Pengaruh tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di lahan pasang surut

i

PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine Max (L.) Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT

SAHURI
A24062950

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

i

RINGKASAN
SAHURI. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Lahan
Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).
Budidaya


jenuh

air

(BJA)

merupakan

suatu

teknologi

yang

mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga tinggi
muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah.
Teknologi ini dapat mengatasi untuk mencegah oksidasi pirit di lahan pasang
surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut
dan non pasang surut.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut. Percobaan menggunakan Rancangan Petak
Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang
terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak
adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar bedengan 2, 4, 6, dan 8 m.
Teknologi BJA dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman (LPT) dan
produktivitas kedelai. Pada saat panen terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi,
dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap
jumlah polong hampa dan bobot 100 biji kedelai. Terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, bobot
100 biji, polong isi, dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh lebar
bedengan terhadap tinggi tanaman dan jumlah polong hampa. Tinggi tanaman,
jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, bobot 100 biji,
dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada perlakuan interaksi tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m.
Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap
bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang, akar, dan

bintil nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar
bedengan 2 m. Hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut akar memiliki ruang

ii

tumbuh lebih luas, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya secara
maksimal. Selain itu, diduga karena dengan lebar bedengan 2 m air meresap dari
parit ke tengah bedengan dapat merata di seluruh areal bedengan.
Pada percobaan ini, produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air
20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar
bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan
8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan
lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha),
lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).

Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) di
Lahan Pasang Surut

The Effect of Water Depth and Bed Width on The Production of Soybean
(Glycine max (L.) Merr.) under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps
Sahuri1, Munif Ghulamahdi2
Mahasiswa Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
2
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
1

ABSTRACT
Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that gives continuous
irrigation and maintains water depth constantly and makes soil layer in saturated
condition. By keeping the water-table constantly, soybean will be avoided from
negative effect of inundation on soybean growth because soybean will be
acclimatize and improve its growth This technology appropriate to prevent pyrit
oxidation on tidal swamp and has been proved to increase the productivity of
soybean on non tidal swamp. The experiment was done to study the effect of the
level of water depths and bed width to determine the optimal bed width on the
yield of soybean. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago,
Banyuasin, South Sumatera, Indonesia from April to August 2010. The experiment
was arranged in a split plot design with three replications. The main plot of the

experiment was water depth in the furrow irrigation consisted of 10 and 20 cm
under soil surface (USS) watering. The sub plot of the experiment was bed widths
consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the experiment showed that the seed
production was obtained with the level of water depth 20 cm USS and bed width 2
m (4.15 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width 4 m
(2.59 ton/ha), bed width 6 m (1.84 ton/ha) and bed width 8 m (1.74 ton/ha). The
seed production was obtained with the level water depth 10 cm USS and bed
width 2 m (3.43 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width
4 m (2.46 ton/ha), bed width 6 m (1.75 ton/ha) and bed width 8 m (1.68
ton/ha).The highest seed production was obtained with level of water depth 20 cm
USS and bed width 2 m , so this treatment was the most appropriate
combination for soybean production on tidal swamps.
Key words : Saturated soil culture,Productivity, Soybean, Water depth, Bed’s
width and Tidal swamps

iii

PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR BEDENGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine Max (L.) Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT


Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

SAHURI
A24062950

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

iv

Judul

: PENGARUH TINGGI MUKA AIR DAN LEBAR

BEDENGAN


TERHADAP

PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine Max (L.)
Merr.) DI LAHAN PASANG SURUT
Nama

: SAHURI

NIM

: A24062950

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
NIP. 19590505 198503 1 004


Mengetahui.
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr.
NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus:

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 21
September 1987. Penulis merupakan anak ke empat dari pasangan H. Sidik dan
Hj. Hindun.
Tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sukaraja 2, kemudian pada tahun 2003
penulis menyelesaikan studi di SMPN 3 Bogor. Selanjutnya penulis lulus dari
SMAN 3 Bogor pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mengikuti Tingkat Persiapan
Bersama di IPB selama satu tahun, kemudian masuk Jurusan Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2007.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis mendapatkan beasiswa dari
Perhimpunan Orang tua Mahasiswa (POM IPB) periode 2006-2007 dan beasiswa
dari

Peningkatan

Prestasi

Akademik

(PPA)

periode

2007-2010,

serta


mendapatkan beasiswa penelitian dari Bank Ekspor-Impor. Penulis aktif di Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB-43 IPB periode 2006-2007. Tahun 2009
penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekologi Pertanian. Tahun 2010
penulis aktif di program pemberdayaan masyarakat bersama P2SDM dan LPPM
IPB di Jampang Kulon Sukabumi. Tahun 2007-lulus penulis menjadi pengurus
dan penghuni Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari. Selain itu, penulis pernah
mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2009. Penulis
berkesempatan mendapatkan modal usaha dari Program Mahasiswa Wirausaha
yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni IPB
(DPKHA IPB) untuk usaha budidaya pepaya tahun 2010.

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut.
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan

April

sampai

Agustus 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, M.S. yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada para
petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu
Suwaji, Bapak Muhtar, dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
atas dukungan yang selalu diberikan oleh Ayah, Ibu, kakak dan saudaraku
khususnya angkatan 43 di asrama Sylvasari serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Januari 2011

Sahuri

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................

xi

PENDAHULUAN ........................................................................................
Latar Belakang .........................................................................................
Tujuan......................................................................................................
Hipotesis ..................................................................................................

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
Budidaya Jenuh Air..................................................................................
Tanggap Varietas Terhadap Budidaya Jenuh Air ......................................
Lahan Pasang Surut..................................................................................

4
4
5
7

BAHAN DAN METODE .............................................................................
Tempat dan Waktu Pelaksanaan ...............................................................
Bahan dan Alat.........................................................................................
Metode Penelitian.....................................................................................
Pelaksanaan Penelitian .............................................................................
Panen .......................................................................................................
Pengamatan..............................................................................................

9
9
9
9
11
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
Hasil ........................................................................................................
Pembahasan .............................................................................................

16
16
31

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
Kesimpulan ..............................................................................................
Saran........................................................................................................

41
41
41

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

42

LAMPIRAN .................................................................................................

46

i

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Data Analisis Tanah Sebelum Tanam...................................................

18

2.

Data Analisis Air .................................................................................

19

3.

Pengaruh Tinggi Muka Air pada Komponen Pertumbuhan Kedelai
pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST .......................................................

22

Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST ...............

22

Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil pada Umur 6 MST .....................................................

23

Pengaruh Tinggi Muka Air terhadap Komponen Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai Saat Panen................................................................

23

Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan
Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST .........................................

24

Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Kandungan dan Serapan Hara
N, P, K, Fe dan Mn dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST...............

25

Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Bobot Kering Daun, Batang,
Akar, dan Bintil Kedelai pada Umur 6 MST ........................................

25

Pengaruh Lebar Bedengan terhadap Komponen Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai Saat Panen................................................................

26

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Umur 2, 4, 6, 8, dan 10
MST ....................................................................................................

27

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Serapan Hara P dalam Daun Kedelai pada Umur 6 MST......................

27

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Bobot Kering Daun. Batang. Akar, dan Bintil Kedelai pada Umur 6
MST ....................................................................................................

28

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat Panen.................

28

Pengaruh Interaksi Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap
Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Saat Panen.................

29

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.

14.
15.

1

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm .............

10

2.

Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm .............

10

3.

Skema Pengaturan Air .........................................................................

11

4.

Petak Percobaan Sebelum Dibentuk.....................................................

12

5.

Petak Percobaan yang Telah Dibentuk .................................................

12

6.

Kedalaman Pirit dari Permukaan Tanah ...............................................

17

7.

Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip.................................................

20

8.

Pertumbuhan Kedelai Varietas Tanggamus pada Umur 6
MST ....................................................................................................

30

9.

Jumlah Polong Varietas Tanggamus pada Umur 8 MST......................

31

10.

Hubungan Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan Terhadap
Produktivitas Kedelai.........................................................................

37

Kalsifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Luapan Pasang
Maksimum dan Minimum....................................................................

39

Tata Air Makro dan Mikro di Lahan Pasang Surut untuk
Penerapan BJA ....................................................................................

40

11.
12.

1

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
1.

Halaman

Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Sebelum dan Saat
Panen...................................................................................................

47

Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Analisis Hara N, P,
K, Fe dan Mn Daun pada Umur 6 MST................................................

48

3.

Deskripsi Varietas Tanggamus.............................................................

49

4.

Koefisien Korelasi Pearson antara Peubah Kedelai yang
Diamati................................................................................................

50

5.

Data Curah Hujan Daerah Penelitian (mm) ..........................................

51

6.

Data Penyinaran Matahari Daerah Penelitian (%).................................

52

7.

Data Suhu Udara (oC) Daerah Penelitian..............................................

53

8.

Data Lembab Nisbi Daerah Penelitian (%)...........................................

54

2.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai mempunyai potensi yang amat besar sebagai sumber utama
protein bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein kedelai digunakan
dalam beragam produk makanan, seperti tempe, tahu, tauco, dan kecap. Selain
dari itu, kedelai juga merupakan bahan pakan dan bahan baku industri yang
penting. Oleh karena itu, seiring dengan jumlah penduduk dan konsumsi perkapita
serta kebutuhan akan pakan dan industri yang meningkat menuntut perlunya
produksi kedelai dalam negeri ditingkatkan (Silitonga et al., 1996).
Produktivitas rata-rata kedelai nasional masih rendah pada tahun 2007
mencapai 1.3 ton/ha. Produktivitas kedelai nasional tahun 2008 dengan

luas

panen 760 000 ha mencapai 1.4 ton/ha. Produksi kedelai nasional tahun 2009
sebesar 966 469 ton biji kering dengan luas panen 728 200 ha. Produksi kedelai
nasional tahun 2010 sebesar 963 000 ton biji kering dengan luas panen 709 000
ha dan produktivitas 1.357 ton/ha (BPS, 2010). Oleh karena itu, perlu upaya
khusus baik untuk peningkatan produktivitas maupun perluasan areal panen untuk
memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri.
Di Indonesia terdapat sekitar 20.1 juta hektar lahan pasang surut yang
tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
sekitar 5.6 juta hektar lahan pasang surut sesuai untuk dikembangkan untuk lahan
pertanian. Pada lahan pasang surut kendala yang dihadapi adalah kemasaman
tanah. Pada tanah sulfat masam. drainase yang berlebihan menciptakan kondisi
aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam
alumunium yang merupakan racun bagi tanaman dan dapat memfiksasi P
membentuk senyawa yang mengendap. Akibatnya ketersediaan P dalam tanah
menjadi rendah. Selain itu, kemasaman tanah juga mengakibatkan terhambatnya
kegiatan bakteri pengikat N dan kekahatan Ca, Na, dan K (Saleh et al., 2000).
Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah
tanaman kedelai tidak tahan dengan air yang berlebihan, yakni sesuai dengan
karakteristik lahan rawa pasang surut. Namun apabila lahan dikeringkan pirit akan

2

teroksidasi yang menyebabkan pH tanah rendah. Kadar pirit yang tinggi
menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah, yaitu
800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan
oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi
tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Djayusman et al., 2001). Oleh sebab
itu kedelai dapat diusahakan di lahan rawa bila pengelolaan lahan dan tata air
sudah diperbaiki secara tepat.
Untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman kedelai memerlukan
air yang cukup. Tanpa air, tanaman tidak dapat menyerap unsur hara dan
mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman sebagai pemacu pertumbuhan.
Distribusi curah hujan yang memadai dan merata setiap bulan, sangat membantu
pertumbuhan tanaman (Adisarwanto, 2001).
Teknologi budidaya jenuh air telah terbukti memberikan hasil yang baik
bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut merupakan
peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di
lahan rawa pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan
cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman
muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari
kelebihan air pada pertumbuhan tanaman (Ghulamahdi, 2009).
Menurut Ghulamahdi (2006) sistem budidaya jenuh air mampu
meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N, P, K daun, bobot kering bintil,
akar, batang, daun, polong serta biji. Budidaya jenuh air pada kedelai
mempengaruhi bobot kering akar pada 8 minggu setelah tanam (MST), bobot
kering batang, dan daun pada umur 6 MST serta bobot segar biomass per petak.
Kondisi jenuh air pada tinggi muka air 5 sampai 10 cm selalu berada di
sekitar kapasitas lapang. Budidaya jenuh air pada tinggi muka air 5 cm dapat
meningkatkan kandungan nitrogen daun dan pada tinggi muka air 15 cm dapat
meningkatkan kadar protein biji dan bobot protein biji (Indradewa et al., 2004).
Adisarwanto (2001) menyarankan lebar bedengan untuk budidaya kedelai
kurang dari 2 m di lahan sawah non pasang surut. Belum pernah dilakukan
penelitian tentang lebar bedengan optimum, dengan variasi lebih dari 2 m di lahan
sawah pasang surut. Penambahan lebar bedengan diperlukan untuk mengurangi

3

penggunaan tenaga kerja dalam pembuatan parit, tetapi perlu dipertimbangkan
kemampuan air meresap dari parit ke tengah bedengan.
Menurut Idradewa et al. (2002) menyatakan bahwa genangan dalam parit
dengan lebar bedengan 3-4 m di lahan sawah non pasang surut merupakan petak
yang ideal, karena mempunyai kandungan lengas tanah sekitar kapasitas lapang
dibandingkan genangan dalam parit dengan lebar bedengan 1 dan 2 m,
mempunyai kandungan lengas tanah sedikit di atas kapasitas lapang. Tidak ada
perbedaan pengaruh lebar bedengan terhadap proses fisiologis. pertumbuhan dan
produksi kedelai, tetapi terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap bobot kering
tanaman. Bobot kering tanaman nyata lebih berat dengan lebar bedengan 3 m di
lahan sawah non pasang surut.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan
tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan
tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi
kedelai di lahan rawa pasang surut.
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai
di lahan rawa pasang surut.
3. Ada tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu yang memberi pertumbuhan
dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi
tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat
kondisi tanah jenuh air dilakukan dengan cara sub surface irrigation
(Wiroatmodjo et al., 1990). Budidaya jenuh air adalah cara penanaman di atas
bedengan dengan memberikan pengairan terus menerus di dalam parit. sehingga
tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air. namun tidak menggenang
(Purwaningrahayu et al., 2004).
Menurut Mulatsih et al. (2000) budidaya jenuh air diselenggarakan dengan
membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 MST sampai
masak fisiologis. Caranya adalah dengan

mengalirkan air melalui saluran di

antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum
15 cm di bawah permukaan tanah.
Tinggi muka air dalam budidaya jenuh air dipertahankan terus menerus
dengan menberikan air pada ketinggian 5, 10, dan 15 cm di bawah permukaan
tanah yang dimulai pada saat tanaman kedelai berumur 14 hari sampai dengan
panen (Suwarto et al., 1994).
Budidaya jenuh air dilakukan dengan cara pengairan yang terus menerus
sejak tanaman berumur dua minggu sampai polong mencapai masak fisiologis.
Tinggi air disaluran dipertahankan ± 5 cm di bawah permukaan tanah untuk
membuat petak penanaman jenuh air (Ghulamahdi dan Aziz, 1992).
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus
menerus dan membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm dibawah
permukaan air tanah) sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air
diberikan sejak tanaman kedelai berumur 14 hari sampai polong berwarna coklat
(Hunter et al., 1980). Tinggi muka air tetap akan

menghilangkan pengaruh

negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan
beraklimatisasi

dan

selanjutnya

(Natahnson et al., 1984).

tanaman

memperbaiki

pertumbuhannya

5

Budidaya jenuh air tidak tergenang melainkan sudah melebihi kapasitas
lapang. Air diberikan secara terus-menerus sejak tanaman berumur dua minggu
hingga masak fisiologis. Air dialirkan melalui saluran-saluran diantara petakanpetakan dan tingginya dijaga tetap berada beberapa sentimeter di bawah
permukaan tanah. Sistem ini dapat diterapkan pada lahan dengan irigasi cukup
baik maupun yang berdrainase kurang baik. Disamping itu, pada lahan sawah
yang dalam satu musim (tahun) selalu ditanami padi, sistem ini cukup baik untuk
memperbaiki pola tanam yang sudah ada (Soertojo, 1993).
Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman
dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik.
Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem
surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi,
1999).
Tanggap Varietas terhadap Budidaya Jenuh Air
Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih
lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif
mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada
budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi,
1990).
Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar
dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. selanjutnya daun menjadi
hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya basah dibandingkan
pada budidaya biasa (Avivi, 1995).
Budidaya jenuh air meningkatkan komponen hasil dan hasil benih serta
memperbaiki keragaan variabel mutu fisik dan mutu fisiologis benih kedelai.
Budidaya basah walaupun tidak selalu meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak
berbahaya untuk produksi benih (Raka et al., 1995).
Budidaya jenuh air nyata meningkatkan ACC (1-aminocyclopropane-1carboxylic acid) akar, etilen akar, glukosa akar, lingkar leher akar, bobot kering
bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, bobot kering tanaman, dan bobot

6

kering biji. Pada budidaya jenuh air kandungan ACC akar lebih tinggi pada umur
5, 7, dan 8 MST dan kandungan etilen lebih tinggi pada umur 6 MST
(Ghulamahdi, 1999).
Kondisi jenuh air dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman. Jika
kondisi tanah jenuh air terjadi pada saat tanaman berumur 15-30 hari setelah
tanam (HST) maka pertumbuhan tertekan dan hasil menurun 15-25% dibanding
tanpa kondisi jenuh air (Adisarwanto, 2001).
Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil
akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi
daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Pada budidaya
jenuh air bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks panen,
dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang dibanding
varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan penerapan
teknologi budidaya jenuh air

atau budidaya basah berkisar antara 85-229%

(Purwaningrahayu et al., 2004).
Pemberian jumlah air berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman
kedelai. Secara umum pemberian jumlah air semakin sedikit menurunkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Batang tanaman memendek, daun
menyempit, dan semakin sedikit, bobot kering tajuk semakin rendah, dan jumlah
polong semakin sedikit pada pemberian air yang makin sedikit (Zen et al., 1993).
Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media
dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol.
Bobot kering bintil akar tertinggi diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi
muka air 15 cm tanpa dipupuk nitrogen, sedangkan bobot biji per tanaman
tertinggi diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan di media dengan tinggi muka
air 15 cm dan dipupuk nitrogen (Suwarto et al., 1994).
Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan
dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan,
bahwa kedelai berukuran biji besar lebih toleran terhadap penjenuhan
dibandingkan dengan kedelai berukuran biji sedang dan berukuran biji kecil.

7

Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan
fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit.
Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokkan lahan. Lahan
sulfat masam bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm,
sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam
bersulfida dalam memiliki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman
dan sesuai untuk budidaya kedelai (Rachman et al., 1985).
Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di
Indonesia mencapai 20.15 juta hektar. Dari luas tersebut 9.45 juta hektar sesuai
untuk kegiatan pertanian dan baru sekitar 3.59 juta hektar yang dimanfaatkan,
sedangkan Sabran et al. (2000) menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta hektar lahan
pasang surut sesuai untuk kegiatan pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta
hektar berpotensi untuk pengembangan dalam skala besar.
Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari
proses oksidasi lapisan sulfida (pirit). Budidaya kedelai di lahan pasang surut
yang masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan
K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang
hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik
cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan
organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia
karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap.
Sedangkan ketersediaan hara K rendah karena mengalami pencucian setelah
terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air
tanah yang dangkal, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif
(Rachman et al., 1985).
Di lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses
oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur
beracun (Al, Fe, dan Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah, dan tidak
menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan

8

tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air tersedia cukup, maka petak
sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu,
gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses
pencucian unsur beracun sepperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah. Oleh
karena itu, pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan
produksi tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003).
Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di lahan
pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padikedelai atau kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem
surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut
tipe B (terluapi oleh pasang besar).
Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air.
Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genagan air yang
berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran.
Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan
tanaman. Selain itu, genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi
oksigen sehingga respirasi biji terganggu. Karena itu, kedelai tidak bisa ditanam di
lahan pasang surut yang tegenang (Sabran et al., 2000).
Jangkauan air pasang masuk ke lahan pertanian di lahan pasang surut
berbeda-beda sesuai dengan tipe luapan air di lahan tersebut. Perbedaan tersebut
menyebabkan perlunya penyesuaian antara tipe luapan dengan pola tanam. Setiap
tipe luapan air membutuhkan sistem pengelolaan air yang spesifik. Sistem
pengelolaan air di setiap tipe luapan air tersebut dapat menyebabkan perubahan
sifat kimia tanah. Perubahan tersebut berbeda antara satu sistem pengelolaan air
dengan sistem yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari dan didapatkan sistem
pengelolaan air spesifik yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas
lahan berdasarkan dinamika sifat kimia tanah (Alwi dan Nazemi, 2003).

9

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April

sampai

Agustus 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Dolomit.
inokulan Rhizobium sp, dan insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang, pupuk daun N, SP36, dan KCl.
Peralatan yang dibutuhkan adalah peralatan tanam, ajir, alat ukur, gelas ukur,
pengaduk, dan timbangan.
Metode Penelitian
Menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak
utama adalah tinggi muka air yang terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan
tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar
bedengan 2, 4, 6, dan 8 m. Tiap anak petak diulang 3 kali dalam setiap petak
utama, sehingga terdapat 24 unit satuan percobaan. Tiap petak diambil
10 tanaman contoh, sehingga terdapat 240 tanaman contoh yang diamati pada
seluruh petak.
Model linier untuk mengujinya adalah :
Yijk

= µ + δi + αj + εij + βk + (αβ)jk + Єijk

Dimana:
i

: Ulangan/kelompok (1, 2, 3)

j

: Tinggi muka air (1, 2)

k

: Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)

Yijk

: Nilai hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j. lebar bedengan
ke-k dan ulangan ke-i.

µ

: Rataan umum/nilai tengah

10

δi

: Pengaruh ulangan/kelompok ke- i

αj

: Pengaruh tinggi muka air ke-j

εij

: Pengaruh galat yang muncul pada tinggi muka air ke-j dan ulangan ke-i

βk

: Pengaruh lebar bedengan ke-k

(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor tinggi muka air taraf ke-j dan lebar
bedengan taraf ke-k.
Єijk

: Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada
ulangan ke-i

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam, bila beda nyata dilanjutkan dengan uji
Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).

VVVVVV

VVVVVV
30 cm

25

20 cm
5 cm

Gambar 1. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm

VVVVVV

VVVVVV
30 cm
10 cm

25
15 cm
Gambar 2. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm

11

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak
berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, dan 8 m x 5 m sehingga petak utama
akan berukuran 5 m x 20 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang
berukuran lebar 30 cm dengan dalam 25 cm. Dengan demikan kondisi petakan
selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam
dengan ketinggian muka air sesuai perlakuan.

Keterangan:

Saluran air (lebar 30 cm dengan dalam 25 cm)
: Aliran air
: Anak petak (Lebar bedengan 2 , 4, 6 dan 8 m)
: Pematang / Jalan
: Pintu air

Gambar 3. Skema Pengaturan Air
Kedelai dipupuk sebanyak 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk kandang/ha, 200 kg
SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha serta diberi inokulan Rhizobium sp 5 g/kg benih,
Kapur Dolomit, pupuk kandang, SP36, dan KCl akan dicampur dan diinkubasikan
selama 1 minggu. Pada saat tanam benih diberi insektisida berbahan aktif
Karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g/kg benih untuk mengatasi lalat bibit.

12

Benih varietas Tanggamus ditanam dangkal, 1-2 cm menggunakan jarak
tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Penyulaman dilakukan pada umur 5 hari
setelah tanam (HST). Pada umur 2 minggu setelah tanam (MST) dilakukan
penjarangan menjadi 2 tanaman/lubang (populasi tanaman 400 000 tanaman/ha).
Penjarangan dilakukan bertujuan untuk menghindari kompetisi antar tanaman
dalam mendapatkan unsur hara dan radiasi matahari. Kedelai pada saat umur 3, 4,
5, dan 6 minggu diberi pupuk daun N dengan konsentrasi 7.5 g Urea/l air
menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Gambar 4. Petak Percobaan Sebelum Dibentuk

Gambar 5. Petak Percobaan yang Telah Dibentuk

13

Pemeliharaan
Pengendalian gulma dilakukan secara manual pada saat 4 MST karena
pertumbuhan gulma telah mengganggu pertanaman. Pengendalian hama dilakukan
dengan menggunakan pestisida berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l pada saat
4 MST karena serangannya dianggap telah mengganggu pertumbuhan tanaman
atau telah mencapai ambang ekonomi yang dapat menurunkan produksi.
Pengendalian hama dilakukan pada malam hari, karena hama terutama ulat
Grayak (Spodoptera litura Fabricus) aktif pada malam hari. Dengan pengendalian
pada malam hari ulat Grayak dapat dikendalikan. Pengairan dalam parit dilakukan
sejak awal tanam sampai panen dengan tinggi muka yang stabil sesuai perlakuan.

Panen
Kriteria tanaman yang telah siap dipanen adalah pada saat kira-kira 90%
dari populasi tanaman sudah luruh daunnya. warna polong sudah berubah dari
hijau berwarna kuning kecoklat-coklatan. Polong dan biji sudah berkembang
penuh. Kriteria penentuan saat panen seperti itu merupakan cara yang paling
mudah untuk menentukan saat masak fisiologis benih kedelai yang tepat.

Pengamatan
Karakter agronomi yang diamati adalah:
1. Tinggi tanaman
Pengukuran tinggi 10 tanaman contoh dilakukan setiap 2 minggu. Caranya
diukur dari pangkal sampai titik tumbuh yang terletak diujung bunga utama.
2. Jumlah daun trifoliate
Dihitung setiap 2 minggu dengan menghitung semua daun mulai dari daun
unifoliet yang sudah terbuka penuh dari 10 tanaman contoh.
3.

Bobot bintil, akar, batang, dan daun (g), dilakukan pada umur 6 minggu
setelah tanam
Tanaman sampel berumur 6 MST sebanyak 12 tanaman (diperkirakan bobot
kering daun cukup untuk analisis hara daun) diambil mulai dari akar. Sampel
dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 60oC. Setelah

14

dikeringkan. bagian-bagian tanaman dipisahkan yaitu akar, batang, daun, dan
bintil, lalu ditimbang.
4.

Tinggi tanaman dan jumlah cabang saat panen
Penghitungan dilakukan saat panen pada 10 tanaman contoh tiap petak.

5. Jumlah buku produktif dan tidak produktif saat panen
6. Jumlah polong isi dan hampa per tanaman (buah)
Penghitungan dilakukan sebanyak satu kali saat panen dengan menghitung
semua polong yang berisi dan yang hampa dari 10 tanaman contoh.
7. Bobot 100 biji (g)
Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen dari petak panen.
8. Bobot biji per petak (ton/ha)
Dilakukan dengan cara menimbang biji perpetak yang dipanen dari petak
panen.
9.

Analisis hara N, P, K, Fe, dan Mn daun
Contoh daun umur 6 MST diambil dari lapangan, dikeringkan dalam oven
dengan suhu 60oC selama 72 jam kemudian daun kering dihaluskan.
Kandungan N daun ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan alat titrasi. P
daun ditentukan dengan metode pengabuan kering dan ditetapkan dengan
sfektrofotometer. K, Fe, dan Mn ditentukan dengan metode HCLO4+HNO3
menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer (AAS).

10. Analisis fisik dan kimia tanah sebelum dan sesudah panen
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat).
pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK,
kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan Mn serta pirit. Tekstur
tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan
dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl, C organik ditentukan dengan
metode kurmis, N ditentukan dengan metode Kjeldahl, P2O5 ditentukan
dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan, Kation dan
unsur hara mikro dengan metode AAS, dan KTK dengan metode titrasi.

15

11. Analisis air meliputi pH, DHL, kation, anion, dan kadar lumpur
Keasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas
kombinasi. Daya hantar listrik (DHL) diukur dengan menggunkan
konduktometer. Kation diukur dengan metode sesuai dengan masing-masing
kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS. K dan Na
dengan fotometer nyala, NH4 dengan sfektrofotometri, SO4 dengan
turbidimetri, Cl dengan argentometri, PO4 dengan kolorimetripewarnaan biru
molibden pada panjang gelombang 693 nm, CO3 dan HCO3 dengan titrasi
menggunakan asam hingga pH tertentu.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Keadaan Umum
Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2010. Penanaman kedelai
dilakukan pada bulan Mei 2010. Pada bulan tersebut salinitas belum
mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Hal ini karena pada bulan tersebut air yang
berada dalam saluran masih merupakan sisa air hujan, namun kadar kation dan
anion sudah dipengaruhi air laut, sehingga kation dan anion didominasi oleh Na
dan Cl.
Pada percobaan ini air mulai di alirkan ke parit-parit di antara petak-petak
percobaan sejak awal tanam. Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan pada
umur 5 hari setelah tanam (HST), tetapi kurang merata. Hal ini karena benih
ditanam terlalu dalam dengan kondisi tanah lahan pasang surut mempunyai kadar
liat tinggi 57% (Tabel 1) sehingga pertumbuhan kecambah kedelai ke permukaan
tanah terhambat, kemudian dilakukan penyulaman dengan cara benih kedelai
ditanam dangkal 1-2 cm sehingga menjadi merata pemunculannya di seluruh
petakan percobaan pada umur 10 HST. Daun trifoliat pertama terbentuk sempurna
pada umur 14 HST.
Pada 21 HST mulai terlihat gejala daun menguning, terutama daun yang
muda dan daun tua tetap berwarna hijau. Menurut Ghulamahdi (1999) hal ini
karena

kedelai

beraklimatisasi

dan

selanjutnya

tanaman

memperbaiki

pertumbuhannya. Pada awal aklimatisasi, kandungan N dalam daun menurun dan
tanaman menjadi khlorotis. Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen
dan terjadinya alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanaman (ke perakaran
baru dan bintil akar). Gejala daun menguning tersebut berangsur-angsur
berkurang setelah pemberian N 100% melalui daun pada umur 30 HST. Daun
berangsur-angsur membaik dengan munculnya pucuk baru. Tanaman mulai
muncul bunga pada umur 40 HST. Umur panen tanaman menjadi lebih lama
untuk semua perlakuan.

17

Tinggi tanaman merata pada lebar bedengan 2 dan 4 m, sedangkan tinggi
tanaman pada lebar bedengan 6 dan 8 m, tanaman pinggir relatif lebih tinggi
dibandingkan tanaman tengah (Gambar 8). Ini terjadi diduga karena laju gerakan
air dari parit ke tengah bedengan kurang mampu mengimbangi kehilangan air
karena evapotranspirasi dan perkolasi. Kondisi kurangnya air di tengah bedengan
menyebabkan pirit teroksidasi sehingga tanah menjadi masam, menghambat
pertumbuhan tanaman dan produksi rendah.
Hasil analisis tanah sebelum tanam memperlihatkan tingkat kesuburan yang
relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5, dan K2O yang cukup tinggi.
Akan tetapi tanah memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.90 dan Al3+
3.56 cmol(+)/kg. Nilai tukar kation K dan Na rendah, namun nilai tukar kation Ca
dan Mg tergolong tinggi. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sedang.
Tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi pasir 1%, debu 42%, dan liat
57%. Kelarutan alumunium dan besi yang cukup tinggi, kondisi ini menyebabkan
tanah memerlukan tambahan input dalam bentuk kapur dan pupuk agar tanaman
kedelai

dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Tabel 1). Tanah juga

mengandung pirit dan Fe yang cukup tinggi. Kedalaman pirit di lahan penelitian
adalah kurang lebih 30 cm (Gambar 6).

30 cm

Gambar 6. Kedalaman Pirit dari Permukaan Tanah

18

Tabel 1. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam
No
1

2

3

4
5

6

7

8

Peubah Analisis
Tekstur (pipet)
a. Pasir
b. Debu
c. Liat
Eksrak 1:5
a. pH H2O
b. pH KCl
Bahan Organik
a. C
b. N
c. C/N
P2O5
Bray 1
K2O
Morgan
Nilai Tukar Kation (NH4Acetat 1 M. pH 7)
a. K
b. Ca
c. Mg
d. Na
e. KTK
f. KB
Ekstrak KCl 1M
a. AL3+
b. H+

a. Pirit
b. Ca
c. Mg
d. Fe
e. Mn
f. S
*Balai Penelitian Tanah (2010)

Hasil Analisis

Kriteria

a. 1%
b. 42%
c. 57%

Liat berdebu

a. 4.90
b. 4.00

Sangat masam

a. 5.24%
b. 0.24%
c. 22%

a. Tinggi
b. Sedang
c. Tinggi

a. 5.2 mg/100g

a. Tinggi

a. 0.5 mg/100g

a. Rendah

a. 0.15 cmol(+)/kg
b. 4.72 cmol(+)/kg
c. 4.67 cmol(+)/kg
d. 0.64 cmol(+)/kg
e. 20.24 cmol(+)/kg
f. 50%

a. Rendah
b. Tinggi
c. Tinggi
d. Rendah
e. Sedang
f. Sedang

a. 3.56 cmol(+)/kg
b. 0.27 cmol(+)/kg
a. 0.16% (1600
ppm)
a. 110 mg/100g
b. 270 mg/100g
c. 154.2 mg/100g
d. 32.4 mg/100g
e. 90 mg/100g

a. Tinggi
b. Rendah
a. Tinggi
b. Tinggi
c. Tinggi
d. Tinggi
e. Sedang
f. Tinggi

Sumber air untuk budidaya jenuh air (BJA) pada penelitian ini adalah
dengan memanfaatkan air yang berada di saluran drainase yang telah dipengaruhi
pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam

19

air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik masih rendah
0.488 mmhos/cm sehingga dapat mengairi semua tanaman, tidak merusak tanah
dan tanaman. Air ini juga memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 5.4. Kadar
lumpur yang ada di air 0.20 mg/l (Tabel 2).
Tabel 2. Data Analisis Air
No.
1

Peubah Analisi
DHL

Hasil Analisis
0.488 mmhos/cm

2
3

pH
5.4
Kation
a. NH4
a. 0.81 mg/l air bebas lumpur
b. Ca
b. 11.65 mg/l air bebas lumpur
c. Mg
c. 4.87 mg/l air bebas lumpur
d. Na
d. 19.63 mg/l air bebas lumpur
e. Fe
e. 0.19 mg/l air bebas lumpur
f. Mn
f. 0.00 mg/l air bebas lumpur
g. Cu
g. 0.03 mg/l air bebas limpur
h. Zn
h. 0.00 mg/l air bebas lumpur
i. Jumlah kation
i. 37.18 mg/l air bebas lumpur
4
Anion
a. PO43a. 0. 56 mg/l air bebas lumpur
2b. SO4
b. 111 mg/l air bebas lumpur
c. Cl
c. 2.69 mg/l air bebas lumpur
d. HCO3
d. 0.32 mg/l air bebas lumpur
e. CO3
e. 0.00 mg/l air bebas lumpur
f. Jumlah anion
f. 112.57 mg/l air bebas lumpur
5
Kadar lumpur
0.20 mg/l air bebas lumpur
*Balai penelitian tanah (2010)

Kriteria
Rendah
Sangat
masam
Rendah
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Sedang
Rendah
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
Sedang
Rendah

Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Daerah lahan pasang surut
ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase, namun saluran-saluran belum
dilengkapi pintu-pintu air, sehingga sistem pengelolaan dan tata air hanya
tergantung dengan fluktuasi pasang surut air laut. Jaringan drainase terdiri dari
saluran primer, sekunder, tersier, dan kuarter (Gambar 7).

20

a. Saluran Primer

c. Saluran Tersier

b. Saluran Sekunder

d. Saluran Kuarter

Gambar 7. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip
Pertumbuhan dan Produksi
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi muka air berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8, 10, dan 12 MST, jumlah cabang pada
saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif dan jumlah polong isi. Tinggi muka air tidak berbeda nyata
terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah polong hampa
dan bobot 100 biji. Lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
pada umur 2 dan 4 MST, jumlah daun pada umur 6 MST, jumlah cabang saat
panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif dan
tidak produktif, jumlah polong isi dan bobot 100 biji. Interaksi tinggi muka air
dan lebar bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 4, 6,
8, 10, dan 12 MST, jumlah daun pada umur 2 dan 6 MST, jumlah cabang pada

21

saat panen, bobot kering daun, batang, akar, bintil, produksi biji, buku produktif
dan tidak produktif, jumlah polong isi, dan bobot 100 biji (Lampiran 1).
Pola pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 6 MST sama dengan pola
pertumbuhan pada umur 2 dan 4 MST. Puncak pertumbuhan tanaman adalah pada
umur 8 dan 10 MST. Jumlah daun pada umur 8 dan 10 MST relatif sama dan daun
sudah mulai gugur. Pertambahan tinggi tanaman dari umur 2-6 MST mencapai
100% dari tinggi 2 dan 4 MST, dari umur 6-8 MST mencapai 39% dari tinggi
6 MST, sedangkan dari umur 8-10 MST hanya bertambah 2%. Pertambahan
jumlah daun dari umur 2-4 MST rata-rata adalah 4 daun, dari umur 4-6 MST ratarata adalah 7 daun dan dari umur 6-8 MST rata-rata adalah 3 daun (Tabel 3, 7, dan
11).
Pertumbuhan tanaman tidak terlalu tertekan selama masa aklimatisasi di
awal pertumbuhan. Hal ini karena pertumbuhan tanaman stabil sejak awal
pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman,
jumlah daun, dan cabang yang relatif baik (Tabel 3, 7, dan 11). Menurut
Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal
pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di
atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.
Pertumbuhan tanaman mulai berhenti pada umur 10 MST. Pada saat umur
10 MST tanaman telah berada pada fase generatif. Hal ini sesuai dengan tipe
varietas tersebut yang tergolong dalam tipe determinit yaitu berbunga hanya sekali
dalam satu periode. Berdasarkan pertumbuhan tanaman yang stabil sejak awal
pertumbuhan, tanaman dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut
dengan teknologi BJA. Hal ini sesuai dengan deskripsi varietas tanggamus yang
dirakit untuk adaptasi lahan masam (Lampiran 3).
Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 8,
dan 10 MST, tetapi tidak terdapat pengaruh pada umur 4 dan 6 MST. Tinggi
tanaman pada umur 2 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 10 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 20 cm DPT. Namun tinggi tanaman pada
umur 8 dan 10 MST nyata lebih tinggi pada tinggi muka air 20 cm DPT
dibandingkan pada tinggi muka air 10 cm DPT. Tidak terdapat pengaruh tinggi
muka air terhadap jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8