Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai Pada Kedalaman Muka Air Dan Lebar Bedengan Di Lahan Mineral Dan Mineral Bergambut
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN
MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN
MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan
Mineral Bergambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani
NIM A252124061
RINGKASAN
SYAFINA PUSPARANI. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka
Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan Mineral Bergambut. Dibimbing oleh
MUNIF GHULAMAHDI dan EKO SULISTYONO.
Salah satu lahan marginal di Indonesia adalah lahan pasang surut yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Faktor pembatas pada
lahan pasang surut antara lain adanya lapisan pirit, tinggi muka air, bahan organik,
kemasaman tanah dan status unsur hara dalam tanah. Budidaya jenuh air merupakan
salah satu teknik budidaya yang tepat untuk diterapkan pada lahan pasang surut,
karena dapat mencegah oksidasi pirit dan menjaga kelembaban tanah selama masa
pertumbuhan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan
membandingkan respon dari pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai
dengan budidaya jenuh air di lahan mineral dan mineral bergambut. Penelitian
dilakukan pada lahan mineral bergambut dan mineral di Tanjung Lago, Kabupaten
Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia pada bulan April hingga
September 2014.
Penelitian menggunakan rancangan Split-Plot dengan tiga ulangan. Petak
utama adalah kedalaman muka air tanah yang terdiri dari 2 taraf yaitu 10 dan 20 cm
di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri
dari 4 taraf yaitu 2, 4, 6 dan 8 m. Lebar bedengan 4 m tidak berbeda nyata dengan
lebar 8 m, sedangkan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah
memberikan produktivitas tertinggi pada lahan mineral. Kedalaman muka air hanya
berpengaruh pada fase vegetatif, sedangkan perlakuan lebar bedengan 6 m
bedengan nyata memberikan produktivitas kedelai terbaik pada lahan mineral
bergambut. Pertumbuhan dan produktivitas kedelai di lahan mineral lebih baik
dibandingkan pada mineral bergambut.
Kata kunci: Glycine max (L.) Merr., tipe luapan, pirit, pasang surut, jenuh air
SUMMARY
SYAFINA PUSPARANI. Response of Soybean Growth and Yield under Various
Water Depth and Bed Width on Mineral Soil and Peaty Mineral Soil. Supervised
by MUNIF GHULAMAHDI and EKO SULISTYONO.
One of marginal land in Indonesia is tidal swamp, which is potential for
agriculture. Limitation factors in tidal swamps are pyrite layer, water table, organic
matter, soil acidity and nutrients status. Saturated soil culture (SSC) is one of
cultivation technologies that suitable on tidal swamps, because it can prevent pyrites
oxidation and mantains soil moisture during plant growth. This research aimed to
study the effect of water depth and bed width under soil culture on growth. The
experiment was held on two soil types, they were peaty mineral and mineral soil in
Tanjung Lago, Banyuasin District, South Sumatera Province, Indonesia from April to
September 2014.
The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The
main plot of the experiment was water table depth consisted of 10 and 20 cm below soil
surface. The sub plot was bed widths consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the
experiment showed that on mineral soil, the bed width on 4 m as same as 8 m and
20 cm water depth below soil surface gave the highest yield. Meanwhile, on peaty
mineral soil, the 20 cm water depth below soil surface affected on vegetative phase
only and 6 m of bed width showed the highest yield. The soybean growth and yield
on mineral was higher than those on peaty mineral soil.
Keywords: Glycine max (L.) Merr., overflow, pyrite, saturated soil culture, tidal
swamps
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN
MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN
MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Iskandar Lubis, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di
Lahan Mineral dan Mineral Bergambut semoga dapat bermanfaat bagi pengelolaan
lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi
MS dan Bapak Dr Ir Eko Sulistyono selaku pembimbing yang dengan sabar
membimbing penulis. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Dr Ir Iskandar
Lubis, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan
masukan terhadap penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
teman-teman Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura 2012 dan 2013 atas segala
kebersamaan dan dukungannya. Penulis juga ungkapan terima kasih kepada
Bapak/Ibu Wakidi dan Bapak/Ibu Suaji yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik,
atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Mineral dan Mineral bergambut pada lahan pasang surut
Budidaya Jenuh Air
Varietas Kedelai Toleran Masam
3
3
5
7
3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Alat
Analisis Data
Prosedur Percobaan
8
8
8
8
8
9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Bergambut
Perbandingan antara Pertumbuhan dan Hasil Kedelai
di kedua lahan Pasang Surut
11
11
13
18
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
25
25
25
25
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
43
23
DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian
2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral
3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral
4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral
5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral
6 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral
7 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral bergambut
8 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral bergambut
9 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral bergambut
10 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral bergambut
11 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral bergambut
12 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral bergambut (lanjutan)
13 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai di kedua
lahan pasang surut
12
13
14
16
17
17
19
20
21
21
22
22
23
DAFTAR GAMBAR
1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi
2 Skematis pembagian tanah pasang surut
berdasarkan kedalaman pirit dan ketebalan gambut
3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri) tanah mineral bergambut (tengah)
dan tanah mineral (kanan)
4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut
5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan)
7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm
(kanan) di lahan mineral
8 Aklimatisasi kedelai 3 MST di lahan mineral bergambut
9 Kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
di bawah permukaan lahan mineral bergambut
10 Tanaman kedelai umur 9 MST lahan mineral bergambut (kiri)
dan mineral (kanan)
3
4
6
9
9
13
15
18
19
24
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian
2. Data suhu udara rata-rata (oC) daerah penelitian
3. Deskripsi varietas Tanggamus
4. Kriteria penilaian hasil analisis tanah
5. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral
6. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral bergambut
7. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral
8. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral (lanjutan)
9. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut
10. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut
(lanjutan)
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Data dari Badan Pusat Statistik (2015), menunjukkan produksi kedelai pada
tahun 2012 di Indonesia mencapai 843.15 ribu ton biji kering dan tahun 2013
sebesar 780.16 ribu ton biji kering sehingga mengalami penurunan 63 ribu ton biji
kering. Luasan panen tahun 2013 sebesar 550.79 hektar, sedangkan luasan panen
tahun 2012 sebesar 567.62 hektar mengalami penurunan 17 ribu hektar.
Produktivitas kedelai tahun 2012 sebesar 1.85 t ha-1 sedangkan pada tahun 2013
yaitu sebesar 1.46 t ha-1 yang mengalami penurunan sebesar 0.39 t ha-1. Noor (2014)
menambahkan, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kedelai nasional adalah dengan perluasan lahan dan pemanfaatan lahan marjinal
yang ada di Indonesia, salah satunya adalah lahan rawa pasang surut. Potensi lahan
rawa pasang surut sangat luas diperkirakan seluas 24.7 juta ha dengan luas 9.53 juta
ha sesuai untuk pertanian.
Menurut Noor (2014), lahan rawa pasang surut ditinjau dari aspek tanahnya
dibagi menjadi tanah sulfat masam, tanah gambut, tanah potensial dan tanah salin.
Penerapan dan pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa pasang surut
merupakan langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional.
Teknologi pertanian yang dapat diterapkan pasa lahan rawa pasang surut yaitu
dengan penggunaan varietas adaptif yang dikombinasikan dengan teknologi
perbaikan kesuburan tanah (Purwantoro et al. 2009).
Penerapan perbaikan kesuburan tanah yang sesuai untuk diterapkan di lahan
rawa pasang surut salah satunya adalah budidaya jenuh air (BJA). Budidaya jenuh
air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi secara terus menerus dan
membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm di bawah permukaan tanah)
sehigga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. (Sagala 2010) menambahkan,
pemberian air irigasi pada tanah sulfat masam dilakukan sejak awal tanam untuk
menghindari terjadinya oksidasi pirit yang terdapat pada lahan rawa pasang surut.
Pengaturan tinggi muka air yang tetap pada budidaya jenuh air dapat
menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman
karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya (Nathanson et al. 1984). Budidaya jenuh air (BJA) sebagai
alternatif teknologi yang dapat diterapkan pada budidaya kedelai sehingga tanaman
mampu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi dibandingkan
budidaya dengan pemberian irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai (Hunter et
al. 1980; Nathanson et al. 1984; Treodson et al. 1984 dan Sumarno 1986).
Kedelai varietas Tanggamus merupakan salah satu varietas kedelai yang
memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah masam dengan penerapan budidaya
jenuh air di lahan sulfat masam. Produktivitas kedelai varietas Tanggamus tanpa
perbaikan kesuburan tanah di lahan sulfat masam tanpa pengairan hanya mencapai
850 kg ha-1 (Sagala 2010), sedangkan dengan penerapan budidaya jenuh air di lahan
sulfat masam mampu mencapai 4.51 t ha-1 biji kering (Ghulamahdi 2009).
Lahan sulfat masam yang digunakan pada penelitian ini meliputi tanah
mineral dan tanah mineral bergambut. Penelitian mengenai perlakuan lebar
bedengan dengan kedalaman muka air sudah dilakukan di tanah mineral, sedangkan
2
pada tanah mineral bergambut belum terdapat penelitian dengan perlakuan yang
sama. Produktivitas kedelai pada perlakuan lebar bedengan 2 m dengan kedalaman
muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah mampu meningkatkan
produktivitas kedelai sebesar 4.15 t ha-1 di tanah mineral (Sahuri dan Ghulamahdi
2014).
Tanaman pangan yang mampu beradaptasi pada lahan bergambut antara lain
padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Penerapan teknologi perbaikan tanah bergambut untuk dapat meningkatkan
produktivitas tanaman pangan yang dibudidayakan adalah dengan pembuatan parit
drainase. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada tanah bergambut. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak
tergenang untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam
organik. Semakin pendek jarak antar parit drainase yang mengelilingi petakan
tanam di tanah bergambut, maka hasil tanaman semakin tinggi, oleh karena itu
penentuan lebar bedengan yang memisahkan antara parit yang tepat diharapkan
mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai di tanah
mineral bergambut. Faktor pembatasan utama pada tanah bergambut adalah kondisi
media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman
(Agus dan Subiksa 2008).
Perumusan Masalah
Budidaya kedelai dengan perlakuan lebar bedengan dan kedalaman muka air
pernah dilakukan di tanah mineral dan mampu meningkatkan produktivitas kedelai,
sedangkan untuk tanah mineral bergambut belum pernah diupayakan budidaya
dengan perlakuan yang serupa. Apakah lebar bedengan dan kedalaman muka air
yang direkomendasikan di lahan mineral terdahulu dapat memberikan produktivitas
yang terbaik di lahan mineral bergambut? Bagaimana produktivitas kedelai di
kedua lahan pada satu musim yang sama dengan perlakuan yang diaplikasikan?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral.
Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral bergambut.
Membandingkan pertumbuhan dan produksi kedelai di kedua tanah pada lahan
pasang surut.
Hipotesis
1. Pengaturan kedalaman muka air
akan memberikan pertumbuhan
mineral.
2. Pengaturan kedalaman muka air
akan memberikan pertumbuhan
mineral bergambut.
semakin dalam dan lebar bedengan tersempit
dan produksi kedelai yang optimal di tanah
semakin dalam dan lebar bedengan tersempit
dan produksi kedelai yang optimal di tanah
3
3. Pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral lebih tinggi dibandingkan
mineral bergambut pada lahan pasang surut.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengaturan
kedalaman muka air pada budidaya jenuh air dan lebar bedengan terbaik sehingga
dapat memperoleh pertumbuhan dan produksi kedelai secara optimal di tanah
mineral dan mineral bergambut lahan pasang surut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Mineral dan Mineral Bergambut pada Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut ditinjau dari aspek hidrotopografi dibagi menjadi empat
tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C dan D (Gambar 1). Lahan pasang surut dengan
tipe luapan A selalu terluapi air pasang besar maupun kecil baik pada saat musim
hujan maupun musim kemarau. Lahan pasang surut dengan tipe luapan B hanya
terluapi oleh air pasang besar pada musim hujan. Lahan pasang surut dengan tipe
luapan C sudah tidak terkena luapan air pasang, namun memiliki kedalaman muka
air tanah kurang dari 50 cm yang dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang surut. Lahan
pasang surut tipe luapan D sudah tidak terluapi oleh air pasang dan memiliki
kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi
air pasang (Noor 2014).
Gambar 1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi
Teknologi pengelolaan lahan pasang surut dan tata air hasil dari berbagai
penelitian masih perlu dikembangkan secara luas pada beberapa jenis tanah yang
ada di lahan pasang surut. Ditinjau dari aspek tanahnya, lahan penelitian tergolong
tanah sulfat masam yang merupakan tanah mineral dan mineral bergambut (Gambar
2). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa seluruhnya merupakan endapan
4
bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang yang
ditambah dengan bahan alluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Tanah
endapan tersebut pada kedalaman tertentu terdapat bahan sulfidik (pirit) yang
menentukan tingkat kemasaman tanah Allluvial tersebut. Tanah yang terbentuk
akibat endapan ini merupakan tanah aluvial basah yang terdapat lapisan gambut di
atas permukaan tanah (< 20 cm), atau agak tebal antara 20-50 cm. Tanah mineral
bergambut merupakan tanah aluvial basah dengan lapisan gambut setebal 20-50 cm
di atas permukaan tanah. Berdasarkan sistem klasifikasi tanah lama, tanah mineral
yang agak kering atau tidak selalu basah disebut Alluvial. Tanah mineral bergambut
berdasarkan klasifikasi tanah lama disebut Glei Humus (Subagyo 2006).
Tanah Alluvial merupakan bagian dari tanah mineral yang belum mengalami
perkembangan profil tanah. Tanah Glei Humus dikenal sebagai tanah Alluvial
bergambut yang merupakan peralihan dari tanah Alluvial ke tanah Organosol.
Tanah ini belum atau mengalami sedikit perkembangan profil dan terbentuk dari
endapan lumpur dan bahan organik dalam suasana jenuh air. Lapisan atas berwarna
gelap karena banyak mengandung bahan organik. Tanah ini mempunyai ketebalan
bahan organik 20-50 cm (Subagyo 2006).
Gambar 2 Skematis pembagian tanah pasang surut berdasarkan kedalaman pirit
dan ketebalan gambut (Subagyo 2006).
Tanah gambut (Organosol) merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi
bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka
waktu yang cukup lama (Subagyo 2006). Tanah gambut umumnya selalu jenuh air
atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase (Hardjowigno 1986 dan Najiyati
et al. 2005). Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral
dan basa-basa, bahan substrantum gambut dan ketebalan lapisan gambut. Menurut
Najiyanti et al. (2005), gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan gambut
di Kalimantan. Lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Asam-asam organik tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
5
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut (Sabiham et al. 1997 dan Saragih 1996).
Budidaya Jenuh Air
Menurut Ngudiantoro et al. (2010), reklamasi atau pengembangan lahan rawa
pasang surut di Sumatera Selatan telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1969
melalui program transmigrasi dengan sistem jaringan tata air yang dibangun masih
merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Sistem
jaringan terbuka bergantung pada tipe luapan air pasang dalam penerapan sistem
usaha tani. Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman
dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik.
Budidaya jenuh air (BJA) memberikan solusi dalam pengelolaan air pada
lahan pasang surut yaitu budidaya dengan memberikan irigasi secara terus-menerus
dan membuat kedalaman muka air tetap sehingga lapisan di bawah permukaan
tanah jenuh air. Budidaya jenuh air juga dapat dilakukan dengan melakukan irigasi
terbuka di bawah permukaan tanah jika air berkurang dan drainase permukaan jika
air berlebih. Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik
menggunakan sistem surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi
(Ghulamahdi 1999).
Pengaturan kedalaman muka air tetap pada BJA akan menghilangkan
pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai
akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya
(Troedson et al. 1983). Kedalaman muka air dan lebar bedengan yang tepat pada
kondisi tanah tertentu perlu diteliti agar memperoleh pertumbuhan kedelai yang
baik dengan hasil yang tinggi pada beberapa lahan pasang surut.
Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai di
lahan pasang-surut. Pengaturan kedalaman muka air tanah dalam BJA berkaitan
dengan kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan
mikroorganisme di dalam tanah sekaligus dapat menekan pengaruh keracunan dan
kemasaman tanah (Welly 2013). Perlakuan lebar bedengan pada budidaya jenuh air
diharapkan mampu memperoleh lebar bedengan yang dapat direkomendasikan
pada masing-masing jenis tanah di lahan pasang surut. Penelitian Sahuri (2011)
menunjukkan lebar bedengan 2 m merupakan lebar bedengan yang
direkomendasikan untuk budidaya kedelai di lahan mineral, sedangkan pada lahan
mineral bergambut belum pernah dilakukan penelitian lebih lanjut untuk perlakuan
lebar bedengan dengan budidaya jenuh air.
Muka air tanah merupakan batas antara permukaan atas tanah dengan tanah
yang terjenuhi air tanah. Lapisan tanah paling atas hanya sebagian pori tanah yang
terisi air sedangkan lainnya berisi udara. Pada bagian bawah muka air tanah semua
pori tanah terisi (jenuh) dengan air. Lapisan jenuh ini disebut lapisan jenuh air.
Kedalaman muka air bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain, yang
umumnya muka air tanah relatif lebih dalam pada dataran tinggi dibandingkan dataran rendah (Ngudiantoro 2009).
Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatur lahan sulfat masam adalah
dengan pengelolaan air secara tepat (Dent 1986 dan Sen 1988) sebagai contoh
dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah maka laju oksidasi pirit dan
6
produksi asam dapat dikendalikan. Perlakuan irigasi serta pencucian dapat
menghilangkan kemasaman dari profil tanah (Bronswijk et al. 1995). Menurut
Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersier merupakan suatu
proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengendalian air di saluran
tersier, namun teknik pengelolaan air yang dilakukan hingga saat ini masih
bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan dengan
membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan.
Pengendalian drainase lahan bergambut bertujuan untuk mencegah terjadinya
penurunan lapisan gambut (subsiden). Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menghindari pengusikan lapisan gambut dan mengatur tinggi muka air tanah di
daerah rhizosfer. Salampak (1999) melaporkan bahwa pengelolaan saluran drainase
pada tanah bergambut yaitu dengan mempertahankan kondisi lengas tanah. Praktek
pengelolaan air dengan mempertahankan lengas tanah pada kondisi kecukupan
dapat dilakukan dengan mengatur permukaan air tanah agar fungsi fisiologis
tanaman tetap berjalan serta menerapkan praktek budidaya dengan olah tanah
minimal sebagai upaya konservasi untuk memperkecil subsiden lapisan gambut.
Gambar 3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri), tanah mineral bergambut (tengah)
dan tanah mineral (kanan)
Pembuatan saluran drainase tanpa pengelolaan yang tepat akan menyebabkan
permukaan air tanah menjadi turun melebihi lapisan pirit yang terdapat di dalam
lapisan tanah. Penurunan air tanah yang melebihi lapisan pirit pada tanah akan
menyebabkan tanah bagian atas lapisan permukaan air terpapar di lingkungan aerob
yang akan menyebabkan terjadinya oksidasi. Lapisan pirit dalam tanah yang ikut
terpapar oksigen akan mengalami oksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan
senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhir dari proses oksidasi pirit pada
tanah akan menyebabkan tanah bereaksi masam ekstrim yaitu pH tanah menjadi
turun hingga < 3.5, tanah banyak mengandung ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2
(Fe-II), dan aluminium (AL3+). Gambar 3 menunjukkan tanah dengan pirit yang
sudah teroksidasi berwarna coklat atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat
kemerahan (brown layer), sedangkan tanah yang masih tereduksi berwarna kelabu
tua hingga kelabu gelap (gray layer) (Subagyo 2006). Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan yang tepat dalam pembuatan saluran drainase dan pengaturan
7
ketinggian muka air tanah pada lahan sulfat masam yang mengandung lapisan pirit
untuk diusahakan sebagai lahan pertanian.
Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan bergambut. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh
untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik.
Semakin pendek jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi.
Pengaturan pembuatan drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun
demikian semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden gambut
(Agus dan Subiksa 2008).
Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan
yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut disekitarnya.
Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula pengaruhnya dalam
menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang selanjutnya mempercepat
emisi gas rumah kaca. Konservasi lahan gambut melalui pendekatan hidrologi harus
diterapkan pada seluruh hamparan gambut (Agus dan Subiksa 2008).
Varietas Kedelai Toleran Masam
Kedelai varietas unggul nasional yang adaptif lahan rawa pasang surut antara
lain adalah Lawit dan Menyapa memiliki daya hasil cukup tinggi yaitu 2 t ha-1.
Selain itu, terdapat Varietas Rinjanim, Galunggung, Merbabu, Kerinci, Tampomas
dan Tanggamus yang memiliki daya hasil 1.5 hingga 2.4 t ha-1 (BPTPI 2010).
Berdasarkan penelitian terdahulu, Tanggamus mampu memberikan produktivitas
melebihi dari deskripsi varietasnya ketika dibudidayakan di lahan sulfat masam
dengan BJA (Lampiran 3). Tanggamus memiliki pola pertumbuhan yang lebih
stabil dari awal tanam hingga umur 13 MST. Tanggamus juga mampu
menggunakan nitrogen secara efisien untuk meningkatkan bobot kering tanaman
terutama pada pembentukan polong di lahan sulfat masam (Sagala et al. 2011).
Tanggamus merupakan varietas yang paling adaptif di lahan pasang surut
yang ditunjukkan dengan produksi biji tinggi dengan teknologi BJA dan cukup baik
dengan budidaya tanpa pengairan. Sagala (2010) menunjukkan produktivitas
Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan di lahan pasang surut sebesar 850 kg
ha-1 sama dengan produktivitas kedelai pasang surut yang ditemukan sebelumnya
oleh Djayusman et al. (2001) yaitu sebesar 800 kg ha-1. Sagala (2010) menunjukkan
bahwa Tanggamus lebih responsif terhadap teknologi BJA di lahan pasang surut
dan diikuti oleh Slamet, Anjasmoro dan Wilis.
Tanggamus mampu menghasilkan produktivitas mencapai 4.83 t ha-1 dengan
muka air 20 cm di bawah tanah bedengan tanam. Pertumbuhan kedelai varietas
Tanggamus lebih stabil dibandingkan ketiga varietas lainnya karena mampu
menggunakan unsur hara yang diserap untuk semua komponen tanaman secara
merata. Pola serapan unsur hara N, P, K, Fe dan Mn Tanggamus secara umum lebih
tinggi dibandingkan ketiga varietas lainnya meskipun kadar hara keempat varietas
yang dibudidayakan relatif sama. Adaptasi genotipe Tanggamus terhadap pola
penyerapan hara memberikan adaptasi yang lebih baik pada lahan pasang surut
(Sagala et al. 2011).
8
3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip (tanah mineral) dan Desa Mulyasari
(tanah mineral bergambut), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin,
Palembang dari bulan April-September 2014.
Bahan
Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai varietas Tanggamus, inokulan
Bradyrhizobium sp, pupuk kandang, kapur dolomit, pupuk daun N, SP36, KCl,
insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%.
Alat
Alat yang digunakan adalah peralatan tanam dan peralatan pertanian lainnya
seperti sprayer, alat tulis, timbangan analitik, pressure plate apparatus dan tabung
kuningan.
Analisis Data
Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan
rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang 3 kali.
Petak utama adalah kedalaman muka air yang terdiri dua taraf, yaitu 10 cm (T1)
dan 20 cm (T1) di bawah permukaan tanah. Anak petak adalah lebar bedengan yang
terdiri dari empat taraf, yaitu 2 m (L1), 4 m (L2), 6 m (L3) dan 8 m (L4).
Berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002), model linear dari rancangan petak
terpisah secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :
Yijk = µ +
i+
αj +
ij
+ βk + (αβ)jk + Єijk
Keterangan:
i
: Ulangan/kelompok
j
: Kedalaman muka air (1, 2)
k
: Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)
Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh kedalaman muka air ke-j, lebar bedengan
ke-k dan ulangan ke-i
µ
: Rataan umum/nilai tengah
i
: Pengaruh ulangan/kelompok ke-i
αj
: Pengaruh kedalaman muka air ke-j
ij
: Pengaruh galat yang muncul pada kedalaman muka air ke-j dan ulangan
ke-i
βk
: Pengaruh lebar bedengan ke-k
(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor kedalaman muka air taraf ke-j dan lebar
bedengan taraf ke-k
Єijk : Pengaruh galat kedalaman muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada
ulangan ke-i
9
Percobaan ini merupakan combined experiment antara kedua lokasi. Data
yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada
taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range
Test pada taraf 5% yang kemudian dilanjutkan dengan uji t student untuk
membandingkan antara kedua lokasi lahan.
Prosedur Percobaan
1.
Persiapan lahan
Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak
berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, 8 m x 5 m sehingga petak utama
berukuran 20 m x 5 m. Setiap petak utama dibuat saluran air dengan lebar 30
cm dan kedalaman 25 cm untuk menjaga kondisi bedengan selalu lembab
(Gambar 4).
Gambar 4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut
Air irigasi diberikan sejak tanam dengan pengaturan kedalaman muka air
sesuai dengan perlakuan. Pemberian air irigasi pada lahan mineral setiap satu
minggu sekali, sedangkan untuk lahan mineral bergambut setiap 3 hari sekali
apabila air pada parit turun 5 cm untuk kedalaman muka air 10 cm (T1)
sedangkan untuk kedalaman muka air 20 cm (T2) diupayakan untuk tetap
dipertahankan sesuai dengan perlakuan pada penerapan di lapang (Gambar 5).
Gambar 5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
10
2.
3.
4.
5.
Penanaman
Penanaman kedelai menggunakan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan setiap
lubang tanam diisi 2 benih kedelai ditanam dangkal 1-2 cm. Sebelum benih
kedelai ditanam, diinokulasi dengan Bradyrhizobium sp sebanyak 5 g kg-1
benih terlebih dahulu. Pemberian insektisida berbahan aktif Karbosulfan
25.53% sebanyak 15 g kg-1 benih diberikan bersamaan pada saat tanam.
Pemupukan
Pemberian pupuk kandang sebanyak 2 t ha-1 dan pemberian kapur
sebanyak 1 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan lahan, setelah itu lahan
diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 36 sebanyak 200 kg ha-1 dan KCl
sebanyak 100 kg ha-1 diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N
tidak diberikan pada saat tanam, karena diharapkan bintil akar dapat memenuhi
kebutuhan nitrogen bagi tanaman, pupuk N daun dengan konsentrasi 10 g urea
l-1 air diberikan pada umur 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST) untuk
membantu pemulihan daun pada saat aklimatisasi.
Pemeliharaan
Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 5 hari setelah tanam.
Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan
tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Pengendalian
gulma dilakukan secara mekanik, sedangkan pengendalian hama menggunakan
insektisida.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman
berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah :
1) Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (cm).
2) Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah).
3) Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah).
4) Bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (g).
5) Jumlah polong total, isi dan hampa per tanaman (buah).
6) Bobot biji per tanaman (g).
Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen pada setiap
tanaman sampel.
7) Produktivitas (t ha-1).
8) Pengamatan dilakukan terhadap komponen sifat fisik dan kimia tanah
meliputi :
a. Porositas total tanah
Menghitung porositas total dengan rumus :
Porositas total = (1 ) x 100% (Sitorus et al. 1980).
�
�
b. Tekstur tanah
Penentuan tekstur tanah secara kuantitatif dilakukan melalui proses
analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi
butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi.
c. Analisis tanah sebelum tanam
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan
liat). pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan
KTK, Kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, Mn, Cu dan Zn
serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah
11
(pH) ditentukan dengan ekstrak 1 : 5 menggunakan H2O dan KCl, C organik
ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl.
P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode
Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan
metode titrasi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian
Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah
dengan posisi yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin.
Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa
pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering
dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Lahan tersebut banyak
dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan lahan basah, khususnya persawahan
pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha
milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura (Banyuasin 2012).
Batas wilayah Tanjung Lago antara 104o20’15” – 104o52’39” bujur timur dan
o
2 23’33” – 2o47’51” lintang selatan. Kecamatan Tanjung δago memiliki luas
wilayah 829.40 km2. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Tanjung Lago
sebagian besar terdiri dari dataran rendah, beberapa desa berada di pinggir aliran
anak sungai musi. Ketinggian wilayah berkisar antar 0 – 4 m di atas permukaan
laut. Secara rata-rata 40.33% luas wilayah Kecamatan Tanjung Lago digunakan
untuk lahan pertanian, 54.97% luas wilayah sebagai lahan usaha non pertanian
termasuk hutan rakyat, 4.73% digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum
lainnya termasuk jalan. Lahan pertanian di Kecamatan Tanjung Lago meliputi
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Desa Mulya Sari memiliki luas wilayah 18.83 km2 dengan letak geografis
bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Desa Mulya Sari
berdasarkan tipe luapan air pasang termasuk tipe luapan B dan C. Desa Banyu Urip
memiliki luas wilayah 14.37 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi
wilayah merupakan dataran rendah. Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk
dalam tipe luapan C dan D. Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan
cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air,
sehingga sistem pengelolaan hanya tergantung pada fluktuasi pasang surut.
Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter
(Banyuasin 2012).
Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka
air tanah di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi
menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral
bergambut pada awal pertumbuhan tanaman mengandalkan air luapan pasang besar
dan membuang kelebihan air melalui pintu air, selanjutkan perlakuan muka air pada
saat memasuki musim kemarau dibantu dengan memompa air ke dalam saluran
pada petakan. Perlakuan kedalaman muka air pada lahan mineral sejak awal tanam
dibantu dengan memasukkan air melalui pompa air dikarenakan sudah tidak
12
terpengaruh hempasan air pasang dari sungai.
Penelitian dilakukan pada bulan April hingga September 2014 di lahan
mineral bergambut dan lahan mineral. Persiapan lahan membutuhkan 3 minggu
sebelum tanam. Perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan dilakukan pada
saat olah tanam hingga panen. Penanaman pada lahan mineral bergambut dan
mineral dilakukan pada bulan Mei 2014.
Penanaman pada kedua lahan dilakukan pada akhir musim hujan dengan
curah hujan pada bulan Mei sebesar 93 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 27.9 oC.
Pembentukan polong dan pengisian polong terjadi pada bulan Juli dengan curah
hujan sebesar 112 mm bulan-1 dan suhu mencapai 28 oC. Pemasakan biji terjadi
pada bulan Agustus dengan curah hujan 63 mm bulan-1 dan suhu mencapai 27.5 oC,
sedangkan pada saat panen di bulan September untuk curah hujan hanya sebesar 16
mm bulan-1 dengan suhu mencapai 28 oC (Lampiran 1 dan 2).
Tabel 1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian
Parameter
1. pH H2O
2. pH KCl
3. C Organik (%)
4. N total (%)
5. P tersedia (ppm)
6. Ca (me 100g-1)
7. Mg (me 100g-1)
8. K (me 100g-1)
9. Na (me 100g-1)
10. KTK (me 100g-1)
11. Al (me 100g-1)
12. Mn (ppm)
13. Fe (ppm)
14. KB (%)
15. Porositas total (%)
16. Berat volume tanah (g cm-3)
17. Tekstur tanah
Mineral bergambut
4.2 (sangat masam)
3.3 (sangat masam)
38 (mineral bergambut)
1.85 (sangat tinggi)
45.8 (sangat tinggi)
8.30 (sedang)
2.76 (tinggi)
0.71 (tinggi)
0.45 (sedang)
89.68 (sangat tinggi)
2.50 (sangat tinggi)
24.85 (sangat tinggi)
59.76 (sangat tinggi)
13.6 (sangat rendah)
60.65
0.65
bergambut
Mineral
4.5 (masam)
3.7 (sangat masam)
3.4 (mineral)
0.22 (sedang)
7.7 (sedang)
5.65 (sedang)
6.15 (tinggi)
0.32 (sedang)
1.74 (sangat tinggi)
28.43 (tinggi)
1.45 (sangat tinggi)
19.05 (tinggi)
11.74 (tinggi)
48.75 (sedang)
46.57
1.12
Lempung liat berdebu
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2009) (Lampiran 4)
Herudjito dan Haridjaja (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat
kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu tanah mineral (kandungan C organik
hingga 18%), tanah mineral bergambut (kandungan C organik antara 18% ̶ 38%)
dan tanah organik (kandungan C organik lebih dari 38%). Berdasarkan analisis
tanah awal, kedua tanah penelitian tergolong pada tanah sulfat masam potensial
yang memiliki reaksi tanah sangat masam hingga agak masam (pH > 4) dengan
warna tanah kelabu tua sampai kelabu gelap.
Sifat kimia tanah kedua tanah memiliki kandungan Al dan Fe yang sangat
tinggi pada lahan mineral bergambut dan tinggi pada lahan mineral. Keberadaan Fe
secara fisik dapat terlihat dari lapisan berwarna karat pada tanah dan air (Gambar
6). Lapisan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian
bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah mineral, kandungan Na yang sangat tinggi
ternyata belum sampai mempegaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
dengan penerapan teknologi BJA.
13
Gambar 6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan)
Porositas total tanah mineral bergambut lebih besar dibandingkan tanah
mineral. Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah
mineral bergambut. Pada berat volume tanah mineral bergambut yang lebih rendah
disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik pada lapisan tanah. YongYong et al. (2015) menjelaskan bahwa rendahnya berat volume tanah akan memicu
peningkatan volume kebasahan tanah yang disebabkan oleh tingginya porositas
tanah dan kelembaban tanah. Berat volume serta porositas tanah merupakan
indikator fisik yang dapat menggambarkan dan berhubungan dengan keadaan
infiltrasi, permeabilitas, kekompakan-pemadatan tanah, tekstur tanah, kandungan
bahan organik tanah. Kondisi dari karakteristik tersebut akan berkaitan dengan
fungsi tata udara dan air yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman,
organisme lainnya serta konservasi tanah dan air (Wall dan Heiskanen 2009;
Cannavo et al. 2011).
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dengan uji lanjut DMRT untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan mineral dipengaruhi oleh
perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan (Lampiran 5). Pada fase
vegetatif, perlakuan kedalaman muka air tanah hanya berpengaruh pada awal
pertumbuhan tanaman di lahan mineral. Berdasarkan uji DMRT, kedalaman muka
air 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan jumlah terbanyak pada daun dan
cabang umur 4 MST (Tabel 2).
Tabel 2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan
mineral
Kedalaman muka air
DPT (cm)
4
10
20
30.1
32.2
10
20
6.5 b
9.5 a
10
20
0.3 b
1.0 a
Umur (MST)
6
8
Tinggi tanaman (cm)
64.9
86.9
68.4
91.1
Jumlah daun
12.8
16.5
15.9
19.1
Jumlah cabang
2.2
2.8
2.5
3.1
10
87.9
91.1
14.3
17.9
3.1
3.2
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%
14
Pemberian jenuh air menyebabkan tanaman menyesuaikan diri (aklimatisasi)
terhadap kondisi lingkungan yang suboptimum untuk pertumbuhannya. Tanaman
kedelai beraklimatisasi sebagai respon terhadap kondisi jenuh air dimulai pada
umur 3 MST hingga umur 5 MST. Ghulamahdi (1999) menjelaskan bahwa
aklimatisasi ditunjukkan dengan gejala klorosis akibat penurunan penyerapan
nitrogen. Penurunan penyerapan nitrogen disebabkan oleh kematian beberapa akar
yang tumbuh melebihi lapisan jenuh air. Pemberian pupuk nitrogen cair melalui
daun bertujuan untuk pemulihan klorosis selama proses aklimatisasi.
Ghulamahdi et al. (2006), juga menyimpulkan pertumbuhan kedelai
mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi
mati dan selanjutnya tumbuhan di atas muka air, kemudian pertumbuhan meningkat
setelah melewati masa aklimatisasi. Perlakuan kedalaman muka air tidak
berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, meskipun secara statistik tidak berbeda
nyata namun rata-rata nilai disetiap pertambahan umur yang ditunjukkan pada
kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan
pada kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Pertumbuhan kedelai
pada lahan mineral lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang
ditunjukkan berdasarkan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 2).
Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman muka air berpengaruh
nyata terhadap jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi
panen, bobot per tanaman dan produktivitas. Berdasarkan uji duncan diperoleh
bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah nyata lebih tinggi
untuk peubah jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi
panen, bobot biji per tanaman dan produktivitas.
Tabel 3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan
mineral
Pengamatan
Panjang akar 9 MST (cm)
Bobot kering tajuk 9 MST (g)
Bobot kering akar 9 MST (g)
Bobot kering bintil 9 MST (g)
Jumlah bintil 9 MST
Jumlah polong panen
Jumlah polong isi panen
Jumlah polong hampa panen
Bobot biji per tanaman (g)
Produktivitas (t ha-1)
Kedalaman muka air DPT (cm)
10
20
28.6
30.5
30.2
34.1
2.4
2.6
0.5
0.8
46.9 b
85.5 a
103.5 b
128.9 a
99.8 b
123.8 a
3.6
5.1
21.2 b
25.8 a
3.6 b
4.4 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Kedalaman muka air berpengaruh pada fase generatif tanaman kedelai di
lahan mineral. Ketersediaan air selama pembungaan hingga pengisian polong
merupakan periode kritis untuk produksi kedelai. Oleh karena itu dengan pemberian
jenuh air akan menyediakan ketersediaan air bagi tanaman selama periode tersebut.
Ketersediaan air pada budidaya jenuh air memperpanjang fase vegetatif tanaman
kedelai dan menunda senesen daun selama pengisian polong sehingga
memperpanjang waktu remobilisasi unsur hara dari daun menuju biji. Hasil
fotosintesis di lahan mineral lebih banyak di distribusikan pada pembentukan dan
15
pengisian polong, hal ini terlihat dari jumlah polong panen dan polong isi (Tabel
3). Jumlah polong panen berkorelasi dengan jumlah polong isi (p-value 0.00).
Jumlah polong isi kemudian berkorelasi dengan bobot biji per tanaman (p-value
0.00) dan berkorelasi dengan produktivitas kedelai (p-value 0.00) (Lampiran 8).
Kirkham (2005) melaporkan bahwa muka air pada kedalaman ± 20 cm di
bawah permukaan tanah memberikan sumbangan kelengasan tanah 20 – 50%.
Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan
BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena
mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil
terus berlanjut sampai fase pengisisan polong, dan mengalami penundaan penuaan.
Agarwal et al. (2012) juga menambahkan penundaan senesen dapat terjadi dengan
peningkatan biosintesis etilen yang dapat terjadi pada kondisi jenuh air. Sudaryono
et al. (2007) kemudian menambahkan bahwa dengan kecukupan penyediaan air
untuk kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang
sangat penting. Berdasarkan pertumbuhan tanaman di lapang, ditunjukkan dengan
penundaan masa vegetatif maksimum tanaman yang lebih lama dengan budidaya
jenuh air di lahan mineral.
Ghulamahdi et al. (2009) juga menunjukkan produktivitas kedelai yang tinggi
pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 4.63 ton ha-1 di
lahan mineral. Ghulamahdi et al. (2009) menyimpulkan bahwa kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah merupakan kedalaman terbaik secara ekonomi (lebih
murah) yang tetap dapat menghasilkan produktivitas tinggi. Potensial air tanah pada
tinggi muka air 5 sampai 10 cm dari dasar parit akan menyebabkan kondisi selalu
berada di sekitar kapasitas lapang.
Gambar 7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm
(kanan) di lahan mineral.
Berdasarkan hasil analisis tanah awal, kandungan Al dan Fe pada lahan
mineral tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan pirit pada lahan
mineral. Lapisan pirit pada lahan mineral berada pada kedalaman ± 30 cm di bawah
permukaan tanah (Gambar 6). Pemberian jenuh air pada lahan mineral
menyebabkan kondisi reduktif pada lapisan pirit sehingga tidak menyebabkan
16
toksisitas Al dan Fe pada tanaman selama pertumbuhannya. Kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah juga mampu menekan oksidasi pirit yang terdapat
pada lapisan tanah mineral pasang surut, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya
gejala tanaman yang keracunan Al dan Fe dari awal tanam hingga panen.
Pertumbuhan tanaman pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah
permukaan tanah (Gambar 7) juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan pada perlakuan kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan
tanah.
Selama masa pertumbuhan vegetatif, perlakuan lebar bedengan hanya
berpengaruh pada jumlah daun. Vegetatif maksimum terjadi pada umur 9 MST di
lahan mineral dengan budidaya jenuh air. Jumlah daun pada umur 10 MST nyata
lebih banyak pada lebar bedengan 2 dan 8 m (Tabel 4), hal ini berbeda dengan
penelitian Sahuri (2011) yang menunjukkan jumlah daun umur 10 MST tidak
berbeda nyata pada semua perlakuan lebar bedengan tanam. Hal ini disebabkan
karena jumlah daun umur 10 MST mulai mengalami senesen pada lebar bedengan
4 dan 6 m, sedangkan pada lebar 2 dan 8 m jumlah daun masih dapat ditingkatkan.
Tabel 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral
Lebar bedengan (m)
4
2
4
6
8
31.8
31.8
30.4
30.7
2
4
6
8
8.4
7.8
7.8
7.9
2
4
6
8
0.9
0.5
0.6
0.7
Umur (MST)
6
8
Tinggi tanaman (cm)
66.5
89.8
67.3
87.8
67.1
89.4
65.9
88.9
Jumlah daun
13.2 b
16.4 b
16.3 a
20.1 a
15.7 a
18.6 a
12.2 b
15.9 b
Jumlah cabang
2.5
3.1
2.2
3.1
2.3
2.7
2.3
2.9
10
89.6
87.5
90.3
90.5
18.7 a
13.9 b
13.7 b
18.2 a
3
3.3
3.3
3.0
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Selama fase generatif tanaman, perlakuan lebar bedengan hanya berpegaruh
pada bobot biji per tanaman dan produktivitas kedelai di lahan mineral.
Berdasarkan uji duncan untuk bobot biji per tanaman dan produktivitas diperoleh
lebar 4 m tidak berbeda nyata dengan 2 dan 8 m, tetapi nyata lebih tinggi
dibandingkan lebar 6 m. Hal ini dikarenakan bobot biji per tanaman pada lebar 4 m
paling tinggi dibandingkan dengan lebar bedengan lainnya. Diduga translokasi
fotosintat dan remobilisasi unsur hara selama pengisian dan pemasakan biji yang
tinggi pada lebar bedengan 2, 4, dan 8 m menyebabkan bobot biji per tanaman juga
lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m (Tabel 5). Jumrawati (2010) juga menjelaskan
bahwa, bobot biji per tanaman mengindikasikan kemampuan tanaman dalam
menggunakan asimilat untuk pengisian biji.
17
Tabel 5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral
Pengamatan
Panjang akar (9 MST) (cm)
Bobot kering tajuk (9 MST) (g)
Bobot kering akar (9 MST) (g)
Bobot kering bintil (9 MST) (g)
Jumlah bintil (9 MST)
Jumlah polong panen
Jumlah polong isi panen
Jumlah polong hampa panen
Bobot biji per tanaman (g)
Produktivitas (t ha-1)
2
31.3
33.8
2.6
0.7
81.0
115.9
111
MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN
MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan
Mineral Bergambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani
NIM A252124061
RINGKASAN
SYAFINA PUSPARANI. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka
Air dan Lebar Bedengan di Lahan Mineral dan Mineral Bergambut. Dibimbing oleh
MUNIF GHULAMAHDI dan EKO SULISTYONO.
Salah satu lahan marginal di Indonesia adalah lahan pasang surut yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Faktor pembatas pada
lahan pasang surut antara lain adanya lapisan pirit, tinggi muka air, bahan organik,
kemasaman tanah dan status unsur hara dalam tanah. Budidaya jenuh air merupakan
salah satu teknik budidaya yang tepat untuk diterapkan pada lahan pasang surut,
karena dapat mencegah oksidasi pirit dan menjaga kelembaban tanah selama masa
pertumbuhan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan
membandingkan respon dari pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai
dengan budidaya jenuh air di lahan mineral dan mineral bergambut. Penelitian
dilakukan pada lahan mineral bergambut dan mineral di Tanjung Lago, Kabupaten
Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia pada bulan April hingga
September 2014.
Penelitian menggunakan rancangan Split-Plot dengan tiga ulangan. Petak
utama adalah kedalaman muka air tanah yang terdiri dari 2 taraf yaitu 10 dan 20 cm
di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri
dari 4 taraf yaitu 2, 4, 6 dan 8 m. Lebar bedengan 4 m tidak berbeda nyata dengan
lebar 8 m, sedangkan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah
memberikan produktivitas tertinggi pada lahan mineral. Kedalaman muka air hanya
berpengaruh pada fase vegetatif, sedangkan perlakuan lebar bedengan 6 m
bedengan nyata memberikan produktivitas kedelai terbaik pada lahan mineral
bergambut. Pertumbuhan dan produktivitas kedelai di lahan mineral lebih baik
dibandingkan pada mineral bergambut.
Kata kunci: Glycine max (L.) Merr., tipe luapan, pirit, pasang surut, jenuh air
SUMMARY
SYAFINA PUSPARANI. Response of Soybean Growth and Yield under Various
Water Depth and Bed Width on Mineral Soil and Peaty Mineral Soil. Supervised
by MUNIF GHULAMAHDI and EKO SULISTYONO.
One of marginal land in Indonesia is tidal swamp, which is potential for
agriculture. Limitation factors in tidal swamps are pyrite layer, water table, organic
matter, soil acidity and nutrients status. Saturated soil culture (SSC) is one of
cultivation technologies that suitable on tidal swamps, because it can prevent pyrites
oxidation and mantains soil moisture during plant growth. This research aimed to
study the effect of water depth and bed width under soil culture on growth. The
experiment was held on two soil types, they were peaty mineral and mineral soil in
Tanjung Lago, Banyuasin District, South Sumatera Province, Indonesia from April to
September 2014.
The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The
main plot of the experiment was water table depth consisted of 10 and 20 cm below soil
surface. The sub plot was bed widths consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the
experiment showed that on mineral soil, the bed width on 4 m as same as 8 m and
20 cm water depth below soil surface gave the highest yield. Meanwhile, on peaty
mineral soil, the 20 cm water depth below soil surface affected on vegetative phase
only and 6 m of bed width showed the highest yield. The soybean growth and yield
on mineral was higher than those on peaty mineral soil.
Keywords: Glycine max (L.) Merr., overflow, pyrite, saturated soil culture, tidal
swamps
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI PADA KEDALAMAN
MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN DI LAHAN
MINERAL DAN MINERAL BERGAMBUT
SYAFINA PUSPARANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Iskandar Lubis, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai pada Kedalaman Muka Air dan Lebar Bedengan di
Lahan Mineral dan Mineral Bergambut semoga dapat bermanfaat bagi pengelolaan
lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi
MS dan Bapak Dr Ir Eko Sulistyono selaku pembimbing yang dengan sabar
membimbing penulis. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Dr Ir Iskandar
Lubis, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan
masukan terhadap penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
teman-teman Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura 2012 dan 2013 atas segala
kebersamaan dan dukungannya. Penulis juga ungkapan terima kasih kepada
Bapak/Ibu Wakidi dan Bapak/Ibu Suaji yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik,
atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Syafina Pusparani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Mineral dan Mineral bergambut pada lahan pasang surut
Budidaya Jenuh Air
Varietas Kedelai Toleran Masam
3
3
5
7
3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Alat
Analisis Data
Prosedur Percobaan
8
8
8
8
8
9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral Bergambut
Perbandingan antara Pertumbuhan dan Hasil Kedelai
di kedua lahan Pasang Surut
11
11
13
18
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
25
25
25
25
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
43
23
DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian
2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral
3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral
4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral
5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral
6 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral
7 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral bergambut
8 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air
di lahan mineral bergambut
9 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral bergambut
10 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan
di lahan mineral bergambut
11 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral bergambut
12 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai
di lahan mineral bergambut (lanjutan)
13 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai di kedua
lahan pasang surut
12
13
14
16
17
17
19
20
21
21
22
22
23
DAFTAR GAMBAR
1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi
2 Skematis pembagian tanah pasang surut
berdasarkan kedalaman pirit dan ketebalan gambut
3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri) tanah mineral bergambut (tengah)
dan tanah mineral (kanan)
4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut
5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan)
7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm
(kanan) di lahan mineral
8 Aklimatisasi kedelai 3 MST di lahan mineral bergambut
9 Kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
di bawah permukaan lahan mineral bergambut
10 Tanaman kedelai umur 9 MST lahan mineral bergambut (kiri)
dan mineral (kanan)
3
4
6
9
9
13
15
18
19
24
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian
2. Data suhu udara rata-rata (oC) daerah penelitian
3. Deskripsi varietas Tanggamus
4. Kriteria penilaian hasil analisis tanah
5. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral
6. Rekapitulasi analisis sidik ragam data lahan mineral bergambut
7. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral
8. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral (lanjutan)
9. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut
10. Korelasi antar peubah pengamatan di lahan mineral bergambut
(lanjutan)
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Data dari Badan Pusat Statistik (2015), menunjukkan produksi kedelai pada
tahun 2012 di Indonesia mencapai 843.15 ribu ton biji kering dan tahun 2013
sebesar 780.16 ribu ton biji kering sehingga mengalami penurunan 63 ribu ton biji
kering. Luasan panen tahun 2013 sebesar 550.79 hektar, sedangkan luasan panen
tahun 2012 sebesar 567.62 hektar mengalami penurunan 17 ribu hektar.
Produktivitas kedelai tahun 2012 sebesar 1.85 t ha-1 sedangkan pada tahun 2013
yaitu sebesar 1.46 t ha-1 yang mengalami penurunan sebesar 0.39 t ha-1. Noor (2014)
menambahkan, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kedelai nasional adalah dengan perluasan lahan dan pemanfaatan lahan marjinal
yang ada di Indonesia, salah satunya adalah lahan rawa pasang surut. Potensi lahan
rawa pasang surut sangat luas diperkirakan seluas 24.7 juta ha dengan luas 9.53 juta
ha sesuai untuk pertanian.
Menurut Noor (2014), lahan rawa pasang surut ditinjau dari aspek tanahnya
dibagi menjadi tanah sulfat masam, tanah gambut, tanah potensial dan tanah salin.
Penerapan dan pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa pasang surut
merupakan langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional.
Teknologi pertanian yang dapat diterapkan pasa lahan rawa pasang surut yaitu
dengan penggunaan varietas adaptif yang dikombinasikan dengan teknologi
perbaikan kesuburan tanah (Purwantoro et al. 2009).
Penerapan perbaikan kesuburan tanah yang sesuai untuk diterapkan di lahan
rawa pasang surut salah satunya adalah budidaya jenuh air (BJA). Budidaya jenuh
air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi secara terus menerus dan
membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm di bawah permukaan tanah)
sehigga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. (Sagala 2010) menambahkan,
pemberian air irigasi pada tanah sulfat masam dilakukan sejak awal tanam untuk
menghindari terjadinya oksidasi pirit yang terdapat pada lahan rawa pasang surut.
Pengaturan tinggi muka air yang tetap pada budidaya jenuh air dapat
menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman
karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya (Nathanson et al. 1984). Budidaya jenuh air (BJA) sebagai
alternatif teknologi yang dapat diterapkan pada budidaya kedelai sehingga tanaman
mampu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi dibandingkan
budidaya dengan pemberian irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai (Hunter et
al. 1980; Nathanson et al. 1984; Treodson et al. 1984 dan Sumarno 1986).
Kedelai varietas Tanggamus merupakan salah satu varietas kedelai yang
memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah masam dengan penerapan budidaya
jenuh air di lahan sulfat masam. Produktivitas kedelai varietas Tanggamus tanpa
perbaikan kesuburan tanah di lahan sulfat masam tanpa pengairan hanya mencapai
850 kg ha-1 (Sagala 2010), sedangkan dengan penerapan budidaya jenuh air di lahan
sulfat masam mampu mencapai 4.51 t ha-1 biji kering (Ghulamahdi 2009).
Lahan sulfat masam yang digunakan pada penelitian ini meliputi tanah
mineral dan tanah mineral bergambut. Penelitian mengenai perlakuan lebar
bedengan dengan kedalaman muka air sudah dilakukan di tanah mineral, sedangkan
2
pada tanah mineral bergambut belum terdapat penelitian dengan perlakuan yang
sama. Produktivitas kedelai pada perlakuan lebar bedengan 2 m dengan kedalaman
muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah mampu meningkatkan
produktivitas kedelai sebesar 4.15 t ha-1 di tanah mineral (Sahuri dan Ghulamahdi
2014).
Tanaman pangan yang mampu beradaptasi pada lahan bergambut antara lain
padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Penerapan teknologi perbaikan tanah bergambut untuk dapat meningkatkan
produktivitas tanaman pangan yang dibudidayakan adalah dengan pembuatan parit
drainase. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada tanah bergambut. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak
tergenang untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam
organik. Semakin pendek jarak antar parit drainase yang mengelilingi petakan
tanam di tanah bergambut, maka hasil tanaman semakin tinggi, oleh karena itu
penentuan lebar bedengan yang memisahkan antara parit yang tepat diharapkan
mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai di tanah
mineral bergambut. Faktor pembatasan utama pada tanah bergambut adalah kondisi
media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman
(Agus dan Subiksa 2008).
Perumusan Masalah
Budidaya kedelai dengan perlakuan lebar bedengan dan kedalaman muka air
pernah dilakukan di tanah mineral dan mampu meningkatkan produktivitas kedelai,
sedangkan untuk tanah mineral bergambut belum pernah diupayakan budidaya
dengan perlakuan yang serupa. Apakah lebar bedengan dan kedalaman muka air
yang direkomendasikan di lahan mineral terdahulu dapat memberikan produktivitas
yang terbaik di lahan mineral bergambut? Bagaimana produktivitas kedelai di
kedua lahan pada satu musim yang sama dengan perlakuan yang diaplikasikan?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral.
Memperoleh kedalaman muka air serta lebar bedengan terbaik terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral bergambut.
Membandingkan pertumbuhan dan produksi kedelai di kedua tanah pada lahan
pasang surut.
Hipotesis
1. Pengaturan kedalaman muka air
akan memberikan pertumbuhan
mineral.
2. Pengaturan kedalaman muka air
akan memberikan pertumbuhan
mineral bergambut.
semakin dalam dan lebar bedengan tersempit
dan produksi kedelai yang optimal di tanah
semakin dalam dan lebar bedengan tersempit
dan produksi kedelai yang optimal di tanah
3
3. Pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah mineral lebih tinggi dibandingkan
mineral bergambut pada lahan pasang surut.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengaturan
kedalaman muka air pada budidaya jenuh air dan lebar bedengan terbaik sehingga
dapat memperoleh pertumbuhan dan produksi kedelai secara optimal di tanah
mineral dan mineral bergambut lahan pasang surut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Mineral dan Mineral Bergambut pada Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut ditinjau dari aspek hidrotopografi dibagi menjadi empat
tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C dan D (Gambar 1). Lahan pasang surut dengan
tipe luapan A selalu terluapi air pasang besar maupun kecil baik pada saat musim
hujan maupun musim kemarau. Lahan pasang surut dengan tipe luapan B hanya
terluapi oleh air pasang besar pada musim hujan. Lahan pasang surut dengan tipe
luapan C sudah tidak terkena luapan air pasang, namun memiliki kedalaman muka
air tanah kurang dari 50 cm yang dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang surut. Lahan
pasang surut tipe luapan D sudah tidak terluapi oleh air pasang dan memiliki
kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm yang tidak dipengaruhi oleh fluktuasi
air pasang (Noor 2014).
Gambar 1 Lahan pasang surut berdasarkan aspek hidrotopografi
Teknologi pengelolaan lahan pasang surut dan tata air hasil dari berbagai
penelitian masih perlu dikembangkan secara luas pada beberapa jenis tanah yang
ada di lahan pasang surut. Ditinjau dari aspek tanahnya, lahan penelitian tergolong
tanah sulfat masam yang merupakan tanah mineral dan mineral bergambut (Gambar
2). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa seluruhnya merupakan endapan
4
bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang yang
ditambah dengan bahan alluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Tanah
endapan tersebut pada kedalaman tertentu terdapat bahan sulfidik (pirit) yang
menentukan tingkat kemasaman tanah Allluvial tersebut. Tanah yang terbentuk
akibat endapan ini merupakan tanah aluvial basah yang terdapat lapisan gambut di
atas permukaan tanah (< 20 cm), atau agak tebal antara 20-50 cm. Tanah mineral
bergambut merupakan tanah aluvial basah dengan lapisan gambut setebal 20-50 cm
di atas permukaan tanah. Berdasarkan sistem klasifikasi tanah lama, tanah mineral
yang agak kering atau tidak selalu basah disebut Alluvial. Tanah mineral bergambut
berdasarkan klasifikasi tanah lama disebut Glei Humus (Subagyo 2006).
Tanah Alluvial merupakan bagian dari tanah mineral yang belum mengalami
perkembangan profil tanah. Tanah Glei Humus dikenal sebagai tanah Alluvial
bergambut yang merupakan peralihan dari tanah Alluvial ke tanah Organosol.
Tanah ini belum atau mengalami sedikit perkembangan profil dan terbentuk dari
endapan lumpur dan bahan organik dalam suasana jenuh air. Lapisan atas berwarna
gelap karena banyak mengandung bahan organik. Tanah ini mempunyai ketebalan
bahan organik 20-50 cm (Subagyo 2006).
Gambar 2 Skematis pembagian tanah pasang surut berdasarkan kedalaman pirit
dan ketebalan gambut (Subagyo 2006).
Tanah gambut (Organosol) merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi
bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka
waktu yang cukup lama (Subagyo 2006). Tanah gambut umumnya selalu jenuh air
atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase (Hardjowigno 1986 dan Najiyati
et al. 2005). Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral
dan basa-basa, bahan substrantum gambut dan ketebalan lapisan gambut. Menurut
Najiyanti et al. (2005), gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan gambut
di Kalimantan. Lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Asam-asam organik tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
5
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut (Sabiham et al. 1997 dan Saragih 1996).
Budidaya Jenuh Air
Menurut Ngudiantoro et al. (2010), reklamasi atau pengembangan lahan rawa
pasang surut di Sumatera Selatan telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1969
melalui program transmigrasi dengan sistem jaringan tata air yang dibangun masih
merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Sistem
jaringan terbuka bergantung pada tipe luapan air pasang dalam penerapan sistem
usaha tani. Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman
dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik.
Budidaya jenuh air (BJA) memberikan solusi dalam pengelolaan air pada
lahan pasang surut yaitu budidaya dengan memberikan irigasi secara terus-menerus
dan membuat kedalaman muka air tetap sehingga lapisan di bawah permukaan
tanah jenuh air. Budidaya jenuh air juga dapat dilakukan dengan melakukan irigasi
terbuka di bawah permukaan tanah jika air berkurang dan drainase permukaan jika
air berlebih. Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik
menggunakan sistem surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi
(Ghulamahdi 1999).
Pengaturan kedalaman muka air tetap pada BJA akan menghilangkan
pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai
akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya
(Troedson et al. 1983). Kedalaman muka air dan lebar bedengan yang tepat pada
kondisi tanah tertentu perlu diteliti agar memperoleh pertumbuhan kedelai yang
baik dengan hasil yang tinggi pada beberapa lahan pasang surut.
Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai di
lahan pasang-surut. Pengaturan kedalaman muka air tanah dalam BJA berkaitan
dengan kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan
mikroorganisme di dalam tanah sekaligus dapat menekan pengaruh keracunan dan
kemasaman tanah (Welly 2013). Perlakuan lebar bedengan pada budidaya jenuh air
diharapkan mampu memperoleh lebar bedengan yang dapat direkomendasikan
pada masing-masing jenis tanah di lahan pasang surut. Penelitian Sahuri (2011)
menunjukkan lebar bedengan 2 m merupakan lebar bedengan yang
direkomendasikan untuk budidaya kedelai di lahan mineral, sedangkan pada lahan
mineral bergambut belum pernah dilakukan penelitian lebih lanjut untuk perlakuan
lebar bedengan dengan budidaya jenuh air.
Muka air tanah merupakan batas antara permukaan atas tanah dengan tanah
yang terjenuhi air tanah. Lapisan tanah paling atas hanya sebagian pori tanah yang
terisi air sedangkan lainnya berisi udara. Pada bagian bawah muka air tanah semua
pori tanah terisi (jenuh) dengan air. Lapisan jenuh ini disebut lapisan jenuh air.
Kedalaman muka air bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain, yang
umumnya muka air tanah relatif lebih dalam pada dataran tinggi dibandingkan dataran rendah (Ngudiantoro 2009).
Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatur lahan sulfat masam adalah
dengan pengelolaan air secara tepat (Dent 1986 dan Sen 1988) sebagai contoh
dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah maka laju oksidasi pirit dan
6
produksi asam dapat dikendalikan. Perlakuan irigasi serta pencucian dapat
menghilangkan kemasaman dari profil tanah (Bronswijk et al. 1995). Menurut
Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersier merupakan suatu
proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengendalian air di saluran
tersier, namun teknik pengelolaan air yang dilakukan hingga saat ini masih
bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan dengan
membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan.
Pengendalian drainase lahan bergambut bertujuan untuk mencegah terjadinya
penurunan lapisan gambut (subsiden). Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menghindari pengusikan lapisan gambut dan mengatur tinggi muka air tanah di
daerah rhizosfer. Salampak (1999) melaporkan bahwa pengelolaan saluran drainase
pada tanah bergambut yaitu dengan mempertahankan kondisi lengas tanah. Praktek
pengelolaan air dengan mempertahankan lengas tanah pada kondisi kecukupan
dapat dilakukan dengan mengatur permukaan air tanah agar fungsi fisiologis
tanaman tetap berjalan serta menerapkan praktek budidaya dengan olah tanah
minimal sebagai upaya konservasi untuk memperkecil subsiden lapisan gambut.
Gambar 3 Tanah dengan pirit teroksidasi (kiri), tanah mineral bergambut (tengah)
dan tanah mineral (kanan)
Pembuatan saluran drainase tanpa pengelolaan yang tepat akan menyebabkan
permukaan air tanah menjadi turun melebihi lapisan pirit yang terdapat di dalam
lapisan tanah. Penurunan air tanah yang melebihi lapisan pirit pada tanah akan
menyebabkan tanah bagian atas lapisan permukaan air terpapar di lingkungan aerob
yang akan menyebabkan terjadinya oksidasi. Lapisan pirit dalam tanah yang ikut
terpapar oksigen akan mengalami oksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan
senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhir dari proses oksidasi pirit pada
tanah akan menyebabkan tanah bereaksi masam ekstrim yaitu pH tanah menjadi
turun hingga < 3.5, tanah banyak mengandung ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2
(Fe-II), dan aluminium (AL3+). Gambar 3 menunjukkan tanah dengan pirit yang
sudah teroksidasi berwarna coklat atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat
kemerahan (brown layer), sedangkan tanah yang masih tereduksi berwarna kelabu
tua hingga kelabu gelap (gray layer) (Subagyo 2006). Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan yang tepat dalam pembuatan saluran drainase dan pengaturan
7
ketinggian muka air tanah pada lahan sulfat masam yang mengandung lapisan pirit
untuk diusahakan sebagai lahan pertanian.
Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan bergambut. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh
untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik.
Semakin pendek jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi.
Pengaturan pembuatan drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun
demikian semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden gambut
(Agus dan Subiksa 2008).
Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidang lahan
yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut disekitarnya.
Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas pula pengaruhnya dalam
menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya, yang selanjutnya mempercepat
emisi gas rumah kaca. Konservasi lahan gambut melalui pendekatan hidrologi harus
diterapkan pada seluruh hamparan gambut (Agus dan Subiksa 2008).
Varietas Kedelai Toleran Masam
Kedelai varietas unggul nasional yang adaptif lahan rawa pasang surut antara
lain adalah Lawit dan Menyapa memiliki daya hasil cukup tinggi yaitu 2 t ha-1.
Selain itu, terdapat Varietas Rinjanim, Galunggung, Merbabu, Kerinci, Tampomas
dan Tanggamus yang memiliki daya hasil 1.5 hingga 2.4 t ha-1 (BPTPI 2010).
Berdasarkan penelitian terdahulu, Tanggamus mampu memberikan produktivitas
melebihi dari deskripsi varietasnya ketika dibudidayakan di lahan sulfat masam
dengan BJA (Lampiran 3). Tanggamus memiliki pola pertumbuhan yang lebih
stabil dari awal tanam hingga umur 13 MST. Tanggamus juga mampu
menggunakan nitrogen secara efisien untuk meningkatkan bobot kering tanaman
terutama pada pembentukan polong di lahan sulfat masam (Sagala et al. 2011).
Tanggamus merupakan varietas yang paling adaptif di lahan pasang surut
yang ditunjukkan dengan produksi biji tinggi dengan teknologi BJA dan cukup baik
dengan budidaya tanpa pengairan. Sagala (2010) menunjukkan produktivitas
Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan di lahan pasang surut sebesar 850 kg
ha-1 sama dengan produktivitas kedelai pasang surut yang ditemukan sebelumnya
oleh Djayusman et al. (2001) yaitu sebesar 800 kg ha-1. Sagala (2010) menunjukkan
bahwa Tanggamus lebih responsif terhadap teknologi BJA di lahan pasang surut
dan diikuti oleh Slamet, Anjasmoro dan Wilis.
Tanggamus mampu menghasilkan produktivitas mencapai 4.83 t ha-1 dengan
muka air 20 cm di bawah tanah bedengan tanam. Pertumbuhan kedelai varietas
Tanggamus lebih stabil dibandingkan ketiga varietas lainnya karena mampu
menggunakan unsur hara yang diserap untuk semua komponen tanaman secara
merata. Pola serapan unsur hara N, P, K, Fe dan Mn Tanggamus secara umum lebih
tinggi dibandingkan ketiga varietas lainnya meskipun kadar hara keempat varietas
yang dibudidayakan relatif sama. Adaptasi genotipe Tanggamus terhadap pola
penyerapan hara memberikan adaptasi yang lebih baik pada lahan pasang surut
(Sagala et al. 2011).
8
3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip (tanah mineral) dan Desa Mulyasari
(tanah mineral bergambut), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin,
Palembang dari bulan April-September 2014.
Bahan
Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai varietas Tanggamus, inokulan
Bradyrhizobium sp, pupuk kandang, kapur dolomit, pupuk daun N, SP36, KCl,
insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%.
Alat
Alat yang digunakan adalah peralatan tanam dan peralatan pertanian lainnya
seperti sprayer, alat tulis, timbangan analitik, pressure plate apparatus dan tabung
kuningan.
Analisis Data
Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan
rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang 3 kali.
Petak utama adalah kedalaman muka air yang terdiri dua taraf, yaitu 10 cm (T1)
dan 20 cm (T1) di bawah permukaan tanah. Anak petak adalah lebar bedengan yang
terdiri dari empat taraf, yaitu 2 m (L1), 4 m (L2), 6 m (L3) dan 8 m (L4).
Berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002), model linear dari rancangan petak
terpisah secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :
Yijk = µ +
i+
αj +
ij
+ βk + (αβ)jk + Єijk
Keterangan:
i
: Ulangan/kelompok
j
: Kedalaman muka air (1, 2)
k
: Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)
Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh kedalaman muka air ke-j, lebar bedengan
ke-k dan ulangan ke-i
µ
: Rataan umum/nilai tengah
i
: Pengaruh ulangan/kelompok ke-i
αj
: Pengaruh kedalaman muka air ke-j
ij
: Pengaruh galat yang muncul pada kedalaman muka air ke-j dan ulangan
ke-i
βk
: Pengaruh lebar bedengan ke-k
(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor kedalaman muka air taraf ke-j dan lebar
bedengan taraf ke-k
Єijk : Pengaruh galat kedalaman muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada
ulangan ke-i
9
Percobaan ini merupakan combined experiment antara kedua lokasi. Data
yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada
taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range
Test pada taraf 5% yang kemudian dilanjutkan dengan uji t student untuk
membandingkan antara kedua lokasi lahan.
Prosedur Percobaan
1.
Persiapan lahan
Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak
berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, 8 m x 5 m sehingga petak utama
berukuran 20 m x 5 m. Setiap petak utama dibuat saluran air dengan lebar 30
cm dan kedalaman 25 cm untuk menjaga kondisi bedengan selalu lembab
(Gambar 4).
Gambar 4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut
Air irigasi diberikan sejak tanam dengan pengaturan kedalaman muka air
sesuai dengan perlakuan. Pemberian air irigasi pada lahan mineral setiap satu
minggu sekali, sedangkan untuk lahan mineral bergambut setiap 3 hari sekali
apabila air pada parit turun 5 cm untuk kedalaman muka air 10 cm (T1)
sedangkan untuk kedalaman muka air 20 cm (T2) diupayakan untuk tetap
dipertahankan sesuai dengan perlakuan pada penerapan di lapang (Gambar 5).
Gambar 5 Perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan)
10
2.
3.
4.
5.
Penanaman
Penanaman kedelai menggunakan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan setiap
lubang tanam diisi 2 benih kedelai ditanam dangkal 1-2 cm. Sebelum benih
kedelai ditanam, diinokulasi dengan Bradyrhizobium sp sebanyak 5 g kg-1
benih terlebih dahulu. Pemberian insektisida berbahan aktif Karbosulfan
25.53% sebanyak 15 g kg-1 benih diberikan bersamaan pada saat tanam.
Pemupukan
Pemberian pupuk kandang sebanyak 2 t ha-1 dan pemberian kapur
sebanyak 1 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan lahan, setelah itu lahan
diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 36 sebanyak 200 kg ha-1 dan KCl
sebanyak 100 kg ha-1 diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N
tidak diberikan pada saat tanam, karena diharapkan bintil akar dapat memenuhi
kebutuhan nitrogen bagi tanaman, pupuk N daun dengan konsentrasi 10 g urea
l-1 air diberikan pada umur 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST) untuk
membantu pemulihan daun pada saat aklimatisasi.
Pemeliharaan
Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 5 hari setelah tanam.
Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan
tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Pengendalian
gulma dilakukan secara mekanik, sedangkan pengendalian hama menggunakan
insektisida.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman
berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah :
1) Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (cm).
2) Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah).
3) Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah).
4) Bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (g).
5) Jumlah polong total, isi dan hampa per tanaman (buah).
6) Bobot biji per tanaman (g).
Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen pada setiap
tanaman sampel.
7) Produktivitas (t ha-1).
8) Pengamatan dilakukan terhadap komponen sifat fisik dan kimia tanah
meliputi :
a. Porositas total tanah
Menghitung porositas total dengan rumus :
Porositas total = (1 ) x 100% (Sitorus et al. 1980).
�
�
b. Tekstur tanah
Penentuan tekstur tanah secara kuantitatif dilakukan melalui proses
analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi
butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi.
c. Analisis tanah sebelum tanam
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan
liat). pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan
KTK, Kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, Mn, Cu dan Zn
serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah
11
(pH) ditentukan dengan ekstrak 1 : 5 menggunakan H2O dan KCl, C organik
ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl.
P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode
Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan
metode titrasi.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian
Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah
dengan posisi yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin.
Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa
pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering
dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Lahan tersebut banyak
dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan lahan basah, khususnya persawahan
pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha
milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura (Banyuasin 2012).
Batas wilayah Tanjung Lago antara 104o20’15” – 104o52’39” bujur timur dan
o
2 23’33” – 2o47’51” lintang selatan. Kecamatan Tanjung δago memiliki luas
wilayah 829.40 km2. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Tanjung Lago
sebagian besar terdiri dari dataran rendah, beberapa desa berada di pinggir aliran
anak sungai musi. Ketinggian wilayah berkisar antar 0 – 4 m di atas permukaan
laut. Secara rata-rata 40.33% luas wilayah Kecamatan Tanjung Lago digunakan
untuk lahan pertanian, 54.97% luas wilayah sebagai lahan usaha non pertanian
termasuk hutan rakyat, 4.73% digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum
lainnya termasuk jalan. Lahan pertanian di Kecamatan Tanjung Lago meliputi
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Desa Mulya Sari memiliki luas wilayah 18.83 km2 dengan letak geografis
bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Desa Mulya Sari
berdasarkan tipe luapan air pasang termasuk tipe luapan B dan C. Desa Banyu Urip
memiliki luas wilayah 14.37 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi
wilayah merupakan dataran rendah. Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk
dalam tipe luapan C dan D. Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan
cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air,
sehingga sistem pengelolaan hanya tergantung pada fluktuasi pasang surut.
Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter
(Banyuasin 2012).
Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka
air tanah di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi
menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral
bergambut pada awal pertumbuhan tanaman mengandalkan air luapan pasang besar
dan membuang kelebihan air melalui pintu air, selanjutkan perlakuan muka air pada
saat memasuki musim kemarau dibantu dengan memompa air ke dalam saluran
pada petakan. Perlakuan kedalaman muka air pada lahan mineral sejak awal tanam
dibantu dengan memasukkan air melalui pompa air dikarenakan sudah tidak
12
terpengaruh hempasan air pasang dari sungai.
Penelitian dilakukan pada bulan April hingga September 2014 di lahan
mineral bergambut dan lahan mineral. Persiapan lahan membutuhkan 3 minggu
sebelum tanam. Perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan dilakukan pada
saat olah tanam hingga panen. Penanaman pada lahan mineral bergambut dan
mineral dilakukan pada bulan Mei 2014.
Penanaman pada kedua lahan dilakukan pada akhir musim hujan dengan
curah hujan pada bulan Mei sebesar 93 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 27.9 oC.
Pembentukan polong dan pengisian polong terjadi pada bulan Juli dengan curah
hujan sebesar 112 mm bulan-1 dan suhu mencapai 28 oC. Pemasakan biji terjadi
pada bulan Agustus dengan curah hujan 63 mm bulan-1 dan suhu mencapai 27.5 oC,
sedangkan pada saat panen di bulan September untuk curah hujan hanya sebesar 16
mm bulan-1 dengan suhu mencapai 28 oC (Lampiran 1 dan 2).
Tabel 1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian
Parameter
1. pH H2O
2. pH KCl
3. C Organik (%)
4. N total (%)
5. P tersedia (ppm)
6. Ca (me 100g-1)
7. Mg (me 100g-1)
8. K (me 100g-1)
9. Na (me 100g-1)
10. KTK (me 100g-1)
11. Al (me 100g-1)
12. Mn (ppm)
13. Fe (ppm)
14. KB (%)
15. Porositas total (%)
16. Berat volume tanah (g cm-3)
17. Tekstur tanah
Mineral bergambut
4.2 (sangat masam)
3.3 (sangat masam)
38 (mineral bergambut)
1.85 (sangat tinggi)
45.8 (sangat tinggi)
8.30 (sedang)
2.76 (tinggi)
0.71 (tinggi)
0.45 (sedang)
89.68 (sangat tinggi)
2.50 (sangat tinggi)
24.85 (sangat tinggi)
59.76 (sangat tinggi)
13.6 (sangat rendah)
60.65
0.65
bergambut
Mineral
4.5 (masam)
3.7 (sangat masam)
3.4 (mineral)
0.22 (sedang)
7.7 (sedang)
5.65 (sedang)
6.15 (tinggi)
0.32 (sedang)
1.74 (sangat tinggi)
28.43 (tinggi)
1.45 (sangat tinggi)
19.05 (tinggi)
11.74 (tinggi)
48.75 (sedang)
46.57
1.12
Lempung liat berdebu
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2009) (Lampiran 4)
Herudjito dan Haridjaja (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat
kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu tanah mineral (kandungan C organik
hingga 18%), tanah mineral bergambut (kandungan C organik antara 18% ̶ 38%)
dan tanah organik (kandungan C organik lebih dari 38%). Berdasarkan analisis
tanah awal, kedua tanah penelitian tergolong pada tanah sulfat masam potensial
yang memiliki reaksi tanah sangat masam hingga agak masam (pH > 4) dengan
warna tanah kelabu tua sampai kelabu gelap.
Sifat kimia tanah kedua tanah memiliki kandungan Al dan Fe yang sangat
tinggi pada lahan mineral bergambut dan tinggi pada lahan mineral. Keberadaan Fe
secara fisik dapat terlihat dari lapisan berwarna karat pada tanah dan air (Gambar
6). Lapisan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian
bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah mineral, kandungan Na yang sangat tinggi
ternyata belum sampai mempegaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
dengan penerapan teknologi BJA.
13
Gambar 6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan)
Porositas total tanah mineral bergambut lebih besar dibandingkan tanah
mineral. Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah
mineral bergambut. Pada berat volume tanah mineral bergambut yang lebih rendah
disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik pada lapisan tanah. YongYong et al. (2015) menjelaskan bahwa rendahnya berat volume tanah akan memicu
peningkatan volume kebasahan tanah yang disebabkan oleh tingginya porositas
tanah dan kelembaban tanah. Berat volume serta porositas tanah merupakan
indikator fisik yang dapat menggambarkan dan berhubungan dengan keadaan
infiltrasi, permeabilitas, kekompakan-pemadatan tanah, tekstur tanah, kandungan
bahan organik tanah. Kondisi dari karakteristik tersebut akan berkaitan dengan
fungsi tata udara dan air yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman,
organisme lainnya serta konservasi tanah dan air (Wall dan Heiskanen 2009;
Cannavo et al. 2011).
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dengan uji lanjut DMRT untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan mineral dipengaruhi oleh
perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan (Lampiran 5). Pada fase
vegetatif, perlakuan kedalaman muka air tanah hanya berpengaruh pada awal
pertumbuhan tanaman di lahan mineral. Berdasarkan uji DMRT, kedalaman muka
air 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan jumlah terbanyak pada daun dan
cabang umur 4 MST (Tabel 2).
Tabel 2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan
mineral
Kedalaman muka air
DPT (cm)
4
10
20
30.1
32.2
10
20
6.5 b
9.5 a
10
20
0.3 b
1.0 a
Umur (MST)
6
8
Tinggi tanaman (cm)
64.9
86.9
68.4
91.1
Jumlah daun
12.8
16.5
15.9
19.1
Jumlah cabang
2.2
2.8
2.5
3.1
10
87.9
91.1
14.3
17.9
3.1
3.2
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%
14
Pemberian jenuh air menyebabkan tanaman menyesuaikan diri (aklimatisasi)
terhadap kondisi lingkungan yang suboptimum untuk pertumbuhannya. Tanaman
kedelai beraklimatisasi sebagai respon terhadap kondisi jenuh air dimulai pada
umur 3 MST hingga umur 5 MST. Ghulamahdi (1999) menjelaskan bahwa
aklimatisasi ditunjukkan dengan gejala klorosis akibat penurunan penyerapan
nitrogen. Penurunan penyerapan nitrogen disebabkan oleh kematian beberapa akar
yang tumbuh melebihi lapisan jenuh air. Pemberian pupuk nitrogen cair melalui
daun bertujuan untuk pemulihan klorosis selama proses aklimatisasi.
Ghulamahdi et al. (2006), juga menyimpulkan pertumbuhan kedelai
mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi
mati dan selanjutnya tumbuhan di atas muka air, kemudian pertumbuhan meningkat
setelah melewati masa aklimatisasi. Perlakuan kedalaman muka air tidak
berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, meskipun secara statistik tidak berbeda
nyata namun rata-rata nilai disetiap pertambahan umur yang ditunjukkan pada
kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan
pada kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Pertumbuhan kedelai
pada lahan mineral lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang
ditunjukkan berdasarkan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 2).
Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman muka air berpengaruh
nyata terhadap jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi
panen, bobot per tanaman dan produktivitas. Berdasarkan uji duncan diperoleh
bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah nyata lebih tinggi
untuk peubah jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi
panen, bobot biji per tanaman dan produktivitas.
Tabel 3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan
mineral
Pengamatan
Panjang akar 9 MST (cm)
Bobot kering tajuk 9 MST (g)
Bobot kering akar 9 MST (g)
Bobot kering bintil 9 MST (g)
Jumlah bintil 9 MST
Jumlah polong panen
Jumlah polong isi panen
Jumlah polong hampa panen
Bobot biji per tanaman (g)
Produktivitas (t ha-1)
Kedalaman muka air DPT (cm)
10
20
28.6
30.5
30.2
34.1
2.4
2.6
0.5
0.8
46.9 b
85.5 a
103.5 b
128.9 a
99.8 b
123.8 a
3.6
5.1
21.2 b
25.8 a
3.6 b
4.4 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Kedalaman muka air berpengaruh pada fase generatif tanaman kedelai di
lahan mineral. Ketersediaan air selama pembungaan hingga pengisian polong
merupakan periode kritis untuk produksi kedelai. Oleh karena itu dengan pemberian
jenuh air akan menyediakan ketersediaan air bagi tanaman selama periode tersebut.
Ketersediaan air pada budidaya jenuh air memperpanjang fase vegetatif tanaman
kedelai dan menunda senesen daun selama pengisian polong sehingga
memperpanjang waktu remobilisasi unsur hara dari daun menuju biji. Hasil
fotosintesis di lahan mineral lebih banyak di distribusikan pada pembentukan dan
15
pengisian polong, hal ini terlihat dari jumlah polong panen dan polong isi (Tabel
3). Jumlah polong panen berkorelasi dengan jumlah polong isi (p-value 0.00).
Jumlah polong isi kemudian berkorelasi dengan bobot biji per tanaman (p-value
0.00) dan berkorelasi dengan produktivitas kedelai (p-value 0.00) (Lampiran 8).
Kirkham (2005) melaporkan bahwa muka air pada kedalaman ± 20 cm di
bawah permukaan tanah memberikan sumbangan kelengasan tanah 20 – 50%.
Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan
BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena
mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil
terus berlanjut sampai fase pengisisan polong, dan mengalami penundaan penuaan.
Agarwal et al. (2012) juga menambahkan penundaan senesen dapat terjadi dengan
peningkatan biosintesis etilen yang dapat terjadi pada kondisi jenuh air. Sudaryono
et al. (2007) kemudian menambahkan bahwa dengan kecukupan penyediaan air
untuk kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang
sangat penting. Berdasarkan pertumbuhan tanaman di lapang, ditunjukkan dengan
penundaan masa vegetatif maksimum tanaman yang lebih lama dengan budidaya
jenuh air di lahan mineral.
Ghulamahdi et al. (2009) juga menunjukkan produktivitas kedelai yang tinggi
pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 4.63 ton ha-1 di
lahan mineral. Ghulamahdi et al. (2009) menyimpulkan bahwa kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah merupakan kedalaman terbaik secara ekonomi (lebih
murah) yang tetap dapat menghasilkan produktivitas tinggi. Potensial air tanah pada
tinggi muka air 5 sampai 10 cm dari dasar parit akan menyebabkan kondisi selalu
berada di sekitar kapasitas lapang.
Gambar 7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm
(kanan) di lahan mineral.
Berdasarkan hasil analisis tanah awal, kandungan Al dan Fe pada lahan
mineral tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan pirit pada lahan
mineral. Lapisan pirit pada lahan mineral berada pada kedalaman ± 30 cm di bawah
permukaan tanah (Gambar 6). Pemberian jenuh air pada lahan mineral
menyebabkan kondisi reduktif pada lapisan pirit sehingga tidak menyebabkan
16
toksisitas Al dan Fe pada tanaman selama pertumbuhannya. Kedalaman muka air
20 cm di bawah permukaan tanah juga mampu menekan oksidasi pirit yang terdapat
pada lapisan tanah mineral pasang surut, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya
gejala tanaman yang keracunan Al dan Fe dari awal tanam hingga panen.
Pertumbuhan tanaman pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah
permukaan tanah (Gambar 7) juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan pada perlakuan kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan
tanah.
Selama masa pertumbuhan vegetatif, perlakuan lebar bedengan hanya
berpengaruh pada jumlah daun. Vegetatif maksimum terjadi pada umur 9 MST di
lahan mineral dengan budidaya jenuh air. Jumlah daun pada umur 10 MST nyata
lebih banyak pada lebar bedengan 2 dan 8 m (Tabel 4), hal ini berbeda dengan
penelitian Sahuri (2011) yang menunjukkan jumlah daun umur 10 MST tidak
berbeda nyata pada semua perlakuan lebar bedengan tanam. Hal ini disebabkan
karena jumlah daun umur 10 MST mulai mengalami senesen pada lebar bedengan
4 dan 6 m, sedangkan pada lebar 2 dan 8 m jumlah daun masih dapat ditingkatkan.
Tabel 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral
Lebar bedengan (m)
4
2
4
6
8
31.8
31.8
30.4
30.7
2
4
6
8
8.4
7.8
7.8
7.9
2
4
6
8
0.9
0.5
0.6
0.7
Umur (MST)
6
8
Tinggi tanaman (cm)
66.5
89.8
67.3
87.8
67.1
89.4
65.9
88.9
Jumlah daun
13.2 b
16.4 b
16.3 a
20.1 a
15.7 a
18.6 a
12.2 b
15.9 b
Jumlah cabang
2.5
3.1
2.2
3.1
2.3
2.7
2.3
2.9
10
89.6
87.5
90.3
90.5
18.7 a
13.9 b
13.7 b
18.2 a
3
3.3
3.3
3.0
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji jarak berganda Duncan 5%.
Selama fase generatif tanaman, perlakuan lebar bedengan hanya berpegaruh
pada bobot biji per tanaman dan produktivitas kedelai di lahan mineral.
Berdasarkan uji duncan untuk bobot biji per tanaman dan produktivitas diperoleh
lebar 4 m tidak berbeda nyata dengan 2 dan 8 m, tetapi nyata lebih tinggi
dibandingkan lebar 6 m. Hal ini dikarenakan bobot biji per tanaman pada lebar 4 m
paling tinggi dibandingkan dengan lebar bedengan lainnya. Diduga translokasi
fotosintat dan remobilisasi unsur hara selama pengisian dan pemasakan biji yang
tinggi pada lebar bedengan 2, 4, dan 8 m menyebabkan bobot biji per tanaman juga
lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m (Tabel 5). Jumrawati (2010) juga menjelaskan
bahwa, bobot biji per tanaman mengindikasikan kemampuan tanaman dalam
menggunakan asimilat untuk pengisian biji.
17
Tabel 5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral
Pengamatan
Panjang akar (9 MST) (cm)
Bobot kering tajuk (9 MST) (g)
Bobot kering akar (9 MST) (g)
Bobot kering bintil (9 MST) (g)
Jumlah bintil (9 MST)
Jumlah polong panen
Jumlah polong isi panen
Jumlah polong hampa panen
Bobot biji per tanaman (g)
Produktivitas (t ha-1)
2
31.3
33.8
2.6
0.7
81.0
115.9
111