Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor
ANALISIS KERAWANAN TANAH LONGSOR DENGAN
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN
PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN BOGOR
ARDI CHANDRA YUNIANTO
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(2)
ANALISIS KERAWANAN TANAH LONGSOR DENGAN
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN
PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN BOGOR
ARDI CHANDRA YUNIANTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(3)
RINGKASAN
ARDI CHANDRA YUNIANTO. E34070072. Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan OMO RUSDIANA
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah berpotensi tanah longsor, hal ini disebabkan curah hujan Kabupaten Bogor yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi serta tidak tertib dan tidak tepatnya perencanaan tata ruang Kabupaten Bogor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya peningkatan bahaya tanah longsor. Peningkatan bahaya ini akan lebih diperparah bila masyarakat sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor di daerahnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang komprehensif untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan melakukan analisis terhadap kerawanan tanah longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan penyebaran kawasan rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor serta mengevaluasi pola ruang berdasarkan kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahan yang digunakan yaitu peta dasar Kabupaten Bogor dalam berbagai layer. Analisis kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) (2009), parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi (batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah. Setiap jenis parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Pola ruang Kabupaten Bogor kemudian dievaluasi berdasarkan Peta Kerawanan Tanah Longsor tersebut.
Berdasarkan model pendugaan kerawanan tanah longsor BBSDLP (2009) diperoleh tiga kelas kerawanan longsor di Kabupaten Bogor yaitu kelas kerawanan longsor rendah dengan luas 94991 Ha (31,7%) meliputi 33 kecamatan, kelas kerawanan longsor sedang dengan luas 173309 Ha (57,8%) meliputi 36 kecamatan dan kelas kerawanan longsor tinggi dengan luas 31127 Ha (10,396%) meliputi 28 kecamatan.
Hasil evaluasi pola ruang menunjukkan bahwa beberapa kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi, sehingga tidak tepat apabila dijadikan permukiman. Selain itu juga ditemukan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor, dimana kawasan konservasi maupun hutan lindung yang berfungsi untuk melindungi lingkungan disekitarnya dari bencana tanah longsor, pada kenyataannya telah beralih fungsi menjadi pemukiman, kebun, sawah maupun ladang dan tegalan. Kata kunci : Kerawanan tanah longsor, penutupan lahan, pola ruang
(4)
SUMMARY
ARDI CHANDRA YUNIANTO. E34070072. Landslide Vulnerability Analysis With Applications of Geographic Information Systems (GIS) and Remote Sensing in Bogor Regency. Under supervision of LILIK BUDI PRASETYO and OMO RUSDIANA
Bogor Regency is one of the area with high landslide potential due to rainfall. High population growth and inappropriate spatial planning in Bogor regency were factors which led to increase risk of landslide. This risk would be more aggravated when community was completely unaware of and not responsive to the potential for landslides in the area. Related to this issue, it requires a comprehensive effort to reduce the risk of landslides, such as analysis of the vulnerability to landslides. The purpose of this study was to map the distribution of landslide prone areas in Bogor Regency and to evaluate the spatial pattern based on the landslide vulnerability in Bogor Regency.
The research was conducted in July - September 2011, with study sites for observation and data collection in Bogor, West Java. The materials used in the research are the images and maps of Bogor Regency in various layers. Landslide vulnerability was analysed based on the prediction model from Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development (ICALRD 2009). The parameters used to determine the level of vulnerability were the land cover, soil type, land slope, rainfall, geological formations and the vulnerability of ground motion. Each type of map was classified based on the scores, weighted and overlaid. Bogor Regency spatial pattern was then evaluated based on the Landslide Vulnerability Map.
Analysis based on the ICALRD (2009) Model of Vulnerability Landslide Prediction resulted in three classes of vulnerability to landslides in Bogor Regency, i.e. class of low vulnerability to landslides with an area of 94.991 ha (31.7%) covering 33 districts, class of middle vulnerability to landslides with an area of 173.309 ha (57.8% ) covering 36 districts and classes of high vulnerability to landslides with an area of 31.127 ha (10.396%) covering 28 districts.
Results of the evaluation of spatial pattern indicated that some designated residential areas were located in areas with high vulnerability to landslides, which was not appropriate for uses as residential area. In addition, the evaluation also found utilization of areas which violated the designated spatial plan of Bogor Regency, in which conservation and protected forest areas with the function to protect the surrounding environment from landslide had been converted to residential area, plantations, ricefield and farm.
(5)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai Karya Ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Ardi Chandra Yunianto E34070072
(6)
Judul Skripsi : Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor
Nama : Ardi Chandra Yunianto
NIM : E34070072
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc
NIP.19620316 198803 1 002 NIP.19630119 198903 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP.19580915 198403 1 003
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang termuat dalam bentuk peta mengenai daerah rawan tanah longsor dan memberikan peringatan sedini mungkin/antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya tanah longsor sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa maupun kerugian materi yang akan ditimbulkan dan juga membantu pemerintah dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga besar harapan adanya kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya
Bogor, Desember 2011
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 19 Oktober 1989 sebagai anak pertama dari pasangan Sudarmono dan Eti Yuniarsih. Pendidikan formal yang ditempuh penulis, yaitu pendidikan Sekolah Dasar di SDN Panaragan I Bogor, lulus pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 4 Bogor, lulus pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 5 Bogor, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan organisasi mahasiswa, salah satunya yaitu Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM “Tarsius”) HIMAKOVA (2008-2011).
Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Pangandaran-SM Gunung Sawal, Jawa Barat (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2010). Selain itu juga penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur (2011).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kerawanan Tanah Longsor Dengan
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Dan Penginderaan Jauh Di Kabupaten
Bogor” di bawah bimbingan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr. Ir. Omo
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing pertama dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan arahan, motivasi dan bimbingan selama penelitian serta penyusunan dan penulisan skripsi.
2. Dr. Ir. Istomo, MS selaku Dosen Penguji dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi selaku Ketua sidang atas saran dan masukannya.
3. Semua Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dan mengajarkan banyak ilmu kepada penulis.
4. Papa, Mama, Adik-adikku yang selalu memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materiil.
5. Keluarga kecilku; Istriku tercinta Dewanti Pratiwi dan anakku Kenzie Byantoro Prawiandra yang selalu memberikan semangat, cinta dan kasih sayang.
6. Teman-teman Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan atas canda dan tawa serta pengalaman selama kuliah dan penelitian.
7. Keluarga Besar KSHE 44 “KOAK” yang memberi warna selama perkuliahan, organisasi dan penelitian.
8. Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Bogor dan BBSDLP (Balai Besar Penelitiang dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) atas data-data dan informasi yang diberikan.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
1.3 Manfaat... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Tanah Longsor ... 4
2.1.1 Definisi Tanah Longsor ... 4
2.1.2 Penyebab Tanah Longsor ... 4
2.1.3 Jenis-jenis Tanah Longsor ... 5
2.1.4 Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor ... 6
2.1.5 Penanggulangan Bencana Tanah Longsor ... 7
2.2 Penginderaan Jauh ... 8
2.3 Sistem Informasi Geografis ... 8
2.3.1 Definisi SIG ... 8
2.3.2 Komponen SIG ... 9
2.3.3 Cara Kerja SIG... 10
2.4 Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor... 11
BAB III METODE PENELITIAN ... 13
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 13
3.3 Metode Penelitian ... 13
3.3.1 Pengumpulan Data ... 13
3.3.2 Penyiapan Data ... 14
3.3.2.1 Pengolahan Data Spasial ... 14
3.3.3 Analisis Data ... 14
3.3.3.1 Analisis Kerawanan Bencana Tanah Longsor ... 14
3.3.3.2 Evaluasi Pola Ruang ... 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1 Parameter Pemicu Tanah Longsor ... 20
4.1.1 Letak, Luas dan Batas Wilayah ... 20
4.1.2 Iklim dan Curah Hujan ... 22
4.1.3 Jenis Batuan ... 24
4.1.4 Jenis Tanah ... 26
4.1.5 Kemiringan Lahan ... 30
(11)
4.1.7 Kerentanan Gerakan Tanah ... 35
4.2 Analisis Kerawanan Tanah longsor ... 37
4.2.1 Model Pendugaan Bencana Tanah longsor ... 37
4.2.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor ... 38
4.3 Analisis Tata Ruang ... 42
4.3.1 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor pada Peruntukan Ruang Permukiman ... 45
4.3.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi & Lindung ... 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 55
5.1 Kesimpulan ... 55
5.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
(12)
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Daftar Jenis Data Dasar ... 13
2. Klasifikasi Curah Hujan ... 15
3. Klasifikasi Jenis Batuan ... 16
4. Skor Parameter Kemiringan Lahan ... 16
5. Kondisi Penutupan Lahan... 17
6. Klasifikasi Kondisi Tanah ... 17
7. Klasifikasi Zona Kerentanan Gerakan Tanah ... 18
8. Intensitas dan Distribusi Curah Hujan ... 22
9. Jenis dan Distribusi Batuan ... 24
10. Jenis dan Distribusi Tanah ... 28
11. Luas dan Distribusi Kelas Kemiringan Lahan ... 30
12. Tipe dan Distribusi Penutupan Lahan ... 32
13. Luas dan Distribusi Zona Kerentanan Gerakan tanah... 35
14. Interval Skor Kelas Kerawanan Tanah longsor ... 38
15. Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Tanah Longsor ... 39
16. Zonasi RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 ... 43
17. Kawasan permukiman yang berada pada kerawanan longsor tinggi ... 46
18. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor Pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi & Lindung ... 52
(13)
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Bagan Alir Penelitian ... 19
2. Peta Administrasi Kabupaten Bogor ... 21
3. Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor ... 23
4. Peta Jenis Batuan Kabupaten Bogor ... 25
5. Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor ... 29
6. Peta Kemiringan Lahan Kabupaten Bogor ... 31
7. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor ... 33
8. Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Bogor ... 36
9. Peta Kerawanana Tanah Longsor Kabupaten Bogor ... 40
10. Peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 ... 44
11. Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor Pada Peruntukan Ruang Permukiman ... 47
12. Peta Distribusi Kawasan Rawan Tanah longsor pada Peruntukan Ruang Kawasan Konservasi dan Kawasan Lindung ... 54
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia merupakan Negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu: lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Proses dinamika lempeng yang cukup intensif telah membentuk relief permukaan bumi yang khas dan cukup bervariasi, dari wilayah yang landai sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah dan tsunami hingga wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi (Sadisun 2005).
Tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar (Suripin 2002). Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang diakibatkan bencana tanah longsor mencapai Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar satu juta jiwa (Nandi 2007).
Seperti halnya banjir, tanah longsor merupakan bencana alam yang dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan tingginya curah hujan. Karena faktor kadar air tersebut merupakan hal yang cukup dominan, maka longsor sering terjadi di musim hujan serta kawasan dengan curah hujan tinggi. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah berpotensi tanah longsor, hal ini salah satunya disebabkan curah hujan Kabupaten Bogor yang cukup tinggi. Daerah potensi longsor umumnya merupakan daerah di tepi pegunungan terjal ataupun daerah aliran sungai yaitu di sekitar tebing sungai (KLH 2007). Adapun elemen-elemen lain yang ikut berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor adalah jenis tanah, faktor geologi, penutupan lahan, faktor kegempaan dan kemiringan lahan (Purnamasari 2007).
Potensi bencana tanah longsor ini diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul yang memicu peningkatan kerentanannya. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi merupakan salah satu contoh nyata. Dinamika
(15)
Kabupaten Bogor yang akan mencapai penduduk di atas lima juta jiwa pada tahun-tahun mendatang tentu membawa konsekuensi terhadap pemenuhan sarana prasarana dasar, infrastruktur dan jenis kegiatan baru lainnya. Sehingga akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak selayaknya dihuni. Tidak tertib dan tidak tepatnya perencanaan tata ruang Kabupaten Bogor sebagai inti dari permasalahan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya peningkatan bahaya tanah longsor.
Peningkatan bahaya ini akan lebih diperparah bila masyarakat sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor di daerahnya. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama ini telah banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat baik korban jiwa maupun material sebagai akibat dari perpaduan bahaya tanah longsor dan kompleksitas permasalahan lainnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang komprehensif untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan melakukan kegiatan migitasi yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana dengan melakukan analisis terhadap kerawanan tanah longsor.
Penginderaan jauh merupakan teknologi yang mampu melakukan pemantauan dan identifikasi di permukaan bumi secara cepat. Sedangkan sistem informasi geografis (SIG) dapat memberikan informasi yang tidak dapat diidentifikasi oleh penginderaan jauh seperti jenis tanah, curah hujan maupun kemiringan lereng. Informasi penginderaan jauh dan SIG dapat digabungkan (overlay), sehingga dapat digunakan untuk menentukan daerah rawan longsor. Pembobotan masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor (Purnamasari 2007). Informasi akhir dari proses tersebut akan menghasilkan peta sebaran daerah rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak terkait.
(16)
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memetakan penyebaran kawasan rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor.
2. Mengevaluasi pola ruang berdasarkan kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bogor.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi yang termuat dalam bentuk peta mengenai daerah rawan tanah longsor dan memberikan peringatan sedini mungkin/antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya tanah longsor sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa maupun kerugian materi yang akan ditimbulkan dan juga membantu pemerintah dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
(17)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Longsor
2.1.1 Definisi Tanah Longsor
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material laporan yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan bebatuan dan kepadatan tanah. Sedangkan daya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta jenis tanah batuan. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut : air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng (Nandi 2007).
2.1.2 Penyebab Tanah Longsor
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas
(18)
normal, susut air cepat, banjir, aliran air bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke arah lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban masa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Sedangkan menurut Sadisun (2005) faktor-faktor penyebab tanah longsor adalah kondisi morfologi (sudut, lereng, relief), kondisi geologi (jenis batuan/tanah, karakteristik keteknikan batuan/tanah, proses pelapukan, bidang-bidang diskotinuitas seperti perlapisan dan kekar, permeabilitas batuan/tanah, kegempaan dan vulkanisme), kondisi klimatologi seperti curah hujan, kondisi lingkungan /tata guna lahan (hidrologi dan vegetasi) dan aktivitas manusia (penggemburan tanah untuk pertanian dan perladangan dan irigasi).
2.1.3 Jenis-jenis Tanah Longsor
Nandi (2007) mengklasifikasikan tanah longsor menjadi enam jenis yaitu : 1. Longsoran Translasi
Jenis longsoran ini berupa gerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk merata atau menggelombang landai.
2. Longsoran Rotasi
Jenis ini merupakan bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata.
(19)
Runtuhan batuan terjadi ketika sejumlah besar batuan atau mineral lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai.
5. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenal. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah miring ke bawah.
6. Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika masa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air serta jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa mencapai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.
2.1.4 Bahaya Bencana Tanah Longsor
Menurut Nandi (2007) banyak yang ditimbulkan akibat terjadinya tanah longsor baik dampak terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan maupun dampaknya terhadap keseimbangan lingkungan.
Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang ditimbulkannya akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tanda-tanda akan terjadinya tanah longsor.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya tanah longsor terhadap kehidupan adalah sebagai berikut :
a. Bencana longsor banyak menelan korban jiwa
b. Terjadinya kerusakan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan dan sebagainya.
(20)
c. Kerusakan bangunan-bangunan seperti gedung perkantoran dan perumahan penduduk serta sarana peribadatan.
d. Menghambat proses aktivitas manusia dan merugikan baik masyarakat yang terdapat di sekitar bencana maupun pemerintah.
Adapun dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan akibat terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut :
a. Terjadinya kerusakan lahan. b. Hilangnya vegetasi penutup lahan. c. Tergangunya keseimbangan ekosistem.
d. Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis.
e. Terjadinya tanah longsor dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.
2.1.5 Penanggulangan Bencana Tanah Longsor
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) salah satu upaya untuk menghadapi tanah longsor adalah dengan manajemen bencana. Manajemen bencana yaitu upaya mitigasi bencana dalam upaya menekan korban jiwa seminimal mungkin, baik itu bencana gempa bumi, gunung api maupun tanah longsor. Manajemen bencana meliputi sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.
Sebelum terjadi bencana cara yang ditempuh antar lain mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) pada suatu daerah secara optimal dan terus-menerus, sehingga masyarakat tahu bahwa mereka berada di daerah rawan bencana, sehingga langkah-langkah sederhana dan praktis dapat mereka lakukan dalam keadaaan gawat darurat.
Saat terjadi bencana, bagaimana dia dapat menyelamatkan diri dan ke arah mana, kapan ini harus dilakukan, semua ini harus diketahui masyarakat di daerah rawan bencana.
Sesudah terjadi bencana, dalam tahap recovery atau pemulihan, masyarakat harus tahu dan dilibatkan sebagai subyek untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pemulihan. Sehingga pada tahap ini, yang pada umumnya sulit dikoordinasikan dapat dengan mudah dilaksanakan. Sosialisasi
(21)
dan penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bahaya tanah longsor. Sosialisasi ini diharapkan dapat mengubah budaya masyarakat di daerah rawan bencana supaya lebih waspada dan peduli. Paling tidak mereka sadar bahwa mereka berada di daerah rawan bencana.
2.2 Penginderaan Jauh
Lo (1995) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diiinterpretasikan guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lain.
2.3 Sistem Informasi Geografis 2.3.1 Definisi SIG
Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Aronoff (1989) dalamPrahasta (2001) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bersifat rutgeografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. Selain itu, Barus (1999) mengatakan bahwa SIG sebagai sarana untuk menyimpan, menggali dan memanipulasi data serta menghasilkan produk. SIG banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran.
Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannnya dalam menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format dan tingkat ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran dapat dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam pemetaan
(22)
bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpangtindihkan longsoran dalam unit peta terrtentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif (Barus 1999).
2.3.2 Komponen SIG
Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.
Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominana membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada tiga kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).
Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
1. Perangkat keras
SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC (personal computer) desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (hard disk) yang besar dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,
(23)
2. Perangkat lunak
SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratudan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.
3. Data dan Informasi Geografi
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari Tabel-Tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika diatur dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.
2.3.3 Cara Kerja SIG
SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik, garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.
SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basis data. Kemudian SIG membentuk dan menyimpannya dalam Tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur diatas dengan Tabel-Tabel bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses
(24)
melalui atributnya. Karena itu, unsur tersebut dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya didalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basis data merupakan hal yang esensial didalam SIG. Rancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG (Prahasta 2001).
2.4 Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor
Sistem informasi geografis saat ini telah banyak berkembang dan digunakan untuk berbagai hal dalam berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut dikarenakan penggunaannya yang cukup mudah untuk dipelajari dan prosesnya cukup cepat. SIG dapat diterapkan dalam bidang perencanaan (permukiman, transmigrasi, rencana tata ruang wilayah, perencanaan kabupaten, relokasi industri dan pasar), bidang kependudukan dan demografi, bidang lingkungan dan pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi pengendapan lumpur atau sedimen baik di sekitar danau, sungai/pantai, pemodelan pencemaran udara, limbah berbahaya), bidang sumberdaya alam (inventarisasi manajemen dan kesesuaian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tat guna lahan dan analisis daerah bencana alam) dan lain-lain (Prahasta 2001).
Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Adapun diantaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu tanah longsor maupun banjir., yaitu identifikasi dan pemetaan kawasan rawan bencana tanah longsor dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) (Studi kasus Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut). Di daerah sekitar Gunung Mandalawangi tipe penutupan lahan yang terluas adalah tegalan (3.860,29 Ha/47,99%) dari tujuh tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah penelitian. Enam diantaranya adalah hutan, kebun campuran, sawah, permukiman, semak belukar dan tanah kosong. Parameter yang digunakan dalam penentuan
(25)
kawasan rawan bencana tanah longsor terdiri dari 5 parameter yaitu : penggunaan lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan dan kemiringan lereng. Berdasarkan parameter tersebut diperoleh peta kerawanan tanah longsor yang dibagi menjadi empat kelas yaitu kelas kerawanan tanah longsor sangat rendah (408,96Ha/5,08%), kelas kerawanan tanah longsor rendah (2.340,63Ha/29,10%), kelas kerawanan tanah longsor menengah (4.901,95Ha/60,93%) dan kelas kerawanan tanah longsor tinggi (392,02Ha/4,89%). Model penggunaan yang digunakan dalam menentukan kerawanan tanah longsor adalah bersumber dari PVMBG tahun 2004 (Febriana 2004).
(26)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor, Peta Jenis Batuan Kabupaten Bogor, Peta Kemiringan Lahan Kabupaten Bogor, Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Bogor, Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor, Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor dan Peta RTRW Kabupaten Bogor. Program yang digunakan adalah Arc GIS 9.3 dan MS. Office serta satu set komputer, Printer, GPS receiver, kamera dan alat tulis.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam proses penelitian terdiri dari beberapa jenis data dasar berupa peta seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar Jenis Data Dasar
No. Jenis Data Sumber Data Keterangan
1. Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000
2. Peta Jenis Batuan Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000
3. Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000
4. Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000
5. Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000 6. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Bappeda Skala 1 : 25.000
7. Peta RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 Bappeda Skala 1 : 25.000
Selain itu diperlukan data atribut berupa GCP (Ground Control Point) dari GPS yang menyatakan posisi suatu lokasi atau kondisi di permukaaan bumi dalam
(27)
bentuk koordinat atau data pengamatan lapang berupa titik-titik sebaran lokasi bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor.
3.3.2 Penyiapan Data
3.3.2.1 Pengolahan Data Spasial
Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data analog dan data digital. Data analog berupa Peta Jenis Tanah, Peta Curah Hujan dan Peta Geologi. Sedangkan yang berupa data digital adalah Peta Kerentanan Gerakan Tanah, Peta Penutupan Lahan, Peta Kemiringan Lahan dan Peta RTRW Kabupaten Bogor.
Dalam pengolahan tahap awal setiap data harus dijadikan peta digital. Data analog berupa Peta Jenis Tanah, Peta Geologi serta Peta Curah Hujan diolah dan masing-masing dijadikan peta digital format vektor. Peta digital format vektor
merupakan salah satu jenis data masukan yang disimpan dalam bentuk garis, titik dan poligon. Proses pemasukan data-data dilakukan melalui seperangkat komputer dengan software Arc GIS 9.3. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai data acuan penelitian.
3.3.3 Analisis Data
3.3.3.1 Analisis Kerawanan Bencana Tanah Longsor
Berdasarkan model pendugaan BBSDLP (2009), parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah longsor adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi (batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah.
Analisis kerawanan tanah longsor dilakukan setelah peta-peta tematik yaitu Peta Curah Hujan, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta Kemiringan Lahan, Peta Kerentanan Gerakan Tanah dan Peta Penutupan Lahan wilayah tersebut tersedia dan siap dalam bentuk peta digital. Setiap jenis peta tersebut dilakukan klasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Overlay tersebut dilakukan dengan menggunakan software Arc GIS 9.3. Pada proses overlay setiap parameter memiliki klasifikasi skor yang dikalikan dengan bobot masing-masing parameter, kemudian hasil perkalian skor dan bobot tersebut dijumlahkan.
(28)
Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh BBSDLP (2009). Skor dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor akan timbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor yang akan terjadi.
Dalam penentuan skor curah hujan, BBSDLP (2009) membagi menjadi lima kelas, semakin besar curah hujan yang turun maka semakin tinggi skor curah hujan tersebut seperti tercantum pada Tabel 2. Curah hujan yang turun akan mempengaruhi kondisi air tanah, tanah yang kandungan air tanahnya meningkat maka akan meningkat massanya dan semakin rendah tingkat kepadatan dan kekompakannya.
Hermawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik/mekanik tanah yang tidak baik, sehingga pada saat musim hujan telah terjadi air tinggi sehingga dapat menimbulkan peningkatan tekanan air tanah (pore water pressure), penurunan kekuatan dan tahanan geser tanah akan menyebabkan longsoran.
Tabel 2 Klasifikasi curah hujan (mm/tahun)
Kelas Parameter Bobot Skor
Curah Hujan (mm/tahun) 20%
a. Sangat Basah (>=4000) 5
b. Basah (3001-4000) 4
c. Sedang (2001-3000) 3
d. Kering (1001-2000) 2
e. Sangat Kering (<1000) 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Jenis bahan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen dan karst serta batuan alluvial. Menurut Wilopo dan Agus (2005) batuan alluvial merupakan batuan hasil endapan proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor rendah. Batuan sedimen dan karst merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak memiliki rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat tahan air sehingga menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau
(29)
dapat berfungsi sebagai imbuhan air. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor sedang. Sedangkan batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan. Jenis ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor tinggi. Skoring dan pembobotan pada tiap jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi jenis batuan
Kelas Parameter Bobot Skor
Kepekaan terhadap longsor 25%
a. Kepekaan terhadap longsor tinggi 5
b. Kepekaan terhadap longsor sedang 3
c. Kepekaan terhadap longsor rendah 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Dalam bencana tanah longsor, faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh, semakin tinggi dan semakin tegak lereng maka kemungkinan terjadinya longsoran semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh garvitasi bumi. Skor dan bobot parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Skor parameter kemiringan lahan
Kelas Parameter Bobot Skor
Kemiringan Lahan (%) 20%
a. >45 5
b. 25-45 4
c. 15-25 3
d. 8-15 2
e. <8 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air serta kekuatan ikatan partikel tanah. Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga kekompakkan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Permukiman memiliki andil yang lebih kecil karena limpasan air lebih banyak terjadi di banding genangan dan resapan karena sifat permukaan yang kedap air baik kondisi tanah permukaan maupun karena penutup tanah berupa beton atau sejenisnya. Tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa menjaga
(30)
stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakkan partikel tanah (Rahmat 2010). Skor dan bobot parameter penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kondisi penutupan lahan
Kelas Parameter Bobot Skor
Tutupan Lahan 10%
a. Tegalan, sawah 5
b. Semak belukar 4
c. Hutan dan perkebunan 3
d. Permukiman 2
e. Tambak, waduk, perairan 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Penentuan skor jenis tanah dilakukan berdasarkan tingkat kepekaan terhadap longsor jenis tanah tersebut, semakin peka terhadap longsor maka semakin tinggi skor yang diberikan. Tingkat kepekaan terhadap longsor berhubungan dengan tingkat kemampuan tanah menahan dan melepaskan air yang masuk, tanah dengan permeabilitas sangat lambat sangat kuat menahan air yang masuk dan sangat sulit untuk melepaskannya, hal itu akan menyebabkan tanah menahan beban yang lebih besar dan apabila curah hujan semakin tinggi serta tanah tersebut berada pada wilayah yang memiliki topografi yang terjal sampai sangat curam maka longsor kemungkinan besar terjadi. Secara umum tingkat permeabilitas tanah berbanding terbalik dengan kepekaan terhadap erosi, semakin lambat permeabilitasnya maka semakin peka terhadap erosi (Rahmat 2010). Skor dan bobot parameter kondisi tanah dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Klasifikasi kondisi tanah
Kelas Parameter Bobot Skor
Kepekaan terhadap longsor 10%
a. Kepekaan terhadap longsor tinggi 5
b. Kepekaan terhadap longsor sedang 3
c. Kepekaan terhadap longsor rendah 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Penentuan skor kerentanan gerakan tanah ditentukan berdasarkan kerentanan terhadap gerakan tanah. Hal ini berhubungan dengan letak suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif. Suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif memiliki kerentanan gerakan tanah yang tinggi dimana gerakan tanah tersebut dapat memicu terjadinya tanah longsor. Skor dan bobot parameter kerentanan gerakan tanah dapat dilihat pada Tabel 7.
(31)
Tabel 7 Klasifikasi zona kerentanan gerakan tanah
Kelas Parameter Bobot Skor
Kerentanan gerakan tanah 15%
a. Zona kerentanan gerakan tanah sangat tinggi 5
b. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi 4
c. Zona kerentanan gerakan tanah menengah 3
d. Zona kerentanan gerakan tanah rendah 2
e. Sungai 1
Sumber : BBSDLP (2009)
Model yang digunakan untuk menganalisis kerawanan longsor adalah model pendugaan yang mengacu pada penelitian BBSDLP (2009) dengan formula sebagai berikut :
SKOR TOTAL = 0,2FCH+0,25FJB+0,2FKL+0,1FPL+0,1FJT+0,15FKT
Keterangan : FCH = Faktor Curah Hujan FJB = Faktor Jenis Batuan FKL = Faktor Kemiringan Lereng
FPL = Faktor Penutupan Lahan
FJT = Faktor Jenis Tanah
FKT = Faktor Kerentanan Gerakan Tanah 0,25;0,2;0,1 = Bobot Nilai
Skor hasil akhir overlay dibagi menjadi tiga kelas kerawanan longsor yaitu : rendah, sedang dan tinggi berdasarkan nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) jumlah skor akhirdengan penentuan selang skor :
Kerawanan sedang : Nilai rata-rata (Mean) ± standar deviasi (SD) Kerawanan rendah : Nilai minimum - <= Skor Kerawanan sedang Kerawanan tinggi : >= Skor Kerawanan sedang – Nilai maksimum
3.3.3.2 Evaluasi Pola Ruang
Evaluasi pola ruang dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian peruntukkan ruang dengan karakteristik kawasan berdasarkan kerawanan tanah longsornya serta untuk melihat kesesuaian antara peruntukkan ruang sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor dengan pemanfaatan ruang secara riil yang terjadi di lapangan. Evaluasi ini dilakukan dengan melakukan analisis overlay
antara Peta Kerawanan Tanah Longsor dengan Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dan Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor.
(32)
Gambar 1 Bagan Alir Penelitian. Peta
RTRWK Kabupaten
Bogor
Evaluasi Pola Ruang Overlay
Penilaian bobot/Scoring
Overlay
Analisis Data
Peta Kerawanan Longsor Peta Kemiringan
Lereng
Klasifikasi Kemiringan Lahan
Peta Geologi Digital
Klasifikasi Jenis Batuan
Peta Jenis Tanah Digital
Klasifikasi Jenis Tanah
Peta Curah Hujan Digital
Klasifikasi Curah Hujan
Peta Penutupan Lahan
Klasifikasi Penutupan Lahan
Klasifikasi Kerentanan Gerakan tanah Peta Kerentanan
(33)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Pemicu Tanah Longsor 4.1.1 Letak, Luas dan Batas Wilayah
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota RI dan secara geografis, Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan Ibukota Cibinong yang terletak antara 6.190– 6.470 lintang selatan dan 106.10– 107.1030 bujur timur.
Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar 299.428 Ha dan merupakan wilayah administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, yaitu Babakan Madang, Bojong Gede, Caringin, Cariu, Ciampea, Ciawi, Cibinong, Cibungbulang, Cigombong, Cigudeg, Cijeruk, Cileungsi, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, Citeureup, Dramaga, Gunung Putri, Gunung Sindur, Jasinga, Jongggol, Kemang, Klapanunggal, Leuwiliang, Leuwisadeng, Megamendung, Nanggung, Pamijahan, Parung, Parung Panjang, Rancabungur, Rumpin, Sukajaya, Sukamakmur, Sukaraja, Tajurhalang, Tamansari, Tanjungsari, Tenjo dan Tenjolaya.
Menurut BP4K (2011) Kabupaten Bogor memiliki jumlah total desa/kelurahan paling banyak di Provinsi Jawa Barat yaitu berjumlah 428 desa / kelurahan (200 desa/kelurahan termasuk dalam klasifikasi perkotaan sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan). Pada posisi pemetaan, batas wilayah Kabupaten Bogor dapat diuraikan sebagai berikut :
Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) Timur Laut : Berbatasan dengan Kabupaten Kabupaten Bekasi
Barat Daya : Berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang (Provinsi Banten) Utara : Berbatasan dengan Kota Depok dan Jakarta
Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
(34)
(35)
4.1.2 Iklim dan Curah Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk tipe A (Sangat Basah) untuk bagian selatan sedangkan bagian barat termasuk tipe B (Basah). Suhu udara berkisar antara 200– 300 C, sementara suhu rata-rata tahunan sekitar 250 C. Curah hujan tahunan berkisar antara 2.500 – 5.000 mm/tahun, kecuali sebagian kecil di bagian Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta dengan Curah Hujan yang kurang dari 2.500 mm. Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor pegunungan yang mengelilingi Kabupaten Bogor, antara lain Gunung Gede, Pangrango, Halimun dan Salak. Angin musim yang membawa awan hujan di sekitar gunung-gunung tersebut akan menjatuhkan hujan dengan intensitas serta ketinggian curah hujan mengikuti bentang alamnya. Hal itu akan menyebabkan tingginya curah hujan di wilayah yang semakin dekat dengan gunung (BP4K 2011).
Sebagai salah satu parameter untuk menentukan wilayah rawan longsor, factor-faktor curah hujan seperti besarnya curah hujan, intensitas hujan dan distribusi curah hujan akan menentukan seberapa besar peluang terjadinya longsor dan dimana longsor itu akan terjadi. Intensitas dan distribusi curah hujan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 3.
Tabel 8 Intensitas dan distribusi curah hujan
Curah Hujan (mm/tahun) Luas (Ha)
2000-<3000 21573
3000-<4000 110409
>= 4000 167445
Total (Ha) 299428
Sumber : Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor
Berdasarkan klasifikasi curah hujan BBSDLP, Kabupaten Bogor memiliki tiga kelas curah hujan yaitu 2000-3000 mm/tahun, 3000-4000 mm/tahun dan >4000 mm/tahun. Curah hujan dengan intensitas 2000-3000 mm/tahun memiliki luasan wilayah terkecil yaitu 21573 Ha (7%). Curah hujan dengan intensitas 3000-4000 mm/tahun memiliki luasan wilayah 110409 Ha ( 37%). Curah hujan dengan intensitas >4000 mm/tahun memiliki luasan wilayah terbesar yaitu 167445 Ha (56%).
(36)
(37)
4.1.3 Jenis Batuan
Secara geologi Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan struktur batuan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pegunungan disekitarnya. Sifat-sifat teknis batuan berbeda-berda tergantung pada asal usulnya. Secara umum sifat-sifat teknis batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral, kekar/bentuk gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca dan sedimentasi/rekatan (Rahmat 2010).
Berdasarkan klasifikasi BBSDLP (2009) klasifikasi formasi batuan di Kabupaten Bogor berdasarkan asal bentukannya dibagi menjadi tiga yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen dan karst serta batuan alluvial. Formasi batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor tinggi. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan gunung api muda, gunung api tua dan batuan intrusi.
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor sedang. Batuan sediamen terdiri atas satuan batuan tersier dan gamping.
Batuan alluvial merupakan batuan hasil endapan proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Batuan ini memiliki sifat kepekaan terhadap longsor rendah. Satuan batuan alluvial yang terdapat di Kabupaten Bogor yaitu bataun endapan permukaan. Jenis dan distribusi batuan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 4.
Tabel 9 Jenis dan distribusi batuan
Jenis Batuan Luas (Ha)
Batu gamping 7297
Batuan intrusi 8863
Batuan tersier 20462
Endapan permukaan 71858
Gunung api muda 142389
Gunung api tua 48559
Total (Ha) 299428
(38)
(39)
Berdasarkan hasil tabulasi jenis batuan seperti tertera pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jenis batuan gunung api muda merupakan jenis yang paling dominan dengan luasan 142389 Ha (48%) sedangkan jenis batuan gamping merupakan jenis yang memiliki luasan terkecil yaitu 7297 Ha (2%). Luas jenis batuan lainnya antara lain batuan intrusi 8863 Ha (3%), batuan tersier 20462 Ha (7%), batuan endapan permukaan 71858 Ha (24%) serta batuan gunung api tua 48559 Ha (16%).
4.1.4 Jenis Tanah
Jenis tanah di Kabupaten Bogor antara lain alluvial, podsolik, andosol, litosol, latosol, regosol dan grumosol serta perpaduan diantaranya jenis-jenis tanah tersebut seperti yang terdapat pada beberapa wilayah. Jenis serta distribusi jenis tanah di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 5. Klasifikasi dan deskripsi jenis tanah di Kabupaten Bogor menurut BP4K (2011) dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Tanah Alluvial
Terbentuk dari hasil sedimentasi erosi tanah dengan bahan Aluvial dan Koluvial. Secara umum tergolong ke dalam sub group entisols terbentuk pada daerah dengan bentuk fisiografi dataran banjir. Sifat-sifat tanahnya kemudian banyak dipengaruhi oleh jenis bahan endapan tersebut. Tanah jenis ini memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap longsor.
b. Tanah Podsolik
Ketebalan Solum antara 50 – 180 cm, dengan batasan horison yang nyata warna merah kuning dengan strukur lempung berpasir Osol hingga liat. Jenis tanah ini bersifat gembur dan mempunyai perkembangan penampang. Cenderung tidak seberapa mantap dan teguh, peka terhadap pengikisan. Tanah jenis ini memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap longsor.
c. Tanah Andosol
Jenis tanah ini terdapat pada tofografi datar, bergelombang dan berbukit. Jenis tanah ini umumnya berwarna hitam, memiliki penampang yang berkembang, dengan horizon-A yang tebal, gembur dan kaya bahan
(40)
organik. Batuan asal adalah andesit, tufa andesit dan dasit. Sifat fisiknya baik, dengan kelulusan sedang serta peka terhadap erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor. d. Tanah Latosol
Ketebalan jenis tanah ini antara 130 – 500 mm, batas horizon jelas, warna merah, coklat sampai kuning, pH tanah 4.5 – 6.5 dengan tekstur tanah liat dan struktur renah, daya menahan air cukup baik dan agak tahan menahan erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan rendah terhadap longsor.
e. Grumosol
Tanah grumusol atau margalith adalah tanah yang terbentuk dari material halus berlempung. Jenis tanah ini berwarna kelabu hitam dan bersifat subur, tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, NusaTenggara, dan Sulawesi Selatan. Tanah Grumusol pada umumnya dengan kadar liat lebih dari 30% bersifat mengembang dan mengerut, jika musim kering tanah keras dan retak-retak karena mengerut, jika musim basah tanah menjadi lengket. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor.
f. Regosol
Tanah Regosol, jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk abu dan pasir vulkan intermedier. Bentuk wilayahnya berombak sampai bergunung. Tanah Regosol belum jelas menempatkan perbedaan horizon-horizon. Tekstur tanah ini biasanya kasar, tanpa ada struktur tanah, konsistensi lepas sampai gembur dan keasaman tanah dengan pH sekitar 6-7. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor.
g. Litosol
Tanah Litosol, jenis tanah ini biasa disebut “laterit”. Penampang
umumnya tebal, tanah atasnya mengandung beberapa persen bahan organik. Berwarna coklat, kuning, hingga kemerahan. Bersifat berbutir, teguh, mantap, mengandung kaolinit, bersifat tidak plastis, dan dapat diolah pertanian sepanjang tahun. Jenis tanah ini bersifat meniris, tahan
(41)
terhadap erosi. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan rendah terhadap longsor.
h. Hidromorf
Tanah ini terbentuk akibat dari pelapukan batuan sedimen masam yang sering tergenang air vulkanik asam dan batu pasir. Tanah yang banyak ditemui di wliayah dataran rendah dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. Tanah jenis ini digolongkan kedalam jenis dengan kepekaan tinggi terhadap longsor.
Tabel 10 Jenis dan distribusi tanah
Jenis Tanah Luas (Ha)
Aluvial 28423
Andosol 3259
Assosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan 74666
Assosiasi andosol regosol 2979
Assosiasi latosol coklat latosol kekuningan 9190
Assosiasi latosol coklat latosol kemerahan 22296
Assosiasi latosol coklat regosol 22968
Assosiasi podsolik kuning hidromof kelabu 1921
Gromosol 15975
Komp latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol 45661
Komp latosol merah kekuningan podsolik merah kekuningan 9867
Podsolik merah kekuningan 32289
Podsolik kekuningan 11878
Podsolik merah 9990
Regosol 8065
Total (Ha) 299428
Sumber : Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenis tanah yang memiliki areal penyebaran terluas adalah asosiasi latosol merah latosol dan latosol coklat kemerahan yang meliputi luasan 74666 Ha (25%), jenis ini sedangkan jenis tanah yang memiliki areal penyebaran terkecil adalah asosiasi podsolik kuning dan
(42)
(43)
4.1.5 Kemiringan Lahan
Kemiringan lahan di Kabupaten Bogor bervariasi mulai dari datar sampai sangat curam. Variasi tersebut dipengaruhi oleh ketinggian tempat di Kabupaten Bogor yang juga bervariasi berkisar dari 15 mdpl pada dataran di bagian utara hingga lebih dari 2.500 mdpl pada puncak-puncak gunung di bagian selatan dengan monografi wilayah utara hingga selatan berturut-turut meliputi :
Dataran rendah (15 – 100 mdpl), sekitar 87672 Ha (29,28% dari luas wilayah).
Dataran bergelombang (100 – 500 mdpl), sekitar 139593 Ha (46,62% dari luas wilayah).
Pegunungan (500 – 1.000 mdpl), sekitar 58478 Ha (19,53% dari luas wilayah).
Pegunungan tinggi (> 1.000 mdpl), sekitar 25241 Ha (8,43% dari luas wilayah).
Secara umum wilayah Kabupaten Bogor mempunyai kemiringan relatif ke arah utara. Sungai-sungai mengalir dari daerah pegunungan di bagian selatan ke arah utara yang meliputi 6 Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Cidurian, Cimanceuri, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum. Dengan demikian wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah di sebelah utara (BP4K 2011). Berdasarkan hasil DEM (Digital Elevation Model) Kabupaten Bogor, didapatkan klasifikasi kemiringan lahan datar (kemiringan 0-8%), landai (kemiringan (8-15%), terjal (kemiringan 15-25%), curam (kemiringan 25-45%) dan sangat curam (kemiringan >45%). Luas dan distribusi masing-masing kelas kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 6.
Tabel 11 Luas dan distribusi kelas kemiringan lahan
Kemiringan Lahan (%) Luas (Ha)
0-8 165372
8-15 45058
15-25 43166
25-45 42269
>45 3564
Total (Ha) 299428
(44)
(45)
Wilayah dengan kemiringan lahan 0-8% (datar) memiliki areal penyebaran terluas dengan 165372 Ha (55%). Wilayah dengan kemiringan lahan 8-15% (landai) memiliki luas areal penyebaran sebesar 45058 Ha (15%). Wilayah dengan kemiringan lahan 15-25% (terjal) memiliki luas areal penyebaran sebesar 43166 Ha (14%). Wilayah dengan kemiringan lahan 25-45% (curam) memiliki luas areal penyebaran sebesar 42269 Ha (14%). Wilayah dengan kemiringan lahan >45% (sangat curam) merupakan wilayah yang memiliki areal penyebaran paling kecil yaitu sebesar 3564 Ha (1%), wilayah ini umumnya berada di tepi pegunungan ataupun daerah aliran sungai yaitu di sekitar tebing sungai.
Wilayah dengan lereng >45% (sangat curam) merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk terjadinya tanah longsor. Dalam bencana tanah longsor, faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh, semakin tinggi dan semakin tegak lereng maka kemungkinan terjadinya longsoran semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh gravitasi bumi.
4.1.6 Penutupan Lahan
Penutupan lahan di Kabupaten Bogor terbagi kedalam sembilan tipe yaitu : hutan, kebun, ladang/tegalan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang dan tubuh air (Bappeda 2010). Tipe dan distribusi penutupan lahan di Kabupaten bogor dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 7.
Tabel 12 Tipe dan distribusi penutupan lahan
Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha)
Hutan 43726
Kebun 64366
Ladang/Tegalan 33797
Permukiman 40773
Rawa 91
Sawah 61651
Semak/Belukar 52512
Tambak/Empang 21
Tubuh Air 2489
Total (Ha) 299428
(46)
(47)
Tipe penutupan lahan berupa hutan memiliki luasan 43726 Ha atau 14,6% dari luas Kabupaten Bogor. Kawasan hutan lebih terkonsentrasi di bagian selatan Kabupaten Bogor dan menempati daerah-daerah dengan kemiringan lereng datar hingga sangat curam. Kawasan hutan ini sangat vital dalam menjaga lingkungan disekitarnya dari bahaya tanah longsor.
Tipe penutupan lahan berupa permukiman memiliki luasan 40773 Ha (13,62%). Kawasan permukiman lebih terkonsentrasi di bagian utara dan tengah Kabupaten Bogor. Namun kawasan ini dapat ditemukan hampir diseluruh wilayah baik pada kemiringan lereng mendatar sampai sangat curam. Hal ini dikerenakan pesatnya perkembangan penduduk dan tekanan pembangunan yang demikian tinggi di Kabupaten Bogor yang membawa konsekuensi terhadap pemenuhan sarana prasarana dasar, infrastruktur dan jenis kegiatan baru lainnya. Sehingga akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak selayaknya dihuni. Banyaknya ruko ataupun permukiman penduduk yang didirikan di sepanjang sempadan sungai serta villa-villa yang dibangun di kawasan puncak pada lereng-lereng curam yang seharusnya menjadi kawasan lindung merupakan salah satu contoh nyata.
Tipe penutupan lahan lainnya yaitu berupa kebun 64366 Ha (21,5%), ladang/tegalan 33797 Ha (11,29%), tipe penutupan lahan berupa rawa 91 Ha (0,03%), tipe penutupan lahan berupa sawah 61651 Ha (20,59%), tipe penutupan lahan berupa semak/belukar 52512 Ha (17,54%), tambak/empang 21 Ha (0,01%) dan tipe penutupan lahan berupa tubuh air 2489 Ha (0,83%).
Tipe penutupan lahan berupa kebun dan sawah merupakan tipe penutupan paling luas yaitu 64366 Ha (21,5%) dan 61651 Ha (20,59%), sedangkan tambak/empang merupakan tipe penutupan lahan paling kecil yaitu 21 Ha (0,01%). Penutupan lahan di suatu wilayah erat hubungannya dengan kondisi ekonomi dan tipe masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berdasarkan uarain tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kabupaten Bogor berasal dari hasil mengelola kebun dan sawah mereka.
Menurut Rahmat (2010) kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air
(48)
serta kekuatan ikatan partikel tanah. Tipe penutupan lahan memiliki kontribusi yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan kondisi penutupan lahan tersebut seperti bentuknya berupa bangunan atau tanaman, jenis tanaman, sifat tanaman, luasan penutupan lahan serta lokasi dimana penutupan lahan itu berada adalah hal-hal yang berpengaruh dalam penentuan kerawanan wilayah.
Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga kekompakkan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Sedangkan tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakkan partikel tanah. Pada lahan dengan tipe penutupan lahan demikianlah tanah longsor seringkali terjadi.
4.1.7 Kerentanan Gerakan Tanah
Kerentanan gerakan tanah merupakan salah satu faktor yang ikut andil dalam proses terjadinya tanah longsor. Hal ini berhubungan dengan letak suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif, dimana suatu wilayah yang berada pada zona geologi aktif memiliki frekuensi gerakan tanah yang tinggi. Gerakan tanah dapat memicu terjadinya longsor terutama pada daerah yang berada di lereng-lereng curam. Semakin tinggi frekuensi gerakan tanah, maka semakin tinggi pula potensi terjadinya tanah longsor. Luas dan distribusi zona kerentanan gerakan tanah dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 8.
Tabel 13 Luas dan distribusi zona kerentanan gerakan tanah
Zona Kerentanan Gerakan Tanah Luas (Ha)
Sungai 1187
Zona kerentanan gerakan tanah menengah 118650
Zona kerentanan gerakan tanah rendah 86085
Zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah 59209
Zona kerentanan gerakan tanah tinggi 8972
Diluar zona 25325
Total (Ha) 299428
(49)
(50)
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa wilayah dengan kategori zona kerentanan gerakan tanah tinggi memiliki luas 8972 Ha atau 3% dari total luas Kabupaten Bogor, zona kerentanan gerakan tanah menengah yang merupakan kategori dengan wilayah terluas yaitu 118650 Ha (39,63%), zona kerentanan gerakan tanah rendah 86085 Ha (28,75%), zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah 59209 Ha (19,77%), sungai 1187 Ha (0,4 %) dan diluar zona 25325 Ha (8,46%). Zona kerentanan gerakan tanah tinggi merupakan wilayah yang paling berpotensi terjadinya tanah longsor mengingat tingginya frekuensi gerakan tanah di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah yang berada diluar zona menandakan wilayah tersebut tidak berada pada zona geologi aktif sehingga frekuensi gerakan tanah sangat jarang terjadi.
4.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor
4.2.1 Model Pendugaan Bencana Tanah Longsor
Pendugaan kawasan bencana tanah longsor dilakukan dengan menggunakan model pendugaan yang bersumber pada penelitian BBSDLP (2009). Berdasarkan model tersebut parameter yang digunakan untuk menduga kawasan rawan longsor meliputi parameter curah hujan, jenis batuan, jenis tanah, kemiringan lahan, penutupan lahan dan kerentanan gerakan tanah. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Parameter curah hujan mendapat bobot 20%, jenis batuan 25%, jenis tanah 10%, kemiringan lahan 20%, penutupan lahan 10% dan kerentanan gerakan tanah 15% dengan formula sebagai berikut :
SKOR TOTAL = 0,2FCH+0,25FJB+0,2FKL+0,1FPL+0,1FJT+0,15FKT
Keterangan : FCH = Faktor Curah Hujan FJB = Faktor Jenis Batuan FKL = Faktor Kemiringan Lereng
FPL = Faktor Penutupan Lahan
FJT = Faktor Jenis Tanah
FKT = Faktor Kerentanan Gerakan Tanah 0,25;0,2;0,1 = Bobot Nilai
(51)
Berdasarkan hasil analisis 6 parameter kerawanan tanah longsor dengan menggunakan model pendugaan BBSDLP (2009) diperoleh 3 kriteria kerawanan tanah longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kerawanan tanah longsor yang tersebar di Kabupaten Bogor terbentuk setelah penggabungan (overlay) semua parameter.
Interval kelas kerawanan longsor dibuat berdasarkan nilai rata-rata (Mean) dan standar deviasi (SD) jumlah skor akhirdengan penentuan selang skor :
Kerawanan sedang : Nilai rata-rata (Mean) ± standar deviasi (SD) Kerawanan rendah : Nilai minimum - <= Skor Kerawanan sedang Kerawanan tinggi : >= Skor Kerawanan sedang – Nilai maksimum Berdasarkan hasil analisis skor total hasil tumpang susun (overlay) parameter yang ada di lokasi penelitian diperoleh klasifikasi kelas kerawanan dengan interval skor masing-masing tingkat kerawanan dimana semakin tinggi total skor maka semakin tingggi tingkat kerawanan tanah longsor di wilayah tersebut seperti tercantum pada Tabel 14.
Tabel 14 Interval skor kelas kerawanan tanah longsor
Kelas Kerawanan Interval Skor
Rendah 105-299
Sedang 300-424
Tinggi 425-500
Sumber : Peta Kerawanan Tanah Longsor Kabupaten Bogor
4.2.2 Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor
Hasil analisis kerawanan tanah longsor dibagi kedalam tiga kelas kerawanan longsor yaitu wilayah dengan tingkat kerawanan rendah, sedang dan tinggi dengan Gambaran distribusi spasial dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta tingkat kerawanan tanah longsor dengan wilayah administrasi kecamatan Kabupaten Bogor dapat dilihat bahwa setiap kecamatan memiliki tingkat kerawanan serta luasan yang berbeda-beda seperti terlihat pada Tabel 15.
(52)
Tabel 15 Luas dan distribusi tingkat kerawanan tanah longsor
Kecamatan Luas Daerah Rawan
Luas Kecamatan
(Ha)
Rendah (Ha) Sedang (Ha) Tinggi (Ha)
Babakan Madang 1466 7463 315 9238
Bojong Gede 2830 0 0 2830
Caringin 0 4928 2843 7757
Cariu 4828 3666 81 8572
Ciampea 348 2960 21 3304
Ciawi 0 3630 1087 4717
Cibinong 4616 4 0 4620
Cibungbulang 956 2904 6 3845
Cigombong 0 2845 1998 4838
Cigudeg 2335 15551 129 17761
Cijeruk 0 2550 2198 4729
Cileungsi 7034 0 0 7034
Ciomas 15 1770 29 1814
Cisarua 0 7062 333 7394
Ciseeng 3963 168 0 4129
Citeureup 2656 4176 49 6881
Dramaga 663 1924 50 2637
Gunung Putri 6046 49 0 6095
Gunung Sindur 4895 67 0 4952
Jasinga 3647 10167 512 14308
Jonggol 6637 5825 1035 13489
Kemang 2909 458 0 3367
Klapanunggal 3780 5779 89 9607
Leuwiliang 78 7828 1256 9161
Leuwisadeng 527 2668 347 3540
Megamendung 0 5539 704 6243
Nanggung 754 12551 2891 16079
Pamijahan 17 7138 5415 12557
Parung 2574 0 0 2574
Parung Panjang 4085 3053 0 7132
Rancabungur 1836 430 0 2267
Rumpin 6870 6800 70 13736
Sukajaya 740 10595 4391 15646
Sukamakmur 1279 14278 1772 17016
Sukaraja 2705 1567 81 4352
Tajurhalang 3095 0 0 3095
Tamansari 9 2310 1114 3433
Tanjungsari 5052 10160 735 15946
Tenjo 5748 2849 0 8598
Tenjolaya 0 2569 1574 4135
Total (Ha) 94991 173309 31127 299428
(53)
(1)
56
Bangunan sehingga mempermudah dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
5. Perlu upaya pendekatan kepada masyarakat yang memanfaatkan lahan pada kawasan konservasi dan lindung agar bersedia untuk direlokasi dan penyediaan lokasi untuk relokasi yang lebih layak huni untuk kawasan permukiman dan aktivitas ekonomi masyarakat.
(2)
ANALISIS KERAWANAN TANAH LONGSOR DENGAN
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN
PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN BOGOR
ARDI CHANDRA YUNIANTO
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(3)
57
DAFTAR PUSTAKA
Barus B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik Peubah Tunggal Menggunakan SIG. Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 7-16. [BBSDLP] Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Identifikasi
dan Karakterisasi Lahan Rawan longsor dan Rawan Erosi di Dataran Tinggi untuk Mendukung Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Laporan Tengah Tahun, DIPA 2009. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
[BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Geografi Kabupaten Bogor. http://bp4k.bogorkab.go.id/. [11 September 2011].
Dardak AH. 2008. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Jakarta: LSKPI Press.
Febriana I. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hermawan DA. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Longsoran Pada Ruas Jalan Beton PC. IV PT. Badak NGL-Bontang, Kalimantan Timur. Geologi dan Sumberdaya mineral 10: 20-30.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Akhir Analisis Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku. Jakarta: KLH.
Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nandi. 2007. Longsor. Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. [PEMKAB] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2008. Peraturan Daerah
Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025. Bogor: Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika Bandung.
Purnamasari DC. 2007. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Evaluasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Banjarnegara (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan sekitarnya Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara) [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
(4)
58
[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana Tanah Longsor. http://pikiran-rakyat.com/cetak/2005/ 0305/22/0802.htm. [6 april 2011].
Rahmat AH. 2010. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten majalengka) [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta: Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta: Republik Indonesia.
Sadisun AI. 2005. Usaha Pemahaman Terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran Sebagai Langkah Awal Dalam Mitigasi Bencana Longsoran. Di dalam : Workshop Penanganan Bencana Gerakan Tanah. Bandung.
Suranto JP. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta: ANDI.
Wilopo W, Agus H. 2004. Bencana Alam Longsor di Indonesia : Kasus longsoran yang Terjadi di Kabupaten Purworejo dan Gunung Kidul. Yogyakarta: ANDI.
(5)
RINGKASAN
ARDI CHANDRA YUNIANTO. E34070072. Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan OMO RUSDIANA
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah berpotensi tanah longsor, hal ini disebabkan curah hujan Kabupaten Bogor yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi serta tidak tertib dan tidak tepatnya perencanaan tata ruang Kabupaten Bogor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya peningkatan bahaya tanah longsor. Peningkatan bahaya ini akan lebih diperparah bila masyarakat sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor di daerahnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang komprehensif untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan melakukan analisis terhadap kerawanan tanah longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan penyebaran kawasan rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor serta mengevaluasi pola ruang berdasarkan kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahan yang digunakan yaitu peta dasar Kabupaten Bogor dalam berbagai layer. Analisis kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) (2009), parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi (batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah. Setiap jenis parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Pola ruang Kabupaten Bogor kemudian dievaluasi berdasarkan Peta Kerawanan Tanah Longsor tersebut.
Berdasarkan model pendugaan kerawanan tanah longsor BBSDLP (2009) diperoleh tiga kelas kerawanan longsor di Kabupaten Bogor yaitu kelas kerawanan longsor rendah dengan luas 94991 Ha (31,7%) meliputi 33 kecamatan, kelas kerawanan longsor sedang dengan luas 173309 Ha (57,8%) meliputi 36 kecamatan dan kelas kerawanan longsor tinggi dengan luas 31127 Ha (10,396%) meliputi 28 kecamatan.
Hasil evaluasi pola ruang menunjukkan bahwa beberapa kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman berada pada daerah dengan kerawanan longsor tinggi, sehingga tidak tepat apabila dijadikan permukiman. Selain itu juga ditemukan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor, dimana kawasan konservasi maupun hutan lindung yang berfungsi untuk melindungi lingkungan disekitarnya dari bencana tanah longsor, pada kenyataannya telah beralih fungsi menjadi pemukiman, kebun, sawah maupun ladang dan tegalan. Kata kunci : Kerawanan tanah longsor, penutupan lahan, pola ruang
(6)
SUMMARY
ARDI CHANDRA YUNIANTO. E34070072. Landslide Vulnerability Analysis With Applications of Geographic Information Systems (GIS) and Remote Sensing in Bogor Regency. Under supervision of LILIK BUDI PRASETYO and OMO RUSDIANA
Bogor Regency is one of the area with high landslide potential due to rainfall. High population growth and inappropriate spatial planning in Bogor regency were factors which led to increase risk of landslide. This risk would be more aggravated when community was completely unaware of and not responsive to the potential for landslides in the area. Related to this issue, it requires a comprehensive effort to reduce the risk of landslides, such as analysis of the vulnerability to landslides. The purpose of this study was to map the distribution of landslide prone areas in Bogor Regency and to evaluate the spatial pattern based on the landslide vulnerability in Bogor Regency.
The research was conducted in July - September 2011, with study sites for observation and data collection in Bogor, West Java. The materials used in the research are the images and maps of Bogor Regency in various layers. Landslide vulnerability was analysed based on the prediction model from Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development (ICALRD 2009). The parameters used to determine the level of vulnerability were the land cover, soil type, land slope, rainfall, geological formations and the vulnerability of ground motion. Each type of map was classified based on the scores, weighted and overlaid. Bogor Regency spatial pattern was then evaluated based on the Landslide Vulnerability Map.
Analysis based on the ICALRD (2009) Model of Vulnerability Landslide Prediction resulted in three classes of vulnerability to landslides in Bogor Regency, i.e. class of low vulnerability to landslides with an area of 94.991 ha (31.7%) covering 33 districts, class of middle vulnerability to landslides with an area of 173.309 ha (57.8% ) covering 36 districts and classes of high vulnerability to landslides with an area of 31.127 ha (10.396%) covering 28 districts.
Results of the evaluation of spatial pattern indicated that some designated residential areas were located in areas with high vulnerability to landslides, which was not appropriate for uses as residential area. In addition, the evaluation also found utilization of areas which violated the designated spatial plan of Bogor Regency, in which conservation and protected forest areas with the function to protect the surrounding environment from landslide had been converted to residential area, plantations, ricefield and farm.