Analisis Bahaya Dan Risiko Tanah Longsor Dan Hubungannya Dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN
HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BOGOR

WINDA DIAH PUSPASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bahaya dan Risiko
Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor,

April 2016

Winda Diah Puspasari
NRP A156140194

RINGKASAN
WINDA DIAH PUSPASARI. Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan
Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BOEDI TJAHJONO.
Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan kondisi morfologi
wilayah yang bervariasi, sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan
pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung
api yang mempunyai sifat meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan
batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah
hujan yang tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas
agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol,
Podsolik dan Andosol. Kondisi fisik wilayah yang berpotensi terjadi longsor dan

bencana longsor yang terus meningkat memerlukan analisis bahaya dan risiko
longsor untuk mempertimbangkan pola ruang wilayah.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis dan memetakan bahaya
(hazard) longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor dari
kejadian longsor yang ada; (2) Menganalisis risiko bencana longsor berdasarkan
keterkaitan antara penggunaan lahan, RTRW dan Bahaya Longsor; (3)
Merumuskan arahan sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor.
Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut
dan analisa AHP-SWOT. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan skor dan bobot untuk setiap
parameter, yang selanjutnya di klasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot,
maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap kejadian longsor, begitu juga
sebaliknya. Analisis spasial dan atribut meliputi pembuatan peta suseptibilitas,
peta bahaya longsor dan peta risiko longsor. Analisa AHP-SWOT dilakukan
untuk strategi pengendalian longsor.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki: (1)
kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah
sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya
rendah (33.68%) untuk daerah yang dianalisis; (2) kelas risiko longsor terbesar

berada pada kelas risiko rendah (55.95%) untuk daerah yang dianalisis; (3)
Strategi pengendalian longsor untuk arahan prioritas pertama adalah membuat
pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan
menerapkannya dengan lebih teliti dan ketat dalam memberikan ijin penggunaan
lahan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan
bidang pengawasan jika ada perubahan penggunaan lahan terutama di daerah
rawan longsor
Kata kunci: longsor, bahaya, penataan ruang, AHP, SWOT.

SUMMARY
WINDA DIAH PUSPASARI. Analysis Of Landslide Hazards And Risk And
Connection With Spatial Planning Area Bogor Regency. Supervised by DWI
PUTRO TEJO BASKORO and BOEDI TJAHJONO.
Bogor Regency is area with varying morphology conditions, mostly in the
form of high land, hills and mountains with rock constituent dominated by
volcanic eruption that has relatively high rain absorbing capacity. This rock type
is relatively vulnerable to soil movement when it is splash by high rainfall. The
soil is dominatly formed by loose volcanic materials which are susceptible to
erosion, such as Latosol, Alluvial, Regosol, Podsolic and Andosol. This physical
condition with highly landslides potential as well as the keep increasing landslides

occurence makes an analysis of landslide hazard and risk is required.
The purpose of this study are : (1) to analyze and map landslide hazard area
based on determinant factors of existing landslide disaster, (2) to analyze risk of
landslides based on the correlation between land use, spatial planning and
landslide hazard, (3) to formulate a spatial plan arrangement as an attempt to
minimize the impact of landslide disaster.
The methods used in this study are spatial analysis, attribute analysis and
AHP-SWOT analysis. Spatial and attribute analysis were conducted by utilizing
Geographic Information Systems (GIS) with the scores and weights for each
parameter, which is further classified into five classes, namely very low, low,
moderate, high, and very high class. The higher the score and the weight, the
higher the impact of the landslide cases, and vice versa. Spatial and attribute
analysis included the mapping of susceptibility, the mapping of landslide hazard
and the mapping of lanslide risk. AHP-SWOT analysis done for landslides control
strategies.
The results of the study showed that the Bogor Regency has: quite varieable
classes of landslide hazard, ranging from low to very high class, of which low
class occupies the largest portion (33.68%); in term of landslide risk low occupies
a largest porstion (55.95%) of the analyzed area; the priority to control landslide
to revise spatial pattern by taking in to account landslide hazard, apply more

carefully and strictly permission for landuse alocation, help community to care
more obout environment at change and provide supervision if there is any landuse
change especially in the landslides hazards.
Key words : landslide, hazard, Bogor regency, AHP, SWOT

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN
HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BOGOR

WINDA DIAH PUSPASARI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

PRAKATA
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu
wa ta’ala karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Bahaya dan Risiko
Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing
dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,
dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang juga
dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,
dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr Khursatul Munibah, M.Sc, selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Wilayah IPB
4. Dr Ir Baba Barus, M.Sc, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.
5. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti
studi.
6. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada penulis.
7. Bapak Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah,
serta Kepala Dinas Pengawasan Bangungan dan Permukiman Kota Bogor
yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil untuk

mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
8. Mama Bapak Ibu terkasih serta Suami dan Putra Putri tercinta yang telah
memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan
kekuatan yang besar kepada penulis.
9. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang
juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik
moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan
penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan
manfaat.

Bogor, April 2016
Winda Diah Puspasari
NRP A156140194

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Pemikiran
Kerangka Pemikiran

1
1
3

4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Longsor
Ruang dan Penataan Ruang
Analisis Faktor
Analytical Hierachy Process (AHP)
Analisis A’WOT
Sistem Informasi Geografis
Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

5
5
10
12
12
13
14

16

BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor
Analisis Risiko Longsor
Arahan Penataan Ruang

17
17
17
18
24
27

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian
Rencana Tata Ruang Wilayah

31
31
37

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor
Analisis Risiko Longsor
Arahan Penataan Ruang

39
39
48
52

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

62
62
63

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Tabel 28
Tabel 29
Tabel 30
Tabel 31

Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor
Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik
analisis, dan keluaran
Skor parameter suseptibilitas longsor
Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor
Klasifikasi kelas kerentanan longsor
Klasifikasi kelas kapasitas longsor
Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas
Klasifikasi kelas risiko longsor
Skala pembobotan AHP
Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP
Matriks strategi hasil analisis SWOT
Urutan/ranking strategi pengendalian longsor
Sebaran Luasan Satuan Tanah
Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab
longsor
Total Variance Explained
Hasil komponen parameter
Pembobotan parameter suseptibilitas longsor
Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor
Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor
Klasifikasi kelas bahaya longsor
Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada
masing-masing kecamatan
Perhitungan validasi peta bahaya longsor
Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)
berdasarkan kelas bahaya longsor.
Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor
Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan
lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)
Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor
Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan
Kelas Kapasitas
Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor
Strategi
pengendalian
longsor
untuk
memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor
Hasil pembobotan komponen SWOT
Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor

3
19
22
24
25
25
26
27
28
30
30
31
36
39
41
41
42
42
44
44
47
48
52
53
54
55
55
56
58
59
60

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran
Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)

5
6
7

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)
Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)
Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen
penyebabnya (Karnawati 2005)
Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor)
Gambar 8 Bagan Alir Penelitian
Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor
Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor
Gambar 11 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran curah hujan di
Kabupaten Bogor
Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor
Gambar 13 Luas (ha) dan Luas persentase (%) kemiringan lereng di
Kabupaten Bogor
Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor
Gambar 15 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran geologi di
Kabupaten Bogor
Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor
Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor
Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di
Kabupaten Bogor
Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor
Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey
Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor
Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten
Bogor
Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor
Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten
Bogor
Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya
longsor eksisting
Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan
Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan
Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor

8
8
10
17
20
29
32
32
33
33
34
35
35
36
37
39
40
43
43
45
45
48
49
50
51

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data hasil survey lapangan
Lampiran 2 Foto-foto hasil survey
Lampiran 3 Kuesioner untuk mendapatkan data Analisis A’WOT (dalam
penentuan
strategi
pengendalian
longsor
untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor)
Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor
Lampiran 5 Perhitungan kelas bahaya longsor

68
70

72
81
82

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis,
klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan
dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus
dalam bidang ekonomi namun sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara
geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu Lempeng
Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia
kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang
sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana, seperti gempa, tsunami, dan
gerakan tanah/longsor (BNBP 2012).
Secara morfografis Indonesia mempunyai banyak daerah dengan
potensi terjadinya bencana longsor. Bencana tersebut mengancam penduduk
yang tinggal di lembah atau lereng bawah gunungapi dan pengunungan
terutama pada lereng yang terjal. Pada daerah berlereng terjal dengan struktur
batuan tidak kompak perlu diwaspadai terutama jika terjadi hujan lebat atau
hujan beberapa hari, karena dapat diperkirakan bencana longsor dapat terjadi
(Asriningrum 2001).
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Bencana ini
berkaitan dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan,
kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat
menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak,
penggundulan hutan, pembangunan permukiman dengan topografi yang curam
( Pramita et. al, 2014)
Tanah longsor yang banyak terjadi di Indonesia terjadi pada topografi terjal
dengan sudut lereng 15o – 45o dan pada batuan vulkanik lapuk dengan intensitas
hujan sangat lebat (> 100 mm/hari). Faktor-faktor lain yang dapat memicu
terjadinya tanah longsor adalah : kondisi geologi, kondisi tataguna lahan, aktivitas
manusia dan kegempaan ( Prawiradisastra 2013).
Data kejadian bencana di Indonesia tahun 2014 menurut laporan BNBP
menyebutkan ada 248 jiwa orang tewas akibat longsor. Jumlah ini hampir dua per
tiga dari korban tewas akibat bencana di Indonesia selama 2014. Bencana tanah
longsor selalu berulang setiap tahun. Di Indonesia ada sekitar 40.9 juta jiwa
penduduk yang terpapar bahaya longsor pada tingkat sedang hingga tinggi.
Masyarakat terpapar adalah masyarakat beserta perumahan, sistem, atau elemen
lain yang berada pada zona bahaya dan berujung pada potensi
kerugian. Bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan,
dan curah hujan yang makin ekstrem menyebabkan risiko longsor semakin tinggi.
Data kejadian longsor memiliki korelasi positif dengan pola hujan, dimana
sebagian besar bulan Januari adalah puncak kejadian longsor. Wilayah di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah provinsi yang paling banyak
mengalami bencana longsor. Daerah yang berulang mengalami longsor adalah
Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Bandung Barat, Tasikmalaya,
Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar, Wonosobo, Temanggung, Cilacap,

2
Grobogan, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Malang, Jember,
dan lainnya sering terjadi longsor (BNBP 2014).
Kondisi iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah
terutama di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata
curah hujan tahunan 2 500 – 5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan
sebagian kecil wilayah timur yang mempunyai curah hujan kurang dari 2 500
mm/tahun. Sementara itu suhu rata-rata tiap bulan adalah 20o - 30oC, dengan ratarata tahunan sebesar 25oC.
Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi
wilayah yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga pegunungan
di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke
utara. Klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta prosentasenya terhadap luas
seluruh wilayah Kabupaten Bogor menurut RTRW adalah sebagai berikut:
Dataran rendah (15 - 100 m dpl) sekitar 29.28 %, merupakan kategori
ekologi hilir
Dataran bergelombang (100 - 500 m dpl) sekitar 42.62 %, merupakan
kategori ekologi tengah
Pegunungan (500 – 1 000 m dpl) sekitar 19.53 %, merupakan kategori
ekologi hulu
Pegunungan tinggi (1 000 – 2 000 m dpl) sekitar 8.43 %, merupakan
kategori ekologi hulu
Puncak-puncak gunung (2 000 – 2 500 m dpl,) sekitar 0.22 %, merupakan
kategori ekologi hulu
Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa perbukitan dan
pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan
gunungapi, terdiri dari batuan andesit, tufa, dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini
relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang
tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan
sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan
Andosol (Perda Kabupaten Bogor 2008).
Dampak perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat di kawasan puncak
dan sekitarnya selama 10 tahun terakhir terhadap kelestarian lingkungan semakin
nyata. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh peningkatan suhu udara di kawasan
Bogor, fluktuasi aliran sungai Ciliwung yang tinggi dan keruhnya sungai-sungai
yang bermuara di wilayah ini. Salah satu akibat perubahan ini adalah terjadinya
gerakan tanah, khususnya longsoran dangkal (shallow landslide). Gerakan tanah
berkaitan langsung dengan berbagai sifat alami seperti : struktur geologi, bahan
induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non
alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur ( Barus
1999)
Curah hujan memicu tanah longsor termasuk tanah longsor dangkal yang
telah mengakibatkan kerusakan sejumlah harta benda serta korban jiwa manusia.
Karakterisasi curah hujan yang memicu tanah longsor telah digunakan untuk
membangun hubungan antara curah hujan dan tanah longsor di berbagai belahan
dunia termasuk tanah longsor dangkal (Hasnawir 2012).

3
Perumusan Masalah
Kabupaten Bogor sudah memiliki peta bahaya longsor yang seharusnya
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pola ruang
wilayah. Kenyataan yang ada pada wilayah yang mempunyai kondisi longsor
paling tinggi direncanakan sebagai perumahan padat penduduk dan belum ada
analisis untuk meminimumkan besarnya bahaya longsor tersebut. Selain itu Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor juga sudah melakukan
antisipasi kejadian longsor dengan memasang alat untuk tanda bahaya di beberapa
lokasi yang mengalami pengulangan kejadian longsor sehingga diharapkan bisa
mengurangi jumlah korban jiwa jika ada kejadian longsor. Meskipun sudah ada
peta bahaya longsor dan alat pendeteksi longsor dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata jumlah kejadian tanah longsor di
Kabupaten Bogor tetap saja meningkat. Kejadian longsor yang terus meningkat
dapat dilihat pada laporan kejadian longsor pada BPBD Kabupaten Bogor yang
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor
No
1
2
3
4
5

Jenis Kejadian

Jumlah Kejadian Bencana
Tahun 2012
2013
2014
74
95
161
22
32
43
166
225
374
140
101
96

Tanah Longsor
Banjir
Kebakaran
Angin ribut/kencang
Lain-lain
(kekeringan,
67
0
tenggelam, tersambar petir, dll
Sumber : BPBD Kabupaten Bogor (Tahun 2013, 2014, 2015)

55

Mengingat frekuensi longsor di Kabupaten Bogor cukup tinggi, maka
penelitian terhadap longsor masih tetap diperlukan terutama dengan menggunakan
pendekatan baru yang disesuaikan dengan kondisi lokasi bencana tanah longsor
yang sudah terjadi. Pengamatan langsung di lapangan diperlukan untuk
mendapatkan data untuk analisis determinan faktor bahaya tanah longsor.
Determinan faktor yang baru digunakan sebagai bahan pembuatan peta bahaya
tanah longsor yang hasilnya diharapkan lebih mendekati dengan kondisi aktual
lapangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
pokok dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Belum diketahui dan dipetakan bahaya (hazard) tanah longsor di
Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor.
2. Belum diketahuinya besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan
antara penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan
bahaya longsor.
3. Belum diketahuinya arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor
berdasarkan analisis bahaya tanah longsor.

4
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor dan diharapkan mampu
memperbaiki pemanfaatan ruang dan pengendalian longsor. Dari uraian tersebut
di atas selanjutnya dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana peta bahaya (hazard) tanah longsor di Kabupaten Bogor
berdasarkan determinan faktor?
2. Berapa besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara
penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan bahaya
longsor?
3. Bagaimana arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor
berdasarkan analisis bahaya tanah longsor?
Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, berikut
dirumuskan tujuan dari penelitian ini:
1. Menganalisis dan memetakan bahaya (hazard) longsor di Kabupaten
Bogor berdasarkan determinan faktor dari kejadian longsor yang ada.
2. Menganalisis besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara
penggunaan lahan, RTRW, dan bahaya longsor.
3. Merumuskan arahan untuk menekan dampak dari bencana longsor.
Manfaat Pemikiran
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Memberikan informasi tentang sebaran bahaya tanah longsor kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
2. Membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam memikirkan
perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang
ke depan.
Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang tanah longsor di Jawa Barat secara umum dan Kabupaten
Bogor secara khusus sudah ada dengan menggunakan skoring dan pembobotan
dari literatur yang berbeda-beda. Berbagai hasil penelitian akan digunakan untuk
membuat pembobotan dan parameter baru sebagai dasar pembuatan peta bahaya
tanah longsor di Kabupaten Bogor.
Kejadian tanah longsor di Kabupaten Bogor pada musim penghujan tampak
semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan banyak kerugian,
baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa. Hal ini
menggambarkan bahwa penanganan bahaya tanah longsor di Kabupaten Bogor
belum tertangani secara optimal. Peta bahaya longsor yang ada di Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata belum dapat
menurunkan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor. Penelitian ini di tahap
awal bermaksud membuat data dan informasi terkait bahaya tanah longsor dengan
pendekatan baru berdasarkan kondisi lokasi kejadian longsor yang sudah terjadi
sehingga diharapkan bisa memberikan hasil optimal.
Tahap selanjutnya menilai tingkat inkonsistensi penggunaan lahan terhadap
peta pola ruang yang ada untuk merumuskan cara meminimalkan kerugian jika

5
terjadi tanah longsor. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk
merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik.
Secara skematis kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram
alir Gambar 1.
Data bencana longsor BPBD :
Determinan faktor

Kondisi Fisik Wilayah :
Curah hujan, tanah, geologi, kemiringan lereng

Tingginya tingkat kerentanan
masyarakat (sosial, ekonomi,
fisik, lingkunga)

Aktivitas manusia :
Perubahan penggunaan lahan

BAHAYA LONGSOR

Rendahnya tingkat
kapasitas wilayah

RISIKO LONGSOR
(Kerugian ekonomi, fisik dan
lingkungan)

Tindakan Pencegahan/
antisipasi

Penyediaan data dan informasi mengenai :
Peta bahaya longsor, peta risiko longsor, tingkat konsistensi penggunaan lahan dengan
peruntukkan lahan, serta keterkaitan penataan ruang dengan bahaya dan risiko longsor

Upaya menekan dampak akibat bencana
dengan merumuskan arahan penataan
ruang yang aman dan nyaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Longsor
Definisi Tanah Longsor
Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material, bergerak ke bawah atau
keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana
terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar
daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan
batuan dan kepadatan tanah, sedangkan daya pendorong dipengaruhi oleh
besarnya sudut lereng, air, beban, serta berat jenis tanah dan batuan. Proses
terjadinya tanah longsor berawal dari air yang meresap ke dalam tanah dan

6
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan
di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng (Nandi 2007). Menurut
Permen PU No.22/PRT/M/2007, longsor adalah suatu proses perpindahan massa
tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari
massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk
rotasi dan translasi.
Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor
(landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah
perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan
massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas
umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga
kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan
aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa
tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas
manusia (Hardiyatmo 2006).
Tipe-tipe Longsor
Karakteristik gerakan massa/longsor pembentuk lereng dapat dibagi menjadi
lima macam (Gambar 2), yang meliputi: jatuhan (falls), robohan (topples),
longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows) (Curden and Varnes, 1996
dalam Hardiyatmo, 2006)
a. Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau
batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material
yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi
pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai
bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan batuan dapat terjadi
pada semua jenis batuan dan umumnya terjadi akibat oleh pelapukan,
perubahan temperatur, tekanan air, atau penggalian/penggerusan bagian
bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada
Gambar 3.

.
Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran

7
b. Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada
lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidangbidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan
jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang
berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang
menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan.
c. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang
diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih
bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecahpecah.
Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua
jenis, (Gambar 4) yaitu:
Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional
(rotasional slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan
sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan.
Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material yang relatif
homogen seperti timbunan buatan (tanggul). Longsoran rotasional dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran (slips), longsoran
rotasional berganda (multiple rotational slides), dan penggelinciran
berurutan (successsive slips).

Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)
Longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional
(translational slides), merupakan gerakan di sepanjang diskontuinitas

8
atau bidang lemah yang terjadi sejajar dengan permukaan lereng,
sehingga bentuk gerakan tanah berjalan secara translasi. Longsoran
translasional dibedakan menjadi: longsoran blok translasional
(translational block slides), longsoran pelat (slab), longsoran translasi
berganda (multiple translational slides), dan longsoran sebaran
(spreading failurse).

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)
d. Sebaran (spreads) yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran
lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan
turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak dibawahnya.

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)
e. Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan
mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif
sempit. Material yang terbawa aliran dapat terdiri dari berbagai macam
partikel tanah (termasuk batu besar), kayu-kayuan, ranting dan lain-lain.
Beberapa istilah yang membedakan tipe-tipe aliran, yaitu: aliran tanah (earth
flow), aliran lumpur/lanau (mud flow), aliran debris (debris flow) dan aliran
longsoran (flow slide), seperti ditunjukan oleh Gambar 5.

9
Faktor-Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum
(2012) sebagai berikut :
1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi;
Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya
pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan retak dan merekah.
Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke
bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan
dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan
lateral dan terjadi longsoran.
2. Area yang mempunyai lereng/tebing yang terjal;
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong
sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.
3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal;
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap
pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan
mudah pecah ketika hawa terlalu panas.
4. Memiliki batuan yang kurang kuat;
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan
merupakan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya
merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi
tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan
terhadap tanah longsor.
5. Jenis tata lahan yang rawan longsor;
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan
perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat
butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air,
oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk
daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang
longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Adanya pengikisan;
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu,
penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing
menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.
7. Merupakan area bekas longsoran lama;
Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut :
adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda
umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena
tanahnya gembur dan subur
adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah
adanya tebing-tebing yang relatif terjal
adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran
kecil

10
8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras);
Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang
luncuran tanah longsor dan memiliki ciri:
bidang perlapisan batuan
bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat
bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan
yang tidak melewatkan air (kedap air)
bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat
Karnawati (2005), menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan
tanah secara skematik seperti pada Gambar 6. Menurut Karnawati (2005), faktorfaktor pengontrol gerakan tanah merupakan fenomena alam yang mengkondisikan
suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng
tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang
berpotensi untuk bergerak, baru akan bergerak apabila terdapat suatu gangguan
yang memicu terjadinya gerakan massa tanah (dapat berupa faktor alamiah
maupun non alamiah).
Penyebab gerakan

Faktor-faktor
pengontrol
STABIL

Geomorfologi
Geologi
Tanah
Geohidrologi
Tata guna lahan

Pemicu gerakan
RENTAN
(SIAP
BERGERAK)

Infiltrasi air ke
dalam lereng
Getaran
Aktivitas manusia

KRITIS

TERJADI
GERAKAN
TANAH

Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen
penyebabnya (Karnawati 2005)
Ruang dan Penataan Ruang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Pasal 1 menyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan
dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan
pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.

11
Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang menyatakan Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Menurut Suranto (2008) potensi bencana alam tanah longsor merupakan
salah satu pertimbangan yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama
diperlukan dalam proses penyusunan tata ruang baik pada tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan Pedoman Penataan Ruang dan
Pengembangan Kawasan, untuk keperluan perencanaan wilayah dan kota pada
tingkat nasional perlu disusun suatu “kriteria nasional” untuk kawasan rawan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan kawasan rawan bencana :
a. yang mutlak “harus” dihindari untuk pemanfataan apapun
b. yang masih dapat dikembangkan yang bergradasi dengan memanfaatkan
konsep mitigasi.
Berdasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, bahwa kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung
yang perlu dijaga untuk melindungi manusia dan berbagai kegiatannya dari
bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan
manusia. Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah merupakan kawasan yang
diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan
gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Sebagai salah satu upaya
pengendalian kawasan lindung, maka pada kawasan rawan bencana dilarang
melakukan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Dengan
tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam
kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta
kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
Hal tersebut menjadi sangat penting, sehingga seluruh proses dan
prosedur penataan ruang wilayah dan kota di Indonesia harus mempertimbangkan
aspek kebencanaan dan konsep mitigasi bencana. Pada saat ini upaya manajemen
bencana longsor di Indonesia masih menitikberatkan pada tahap “saat terjadi
bencana” dan “pasca bencana” saja, sehingga untuk ke depan peran dan fungsi
penataan ruang sebagai aspek mitigasi bencana sebenarnya menjadi sangat
strategis berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Pertimbangan tersebut sebagai upaya untuk mencegah atau paling tidak
dapat meminimalkan korban yang diakibatkan oleh adanya bencana (Karnawati,
2005).

12
Analisis Faktor
Menurut Supranto (2010) analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai
berikut :
1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying
dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.
2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak
berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan
suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat
selanjutnya.
3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu
set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam
analisis multivariat selanjutnya.
Analytical Hierachy Process (AHP)
Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang
menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak
tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah
alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan pengambilan keputusan yang kompleks dengan menggunakan
struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif
(Triantaphyllou dan Mann 1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP
digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara
kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas diantara beberapa
alternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam
penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap
tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar memahami
situasi yang sedang ditelaah.
Makkasau (2012) mengemukakan AHP adalah prosedur yang berbasis
matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut
kualitatif dimana atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam
satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode
pengambilan keputusan lainnya lebih ditekankan karena adanya struktur yang
berhirarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai kepada sub-sub
kriteria yang paling mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai
dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih
oleh para pengambil keputusan (Saaty 1980).
Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah
data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas
permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP
ini. Disamping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau
2012).

13
Analisis A’WOT
Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di
Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT. Metode
A’WOT adalah gabungan (integrasi) antara AHP (Analytical Hierarchy Process)
dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) yang
dikembangkan untuk perencanaan hutan di Finlandia (Kangas et al. 1996 dalam
Johan 2011). Menurut Leskinen et al. (2006) A’WOT merupakan metode yang
menunjukan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat diverifikasi dan
digunakan selanjutnya untuk menyusun strategi.
Analisis AHP maupun analisis SWOT lazim digunakan untuk merumuskan
kebijakan. Bila dilihat dari subjektifitasnya maka analisis AHP lebih baik dari
analisis SWOT. Oleh karena itu, dengan menggabungkan kedua teknik analisis
AHP dan SWOT diharapkan dapat saling menyempurnakan dan meminimalkan
tingkat subjektifitas dari suatu kebijakan yang dihasilkan (Rosdiana 2011)
Menurut Nasdan et al. (2008) metode SWOT disebut juga sebagai metode
analisis situasi yang digolongkan ke dalam faktor lingkungan internal (Kekuatan
dan Kelemahan) atau sering dikatakan dampak secara langsung dan faktor
eksternal (Peluang dan Ancaman) atau dampak secara tidak langsung. Kedua
faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan
kekuatan serta dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Matriks
SWOT dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki (Rangkuti 2009).
Dalam analisis SWOT agar keputusan lebih tepat, maka perlu melalui
tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004):
1. Tahapan evaluasi faktor eksternal dan internal
Tahapan ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman dengan analisis data yang relevan dalam penelitian.
2. Tahapan Analisis yaitu dengan pembuatan matrik internal dan matrik
eksternal SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan eksternal
merupakan kunci keberhasilan pembangunan (Key Success Factor/KSF) yang
memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai dengan 1 (sangat penting).
Bobot KSF ini ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan
(urgensi) antar KSF. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian
diberi peringkat/rating (R) dimana menunjukkan nilai dukungan masingmasing faktor dalam pencapaian tujuan. Pemberian rating dimulai dari 5
(sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh) dan 1 (Kurang berpengaruh). Bobot
faktor dan ratting akan menentukan skor (BxR) yang menunjukan nilai
dukungan terhadap pencapaian tujuan. Selanjutnya dilakukan perhitungan
selisih skor dalam setiap faktor SWOT sehingga diperoleh total skor faktor
internal dan eksternal. Hal ini akan dijadikan sebagai penentuan posisi
strategi pengembangan pada posisi kuadran tertentu pada kuadran strategi
SWOT dalam penetapan bobot.
3. Tahapan pengambilan keputusan
Tahapan pengambilan keputusan dalam strategi SWOT dihasilkan dari
penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO),
penggunaan kekuatan untuk menghadapi ancaman (ST), pengurangan

14
kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan
kelemahan untuk menghadapi ancaman yang ada (WT).
Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis
SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berapa bobot antara
masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam
komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi
mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT
dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang
berkompeten.
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses, dan output) data spasial
atau data yang bereferensi geografis. (Setiadi 2013).
Menurut Setiadi (2013) SIG mempunyai beberapa kemampuan, yaitu :
a. Memetakan Letak
Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk mencari dimana letak
suatu daerah, benda, atau lainnya di permukaan bumi. Fungsi ini dapat
digunakan seperti untuk mencari lokasi rumah, mencari rute jalan, mencari
tempat-tempat penting dan lainnya yang ada di peta.
b. Memetakan Kuantitas
Pemetaan penyebaran kuantitas dapat mencari tempat-tempat yang sesuai
dengan kriteria yang diinginkan dan digunakan untuk pengambilan keputusan,
ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-masing tempat tersebut.
c. Memetakan Kerapatan
Pemetaan kerapatan dapat dengan mudah membagi konsentrasi
daerah kedalam uni-unit yang lebih mudah untuk dipahami dan seragam,
misalkan dengan memberikan warna yang berbeda pada daerah-daerah yang
memiliki konsentrasi tertentu. Pemetaan kerapatan ini biasanya digunakan
untuk data-data yang berjumlah besar seperti sensus penduduk.
d. Memetakan apa yang ada di luar dan di dalam suatu area
SIG digunakan juga untuk memonitor apa yang terjadi dan keputusan apa
yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada pada suatu area dan apa
yang ada diluar area.
Menurut Prahasta (2005) kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi
analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat
dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut (basis
data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan
basisdata (DBMS) dan perluasannya, yaitu :
1. Operasi dasar basisdata yang mencakup :
a. Membuat basis data baru (create database)
b. Menghapus basis data (drop database)
c. Membuat tabel basis data ( create table)
d. Menghapus tabel basis data (drop tale)
e. Mengubah, meng-edit dan menghapus data yang ada di tabel

15
2. Perluasan operasi basisdata :
a. Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain
(export dan import).
b. Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.
c. Dapat menggunakan bahasa basisdata standart SQL (structured query
language)
Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri
dari:
1. Klasifikasi (reclassify) : fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data
spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan
kriteria tertentu.
2. Overlay : fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data
spasial yang menjadi masukkannya.
3. Buffering : fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk
poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi
masukannya.
SIG banyak dimanfaatkan dalam memetakan bahaya longsor di beberapa
daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Nurhayati (2009), memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rawan longsor
Kabupaten Cianjur. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi
intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor (peta-peta
kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan) diberi skor dan
bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk
memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat.
2. Rahmat (2010), memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di
Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka. Proses tumpang
susun dilakukan pada parameter penyebab longsor (peta geologi, peta curah
hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah) yang sebelumnya
telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan
spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi
hasil yang cukup baik.
3. Penelitian oleh Mukhlisin et al. (2010) memanfaatkan SIG dalam memetakan
bahaya longsor di Ulu Klang, Malaysia, yang merupakan wilayah yang
memiliki potensi tinggi terhadap kejadian longsor. Penggunaan SIG pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang tindih
(overlay) pada setiap parameter penyebab longsor di antaranya yaitu:
k