tetapi

dengan purposive

sampling yaitu

melakukan pemilihan atas responden berdasarkan pekerjaan, umur dan
terutama yang berhubungan langsung dengan yaki dan hutan. Jumlah
responden untuk ketiga desa masing-masing 10 orang atau kepala
keluarga. Adapun 3 desa tersebut yaitu Desa Pinangunian, Duasudara,
dan Danowudu (Gambar 6). Survei masyarakat ini dilengkapi dengan
data sekunder yang berasal dari kepala desa, pihak terkait dan beberapa
pasar yang biasanya menjadi tempat penjualan satwaliar.
Analisis Data

Populasi Yaki
Data hasil survei populasi yang diperoleh, dianalisis secara
deskriptif dengan menggunakan rumus sebagai berikut ini.
1. Kepadatan populasi; merupakan perbandingan antara jumlah individul

kelompok yang terlihat dengan luas daerah pengamatan. Perhitungan
kepadatan populasi menggunakan rumus (Palacios dan Perez 2005) :

keterangan :
D

= kepadatan kelompok (kelompoldkm2),

ND

= jumlah

L

= panjang jalur

ESW

=

kelompok yang terlihat (kelompok),
kumulatif (krn), dan

lebar salah satu sisi jalur (km).

b) Kepadatan individu; rata-rata ukuran kelompok (ekorlkelompok)
dikalikan dengan kepadatan kelompok (kelompok/km2).

2. Ukuran kelompok (ekor/kelompok); merupakan nilai yang diperoleh
dari hasil tabulasi jumlah anggota dalam setiap kelompok.
3. Komposisi umur; merupakan nilai yang diperoleh dari hasil tabulasi

setiap kelompok urnur.
4. Nisbah kelamin; diperoleh dengan membandingkan jumlah individu
jantan dan betina.
Habitat dan Penyebaran Yaki
Data pengamatan pemanfaatan strata oleh yaki dikelompokkan
sesuai dengan kategori pembagian stratum, dan dihitung presentase
pemanfaatannya. Hasil perhitungan pemanfaatan strata, gambar profil
pohon tidur dan peta penyebaran yaki yang dihasilkan, selanjutnya
dianalisis secara deskriptif.
Survei Aktivitas Masyarakat
Hasil wawancara menggunakan borang, disajikan dalam bentuk
diagram, kemudian dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Penelitian

CA Gunung Duasudara yang membentang seluas 4.299 hektar
terdiri dari beberapa tipe habitat yaitu habitat hutan primer, sekunder dan
semak belukarlalang-alang, dengan topografi yang berbukit-bukit dan
curam (Gambar 7). Keadaan habitat, terutama topografi yang berbukitbukit ini, menyulitkan dalam melakukan pengambilan data, terutama
survei populasi. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa
jalur yang dibuat panjangnya berbeda-beda. Jalur tersebut berada pada
ketinggian antara 300-940 m dpl. Jalur dibuat mengikuti garis kontur,
terutama pada ketinggian lebih dari 600 m dpl.
Jenis vegetasi atau pohon yang sering ditemui di hutan primer dan
sekunder antara lain Spathodea campanulata (kayu bungalkayu perahu),
Piper aduncum (sirih), Syzygium (pakoba), Ficus spp. (beringin). dan
Macaranga spp. Sedangkan di habitat semak belukarlalang-alang,

ditemui jenis-jenis seperti Lantana camara, Imperata cylindrica dan
Mimosa pudica.

Umumnya pohon-pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm,
tumbuhnya tidak terlalu rapat, sedangkan pohon-pohon yang berukuran
sedang (tinggi pohon antara 10-20 m) dan berdiameter kurang dari 20
cm, tumbuhnya lebih rapat dan jumlahnya lebih banyak. Stratifikasi, tajuk
dalam hutan CA Gunung Duasudara lengkap, mulai dari stratum atas,
tengah dan bawah, yang dicirikan dengan susunan pohon-pohon dalam
tingkatan yang cukup jelas pada setiap stratumnya. Pohon yang paling
tinggi, dapat mencapai kurang lebih 40-50 m. Jumlahnya lebih sedikit
dan tumbuh diseia-sela pohon yang berukuran sedang. Diantaranya yaitu
Ficus virens, Spondias dulcis dan Syzygium (pakoba).

Gambar 7 CA Gunung Duasudara.
Populasi Yaki
Kepadatan dan Ukuran Populasi Yaki
Estimasi kepadatan populasi di CA Gunung Duasudara pada setiap
jalur disaj ikan pada Tabel 2.
Tabel 2

Estimasi kepadatan populasi yaki, lokasi dan luas daerah
pengamatan setiap jalur, Mei Agustus 2005 di CA Gunung
Duasudara

-

Luas daerah
pengamatan
(kmz)

Jlh kel.
yang
terlihat

Kepadatan Rata-rata
kelompok ukuran kel.
(kel.1 km2) (ekorlkel)

Pinangunian
(Jalur A)

6,OO

10,OO

1,67

20,50

Duasudara
(Jalur B)

4,80

8,OO

1,67

17,50

Kepadatan
individu
(ekor/km2)

Tipe
habitat

34924

Primer1
sekunder

29923

Primer1
Sekunder
-~

Temboan
(Jalur C)
Total
Rerata

7,06
16,80

23,OO
1,39

15,50

23,51

~

~

semakalane2

Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas
daerah survei

16,82 km2 (Tabel

2), menunjukkan bahwa kepadatan

individu di CA Gunung Duasudara yaitu 23,51 ekorlkm2 dengan
kepadatan kelompok 1,39 kel/km2. Pada jalur A, dari 20 kali survei,
terjadi 10 kali kontak dengan yaki, dengan jumlah individu yang teramati
57 ekor. Estimasi kepadatan kelompok dan individu masing-masing 1,67
k e l o m p o ~ k m 2 dan 34,24 ekor/km2 dengan rata-rata ukuran setiap
kelompok 20,50 ekor.
Sesuai dengan hasil pengamatan pada saat survei dan berdasarkan
letak geografis di lapangan menunjukkan bahwa estimasi jumlah
kelompok pada jalur A yaitu sebanyak 2 kelompok. Kelompok pertama
berada pada koordinat 125'1 0'24" BT - 1'29' 12" LU sampai 125'1 0'7"

BT - 1°29'14" LU sedangkan yang kedua 125°10'59" BT - 1°29'25" LU
sampai 125°9'51" BT - 1°29'35"

LU. Kelompok pertama diduga

berjumlah 21 ekor, dengan komposisi 4 jantan, 8 betina, 6 remajdanak
dan 3 bayi. Kelompok yang kedua, terdiri dari 3 ekor yaki, dengan
komposisi 1 jantan dan 2 betina. Arah pergerakan ked