Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir

(1)

KEBERADAAN MIKROBA PELARUT POSFAT PADA

TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN

SAMOSIR

SKRIPSI

OLEH :

WIKA ASTUTI SAGALA/ 101201048 BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

ABSTRAK

WIKA ASTUTI SAGALA. Keberadaaan Mikroba Pelarut Fosfat pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samoosir. Dibawah bimbingan DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai jenis mikroba pelarut fosfat yang terdapat pada tanah bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di Kabupaten Samosir. Sampel tanah diambil dari setiap tanah bekas kebakaran hutan pada kedalaman 0-20 cm disekitar rhizosfir. Analisis tanah dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara serta Isolasi dan Identifikasi Mikroba Pelarut Fosfat dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Hasil isolasi menunjukkan terdapat kesamaan dan perbedaan mikroba pelarut fosfat pada tanah bekas kebakaran hutan dan tidak terbakar. Mikroba pelarut fosfat yang ditemukan terdiri dari 4 genus bakteri yang berasal dari Pseudomonas, Flavobacterium, Staphilococus, dan Mycobacterium serta 2 genus fungi yang berasal dari genus Aspergillus dan Penicillium.

Kata kunci : Kebakaran hutan, mikroba pelarut fosfat, Flavobacterium, Staphilococus, Mycobacterium, Aspergillus, Penicillium.


(3)

ABSTRACT

WIKA ASTUTI SAGALA. The Existence of Phosphates Solubilizing Microbial on Soil of Forest Fire in Samosir Regency. Under the guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

The research was done to know the various types of Phosphates Solubilizing Microbial was which on soil of fire by the time of the fire in Samosir Regency. Soil samples were taken from each of the soil of forest fires at a depth of 0-20 cm around rhizosfir. Soil analysis was done in Study Hall of Agricultural Technology North Sumatra then Isolation and Identification of Phosphates Solubilizing Microbial was done at the Laboratory of Soil Biology, Agro Studies Program, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra.

The results isolation showed that there were similarities and differences of Phosphates Solubilizing Microbial on soil of forest fires and unburned forest. Phosphates Solubilizing Microbial was found consisting of 4 genus bacterium are derived from Pseudomonas, Flavobacterium, Staphilococus, and Mycobacterium then 2 genus of fungi are derived from the genus Aspergillus and Penicillium. Keywords: Forest fires, Phosphates Solubilizing Microbial, Flavobacterium, Staphilococus, Mycobacterium, Aspergillus, Penicillium.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Wika Astuti Sagala dilahirkan di Desa Sarang Giting Kahan, Kecamatan Bintang Bayu, Kabupaten Serdang Bedagai pada tanggal 27 Januari 1993 dari Bapak Lasmer Sagala dan Ibu Herlyda Manurung. Penulis merupakan anak bungsu dari lima bersaudara.

Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 104285 Sarang Giting Kahan. Pada tahun 2007 lulus dari SMP N 1 Bintang Bayu. Pada tahun 2010 lulus dari SMA Swasta Katolik Cinta Kasih Tebing Tinggi, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Universitas Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis Ujian Masuk Bersama (UMB) Program studi Kehutanan, Fakultas Pertanian. Penulis memilih minat Budidaya Hutan, Program studi Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan Kegiatan Mahasiswa Katolik (IMK). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di TAHURA Bukit Barisan pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Sifat Fisis dan Mekanis Kayu. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. BINA SILVA NUSA, Kalimantan Barat, dari tanggal 5 Februari sampai 5 Maret 2014.

Penulis melaksanakan penelitian dari bulan Mei 2014 – September 2014 dengan judul “Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir” dibawah bimbingan Dr. Deni Elfiati, SP, MP dan Dr. Delvian, SP, MP.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmatNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat pada Lahan Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir” ini dengan baik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai keberadaan mikroba pelarut fosfat pada tanah bekas kebakaran hutan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Deni Elfiati, SP., MP dan Bapak Dr. Delvian, SP., MP selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Ayah L. Sagala, Ibu H. Manurung, abang Lodewik Sagala, Bona Sagala, Orianto Sagala, kakak Ira Sagala yang selalu mendukung penulis melalui motivasi dan doa. Serta kepada sahabat (Eko dan Hana), teman seperjuangan (Bunga, Ervan, Gusti, Juneith, Noa, Ria, Sony, Yepta) teman kos (Fany, Juli, Arta, Susan, Bambang dan Kak Yuni), dan seluruh teman kehutanan stambuk 2010, khususnya Budidaya Hutan 2010 yang telah membantu dan memberi dukungan sampai skripsi ini selesai.

Penulis masih mengharapkan kritik, saran dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP…... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Bekas Kebakaan………... 4

Sumber dan Peranan Fosfat... 7

Mikroba Pelarut Fosfat... 9

Keberadaan Mikroba Pelarut Fosfat pada Berbagai Ekosistem...11

Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 12

Kecamatan Pangururan... 12

Kecamatan Simanindo... 13

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 14

Bahan dan Alat...14

Prosedur Penelitian………... 15

Pengambilan Contoh Tanah... 15

Analisis Tanah... 15

Isolasi Mikroba Pelarut Fosfat... 15

Identifikasi Mikroba Pelarut Fosfat... 16

Identifikasi Bakteri………... 16

Identifikasi Fungi………... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Tanah Bekas Kebakaran Hutan... 18

Isolasi Mikroba Pelarut Fosfat Tanah Bakas Kebakaran Hutan... 21

Jenis Mikroba Pelarut Fosfat Tanah Bekas Kebakaran Hutan…... 23

Peseudomonas………... 24 Flavobacterium... 27 Staphylococcus... 28 Mycobacterium………... 30 Aspergillus... 32 Penicillium... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan………... 37

Saran…... 37 DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Hasil Analisis Sifat Kimia Sampel Tanah Bekas Kebakaran Hutan

dan Tanah Tidak Terbakar...18

2. Hasil perhitungan jumlah populasi mikroba pelarut fosfat... 21

3. Genus bakteri pelarut fosfat...24

4. Pengamatan Pseudomonas secara makroskopis... 25

5. Pengamatan mikroskopis uji karakteristik Pseudomonas...25

6. Pengamatan Flavobacterium secara makroskopis... 27

7. Pengamatan mikroskopis uji karakteristik Flavobacterium... 27

8. Pengamatan Staphylococcus secara makroskopis... 28

9. Pengamatan mikroskopis uji karakteristik Staphylococcus... 29

10. Pengamatan Mycobacterium secara makroskopis... 30

11. Pengamatan mikroskopis uji karakteristik Mycobacteri... 30

12. Jenis fungi pelarut fosfat... 31

13. Pengamatan Aspergillus... 34


(8)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pseudomonas sp... 26

2. Flavobacterium sp... 28

3. Staphylococcus sp... 29

4. Mycobacterium sp... 31

5. Aspergillus sp... 33


(9)

ABSTRAK

WIKA ASTUTI SAGALA. Keberadaaan Mikroba Pelarut Fosfat pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samoosir. Dibawah bimbingan DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai jenis mikroba pelarut fosfat yang terdapat pada tanah bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di Kabupaten Samosir. Sampel tanah diambil dari setiap tanah bekas kebakaran hutan pada kedalaman 0-20 cm disekitar rhizosfir. Analisis tanah dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara serta Isolasi dan Identifikasi Mikroba Pelarut Fosfat dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Hasil isolasi menunjukkan terdapat kesamaan dan perbedaan mikroba pelarut fosfat pada tanah bekas kebakaran hutan dan tidak terbakar. Mikroba pelarut fosfat yang ditemukan terdiri dari 4 genus bakteri yang berasal dari Pseudomonas, Flavobacterium, Staphilococus, dan Mycobacterium serta 2 genus fungi yang berasal dari genus Aspergillus dan Penicillium.

Kata kunci : Kebakaran hutan, mikroba pelarut fosfat, Flavobacterium, Staphilococus, Mycobacterium, Aspergillus, Penicillium.


(10)

ABSTRACT

WIKA ASTUTI SAGALA. The Existence of Phosphates Solubilizing Microbial on Soil of Forest Fire in Samosir Regency. Under the guidance of DENI ELFIATI and DELVIAN.

The research was done to know the various types of Phosphates Solubilizing Microbial was which on soil of fire by the time of the fire in Samosir Regency. Soil samples were taken from each of the soil of forest fires at a depth of 0-20 cm around rhizosfir. Soil analysis was done in Study Hall of Agricultural Technology North Sumatra then Isolation and Identification of Phosphates Solubilizing Microbial was done at the Laboratory of Soil Biology, Agro Studies Program, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra.

The results isolation showed that there were similarities and differences of Phosphates Solubilizing Microbial on soil of forest fires and unburned forest. Phosphates Solubilizing Microbial was found consisting of 4 genus bacterium are derived from Pseudomonas, Flavobacterium, Staphilococus, and Mycobacterium then 2 genus of fungi are derived from the genus Aspergillus and Penicillium. Keywords: Forest fires, Phosphates Solubilizing Microbial, Flavobacterium, Staphilococus, Mycobacterium, Aspergillus, Penicillium.


(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mikroorganisme tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman, salah satunya mikroba pelarut fosfat (MPF). Mikroba pelarut fosfat (MPF) merupakan mikroorganisme tanah yang berperan dalam penyediaan unsur hara P pada tanaman. Mikroba pelarut fosfat terdiri dari bakteri dan fungi yang mampu melarutkan fosfat. Beberapa jenis fungi dan bakteri seperti Bacillus polymyxa, Pseudomonas striata, Aspergillus awamori dan Penicillium digitatum yang diidentifikasi mampu melarutkan bentuk P tak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman (Roger et al., 1992).

Mikroba pelarut fosfat berperan dalam proses penyuburan tanah. Mikroba pelarut fosfat mampu melarutkan fosfat organik menjadi fosfat tersedia. Beberapa spesies MPF mampu menggunakan Ca3(PO4)2 atau material fosfat tidak terlarut

lainnya sebagai sumber fosfat (Lynch dan Poole, 1979).

Mikroba pelarut fosfat berperan dalam merombak P yang terdapat pada mineral liat menjadi P yang dapat diserap oleh tanaman. MPF dapat dijadikan sebagi sumber pupuk hayati untuk merehabilitasi lahan bekas kebakaran. Dewasa ini perlu pengembangan biofertilizer seperti BPF dan JPF sebagai starter untuk merahabilitasi lahan, selain murah juga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanah dan lingkungan (Ginting et al.,2006).

Kebakaran hutan merupakan perubahan keadaan bentuk suatu ekosistem yang disebabkan karena adanya api. Secara sitematis kebakaran hutan mempengaruhi keadaan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Dampak


(12)

kandungan air tanah, intensitas dan durasi waktu kebakaran serta intensitas timbulnya api(Murphy et al., 2006).

Sebagai suatu sistem yang dinamis tanah akan selalu mengalami perubahan-perubahan yaitu pada sifat fisik, kimia, ataupun biologinya. Perubahan-perubahan ini terutama karena pengaruh berbagai unsur iklim, tetapi tidak sedikit pula yang dipercepat oleh tindakan atau perlakuan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah juga akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya vegetasi diatas tanah, apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah. Tanah mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004).

Kondisi kering setelah kebakaran pada permukaan hutan, juga menyebabkan kehilangan beberapa organisme tanah dan musnahnya mikroba pelarut fosfat yang bersifat anaerob, karena temperatur yang ekstrim saat kebakaran (Supriyadi dan Sudadi, 2001). Keadaan tanah yang ekstrim akibat kebakaran mempengaruhi pH tanah serta mempengaruhi pertumbuhan mikroba pelarut fosfat. Secara sistematis pH akan mempengaruhi keberadaan mikroba pelarut fosfat di tanah. Pada kondisi masam fungi pelarut fosfat dapat tumbuh optimum dibanding bakteri (Ginting et al., 2006).

Clark (2001) menyebutkan pada pH rendah umumnya dijumpai dominasi fungi sedangkan bakteri umumnya dominan pada pH 6-8. Kemasaman (pH) daerah rizosfer sebagian dikontrol oleh sumber hara nitrogen bagi tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh mikroba cenderung meningkatkan kemasaman


(13)

tanah akibat asam organik yang dihasilkan. Kondisi kering setelah kebakaran hutah sesuai untuk pertumbuhan mikroba pelarut fosfat (MPF).

Mengingat pentingnya peranan mikroba pelarut fosfat (MPF) dalam penyediaan unsur hara P maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan dan jenis mikroba pelarut fosfat pada tanah bekas kebakaran hutan di Kabupaten Samosir.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui berbagai jenis mikroba pelarut fosfat yang terdapat pada tanah bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di Kabupaten Samosir.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi mengenai keberadaan mikroba pelarut fosfat pada lahan bekas kebakaran berdasarkan waktu terjadinya kebakaran di Kabupaten Samosir.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Bekas Kebakaran

Kebakaran mempengaruhi vegetasi tanaman, kebakaran menyebabkan peningkatan pH tanah karena adanya endapan abu yang bersifat basa yang terdiri dari elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor (Daniel et al, 1987) dalam Marjenah (2007). Akibat dari kebakaran akan mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Terganggunya pembentukan tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi pH dan bahan organik tanah. Bird et al (2000) berpendapat bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam tanah adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah, tingkat aerasi tanah, topografi tanah dan sifat penyediaan hara.

Kebakaran mempengaruhi sifat fisik, kimia, mineral dan biologi tanah. Efek negatif dari kebakaran tergantung luas lahan terbakar serta intensitas api yang terjadi. Kebakaran yang besar akan mengakibatkan hilangnya vegetasi tanaman, hilangnya bahan organik tanah, merusak struktur dan porositas tanah, hilangnya beberapa unsur hara karena terjadi penguapan serta musnahnya beberapa jenis mikroba yang hidup didalam tanah karena suhu yang timbulkan oleh api ( Certini, 2005). Luas dan durasi kebakaran dipengaruhi oleh jumlah dan ketersediaan bahan bakar, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan topografi tempat terjadinya kebakaran (Caldararo, 2002).

Sifat fisik tanah mengalami penurunan kualitas setelah dibakar ditandai dengan meningkatnya kepadatan tanah, penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia dan penurunan permeabilitas tanah. Perubahan sifat fisik tanah dipengaruhi oleh distribusi tanah, ruang pori tanah, penutupan tanah oleh vegetasi,


(15)

adanya perubahan iklim mikro, curah hujan, aktifitas mikroorganisme dan kandungan bahan organi Yudasworo (2001) dalam Darwiati dan Nurhaedah (2010). Perubahan sifat fisik tanah juga dipengaruhi kemiringan tanah. Tanah yang curam mudah terkisis saat hujan turun menyebabkan hilangnya bahan organik dan menurunkan pH tanah (Ladrach, 2009).

Bahan organik merupakan cadangan karbon terbesar ketiga, dengan perkiraan total 1526 pgC. Perubahan yang paling terlihat setelah pembakaran adalah hilangnya bahan organik. Lapisan organik merupakan komponen penting pada kelestarian ekosistem, berfungsi sebagai penutup tanah yang melindungi dan mengurangi terjadinya erosi tanah, membantu dalam mengatur suhu tanah, menyediakan habitat dan substrat bagi biota tanah (Verma dan Jayakumar, 2012).

Kebakaran menyebabkan hilangnya bahan organik yang terdapat pada lantai hutan. Pada suhu 200 – 250oC bahan organik yang terbakar hanya sedikit, namun kebakaran yang mencapai 400 – 460oC akan mengabiskan seluruh bahan organik pada lantai hutan Giovannini et al., (1988) dalam Certini (2005). Dampak kebakaran pada bahan organik sangat tergantung pada jenis dan intensitas api, kelembaban tanah, dan sifat bahan yang terbakar, serta komposisi humus yang terkandung. Intensitas kebakaran yang rendah biasanya tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan karbon tanah, tetapi intensitas kebakaran yang tinggi dapat mengakibatkan kehilangan karbon tanah (Johnson dan Curtis, 2001).

Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah akan jelas nampak, seperti perubahan pada tektur, warna tanah, kerapatan lindak (Bulk Density), ruang pori, kadar air tanah (kapasitas lapang, titik layu permanen, kadar air tersedia). sedangkan pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak merugikan tetapi


(16)

menguntungkan. Pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci (Marjenah, 2007).

Potensial of Hydrogen akan meningkat tajam oleh pamanasan akibat terbakarnya bahan – bahan organik tanah. Namun, peningkatan pH tanah ini hanya akan terjadi bila suhu tanah mencapai 400 – 5000oC. Hal ini terjadi dikarenakan terjadinya pembakaran yang sempurna dan pelepasan basa yang juga mengarah pada kejenuhan basa (Arocena dan Opio, 2003). Ulery et al, (1993) dalam Certini (2005), menemukan bahwa pH tanah pada lapisan atas akan meningkat tiga kali lipat setelah pembakaran, kenaikan pH tanah pada dasarnya disebabkan oleh produksi K dan Na. Namun setelah 3 tahun pembakaran tanah akan semakin basa. Kenaikan pH juga disebabkan karena terdapatnya abu yang bersifat alkalis (Monali et al, (2007) dalam Verma dan Jayakumar (2012).

Peningkatan pH ini mempengaruhi jenis mikroba yang terdapat didalam tanah. Umumnya mikroba tanah hidup dengan pH berkisar 6,6 – 8,0 (Buckle et al, 1987). Susanti (2005) menyatakan bahwa pH optimum bakteri adalah mendekati normal yaitu 6,5 – 7,5 sedangkan fungi berkisar 2,0 – 11,0 sedangkan aktiminosetes pertumbuhan optimalnya pada pH netral 6,5 – 8,0 dan masih dapat aktif walau pH tinggi (Hanafiah et al., 2009). Populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12x106 organisme per gram tanah, sedangkan populasi fungi pelarut fosfat berkisar 2x104 – 1x106 organisme per gram tanah (Ginting et al., 2006).


(17)

Kemasaman tanah merupakan sifat fisik-kimia tanah yang paling banyak diteliti pengaruhnya terhadap ekologi mikroba. Salah satu konsekuensi yang sangat penting dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara (keracunan dan kekurangan), seperti unsur Fe, Mn, dan Zn akan berkurang ketersediannya pada pH melampaui netral, dan akan bersifat racun bila pH

dibawah 5. Hara P kurang tersedia pada pH rendah maupun tinggi (Bird et al., 2000).

Sumber dan Peranan Fosfat

Unsur P merupakan unsur yang sering menjadi pembatas pertumbuhan tanaman. Sumber utama P adalah batuan yang bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga menyebabkan sumber ini menjadi terbatas (Vitousek, 2004) dalam Hanafiah et al (2009).

Fosfor dijumpai dalam bentuk fosfat organik dan fosfat anorganik ditanah. Mineralisasi fosfat organik menjadi fosfat anorganik melibatkan peranan mikroba tanah melalui produksi enzim fosfatase. Fosfatase merupakan salah satu enzim tanah yang terlibat dalam proses transformasi unsur hara P di tanah. Enzim fosfatase terbagi menjadi fosfatase asam dan basa. Beberapa enzim fosfatase seperti fosfomonoesterase, fosfodiesterase, trifosfomonoesterase dan fosfoamidase pada umumnya terdapat dalam tanah. Enzim-enzim tersebut bertanggungjawab pada proses hidrolisis fosfat organik menjadi fosfat anorganik (Lal, 2002).

Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Peningkatan


(18)

keterediaan fosfat bagi tanaman diusahakan dengan pengunaan pupuk fosfat anorganik maupun organik. Tetapi setelah aplikasi, ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk tidak terlarut Sehingga pemanfaatan pupuk tersebut kurang efektif sehingga memerlukan perlakuan yang berkelanjutan dan tentunya biaya yang tinggi (Lal, 2002).

Fosfat di dalam tanah terdapat dalam bentuk fosfat anorganik dan fosfat organik. Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroba dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Fosfor diserap oleh tanaman sebagai H2PO4-, HPO42- dan PO43- yang terutama berada di dalam

larutan tanah. Ada hubungan yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul akibat dari terlalu rendahnya konsentrasi H2PO4- dan HPO42-di dalam larutan

tanah. Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan terikat oleh matriks tanah. Elemen fosfor di dalam tanah kebanyakan ada dalam keadaan tidak larut, sehingga tidak mungkin masuk ke dalam sel-sel akar, tetapi sebagai anion fosfat mudah bertukar dengan OH- (Suprihadi, 2007).

Fosfor merupakan nutrisi tanaman yang memainkan peran penting dalam metabolisme tanaman. Penyerapan fosfor oleh tanaman yang dapat dilakukan tanaman hanya sedikit disebabkan fosfor yang tidak tersedia. Mikroorganisme tanah memainkan peran penting dalam menyedikan fosfor bagi tanaman. Bakteri dan fungi pelarut fosfat berpotensi sebagai pupuk hayati. Mikroba pelarut fosfat melarutkan P tanah melalui produksi asam organik, terutama glukonat dan asam ketoglukonik (Tallapragada dan Usha, 2012).


(19)

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba tanah yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut unsur fosfat (P) dan kalium (K). kandungan P yang cukup tinggi (jenuh) pada tanah pertanian kita, sedikit sekali yang dapat digunakan oleh tanaman karena terikat pada mineral liat tanah. Disinilah peran mikroba pelarut P yang melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi dalam melarutkan P (Nurtjahyani, 2011).

Fosfat merupakan unsur yang tidak mobil di dalam tanah, hilangnya P larut dalam tanah dijumpai pada tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan besar P larut yang hilang sebanding dengan jumlah input P dalam bentuk larut. Unsur P tidak dimediasi secara biologi untuk berubah ke atmosfer seperti unsur C dan N, unsur P tidak juga menjadi sumber energi utama untuk oksidasi mikroba. Meskipun demikian, organisme tanah terlibat dalam siklus P, organisme ini berperan dalam kelarutan P anorganik dan mineralisasi P organik, serta berperan dalam menyebabkan imobilisasi P tersedia dalam tanah (Hanafiah et al.,2009).

Sebagian besar mikrobia tanah berpotensi sebagai biofertilizer, terutama mikrobia yang hidup pada daerah perakaran (rhizosphere). Mikrobia tersebut telah terbukti mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Proses solubilisasi dan insolunilisasi unsur hara makro dan mikro di dalam tanah banyak dipengaruhi oleh pH dan status mikrobia tanah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara tersebut bagi tanaman. Ketersediaan fosfat di dalam tanah pada umumnya terbatas, karena sebagian besar


(20)

fosfat difiksasi oleh Fe dan Al menjadi Fe-fosfat dan Al-fosfat terutama pada tanah mineral masam (pH<5). Pada pH yang tinggi (pH>7) fosfat akan terikat menjadi Ca-fosfat. Ca-fosfat yang telah terikat dapat tersedia bagi tanaman melalui proses pelarutan dan pembentukan senyawa organik oleh mikrobia tanah (Cunningham dan Kuiack, 1992).

Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri yang berperan dalam penyuburan tanah karena bakteri tipe ini mampu melakukan mekanisme pelarutan fosfat dengan mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, fumarat, malat. Asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman hidupnya (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Strain dari genera bakteri Pseudomona, Bacillus, Rhizobium dan Enterobacter serta Aspergillus dan Penicillium merupakan mikroba yang paling petensial melarutkan fosfat (Khan et al., 2009).

Kebanyakan mikroba selulotik hidup pada lapisan atas dari tanah pada kedalaman 0-30 cm dan bersifat aerob (Jensen, 2001). Sedangkan fosfat merupakan senyawa esensial yang sangat diperlukan oleh tumbuhan dan juga mikroba tanah. Fosfat yang bisa digunakan tumbuhan sebagai nutrisi adalah fosfat dalam bentuk bebas, sedangkan fosfat yang dalam bentuk terikat tidak mampu dimanfaatkan oleh tumbuhan (Scheffer dan Scachtshabel, 1992 dalam Peix et.al, 2001). Beberapa mikroba tanah ada yang mampu melarutkan fosfat terikat menjadi fosfat bebas dalam tanah yang dapat diserap oleh tumbuhan. Bakteri dari genus Achromobacter, Agrobacterium, Bacillus, Enterobacter, Escherichia,


(21)

Flavobacterium, Mycobacterium, Pseudomonas dan Serrateria merupakan bakteri yang mampu melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi fosfat tersedia bagi tanaman (Sashidhar dan Podile, 2009).

Keberadaan Mikroba Pelarut Posfat pada Berbagai Ekosisem

Berdasarkan hasil penelitian Marista et al (2013) pada tanah rizosfer tanaman pisang nipah di Kota Singkawang diperoleh data keberdaan mikroba pelarut fosfat sebanyak 12 isolat untuk tanah aluvial, 10 isolat untuk tanah gambut dan 8 isolat untuk tanah podsolik merah kuning (PMK). Berdasarkan hasil karakterisasi mikroskopis dari isolat bakteri pelarut fosfat pada tanah aluvial, tanah gambut dan tanah PMK diperoleh 9 genus bakteri pelarut fosfat. Genus bakteri-bakteri tersebut adalah Acetobacter, Azotobacter, Bacillus, Escherichia, Flavobacterium, Micrococcus, Paracoccus, Pseudomonas dan Staphylococcus.

Widawati dan Suliasih (2006) dalam penelitiannya menemukan empat jenis bakteri pelarut fosfat (BPF) pada sampel tanah kebun biologi wamena. Keempat jenis BPF itu adalah (Bacillus megaterium, B. pantothenticus, Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes). Nurkanto (2007) menemukan tujuh genus aktiminosetes pada tanah hutan paska kebakaran di Bukit Bangkirai Kalimanatan Timur. Ketujuh genus yaitu Streptomyces, Nocardia, Microbiospora, Micromonospora, Microtetraspora, Streptosporangium dan Actinoplanes. Wibowo, et al, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa genus bakteri pelarut fosfat yang terdapat pada tanah gambut kecamatan Samarinda Utara provinsi Kalimantan Timur adalah Bacillus dan Pseudomonas.

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Tallapragada dan Usha (2012) dari perakaran tanaman (rhizosphere) sirih menemukan 6 strain Aspergillus, yaitu A.


(22)

flavus str 1, A. terreus, A, clavatus, A. flavus str 2, A. fumigates dan A. niger serta mengemukakan bahwa A. niger merupakan jenis fungi pelarut fosfat yang paling optimal dalam melarutkan fosfat. Kucey (1983) berpendapat Penicillium dan Aspergillus merupakan jenis fungi pelarut fosfat yang berpotensi dapat melarutkan batuan fosfat dan dapat ditemukan pada permukaan akar (rhizosphere).

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Kecamatan Pangururan

Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal hutan terbakar di desa Siogung – ogung dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir (2013), tahun 2012 di desa Siogung – ogung kawasan hutan lindung yang terbakar seluas 0.5 ha. Pada tahun 2013 di desa Sosor Dolok luas hutan yang terbakar seluas 60 Ha.

Topografi wilayah umumnya berbukit – bukit. Kemiringan lahan umumnya landai hingga curam. Menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2014) dapat dilihat pada lampiran, curah hujan pada wilayah ini termasuk pada kategori tinggi dengan angka curah hujan rata – rata 100-250 mm tiap tahunnya. Wilayah kabupaten samosir tergolong dalam iklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17oC – 29oC dan rata – rata kelembaban udara sebesar 85.04 %. Sebaran jenis tanah di wilayah pangururan didiominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik dan regasol (Badan Pusat Statistik, 2013).


(23)

2. Kecamatan Simanindo

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak dan Curaman Tomok dan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar (kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010 di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun 2011 luas kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman Tomok mencapai 3 Ha, dan pada tahun 2014 contoh tanah diambil pada kawasan kebakaran hutan lidung di desa Curaman Tomok (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir, 2013).

Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17oC-29oC dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04%. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi oleh jenis tanah litosol dan podsolik (Badan Pusat Statistik, 2013).


(24)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai September 2014. Pengambilan sampel tanah dilakukan di lahan lahan bekas kebakaran hutan di Kabupaten Samosir. Analisis tanah dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara serta Isolasi dan Identifikasi Mikroba Pelarut Fosfat dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah contoh tanah bekas kebakaran hutan, kapas, aquades, kantung plastik, label, alkohol 96 %, plastik kraf, aluminium foil, kaca preparat, kaca objek dan kertas saring. Media padat Pikovskaya untuk komposisi per liter akuades : ( glukosa 10 g ; Ca3(PO4)2 5 g ; (NH4)2SO4 0,5 g ; KCl 0,2 g;

MgSO4.7H2O 0,1 g; MnSO4 0,002 g; FeSO4 0,002 g; ekstrak khamir 0,5 g; agar

20 g; akuades), larutan fisiologis (8,5 g NaCl per liter akuades), AlPO4 5 g, FePO4

5 gr.

Alat yang digunakan adalah cangkul,sarung tangan, masker, plastik, cawan petri, erlenmeyer, pipet tetes, inkubator, tabung reaksi, timbangan, analisis, laminar air flow, gelas ukur, autoklaf, rotarimixer, shaker, jarum ose, sprayer, kamera digital, bunsen dan mikroskop.


(25)

Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil pada petak yang berukuran 20 m x 20 m sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al, 1999). Pengambilan contoh tanah bekas kebakaran dilakukan berdasarkan waktu terjadinya kebakaran yaitu tanah yang belum pernah terbakar sebagai kontrol serta tanah bekas kebakaran tahun 2010, 2011, 2012, 2013 dan 2014. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode diagonal pada petak pengambilan sampel berukuran 20 m x 20 m. Pada setiap petak diambil sebanyak 5 titik, selanjutnya contoh dikompositkan yaitu dicampurkan pada suatu tempat hingga homogen untuk mewakili satu petak. Tiap petak sampel tanah yang diambil adalah sebanyak 500gr.

2. Analisis Tanah

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi tanah meliputi pH, C-organik, P-tersedia dan P-total untuk mengetahui sifat tanah.

3. Isolasi Mikroba Pelarut Fosfat

Sepuluh (10) g tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 90 ml larutan fisiologis steril (pengenceran 10-1), kemudian dikocok selama 30 menit pada shaker. Dibuat pengenceran secara serial, dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan fisiologis steril (pengenceran 10-2) selanjutnya dikocok di atas rotarimixer sampai homogen. Dari pengenceran 10-2 dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis (disebut pengenceran 10-3) dilakukan hal serupa berturut-turut sampai pengenceran 10-5. Dari


(26)

pengenceran 10-3 dipipet sebanyak 1 ml, masukkan ke dalam cawan petri yang telah steril dan dilakukan hal yang sama pada pengenceran 10-4 dan 10-5. Dipakai suspensi tanah dari 3 pengenceran sebagai antisipasi bila pada pengenceran tersebut tidak diperoleh mikroba pelarut fosfat. Selanjutnya tuangkan 12 ml media Pikovskaya (suhu sekitar 45-50ºC) ke dalam cawan petri yang telah berisi 1 ml suspensi tanah, lalu putar cawan petri kearah kanan 3 kali dan ke arah kiri 3 kali agar media bercampur secara merata, biarkan sampai media mengeras (padat). Setelah media mengeras, cawan petri diinkubasi pada inkubator dalam keadaan terbalik selama 3 hari dengan suhu 28-30ºC. Setelah diinkubasi selama 3 hari dilakukan pengamatan mikroba yang tumbuh pada media . Dihitung populasi mikroba pelarut fosfat yang ada pada seluruh lokasi penelitian. Keberadaan mikroba pelarut fosfat ditunjukkan dengan terbentuknya daerah bening (holozone) yang mengelilingi koloni mikroba pelarut fosfat.

4. Identifikasi Mikroba Pelarut Fosfat

Setelah diperoleh mikroba pelarut fosfat selanjutnya dilakukan indentifikasi pada mikroba tersebut. Identifikasi mikroba pelarut fosfat meliputi identifikasi bakteri dan fungi pelarut fosfat.

A. Identifikasi Bakteri

Koloni bakteri yang tumbuh pada media pikovskaya kemudian diamati karakter makroskopis koloni terebut berupa warna, bentuk, elevasi, permukaan, tepi, ukuran dan karakteristik optik; dan karakter mikroskopis koloni tersebut berupa reaksi Gram dan bentuk sel bakteri (Holt et al, 1994).


(27)

B. Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi diremajakan pada media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi selama 3 hari. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopisnya, yaitu ciri-ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diameter koloni. Fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek yang diberi potongan PDA yang dioles tipis dengan spora JPF potensial. Potongan agar kemudian ditutup dengan kaca objek. Biakan pada kaca objek ditempatkan dalam cawan petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Biakan pada kaca diinkubasi selama 3 hari pada kondisi ruangan. Setelah masa inkubasi, fungi yang tumbuh pada kaca preparat diamati ciri mikroskopisnya yaitu ciri hifa, tipe percabangan hifa, serta ciri-ciri konidia dibawah mikroskop. Ciri yang ditemukan dari masing-masing fungi kemudian dideskripsikan dan dicocokkan dengan buku indentifikasi fungi (Gilman, 1971).


(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sampel Tanah Bekas Kebakaran Hutan

Keberadaan Mikroba di dalam tanah dipengaruhi oleh sifat kimia tanah. Hasil analisis kimia tanah sampel tanah kebakaran hutan dan hutan alam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah sampel tanah kebakaran hutan dan hutan tidak terbakar

Sumber tanah kebakaran

Parameter

pH (H2O)* C-organik (%)* P-tersedia

(Ppm)*

P-total (%)*

2010 5.31m 1.24r 6.02r 0.398st 2011 5.62am 1.86r 5.56r 0.333st 2012 4.83m 6.55st 19.28s 2.278st 2013 6.54am 1.94r 5.26r 0.290st 2014 4.84m 0.71sr 5.26r 0.290st Tidak terbakar 5.54m 1.05r 5.11r 2.213st *sumber kriteria menurut Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Muklis (2007) Keterangan: am = agak masam m = masam sr = sangat rendah

r = rendah s = sedang st = sangat tinggi

Potensial of Hydrogen (pH) tanah disebut pula “reaksi tanah”. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel tanah tergolong agak masam hingga masam, dengan pH tertinggi pada tahun 2013 yaitu 6.54 serta pH terendah pada tahun 2012 yaitu 4.83. Variasi pH tanah disebabkan intensitas lama terbakar, jenis tanah, lingkungan sekitar serta curah hujan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Murphy (2006), menyataan bahwa kebakaran hutan mempengaruhi keadaan secara fisik, kimia maupun biologi tanah, Tanah bekas kebakaran hutan memiliki pH yang masam hingga agak masam disebabkan curah hujan yang tinggi sehingga proses


(29)

pencucian berjalan cepat. Curah hujan yang tinggi menyebabkan pelarutan kation – kation basa.

Hasil analisis pH tanah jenis tanah kebakaran 2010, 2011, 2012, 2013 dan 2014 berbeda. Pada umumnya pH tanah sehabis terjadinya kebakaran akan meningkat, namun pada hasil analisis yang dilakukan pH tanah sehabis terjadinya kebakaran lebih rendah daripada kebakaran yang terjadi sebelumnya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan curah hujan yang tinggi, kandungan hara tanah serta topografi tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ladrach (2009), tanah yang curam mudah terkisis saat hujan turun menyebabkan hilangnya bahan organik dan menurunkan pH tanah.

Bahan organik tanah berpengaruh terhadap sifat – sifat kimia, fisik maupun biologi tanah. Bahan organik tanah berperan dalam penyediaan unsur hara bagi mikroba tanah. Hasil pengukuran C-organik sampel tanah bekas kebakaran dan tidak terbakar bervariasi. Hasil pengukuran pada tanah tidak terbakar, tanah bekas kebakaran tahun 2010, 2011 dan 2013 berkisar 1.05 % – 1.94 %. Nilai ini menggambarkan pada lahan bekas kebakaran memiliki simpanan karbon yang rendah. Hasil pengukuran pada tanah bekas kebakaran pada tahun 2012 sebesar 6.55 %, nilai ini menggambarkan pada lahan bekas kebakaran memiliki simpanan karbon yang tinggi, serta pada tanah bekas kebakaran hutan tahun 2014 yaitu 0.71, nilai ini menunjukkan simpanan karbon yang sangat rendah.

Pada tahun 2012 ketersediaan karbon sangat tinggi mencapai 6.55% berbeda dengan tahun terbakar lainnya. Kadar C-organik dapat mencerminkan kandungan bahan organik dalam tanah. Bahan organik sebagai sumber hara makro


(30)

dan mikro tanaman juga menjadi sumber nutrisi bagi kehidupan biota tanah yang akan mempengaruhi populasi dan aktivitasnya.

Keragaman nilai kandungan C-organik juga diperngaruhi oleh luas dan intesitas, dan durasi kebakaran. Luas areal kebakaran dapat menunjukkan lamanya kebakaran terjadi. Luas kawasan terbakar untuk tahun 2012 yaitu 0.5 Ha sedangkan luas areal terbakar pada tahun 2013 yaitu 60 Ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir, 2013). Kawasan dengan areal terbakar lebih luas akan memperoleh kandungan C-organik yang rendah dikarenakan terjadi pembakaran bahan organik oleh api dan bila terjadi hujan akan terjadi pencucian.

Rendahnya nilai C-organik pada tahun 2014 diakibatkan areal tersebut telah mengalami kebakaran pada tahun 2011. Kebakaran yang berulang akan mengurangi kandungan C-organik pada tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johnson dan Curtis (2001) menyatakan intensitas kebakaran yang tinggi dapat mengakibatkan kehilangan karbon tanah.

Kebakaran menyebabkan tanah menjadi gersang dan kering serta mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan C-organik didalam tanah. Selain keringnya tanah, curah hujan, kemiringan dan lingkungan, kandungan dan jumlah bahan organik yang terkandung di tanah juga mempengaruhi C-organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bird et al, (2000) yang mengemukakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam tanah adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah, tingkat aerasi tanah, topografi tanah dan sifat penyediaan hara.

Ketersediaan fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah karena P sangat rentan diikat pada kondisi masam maupun alkalin. Hasil analisis


(31)

menunjukkan bahwa ketersediaan fosfat dalam tanah bekas kebakaran hutan adalah 5.26 – 19.28 ppm dan hutan tidak terbakar sebesar 5.11 ppm ini menunjukkan bahwa kandungan P tersedia rendah. Ketersediaan fosfat dalam tanah sangat dipegaruhi oleh pH tanah, karena P sangat rentan diikat pada kondisi masam ataupun alkalin. Hal ini sesuai dengan pendapat Bird et al, (2000) yang mengemukakan bahwa hara P kurang tersedia pada pada pH rendah maupun pH tinggi.

Kandungan bahan organik berhubungan dengan keadaan P-total serta hubungan antara bahan organik dengan pH tanah. Bahan organik mengandung berbagai hara, termasuk fosfat yang terlepas baik dalam bentuk P-terikat ataupun P-tersedia. Hasil pengukuran P-total sampel tanah kebakaran hutan adalah 0.29 % – 2.28 % dan sampel tanah tidak terbakar adalah 2.21 %, menunjukkan bahwa kandungan P-totalnya tinggi.

B. Isolasi Mikroba Pelarut Fosfat Tanah Bekas Kebakaran Hutan

Jumlah mikroba pelarut fosfat baik bakteri ataupun fungi setiap tahunnya berbeda, perbedaan jumlah ini disebabkan sumber tanah yang berbeda pula. Populasi mikroba pelarut fosfat yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Jumlah Populasi Mikroba Pelarut Fosfat (MPF) Sumber Tanah

Kebakaran

Jumlah Populasi Bakteri

Jumlah Populasi Fungi

Jumlah Total MPF

Tidak terbakar 56156 x 103 4062 x 103 60128 x 103 2010 12026 x 103 1545 x 103 13571 x 103 2011 56438 x 103 1942 x 103 58380 x 103 2012 31823 x 103 255 x 103 32078 x 103 2013 79462 x 103 4618 x 103 84080 x 103 2014 63609 x 103 1900 x 103 65509 x 103

Berdasarkan penampakan struktur tumbuhnya, mikroba pelarut fosfat dibedakan atas bakteri pelarut fosfat dan fungi pelarut fosfat. Biakan campuran yang diisolasi kemudian diamati dan dihitung jumlah mikroba yang mampu


(32)

membentuk zona bening. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah bakteri pelarut fosfat lebih banyak dibanding dengan jumlah fungi pelarut fosfat yang tumbuh pada media. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ginting et al (2006) yang menyatakan bahwa jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedangkan fungi pelarut fosfat hanya berkisar 20 ribu hingga 1 juta per gram tanah.

Tingginya populasi BPF dibanding JPF yang diisolasi dari tanah bekas kebakaran disebabkan karena bakteri lebih resisten terhadap pemanasan dibandingkan fungi. Kebakaran yang terjadi menyebabkan tanah bersifat masam. Tanah yang bersifat masam seharusnya menunjukkan jumlah pertumbuhan fungi lebih besar dibanding dengan pertumbuhan bakteri, merujuk pada pernyataan Susanti (2005) pH optimum bagi perkembangan fungi berkisar 2.0 – 11.0 sedangkan bakteri antara 6.5 – 7.5, seharusnya jumlah pertumbuhan fungi lebih besar daripada pertumbuhan bakteri.

Tingginya populasi BPF kemungkinan karena media isolasi yang digunakan telah diatur besar pH nya yaitu sekitar netral serta kandungan nutrisi media didalamnya sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini yang menyebabkan BPF dapat berkembang dengan pesat pada kondisi pH yang netral serta nutrisi yang tercukupi membuat BPF mampu berkembang maksimal. Populasi BPF yang tinggi selain didukung media tumbuh yang sesuai juga didukung sifat genetiknya yang berkembang lebih cepat dibanding fungi. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan JPF oleh BPF pada media isolasi. Menurut Foth (1994), bakteri dapat berbiak sangat cepat dengan pembelahan biner yang dapat berlangsung tiap menit bahkan lebih cepat bila kondisi lingkungan dan


(33)

nutrisi mendukung. Media isolasi yang digunakan mengandung nutrisi lengkap untuk pertumbuhan mikroba. Kelengkapan nutrisi inilah yang kemungkinan turut mendukung tingginya perkembangbiakan BPF.

Pada tanah bekas kebakaran hutan 2013 pH tanahnya sebesar 6.54 dengan jumlah total mikroba yang hidup sebesar 84080 x 103, pertumbuhan mikroba ini lebih tinggi dibanding dengan tahun kebakaran lainnya. Jumlah populasi bakteri yaitu 79462 x 103 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah populasi fungi 4618 x 103 hal ini disebabkan karena pH pada tanah bekas kebakaran hutan termaksud mendekati netral sehingga bakteri lebih banyak tumbuh pada media daripada fungi. Hal ini sesuai dengan Clark (2001) menyatakan bahwa pH rendah umumnya didominasi oleh fungi sedangkan bakteri umumnya dominan tumbuh pada pH 6-8.

Perbedaan jumlah BPF dan JPF pada setiap tahun kebakaran disebabkan oleh kandungan unsur P yang terdapat didalam tanah. Selain itu kandungan bahan organik juga mempengaruhi jumlah biota dalam tanah. Intensitas dan durasi kebakaran yang berbeda setiap tahunnya akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam tanah.

C. Jenis Mikroba Pelarut Fosfat Tanah Bekas Kebakaran Hutan

Identifikasi dilakukan pada mikroba pelarut fosfat (MPF) yang mampu membentuk holozone (zona bening). Bakteri dan fungi yang membentuk holozone pada media pikovskaya kemudian dimurnikan hingga satu koloni per media. Identifikasi bakteri dan fungi dilakukan dengan cara yang berbeda, untuk bakteri identifikasi tidak dapat dilakukan secara makrokopis saja perlu dilakukan uji karakteristik, sedangkan untuk fungi identifikasi dapat dilakukan secara


(34)

makrokopis namun perlu dilakukan secara mikrokopis untuk hasil yang lebih akurat. Hasil identifikasi mikroba pelarut fosfat (MPF), khususnya bakteri dapat kita lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Genus Bakteri Pelarut Fosfat

Genus BPF Sumber Tanah Kebakaran Jumlah Isolat 2010 2011 2012 2013 2014 Tidak

Terbakar

Pseudomonas 1 2 3 2 3 11

Flavobacterium 1 1

Staphilococus 1 1

Mycobacterium 1 1

Jumlah Isolat 3 1 2 3 2 3 14

Pada tabel terdapat 4 genus bakteri, keempat genus tersebut adalah Pseudomonas, Flavobacterium, Staphilococus dan Mycobacterium. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat kesamaan genus pada tanah bekas kebakaran hutan pada tahun 2011, 2012, 2013, 2014 dan tanah tidak terbakar. Genus Pseudomonas lebih banyak ditemukan pada tanah bekas kebakaran hutan dan merupakan genus yang mendominasi keberadaan mikroba pelarut fosfat pada setiap sumber tanah. Bakteri dengan genus Pseudomonas telah banyak diteliti, sebaran keberadaan bakteri ini juga ditemukan diberbagai ekosistem. Nurkanto (2007) juga menemukan genus Pseudomonas pada tanah bekas kebakaran, Wibowo, et al (2014) dalam penelitiannya menemukan genus Pseudomonas pada ekosistem gambut Samarinda, Marisa et al (2013) dalam penelitiannya menemukan genus Pseudomonas pada ekosistem pisang nipah di Kota Singkawang.

Pseudomonas

Bakteri pelarut fosfat yang paling banyak ditemukan pada jenis tanah terbakar dan tidak terbakar berasal dari genus Pseudomonas. Hal itu dikarenakan


(35)

identifikasi secara makroskopis dan secara secara mikroskopis uji karakteristik BPF yang dilakukan pada pengamatan dari BPF tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama terhadap genus Pseudomonas. Hasil Pengamatan Pseudomonas secara makroskopis dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengamatan Pseudomonas secara Makroskopis

No. Pengamatan Hasil

1. Bentuk koloni Bulat

2. Elevasi Cembung

3. Tepian Licin

4. Permukaan Halus mengkilap

5. Warna Putih susu

Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan melihat gram yang dihasilkan dan bentuk sel bakteri tersebut. Dari identifikasi yang dilakukan diketahui bahwa Pseudomonas termasuk pada gram negatif dan selnya berbentuk batang. Hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik bakteri dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengamatan Mikroskopis Uji Karakteristik Pseudomonas

Jenis Uji Isolat Genera

Gram -

Aerob +

Anaerob -

Endospora - Pseudomonas

Katalase +

Motilitas +/- Oksidase +/- Bentuk sel Batang

Hasil identifikasi yang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik dari isolat BPF disesuaikan dengan buku identifikasi BPF (Holt et al, 1994) Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. BPF yang telah diidentifikasi disimpulkan berasal dari genus Pseudomonas.


(36)

Gambar 1. Pseudomonas sp

Taksonomi bakteri Pseudomonas : Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria

Ordo : Pseudomonadales

Family : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Spesies : Pseudomonas sp.

Pseudomonas memiliki bentuk sel lurus atau sedikit melengkung batang. Pseudomonas sp tidak dikelilingi oleh selubung, bersel Gram negatif. Tidak semua jenis Pseudomonas dapat tumbuh pada kondisi asam (pH 4,5). Sebagian besar spesies tidak memerlukan faktor pertumbuhan organik dan dapat menggunakan H2 atau CO sebagai sumber energi. Pseudomonas sp, tersebar luas di alam. Beberapa spesies bersifat patogen bagi manusia, hewan, atau tumbuhan. Pseudomonas merupakan bakteri yang telah banyak diteliti. Berdasarkan hasil penelitian, Pseudomonas sp merupakan bakteri pelarut fosfat yang berpotensial melarutkan fosfat, Sashidhar dan Podile, (2009) menyebutkan bahwa bakteri dengan genus Pseudomonas merupakan bakteri yang mampu melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi fosfat tersedia bagi tanaman.


(37)

Flavobacterium

Selain dari genus Pseudomonas, diperoleh juga mikroba pelarut fosfat dari genus Flavobacterium. Hasil Pengamatan Flavobacterium secara makroskopis dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengamatan Flavobacterium secara Makroskopis

No. Pengamatan Hasil

1. Bentuk koloni Bergerigi

2. Elevasi Cembung

3. Tepian Bergerigi

4. Permukaan Rata

5. Warna Kuning

Setelah dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan melihat gram yang dihasilkan dan bentuk sel bakteri tersebut, diketahui bahwa Flavobacterium juga termasuk pada gram negatif dan selnya berbentuk batang. Hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik bakteri dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengamatan Mikroskopis Uji Karakteristik Flavobacterium

Jenis Uji Isolat Genera

Gram -

Aerob +

Anaerob -

Endospora - Flavobacterium

Katalase +

Motilitas -

Oksidase +

Bentuk sel Batang

Hasil identifikasi yang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik dari isolat BPF disesuaikan dengan buku identifikasi BPF (Holt et al, 1994) Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. BPF yang telah diidentifikasi disimpulkan berasal dari genus Flavobacterium.


(38)

Gambar 2. Flavobacterium sp

Taksonomi bakteri Flavobacterium : Kingdom : Bacteria

Phylum : Bacteroidetes Class : Flavobacteria Ordo : Eubacteriales Family : Achromobacteria Genus : Flavobacterium Spesies : Flavobacterium sp

Sel berbentuk batang dengan sisi sejajar dan berakhir bulat, biasanya berukuran 0,5 x

1,0-3,0 um. Sel pewarnaan Gram negatif dan bersifat nonmotil. Isolats Flavobacterium sp

dapat hidup pada suhu 37oC (Holt et al, 1994). Flavobacterium juga dapat merombak P tidak tersedia menjadi P tersedia bagi tanaman.

Staphylococcus

Hasil identifikasi secara makroskopis menunjukkan bahwa bakteri yang berasal dari genera Staphylococcus memiliki ciri berwarna putih. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengamatan Staphylococcus secara Makroskopis

No. Pengamatan Hasil

1. Bentuk koloni Bergelombang

2. Elevasi Cekung

3. Tepian Licin

4. Permukaan Rata

5. Warna Putih

Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan melihat gram yang dihasilkan dan bentuk sel bakteri tersebut. Dari identifikasi yang dilakukan


(39)

diketahui bahwa Staphylococcus juga termasuk pada gram positif dan selnya berbentuk bulat. Hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik bakteri dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengamatan Mikroskopis Uji Karakteristik Staphylococcus

Jenis Uji Isolat Genera

Gram +

Aerob +

Anaerob +

Endospora - Staphylococcus

Katalase +

Motilitas -

Oksidase +

Bentuk sel Bulat

Hasil identifikasi yang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik dari isolat BPF disesuaikan dengan buku identifikasi BPF (Holt et al, 1994) Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. BPF yang telah diidentifikasi disimpulkan berasal dari genus Staphylococcus. Pada umumnya staphylococcus merupakan bakteri patogen.

Gambar 3. Staphylococcus sp Taksonomi bakteri Staphylococcus :

Kingdom : Bacteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Ordo : Bacillales Family : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus sp


(40)

Sel berbentuk bolaatau sel bulat, merupakan bakteri Gram positif, bersifat nonmoti. Warna Koloni biasanya buram dan mungkin putih atau krem dan kadang-kadang kuning ke oranye. Biasanya tumbuh dengan 10% NaCl. Suhu optimum adalah 30-70oC. Beberapa spesies patogen oportunistik manusia dan hewan atau menghasilkan racun ekstraseluler (Holt et al, 1994).

Mycobacterium

Mycobacterium secara makroskopis dicirikan dengan bentuk koloni yang bulat. Hasil Pengamatan Mycobacterium secara makroskopis dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengamatan Mycobacterium secara Makroskopis

No. Pengamatan Hasil

1. Bentuk koloni Bulat

2. Elevasi Cekung

3. Tepian Licin

4. Permukaan Rata

5. Warna Kuning

Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan melihat gram yang dihasilkan dan bentuk sel bakteri tersebut. Dari identifikasi yang dilakukan diketahui bahwa Mycobacterium juga termasuk pada gram negatif dan selnya berbentuk batang. Hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik bakteri dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengamatan Mikroskopis Uji Karakteristik Mycobacterium

Jenis Uji Isolat Genera

Gram -

Aerob +

Anaerob -

Endospora - Mycobacterium

Katalase +

Motilitas -

Oksidase +


(41)

Hasil identifikasi yang dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis uji karakteristik untuk melihat karakteristik dari isolat BPF disesuaikan dengan buku identifikasi BPF (Holt et al, 1994) Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. BPF yang telah diidentifikasi disimpulkan berasal dari genus Mycobacterium.

Gambar 4. Mycobacterium sp

Taksonomi bakteri Mycobacterium : Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria Class : Actinomycetes Ordo : Actinomycetales Family : Mycobacteriaceae Genus : Mycobacterium Spesies : Mycobacterium sp

Berbeda dengan bakteri, hasil identifikasi fungi yang ditemukan terdiri atas genus Aspergillus dan Penicillium. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Fungi Pelarut Fosfat

Jenis JPF Sumber Tanah Kebakaran Jumlah isolat 2010 2011 2012 2013 2014 Tidak

Terbakar

Aspergillus sp 1 1 1 1 1 1 1 6

Aspergillus sp 2 1 1 1 3

Aspergillus sp 3 1 1 2

Aspergillus sp 4 1 1

Aspergillus sp 5 1 1

Aspergillus sp 6 1 1

Aspergillus sp 7 1 1 2

Penicillium sp 1 1 1 2

Penicillium sp 2 1 1

Penicillium sp 3 1 1

Jumlah Isolat 4 3 5 2 2 4 20


(42)

Kedua genus yang ditemukan terdiri dari spesies yang berbeda – beda pula. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat kesamaan genus pada tanah bekas kebakaran maupun tanah tidak terbakar. Hasil pada fungi berbeda dengan bakteri, bila setiap spesies bakteri tidak ditemukan pada setiap tahunnya maka fungi masih memiliki spesies yang sama untuk sumber tanah yang berbeda seperti Aspergillus sp 1 terdapat pada semua sumber tanah (tanah bekas kebakaran maupun tidak terbakar). Genus fungi yang mendominasi berasal dari genus Aspergillus dengan spesies yang ditemukan sebanyak 7 spesies.

Hasil pengamatan morfologi masing-masing fungi berasal dari tanah bekas kebakaran maupun tanah tidak terbakar dilakukan secara makroskopis yaitu dengan mengamati warna spora, permukaan atas, permukaan bawah dan diameter koloni pada media biakan, serta pengamatan secara mikroskopis dengan melihat hifa, konidia, bentuk spora dan warna spora yang dilakukan dengan bantuan alat mikroskop.

Ciri penampakan mikroskopis kedua genus JPF diuraikan sebagai berikut: Aspergillus.

Pada umumnya, koloni terdiri dari lapisan padat yang terbentuk oleh konidiofor berwarna coklat kekuningan yang semakin gelap dengan bertambanya umur koloni. Tangkai konidiofor bening, berdinding tebal dan menyolok. Kepala konidia berbentuk kolumnar, kemudian merekah menjadi kolom-kolom yang terpisah. Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat, dan berdiameter 25-50 μm. Fialid terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula (pada kepala konidia yang besar), dan berukuran (10-15) × (4-8) μm. Metula berukuran (7-10) × (4-6)


(43)

Aspergillus sp tergolong mikroba mesofilik dengan pertumbuhan pada suhu 35ºC-37ºC (optimum), 6ºC-8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum). Derajat keasaman untuk pertumbuhannya adalah 2 - 8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah (Gilman, 1971).

Gambar 5. Aspergillus sp

Keterangan :

Gambar 5. Penampakan Aspergillus sp dibawah mikroskop (a. Spora, b. Tangkai konidia)

Taksonomi fungi Aspergillus : Kingdom : Myceteae (Fungi) Divisi : Ascomycota Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Aspergillus Spesies : Aspergillus sp.

Jenis JPF paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp. Hal ini berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang JPF memberikan hasil banyak diantara spesies dari genus tersebut yang berkemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat. Fungi pelarut fosfat memiliki kemampuan dalam melarutkan Ca3(PO4)2,

AlPO4, dan FePO4. Nurtjahyani (2011), menyatakan Aspergillus sp merupakan

fungi yang berpotensi melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman.

a


(44)

Tabel 13. Pengamatan Aspergillus.

Jenis Pengamatan secara Makroskopis

Pengamatan secara Mikroskopis

Karakteristik

Aspergillus sp 1 Diameter koloni

3-7 cm Berwarna coklat kehitaman sampai hitam

Aspergillus sp 2 Berdiameter 4 – 5

cm. Berwarna putih. Konidia berbentuk bulat dan kepala konidia berwarna coklat

Aspergillus sp 3 Berdiameter 3-5

cm, koloni berwarna putih, konidia berbentuk bulat, kepala konidia berwarna kuning kecoklatan

Aspergillus sp 4 Diameter koloni

mencapai 3-5 cm, berwarna putih, konidia berbentuk bulat

Aspergillus sp 5 Diameter koloni

2,5 – 3,5 cm. Berwarna hijau, konidia berbentuk elips, pola koloni melingkar

Aspergillus sp 6 Diameter koloni 3

– 5 cm, berwarna kuning, kepala konidia berbentuk bulat

Aspergillus sp 7 Diameter koloni

mencapai 3 – 7 cm, koloni berwarna hitam


(45)

Penicillium

Konidiofor berukuran (400-500) × (3,0-4,0) μm, khususnya tepi koloni, berdinding tipis, berwarna bening, vertisil tidak teratur dan terdiri atas 3-4 tingkat serta mempunyai cabang yang berkumpul. Fialid berbentuk agak silindris dengan leher pendek yang tidak mencolok dan berukuran (4,5-6,5) × (2,2-2,5) μm. Konidia berbentuk elips, kadang-kadang berbentuk semibulat, warna bening hingga hijau dan berdinding halus (Gilman, 1971).

Penicillium sp ditandai dengan lebatnya konidiofor yang terbentuk menyebabkan koloni mirip kulit yang keras, berwarna biru kehijauan. Pembentukan konidia sangat cepat pada suhu 30oC (Gandjar et al, 1999).

Gambar 6. Penicillium sp

Keterangan :

Gambar 6. Penampakan Penicillium sp dibawah mikroskop (a. Spora, b. Tangkai konidia)

Taksonomi fungi Penicillium : Kingdom : Myceteae (Fungi) Divisio : Ascomycota Kelas : Euascomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Penicillium Spesies : Penicillium sp.

a


(46)

Selain dari genus Aspergillus, Penicillium juga telah banyak diteliti sebagai fungi pelarut fosfat. Kucey (1983), berpendapat Penicillium merupakan jenis fungi yang berpotensi dapat melartkan batuan fosfat.

Tabel 14. Pengamatan Penicillium

Jenis Pengamatan secara Makroskopis

Pengamatan secara Mikroskopis

Karakteristik

Penicillium sp 1 Diameter koloni 1 –

3 cm, koloni berwarna putih hingga kuning cerah.

Penicillium sp 2 Diameter koloni

mencapai 1-2 cm, koloni berwarna hijau keabua – abuan

Penicillium sp 3 Diameter koloni

mencapai 0,5 – 1 cm, berwarna kuning agak kecoklatan, konidia berbentuk ellips.


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan keragaman genus mikroba pelarut fosfat yang ditemukan pada tanah bekas kebakaran hutan dan tanah tidak terbakar. Terdapat perbedaan serta kesamaan genus Mikroba Pelarut Fosfat pada jenis tanah kebakaran yang berbeda. Pseudomonas merupakan genus bakteri yang ditemukan pada jenis tanah kebakaran hutan 2011, 2012, 2013 serta tanah tidak terbakar dan bakteri dengan genus Flavobacterium, Mycobacterium, dan Staphylococcus merupakan bakteri yang terdapat pada tanah bekas kebakaran hutan 2010. Genus fungi Aspergillus ditemukan pada semua jenis tanah, serta Penicillium ditemukan pada tanah bekas kebakaran tahun 2011, 2012, 2013 dan tanah tidak terbakar.

Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan titik pengambilan sampel tanah yang sama untuk setiap tahun kebakaran yang berbeda agar diperoleh hasil yang lebih akurat.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Arocena J.M. dan Opio, C. 2003. Prescribed Fire-Induced Changes in Properties of Sub-Boreal Forest Soils. Geoderma 113:1–16.

Buckle, K.A., Edward., G.H Fleet., dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adino. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Bird M, Veenendaal E, Moyo C. 2000. Effect of fire and soil texture on soil carbon in a sub-humid savanna (Matopos, Zimbabwe). Geoderma, 94(1): 71-90.

Caldararo, N. 2002. Human ecological intervention and the role of forest fires in human ecology. Sci Total Environ 292:141–165.

Certini, G. 2005. Effects of fire on properties of forest soils: a review. Oecologia 143: 1–10.

Clark B. 2001. Soils, water, and watersheds. In: Fire Effects Guide. National Interagency Fire Center. USA.

Cunningham J. E, dan Kuiack C. 1992. Production of citric and Oxalic Acids and Sulubilization of Calcium Phospate by Penicilium bilaii. Appl.Envir. Microbiol., 58: 1451-58.

Darwiati, D. dan Nurhaedah M. 2010. Dampak kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Sifat Fisik Tanah. Jurnal Mitra Hutan Tanaman Volume 5, Nomor 1.

Ervayenri, S., Sukarno, N., dan Kusuma., C. 1999. Arbuskula Mycorrhiza Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Vegetation: Types Procedings of International Conference on Mycorrhiza in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem 27-30 Oktober 1997 Bogor, Indonesia. Gilman, J.C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press.

USA.

Ginting, R.C., Badia, R., Saraswati dan E.F. Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang SumberDaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Hal. 144-146.

Hanafiah, A. S., T. Sabrina dan Hardi, G. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.


(49)

Holt, J.G., Noel, R.K., Peter, H.A.S., James, T.S dan Stanley, T.W. 1994. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology. Ninth Edition. Lippincott Williams and Wilkins. United States of America.

Jensen R. A. 2001. General Soil Information. Diakses dari http://www.fs.fed.us/r6/centraloregon/resourinfo/soil.html. [28 Maret 2014.21.30 WIB].

Johnson DW, Curtis PS (2001) Effects of Forest Management on Soil C and N Storage: Meta Analysis. For Ecol Manage 140:227–238.

Khan, A.A., G. Jilani,, M. S. Akhtar., S. M. S. Naqvi., dan M. Rasheed. 2009. Phosphorus Solubilizing Bacteria: Occurrence, Mechanisms and their Role in Crop Production. Agriculture University, Rawalpindi, Pakistan. Published in J. agric. biol. sci. 1 (1):48-58.

Kucev, R. M. N. 1983. Phosphate-solubilizing bacteria and fungi in various cultivated and virgin Alberta soils. Can. J. Soil Sci. 63:671_67g.

Ladrach, W. 2009. The Effects of fire in Agriculture and Forest Ecosystems. Bethseda, Maryland. USA. Diakses dari http:// November 2014. 20.15WIB].

Lal, L. 2002. Phosphate biofertilizers. Agrotech. Publ. Academy, Udaipur.India. 224p.

Lynch, J. M. dan N. J. Poole. 1979. Microbial Ecology A Conceptual Approach. Blackwell Scientific Publications. Oxford.

Marista, E., Siti, K., dan Riza L. (2013). Bakteri Pelarut Fosfat Hasil Isolasi dari Tiga Jenis Tanah Rizosfer Tanaman Pisang Nipah (Musa paradisiaca var. nipah) di Kota Singkawang. Jurnal Protobiont Volume 2 (2): 93 – 101. Marjenah. 2007. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Kondisi Iklim Mikro di

Hutan Penelitian Bukit Soeharto.

Murphy JD, Johnson DW, dan Walker WW. 2006. Wildfire effects on soil nutrients and leaching in a Tahoe Basin Watershed. Journal of Environmental Quality, 35: 479-489.

Nurkato, A. 2007. Identifikasi Aktinomisetes Tanah Hutan Pasca Kebakaran Bukit Bungkirai Kalimantan Timur dan Potensinya Sebagai Pendegradasi Selulosa dan Pelarut Fosfat. Daiakses dari http//biodiversitas.mipa.usu.ac.id/D/D080414.pdf [28 Maret 2014. 21.30 WIB].


(50)

Nurtjahyani, S. P. 2011 Peran Mikroorganisme dalam Perkembangan

Mikrobiologi Pangan. Diakses dari

Peix, A. A. Rivas-Boyerob, P. F. Meteosb, C. Rodriguez-Barruecoa, E. Martynez-Molinab, dan E. Velazquezb. 2001. Growth Promotion of chickpea and barley by a phosphate solibilizingstrain of Mesorhizobium mediterraneum under growth chamer condition. Journal of Soil Biology and Biochemistry 33; 103-110.

Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta. Roger, P. A., T. A. Lumpkin dan W. J. Zimmerman. 1992. Microbiological

Management of Wetland Rice fields, p. 417-456. In F. B. Metting Jr (ed). 1992. Soil Microbial Ecology: Applications in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker, Inc. New York. Sarapatka, N. 2003. Phosphatase Activities (ACP, ALP) in Agroecosystem Soil. Doctoral thesis. Swedish University of Agriculture Sciences. Uppsala. Sashidhar, B dan A.R. Podile, 2009. Mineral Phosphate Solubilization by

Rhizosphere Bacteria and Scope for Manipulation of the Direct Oxidation Pathway Involving Glucose Dehydrogenase. Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072.

Suprihadi, A. 2007. Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat Secara In Vitro. Jurnal Sains dan Matematika (JSM) Volume 15, Nomor 2.

Supriyadi dan Sudadi. 2001. Efektifitas bakteri pelarut fosfat pada beberapa macam bahan pembawa inokulum. Sains Tanah I(1): 30-36.

Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Susanti, U. 2005. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulotik dalam Dekomposisi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi. USU. Medan.

Tallapragada, P. dan Usha, S. 2012. Phosphate-Solubilizing Microbes and Their Occurrence in the Rhizospheres of Piper Betel in Karnataka, India.Turk J Biol 36 (2012) 25-35.

Verma, S. dan S. Jayakumar. 2012. Impact of Forest Fire on Physical, Chemical and Biological Properties of Soil:A review. Department of Ecology and Environmental Sciences, Pondicherry University, Puducherry-605 014,


(51)

India. Proceedings of the International Academy of Ecology and Environmental Sciences, 2012, 2(3):168-176.

Wibowo, A.M., Agus S, dan Sucipto H. 2014. Eksplorasi Bakteri Penambat Nitrogen dan Bakteri Pelarut Fosfat pada Tanah Gambut di Provinsi

Kalimantan Timur. Diakses dari

[15 September

2014 21.30 WIB].

Widawati, S dan Sulisiah. 2006. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial Sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal. Jurnal Biodervisitas Volume 7, Nomor 1.


(1)

Selain dari genus Aspergillus, Penicillium juga telah banyak diteliti sebagai fungi pelarut fosfat. Kucey (1983), berpendapat Penicillium merupakan jenis fungi yang berpotensi dapat melartkan batuan fosfat.

Tabel 14. Pengamatan Penicillium

Jenis Pengamatan secara Makroskopis

Pengamatan secara Mikroskopis

Karakteristik

Penicillium sp 1 Diameter koloni 1 –

3 cm, koloni berwarna putih hingga kuning cerah.

Penicillium sp 2 Diameter koloni

mencapai 1-2 cm, koloni berwarna hijau keabua – abuan

Penicillium sp 3 Diameter koloni

mencapai 0,5 – 1 cm, berwarna kuning agak kecoklatan, konidia berbentuk ellips.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan keragaman genus mikroba pelarut fosfat yang ditemukan pada tanah bekas kebakaran hutan dan tanah tidak terbakar. Terdapat perbedaan serta kesamaan genus Mikroba Pelarut Fosfat pada jenis tanah kebakaran yang berbeda. Pseudomonas merupakan genus bakteri yang ditemukan pada jenis tanah kebakaran hutan 2011, 2012, 2013 serta tanah tidak terbakar dan bakteri dengan genus Flavobacterium, Mycobacterium, dan Staphylococcus merupakan bakteri yang terdapat pada tanah bekas kebakaran hutan 2010. Genus fungi Aspergillus ditemukan pada semua jenis tanah, serta Penicillium ditemukan pada tanah bekas kebakaran tahun 2011, 2012, 2013 dan tanah tidak terbakar.

Saran

Perlu dilakukan penelitian dengan titik pengambilan sampel tanah yang sama untuk setiap tahun kebakaran yang berbeda agar diperoleh hasil yang lebih akurat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arocena J.M. dan Opio, C. 2003. Prescribed Fire-Induced Changes in Properties of Sub-Boreal Forest Soils. Geoderma 113:1–16.

Buckle, K.A., Edward., G.H Fleet., dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adino. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Bird M, Veenendaal E, Moyo C. 2000. Effect of fire and soil texture on soil

carbon in a sub-humid savanna (Matopos, Zimbabwe). Geoderma, 94(1):

71-90.

Caldararo, N. 2002. Human ecological intervention and the role of forest fires in human ecology. Sci Total Environ 292:141–165.

Certini, G. 2005. Effects of fire on properties of forest soils: a review. Oecologia 143: 1–10.

Clark B. 2001. Soils, water, and watersheds. In: Fire Effects Guide. National Interagency Fire Center. USA.

Cunningham J. E, dan Kuiack C. 1992. Production of citric and Oxalic Acids and Sulubilization of Calcium Phospate by Penicilium bilaii. Appl.Envir. Microbiol., 58: 1451-58.

Darwiati, D. dan Nurhaedah M. 2010. Dampak kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Sifat Fisik Tanah. Jurnal Mitra Hutan Tanaman Volume 5, Nomor 1.

Ervayenri, S., Sukarno, N., dan Kusuma., C. 1999. Arbuskula Mycorrhiza Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Vegetation: Types Procedings of International Conference on Mycorrhiza in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem 27-30 Oktober 1997 Bogor, Indonesia. Gilman, J.C. 1971. A Manual of Soil Fungi. The Lowa State University Press.

USA.

Ginting, R.C., Badia, R., Saraswati dan E.F. Husen. 2006. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang SumberDaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Hal. 144-146.

Hanafiah, A. S., T. Sabrina dan Hardi, G. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.


(4)

Holt, J.G., Noel, R.K., Peter, H.A.S., James, T.S dan Stanley, T.W. 1994. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology. Ninth Edition. Lippincott Williams and Wilkins. United States of America.

Jensen R. A. 2001. General Soil Information. Diakses dari http://www.fs.fed.us/r6/centraloregon/resourinfo/soil.html. [28 Maret 2014.21.30 WIB].

Johnson DW, Curtis PS (2001) Effects of Forest Management on Soil C and N Storage: Meta Analysis. For Ecol Manage 140:227–238.

Khan, A.A., G. Jilani,, M. S. Akhtar., S. M. S. Naqvi., dan M. Rasheed. 2009.

Phosphorus Solubilizing Bacteria: Occurrence, Mechanisms and their Role in Crop Production. Agriculture University, Rawalpindi, Pakistan. Published in J. agric. biol. sci. 1 (1):48-58.

Kucev, R. M. N. 1983. Phosphate-solubilizing bacteria and fungi in various cultivated and virgin Alberta soils. Can. J. Soil Sci. 63:671_67g.

Ladrach, W. 2009. The Effects of fire in Agriculture and Forest Ecosystems. Bethseda, Maryland. USA. Diakses dari http:// November 2014. 20.15WIB].

Lal, L. 2002. Phosphate biofertilizers. Agrotech. Publ. Academy, Udaipur.India. 224p.

Lynch, J. M. dan N. J. Poole. 1979. Microbial Ecology A Conceptual Approach. Blackwell Scientific Publications. Oxford.

Marista, E., Siti, K., dan Riza L. (2013). Bakteri Pelarut Fosfat Hasil Isolasi dari Tiga Jenis Tanah Rizosfer Tanaman Pisang Nipah (Musa paradisiaca var. nipah) di Kota Singkawang. Jurnal Protobiont Volume 2 (2): 93 – 101. Marjenah. 2007. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Kondisi Iklim Mikro di

Hutan Penelitian Bukit Soeharto.

Murphy JD, Johnson DW, dan Walker WW. 2006. Wildfire effects on soil

nutrients and leaching in a Tahoe Basin Watershed. Journal of

Environmental Quality, 35: 479-489.

Nurkato, A. 2007. Identifikasi Aktinomisetes Tanah Hutan Pasca Kebakaran Bukit Bungkirai Kalimantan Timur dan Potensinya Sebagai Pendegradasi Selulosa dan Pelarut Fosfat. Daiakses dari http//biodiversitas.mipa.usu.ac.id/D/D080414.pdf [28 Maret 2014. 21.30 WIB].


(5)

Nurtjahyani, S. P. 2011 Peran Mikroorganisme dalam Perkembangan

Mikrobiologi Pangan. Diakses dari

Peix, A. A. Rivas-Boyerob, P. F. Meteosb, C. Rodriguez-Barruecoa, E. Martynez-Molinab, dan E. Velazquezb. 2001. Growth Promotion of chickpea and barley by a phosphate solibilizingstrain of Mesorhizobium mediterraneum under growth chamer condition. Journal of Soil Biology and Biochemistry 33; 103-110.

Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Rineka Cipta. Jakarta. Roger, P. A., T. A. Lumpkin dan W. J. Zimmerman. 1992. Microbiological

Management of Wetland Rice fields, p. 417-456. In F. B. Metting Jr (ed). 1992. Soil Microbial Ecology: Applications in Agricultural and

Environmental Management. Marcel Dekker, Inc. New York. Sarapatka,

N. 2003. Phosphatase Activities (ACP, ALP) in Agroecosystem Soil. Doctoral thesis. Swedish University of Agriculture Sciences. Uppsala. Sashidhar, B dan A.R. Podile, 2009. Mineral Phosphate Solubilization by

Rhizosphere Bacteria and Scope for Manipulation of the Direct

Oxidation Pathway Involving Glucose Dehydrogenase. Journal of

Applied Microbiology ISSN 1364-5072.

Suprihadi, A. 2007. Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat Secara In Vitro. Jurnal Sains dan Matematika (JSM) Volume 15, Nomor 2.

Supriyadi dan Sudadi. 2001. Efektifitas bakteri pelarut fosfat pada beberapa macam bahan pembawa inokulum. Sains Tanah I(1): 30-36.

Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Susanti, U. 2005. Isolasi dan Uji Potensi Mikroorganisme Selulotik dalam Dekomposisi Sisa Tanaman Tembakau Deli PTPN II Kebun Sampali. Skripsi. USU. Medan.

Tallapragada, P. dan Usha, S. 2012. Phosphate-Solubilizing Microbes and Their Occurrence in the Rhizospheres of Piper Betel in Karnataka, India.Turk J Biol 36 (2012) 25-35.

Verma, S. dan S. Jayakumar. 2012. Impact of Forest Fire on Physical, Chemical and Biological Properties of Soil:A review. Department of Ecology and Environmental Sciences, Pondicherry University, Puducherry-605 014,


(6)

India. Proceedings of the International Academy of Ecology and Environmental Sciences, 2012, 2(3):168-176.

Wibowo, A.M., Agus S, dan Sucipto H. 2014. Eksplorasi Bakteri Penambat Nitrogen dan Bakteri Pelarut Fosfat pada Tanah Gambut di Provinsi

Kalimantan Timur. Diakses dari

[15 September

2014 21.30 WIB].

Widawati, S dan Sulisiah. 2006. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial Sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal. Jurnal Biodervisitas Volume 7, Nomor 1.