Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Tangerang Selatan, Banten)

RANCANG BANGUN MODEL KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN KOTA BARU YANG BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS: KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN)

HERI APRIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Rancang Bangun
Model Kebijakan Pengembangan Kota Baru yang Berkelanjutan (Studi
Kasus: Kota Tangerang Selatan, Banten) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Heri Apriyanto
NIM P062100201

RINGKASAN
HERI APRIYANTO. Rancang Bangun Model Kebijakan Pengembangan Kota
Baru yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Kota Tangerang Selatan, Banten)
Dibimbing oleh ERIYATNO, ERNAN RUSTIADI dan IKHWANUDDIN
MAWARDI.
Metropolitan Jakarta merupakan salah satu wilayah yang perkembangannya
pesat. Selama tiga dekade terakhir telah terjadi perkembangan yang cepat yang
didukung oleh peran sektor swasta yang mampu mengkonversi ratusan ribu hektar
lahan-lahan di pinggiran Kota Jakarta menjadi kota-kota baru. Fenomena ini
didorong kondisi Jakarta yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa
dan jumlah penduduknya yang padat. Hal ini berdampak pada meningkatnya
permintaan lahan untuk pembangunan permukiman dan kegiatan lain. Padahal
ketersediaan ruang di dalam kota adalah tetap dan terbatas. Akibatnya terjadi
suburbanisasi di daerah pinggiran. Suburbanisasi ini mengakibatkan terjadinya
urban sprawl, dimana kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak dan

semakin tidak terkendali.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dari fenomena suburbanisasi dan
proses urban sprawl antara lain terjadinya tekanan terhadap daya dukung lahan,
kemacetan, banjir, polusi, krisis infrastruktur, RTH minim, kesenjangan sosial,
dan sebagainya. Permasalahan ini disebabkan oleh kelemahan dari penerapan
produk perencanaan atau juga karena proses perencanaan perkotaan yang ada
tidak dapat mengantisipasi sprawl tersebut secara efektif. Padahal konsepsi
pembangunan kota baru ini untuk menciptakan alternatif pusat-pusat pertumbuhan
baru bagi wilayah sekitarnya, sekaligus mengurangi beban kota besar.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada kota baru harus segera
ditangani karena dapat menjadikan pengembangan kota menjadi tidak
berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan baru, pendekatan yang
menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan dan kesisteman (kota sebagai
sebuah sistem). Penelitian ini bertujuan menyusun model konseptual kebijakan
pengembangan kota baru yang berkelanjutan. Model yang mengharmonisasikan
tatanan ekonomi, ekologis, dan sosial untuk mewujudkan kota baru yang
berkelanjutan. Keberhasilan suatu kota tidak hanya tergantung pada pemerintah
kota saja, namun juga oleh peran serta masyarakat, swasta, dan akademisi/pakar.
Tahapan-tahapan penyusunan model konseptual kebijakan pengembangan
kota baru yang berkelanjutan ini dilakukan melalui analisis situasional, evaluasi

dan penilaian status pengembangan kota baru berkelanjutan, dan melakukan
pemodelan skenario kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan.
Model kebijakan ini bersifat generik yang dapat dipergunakan untuk kota-kota
baru yang terbentuk dari dampak perkembangan kota metropolitan di Indonesia.
Evaluasi dan penilaian terhadap pelaksanan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pengembangan sudah
atau belum berkelanjutan. Penilaian status berkelanjutan perlu menggunakan suatu
instrumen pengukuran, yaitu Key Performance Indicators (KPI) pengembangan
kota baru yang berkelanjutan. Perumusan KPI ini dilakukan dengan pendekatan
Analytic Hierarchy Process (AHP). KPI terdiri dari 21 indikator dan 9 elemen
dari 3 pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan).

Guna mengetahui kondisi dan memprediksi kecenderungan perkembangan
kota baru ke depan diperlukan suatu model skenario kebijakan pengembangan
kota baru. Model skenario ini dibangun dengan pendekatan sistem (dinamis).
Model ini mempertimbangkan keseimbangan antar aspek pembangunan
berkelanjutan. Lima skenario kebijakan yang disimulaasikan, yaitu skenario
Business as usual (BAU), kapital dan sosial, lingkungan, moderat, dan optimis.
Masing-masing skenario dilakukan intervensi/dicobakan terhadap 7 variabel, yaitu
laju pertumbuhan investasi, laju pertumbuhan ekonomi, laju pertambahan jalan,

laju migrasi masuk, luasan RTH, dan tutupan lahan vegetasi, serta anggaran untuk
lingkungan hidup dari PAD.
Implementasi model kebijakan ini terhadap pengembangan Kota Tangerang
Selatan. Kota ini terbentuk dari aglomerasi kota-kota baru (BSD, Bintaro Jaya,
dan Alam Sutera) dan pusat-pusat pertumbuhan baru (Ciputat-Pamulang-Pondok
Aren). Kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru ini merupakan dampak
dari perkembangan Metropolitan Jakarta. Perkembangan aspek ekonomi Kota
Tangerang Selatan sangat pesat, namun kurang diimbangi oleh pengembangan
aspek lingkungan dan sosial budaya. Fenomena urban sprawl terus terjadi
sehingga menambah beban permasalahan bagi Kota Tangerang Selatan.
Hasil evaluasi dan penilaian status pengembangan kota dengan
menggunakan instrumen KPI menunjukkan bahwa Kota Tangerang Selatan
termasuk dalam tahap awal pembangunan berkelanjutan. Secara umum
perkembangan ekonomi dan sosial relatif cukup baik, namun tidak demikian
dengan kondisi lingkungannya. Sebagai contoh peningkatan pembangunan
permukiman dan kawasan komersial semakin mengurangi kawasan resapan air,
meningkatkan polusi, meningkatkan kemacetan, dan sebagainya.
Hasil simulasi model skenario menunjukkan perbedaan signifikan pada
kecenderungan pengembangan ekonomi, kependudukan, dan isu-isu lingkungan
yang tergambarkan dalam besaran PAD, PDRB/kapita, kemacetan dan banjir,

serta indeks komposit lingkungan hidup. Hasil simulasi menunjukkan Kota
Tangerang Selatan merupakan kota yang belum berkelanjutan. Skenario optimis
merupakan prioritas terbaik karena menunjukkan perkembangan ekonomi tetap
meningkat, pendapatan masyarakat meningkat, dan indeks lingkungan hidup
membaik. Intervensi skenario ini mempertimbangkan keseimbangan aspek
pembangunan berkelanjutan dan kondisi lapangan.
Model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan
terdiri dari model manajemen dan model kelembagaan. Model manajemen
menitikberatkan pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
pembangunan serta rekomendasi program-program prioritas. Model kelembagaan
menitikberatkan pada aktor-aktor dan fungsinya di dalam sistem pengembangan
kota. Dalam model kelembagaan direkomendasikan pembentukan suatu tim
adhoc. Tim ini disebut dengan Tim Percepatan Pembangunan Kota Baru yang
Berkelanjutan (TPPKB) yang bertujuan mendorong dan membantu pemerintah
kota dalam mewujudkan pengembangan kota yang berkelanjutan. TPPKB ini
beranggotakan dari unsur-unsur pemerintah kota, swasta, masyarakat, dan
akademisi/pakar. Implementasi kebijakan adalah dengan rekomendasi programprogram prioritas untuk mewujudkan kota baru yang berkelanjutan.
Kata

kunci:


kawasan metropolitan, Key Performance Indicators,
berkelanjutan, model kebijakan, sistem dinamis

kota

SUMMARY
HERI APRIYANTO. Designing of Policy Model for Sustainable New City
Development (A Case Study for South Tangerang City, Banten). Under
supervision of ERIYATNO, ERNAN RUSTIADI dan IKHWANUDDIN
MAWARDI.
Jakarta Metropolitan Area (JMA) is one of the cities in Indonesia that
experience rapid development. For the last three decades, extensive development
supported by private sectors has occurred and made hundred thousands of hectare
areas converted into new-towns in peri urban Jakarta. This phenomenon was
caused by Jakarta’s remarkable economic growth and high population density.
This condition affects an increase in demand of areas for development of
settlement and other activities. However, due to the limited availability of land
and space in the city, suburbanization occurs. This suburbanization causes urban
sprawl, in which urban areas to be widespread and dispersed randomly as well

getting out of control.
Suburbanization and urban sprawl generates problems such as pressure on
the land carrying capacity, flood, pollution, traffic jams, social inequality,
infrastructure crisis, green open space is very less, etc. These problems are caused
by weak implementation of planning product or existing planning processes do
not appear to manage sprawl effectively. Whereas new town development
concept is to create of new growth centers alternatives for surrounding area and
to reduce large city’s burden.
Any problems occurring in a new city should be handled immediately since
they can eventually leading to the unsustainable development of the city.
Therefore, a new approach that applies sustainable development principle and
systemic (city as a system) is required. This study purposed to develop a
conceptual model of sustainable new city development policy that harmonize
economic, ecological, and social order to achieve sustainable city development.
The success of a new city development depends not only on the city government,
but also on the participation of all communities, private companies, and
academics/experts.
The procedures for developing conceptual model of sustainable new city
development policy include situational analysis, assessment and evaluation of the
new city development status, and scenario modeling of sustainable new city

development policy. This policy model is generic so that it can be used for new
cities developed by metropolitan expansion in Indonesia.
Evaluation and assessmenat of the implementation of sustainable city
development is needed to determine whether the development of a city is
sustainable or not. Assessment of sustainable status of a new city requires a
measuring instrument, i.e. Key Performance Indicators (KPI) for sustainable new
city development. The formulation of KPI is done with Analytic Hierarchy
Process (AHP). KPI generated consists of 21 indicators and 9 elements of the 3
pillars of sustainable development (economic, social, and environmental).
In order to identify the condition and to predict the future direction of new
city development, a model of new city development policy scenario is required.
This scenario model is constructed using system approach (dynamics). The model

considers a balance among sustainable development aspects. Five policy scenarios
that have been simulated include business as usual (BAU), capital and social,
environment, moderate, and optimistic. At each scenario, intervention to seven
variables, i.e. investment rate, economic growth rate, road capacity growth rate,
migration rate, green open space areas, and vegetation coverage, and environment
budget allocated from own-source revenue (PAD), is carried out.
Implementation of this policy model on South Tangerang City is an

agglomeration of new cities (BSD, Bintaro Jaya, and Alam Sutera) and new
developing areas (Ciputat-Pamulang-Pondok Aren). These new cities and
developing areas receive impacts of JMA development. Economic growth of
South Tangerang City is rapid, but is not followed by similar development of
environmental and socio-cultural sectors. Urban sprawl phenomena always occur
and generate further problems for South Tangerang City.
The results of evaluation and assessment of city development status using
KPI instrument show that South Tangerang City is included in the preliminary
sustainable development. In general, economic and social development is
relatively good, but not so good with the environmental conditions. For example,
the development of settlement and commercial areas reduce water infiltration
areas and increase pollution and congestion, etc.
The simulation results show the significant difference in economic,
social/population, and environmental development tendencies as indicated in the
figures of own-source revenue, gross regional domestic product per capita, traffic
jams, flood, and environmental composite index. The simulation results show that
South Tangerang City has not been a sustainable city yet. Optimistic scenario is a
good scenario as it indicates continuous economic development, improved public
income, and better environmental index. The intervention scenario considers a
balance between sustainable development and factual condition.

The conceptual model of sustainable new city development policy consists
of management model and institutional model. Management model emphasizes on
the process of planning, implementation, and control of development and
recommendation of prioritized program. Meanwhile, institutional model focuses
more on actors and their function in the city development system. In the
institutional model, the establishment of ad hoc team is recommended. This team
is called the Team for Acceleration of Sustainable New City Development
(TPPKB), which is meant to support and help a city government to materialize
sustainable new city development. The team members consist of city government
officials, private companies, community leaders, and academics/experts. The
policy implementation is conducted through prioritized program recommendation
to achieve sustainable new city.
Keywords: Key Performance Indicators, metropolitan area, policy model,
sustainable city, system dinamic

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RANCANG BANGUN MODEL KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN KOTA BARU YANG BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS: KOTA TANGERANG SELATAN, BANTEN)

HERI APRIYANTO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Agus Prabowo, M.Eng.
2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
1. Dr. Ir. Agus Prabowo, M.Eng.
2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno,
MSAE selaku ketua komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan dan
inspirasi yang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan tetapi juga tentang
motivasi kehidupan, Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., dan Prof (R). Dr. Ir. M.
Ikhwanuddin Mawardi, M.Sc., DAA., selaku anggota komisi pembimbing yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis melaksanakan
penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Cecep Kusmana, MS. selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (PSL).
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Ir. Agus Prabowo,
M.Eng. (Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah-LKPP)
dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA. (Sekretaris Program Doktor PS. PSL) selaku
penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan pada saat ujian
tertutup dan sidang promosi sehingga disertasi ini semakin komprehensif. Terima
kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo, MS., dan Dr.Ir. Alinda F, Msi, selaku
penguji luar komisi pada Ujian Kualifikasi Doktor yang memberikan masukan
dan arahan pada penelitian ini.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen pengajar di
lingkungan Program Studi PSL IPB. Tak lupa terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas beasiswa yang
diberikan, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3 Sekolah
Pascasarjana IPB ini. Juga kepada teman-teman Angkatan 2010 PSL-IPB atas
segala kerjasamanya dan teman-teman eks PKTPW-BPPT (Hermawan MT, Dr.
Yudi W, Andi Tabrani PhD, Dr. Socia, Sri Handoyo, MT, Suripto, MT, Nunu N,
MT, Darmawan, MRUP, Alkadri, MSi, dan Warseno, SH) atas diskusinya selama
ini. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini namun tidak
dapat disebutkan satu persatu, saya mengucapkan terima kasih.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Saleh
(Alm), Ibunda, istri (drg Esti Tri Mardiana) dan anak-anak kami atas segala cinta,
kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini. Juga kepada kakak-kakakku dan keponakankeponakan serta Keluarga Besar drg. Ahmad Hasan dan Bpk. Andi Mappamiring.
Disertasi ini saya dedikasikan kepada Muli Aprilani (Almh) yang telah
memberikan inspirasi kehidupan tentang doa, semangat, kerja keras, dan tiada
kata menyerah. Akhir kata penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari
kata sempurna, namun berharap apa yang telah dikerjakan ini semoga dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
pengembangan kota yang berkelanjutan. Amin.
Bogor,

Agustus 2015
Heri Apriyanto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xix

DAFTAR GAMBAR

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

xxiii

1  PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Perumusan Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kebaruan (Novelty) Penelitian







10 

2  TINJAUAN PUSTAKA
Kota, Kota Baru, dan Pusat Pertumbuhan
Urbanisasi, Suburbanisasi, Urban Sprawl dan Conurbation
Pembangunan Berkelanjutan dan Kota Berkelanjutan
Indikator dan Indeks Berkelanjutan
Model Kebijakan
Berpikir Sistem (System Thinking)
Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

11 
11 
16 
20 
24 
28 
30 
35 

3  METODOLOGI
Ruang Lingkup Penelitian
Rancangan Penelitian
Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhan
Metode Pengumpulan Data
Pendekatan Penelitian yang digunakan

38 
38 
38 
38 
39 
39 

4  KEY PERFORMANCE INDICATORS (KPI) PENGEMBANGAN KOTA
BARU YANG BERKELANJUTAN
Pendahuluan
Metode Penyusunan KPI
Hasil dan Pembahasan
Pemilihan indikator
Penentuan kriteria indikator terpilih
Modifikasi Indeks
Hasil Pembobotan elemen dan indikator dalam KPI
Simpulan

42 
42 
44 
45 
47 
47 
50 
58 
60

5  ANALISIS KOMPONEN PEMBENTUK SISTEM KOTA TANGERANG
SELATAN, BANTEN
61 
Pendahuluan
61 
Metode Analisis Situasional
62 
Hasil dan Pembahasan
63 
Kondisi Wilayah Eksisting
63 
Pola Perilaku Komponen Pembentuk Sistem Perkotaan
85 
Status Berkelanjutan Pengembangan Kota Tangerang Selatan
berdasarkan KPI dan IKKB
101 
Simpulan
105 
6  MODEL SKENARIO KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU
TANGERANG SELATAN YANG BERKELANJUTAN
Pendahuluan
Metode Penyusunan Model Skenario Kebijakan
Hasil dan Pembahasan
Perumusan masalah untuk model
Pengeksplorasian pola perilaku sistem kota
Pembatasan model dan penentuan variabel model
Penyusunan struktur model
Validasi Model
Penyusunan Model Skenario Kebijakan Pengembangan Kota Baru yang
Berkelanjutan dan Simulasi
Penentuan Prioritas Model Skenario Kebijakan
Simpulan

107 
107 
108 
110 
110 
110 
112 
113 
114 
121 
127 
128 

7  MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU
YANG BERKELANJUTAN
130 
Pendahuluan
130 
Metode Penyusunan Model Konseptual Kebijakan
130 
Model Umum
131 
Model manajemen
133 
Model kelembagaan
135 
Implikasi Kebijakan
140 
8  PEMBAHASAN UMUM

143 

9  SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

148 
148 
149 

DAFTAR PUSTAKA

151 

LAMPIRAN

159 

RIWAYAT HIDUP

196

DAFTAR TABEL
No

Hal

1 Pengertian dan kategori kota baru penunjang
2

15 

Prinsip dasar kota yang berkelanjutan (dikembangkan dari Research
Triangle Institute 1996)

22 

3

Skala perbandingan Saaty

45 

4

Deskripsi Key Performance Indicators (KPI) pengembangan kota baru
yang berkelanjutan

51 

Klasifikasi Key Performance Indicators (KPI) pengembangan kota baru
yang berkelanjutan

56 

6

Indeks Komposit Kota Baru yang Berkelanjutan (IKKB)

60 

7

Luas wilayah Kota Tangerang Selatan berdasarkan kecamatan

63 

8

Penggunaan lahan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010

67 

9

Status dan kondisi jalan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011

69 

5

10 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 20082012

71 

11 Perkembangan tingkat kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan
tahun 2008-2012

72 

12 Indikator ketenagakerjaan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012

73 

13 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan pekerjaan utama di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012

74 

14 Indikator kemiskinan di Kota Tangerang Selatan tahun 2012

75 

15 IPM Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2012

75 

16 Perkembangan PDRB, PDRB/kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi
Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012

76 

17 Perkembangan PDRB ADH berlaku menurut lapangan usaha di Kota
Tangerang Selatan tahun 2008-2012

77 

18 Perkembangan PDRB ADH konstan (2000) menurut lapangan usaha di
Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012

78 

19 APBD Perubahan Tahun 2010-2012 Kota Tangerang Selatan

79 

20 Investasi per sektor usaha di Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2012

80 

21 Peningkatan jumlah investasi di Kota Tangerang Selatan tahun 20092012

81 

22 Perkembangan ICOR dan perkiraan nilai investasi (PMTB) Kota
Tangerang Selatan tahun 2007-2012

82 

23 Kualitas air sungai yang melintasi Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

91 

24 Kualitas air situ-situ di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

92 

25 Hasil Perhitungan LQ Kota Tangerang Selatan dan Provinsi Banten
Tahun 2011-2012

95 

26 Hasil analisis Shift Share Kota Tangerang Selatan

97 

27 Hasil penilaian pengembangan Kota Tangerang Selatan

103 

28 Skenario-skenario model kebijakan kota baru yang berkelanjutan

122 

29 Hasil simulasi indeks komposit lingkungan hidup

127 

30 Penentuan prioritas skenario model kebijakan pengembangan kota baru
yang berkelanjutan
128 
31 Fungsi dari aktor terkait percepatan pembangunan kota berkelanjutan

138 

32 Tugas Kelompok Kerja (POKJA) TPPKB

139 

33 Program-program prioritas untuk pembangunan kota baru berkelanjutan

141 

DAFTAR GAMBAR

No
1 Kerangka pemikiran penelitian

Hal


2

Perembetan konsentris

19 

3

Perembetan memanjang

19 

4

Perembetan meloncat

20 

5

Model Global Lingkungan Perkotaan (NUES 2005 dalam KLH 2007)

35 

6

Metodologi rancang bangun model kebijakan pengembangan kota baru
yang berkelanjutan

41 

7

Tahapan dalam penyusunan KPI

46 

8

Hasil pembobotan masing-masing indikator dan elemen dalam KPI
pengembangan kota baru yang berkelanjutan

59 

Wilayah Kota Tangerang Selatan

64 

9

10 Curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 1998-2012

65 

11 Curah hujan rata-rata bulanan di Kota Tangerang Selatan Tahun 19982012 .

65 

12 Temperatur rata-rata di Kota Tangerang Selatan Tahun 1998-2012

66 

13 Perkembangan jumlah penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 20082012

72 

14 Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan pekerjaan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010-2012)

74 

15 Perkembangan PDRB ADH konstan dan PDRB ADH konstan/kapita
Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2013

77 

16 Perbandingan PDRB ADH konstan (2000) menurut lapangan usaha di
Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012

78 

17 Tipologi sektor-sektor di Kota Tangerang Selatan tahun 2012

98 

18 Tingkat keterkaitan antar sektor berdasarkan Indeks Derajat Kepekaan
dan Indeks Daya Penyebaran di Kota Tangerang Selatan Tahun 2009
101 
19 Tahapan penyusunan model kebijakan

109 

20 Causal loop diagram model kebijakan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan
113 
21 Diagram sistem sub model ekonomi kota

115 

22 Diagram sistem dinamis sub model sosial kota

116 

23 Diagram sistem dinamis sub model infrastruktur dan transportasi kota

117 

24 Diagram sistem dinamis sub model lingkungan kota

118 

25 Diagram sistem model kebijakan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan
119 
26 Hasil validasi model secara uji statistik

120 

27 Hasil simulasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari skenario-skenario
yang berbeda
124 
28 Hasil simulasi PDRB/kapita dari skenario-skenario yang berbeda

124 

29 Hasil Simulasi derajat kejenuhan jalan (DS) dari skenario-skenario yang
berbeda
126 
30 Hasil simulasi limpasan air pemukaan dari skenario-skenario yang
berbeda
126 
31 Metodologi penyusunan model konseptual kebijakan pengembangan
kota baru yang berkelanjutan
131 
32 Model umum kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan

132 

33 Model manajemen pengembangan kota baru yang berkelanjutan

134 

34 Model kelembagaan pengembangan kota baru yang berkelanjutan

137 

35 Peran TPPKB dalam sistem perencanaan daerah

140 

DAFTAR LAMPIRAN
No
1. Referensi untuk Acuan Penentuan Indikator

Hal
161

2.

Pakar/Responden untuk Analytic Hierarchy Process (AHP)

180

3.

Hasil Pairwise Comparisons para Pakar (AHP)

181

4.

Peta Penggunaan Lahan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2012

185

5.

Peta Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 186

6.

Peta Rencana Struktur Ruang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031 187

7.

Peta Rencana Pola Ruang Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031

188

8.

Persamaan Model Dinamis

189

9.

Validasi Model

192

10. Data Hasil Simulasi Model Dinamis Skenario Berdasarkan Skenario

193

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Selama 20 (dua puluh) tahun terakhir banyak daerah perkotaan mengalami
pertumbuhan yang dramatis sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang
cepat dan karena perekonomian dunia telah mengalami perubahan akibat adanya
kombinasi perubahan teknologi dan politik yang cepat (Cohen 2006). Peningkatan
pertumbuhan penduduk
kawasan perkotaan khususnya di negara-negara
berkembang senantiasa diiringi dengan peningkatan kegiatannya. Sebagai
dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk
berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Fenomena ini sering
disebut dengan urbanisasi. Namun fenomena ini telah menimbulkan berbagai
macam permasalahan karena tidak ada pengendalian di dalamnya (Harahap 2013)
dimana pada titik tertentu akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah
perkotaan, seperti ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan ruang/lahan,
pencemaran, banjir/genangan, sanitasi, kemacetan, kawasan kumuh, konflik
masyarakat, dan sebagainya.
Perkembangan dan keberlangsungan sebuah kota selalu dikaitkan dengan
besarnya konsumsi terhadap material dan sumber daya alam yang ada. Limbah
yang dihasilkan dalam proses ini menyebabkan dampak buruk terhadap
lingkungan alam dimana pada akhirnya akan mengarah ke pembangunan yang
tidak berkelanjutan dari sebuah kota (Dou et al. 2013). Beberapa tahun terakhir
ini, isu lingkungan yang terkait dengan perkembangan ekonomi yang pesat
semakin menjadi perhatian utama pemerintah pusat maupun daerah (Guan et al.
2011). Hal ini terkait dengan adanya umpan balik dimana degradasi lingkungan
akan mempengaruhi pengembangan ekonomi dan sosial dengan adanya batas
nyata untuk pertumbuhan dan memburuknya kualitas hidup/quality of life (Diaz
2011). Dengan demikian kota harus dianggap sebagai suatu sistem, dimana
komponen-komponennya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Adanya permasalahan di kota-kota besar tersebut mendorong pemerintah
negara-negara di dunia, terutama negara berkembang berupaya menyusun
kebijakan baru untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya permasalahan
secara lebih meluas. Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan pembangunan kota baru (new town). Firman
(1989) menyatakan bahwa tujuan pengembangan kota-kota baru ini adalah untuk
membantu mengurangi penumpukan kegiatan sosial ekonomi dan kepadatan
penduduk yang tinggi di kota-kota besar. Tujuan lainnya adalah memperluas
peranan kota-kota kecil tertentu dalam kegiatan industri, perdagangan, pelayanan
dan agroindustri agar dapat menyerap tenaga kerja semaksimal mungkin serta
menjamin bahwa terdapat tingkat yang layak dalam penyediaan prasarana fisik
untuk menampung pertumbuhan penduduk di dalam kota-kota tersebut.
Konsepsi pembangunan kota baru telah diimplementasikan oleh Pemerintah
Indonesia sebagai salah satu bentuk alternatif dalam mengatasi permasalahan
perkotaan, terutama kota besar dan metropolitan. Pembangunan kota baru
merupakan bagian dari skenario jangka panjang pembangunan daerah perkotaan
dengan maksud menciptakan alternatif pusat-pusat pertumbuhan baru bagi

2

wilayah sekitarnya. Pembangunan kota-kota baru telah meningkat sejak akhir
1980-an, dimana kota-kota baru dikembangkan di dalam kota-kota besar yang
ada (new-town-in-town), dan di pinggiran/daerah sekitarnya dari kota metropolitan
seperti kota-kota satelit untuk menampung sebagian besar pertumbuhan kota-kota
besar dan metropolitan.
Area Metropolitan Jakarta merupakan wilayah dengan konsentrasi jumlah
penduduk dan aktivitas ekonomi yang terbesar di Indonesia. Dalam konteks
metropolitan maka Jakarta adalah daerah inti, sementara Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) adalah pinggiran kota yang mendukung
pengembangan Jakarta sebagai kota inti. Selama tiga dekade terakhir ini sektor
swasta telah mampu mengkonversi lebih dari 300 000 hektar lahan pedesaan di
pinggiran Kota Jakarta menjadi kota-kota baru (new-towns) (Winarso et al. 2015).
Jabodetabek memiliki wilayah yang terus meluas ke daerah pinggirannya.
Pertumbuhan penduduk Jakarta dalam kurun waktu 1980-1990 relatif tinggi yaitu
2.42% dan di wilayah Botabek pertumbuhan penduduknya sebesar 6.16%.
Selanjutnya pada kurun waktu tahun 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk di
Jakarta mengalami penurunan menjadi 0.6% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan
penduduk wilayah Botabek tetap tinggi (Hidajat 2014).
Zulkaidi et al. (2007) mengemukakan bahwa para pengembang swasta,
khususnya para pengembang besar, yang merespon gejala urbanisasi yang terjadi
di wilayah kota, melakukan intervensi pengembangan lahan berskala besar.
Mereka tidak hanya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru, namun juga
meningkatkan urban sprawl, terutama untuk daerah peri-urban Jakarta. Terdapat
kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota
(urban fringe). Rustiadi dan Panuju (1999) mengemukakan bahwa suburbanisasi
diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga
kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat
perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk
kegiatan industri. Siahaan (2012) menyatakan bahwa suburbanisasi merupakan
kondisi yang menggambarkan pertumbuhan daerah pinggiran kota besar yang
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan urban sprawl.
Suburbanisasi yang terjadi cenderung menjadikan kawasan perkotaan secara fisik
meluas secara liar/terpencar (urban sprawl) dan conurbation yang semakin tidak
terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai
dampaknya terhadap lingkungan. Wunas (2011) menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab terjadinya urban sprawl adalah kelemahan dari penerapan produk
perencanaan. Selain itu, faktor penyebab lainnya adalah kemampuan pengembang
dalam menguasai dan membebaskan luas lahan, nilai lahan, dan memperoleh izin
untuk membangun perumahan, dan adanya suply demand perumahan.
Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah
Jabotabek merupakan salah satu kebijakan pemerintah guna mengurangi beban
Kota Jakarta. Kebijakan ini diantaranya adalah pembangunan kota-kota baru (new
towns) di sekitar pinggiran wilayah Jakarta. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
mengurangi ledakan penduduk DKI Jakarta, mendorong kegiatan perdagangan
dan industri pada wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta, mengembangkan
pusat-pusat pemukiman, dan mengusahakan keserasian pembangunan antara DKI
Jakarta dengan daerah yang berbatasan langsung.

3

Pembangunan Kota Bumi Serpong Damai/BSD, Bintaro Jaya, dan Alam
Sutera (saat itu bagian dari Kabupaten Tangerang) merupakan kota-kota baru
sebagai alternatif pusat-pusat pertumbuhan baru untuk bagian sebelah barat
Jakarta. Perkembangan Kota Jakarta yang pesat juga berimbas pada daerah-daerah
pinggiran kota. Adanya ekspansi pemanfaatan lahan ke luar batas kota dapat
menciptakan aktivitas baru di luar area kota. Akibatnya terbentuk fenomena
suburbanisasi di daerah pinggiran kota (urban fringe) Jakarta, seperti kawasan
Ciputat, Pamulang, dan Pondok Aren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kawasan ini merupakan akibat dari proses urban sprawl dari luberan Kota Jakarta.
Sedangkan kota-kota baru (new town) BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera
merupakan hasil dari proses urban sprawl dalam konteks pengembangan Area
Metropolitan Jakarta.
Pusat-pusat pertumbuhan baru yang mengalami fenomena urban sprawl
terutama yang bersifat mikro ini mengalami proses transformasi spasial berupa
proses pemadatan (densification) permukiman dan transformasi sosial ekonomi
sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Namun ternyata
fenomena ini telah menimbulkan permasalahan perkotaan, seperti
ketidakefisienan ruang, kemacetan, bangunan tidak teratur, luasan ruang terbuka
hijau minim, kawasan kumuh, krisis infrastruktur dasar, dan sebagainya.
Keberadaan kota-kota baru ternyata tidak hanya berdampak positif saja, tetapi
juga negatif seperti adanya kesenjangan sosial, konflik kepentingan, kemacetan,
infrastruktur dasar yang tidak terintegrasi, ruang terbuka hijau yang minim, dan
berkurangnya kawasan resapan air. Permasalahan-permasalahan yang
mengancam pembangunan perkotaan berkelanjutan ini muncul ketika
pertumbuhan kota yang cepat ternyata kebutuhan infrastruktur yang diperlukan
tidak berkembang atau ketika kebijakan tidak dilaksanakan untuk memastikan
manfaat dari kehidupan kota yang adil bersama (UNDESA 2014).
Pusat-pusat pertumbuhan (dan kota-kota baru) di Kota Tangerang Selatan
tersebut saat ini secara fisik saling terhubung, tidak lagi merupakan spot-spot
dikarenakan banyaknya permukiman-permukiman kecil yang berkembang
diantara pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Dengan terbentuknya Kota Tangerang
Selatan sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) sebagai hasil pemekaran dari
Kabupaten Tangerang pada tahun 2008, maka pusat-pusat pertumbuhan tersebut
menjadi pilar utama untuk pengembangan kota, yang pada akhirnya berintegrasi
menjadi Kota Baru Tangerang Selatan. Kota tersebut secara umum terbentuk dari
dampak suatu perkembangan Megacities Jakarta. Megacities ini akan selalu
berkembang terus dan bersifat dinamis, untuk itu perlu upaya antisipasi untuk
menghadapi berbagai tantangan ke depan dan dampak yang akan muncul.
Kota Baru Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten dan
berada di kawasan perbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Secara administratif kota ini terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan dengan luas
wilayahnya 147.19 km2. Jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 1 405 170
jiwa, sehingga rata-rata tingkat kepadatan penduduknya adalah sebesar 9547
jiwa/km2. Jika digolongkan dalam klasifikasi kota berdasarkan jumlah penduduk,
maka Kota Tangerang Selatan sudah tergolong sebagai Kota Metropolitan (jumlah
penduduk > 1 000 000 jiwa).

4

Secara umum kondisi perekonomian Kota Tangerang Selatan relatif baik,
dimana sektor tersier lebih dominan, yaitu pengangkutan dan komunikasi,
perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bank, serta persewaan dan jasa
perusahaan, telah memberikan kontribusinya lebih dari 70% dari struktur ekonomi
yang ada. Sedangkan sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan air
bersih, dan konstruksi) memberikan kontribusi sekitar 27%, dan sektor primer
(pertanian; pertambangan dan penggalian) hanya memberikan kontribusi kurang
dari 1%. Jika dilihat dari kecenderungannya sejak tahun 2008 hingga tahun 2012,
terlihat bahwa sektor primer dan sekunder semakin mengecil kontribusinya
sedangkan sektor tersier meningkat kontribusinya.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan ruang dan lahan
untuk mendukung aktivitas ekonomi dan penduduk akan semakin meningkat.
Kota Baru Tangerang Selatan tentunya akan tetap berupaya meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD)-nya. Pembangunan puluhan industri dan ratusan
tempat usaha semakin meningkat, yang tentunya selalu diikuti oleh kebutuhan
lahan,baik untuk keperluan tersebut maupun untuk permukiman. Daya dukung
lahan dan luas wilayah kota ini terbatas, dengan demikian akan mengakibatkan
terjadinya tekanan terhadap lingkungan/lahan. Kota Tangerang Selatan sebagai
kota baru telah menanggung beban yang berat, dimana peningkatan pertumbuhan
ekonomi terjadi cukup signifikan, namun di sisi lain daya dukung
lingkungan/lahan memulai terganggu. Hal ini dikarenakan belum adanya suatu
perencanaan yang komprehensif dalam pembentukan Tangerang Selatan sebagai
kota baru. Masing-masing pusat pertumbuhan berkembang sesuai dengan
keinginan sendiri-sendiri (berdasarkan aspek pasar dan bisnis). Sering kali terjadi
tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan antara peran pemerintah
kota dengan pengembang. Santosa (2012) memberikan contoh terkait masalah
konflik kepentingan, yaitu standar lingkungan yang ditetapkan untuk kelompok
sasaran tertentu (pengembang), penanganan oleh pemerintah kota dianggap masih
belum memadai dengan keterbatasan yang ada. Pada akhirnya pengembang
cenderung untuk mengelola sendiri dengan memperoleh pendapatan dari Iuran
Pengelolaan Kawasan Lingkungan (IPKL). Permasalahan yang lain adalah kurang
terintegrasinya jalan lingkungan yang dibangun oleh pengembang dan jalan kota
yang dibangun oleh pemerintah.
Dampak tekanan penduduk terhadap lingkungan, antara lain akan
meningkatkan tekanan terhadap sumber daya alam, timbulnya pencemaran
lingkungan (baik air, udara, maupun tanah), menurunnya tingkat kesehatan,
timbulnya konflik sosial, dan sebagainya. Daya dukung lingkungan yang dimiliki
kota ini akan dapat terlampaui. Pada saat ini gejala-gejala gangguan lingkungan di
Kota Baru Tangerang Selatan mulai nampak, antara lain masalah persampahan
yang tidak kunjung selesai, banjir/genangan air, air bersih, kemacetan,
perambahan kawasan lindung (daerah resapan air, Ruang Terbuka Hijau dan lahan
situ berkurang), penurunan kualitas berbagai infrastruktur, dan sebagainya.
Pengembangan Kota Baru Tangerang Selatan pada saat ini nampak masih
mengedepankan aspek keekonomian saja. Tentunya hal ini akan menimbulkan
kerentanan terhadap aspek lainya seperti bahaya aspek lingkungan (tidak mampu
lagi mendukung perkembangan kota) dan sosial (beban masyarakat meningkat).
Oleh karenanya sebagai upaya mengendalikan pengembangan kawasan perkotaan,
perlu diterapkan apa yang dikenal dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

5

Agar pengembangan kota ini dapat berkelanjutan diperlukan suatu kebijakan yang
mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial.
Sistim ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek dari totalitas tatanan
ekologis dan sosial, yang selanjutnya kepentingan ekonomi tidak lagi
mendominasi, tetapi justru tergantung secara ekologis dan sosial. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menjamin adanya keberlanjutan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam yang tersedia, tanpa mengurangi peluang generasi yang akan
datang untuk menikmati kondisi yang lebih baik.
Perancangan model skenario kebijakan pembangunan berkelanjutan Kota
Tangerang Selatan ini menggunakan pendekatan Sistem Dinamis. Pendekatan ini
diperlukan karena pemahaman terhadap perkembangan kota merupakan kajian
yang bersifat sistemik. Proses perencanaan kebijakan pembangunan kota
berkelanjutan harus dapat merangkul keragaman sosial yang menjadi ciri khas
penduduk di kota-kota pada saat ini, dan dimasukkannya aspek ekologi dan
partisipasi publik sebagai faktor yang penting (Amando et al. 2010). Sistem
Dinamis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk penilaian
berkelanjutan, dapat dimanfaatkan untuk lebih memahami pembangunan
berkelanjutan dalam periode perencanaan dan memprediksi kecenderungan masa
depan (Xu 2011). Sistem Dinamis memiliki karakteristik yang menyatakan
hubungan yang membentuk sistem, dengan bantuan angka berbasis, grafik dan
metode matematika. Oleh karena itu manajer, pejabat, ekonom, ahli
kependudukan, dan sebagainya dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi
dengan pendekatan ini (Soyler et al. 2008). Model kebijakan ini disusun dengan
tujuan mengoptimalkan potensi ekonomi Kota Tangerang Selatan guna
meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan tetap menjaga kelestarian
lingkungan serta menjadikan kota ini layak huni.
Penyusunan model kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan ini
memerlukan input dan batasan. Salah satu input dan batasan yang diperlukan
dalam model ini adalah input indikator-indikator dalam konsep pengembangan
kota baru berkelanjutan. Mori dan Christodoulou (2012) mengungkapkan bahwa
berdasarkan review yang dilakukan oleh mereka terhadap beberapa
indeks/indikator berkelanjutan yang diterapkan untuk menilai keberlanjutan kota,
disimpulkan bahwa perlu disusun City Sustainability Index (CSI) baru. CSI yang
baru ini diharapkan mampu digunakan untuk penilaian dan perbandingan kinerja
keberlanjutan kota dan pemahaman dampak global kota (kontribusi ekonomi)
terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Indikator-indikator yang selanjutnya
diwujudkan sebagai Key Performance Indicators (KPI) atau indikator kinerja
utama (IKU) untuk pengembangan kota baru berkelanjutan belum banyak
dikembangkan dan yang ada sebagian besar merupakan saduran dari luar negeri
tanpa adanya modifikasi dengan memperhatikan kondisi yang sesuai di Indonesia.
Salah satunya adalah City Development Index (CDI). KPI dapat diartikan sebagai
ukuran yang akan memberikan informasi sejauh mana tingkat keberhasilan dalam
mewujudkan sasaran strategis yang telah ditetapkan. KPI ini haruslah sesuai
dengan tingkat permasalahan yang dihadapi dan kondisi lokal yang ada. Penelitian
ini menyusun KPI untuk pengembangan kota baru yang berkelanjutan yang sesuai
dengan kondisi yang ada di Indonesia.
Perkembangan metropolitan bahkan megacities (kawasan metropolitan
dengan total penduduk lebih dari 10 juta orang) di Indonesia akan terus terjadi

6

karena perkembangan ekonomi, jumlah penduduk, dan teknologi yang juga
semakin meningkat. Adanya gejala “lapar tanah” di perkotaan dimana sebagian
kecil masyarakat yang memiliki modal yang berlebih untuk melakukan investasi
yang mengakibatkan harga tanah semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar
masyarakat yang kemudian menjadi tersingkir. Dengan berkembangnya
metropolitan maupun megacities, maka proses-proses suburbanisasi dengan
fenomena urban sprawl yang selalu mengikut juga akan mengiringi proses
tersebut. Proses dan fenomena ini selain berdampak relatif baik di bidang
peningkatan perekonomian, namun di sisi lain terdapat ancaman terhadap
pembangunan kota yang berkelanjutan (tekanan terhadap daya dukung lingkungan
dan sosial). Untuk itu diperlukan suatu kebijakan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan yang tepat. Sering kali proses perencanaan perkotaan yang ada tidak
dapat mengantisipasi sprawl tersebut secara efektif (Fitriani dan Harris 2011).
Proses urbanisasi dan turunannya tersebut secara integral terhubung dengan
ketiga pilar pembangunan berkelanjutan: pembangunan ekonomi, pembangunan
sosial dan perlindungan lingkungan. Hasil dari Konferensi PBB tentang
Pembangunan Berkelanjutan Rio, salah satunya adalah adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mencapai kota berkelanjutan sebagai agenda pembangunan PBB.
Untuk itu dalam rangka Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia ketiga
(Habitat III) yang direncanakan dilaksanakan tahun 2016 akan meninjau agenda
perkotaan global dan merumuskan model baru pembangunan perkotaan yang
mengintegrasikan semua aspek pembangunan berkelanjutan (UNDESA 2014).

Perumusan Masalah Penelitian
Kota-kota metropolitan/besar merupakan kota yang mengalami
perkembangan berbagai aspek dengan pesat. Hal ini mendorong terjadinya
suburbanisasi di wilayah sekitarnya karena ruang dan lahan yang dimilikinya
terbatas. Kota Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang mendorong
terjadinya proses suburbanisasi terhadap area peri-urban kota tersebut. Proses
suburbanisasi dicerminkan dengan peningkatan permukiman, konversi lahan
pertanian dan juga kondisi sosial budaya masyarakat yang lebih modern. Selain
manfaat positif yang diterima oleh kota yang terkena proses suburbanisasi, juga
terdapat dampak negatif baik aspek sosial maupun lingkungan.
Perkembangan Kota Jakarta telah berdampak terbentuknya kota-kota baru
atau pusat-pusat pertumbuhan di daerah sekitarnya baik yang direncanakan sesuai
dengan perencanaan kota, direncanakan secara partial tanpa melihat perencanaan
di atasnya, atau tanpa perencanaan (urban sprawl). Kota Tangerang Selatan
terbentuk dari pusat-pusat pertumbuhan atau kota baru-kota baru yang ada di
Kabupaten Tangerang. Banyak permasalahan yang muncul akibat proses
suburbanisasi dan urban sprawl tersebut. Pengembangan Kota Tangerang Selatan
pada saat ini masih mengandalkan peningkatan perekonomian semata. Hal-hal
yang terkait dengan aspek lainnya, terutama aspek daya dukung lahan/lingkungan
dan kondisi sosial budaya belum menjadi prioritas. Alih fungsi lahan perkebunan
dan persawahan untuk industri, jasa, perdagangan, perkantoran, dan perumahan
terjadi secara signifikan. Tentunya hal ini akan mengakibatkan tekanan penduduk
terhadap lahan semakin besar, dan pada akhirnya akan menimbulkan kerentanan

7

di aspek lingkungan dan sumberdaya alam, serta sosial budaya. Hal ini tentunya
bertentangan dengan prinsip kota baru yang berkelanjutan, yakni untuk
meningkatkan perekonomian kota, kesejahteraan masyarakat, dan menjadikan
kota layak huni serta mempertahankan kelestarian lingkungan kota.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
untuk penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah KPI yang sesuai sebagai instrumen untuk menilai dan
mengevaluasi status berkelanjutan pengembangan kota baru?
2. Bagaimana kondisi biogeofisik, ekonomi, sosial dan budaya di Kota
Tangerang Selatan, serta pola perilaku dari komponen-komponen yang ada
pada sistem pengembangan kota?
3. Bagaimanakah model skenario kebijakan pengembangan Kota Tangerang
Selatan yang berkelanjutan yang mampu mengharmonisasikan potensi
ekonomi kota dengan aspek sosial budaya dan lingkungannya?
4. Bagaimanakan model konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan yang dapat dipergunakan oleh para pemangku kepentingan
untuk terciptanya peningkatan ekonomi kota dengan dampak lingkungan
rendah, kesejahteraan penduduknya, dan terciptanya kota yang layak huni?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dan pertanyaan penelitian yang
diajukan, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk merancang model
konseptual kebijakan pengembangan kota baru yang berkelanjutan guna dijadikan
sebagai bahan rekomendasi bagi pemangku kepentingan.
Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi 3 (tiga) tujuan khusus, yaitu:
1. Merumuskan KPI yang tepat sebagai instrumen untuk menilai dan
mengevaluasi pengembangan suatu kota baru yang berkelanjutan.
2. Melakukan analisis komponen-komponen biogeofisik, ekonomi, sosial dan
budaya sebagai pembentuk sistem perkotaan di wilayah penelitian ini,
3. Membangun model skenario kebijakan pengembangan Kota Tangerang
Selatan yang berkelanjutan melalui sintesa aspek ekonomi, sosial – budaya,
dan lingkungan.

Manfaat Penelitian
1.

2.
3.

Manfaat penelitian ini adalah:
KPI untuk pengembangan kota baru yang berkelanjutan ini digunakan untuk
menilai dan mengevaluasi pengembangan kota baru, sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu referensi bagi para pemangku kepentingan
untuk menyusun kebijakan pengembangan kota,
Memberikan rekomendasi model kebijakan pengembangan kota baru yang
berkelanjutan untuk para pemangku kepentingan pengembangan kotanya.
Hasil penelitian ini sebagai masukan untuk kajian penelitian lebih lanjut bagi
penelitian model pengembangan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia.

8

Kerangka Pemikiran Penelitian
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan ekonomi di kota-kota besar dan
metropolitan selalu diiringi dengan peningkatan kegiatannya. Jika tidak dikelola
dengan baik maka pada titik tertentu akan menimbulkan berbagai masalah
perkotaan, baik lingkungan, sosial maupun ekonomi. Upaya mencegah dan
mengatasi permasalahan, salah satunya dengan pembangunan kota baru.
Pengembangan kota baru yang tidak terkendali akan mengakibatkan tekanan
terhadap lingkungan dan beban masyarakat meningkat, sebaliknya degradasi
lingkungan akan mengakibatkan pembatasan pengembangan ekonomi dan
penurunan kualitas hidup. Beban kota baru, terutama kota yang berada di kawasan
metropolitan akan bertambah seiring adanya suburbanisasi dan urban sprawl
akibat dampak perkembangan metropolitan. Guna mencegah terjadinya dampak
negatif, maka diperlukan prinsip-prinsip pembangunan kota yang berkelanjutan.
Pengembangan kota baru yang berkelanjutan pada dasarnya adalah
mengharmonisasikan tatanan ekonomi, tatanan ekologis, dan tatanan sosial secara
seimbang dan proposional. Hal lain adalah perlunya diperhatikan keterlibatan dan
partisipasi para aktor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pengembangan perkotaan. Aktor-aktor tersebut selain pemerintah
kota/BUMD adalah: masyarakat; dunia usaha seperti pengembang maupun pelaku
jasa/pedagang karena merupakan salah satu faktor penggerak ekonomi;
komunitas; LSM; dan akademisi/pakar. Strategi pengembangan kota baru yang
ber