Populasi Dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor
i
POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL
KABUPATEN BOGOR
MUHAMMAD SUKRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN
EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Populasi dan Habitat
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Sukri
NIM E34110015
iv
ABSTRAK
MUHAMMAD SUKRI. Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
NYOTO SANTOSO.
Cagar Alam Dungus Iwul dengan luasan ± 9 ha merupakan salah satu
habitat alami monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Hasil penelitian
menunjukkan terdapat dua kelompok monyet ekor panjang dengan ukuran
populasi yang berbeda. Kelompok 1 terdiri dari 56 individu, sedangkan kelompok
2 terdiri dari 29 individu. Kepadatan populasi monyet ekor panjang sebesar 9
individu/ha, dengan struktur umur terbanyak yaitu individu muda. Sex ratio
individu dewasa pada kelompok 1 (1:1.6) dan pada kelompok 2 (1:2.25). Aktivitas
harian yang paling sering dilakukan oleh kelompok 1 adalah makan (29.50 %),
sedangkan kelompok 2 adalah berpindah (36.70 %). Wilayah jelajah kelompok 1
seluas 12.43 ha dengan jelajah harian 527.67 m, sedangkan kelompok 2 seluas
9.95 ha dengan jelajah harian 469.33 m. Penggunaan ruang oleh monyet ekor
panjang lebih banyak pada strata tajuk C (4-20 m) sebesar 44.69 %. Analisis
vegetasi pada habitat monyet ekor panjang ditemukan 41 jenis tumbuhan
diseluruh petak contoh. Tumbuhan iwul (Orania sylvicola) merupakan tumbuhan
yang paling dominan. Pakan yang paling sering di makan monyet ekor panjang
adalah buah dengan persentase 61 %. Potensi pakan hasil analisis vegetasi
sebanyak 31 jenis tumbuhan.
Kata kunci : habitat, monyet ekor panjang, populasi, sex ratio.
ABSTRACT
MUHAMMAD SUKRI. Population and Habitat of Long Tailed Monkey
(Macaca fascicularis) in Dungus Iwul Nature Reserve. Supervised by NYOTO
SANTOSO.
Dungus Iwul Nature Reserve with area of 9 ha is one of the natural habitat
of long-tailed macaque (Macaca fascicularis). The results of research indicated
that there are two groups of long-tailed monkeys with different population sizes.
Group 1 had 56 individual and group 2 had 29 individual. Population density of
long tailed macaque were 9 individu/ha, dominated by young individu. Sex ratio
only observed in adult individu. Sex ratio of group 1 were (1:1.86) and group 2
(1:2.25). The daily activities of group 1 are eating activity (29.50 %), while the
group 2 are moving activity (36 , 70 %). Home range of group 1 (12:43 ha) with
daily cruising 527.67 m, while the group 2 (9.95 ha) with daily cruising 469.33 m.
The use of space by long-tailed macaque at the canopy strata was at stratum C
(4 – 20 m) with a percentage (44.69 %). Analysis of vegetation on the long-tailed
macaque’s habitat showed that there are 41 plants. The most often feed to the
long-tailed macaque was fruits with a percentage of 61 %. Potential feed from the
analysis of vegetation was found in the 31 species of plants.
Keywords: habitat, long-tailed macaque, population, sex ratio.
v
POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL
KABUPATEN BOGOR
MUHAMMAD SUKRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
vii
Judul Skripsi : Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor
Nama
: Muhammad Sukri
NIM
: E34110035
Disetujui oleh
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan
berjudul “Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor”. Pengumpulan data lapangan
dilakukan pada bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku
pembimbing yang telah memberikan ilmu, arahan, saran dan bantuan pendanaan
serta bimbingan dengan penuh kesabaran. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bidang KSDA Wilayah I - Seksi Konservasi Wilayah II atas ijin dan
bantuannya selama penelitian, terimakasih juga kepada Pak Wardi, Ibu Uta dan
keluarga atas keramahan dan pendampingan selama pengambilan data. Ucapan
terimakasih setulusnya kepada kedua orang tua Syafrijal. Imam Bandaro dan Yon
Lailis, Da Afdhal Syarif, Uni Ayelfi Susanti, Rozita Syafitri, Nurkolis Ahmad,
Rahmawita Hidayah, Taufiq Qurrahman dan seluruh keluarga, atas semua doa,
motivasi, perhatian dan kasih sayang yang tulus. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Annisa Murtafiah sebagai teman seperjuangan selama
penelitian. Terimakasih kepada kawan-kawan KSHE 48, dosen beserta staf DKSHE
dan Fakultas Kehutanan IPB, Himakova, IKMP Bogor atas kekeluargaan,
kebersamaan dan pengalamannya serta memberikan motivasi selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Sukri
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE PENELITIAN
2
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
Alat dan Bahan
3
Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan
3
Metode Pengumpulan Data
3
Pengolahan dan Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi
Umum
6
6
Populasi Monyet Ekor Panjang
6
Habitat Monyet Ekor Panjang
17
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Lokasi penelitian
2
Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi
4
Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang
9
Gambar 4 (a) Jantan dewasa (b) betina
9
Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang
12
Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang
12
Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
14
Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat
15
Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak
16
Gambar 10 Gangguan dari luar (a) truk angkutan sawit (b) masyarakat
16
Gambar 11 (a) Sumber air dan (b) perbatasan dengan kebun sawit
17
Gambar 12 (a) Kondisi lantai hutan yang sering digunakan monyet ekor panjang
(b) kondisi lahan masyarakat
18
Gambar 13 Diagram profil pohon di dua lokasi habitat monyet ekor panjang 20
Gambar 14 Pemanfaatan ruang monyet ekor panjang dalamaktivitas harian
21
Gambar 15 (a) makan ulat di pembuangan limbah dan (b) menjarah buah sawit 22
Gambar 16 Persentase pemilihan pakan oleh monyet ekor panjang
22
Gambar 17 (a) ulat (b) buah sawit bekas makanan monyet ekor panjang
23
Gambar 18 (a) Anakan iwul pada lantai hutan (b) pohon tumbang
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Perbandingan Sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi
Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan
Potensi pakan monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
6
11
19
24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian di CA Dungus Iwul
2 Hasil Analisis Vegetasi Jalur 1
3 Hasil Analisis Vegetasi Jalur 2
33
34
37
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan
Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931,
seluas 9 ha. Secara administratif, kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di
Desa Cigeulung, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(Ditjen PHKA 2012). Vegetasi di kawasan ini didominasi oleh iwul (Orania
sylvicola). Tingginya INP iwul (Orania sylvicola) pada setiap tingkat
pertumbuhan menunjukkan bahwa spesies iwul memiliki daya adaptasi yang
tinggi terhadap lingkungannya sehingga kemampuan untuk bertahan hidup dan
memperbanyak jenis cukup tinggi (Simbolon 2013). Selain itu, Cagar Alam (CA)
Dungus Iwul juga menjadi habitat berbagai jenis satwaliar diantaranya monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis).
Monyet ekor panjang adalah salah satu anggota suku Cercopithecidae dari
ordo Primata. Secara umum monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memiliki
warna tubuh bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Bagian
punggungnya berwarna lebih gelap dibandingkan dada dan perut. Rambut di
kepala dan sekeliling wajahnya membentuk jambang yang lebat. Ekornya yang
panjang ditutupi rambut yang pendek dan halus. Anatomi monyet ekor panjang
yang paling umum dapat diketahui dengan adanya kantong pipi (cheek pouch)
yang berguna untuk menyimpan makanan sementara (Napier dan Napier 1967).
Monyet ekor panjang merupakan salah satu spesies arboreal yang menggunakan
kanopi hutan bagian atas sebagai tempat tinggal dan bagian mahkota pohon yang
tertinggi di diantara pohon lain di sekitarnya yang paling banyak menerima sinar
matahari sebagai tempat tidur dan beristirahat (Priyono 1998). Menurut
Karimullah (2011), monyet ekor panjang hidup mengelompok terdiri dari banyak
jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) dengan sistem perkawinan
tidak pilih-pilih. Ukuran kelompok antara 5-40 ekor dengan satu kelompok
terdapat 2-5 pejantan dan jumlah betina 2-5 kali lipatnya serta salah satu monyet
jantan sebagai pemimpin kelompok (Rahayu 2007). Populasi yang terus
bertambah akan menyebabkan monyet ekor panjang menggunakan habitat dan
relung ekologi yang lebih luas, sementara luasan CA Dungus Iwul tidak
bertambah.
Ukuran populasi dapat menjadi data dasar dalam menilai potensi
kelangsungan hidup suatu populasi di alam dan indikasi pendugaan kualitas
habitat (Tobing 2008). Selanjutnya Bailey (1984) menyatakan kelengkapan
habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktorfaktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan
melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Penelitian mengenai ukuran
populasi dan potensi habitat monyet ekor panjang perlu dilakukan untuk
mengetahui kelimpahannya saat ini di habitat alami yaitu di CA Dungus Iwul agar
tindakan pengelolaan yang tepat dapat dilakukan.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengumpulkan data untuk mengetahui
kondisi populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) beserta kondisi
habitatnya di CA Dungus Iwul.
Manfaat Penelitian
Data yang didapat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi pengelola CA Dungus Iwul dalam upaya
pelestarian monyet ekor panjang dan sumber referensi bagi masyarakat.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Dungus Iwul, Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada
bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015 (Gambar 1).
Skala 1:10.0000
Gambar 1 Lokasi penelitian
3
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain: peta kawasan Cagar Alam
Dungus Iwul, Global Positioning System (GPS), Tally sheet, meteran, alat tulis,
kamera, kantong plastik, kompas, spidol, tali plastik, dan binokuler.
Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor
panjang dengan spesifikasi pendataan populasi dan habitatnya. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan
data yang didapat dari pengamatan langsung terhadap habitat dan monyet ekor
panjang di lapang. Data ini meliputi:
1. Populasi yang mencakup ukuran dan kepadatan populasi, struktur umur, sex
ratio, posisi ruang, wilayah jelajah dan aktivitas harian.
2. Habitat yang mencakup kondisi umum habitat, komposisi dan struktur vegetasi,
serta identifikasi potensi pakan.
Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan iklim dan topografi,
jenis satwa lain yang terdapat di dalam kawasan cagar alam serta jenis-jenis
pohon yang berpotensi sebagai pakan maupun habitat monyet ekor panjang. Data
tersebut berasal dari studi literatur hasil penelitian sebelumnya, buku, jurnal, dan
berdasarkan wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui :
1. Studi literatur
Studi literatur untuk menghimpun data dengan mempelajari dan menelaah
laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan laporan.
2. Metode concentration count.
Metode ini merupakan metode pengamatan langsung terhadap ukuran populasi
monyet ekor panjang. Pengamatan dilakukan pada lokasi tempat berkumpul
pada waktu dan tempat yang bersamaan, misalnya lokasi tidur dan istirahat.
Pengamatan dilakukan selama 15 kali ulangan pada pukul 06.00-18.00.
Penentuan lokasi pengamatan berdasarkan identifikasi keberadaan kelompok
monyet ekor panjang yang ditemukan di CA Dungus Iwul.
3. Metode ad libitum sampling.
Metode ini dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin aktivitas satwa
(dalam kelompok) yang teramati. Aktivitas harian yang dicatat selama
pengamatan dikelompokan ke dalam suatu rangkaian perilaku secara
keseluruhan, yaitu :
Istirahat
: duduk, berbaring, dan berdiri
Berpindah
: berjalan, melompat, dan memanjat
Makan
: memegang, memetik, dan memasukan ke dalam mulut
Aktifitas sosial: bermain, kawin, grooming dan bersuara
Hasil yang didapatkan berupa durasi dan frekuensi tingkah laku yang muncul
selama pengamatan (Martin dan Bateson 1993). Pengamatan aktivitas harian
4
dilakukan bersamaan dengan pengamatan pakan dan wilayah jelajah monyet
ekor panjang. Posisi satwa dalam pengamatan juga dicatat sebagai data
penggunaan ruang oleh monyet ekor panjang.
4. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendukung data hasil observasi lapang serta
menambah informasi mengenai lokasi monyet ekor panjang sering terlihat,
sehingga memudahkan dalam melakukan pengamatan serta dalam
mengumpulkan faktor-faktor penunjang keberadaan monyet ekor panjang,
seperti pakan, cover, dan sumber air.
5. Analisis vegetasi habitat monyet ekor panjang
Analisis vegetasi untuk habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan
menggunakan metode jalur berpetak. Metode ini dimulai dengan membuat
petak contoh seluas 20 m x 20 m. Petak contoh yang dibuat minimal sebanyak
3 petak contoh dalam setiap jalur pengamatan. Petak contoh yang telah dibuat
akan dibagi menjadi petak ukur sesuai pertumbuhan tiap vegetasinya (Gambar
2)
Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi
Keterangan :
1. Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1.5 m dan
tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya liana, epifit, pandan dan
palem.
2. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan
diameter batangnya < 10 cm.
3. Petak ukur tiang (10 m x10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm – 19.9 cm.
4. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon berdiameter batang ≥ 20 cm.
Pengolahan dan Analisis Data
Populasi monyet ekor panjang
Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ditentukan
berdasarkan jumlah keseluruhan individu yang ditemukan. Selanjutnya dihitung
kepadatan populasi dengan rumus:
Kepadatan =
5
Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai jumlah kelompok,
jumlah populasi, dan kepadatan populasi.
Struktur umur dan sex ratio
Struktur umur diketahui berdasarkan pendekatan Soma et al. (2009) yaitu
jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan. Sex ratio dapat dihitung dengan
persamaan:
S=
Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai struktur
umur dan rasio jantan dengan betina.
Analisis aktivitas harian
Hasil yang diperoleh dari pengamatan berupa frekuensi aktivitas harian
yang muncul selama pengamatan. Setiap perilaku yang dicatat, akan dihitung nilai
rata-rata dan presentasenya agar terlihat aktivitas harian yang sering dilakukan
oleh monyet ekor panjang. Selanjutnya, data hasil pengamatan akan ditampilkan
dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif terhadap hubungannya
dengan waktu dan penggunaan ruang.
Analisis vegetasi
Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis
dalam komunitas dengan kata lain INP digunakan untuk menetapkan dominansi
suatu jenis terhadap jenis lainnya. Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan
mengenai INP yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif
(KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).
- Kerapatan (K)
= Jumlah individu suatu jenis
Luas unit contoh
- Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan suatu jenis x 100 %
Kerapatan seluruh jenis
- Frekuensi (F)
= Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh plot dalam unitcontoh
- Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi suatu jenis x 100 %
Frekuensi seluruh jenis
- Dominansi (D)
= Luas bidang dasar suatu jenis
Luas unit contoh
- Dominansi Relatif (DR)
= Dominansi suatu jenisx 100 %
Dominansi seluruh jenis
- Indeks Nilai Penting
= KR + FR + DR
Potensi pakan
Data potensi pakan diperoleh dari hasil analisis vegetasi tumbuhan yang
menjadi pakan/berpotensi menjadi pakan monyet ekor panjang. Potensi pakan
juga menunjukkan bagian tumbuhan yang dimakan dan kerapatan tumbuhan pada
lokasi penelitian.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondis Umum Lokasi Peneltian
Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan
Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931,
seluas 9 ha. Secara administratif kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di
Desa Cigeulung Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(Ditjen PHKA 2012) dengan batas kawasan Desa Curug (Utara), Desa Jugalajaya
(Timur), Desa Luhur Jaya (Selatan) dan Desa Guradog (Barat). Kawasan Cagar
Alam Dungus Iwul terletak di pinggir jalan raya antara Bogor dan Rangkasbitung
sehingga mudah dicapai dengan rute perjalanan Bandung-Bogor ± 120 km,
Bogor-Jasinga-Lokasi ± 60 km dengan kondisi jalan baik dan banyak dilintasi
oleh kendaraan umum (Dishut 2007). Iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah
hujan rata-rata per tahun 3 191 mm (Ditjen PHKA 2012).
Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan
kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah
kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan
infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta
temperatur udara 22.5˚C – 33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan
Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada
bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan
dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008). Vegetasi Cagar
Alam Dungus Iwul merupakan gambaran dari hutan dataran rendah yang
dahulunya terhampar luas di bagian utara Jawa Barat. Flora yang tumbuh di cagar
alam ini adalah iwul (Orania sylvicola), kibentili (Kickseia arborea), anggrit
(Adina polychepala), dahu (Dracontomelon mangiferum), ki hijoer (Quercus
blaumena), ranji (Dialium indum) dan teureup (Artocarpus elastica). Beberapa
jenis satwaliar yang terdapat pada kawasan ini adalah jenis burung (aves) seperti
elang ular (Spilornis cheela) dan beo (Gracula religiosa), merpati yang mirip
kakatua (Treron pamedora pulverulenta), sedangkan jenis mamalia diantaranya
adalah lutung (Tracyphithecus auratus), bajing terbang (Sciurepterus sagitta) dan
jelarang (Ratufa bicolor) (Ditjen PHKA 2012).
Populasi Monyet Ekor Panjang
Ukuran dan kepadatan populasi
Populasi monyet ekor panjang yang ditemukan adalah sebanyak 85 individu
dengan populasi kelompok 1 sebanyak 56 individu dan kelompok 2 sebanyak 29
individu. Kelompok 1 terdiri atas 20 individu dewasa, 27 individu muda, dan 9
individu anak. Kelompok 2 memiliki ukuran populasi yang lebih kecil, terdiri atas
13 individu dewasa, 10 individu muda, dan 5 individu anak (Tabel 1).
7
Tabel 1 Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Kelompok
Kelompok 1
Kelompok 2
Total
Dewasa
20
13
33
Muda
27
10
37
Anak
9
6
15
Total
56
29
85
Hasil pengamatan populasi kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus
Iwul termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Trisnawati (2014) di
CA Pananjung Pangandaran sebesar 19 individu/kelompok dan populasi
kelompok monyet ekor panjang di Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran
sebesar 50 individu/kelompok. Penelitian Hidayat (2012) menunjukkan populasi
monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat ( HPGW ) yaitu 23–31
individu/kelompok, Supartono (2001) menemukan populasi monyet ekor panjang
di HPHTI PT RAPP sebesar 18–53 individu dalam satu kelompok. Populasi
monyet ekor panjang lebih tinggi di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan (Soma
et al. 2009) yaitu sebesar 87 individu/kelompok dan Hutan Kaliurang sebesar 48–
68 individu/kelompok (Kusmardiastuti 2010). Akan tetapi hasil penelitian ini
sesuai dengan pernyataan (Lekagul dan McNeely 1977) yang menyatakan satu
kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 ekor dan menurut
Nowak (1999) dalam satu kelompok monyet ekor panjang rata-rata terdiri dari 6–
100 individu.
Ukuran kelompok monyet ekor panjang bervariasi menurut kondisi
habitatnya. Hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang ± 10 ekor, di hutan
mangrove ± 15 ekor dan di areal terganggu lebih dari 40 ekor (Crocket dan
Wilson 1980). Tingginya populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
mungkin dikarenakan kondisi habitat yang sesuai dan ketersediaan pakan yang
cukup beragam. Habitat yang tersedia berupa kondisi hutan yang masih alami,
aliran sungai sebagai sumber air, tempat berlindung berupa pohon-pohon yang
besar. Referensi pakan juga tersedia cukup beragam di dalam cagar alam, selain
itu sekitar 70% kawasan cagar alam dikelilingi oleh perkebunan sawit PTPN VIII
yang menjadi sumber pakan dan tersedia setiap waktu. Berbeda dengan lokasi
penelitian Hidayat (2012) di HPGW dengan habitat berupa hutan tanaman yang
memiliki tegakan seragam sehingga referensi pakan yang sedikit. Sedangkan
tingginya populasi monyet ekor panjang di Hutan Wisata Alas Kedaton
disebabkan karena kawasan tersebut merupakan hamparan hutan sekunder juga
merupakan habitat monyet ekor panjang yang keberadaannya di lokasi ini sudah
melebihi 30 tahun yang lalu (Kawamoto et al.1984).
Kepadatan populasi monyet ekor panjang dihitung berdasarkan akumulasi
semua anggota kelompok sebesar 9 individu/ ha. Kepadatan ini dinilai sangat
besar apabila dibandingkan dengan kepadatan populasi monyet ekor panjang di
Pulau Peucang sebesar 0.18 individu/ha (Sampoerna 2014) dan di HPGW sebesar
0,3 individu/ha (Hidayat 2012). Akan tetapi hasil ini lebih rendah apabila
dibandingkan dengan penelitian Soma et al. (2009) di Hutan Wisata Alas Kedaton
Tabanan sebesar 30 individu/ha dan penelitian Trisnawati (2014) yang
menemukan rata-rata kepadatan populasi monyet ekor panjang pada tiga jalur
pengamatan sebesar 16 individu/ha di CA Pananjung Pangandaran. Tingginya
kepadatan populasi monyet ekor panjang di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan
8
karena kondisi hutan berupa hutan sekunder, sedangkan tingginya kepadatan
populasi yang ditemukan di CA Pananjung Pangandaran disebabkan karena hanya
membandingkan jumlah individu dengan luas jalur pengamatan bukan dengan
luas cagar alam secara keseluruhan. Menurut Lekagul dan McNeely (1977)
umumnya kepadatan populasi monyet ekor panjang di hutan primer lebih rendah
dibandingkan kepadatan populasi di hutan sekunder. Meskipun CA Dungus iwul
merupakan hutan primer, akan tetapi memiliki kepadatan yang tergolong tinggi
apabila dibandingkan dengan hutan primer lainnya. Hal ini diduga karena
tersediannya kebutuhan pakan dan kondisi habitat yang mendukung
keberlangsungan kehidupan anggota kelompok monyet ekor panjang. Kepadatan
yang tinggi pada kelompok Macaca fascicularis juga diduga karena tersedianya
kebutuhan pakan bagi berkembangbiaknya satwa primata ini secara optimal untuk
mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986).
Perbedaan ukuran populasi antara kelompok monyet ekor panjang di CA
Dungus Iwul disebabkan oleh kondisi habitat dan ketersediaan pakan. Menurut
Iskandar (1997) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok Macaca
fascicularis dipengaruhi berbagai faktor diantaranya tersedianya sumber pakan.
Kelompok 1 memiliki jumlah anggota yang lebih banyak dari kelompok 2. Hal ini
mungkin disebabkan oleh banyaknya sumber pakan yang tersedia dengan cover
yang memadai sebagai habitat monyet ekor panjang. Besarnya ukuran kelompok
dan kepadatan monyet ekor panjang disebabkan karena terpenuhinya komponen
pakan, pelindung, air dan ruang jelajah serta minimnya kehadiran predator yang
akan menyebabkan terjadinya pengurangan ukuran kelompok secara drastis.
Kelompok 1 memiliki banyak referensi pakan yang tersedia di dalam kawasan
maupun di pinggir kawasan, sedangkan kelompok 2 memiliki referensi pakan
yang sedikit. Selain itu pada habitat kelompok 2 juga ditemukan lutung jawa
(Trachypithecus aurastus) yang menggunakan ruang habitat yang sama, sehingga
ada perebutan ruang dalam mendapatkan pakan. Kompetisi ini tergantung pada
ukuran kelompok, jumlah makanan yang tersedia dan kemampuan individu dalam
bertahan (Fuentes 1999). Hal ini merupakan salah satu penyebab monyet ekor
panjang dikelompok 2 sering keluar kawasan hingga ke kebun masyarakat untuk
mencari pakan.
Struktur umur dan sex ratio
Struktur umur dan sex ratio monyet ekor panjang ditentukan berdasarkan
perbedaan morfologi yang dibedakan menjadi jantan dewasa, betina dewasa,
individu muda, dan anak. Monyet jantan dewasa ditandai oleh adanya skrotum,
bantalan duduk menyatu dan tingkah lakunya relatif superior. Monyet betina
ditandai oleh bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva vagina,
ambing dan puting susunya sudah menggelantung (pendulus). Pada kelompok
muda, monyet jantan badannya lebih kecil dan tingkah lakunya permisif terhadap
jantan dewasa, serta betina muda yang belum menunjukkan puting susu yang
menggelantung, sedangkan monyet yang baru lahir dan monyet yang masih
memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan sebagai anakan (Soma
et al. 2009). Hasil penelitian ditemukan 85 individu monyet ekor panjang di
seluruh lokasi penelitian. Kelompok 1 terdiri atas 7 individu jantan dewasa, 13
individu betina dewasa, 27 individu muda dan 9 individu anak. Kelompok 2
ditemukan 4 individu jantan dewasa, 9 individu betina dewasa, 10 individu muda,
9
dan 6 individu anak. Struktur umur monyet ekor panjang yang berada di Cagar
Alam Dungus Iwul secara keseluruhan menunjukan keadaan populasi yang
berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan struktur umur anak rata-rata 18.5 % dan
struktur umur muda 41 % yang nantinya akan memiliki reproduksi yang tinggi
serta struktur umur dewasa 20.25 % (Gambar 3).
Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sampurna (2014) yang
menemukan struktur umur muda dan anak di Pulau Peucang sebesar 51 % dan
penelitian Soma et al. (2009) di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan yang
menemukan struktur umur muda dan anak sebesar 56.6 %. Kondisi ini berbeda
dengan penelitian Trisnawati (2014) yang menemukan struktur umur dewasa lebih
tinggi di CA Pananjung Pangandaran sebesar 63.66 %, struktur umur muda
28.66% dan struktur umur anak yang sangat kecil yaitu 7.67 %. Hal ini mungkin
disebabkan oleh kondisi populasi dan habitat yang berbeda dilokasi penelitian dan
metode pengamatan yang digunakan. Cagar Alam Dungus Iwul merupakan
kawasan alami monyet ekor panjang, akan tetapi terjadi interaksi yang tinggi
dengan kehadiran manusia sehingga akan mempermudah pengamatan struktur
umur monyet ekor panjang. Berbeda dengan lokasi penelitian di CA Pananjung
Pangandaran menurut Trisnawati (2014) yang menyebutkan monyet ekor panjang
yang berada di dalam cagar alam tidak terbiasa dengan adanya manusia, apalagi
individu muda lebih sensitif terhadap suara dan gerakan.
Berdasarkan struktur umur yang diperoleh dapat diketahui nilai natalitas
kasar. Nilai natalitas kasar diperoleh berdasarkan perbandingan jumlah anak
terhadap betina produktif. Kelompok 1 memiliki nilai natalitas kasar sebesar 0.69,
sedangkan kelompok 2 memiliki nilai sebesar 0.67. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Hidayat (2012) di
HPGW dan Soma et al. (2009) dengan nilai sebesar 0.24 dan 0.4, sedangkan nilai
natalitas kasar di SM Paliyan Yogyakarta dan Hutan Kaliurang memiliki nilai
yang mendekati sama yaitu 0.67. Berdasarkan nilai natalitas kasar yang diperoleh
di CA Dungus Iwul, populasi monyet ekor panjang akan semakin meningkat. Hal
ini diduga disebabkan oleh ketersediaan jumlah pakan yang melimpah. Menurut
Lang (2006) kelimpahan sumber pakan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan
reproduksi monyet ekor panjang. Ketika sumber pakan melimpah, maka kelahiran
10
akan terjadi lebih cepat dan lebih sering. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini tidak bisa selalu benar karena individu betina reproduktif yang
diperoleh hanya dari struktur umur betina dewasa, sedangkan struktur umur muda
reproduktif belum dapat teridentifikasi. Nilai natalitas spesifik monyet ekor
panjang di alam tidak bisa dihitung secara tepat karena umur individu monyet
ekor panjang tidak bisa ditentukan secara pasti, pengelompokan umur setiap
individu berdasarkan ciri-kualitatif, dan selang waktu antara umur tidak sama
Priyono (1998).
Struktur umur pada kelompok 1 berbeda dengan struktur umur kelompok 2.
Kelompok 1 lebih didominasi oleh individu muda sebesar 48%, sedangkan
kelompok 2 lebih didominasi oleh individu dewasa dengan persentase 45%.
Struktur umur yang berbeda antara kelompok monyet ekor panjang mungkin
disebabkan juga oleh dasar pembentukan kelompok. Menurut wawancara dengan
penjaga cagar alam, awalnya hanya ada satu kelompok monyet ekor panjang
dengan populasi sekitar 17 individu. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan dengan
struktur umur kelompok 2 didominasi oleh individu dewasa yang mungkin
memisahkan diri dari kelompok 1. Pemisahan kelompok juga mungkin
disebabkan oleh persaingan antara populasi monyet ekor panjang dalam
kelompok. Kepadatan yang tinggi akan meningkatkan ketegangan dan agresivitas
diantara anggota populasi sehingga terjadi pemisahan kelompok (Alikodra 2002).
Rata-rata ukuran struktur umur individu dewasa dan muda pada dua
kelompok monyet ekor panjang hampir sama, hal ini menunjukkan kedepannya
populasi monyet ekor panjang akan mengalami peningkatan yang signifikan
dimasa yang akan datang. Banyaknya individu dewasa dalam kelompok akan
meningkatkan populasi dalam jangka pendek, sedangkan banyaknya populasi
individu muda akan meningkatkan monyet ekor panjang kedepannya dalam
jangka waktu yang lama. Kondisi tersebut menandakan populasi akan terus
berkembang. Menurut Dharmawan et al. (2005) struktur umur meningkat adalah
struktur umur pada populasi dengan kerapatan kelompok umur muda paling besar,
populasi dengan struktur umur demikian akan mengalami pertumbuhan populasi
yang cepat pada periode mendatang. Akan tetapi selama penelitian tidak
ditemukan individu bayi, hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian tidak
terjadi kelahiran. Perbedaan struktur umur pada monyet ekor panjang bisa dilihat
dari morfologi (Gambar 4).
Gambar 4 (a) Jantan dewasa (b) betina dewasa
11
Kelompok monyet ekor panjang dipimpin oleh seekor pimpinan kelompok
yang menguasai seluruh kelompok. Kelompok 1 dipimpin oleh betina dewasa
dengan ukuran tubuh yang besar, taring yang panjang, rambut yang sudah
keputihan. Perilakunya terlihat mengarahkan kelompok pada pagi hari untuk
mencari makan dan menjadi pemimpin kelompok memasuki kebun sawit. Selain
itu, jika betina dewasa tersebut mengeluarkan suara “kra..kra..kraa..” maka semua
kelompok akan diam, biasanya dilakukan ketika ada gangguan dari truk yang
mengangkut sawit atau masyarakat yang masuk ke kawasan cagar alam.
Kelompok 2 dipimpin oleh seekor jantan dewasa yang selalu memimpin
kelompok memasuki kebun masyarakat yang berada di pinggir kawasan. Tatanan
sosial dalam monyet ekor panjang tersusun secara hierarki dengan tingkatan
tertinggi yaitu betina dominan (Alpha female) untuk monyet ekor panjang betina
dan jantan dominan (Alpha male) untuk monyet ekor panjang jantan yang
sekaligus sebagai pemimpin kelompok (Fuentes dan Dolhinow 1999).
Kondisi populasi yang seimbang bisa dilihat dari sex ratio dalam kelompok.
Penghitungan sex ratio pada penelitian ini dilakukan secara global/keseluruhan.
Monyet ekor panjang yang berada di CA Dungus Iwul memiliki sex ratio 1:1.852.25. Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul dan lokasi
lainnya dapat dilihat pada tabel 2.
No
1
2
3
4
5
Tabel 2 Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi
Lokasi
Sex ratio
Sumber
CA Dungus Iwul
1 : 1.85-2.25 Data primer
CA Pananjung Pangandaran
1 : 3-4 Trisnawati (2014)
Pulau Peucang
1 : 1.2 Sampurna (2014)
HPGW
1 : 1.33-3.75 Hidayat (2012)
Hutan Alas Kedaton Tabanan
1 : 1-5 Soma et al. (2009)
Berdasarkan hasil penelitian terlihat rendahnya perbedaan sex ratio di CA
Dungus Iwul apabila dibandingkan dengan penelitian di CA Pananjung
Pangandaran, HPGW, dan Hutan Alas Kedaton Tabanan. Akan tetapi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan sex ratio di Pulau Peucang. Selanjutnya Napier dan
Napier (1967) menyatakan sex ratio satu kelompok monyet ekor panjang di
habitat alami adalah 1:2. Apabila dilihat dari ukuran populasi yang besar dalam
kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul maka akan terjadi kompetisi
yang tinggi dalam mencari pasangan. Akan tetapi selama penelitian tidak
ditemukan terjadinya kompetisi dalam bentuk perkelahian memperebutkan
pasangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh sex ratio yang diperoleh hanya dari
individu dewasa, sedangkan individu muda tidak berhasil diidentifikasi. Sulitnya
mengidentifikasi sex ratio monyet ekor panjang disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya pergerakan individu muda yang cepat, morfologi yang hampir sama
antara jantan dan betina, serta tutupan tajuk iwul yang rapat sehingga kesulitan
melihat individu monyet ekor panjang.
Aktivitas harian
Hasil penelitian mengenai aktivitas harian monyet ekor panjang
dikelompokkan dalam empat aktivitas utama yaitu istirahat, berpindah, makan,
dan aktivitas sosial. Aktivitas yang paling sering dilakukan oleh kelompok 1
12
adalah makan dengan persentase (29.50 %), selanjutnya berpindah (27.80 %),
istirahat (22.60 %), dan aktivitas sosial (20.10 %), sedangkan aktivitas yang
paling sering dilakukan kelompok 2 adalah aktivitas berpindah dengan persentase
(36.70%), selanjutnya makan (26.20 %), istirahat (20.40 %), dan aktivitas sosial
(16.70%) (Gambar 5).
Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang
Aktivitas harian dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin tingkah laku
monyet ekor panjang (dalam kelompok yang teramati) menggunakan metode ad
libitum sampling. Data yang diperoleh merupakan aktivitas kelompok secara
umum dengan rata-rata waktu pengamatan. Berdasarkan data yang diperoleh,
kelompok 1 cenderung lebih sering melakukan aktivitas makan (Gambar 6).
Aktitas makan ini terlihat mulai dari memilih pakan, memegang, memetik, dan
memasukkan makanan kedalam mulut. Secara umum aktivitas makan ini dimulai
pada pagi hari jam 06.30 dan sore hari pada jam 15.00.
Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang yang berada di CA Dungus Iwul hampir setiap saat
melakukan aktivitas makan, hal ini disebabkan kelompok monyet tersebut
menjarah buah sawit di perkebunan PTPN VIII. Aktivitas yang juga sering
dilakukan oleh kelompok 1 adalah aktivitas berpindah, hal ini disebabkan oleh
tingginya mobilisasi monyet ekor panjang di dalam maupun di luar kawasan cagar
13
alam. Kawasan cagar alam yang berbatasan langsung dengan jalan mobil
perkebunan menyebabkan lalu-lalang mobil dan manusia menjadi gangguan bagi
keberadaan monyet ekor panjang yang sensitif terhadap kehadiran manusia, akan
tetapi sifat monyet ekor panjang yang berada CA Dungus Iwul tidak seperti
primata lainnya yang langsung kabur dan tidak kembali lagi. Hal ini didukung
oleh kemampuan monyet ekor panjang untuk tetap bertahan hidup pada habitat
yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000). Aktivitas istirahat dilakukan
monyet ekor panjang sekitar jam 10.00-15.00 WIB. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan, pada jam tersebut monyet ekor panjang akan turun ke lantai hutan
dan menempelkan badan mereka ke tanah. Hal tersebut sesuai dengan fungsi
habitat sebagai pengendali panas tubuh monyet ekor panjang. Aktivitas istirahat
juga sering terlihat di daerah sekitar sungai yang berada di pinggir kawasan,
karena sungai menyediakan kebutuhan air dan pakan serta daerah yang berbatasan
dengan lahan masyarakat. Selain itu, aktivitas istirahat juga terlihat disela-sela
aktivitas lainnya misalnya ketika berada di tajuk pohon yang tinggi. Aktivitas
paling sedikit dilakukan oleh kelompok 1 adalah aktivitas sosial. Aktivitas sosial
yang paling sering terlihat ketika pagi hari sebelum mencari makan berupa
grooming, saling mengejar dan pada siang hari terlihat berkelahi dan prilaku
seksual, sedangkan pada sore hari lebih banyak aktivitas sosial yaitu bersuara.
Perbedaan aktivitas pada kelompok 2 terlihat dengan tingginya aktifitas
berpindah yaitu sebesar 36.70 %. Aktivitas berpindah terlihat ketika monyet ekor
panjang berjalan, berlari di lantai hutan, ataupun melompat dari satu pohon ke
pohon lainnya. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi kelompok monyet ekor panjang
yang tinggi keluar kawasan menuju kebun masyarakat dan perkebunan sawit
untuk mencari pakan. Aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor
panjang pada pagi hari sekitar jam 06.00 dan pada sore hari jam 17.00 WIB.
Aktivitas makan yang dilakukan oleh kelompok 2 sebesar 26.20 %. Hal ini
menunjukkan tingginya aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor
panjang sebagai bentuk penyesuaian diri dengan habitat yang ada. Hal ini berbeda
dengan pendapat Widiyanti (2001) menyatakan bahwa aktivitas makan
merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain bergerak. Sementara itu,
kelompok 2 lebih sedikit menggunakan waktu untuk melakukan aktifitas istirahat
yaitu sebesar 20.40 %. Selanjutnya Santoso (1996) menyatakan rata-rata monyet
ekor panjang mulai mencari makan pukul 06.00 hingga pukul 08.00.
Wilayah jelajah
Wilayah jelajah atau home range merupakan daerah tertentu dimana satwa
melakukan pergerakan normal dan kegiatan hidupnya (Bailey 1984). Dalam
sebuah wilayah jelajah terdapat daerah teritori. Perbedaan home range dengan
teritori adalah bahwa teritori dipertahankan dari satwa lain tetapi tidak demikian
dengan home range bahkan antar satwa liar dapat berbagi area home range (Bolen
dan Robinson 2003). Wilayah jelajah monyet ekor panjang diketahui dengan
mengikuti pergerakan monyet ekor panjang dari bangun tidur sampai tidur
kembali. Diperoleh data akumulasi seluruh track yang ditampilkan dalam peta
wilayah jelajah (Gambar 7). Terdapat perbedaan jelajah harian dan luas home
range kelompok. Pergerakan harian kelompok monyet ekor panjang yang
diperoleh akan menunjukkan wilayah jelajah kelompok tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui jelajah harian terjauh kelompok 1 sebesar 527.67 m
14
dengan wilayah seluas 12.43 ha, sedangkan jelajah terjauh kelompok 2 sebesar
469.33 m dengan wilayah seluas 9.95 ha.
Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Hasil ini sama dengan penelitian Anggraeni (2013) yang menyatakan daerah
jelajah monyet ekor panjang di Kawasan Wisata Mangrove Wonorejo, Surabaya
seluas 12.43 Ha. Walaupun wilayah jelajah yang didapatkan sama tapi terdapat
perbedaan luasan kawasan penelitian. Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo
memiliki luasan 266.7 ha, lebih luas dibandingkan CA Dungus Iwul yang
memiliki luasan 9 ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mukhtar (1982) di
CA Pananjung Pangandaran dengan luas 454.615 ha diketahui wilayah jelajah
monyet ekor panjang seluas 23.3 ha dengan rata-rata jarak perjalanan harian
sejauh 1812.50 m. Menurut Sanderson (1966) luasan wilayah jelajah bervariasi
tergantung jenis satwa. Semakin luas habitat dari populasi secara keseluruhan
maka semakin luas pula daerah teritori dari masing-masing kelompok monyet
ekor panjang di lokasi tersebut. Menurut Aldrich-Blake (1976) dalam Chivers
(1980), Macaca fascicularis menggunakan wilayah jelajah secara tidak merata,
hanya beberapa tempat lebih sering digunakan dari pada tempat lainnya dalam
wilayah jelajah tersebut yang diduga sebagai wilayah inti.
Wilayah jelajah dua kelompok monyet ekor panjang sudah meluas keluar
kawasan cagar alam seperti kebun sawit dan lahan masyarakat. Pergerakan
monyet ekor panjang terlihat lebih sering menuju sungai (habitat riparian) yang
berbatasan dengan lahan masyarakat. Jelajah monyet ekor panjang yang diamati
selalu bergarak kearah aliran anak sungai dan lahan masyarakat yang berada di
selatan kawasan (Gambar 8). Aliran anak sungai ini merupakan satu-satunya
sumber air yang berada di kawasan. Biasanya monyet ekor panjang akan bermain
dan beraktivitas sosial di dekat air dari jam 11.00-15.00. Kelompok monyet ekor
panjang terkonsentrasi di sekitar tepian sungai dan pantai sebagaimana disebutkan
15
oleh Crockett dan Wilson (1980) diacu dalam Anggraeni (2013) bahwa Macaca
fascicularis lebih menyukai habitat-habitat sekunder, khususnya habitat riparian
(tepi danau, tepi sungai, atau sepanjang pantai) dan hutan-hutan sekunder yang
berdekatan dengan lahan pertanian. Selanjutnya Alikodra (2010) menyebutkan
beberapa alasan mengapa daerah riparian memegang peranan penting bagi satwa
liar termasuk monyet ekor panjang; (1) tersedianya air sebagai komponen habitat
sangat penting, (2) cukup banyak air yang tersedia bagi tumbuhan akan
meningkatkan keanekaragaman tumbuhan sehingga menghasilkan tempat hidup
yang baik bagi satwa liar terrmasuk monyet ekor panjang, (3) daerah riparian
dapat menghasilkan iklim mikro yang lebih baik bagi satwa liar monyet ekor
panjang, (4) dapat menjadi koridor jalur migrasi, (5) daerah riparian merupakan
penghubung berbagai kondisi habitat yang menghasilkan daerah pertemuan antar
habitat yang disukai satwa liar monyet ekor panjang. Selanjutnya Haerunisa
(2010) menyebutkan setiap hari monyet ekor panjang menghabiskan 1 liter air
tiap ekornya.
Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat
Wilayah jelajah monyet ekor panjang di dalam kawasan overlap ± 1.5 ha,
hal ini meyebabkan seringnya terjadi ketegangan antara kelompok monyet ekor
panjang dalam mencari pakan. Satwa akan berjuang keras untuk mempertahankan
daerah kekuasaan yang terbaik, jika seekor saingan masuk ke daerahnya satwa
tersebut dihalau keluar teritori (Bolen dan Robinson 2003). Hal ini disebabkan
terbatasnya wilayah dan pakan yang tersedia sehingga satwa tersebut harus
mampu mempertahankan daerahnya agar tetap hidup. Tuntutan daerah teritori
jelas tampak pada monyet ekor panjang dan dalam mempertahankan daerah
tersebut menjadi tugas monyet jantan dewasa, salah satu cara mempertahankan
adalah dengan mengeluarkan suara keras serta membesarkan diri agar nampak
menakutkan dengan mengembangkan bulu-bulu pada daerah tertentu (Napier dan
Napier 1985). Selain itu keberadaan lutung jawa juga menyebabkan terjadinya
persaingan. Menurut Hendratmoko (2009) terdapat kohabitasi monyet ekor
panjang dan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54.10%.
Gangguan populasi
Gangguan populasi monyet ekor panjang sedikit ditemukan dari luar
kawasan maupun predator. Selain itu kepercayaan masyarakat yang tinggi
terhadap cagar alam juga menjaga monyet ekor panjang dari gangguan.Secara
umum gangguan terhadap populasi monyet ekor panjang dapat dibagi menjadi dua
16
bagian yaitu gangguan dari dalam kawasan dan gangguan dari luar kawasan.
Gangguan dari dalam lebih disebabkan oleh persaingan antar individu monyet
ekor panjang dalam kelompok, persaingan dengan lutung jawa dan kehadiran
predator. Persaingan antara individu dalam kelompok lebih bersifat intensif
karena terbatasnya wilayah jelajah monyet ekor panjang. Tingginya jumlah
individu dalam kelompok dengan sex ratio yang rendah juga menimbulkan
perkelahian dalam mencari makan dan pasangan. Persaingan dengan lutung jawa
juga terlihat ketika ada pohon pakan yang berbuah sehingga terjadi perkelahian
yang menyebabkan anak-anak monyet ekor panjang kesulitan dalam mencari
pakan. Kondisi populasi monyet ekor panjang yang tinggi secara alami bisa
dikurangi dengan kehadiran predator alami. Predator alami monyet ekor panjang
yang ditemukan selama penelitian adalah biawak, ular, dan elang (Gambar 9).
Selain predator alami tidak ditemukan ancaman populasi seperti penangkapan
atau perburuan monyet ekor panjang yang dilakukan oleh masyarakat.
a
b
Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak
Gangguan dari luar kawasan disebabkan adanya interaksi yang intensif
dengan manusia. Hal ini disebabkan kawasan yang berbatasan langsung dengan
kebun sawit dengan jalan yang dilewati truk pengangkut sawit berada di pinggir
kawasan (Gambar 10a). Hal ini akan menggaggu monyet ekor panjang dengan
lalu-lalang truk lebih kurang 16 kali setiap harinya. Selain itu di dalam kawasan
juga ditemukan kerbau peliharaan masyarakat dan domba yang dilepaskan
disekitar kawasan (Gambar 10b). Menurut Fuentes et al. (2007) monyet ekor
panjang dapat beradaptasi pada berbagai macam kondisi terutama pada habitat
yang mendapat pengaruh dari kegiatan manusia.
a
b
Gambar 10 Gangguan dari luar (a) truk angkutan sawit (b) masyarakat yang
melepas domba di cagar alam
17
Habitat Monyet Ekor Panjang
Kondisi umum habitat
Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan
kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah
kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan
infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta
temperatur udara 22.5˚C – 33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan
Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada
bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan
dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008).
Kawasan cagar alam berbatasan dengan kebun sawit PTPN VIII pada sisi
utara, barat, timur dan sebagain kecil sisi selatan, sedangkan kebun campuran
masyarakat berada pada sisi selatan kawasan (Gambar 11b). Menurut informasi
masyarakat, monyet ekor panjang pada awalnya sangat sering mengunjungi kebun
masyarakat, akan tetapi intensitas berkunjung monyet ekor panjang berkurang
setelah tumbuhan sawit berbuah. Pada bagian selatan terdapat aliran air yang
bersumber dari kawasan dengan panjang ± 550 m yang menjadi sumber air utama
bagi monyet ekor panjang dan lokasi bermain pada siang hari (Gambar 11a).
Menurut Galdikas (1978), monyet ekor panjang biasanya terdapat disepanjang
sungai-sungai dan rawa-rawa yang langsung berbatasan dengan sungai serta
hutan-hutan tanah kering. Selanjutnya Bailey (1984) juga menyatakan bahwa
kebanyakan satwa mencukupi kebutuhan air dengan meminum air permukaan.
Satwa memilih habitat melalui sebuah hierarki keruangan, yaitu seleksi
pada skala jelajah geografis, seleksi pada skala melakukan aktivitasnya (dalam
home range), seleksi pada komponen tertentu dalam wilayah jelajah satwa, serta
seleksi pada saat satwa memilih bagaimana mereka akan memperoleh sumberdaya
dan lokasi mikro-nya (Johnson 1980). Satwaliar tidak menggunakan seluruh
kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa
bagian secara selektif. Adapun pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan
oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan
menghindari predator (Morris 1987).
a
b
Gambar 11 (a) Sumber air dan (b) perbatasan dengan kebun sawit
18
Komponen habitat yang terdapat di dalam CA Dungus Iwul diantaranya
adalah sumber air yang tersedia sepanjang hari (Gambar 11a), cover sebagai
pelindung dan berkembang biak, shelter sebagai tempat bermain dan aktivitas
sosial. Fungsi cover terlihat dengan adanya pohon-pohon besar dan tinggi dengan
tajuk yang lebar yang digunakan sebagai pohon tidur dan berlindung ketika
adanya ancaman. Hal ini terlihat ketika penelitian monyet ekor panjang selalu
menggunakan pohon yang memiliki tajuk lebar sebagai pohon tidur. Selain itu
fungsi cover didukung juga oleh kondisi lantai hutan yang rapat dengan
banyaknya tumbuhan rotann berduri. Kondisi ini menjadi faktor pembatas
susahnya mengikuti pergerakan monyet ekor panjang. Alikodra (2002)
mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen,
baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai
tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak
satwaliar. Selanjutnya Bolen dan Robinson (2003) menjelaskan cover digunakan
sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung dari panas, hujan,
angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.
Fungsi shelter didukung dengan adanya tumbuhan iwul. Tumbuhan iwul
(Orania sylvicola) memiliki kerapatan tinggi dengan tajuk yang
POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL
KABUPATEN BOGOR
MUHAMMAD SUKRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN
EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Populasi dan Habitat
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Sukri
NIM E34110015
iv
ABSTRAK
MUHAMMAD SUKRI. Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
NYOTO SANTOSO.
Cagar Alam Dungus Iwul dengan luasan ± 9 ha merupakan salah satu
habitat alami monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Hasil penelitian
menunjukkan terdapat dua kelompok monyet ekor panjang dengan ukuran
populasi yang berbeda. Kelompok 1 terdiri dari 56 individu, sedangkan kelompok
2 terdiri dari 29 individu. Kepadatan populasi monyet ekor panjang sebesar 9
individu/ha, dengan struktur umur terbanyak yaitu individu muda. Sex ratio
individu dewasa pada kelompok 1 (1:1.6) dan pada kelompok 2 (1:2.25). Aktivitas
harian yang paling sering dilakukan oleh kelompok 1 adalah makan (29.50 %),
sedangkan kelompok 2 adalah berpindah (36.70 %). Wilayah jelajah kelompok 1
seluas 12.43 ha dengan jelajah harian 527.67 m, sedangkan kelompok 2 seluas
9.95 ha dengan jelajah harian 469.33 m. Penggunaan ruang oleh monyet ekor
panjang lebih banyak pada strata tajuk C (4-20 m) sebesar 44.69 %. Analisis
vegetasi pada habitat monyet ekor panjang ditemukan 41 jenis tumbuhan
diseluruh petak contoh. Tumbuhan iwul (Orania sylvicola) merupakan tumbuhan
yang paling dominan. Pakan yang paling sering di makan monyet ekor panjang
adalah buah dengan persentase 61 %. Potensi pakan hasil analisis vegetasi
sebanyak 31 jenis tumbuhan.
Kata kunci : habitat, monyet ekor panjang, populasi, sex ratio.
ABSTRACT
MUHAMMAD SUKRI. Population and Habitat of Long Tailed Monkey
(Macaca fascicularis) in Dungus Iwul Nature Reserve. Supervised by NYOTO
SANTOSO.
Dungus Iwul Nature Reserve with area of 9 ha is one of the natural habitat
of long-tailed macaque (Macaca fascicularis). The results of research indicated
that there are two groups of long-tailed monkeys with different population sizes.
Group 1 had 56 individual and group 2 had 29 individual. Population density of
long tailed macaque were 9 individu/ha, dominated by young individu. Sex ratio
only observed in adult individu. Sex ratio of group 1 were (1:1.86) and group 2
(1:2.25). The daily activities of group 1 are eating activity (29.50 %), while the
group 2 are moving activity (36 , 70 %). Home range of group 1 (12:43 ha) with
daily cruising 527.67 m, while the group 2 (9.95 ha) with daily cruising 469.33 m.
The use of space by long-tailed macaque at the canopy strata was at stratum C
(4 – 20 m) with a percentage (44.69 %). Analysis of vegetation on the long-tailed
macaque’s habitat showed that there are 41 plants. The most often feed to the
long-tailed macaque was fruits with a percentage of 61 %. Potential feed from the
analysis of vegetation was found in the 31 species of plants.
Keywords: habitat, long-tailed macaque, population, sex ratio.
v
POPULASI DAN HABITAT MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI CAGAR ALAM DUNGUS IWUL
KABUPATEN BOGOR
MUHAMMAD SUKRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
vii
Judul Skripsi : Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor
Nama
: Muhammad Sukri
NIM
: E34110035
Disetujui oleh
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan
berjudul “Studi Populasi dan Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Cagar Alam Dungus Iwul, Kabupaten Bogor”. Pengumpulan data lapangan
dilakukan pada bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku
pembimbing yang telah memberikan ilmu, arahan, saran dan bantuan pendanaan
serta bimbingan dengan penuh kesabaran. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bidang KSDA Wilayah I - Seksi Konservasi Wilayah II atas ijin dan
bantuannya selama penelitian, terimakasih juga kepada Pak Wardi, Ibu Uta dan
keluarga atas keramahan dan pendampingan selama pengambilan data. Ucapan
terimakasih setulusnya kepada kedua orang tua Syafrijal. Imam Bandaro dan Yon
Lailis, Da Afdhal Syarif, Uni Ayelfi Susanti, Rozita Syafitri, Nurkolis Ahmad,
Rahmawita Hidayah, Taufiq Qurrahman dan seluruh keluarga, atas semua doa,
motivasi, perhatian dan kasih sayang yang tulus. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Annisa Murtafiah sebagai teman seperjuangan selama
penelitian. Terimakasih kepada kawan-kawan KSHE 48, dosen beserta staf DKSHE
dan Fakultas Kehutanan IPB, Himakova, IKMP Bogor atas kekeluargaan,
kebersamaan dan pengalamannya serta memberikan motivasi selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Muhammad Sukri
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE PENELITIAN
2
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
Alat dan Bahan
3
Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan
3
Metode Pengumpulan Data
3
Pengolahan dan Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi
Umum
6
6
Populasi Monyet Ekor Panjang
6
Habitat Monyet Ekor Panjang
17
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Lokasi penelitian
2
Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi
4
Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang
9
Gambar 4 (a) Jantan dewasa (b) betina
9
Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang
12
Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang
12
Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
14
Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat
15
Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak
16
Gambar 10 Gangguan dari luar (a) truk angkutan sawit (b) masyarakat
16
Gambar 11 (a) Sumber air dan (b) perbatasan dengan kebun sawit
17
Gambar 12 (a) Kondisi lantai hutan yang sering digunakan monyet ekor panjang
(b) kondisi lahan masyarakat
18
Gambar 13 Diagram profil pohon di dua lokasi habitat monyet ekor panjang 20
Gambar 14 Pemanfaatan ruang monyet ekor panjang dalamaktivitas harian
21
Gambar 15 (a) makan ulat di pembuangan limbah dan (b) menjarah buah sawit 22
Gambar 16 Persentase pemilihan pakan oleh monyet ekor panjang
22
Gambar 17 (a) ulat (b) buah sawit bekas makanan monyet ekor panjang
23
Gambar 18 (a) Anakan iwul pada lantai hutan (b) pohon tumbang
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Perbandingan Sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi
Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pertumbuhan
Potensi pakan monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
6
11
19
24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian di CA Dungus Iwul
2 Hasil Analisis Vegetasi Jalur 1
3 Hasil Analisis Vegetasi Jalur 2
33
34
37
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan
Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931,
seluas 9 ha. Secara administratif, kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di
Desa Cigeulung, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(Ditjen PHKA 2012). Vegetasi di kawasan ini didominasi oleh iwul (Orania
sylvicola). Tingginya INP iwul (Orania sylvicola) pada setiap tingkat
pertumbuhan menunjukkan bahwa spesies iwul memiliki daya adaptasi yang
tinggi terhadap lingkungannya sehingga kemampuan untuk bertahan hidup dan
memperbanyak jenis cukup tinggi (Simbolon 2013). Selain itu, Cagar Alam (CA)
Dungus Iwul juga menjadi habitat berbagai jenis satwaliar diantaranya monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis).
Monyet ekor panjang adalah salah satu anggota suku Cercopithecidae dari
ordo Primata. Secara umum monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memiliki
warna tubuh bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Bagian
punggungnya berwarna lebih gelap dibandingkan dada dan perut. Rambut di
kepala dan sekeliling wajahnya membentuk jambang yang lebat. Ekornya yang
panjang ditutupi rambut yang pendek dan halus. Anatomi monyet ekor panjang
yang paling umum dapat diketahui dengan adanya kantong pipi (cheek pouch)
yang berguna untuk menyimpan makanan sementara (Napier dan Napier 1967).
Monyet ekor panjang merupakan salah satu spesies arboreal yang menggunakan
kanopi hutan bagian atas sebagai tempat tinggal dan bagian mahkota pohon yang
tertinggi di diantara pohon lain di sekitarnya yang paling banyak menerima sinar
matahari sebagai tempat tidur dan beristirahat (Priyono 1998). Menurut
Karimullah (2011), monyet ekor panjang hidup mengelompok terdiri dari banyak
jantan dan banyak betina (multi-male multi-female) dengan sistem perkawinan
tidak pilih-pilih. Ukuran kelompok antara 5-40 ekor dengan satu kelompok
terdapat 2-5 pejantan dan jumlah betina 2-5 kali lipatnya serta salah satu monyet
jantan sebagai pemimpin kelompok (Rahayu 2007). Populasi yang terus
bertambah akan menyebabkan monyet ekor panjang menggunakan habitat dan
relung ekologi yang lebih luas, sementara luasan CA Dungus Iwul tidak
bertambah.
Ukuran populasi dapat menjadi data dasar dalam menilai potensi
kelangsungan hidup suatu populasi di alam dan indikasi pendugaan kualitas
habitat (Tobing 2008). Selanjutnya Bailey (1984) menyatakan kelengkapan
habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktorfaktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan
melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Penelitian mengenai ukuran
populasi dan potensi habitat monyet ekor panjang perlu dilakukan untuk
mengetahui kelimpahannya saat ini di habitat alami yaitu di CA Dungus Iwul agar
tindakan pengelolaan yang tepat dapat dilakukan.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengumpulkan data untuk mengetahui
kondisi populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) beserta kondisi
habitatnya di CA Dungus Iwul.
Manfaat Penelitian
Data yang didapat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi pengelola CA Dungus Iwul dalam upaya
pelestarian monyet ekor panjang dan sumber referensi bagi masyarakat.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Dungus Iwul, Kecamatan
Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada
bulan November-Desember 2014 dan Januari 2015 (Gambar 1).
Skala 1:10.0000
Gambar 1 Lokasi penelitian
3
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain: peta kawasan Cagar Alam
Dungus Iwul, Global Positioning System (GPS), Tally sheet, meteran, alat tulis,
kamera, kantong plastik, kompas, spidol, tali plastik, dan binokuler.
Objek Penelitian dan Jenis Data yang Dikumpulkan
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor
panjang dengan spesifikasi pendataan populasi dan habitatnya. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan
data yang didapat dari pengamatan langsung terhadap habitat dan monyet ekor
panjang di lapang. Data ini meliputi:
1. Populasi yang mencakup ukuran dan kepadatan populasi, struktur umur, sex
ratio, posisi ruang, wilayah jelajah dan aktivitas harian.
2. Habitat yang mencakup kondisi umum habitat, komposisi dan struktur vegetasi,
serta identifikasi potensi pakan.
Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan iklim dan topografi,
jenis satwa lain yang terdapat di dalam kawasan cagar alam serta jenis-jenis
pohon yang berpotensi sebagai pakan maupun habitat monyet ekor panjang. Data
tersebut berasal dari studi literatur hasil penelitian sebelumnya, buku, jurnal, dan
berdasarkan wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui :
1. Studi literatur
Studi literatur untuk menghimpun data dengan mempelajari dan menelaah
laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan laporan.
2. Metode concentration count.
Metode ini merupakan metode pengamatan langsung terhadap ukuran populasi
monyet ekor panjang. Pengamatan dilakukan pada lokasi tempat berkumpul
pada waktu dan tempat yang bersamaan, misalnya lokasi tidur dan istirahat.
Pengamatan dilakukan selama 15 kali ulangan pada pukul 06.00-18.00.
Penentuan lokasi pengamatan berdasarkan identifikasi keberadaan kelompok
monyet ekor panjang yang ditemukan di CA Dungus Iwul.
3. Metode ad libitum sampling.
Metode ini dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin aktivitas satwa
(dalam kelompok) yang teramati. Aktivitas harian yang dicatat selama
pengamatan dikelompokan ke dalam suatu rangkaian perilaku secara
keseluruhan, yaitu :
Istirahat
: duduk, berbaring, dan berdiri
Berpindah
: berjalan, melompat, dan memanjat
Makan
: memegang, memetik, dan memasukan ke dalam mulut
Aktifitas sosial: bermain, kawin, grooming dan bersuara
Hasil yang didapatkan berupa durasi dan frekuensi tingkah laku yang muncul
selama pengamatan (Martin dan Bateson 1993). Pengamatan aktivitas harian
4
dilakukan bersamaan dengan pengamatan pakan dan wilayah jelajah monyet
ekor panjang. Posisi satwa dalam pengamatan juga dicatat sebagai data
penggunaan ruang oleh monyet ekor panjang.
4. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendukung data hasil observasi lapang serta
menambah informasi mengenai lokasi monyet ekor panjang sering terlihat,
sehingga memudahkan dalam melakukan pengamatan serta dalam
mengumpulkan faktor-faktor penunjang keberadaan monyet ekor panjang,
seperti pakan, cover, dan sumber air.
5. Analisis vegetasi habitat monyet ekor panjang
Analisis vegetasi untuk habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan
menggunakan metode jalur berpetak. Metode ini dimulai dengan membuat
petak contoh seluas 20 m x 20 m. Petak contoh yang dibuat minimal sebanyak
3 petak contoh dalam setiap jalur pengamatan. Petak contoh yang telah dibuat
akan dibagi menjadi petak ukur sesuai pertumbuhan tiap vegetasinya (Gambar
2)
Gambar 2 Desain gambar analisis vegetasi
Keterangan :
1. Petak ukur semai (2 m x 2 m), yaitu anakan dengan tinggi < 1.5 m dan
tumbuhan bawah/semak/herba, termasuk di dalamnya liana, epifit, pandan dan
palem.
2. Petak ukur pancang (5 m x 5 m), yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan
diameter batangnya < 10 cm.
3. Petak ukur tiang (10 m x10 m), yaitu diameter batang antara 10 cm – 19.9 cm.
4. Petak ukur pohon (20 m x 20 m), yaitu pohon berdiameter batang ≥ 20 cm.
Pengolahan dan Analisis Data
Populasi monyet ekor panjang
Populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ditentukan
berdasarkan jumlah keseluruhan individu yang ditemukan. Selanjutnya dihitung
kepadatan populasi dengan rumus:
Kepadatan =
5
Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai jumlah kelompok,
jumlah populasi, dan kepadatan populasi.
Struktur umur dan sex ratio
Struktur umur diketahui berdasarkan pendekatan Soma et al. (2009) yaitu
jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan. Sex ratio dapat dihitung dengan
persamaan:
S=
Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif mengenai struktur
umur dan rasio jantan dengan betina.
Analisis aktivitas harian
Hasil yang diperoleh dari pengamatan berupa frekuensi aktivitas harian
yang muncul selama pengamatan. Setiap perilaku yang dicatat, akan dihitung nilai
rata-rata dan presentasenya agar terlihat aktivitas harian yang sering dilakukan
oleh monyet ekor panjang. Selanjutnya, data hasil pengamatan akan ditampilkan
dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif terhadap hubungannya
dengan waktu dan penggunaan ruang.
Analisis vegetasi
Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis
dalam komunitas dengan kata lain INP digunakan untuk menetapkan dominansi
suatu jenis terhadap jenis lainnya. Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan
mengenai INP yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif
(KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).
- Kerapatan (K)
= Jumlah individu suatu jenis
Luas unit contoh
- Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan suatu jenis x 100 %
Kerapatan seluruh jenis
- Frekuensi (F)
= Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh plot dalam unitcontoh
- Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi suatu jenis x 100 %
Frekuensi seluruh jenis
- Dominansi (D)
= Luas bidang dasar suatu jenis
Luas unit contoh
- Dominansi Relatif (DR)
= Dominansi suatu jenisx 100 %
Dominansi seluruh jenis
- Indeks Nilai Penting
= KR + FR + DR
Potensi pakan
Data potensi pakan diperoleh dari hasil analisis vegetasi tumbuhan yang
menjadi pakan/berpotensi menjadi pakan monyet ekor panjang. Potensi pakan
juga menunjukkan bagian tumbuhan yang dimakan dan kerapatan tumbuhan pada
lokasi penelitian.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondis Umum Lokasi Peneltian
Kawasan hutan Dungus Iwul ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan
Surat Keputusan Goverment Besluit (GB) Nomor: 23 stbl 99 tanggal 21-3-1931,
seluas 9 ha. Secara administratif kawasan Cagar Alam Dungus Iwul terletak di
Desa Cigeulung Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(Ditjen PHKA 2012) dengan batas kawasan Desa Curug (Utara), Desa Jugalajaya
(Timur), Desa Luhur Jaya (Selatan) dan Desa Guradog (Barat). Kawasan Cagar
Alam Dungus Iwul terletak di pinggir jalan raya antara Bogor dan Rangkasbitung
sehingga mudah dicapai dengan rute perjalanan Bandung-Bogor ± 120 km,
Bogor-Jasinga-Lokasi ± 60 km dengan kondisi jalan baik dan banyak dilintasi
oleh kendaraan umum (Dishut 2007). Iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah
hujan rata-rata per tahun 3 191 mm (Ditjen PHKA 2012).
Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan
kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah
kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan
infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta
temperatur udara 22.5˚C – 33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan
Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada
bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan
dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008). Vegetasi Cagar
Alam Dungus Iwul merupakan gambaran dari hutan dataran rendah yang
dahulunya terhampar luas di bagian utara Jawa Barat. Flora yang tumbuh di cagar
alam ini adalah iwul (Orania sylvicola), kibentili (Kickseia arborea), anggrit
(Adina polychepala), dahu (Dracontomelon mangiferum), ki hijoer (Quercus
blaumena), ranji (Dialium indum) dan teureup (Artocarpus elastica). Beberapa
jenis satwaliar yang terdapat pada kawasan ini adalah jenis burung (aves) seperti
elang ular (Spilornis cheela) dan beo (Gracula religiosa), merpati yang mirip
kakatua (Treron pamedora pulverulenta), sedangkan jenis mamalia diantaranya
adalah lutung (Tracyphithecus auratus), bajing terbang (Sciurepterus sagitta) dan
jelarang (Ratufa bicolor) (Ditjen PHKA 2012).
Populasi Monyet Ekor Panjang
Ukuran dan kepadatan populasi
Populasi monyet ekor panjang yang ditemukan adalah sebanyak 85 individu
dengan populasi kelompok 1 sebanyak 56 individu dan kelompok 2 sebanyak 29
individu. Kelompok 1 terdiri atas 20 individu dewasa, 27 individu muda, dan 9
individu anak. Kelompok 2 memiliki ukuran populasi yang lebih kecil, terdiri atas
13 individu dewasa, 10 individu muda, dan 5 individu anak (Tabel 1).
7
Tabel 1 Populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Kelompok
Kelompok 1
Kelompok 2
Total
Dewasa
20
13
33
Muda
27
10
37
Anak
9
6
15
Total
56
29
85
Hasil pengamatan populasi kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus
Iwul termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Trisnawati (2014) di
CA Pananjung Pangandaran sebesar 19 individu/kelompok dan populasi
kelompok monyet ekor panjang di Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran
sebesar 50 individu/kelompok. Penelitian Hidayat (2012) menunjukkan populasi
monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat ( HPGW ) yaitu 23–31
individu/kelompok, Supartono (2001) menemukan populasi monyet ekor panjang
di HPHTI PT RAPP sebesar 18–53 individu dalam satu kelompok. Populasi
monyet ekor panjang lebih tinggi di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan (Soma
et al. 2009) yaitu sebesar 87 individu/kelompok dan Hutan Kaliurang sebesar 48–
68 individu/kelompok (Kusmardiastuti 2010). Akan tetapi hasil penelitian ini
sesuai dengan pernyataan (Lekagul dan McNeely 1977) yang menyatakan satu
kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 ekor dan menurut
Nowak (1999) dalam satu kelompok monyet ekor panjang rata-rata terdiri dari 6–
100 individu.
Ukuran kelompok monyet ekor panjang bervariasi menurut kondisi
habitatnya. Hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang ± 10 ekor, di hutan
mangrove ± 15 ekor dan di areal terganggu lebih dari 40 ekor (Crocket dan
Wilson 1980). Tingginya populasi monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
mungkin dikarenakan kondisi habitat yang sesuai dan ketersediaan pakan yang
cukup beragam. Habitat yang tersedia berupa kondisi hutan yang masih alami,
aliran sungai sebagai sumber air, tempat berlindung berupa pohon-pohon yang
besar. Referensi pakan juga tersedia cukup beragam di dalam cagar alam, selain
itu sekitar 70% kawasan cagar alam dikelilingi oleh perkebunan sawit PTPN VIII
yang menjadi sumber pakan dan tersedia setiap waktu. Berbeda dengan lokasi
penelitian Hidayat (2012) di HPGW dengan habitat berupa hutan tanaman yang
memiliki tegakan seragam sehingga referensi pakan yang sedikit. Sedangkan
tingginya populasi monyet ekor panjang di Hutan Wisata Alas Kedaton
disebabkan karena kawasan tersebut merupakan hamparan hutan sekunder juga
merupakan habitat monyet ekor panjang yang keberadaannya di lokasi ini sudah
melebihi 30 tahun yang lalu (Kawamoto et al.1984).
Kepadatan populasi monyet ekor panjang dihitung berdasarkan akumulasi
semua anggota kelompok sebesar 9 individu/ ha. Kepadatan ini dinilai sangat
besar apabila dibandingkan dengan kepadatan populasi monyet ekor panjang di
Pulau Peucang sebesar 0.18 individu/ha (Sampoerna 2014) dan di HPGW sebesar
0,3 individu/ha (Hidayat 2012). Akan tetapi hasil ini lebih rendah apabila
dibandingkan dengan penelitian Soma et al. (2009) di Hutan Wisata Alas Kedaton
Tabanan sebesar 30 individu/ha dan penelitian Trisnawati (2014) yang
menemukan rata-rata kepadatan populasi monyet ekor panjang pada tiga jalur
pengamatan sebesar 16 individu/ha di CA Pananjung Pangandaran. Tingginya
kepadatan populasi monyet ekor panjang di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan
8
karena kondisi hutan berupa hutan sekunder, sedangkan tingginya kepadatan
populasi yang ditemukan di CA Pananjung Pangandaran disebabkan karena hanya
membandingkan jumlah individu dengan luas jalur pengamatan bukan dengan
luas cagar alam secara keseluruhan. Menurut Lekagul dan McNeely (1977)
umumnya kepadatan populasi monyet ekor panjang di hutan primer lebih rendah
dibandingkan kepadatan populasi di hutan sekunder. Meskipun CA Dungus iwul
merupakan hutan primer, akan tetapi memiliki kepadatan yang tergolong tinggi
apabila dibandingkan dengan hutan primer lainnya. Hal ini diduga karena
tersediannya kebutuhan pakan dan kondisi habitat yang mendukung
keberlangsungan kehidupan anggota kelompok monyet ekor panjang. Kepadatan
yang tinggi pada kelompok Macaca fascicularis juga diduga karena tersedianya
kebutuhan pakan bagi berkembangbiaknya satwa primata ini secara optimal untuk
mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986).
Perbedaan ukuran populasi antara kelompok monyet ekor panjang di CA
Dungus Iwul disebabkan oleh kondisi habitat dan ketersediaan pakan. Menurut
Iskandar (1997) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok Macaca
fascicularis dipengaruhi berbagai faktor diantaranya tersedianya sumber pakan.
Kelompok 1 memiliki jumlah anggota yang lebih banyak dari kelompok 2. Hal ini
mungkin disebabkan oleh banyaknya sumber pakan yang tersedia dengan cover
yang memadai sebagai habitat monyet ekor panjang. Besarnya ukuran kelompok
dan kepadatan monyet ekor panjang disebabkan karena terpenuhinya komponen
pakan, pelindung, air dan ruang jelajah serta minimnya kehadiran predator yang
akan menyebabkan terjadinya pengurangan ukuran kelompok secara drastis.
Kelompok 1 memiliki banyak referensi pakan yang tersedia di dalam kawasan
maupun di pinggir kawasan, sedangkan kelompok 2 memiliki referensi pakan
yang sedikit. Selain itu pada habitat kelompok 2 juga ditemukan lutung jawa
(Trachypithecus aurastus) yang menggunakan ruang habitat yang sama, sehingga
ada perebutan ruang dalam mendapatkan pakan. Kompetisi ini tergantung pada
ukuran kelompok, jumlah makanan yang tersedia dan kemampuan individu dalam
bertahan (Fuentes 1999). Hal ini merupakan salah satu penyebab monyet ekor
panjang dikelompok 2 sering keluar kawasan hingga ke kebun masyarakat untuk
mencari pakan.
Struktur umur dan sex ratio
Struktur umur dan sex ratio monyet ekor panjang ditentukan berdasarkan
perbedaan morfologi yang dibedakan menjadi jantan dewasa, betina dewasa,
individu muda, dan anak. Monyet jantan dewasa ditandai oleh adanya skrotum,
bantalan duduk menyatu dan tingkah lakunya relatif superior. Monyet betina
ditandai oleh bantalan duduk kiri dan kanan terpisah, adanya vulva vagina,
ambing dan puting susunya sudah menggelantung (pendulus). Pada kelompok
muda, monyet jantan badannya lebih kecil dan tingkah lakunya permisif terhadap
jantan dewasa, serta betina muda yang belum menunjukkan puting susu yang
menggelantung, sedangkan monyet yang baru lahir dan monyet yang masih
memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan sebagai anakan (Soma
et al. 2009). Hasil penelitian ditemukan 85 individu monyet ekor panjang di
seluruh lokasi penelitian. Kelompok 1 terdiri atas 7 individu jantan dewasa, 13
individu betina dewasa, 27 individu muda dan 9 individu anak. Kelompok 2
ditemukan 4 individu jantan dewasa, 9 individu betina dewasa, 10 individu muda,
9
dan 6 individu anak. Struktur umur monyet ekor panjang yang berada di Cagar
Alam Dungus Iwul secara keseluruhan menunjukan keadaan populasi yang
berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan struktur umur anak rata-rata 18.5 % dan
struktur umur muda 41 % yang nantinya akan memiliki reproduksi yang tinggi
serta struktur umur dewasa 20.25 % (Gambar 3).
Gambar 3 Struktur umur kelompok 1 dan 2 monyet ekor panjang
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sampurna (2014) yang
menemukan struktur umur muda dan anak di Pulau Peucang sebesar 51 % dan
penelitian Soma et al. (2009) di Hutan Wisata Alas Kedaton Tabanan yang
menemukan struktur umur muda dan anak sebesar 56.6 %. Kondisi ini berbeda
dengan penelitian Trisnawati (2014) yang menemukan struktur umur dewasa lebih
tinggi di CA Pananjung Pangandaran sebesar 63.66 %, struktur umur muda
28.66% dan struktur umur anak yang sangat kecil yaitu 7.67 %. Hal ini mungkin
disebabkan oleh kondisi populasi dan habitat yang berbeda dilokasi penelitian dan
metode pengamatan yang digunakan. Cagar Alam Dungus Iwul merupakan
kawasan alami monyet ekor panjang, akan tetapi terjadi interaksi yang tinggi
dengan kehadiran manusia sehingga akan mempermudah pengamatan struktur
umur monyet ekor panjang. Berbeda dengan lokasi penelitian di CA Pananjung
Pangandaran menurut Trisnawati (2014) yang menyebutkan monyet ekor panjang
yang berada di dalam cagar alam tidak terbiasa dengan adanya manusia, apalagi
individu muda lebih sensitif terhadap suara dan gerakan.
Berdasarkan struktur umur yang diperoleh dapat diketahui nilai natalitas
kasar. Nilai natalitas kasar diperoleh berdasarkan perbandingan jumlah anak
terhadap betina produktif. Kelompok 1 memiliki nilai natalitas kasar sebesar 0.69,
sedangkan kelompok 2 memiliki nilai sebesar 0.67. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Hidayat (2012) di
HPGW dan Soma et al. (2009) dengan nilai sebesar 0.24 dan 0.4, sedangkan nilai
natalitas kasar di SM Paliyan Yogyakarta dan Hutan Kaliurang memiliki nilai
yang mendekati sama yaitu 0.67. Berdasarkan nilai natalitas kasar yang diperoleh
di CA Dungus Iwul, populasi monyet ekor panjang akan semakin meningkat. Hal
ini diduga disebabkan oleh ketersediaan jumlah pakan yang melimpah. Menurut
Lang (2006) kelimpahan sumber pakan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan
reproduksi monyet ekor panjang. Ketika sumber pakan melimpah, maka kelahiran
10
akan terjadi lebih cepat dan lebih sering. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini tidak bisa selalu benar karena individu betina reproduktif yang
diperoleh hanya dari struktur umur betina dewasa, sedangkan struktur umur muda
reproduktif belum dapat teridentifikasi. Nilai natalitas spesifik monyet ekor
panjang di alam tidak bisa dihitung secara tepat karena umur individu monyet
ekor panjang tidak bisa ditentukan secara pasti, pengelompokan umur setiap
individu berdasarkan ciri-kualitatif, dan selang waktu antara umur tidak sama
Priyono (1998).
Struktur umur pada kelompok 1 berbeda dengan struktur umur kelompok 2.
Kelompok 1 lebih didominasi oleh individu muda sebesar 48%, sedangkan
kelompok 2 lebih didominasi oleh individu dewasa dengan persentase 45%.
Struktur umur yang berbeda antara kelompok monyet ekor panjang mungkin
disebabkan juga oleh dasar pembentukan kelompok. Menurut wawancara dengan
penjaga cagar alam, awalnya hanya ada satu kelompok monyet ekor panjang
dengan populasi sekitar 17 individu. Hal ini bisa dibuktikan di lapangan dengan
struktur umur kelompok 2 didominasi oleh individu dewasa yang mungkin
memisahkan diri dari kelompok 1. Pemisahan kelompok juga mungkin
disebabkan oleh persaingan antara populasi monyet ekor panjang dalam
kelompok. Kepadatan yang tinggi akan meningkatkan ketegangan dan agresivitas
diantara anggota populasi sehingga terjadi pemisahan kelompok (Alikodra 2002).
Rata-rata ukuran struktur umur individu dewasa dan muda pada dua
kelompok monyet ekor panjang hampir sama, hal ini menunjukkan kedepannya
populasi monyet ekor panjang akan mengalami peningkatan yang signifikan
dimasa yang akan datang. Banyaknya individu dewasa dalam kelompok akan
meningkatkan populasi dalam jangka pendek, sedangkan banyaknya populasi
individu muda akan meningkatkan monyet ekor panjang kedepannya dalam
jangka waktu yang lama. Kondisi tersebut menandakan populasi akan terus
berkembang. Menurut Dharmawan et al. (2005) struktur umur meningkat adalah
struktur umur pada populasi dengan kerapatan kelompok umur muda paling besar,
populasi dengan struktur umur demikian akan mengalami pertumbuhan populasi
yang cepat pada periode mendatang. Akan tetapi selama penelitian tidak
ditemukan individu bayi, hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian tidak
terjadi kelahiran. Perbedaan struktur umur pada monyet ekor panjang bisa dilihat
dari morfologi (Gambar 4).
Gambar 4 (a) Jantan dewasa (b) betina dewasa
11
Kelompok monyet ekor panjang dipimpin oleh seekor pimpinan kelompok
yang menguasai seluruh kelompok. Kelompok 1 dipimpin oleh betina dewasa
dengan ukuran tubuh yang besar, taring yang panjang, rambut yang sudah
keputihan. Perilakunya terlihat mengarahkan kelompok pada pagi hari untuk
mencari makan dan menjadi pemimpin kelompok memasuki kebun sawit. Selain
itu, jika betina dewasa tersebut mengeluarkan suara “kra..kra..kraa..” maka semua
kelompok akan diam, biasanya dilakukan ketika ada gangguan dari truk yang
mengangkut sawit atau masyarakat yang masuk ke kawasan cagar alam.
Kelompok 2 dipimpin oleh seekor jantan dewasa yang selalu memimpin
kelompok memasuki kebun masyarakat yang berada di pinggir kawasan. Tatanan
sosial dalam monyet ekor panjang tersusun secara hierarki dengan tingkatan
tertinggi yaitu betina dominan (Alpha female) untuk monyet ekor panjang betina
dan jantan dominan (Alpha male) untuk monyet ekor panjang jantan yang
sekaligus sebagai pemimpin kelompok (Fuentes dan Dolhinow 1999).
Kondisi populasi yang seimbang bisa dilihat dari sex ratio dalam kelompok.
Penghitungan sex ratio pada penelitian ini dilakukan secara global/keseluruhan.
Monyet ekor panjang yang berada di CA Dungus Iwul memiliki sex ratio 1:1.852.25. Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul dan lokasi
lainnya dapat dilihat pada tabel 2.
No
1
2
3
4
5
Tabel 2 Perbandingan sex ratio monyet ekor panjang di beberapa lokasi
Lokasi
Sex ratio
Sumber
CA Dungus Iwul
1 : 1.85-2.25 Data primer
CA Pananjung Pangandaran
1 : 3-4 Trisnawati (2014)
Pulau Peucang
1 : 1.2 Sampurna (2014)
HPGW
1 : 1.33-3.75 Hidayat (2012)
Hutan Alas Kedaton Tabanan
1 : 1-5 Soma et al. (2009)
Berdasarkan hasil penelitian terlihat rendahnya perbedaan sex ratio di CA
Dungus Iwul apabila dibandingkan dengan penelitian di CA Pananjung
Pangandaran, HPGW, dan Hutan Alas Kedaton Tabanan. Akan tetapi lebih tinggi
jika dibandingkan dengan sex ratio di Pulau Peucang. Selanjutnya Napier dan
Napier (1967) menyatakan sex ratio satu kelompok monyet ekor panjang di
habitat alami adalah 1:2. Apabila dilihat dari ukuran populasi yang besar dalam
kelompok monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul maka akan terjadi kompetisi
yang tinggi dalam mencari pasangan. Akan tetapi selama penelitian tidak
ditemukan terjadinya kompetisi dalam bentuk perkelahian memperebutkan
pasangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh sex ratio yang diperoleh hanya dari
individu dewasa, sedangkan individu muda tidak berhasil diidentifikasi. Sulitnya
mengidentifikasi sex ratio monyet ekor panjang disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya pergerakan individu muda yang cepat, morfologi yang hampir sama
antara jantan dan betina, serta tutupan tajuk iwul yang rapat sehingga kesulitan
melihat individu monyet ekor panjang.
Aktivitas harian
Hasil penelitian mengenai aktivitas harian monyet ekor panjang
dikelompokkan dalam empat aktivitas utama yaitu istirahat, berpindah, makan,
dan aktivitas sosial. Aktivitas yang paling sering dilakukan oleh kelompok 1
12
adalah makan dengan persentase (29.50 %), selanjutnya berpindah (27.80 %),
istirahat (22.60 %), dan aktivitas sosial (20.10 %), sedangkan aktivitas yang
paling sering dilakukan kelompok 2 adalah aktivitas berpindah dengan persentase
(36.70%), selanjutnya makan (26.20 %), istirahat (20.40 %), dan aktivitas sosial
(16.70%) (Gambar 5).
Gambar 5 Perbandingan aktivitas harian monyet ekor panjang
Aktivitas harian dilakukan dengan mencatat sebanyak mungkin tingkah laku
monyet ekor panjang (dalam kelompok yang teramati) menggunakan metode ad
libitum sampling. Data yang diperoleh merupakan aktivitas kelompok secara
umum dengan rata-rata waktu pengamatan. Berdasarkan data yang diperoleh,
kelompok 1 cenderung lebih sering melakukan aktivitas makan (Gambar 6).
Aktitas makan ini terlihat mulai dari memilih pakan, memegang, memetik, dan
memasukkan makanan kedalam mulut. Secara umum aktivitas makan ini dimulai
pada pagi hari jam 06.30 dan sore hari pada jam 15.00.
Gambar 6 Aktivitas makan dan aktivitas sosial monyet ekor panjang
Monyet ekor panjang yang berada di CA Dungus Iwul hampir setiap saat
melakukan aktivitas makan, hal ini disebabkan kelompok monyet tersebut
menjarah buah sawit di perkebunan PTPN VIII. Aktivitas yang juga sering
dilakukan oleh kelompok 1 adalah aktivitas berpindah, hal ini disebabkan oleh
tingginya mobilisasi monyet ekor panjang di dalam maupun di luar kawasan cagar
13
alam. Kawasan cagar alam yang berbatasan langsung dengan jalan mobil
perkebunan menyebabkan lalu-lalang mobil dan manusia menjadi gangguan bagi
keberadaan monyet ekor panjang yang sensitif terhadap kehadiran manusia, akan
tetapi sifat monyet ekor panjang yang berada CA Dungus Iwul tidak seperti
primata lainnya yang langsung kabur dan tidak kembali lagi. Hal ini didukung
oleh kemampuan monyet ekor panjang untuk tetap bertahan hidup pada habitat
yang terganggu (Cowlishaw dan Dunbar 2000). Aktivitas istirahat dilakukan
monyet ekor panjang sekitar jam 10.00-15.00 WIB. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan, pada jam tersebut monyet ekor panjang akan turun ke lantai hutan
dan menempelkan badan mereka ke tanah. Hal tersebut sesuai dengan fungsi
habitat sebagai pengendali panas tubuh monyet ekor panjang. Aktivitas istirahat
juga sering terlihat di daerah sekitar sungai yang berada di pinggir kawasan,
karena sungai menyediakan kebutuhan air dan pakan serta daerah yang berbatasan
dengan lahan masyarakat. Selain itu, aktivitas istirahat juga terlihat disela-sela
aktivitas lainnya misalnya ketika berada di tajuk pohon yang tinggi. Aktivitas
paling sedikit dilakukan oleh kelompok 1 adalah aktivitas sosial. Aktivitas sosial
yang paling sering terlihat ketika pagi hari sebelum mencari makan berupa
grooming, saling mengejar dan pada siang hari terlihat berkelahi dan prilaku
seksual, sedangkan pada sore hari lebih banyak aktivitas sosial yaitu bersuara.
Perbedaan aktivitas pada kelompok 2 terlihat dengan tingginya aktifitas
berpindah yaitu sebesar 36.70 %. Aktivitas berpindah terlihat ketika monyet ekor
panjang berjalan, berlari di lantai hutan, ataupun melompat dari satu pohon ke
pohon lainnya. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi kelompok monyet ekor panjang
yang tinggi keluar kawasan menuju kebun masyarakat dan perkebunan sawit
untuk mencari pakan. Aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor
panjang pada pagi hari sekitar jam 06.00 dan pada sore hari jam 17.00 WIB.
Aktivitas makan yang dilakukan oleh kelompok 2 sebesar 26.20 %. Hal ini
menunjukkan tingginya aktivitas berpindah yang dilakukan oleh monyet ekor
panjang sebagai bentuk penyesuaian diri dengan habitat yang ada. Hal ini berbeda
dengan pendapat Widiyanti (2001) menyatakan bahwa aktivitas makan
merupakan aktivitas yang paling banyak dilakukan selain bergerak. Sementara itu,
kelompok 2 lebih sedikit menggunakan waktu untuk melakukan aktifitas istirahat
yaitu sebesar 20.40 %. Selanjutnya Santoso (1996) menyatakan rata-rata monyet
ekor panjang mulai mencari makan pukul 06.00 hingga pukul 08.00.
Wilayah jelajah
Wilayah jelajah atau home range merupakan daerah tertentu dimana satwa
melakukan pergerakan normal dan kegiatan hidupnya (Bailey 1984). Dalam
sebuah wilayah jelajah terdapat daerah teritori. Perbedaan home range dengan
teritori adalah bahwa teritori dipertahankan dari satwa lain tetapi tidak demikian
dengan home range bahkan antar satwa liar dapat berbagi area home range (Bolen
dan Robinson 2003). Wilayah jelajah monyet ekor panjang diketahui dengan
mengikuti pergerakan monyet ekor panjang dari bangun tidur sampai tidur
kembali. Diperoleh data akumulasi seluruh track yang ditampilkan dalam peta
wilayah jelajah (Gambar 7). Terdapat perbedaan jelajah harian dan luas home
range kelompok. Pergerakan harian kelompok monyet ekor panjang yang
diperoleh akan menunjukkan wilayah jelajah kelompok tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui jelajah harian terjauh kelompok 1 sebesar 527.67 m
14
dengan wilayah seluas 12.43 ha, sedangkan jelajah terjauh kelompok 2 sebesar
469.33 m dengan wilayah seluas 9.95 ha.
Gambar 7 Peta wilayah jelajah monyet ekor panjang di CA Dungus Iwul
Hasil ini sama dengan penelitian Anggraeni (2013) yang menyatakan daerah
jelajah monyet ekor panjang di Kawasan Wisata Mangrove Wonorejo, Surabaya
seluas 12.43 Ha. Walaupun wilayah jelajah yang didapatkan sama tapi terdapat
perbedaan luasan kawasan penelitian. Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo
memiliki luasan 266.7 ha, lebih luas dibandingkan CA Dungus Iwul yang
memiliki luasan 9 ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Mukhtar (1982) di
CA Pananjung Pangandaran dengan luas 454.615 ha diketahui wilayah jelajah
monyet ekor panjang seluas 23.3 ha dengan rata-rata jarak perjalanan harian
sejauh 1812.50 m. Menurut Sanderson (1966) luasan wilayah jelajah bervariasi
tergantung jenis satwa. Semakin luas habitat dari populasi secara keseluruhan
maka semakin luas pula daerah teritori dari masing-masing kelompok monyet
ekor panjang di lokasi tersebut. Menurut Aldrich-Blake (1976) dalam Chivers
(1980), Macaca fascicularis menggunakan wilayah jelajah secara tidak merata,
hanya beberapa tempat lebih sering digunakan dari pada tempat lainnya dalam
wilayah jelajah tersebut yang diduga sebagai wilayah inti.
Wilayah jelajah dua kelompok monyet ekor panjang sudah meluas keluar
kawasan cagar alam seperti kebun sawit dan lahan masyarakat. Pergerakan
monyet ekor panjang terlihat lebih sering menuju sungai (habitat riparian) yang
berbatasan dengan lahan masyarakat. Jelajah monyet ekor panjang yang diamati
selalu bergarak kearah aliran anak sungai dan lahan masyarakat yang berada di
selatan kawasan (Gambar 8). Aliran anak sungai ini merupakan satu-satunya
sumber air yang berada di kawasan. Biasanya monyet ekor panjang akan bermain
dan beraktivitas sosial di dekat air dari jam 11.00-15.00. Kelompok monyet ekor
panjang terkonsentrasi di sekitar tepian sungai dan pantai sebagaimana disebutkan
15
oleh Crockett dan Wilson (1980) diacu dalam Anggraeni (2013) bahwa Macaca
fascicularis lebih menyukai habitat-habitat sekunder, khususnya habitat riparian
(tepi danau, tepi sungai, atau sepanjang pantai) dan hutan-hutan sekunder yang
berdekatan dengan lahan pertanian. Selanjutnya Alikodra (2010) menyebutkan
beberapa alasan mengapa daerah riparian memegang peranan penting bagi satwa
liar termasuk monyet ekor panjang; (1) tersedianya air sebagai komponen habitat
sangat penting, (2) cukup banyak air yang tersedia bagi tumbuhan akan
meningkatkan keanekaragaman tumbuhan sehingga menghasilkan tempat hidup
yang baik bagi satwa liar terrmasuk monyet ekor panjang, (3) daerah riparian
dapat menghasilkan iklim mikro yang lebih baik bagi satwa liar monyet ekor
panjang, (4) dapat menjadi koridor jalur migrasi, (5) daerah riparian merupakan
penghubung berbagai kondisi habitat yang menghasilkan daerah pertemuan antar
habitat yang disukai satwa liar monyet ekor panjang. Selanjutnya Haerunisa
(2010) menyebutkan setiap hari monyet ekor panjang menghabiskan 1 liter air
tiap ekornya.
Gambar 8 (a) Habitat riparian (b) monyet ekor panjang di lahan masyarakat
Wilayah jelajah monyet ekor panjang di dalam kawasan overlap ± 1.5 ha,
hal ini meyebabkan seringnya terjadi ketegangan antara kelompok monyet ekor
panjang dalam mencari pakan. Satwa akan berjuang keras untuk mempertahankan
daerah kekuasaan yang terbaik, jika seekor saingan masuk ke daerahnya satwa
tersebut dihalau keluar teritori (Bolen dan Robinson 2003). Hal ini disebabkan
terbatasnya wilayah dan pakan yang tersedia sehingga satwa tersebut harus
mampu mempertahankan daerahnya agar tetap hidup. Tuntutan daerah teritori
jelas tampak pada monyet ekor panjang dan dalam mempertahankan daerah
tersebut menjadi tugas monyet jantan dewasa, salah satu cara mempertahankan
adalah dengan mengeluarkan suara keras serta membesarkan diri agar nampak
menakutkan dengan mengembangkan bulu-bulu pada daerah tertentu (Napier dan
Napier 1985). Selain itu keberadaan lutung jawa juga menyebabkan terjadinya
persaingan. Menurut Hendratmoko (2009) terdapat kohabitasi monyet ekor
panjang dan lutung dengan tumpang tindih wilayah jelajah sebesar 54.10%.
Gangguan populasi
Gangguan populasi monyet ekor panjang sedikit ditemukan dari luar
kawasan maupun predator. Selain itu kepercayaan masyarakat yang tinggi
terhadap cagar alam juga menjaga monyet ekor panjang dari gangguan.Secara
umum gangguan terhadap populasi monyet ekor panjang dapat dibagi menjadi dua
16
bagian yaitu gangguan dari dalam kawasan dan gangguan dari luar kawasan.
Gangguan dari dalam lebih disebabkan oleh persaingan antar individu monyet
ekor panjang dalam kelompok, persaingan dengan lutung jawa dan kehadiran
predator. Persaingan antara individu dalam kelompok lebih bersifat intensif
karena terbatasnya wilayah jelajah monyet ekor panjang. Tingginya jumlah
individu dalam kelompok dengan sex ratio yang rendah juga menimbulkan
perkelahian dalam mencari makan dan pasangan. Persaingan dengan lutung jawa
juga terlihat ketika ada pohon pakan yang berbuah sehingga terjadi perkelahian
yang menyebabkan anak-anak monyet ekor panjang kesulitan dalam mencari
pakan. Kondisi populasi monyet ekor panjang yang tinggi secara alami bisa
dikurangi dengan kehadiran predator alami. Predator alami monyet ekor panjang
yang ditemukan selama penelitian adalah biawak, ular, dan elang (Gambar 9).
Selain predator alami tidak ditemukan ancaman populasi seperti penangkapan
atau perburuan monyet ekor panjang yang dilakukan oleh masyarakat.
a
b
Gambar 9 Predator alami monyet ekor panjang (a) elang (b) biawak
Gangguan dari luar kawasan disebabkan adanya interaksi yang intensif
dengan manusia. Hal ini disebabkan kawasan yang berbatasan langsung dengan
kebun sawit dengan jalan yang dilewati truk pengangkut sawit berada di pinggir
kawasan (Gambar 10a). Hal ini akan menggaggu monyet ekor panjang dengan
lalu-lalang truk lebih kurang 16 kali setiap harinya. Selain itu di dalam kawasan
juga ditemukan kerbau peliharaan masyarakat dan domba yang dilepaskan
disekitar kawasan (Gambar 10b). Menurut Fuentes et al. (2007) monyet ekor
panjang dapat beradaptasi pada berbagai macam kondisi terutama pada habitat
yang mendapat pengaruh dari kegiatan manusia.
a
b
Gambar 10 Gangguan dari luar (a) truk angkutan sawit (b) masyarakat yang
melepas domba di cagar alam
17
Habitat Monyet Ekor Panjang
Kondisi umum habitat
Topografi kawasan Cagar Alam Dungus Iwul relatif datar dengan
kemiringan 8–15% berada pada ketinggian 175 m diatas permukaan laut. Tanah
kawasan ini berjenis podsolik merah kuning yang terbentuk dari batuan
infravulkan (dasit) batuan pasir dan endapan kuarsa (LIPI 2009). Menurut
Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di kawasan Cagar Alam Dungus Iwul
termasuk tipe hujan A dengan curah hujan rata-rata 3.348 mm/tahun serta
temperatur udara 22.5˚C – 33˚C (LIPI 2009). Pada bulan Oktober sampai dengan
Maret terjadi musim basah yang bersamaan dengan angin barat, sedangkan pada
bulan Juli sampai dengan September terjadi musim kering yang bersamaan
dengan periode musim angin tenggara (Dishut Jawa Barat 2008).
Kawasan cagar alam berbatasan dengan kebun sawit PTPN VIII pada sisi
utara, barat, timur dan sebagain kecil sisi selatan, sedangkan kebun campuran
masyarakat berada pada sisi selatan kawasan (Gambar 11b). Menurut informasi
masyarakat, monyet ekor panjang pada awalnya sangat sering mengunjungi kebun
masyarakat, akan tetapi intensitas berkunjung monyet ekor panjang berkurang
setelah tumbuhan sawit berbuah. Pada bagian selatan terdapat aliran air yang
bersumber dari kawasan dengan panjang ± 550 m yang menjadi sumber air utama
bagi monyet ekor panjang dan lokasi bermain pada siang hari (Gambar 11a).
Menurut Galdikas (1978), monyet ekor panjang biasanya terdapat disepanjang
sungai-sungai dan rawa-rawa yang langsung berbatasan dengan sungai serta
hutan-hutan tanah kering. Selanjutnya Bailey (1984) juga menyatakan bahwa
kebanyakan satwa mencukupi kebutuhan air dengan meminum air permukaan.
Satwa memilih habitat melalui sebuah hierarki keruangan, yaitu seleksi
pada skala jelajah geografis, seleksi pada skala melakukan aktivitasnya (dalam
home range), seleksi pada komponen tertentu dalam wilayah jelajah satwa, serta
seleksi pada saat satwa memilih bagaimana mereka akan memperoleh sumberdaya
dan lokasi mikro-nya (Johnson 1980). Satwaliar tidak menggunakan seluruh
kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa
bagian secara selektif. Adapun pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan
oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan
menghindari predator (Morris 1987).
a
b
Gambar 11 (a) Sumber air dan (b) perbatasan dengan kebun sawit
18
Komponen habitat yang terdapat di dalam CA Dungus Iwul diantaranya
adalah sumber air yang tersedia sepanjang hari (Gambar 11a), cover sebagai
pelindung dan berkembang biak, shelter sebagai tempat bermain dan aktivitas
sosial. Fungsi cover terlihat dengan adanya pohon-pohon besar dan tinggi dengan
tajuk yang lebar yang digunakan sebagai pohon tidur dan berlindung ketika
adanya ancaman. Hal ini terlihat ketika penelitian monyet ekor panjang selalu
menggunakan pohon yang memiliki tajuk lebar sebagai pohon tidur. Selain itu
fungsi cover didukung juga oleh kondisi lantai hutan yang rapat dengan
banyaknya tumbuhan rotann berduri. Kondisi ini menjadi faktor pembatas
susahnya mengikuti pergerakan monyet ekor panjang. Alikodra (2002)
mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen,
baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai
tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak
satwaliar. Selanjutnya Bolen dan Robinson (2003) menjelaskan cover digunakan
sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung dari panas, hujan,
angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.
Fungsi shelter didukung dengan adanya tumbuhan iwul. Tumbuhan iwul
(Orania sylvicola) memiliki kerapatan tinggi dengan tajuk yang