Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan Kehutanan; Studi Tiga Kasus
Jurnal Manajemeo Huian Tropika VoL XI1 No. 3 : 14-25 (2006)
Artikel (Article) '
MASALAH KAPASITAS KELEMBAGAAN
DAN ARAH KEBWAKAN KEHUTANAN: Studi Tiga Kasus
(Problem of Institutional Capacity and Direction of Forestry Policy:
Three Casq'Stut&f
/CPQ
!
HARIADI
KARTODIHARDJO'
ABSTRACT
It has been shown by various references that performance of forestry developmew B
determined by in~titutionalcapacify. 7kis study was conducted to acquire knowledge of problem of
fore~tmanagement institution and policy change which should be able to be implemented. The
studies in three localions and implementation of mtioml policy indicated that forestry programs
implemented by district/province government and central govetnment were not accompanied by
institutional strengthening gorts. The weaknesses of institution have been proven to be followed by
policy failure to reach its target. Resistance to policy change stems from policy narrative and
discourse embedded in decision makers belief:
Tduan
Key words: institutional capacity, problem, policy narrative, discource
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya
rncndatangkan kernundwar~kegiatan ekonorni, namun dan bahkan telah rnenghilangkan
kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu. Diamond (2005)
menclaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangs4 perusahm, &lam
melakukan pcngclolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang
dapat ditarik dari telaah Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan
secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar
yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan surnberdaya alam.
Perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenornena
tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat difahami dari berbagai sudut pandang
secara komprehensif. Disamping its, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga
mempunyai peran penting. Sebagaimana dikatakan Peters (2000) bahwa "institution must
become institution". Seringkali upaya perubahan kelernbagaan - dalam hal ini adalah
aturan main dan instrumennya - tidak diikuti oleh pernbaruan landasan filosofi dan
kerangka pikir yang diynakan. Akibatnya peratwan benambah, lernbaga benambah,
' D e w e m e n Mamjemen Hutan. Fakullas Kehuknan IPB Email: har~ad~@~ndo.net
id
Trop. For. Manage. J. XI1 (3) :14-25 (2006)
nama lembaga seringkali diubah, tetapi t
sehingga tidak pula mengubah kinerja di I
Peters (2000) mengatakan "institutionaliza
Dalam analisisnya terhadap kegag;
menyebutkan bahwa kegagalan tersebut
memahami adanya kondisi sosial yang
societies antara lain: keputusan yang terl
yang tinggi, instruksi oleh kewenangan
conlplex societies tanpa disertai adanya 1
m e n w t Diamond, hampir selalu berakhir (
- Berdasarkan temuan-temuan di ata
untuk menunjang pengelolaan sumberday;
mengapa kelembagaan sangat penting,
mempunyai ciri mudah t f d a d i n ~ akses
kelembagaan diharapkan mampu men,
kelembagaan yang &pat menjamin kepas
mtuk memastpgelolaan hutan Ma
deb adanya
yang &pat diwujw
tatentu ( ~ i b , . ,dm
~ peluso, 2003).
E
!
Dengan memmatikan konsep Rfi
mendapatkan pengetahurn tentang rnasali
serta perubahan orientasi kebijakan yang s
'
=
Studi ini dinwali dengan ieneladh
benluk tmnsaksi dm dan ah3kasi manfaat
langkA-langkah P n g sudd
hutan
daerah melalui berbagai bentuk kebijaka
'
[
Ribor &in PeIuso (2003) m h u w d a n konwp
~esuatu,yang dibedakan dengan men
riglus). H
ak merupill;an Haim twhadap ~ m b e r h
melahi hukum alau
oleh =dat
-fat
'
~
~
~
~
d p a t kumpl~~
h a n g a n sosid, sehingga
memungkjnkan seseorang atau lembaga memp
implemenwi kebijakan di lapangan. Berbeda denl
y g dil&~lul. akses seringkdi &pal terbebas
Stud selengkapnya dilakukm r h d a p lima kasur
bus.
h r s (2000) mengatakan "institutionalizationinvolves infusing a structure with value".
Dalam analisisnya terhadap kegagalan belajar berbagai bangsa, Diamond (2005)
menyebutkan bahwa kegagalan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan
memahami adanya kondisi sosial yang kompleks (complex societies). Ciri conlplex
societies antara lain: keputusan yang terpusat, alum informasi yang tinggi, koordinasi
yang tinggi, instruksi oleh kewenangan formal, dan pemusatan sumberdaya. Adanya
eottlplex societies tanpa disertai adanya kemampuan kelembagaan untuk mengatasinya,
menurut Diamond. hampir selalu berakhir dengan kegagalan.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, kemampuan kelembagaan perlu diupayakan
~ t u kmenunjang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Selain itu ada alasan lain
mengapa kelembagaan sangat penting, yaitu luasnya kawasan hutan negara yang
kelembagaan diiarapkan mampu mengatasi rnasalah tersebut. Narnun demikian,
kelembagaan yang dapat menjamin kepastian hak atas hutan seringkali tidak mencukupi
mtuk memastikan ~ngelolaanhutan dalam jangka panjang. Karma hak dapat dinafkan
deh adanya akses yang dapat diwujudkan akibat hubungan-hubungan sosial-politik
Dengan memperhatikan konsep Ribot dan Peluso tersebut, studi ini dilakukan untuk
mmdapatkan pengetahuan tentang rnasalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan
pata perubahan orientasi kebijakan yang semestinya dapat dilakukan.
KERANGKA PENDEKATAN
Studi ini diawali dengan menelaah tiga kasu$ bentuk kerusakan sumberdaya hutiu~,
h m k transiksi dan dan alokasi manfaat, efektivitas penetapan hak-hak atas sumberdaya
Lstan serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemerintah maupun pemerintah
rnelalui berbagai bentuk kebijakan baru maupun kegiatan yang telah dilakukan.
&ah
dan adanya hak (properly
ditegakkan dan didukung
rnernpunyai kemarnpuan
a adanya kekuasaan untuk
roses. maupun hubunganand web of power) yang
engaruhi praktek-praktek
n sangsi atas pelanggaran
Terhadap kejadian-kejadian kerusakan sumberdaya hutan tersebut ditelaah efektivitas
kebijakan yang dijalankan dengan rnenggunakan tinjauan proses perurnusan kebijakan oleh
Sutton (1999). yang rnencakup tiga pendekatan, yaitu pendekatan ilrnu politik/sosiologi,
pendekatan antropologi dan pendekatan rnanajemen.
Pendekatan ilrnu politik/sosiologi digunakan untuk rnenelaah bagaimana kebijakan
selama ini dirurnuskan. Telah menjadi perdebatan panjang bahwa pernbuatan kebijakan
seringkali tidak didasarkan pada pendekatan rasional yang linier, rnelainkan lebih tidak
beraturan akibat dominasi kepentinga politik, sulitnya rnengubah keyakinan di rnasa lalu,
serta berbagai harnbatan struktural di dalarn birokrasi (Sutton, 1999; Diamond, 2005).
Pendekatan antropologi dalam pembuatan kebijakan difokuskan pada narasi
mengenai fenornena yang sedang
kebijakan (policy narraive) dan diskursus (di~cource)~
dibicarakan (Sutton, 1999), yang seringkali rnenjadi harnbatan rnelakukan pembaruan
kebijakan. Sedangkan pendekatan manajemen lebih diarahkan untuk mengetahui harnbatan
pernbaruan kebijakan akibat kondisi birokrasi, kepemirnpinan maupun kekuasaan dari luar
birokrasi yang turut serta mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Untuk rnenelaah berbagai bentuk kerusakan sumberdaya hutan, bentuk transaksi
dm alokasi manfaat yang terjadi, efektivitas penetapan hak-hak atas surnberdaya hutan
serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pernerintah maupun pernerintah daerah
dikumpulkan sejumlah hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan untuk rnelakukan tinjauan
terhadap proses pembuatan kebijakan dilakukan pengarnatan langsung rnaupun studi
pustaka.
akibat status kawasan taman nasio~
kelembagaan sehingga terbentuk "k
Pelaku yang terlibat langsun
kongsi, yang bekerja untuk para I
tromol serta tong sianida, serta okn
oknum Sangadi, oknum anggota DF
pemodal tidak langsung, yang bek
Kesemuanya ini membentuk kelem
Kelembagaan illegal tersebu
Dumoga stabil dan mengurangi kol
baik. Kesepakatan tidak tertulis ter
(pemilik tromol dan tong sianida)
Jagawana, TNIIPolri dan Camat), 1
serta jaminan keselamatan dan jam
lain (kelompok kongsi lain maupui
lebih tinggi bermain di belakang la)
pemilik tong sianida.
KAPASITAS KELEMBAGAAN
Berikut ini diutarakan ringkasan kejadian konflik dalarn pengelolaan sumberdaya
hutan yang terjadi tiga lokasi.
Pemi li k
Tromol/Tong
Tambang Emas di Taman ~ a s i o n a f
Perebutan akses terhadap sumberdaya mineral emas rnemicu dua jenis konflik di
Tarnan Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Sulawesi Utara, telah terjadi berupa
konflik antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang berprofesi sebagai penambangh
(konflik vertikal) dan konflik antar sesarna penambang (konflik horizontal). Konflik terjadi
Narasi kebijJm addah kejadian yang dirnggap selesai dan rnenjadi keyakinan. Di dalamnya l d p t ideolugi.
pengethum dan pengedan yang sudah terlanam. N m s i kebijakan &pat b e ~ konsep
p
yang dipergunakan
untuk mengungkap sesuatu kejadian, situasi atau kondisi. Sedangkan diskursus merupkan c a n pikir dan cara
rnernherikan argurnen yang dilakukan dui penamaan dan pengistilahan terhadap sesualu yang &pal me~pakan
cerminan dari kepenlingan lertenlu (politik). Kedumya, haik nansi rnaupun diskursus, harnpir setup, yang & p l
mrnjadi alrl dorninasi kelornpok tertenlu t h d a p pernhuabn tehijakm. Ptxbehnnya, diskursus lehih luas
sehagai terangka pikir urnurn, srdilngtan nansi diperbwnakm untuk ohyek yang lehih spesitik.
Teluh ini diringkrs &ri Lintong (2005) oleh Kytodihardju dan Jhrrnhni (2006).
Lazirn disebut pelaku tarnhang e m s illegal (mI).
I
I
Oknum Jagawana
I
Gambar 1. Kelembagaan Illegal Pena
Kondisi aman yang diciptaka
pemerintah menjalankan penertiban I
LS
:h
11*
In
w
Ek
lu,
ai
'g
tan
Lar
ksi
tan
:
lab
f
CUP?
wg
rjadi
0kIgi.
&an
cam
&an
I
aapat
luas
I
olch aktor-aktor penyasa di Dumoga yang selama ini juga mer~jadi hagian dari
kclcmbagaan illegal tersebut. Pada titik tertentu, kondisi ini dapat menucu pclanggaran
kesepakatan antar pelaku dalam kelembagaan illegal. Kehilangan rasa saling percaya
meningkatkan kemungkinan konflik. Pemda setempat menyikapi situasi ini dengan
menghentikan dan tidak mengijinkan operasi PETl dan bersama-sama pelaku PETl
meminta agar kondisi illegal PETl dijadikan legal - melalui penetapan wilayah
pertambangan rakyat (WPR). Hal ini ditempuh untuk menciptakan kondisi aman bagi
semua pihak yang mendapatkan keuntungan dari hasil pertarnbangan emas.
Aspirasi masyarakat dan Pemda untuk mendapatkan WPR di TNBNW sudah
diajukan sejak 1995 kepada pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati). Sebuah Tim
Gabungan (Propinsi, Kabupaten dan Masyarakat PETl) telah mengukur wilayah WPR dan
mengajukan pengesahan ke pemerintah pusat. Proses untuk me~~dapatkanlegalisasi
memakan waktu sembilan tahun dan belum mendapatkan tanggapan apapun dari
pemerintah. Akibatnya posisi kelcmbagaan illegal tetap kuat dalam me~iguasaiekstraksi
emas di TNBNW.
Kebijakan Kehulanan ~abupalen'
Setelah tahun 2001, pemerintah daerah menjalankan otonomi daerah sesuai dengan
UU No 2211999 yang mengatur pemerintahan daerah, tidak terkecuali di Kabupaten
Maluku Tengah. Lemahnya formulasi kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah daerah
MaIuku Tengah, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor yaitu :
a) Lemahnya kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah. Kondisi
sumberdaya birokrasi lembaga kehutanan daerah tidak memungkinkan untuk
memmuskan kebijakan yang dapat memecahkan pennasalahan-permasalahan
pengelolaaan hutan alam produksi yang bersumber dari aspek institusi termasuk
ketidakpastian usaha, hak penguasaan dan pemilikan hutan, serta masalah-masalah
kebijakan yang berimplikasi pada tingginya biaya transaksi.
b) Lemahnya koordinasi dan perbedaan kepentingan antar tingkatan pemerintahan
(kabupatenlpropinsi/pusat). Dalam konteks penyelenggaraan pengelolaan hutan
alam produksi setelah pemberlakuan otonomi daerahs, koordinasi antara
pemerintah kabupaten dan propinsi - disamping tentunya dengan pemerintah pusat
- sangat penting, namun koordinasi ini tidak berjalan. Meskipun Dinas Kehutanan
Propinsi Maluku senantiasa melakukan kontrol dan proses-proses koordinasi
penyelenggaraan pengelolaan hutan alam produksi dengan menggunakan
instrumen hukurn9, namun akibat kekakuan tugas pokok dan fungsi lembaga
kehutanan kabupaten, koordinasi dengan pemerintah propinsi tidak dilakukan.
Kecuali disebutkan lain, telaah ini diringkas dari Ohorella (2003).
Berdasarkan UU No. 2 2 Tahun 1999, tidak ada hubungan hirdrkis (hubungan atasan dan bawahan) antara
pemcrinhh provinsi dan kabupaten. sehingga pemerintah provinsi seharusnya menjadi pusat koordinasi di dawah,
dengan membangun hubungm-hubungan kerja, termasuk penguatan institusi pemerintah kabupatedkota.
Terdapat paling t i h k empat buuh sural Dims Kehuhun Provinsi Maluku kepda Dinas Kehutanan Maluku
Tengah terkait dengan pengelolaan hutan alam produksi yang sifainya instruksional. Masing-masing surat No.
R
Kepentingan individu el
clit lokal nleliputi kepcr
dan kcpentingan untuk
pencapaian kepentingan
apa yan oleh Bates (I'
choice.
Berdasarkan temuan di i
gka otonomi daerah di Malu
berarti tidak sejalan denga
alisasi akan mengurangi I
mbilan keputusan dengan I
Dapat ditujukkan rnisalr
sil hutan kayu (IPHHK) yan
megang HPH. Besarnya biaq
insentif bagi HPH untuk men
berjalannya aktivitas HPH, mi:
dslam bentuk pemberian fee den
h u u s dilaksanakan - dan tentu
lebih banyak dibandingkan sken:
Tujuan pemberian IPHH
hutan kepada masyarakat lokal
gugatan terhadap sistim pengel
memberikan manfaat bagi masyi
sebagai penyebab timbulnya ba
perhitungan laba rugi pernanfa
diperoleh pelaku usaha sekitar U
kontraktor logging yang rnenjad.
US$25, sedangkan yang diterim
US$ 2,50. Pemerintah mernperol
kehutanan dan pajak. Dari bagia
memperoleh sekitar US$ 8,510,
kabupatenkota lainnya di propin
C)
IF
522.21/Dishut-MaV668n002 tgl 07-1
522.1 l/Dishut-MaV130E003 tgl. 26-03-21
lo Kemmpuan untuk melakukan aw
mengakumulasi surnbrrdaya politik, yang
tehh diletapkan oleh pemerintah pusat, b:
dengan kelompok tertentu di dalam ma.
~mnal
dengan elit-elit lerlenlu di pusat.
Pemegang IPHHK tidak dikenai kewa
AMDAL dan pemantauan lingkungan. se
Ennanen, plot plasma nutfah, dll. sebagai
P e n e n m a n negata dari sektor kehurar
uniuk daerah. Bagian daerah dari peneri
provinsi, 32% untuk kabupatedkota per
C)
Kepentingan individu elit lokal dan strategi pencapaiannya. Kepentingan individu
clit lukal nleliputi kepzntingan ekonomi, kepentingan untuk pengembangan karir,
dm kepentingan unluk sponsor politik @olitical sponsorship). Dalam rangka
pencapaian kepentingan tersebut, para pengambil kebijakan di daexah melakukan
apa ya:F oleh Bates (1981) yang diacu oleh Hidayat (2000), disebut autonornus
Berdasarkan temuan di atas, pelaksanaan desentralisasi pengelolaan hutan dalam
rangka otonomi daerah di Maluku Tengah belum mampu meminimalkan biaya transaksi.
Ini berarti tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan Ostrom, et al. (1993). bahwa
dcsentralisasi akan mengurangi biaya transaksi dan perencanaan, karena adanya kedekatan
pengambilan keputusan dengan maslaah yang diadapi masyarakat.
Dapat ditujukkan misalnya sebagian besar kontraktor logging ijin pemanfaatan
hasil hutan kayu (IPHHK) yang diberikan kepada masyarakat lokal diantaranya adalah
pemegang HPH. Besarnya biaya transaksi pelaksanaan IPHHK ternyata justru menjadi
insentif hagi HPH untuk mengabaikan upaya-upaya yang dapat menjadi pendorong
berjalannya aktivitas HPH, misalnya dengan mengakomodir tuntutan masyarakat adat
diilam bentuk pemberian fee dengan jumlah tertentu. Hal ini karena beban kewajiban yang
hius dilaksanakan - dan tentunya biaya - dalam skema pemanfaatan hutan oleh HPH
lebih banyak dibandingkan skema IPHHK".
Tujuan pemberian IPHHK adalah agar w a d i redistribusi manfaat sumberdaya
butan kepada masyarakat lokal secara lebih adil. Ini mmpakan jawaban atas berbagai
gugatan texhadap sistim pengelolaan hutan dam produksi yang selama tidak banyak
kelornpok tertentu di dalarn masyarakal (tennasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat), sata hubungan
dengan elit-elil lertentu di pusat.
megang IPHHK tidak dikenai kewajiban rnenyerahkan folo udara atau citra salelit. penyusunan dokumen
untuk kabupatenkota pengl-usil dan 32% untuk kabupatenkota lainnya dalarn provinsi yang
Dengan dcmikian masyarakat dan pemerintah daerah tidak begitu hanyak
mcmpcroleh manfaat dari adcanya skema IPHHK. Kotllraktor logging adalah penerima
terbcsar dari manhat ekonomi (gross income) pemanfaatan hutan IPHHK. Oleh karena itu
argurnentasi hahwa masyarakat akan memperoleh manfaat secara adil dari pemberian
IPHHK tidak sepenuhnya benar. Dengan demikian, kebijakan pemberian IPHHK belum
dapat mcnjadi solusi dalam memecahkan persoalan ketidak-adilan perolehan manfaat
ekonomi pengelolaan hutan alam produksi antara para pihak yang terlibat.
Konllik antara 13emerintah Propinsi d a n ~ a b u ~ a t e n ' ~
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sejak 1995 menjadi
kabupaten percontohan untuk pclaksanan otonomi daerah, sehingga penerapan UU
2211999 maupun UU 2511999 yang mengatur otonomi pemerintahan d m diberlakukan
1ahun 2001, telah diterapkan jauh sebelumnya. Oleh karena itu sampai dengan September
2000 tckah disusun 43 peraturan daerah yang berkaitan dcngan pengaturan sumberdaya
alam dcngall lujuan peningkatan pcndapatan asli daerah (PAD). Perda tersebut 14
dian~xanya telah dualifikasi oleh DPRD, 2 dianlara~lya bcrkaita~l dellgal kebijakau
kellutuna~~
dacrllh.
Bupali mcmbenluk Tim Pelayanan Tcrpadu (TPD) bulan Marct 2000 yang
d~pimpin Wakil Bupati untuk melakukan penyelidikan terhadap illegal logging yang
tcrjadi. Tim tersebut telah melaporkan adanya 178 kapal pengangkut kayu illegd dengan
jumlah sekitar 77.100 m3 dalam bentuk kayu gergajian. Namun demikian, DPRD
mengizinkan kapalkkapal tersebut untuk dilepas, apabila ada surat resmi yang menyatakan
pemberian sumbangan untuk reoibusi hasil h u m sebagai sumber pendapatan resmi
daerah. Kemudian, swat ini dijadikan surat berharga (deposito) pada BPD (Bank
Permodalan daerah) atas nama DPRD Kotawaringin Timur. Kapal barang pembawa kayu
illegal tcrsebut resmi di lepas karena diikuti Surat Keterangan Lunas saat melintasi
pelabuhan Samudra di Sungai Mentaya. Keputusan ini didukung oleh Gubernur
Kalimantan Tengah dengan alasan mereka membayar pajak kepada daerah.
Pola ini kemudian mendapat kritikan tajam dari banyak pihak (exportir, LSM,
HPH), sebab penerimaan pajak dari kayu illegal menyebabkan hilangnya kontrol
pemerintah Ropinsi atas tindakan-tindakan yang dilakukan Bupati. Perdebatan ini semakin
tajam dengan rujukan W 25/99 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah, terutarna tafsiran atas 80 % penerimaan yang harus dibagi antara propinsi dan
kabupaten. Tarif pajak kayu illegal kemudian dikenakan sebesar US $ 161m3 sernentara
untuk kayu resmi US $ 19Im3, yang terjadi sesudah tarif pajak diperdebatkan oleh banyak
pihak.
Tindakan politik Bupati Kotawaringin Timur tersebut semakin popder, walau
mendapat tantangan keras dari Propinsi. Kayu illegal yang telah disahkan lewat penarikan
tarif pajak sesungguhnya mendapat penolakan yang keras saat di terima d i pelabuhanbersangkutan [UU No. 25 Tahun 1W9, Pasal 6 ayat (5) dan penjelasannya]. Dana wboisasi dibagi dengan
imhngan 40%untuk daerah penghasil dan 60% untuk pernerintah pusat [UU No. 25 Tahun 1999, Pasal 8 ayat
I;".
Naskah ini diringkas dari hasil kajim Anne Casson (2001).
pelabuhan di Jawa seperti SL
Bupati Kotawaringin Timur
diikuti oleh Bupati Kapuas (
ditolak olch Menteri Kehutan
Sampai pertengahan t
diratifikasi, termasuk yang
Kanwil Kehutanan dan Perk
dibawah wewenang Bupati.
memformulasikan kebijakan
produksi, hutan lindung, perke
kawasan hutan lindung. Tang€
pemanfaat hutan. Akibatnya s
Bupati dengan Ropinsi semaki~
kendali Gubernur. Konflik te
Gubernur, tetapi juga manjalar I
Kapasitas Kelembagaan
Shaffer ( 1 980) menyatak
saling mempengaruhi satu s a m
pelaku ekonomi terhadap ling
diakibatkannya. Bentuk keseml
yang dimaksudkan Shaffer ters
aturan main baik, yang bersifa~
seperti kebiasaan, adat, dl]. Me
aturan main tersebut merupakan
individu atau kelompok masya
tersehut menurut Schrnid (1987
sistcm ekonomi lertenlu.
h i tiga kasus yallg dilc
pemerin~ahanhaik sendiri-sendir
kelembagaan. Respon masyaraka
dapat menjalankall pengelolaan ht
masyarakat direspon oleh masyara
Kegagalan membentuk kel
di Sulawesi Utara, dimana keleml
r a p o n masyarakat. Serupa deng:
demikian itu, untuk kasus di Malu
adilpun tidak tercapai. Hak at;
berdasarkan peratwan-perundanga
yang memungkinkan terwujudnya ,
Untuk memahami lebih jauh men,
demikian itu, berikut ditelaah b
(Sutton, 1999).
pelabuhan di Jawa seperti Sunda Kelapa, Juanda maupun Cirebon. Namun dengan cepat
Bupati Kotawarlngin Timur mengambil langkah-langkah olitik sehingga kebijakannya
diikuti oleh Bupati Kapuas dan Kotawaringin Barat. Meskipun kebijakan tersebut juga
ditolak olch Menteri Kehutanan karena dinilai bertentangan dengan UU 4111999 tentang
Sampai pertengahan tahun 2000 masih tersisa 29 peraturan daerah yang akan
duatifikasi, termasuk yang fungsi dan wewenangnya mempunyai kesamaan dengan
Kanwil Kehutanan dan Perkebunan di tingkat propinsi, yang posisinya ditempatkan
dibawah wewenang Bupati. Peraturan daerah tersebut memerintahkan Bupati untuk
mernformulasikan kebljakan di sektor kehutanan seperti penentuan tata batas hutan
produksi, hutan lindung, perkebunan, perizinan pemanfaatan hasil hutan serta pengelolaan
Lawasan hutan lindung. Tanggungjawab juga diberikan kepada Bupati untuk meberi izln
pemanfaat hutan. Akibatn ya sudah dapat dipastikan terjadi kon flik kepentingan antara
Bupati dengan Propinsi semakin besar, dimana posisi politik Bupati semakin berada di luar
kendall Gubernur. Konflik tersebut tidak hanya terhenti sebatas pribadi Bupati dan
Gubernur, tetapi juga manjalar ke jajaran birokrasi di berbagai tingkatan.
Kapasilas Kelembagaan
Shaffer (1980) menyatakan bahwa sistem ekonomi terdiri dari tiga komponen yang
d i g mempengaruhi satu sama lain yaitu kondisi lingkungan, respon dan reaksi pelakuhtkannya. Bentuk kesempatan yang tersedia (opportunity sets) dalam lingkungan
dimaksudkan Shaffer tersebut, menurut pandangan North (1991), tergantung dari
main baik, yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun informal
seperti kebiasaan, adat, dll. Menurut Schmid (1987), North (1991), dan Barzel (1993)
main tersebut merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar
individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk interdependensi
tersebut menurut Schmid (1987) mengakibatkan 'siapa mendapatkan apa' dalam suatu
sistem ekonon~itertentu.
Dxl t1g"asus
yang ditclaal~di atas dapat ditunjukkan bahwa lembaga-lembaga
pemenntahan baik sendirl-sendiri maupun secara bersama-sama telah gaga1 membentuk
kelembagaan. Respon masyarakat terhadap kelembagaan berakibat fatal, dalam arti tidak
dapat menjalankan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kesempatan yang tersedia bagi
masyarakat direspon oleh masyarakat dengan menjalankan tindakan yang tidak benar.
Kegagalan membentuk kelembagaan di atas dicerminkan secara tepat dalam kasus
di Sulawesl Utara, dimana kelembagaan illegal justru yang memberikan kesempatan dan
respon masyarakat. Serupa dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dalam kondisi
demikian itu, untuk kasus di Maluku Tengah, bahkm tujuan memanfaat hutan secara lebih
adilpun tidak tercapai. Hak atas sumberdaya hutan secara legal yang ditetapkan
badasarkan peratwan-perundangan yang beriaku dapat dinafikan oleh jaringan kekuasaan
yang memungkinkan terwujudnya akses diluar apa yang ditetapkan secara legal tersebut.
Untuk memahami lebih jauh mengapa terbentuk kelembagaan pengelolaan hutan seperti
demikian itu, berikut ditelaah berdasarkan pendekatan proses perumusan kebijakan
ORIENTASI KEBIJAKAN KEHUTANAN
Tinjauan Politik, Antropologi dan Manajemen
Kekuatan pengaruh suatu akses dalam memanfaatkan sumberdaya seringkali
mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat ditentukan oleh posisi dan kekuasaan
aktor dalam perkembangan hubungan-hubungan sosial yang sangat dinamis. Berdasarkan
konsep akses yang ditawarkan Ribot dan Peluso seperti telah diuraikan di atas, jelas bahwa
terjadinya perubahan fungsi hutan dan banyaknya klaim atas hutan negara tidaklah dapat
dipandang semata-mata melalui pendekatan hukum. Dengan demikian, para aparat
pemerintah yang merasa lebih tenang dengan luas kawasan hutan di atas kertas - yang
aman secara hukum - tidaklah memadai untuk menjangkau tujuan-tujuan rnempertahankan
fungsi hutan.
Rasionalitas hukum positif, dengan demikian, bukan hanya membatasi tugas-tugas
pernerintahan, tetapi juga membatasi inovasi pemecahan masalah, atau bahkan
mengakibatkan kekeliruan dalam mendefrnisikan masalah itu sendiri. Situasi demikian itu
seperti akan tetap demikian dalam jangka panjang. Apalagi bila organisasi, dalam ha1 ini
organisasi-organisasi pemerintah dan pemerintah daerah, dikategorikan sebagai mesin,
kultur dan penjara psikis (Morgan, 1986 dalam Parsons, 2005).
Salah satu sebab hambatan perubahan kebijakan adalah terdapatnya narasi
kebijakan dan diskursus (Sutton, 1999), sebagai penyebab terwujudnya kondisi sulit bagi
tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari
akumulasi pengaruh dalam pembuatan kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan
keyakinan yang sudah usang, adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi
yang diperlukan untuk mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil
peran yang seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasil-hail kesepakatan dalam
pembuatan kebijakan (street level bureaucracy) maupun keterlanjuran yang tidak mungkin
diubah saat itu (sunk cost eflect). Hal-ha1 tersebut dijumpai dalam pernbuatan kebijakan
dari telaah ketiga kasus diatas, dan bahkan terjadi di negara-negara yang mengalami
dcgradasi sumberdaya alam (Sutton, 1999; Diamond, 2005).
lnlplikasi dari adanya kondisi di atas, maka dalam suatu perubahan kebijakan,
bukan hanya diperlukan kajian yang dapat menghasilkan usulan-usulan kebijakan,
melainkan kajian yang dapat menungkap hambarn-hambantall dalam proses pembuatm
suatu kebijakan.
Masalah Kebijakan
Apabila ketiga kasus yang diuraikan di atas dapat menggambarkan fenomena
kelembagaan kehutanan di Indonesia, rnaka penetapkan kebijakan kehutanan yang
semestinya rnenjadi perhatian adalah masalah kelembagaan. Termasuk di dalamnya
mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam pernbuatan kebijakan, pengertian dan
pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan
kebijakan itu sendui. Dengan dernikian masalah kebijakan rnempunyai lingkup lebih luas
dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak
dapat diartikan sebatas peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi
"Keberhasilan dalam mem
solusi yang tepat terhadap I
karena kita memecahkan a
solusi yang salah terhadap r;
D q i ketiga kasus di atas, jel
a)
Pendekatan dalam penyusur
sisi fisik kayu, hutan, dan
subyek yang diatur, sepert
kepentingan dan kemarnpuai
b) Peraturan-perundangan men.
banyak ha1 dapat diseselail
kaitan ini juga terdapat pan
dapat tertuju kepada pen]
mempunyai banyak faktor
mengambil keputusan yang d
c) Kedua ha1 tersebut terjadi ak
menjadi conventional wish
dalam pembangunan kehutan
Jmplikasi terhadap Program Priori
Sejak tahun 2000, Departer
meskipun dalam perkembangannya tr
program prioritas terscbut mencakup
lilhan, rcvitalisasi industri kehutanan,
hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokc
ditelaah adalah masalah apa yang a k
dm bagairnana bentuk peningkatan
tersebut sernestinya menjadi landasan
Kenyataan rnenunjukkan bahw
kapasitas kelembagaan yang ada,
terpecahkan oleh berbagai kebijakan
kasus di atas, evaluasi terhadap pel
rnenunjukkan ha1 demikian (Persaki,
penetapan target dan waktu pencapaian
Departemen Kehutanan dan p
target pembangunan berdasarkan kond
kelembagaan yang mampu menjalan
di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah rnenjadi sangat penting
dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah menjadi
sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Sebagaimana dikatakan Ackoff (1974) yang
dikutip Dunn (2000):
"Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan
solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal
karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan
solusi yang salah terhadap maralah yang tepat".
Dwi ketiga kasus di atas, jelas bahwa dalam pembuatan kebijakan kehutanan aspek
kelernbagaan dan politik lokal belurn ditetapkan sebagai rnasalah. Kondisi seperti itu
disebabkan oleh:
a) Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu berangkat dari
sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang rnernperhatikan
subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat? dll, serta
kepen tingan dan kemampuannya;
b) Peraturan-perundangan menjadi instrumen yang dorninan bahkan tunggal. Padahal
banyak ha1 dapat diseselaikan secara sosial, ekonorni, maupun politik. Dalarn
kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa peraturan secara otomatis
dapat tertuju kepada penyelesaian masalah, sementara kondisi di lapangan
mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam
rnengambil keputusan yang dijalankannya.
c) Kedua ha1 tersebut terjadi akibat adanya policy narrative dan discource yang telah
menjadi conventional wisdom dan tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi
dalam pembangunan kehutanan.
lmplikasi terhadap Program Prioritas
Sejak tahun 2000, Departernen Kehutanan rnencanangkan program prioritas,
meskipun dalarn perkembangannya terdapat perubahan. Saat ini, obyek yang dituju dalarn
program prioritas tersebut rnencakup pemberantasan illegal loggir~g,rehabilitabi hutan dan
Man, revitalisasi industri kchutanan, pcmberdayaan masyarakat dan pemantapan kawasan
hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokok-pokok pembahasan di atas, dua aspek yang perlu
d~telaahadalah masalah apa yang akan dipecahkan olch setiap program prioritas tersebut
din bagaimana bentuk peningkatan kelembagaan untuk rnenjalankannya. Kedua aspek
tersebut semestinya menjadi landasan kebijakan pelaksanaan program prioritas tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut tetap menggunakan
kapasitas kelembagaan yang ada, sehingga masalah pokok yang dihadapi tidak
terpecahkan oleh berbagai kebijakan yang telah d~jalankan.Selain rnerujuk pada ketiga
kasus di atas, evaluasi terhadap pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, rnisalnya,
menunjukkan ha1 demikian (Persaki, 2006). Dalam kaitan rehabilitasi hutan dan lahan,
penetapan target dan waktu pencapaian program perlu ditinjau secara kritis.
Departernen Kehutanan dan pernerintah pada umurnnya senantiasa menetapkan
target pembangunan berdasarkan kondisi fisik dan ketersediaan anggaran. Mempersiapkan
kelernbagaan yang mampu menjalankan program senantiasa dianggap rnemperlambat
24
capaian program. Belajar dari kegagalan masa lalu, dalarn pencanangan progam reboisasi
dan penghijauan sejak tahun 80an juga dengan semangat kece~atandan anggaran, d m
terbukti tidak membawa hasil. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas kelembagaan
sebagai syuat berjalannya suatu program prioritas menjadi suatu keniscayaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kajian di tiga lokasi serta pelaksanaan kebijakan nasional atas program
prioritas Departemen Kehutanan-dapatditunjukkan bahwa baik program kehutanan daerah
maupun pusat tidak disertai oleh upaya peningkatan kapasitas kelembagaan. ~rientasi
kebijakan kehutanan secara keseluruhan tertuju kepada famulasi masalah-masalah teknis,
sedangkan fakta-faktor sosial, ekonomi dan politik dianggap sebagai fakta eksogen.
Lemahnya p e n g u m kelembagaan telah tabukti dikuti oleh kegagalan kebijakan whlk
mencapai tujuannya.
Penyebar-luasan informasi dan pembahasan mmdalam terhadap masalah kebijakan
kehutanan disarankan terus-menems dilakukan sebagai upaya ~erbaikan orientasi
kebijakan kehutanan, karma hambatan orimtasi pembaruan kebijakan bersumber dari
narasi kebijakan dan diskursus yang telah melekat dalam ke~akinanPara ~ a g a m b i r
keputusan. Roses pembuatan kebijakan kehutanan yang dilakukan secara tekbuka
diperkirakan dapat membantu upaya tersebut.
D A m A R PUSTAKA
I
Barzel, Y., 1991. Economic Analysis of Roperty Rights. Cambridge University Ress.,
Sydney
Casson, Anne., 2001. Decentralisation of Policies Affecting Forests and Estate Crops in
Kotiawaringin Timur District, Central Kalirrmnm. CIFOR, Bogor.
DcpHut (Departemen Kehutanan)., 2006. Kajim Kebijakan Priaitas: Operasionalisasi dan
lmplementasinya d-dam Rogram dan Kegiatan Departemen Kehutanan. Biro
Pcrencanaan dm Keumgan, Jakarta.
Dinmaid, J., 2005. COLLAPSE: How Societies Choose to Fail or Survive. Penguin
Books, London.
Dunn. W. N.. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan. Gadjah Mada
' university Ress, yogyakarta.
Hidayat, S., 2000. Otonorni daerah dalam perspektif perilaku elit lokal dalam Indonesia
Menapak Abad 21. Kajian Ekonomi Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, PT.Dptama, Jakarta.
Kartodihardjo, H. dan H. Jhamtani.,. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia. Equinox, Jakarta.
-
'intong, E. E., 2004. Rest
Wartabone, Sulawe
Pascasarjana, IPB, B
North, D-C-, 1991. Institutic
Economy of Instituti(
Ohorella, A. L.,2003. pa
Otonomi Dae
Ostrom E, Schroeder L,
Development. Westvi,
Parsons, W-, 2005. Public
Terj'emahan. R e n d a 1
Persaki (Persatuan Sarjma J
Rehabilitasi Hutan d,
Presentasi. Persaki, J&
Peters* B- G., 2000. lnstituti
Series, Institute for ~ d
J- C . and N. Peluso., 2~
Shaffer. J.D., 1980. ~d
sy
Framework. h e r i c a n J
Schmid, A-, 1987. Property, po
York.
Sutton, R-9 1999. Policy p,
Institute. p
t
Lintong, E. E., 2004. Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Sulawesi Utara. Thesis S2. Program Studi Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor.
i North, D.C., 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Political
Economy of Institutions and Decisions Cambridge University Press, Cambridge.
1
Ohorella, A. L., 2003. Penguatan Institusi Pengelolaan Hutan Alam Produksi dalam
Rangka Otonorni Daerah. Thesis S2. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Ostrorn E, Schroeder L, Wynne S., 1993. Institutional Incentive and Sustainable
Development. Westview Press, Oxford.
Parsons, W., 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan.
TeGernahan. Prenada Media, Jakarta.
Persaki (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia)., 2006. Kajian Kinerja dan Kebijakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bahan Pernatangan Materi. Powerpoint bahan
presentasi. Persaki, Jakarta.
Peters, B. G., 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. 69 Political Science
Series, Institute for Advance Studies, Vienna.
Ribot, J. C. and N. Peluso., 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): 153-181.
Shaffer. J.D., 1980. Food Sytem Organization and Performance: Toward a Conceptual
Framework. American Journal Agricultural Economic, May 1980; (310-318).
Schmid, A., 1987. Property, Power, and An Inquiry into Law and Economic. Praeger, New
Sutton, R., 1999. Policy Process: An Overview. Working Paper 118. Overseas
Development Institute. Portland House. Stag Place, London.
Artikel (Article) '
MASALAH KAPASITAS KELEMBAGAAN
DAN ARAH KEBWAKAN KEHUTANAN: Studi Tiga Kasus
(Problem of Institutional Capacity and Direction of Forestry Policy:
Three Casq'Stut&f
/CPQ
!
HARIADI
KARTODIHARDJO'
ABSTRACT
It has been shown by various references that performance of forestry developmew B
determined by in~titutionalcapacify. 7kis study was conducted to acquire knowledge of problem of
fore~tmanagement institution and policy change which should be able to be implemented. The
studies in three localions and implementation of mtioml policy indicated that forestry programs
implemented by district/province government and central govetnment were not accompanied by
institutional strengthening gorts. The weaknesses of institution have been proven to be followed by
policy failure to reach its target. Resistance to policy change stems from policy narrative and
discourse embedded in decision makers belief:
Tduan
Key words: institutional capacity, problem, policy narrative, discource
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya
rncndatangkan kernundwar~kegiatan ekonorni, namun dan bahkan telah rnenghilangkan
kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu. Diamond (2005)
menclaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangs4 perusahm, &lam
melakukan pcngclolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang
dapat ditarik dari telaah Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan
secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar
yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan surnberdaya alam.
Perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenornena
tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat difahami dari berbagai sudut pandang
secara komprehensif. Disamping its, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga
mempunyai peran penting. Sebagaimana dikatakan Peters (2000) bahwa "institution must
become institution". Seringkali upaya perubahan kelernbagaan - dalam hal ini adalah
aturan main dan instrumennya - tidak diikuti oleh pernbaruan landasan filosofi dan
kerangka pikir yang diynakan. Akibatnya peratwan benambah, lernbaga benambah,
' D e w e m e n Mamjemen Hutan. Fakullas Kehuknan IPB Email: har~ad~@~ndo.net
id
Trop. For. Manage. J. XI1 (3) :14-25 (2006)
nama lembaga seringkali diubah, tetapi t
sehingga tidak pula mengubah kinerja di I
Peters (2000) mengatakan "institutionaliza
Dalam analisisnya terhadap kegag;
menyebutkan bahwa kegagalan tersebut
memahami adanya kondisi sosial yang
societies antara lain: keputusan yang terl
yang tinggi, instruksi oleh kewenangan
conlplex societies tanpa disertai adanya 1
m e n w t Diamond, hampir selalu berakhir (
- Berdasarkan temuan-temuan di ata
untuk menunjang pengelolaan sumberday;
mengapa kelembagaan sangat penting,
mempunyai ciri mudah t f d a d i n ~ akses
kelembagaan diharapkan mampu men,
kelembagaan yang &pat menjamin kepas
mtuk memastpgelolaan hutan Ma
deb adanya
yang &pat diwujw
tatentu ( ~ i b , . ,dm
~ peluso, 2003).
E
!
Dengan memmatikan konsep Rfi
mendapatkan pengetahurn tentang rnasali
serta perubahan orientasi kebijakan yang s
'
=
Studi ini dinwali dengan ieneladh
benluk tmnsaksi dm dan ah3kasi manfaat
langkA-langkah P n g sudd
hutan
daerah melalui berbagai bentuk kebijaka
'
[
Ribor &in PeIuso (2003) m h u w d a n konwp
~esuatu,yang dibedakan dengan men
riglus). H
ak merupill;an Haim twhadap ~ m b e r h
melahi hukum alau
oleh =dat
-fat
'
~
~
~
~
d p a t kumpl~~
h a n g a n sosid, sehingga
memungkjnkan seseorang atau lembaga memp
implemenwi kebijakan di lapangan. Berbeda denl
y g dil&~lul. akses seringkdi &pal terbebas
Stud selengkapnya dilakukm r h d a p lima kasur
bus.
h r s (2000) mengatakan "institutionalizationinvolves infusing a structure with value".
Dalam analisisnya terhadap kegagalan belajar berbagai bangsa, Diamond (2005)
menyebutkan bahwa kegagalan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan
memahami adanya kondisi sosial yang kompleks (complex societies). Ciri conlplex
societies antara lain: keputusan yang terpusat, alum informasi yang tinggi, koordinasi
yang tinggi, instruksi oleh kewenangan formal, dan pemusatan sumberdaya. Adanya
eottlplex societies tanpa disertai adanya kemampuan kelembagaan untuk mengatasinya,
menurut Diamond. hampir selalu berakhir dengan kegagalan.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, kemampuan kelembagaan perlu diupayakan
~ t u kmenunjang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Selain itu ada alasan lain
mengapa kelembagaan sangat penting, yaitu luasnya kawasan hutan negara yang
kelembagaan diiarapkan mampu mengatasi rnasalah tersebut. Narnun demikian,
kelembagaan yang dapat menjamin kepastian hak atas hutan seringkali tidak mencukupi
mtuk memastikan ~ngelolaanhutan dalam jangka panjang. Karma hak dapat dinafkan
deh adanya akses yang dapat diwujudkan akibat hubungan-hubungan sosial-politik
Dengan memperhatikan konsep Ribot dan Peluso tersebut, studi ini dilakukan untuk
mmdapatkan pengetahuan tentang rnasalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan
pata perubahan orientasi kebijakan yang semestinya dapat dilakukan.
KERANGKA PENDEKATAN
Studi ini diawali dengan menelaah tiga kasu$ bentuk kerusakan sumberdaya hutiu~,
h m k transiksi dan dan alokasi manfaat, efektivitas penetapan hak-hak atas sumberdaya
Lstan serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemerintah maupun pemerintah
rnelalui berbagai bentuk kebijakan baru maupun kegiatan yang telah dilakukan.
&ah
dan adanya hak (properly
ditegakkan dan didukung
rnernpunyai kemarnpuan
a adanya kekuasaan untuk
roses. maupun hubunganand web of power) yang
engaruhi praktek-praktek
n sangsi atas pelanggaran
Terhadap kejadian-kejadian kerusakan sumberdaya hutan tersebut ditelaah efektivitas
kebijakan yang dijalankan dengan rnenggunakan tinjauan proses perurnusan kebijakan oleh
Sutton (1999). yang rnencakup tiga pendekatan, yaitu pendekatan ilrnu politik/sosiologi,
pendekatan antropologi dan pendekatan rnanajemen.
Pendekatan ilrnu politik/sosiologi digunakan untuk rnenelaah bagaimana kebijakan
selama ini dirurnuskan. Telah menjadi perdebatan panjang bahwa pernbuatan kebijakan
seringkali tidak didasarkan pada pendekatan rasional yang linier, rnelainkan lebih tidak
beraturan akibat dominasi kepentinga politik, sulitnya rnengubah keyakinan di rnasa lalu,
serta berbagai harnbatan struktural di dalarn birokrasi (Sutton, 1999; Diamond, 2005).
Pendekatan antropologi dalam pembuatan kebijakan difokuskan pada narasi
mengenai fenornena yang sedang
kebijakan (policy narraive) dan diskursus (di~cource)~
dibicarakan (Sutton, 1999), yang seringkali rnenjadi harnbatan rnelakukan pembaruan
kebijakan. Sedangkan pendekatan manajemen lebih diarahkan untuk mengetahui harnbatan
pernbaruan kebijakan akibat kondisi birokrasi, kepemirnpinan maupun kekuasaan dari luar
birokrasi yang turut serta mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Untuk rnenelaah berbagai bentuk kerusakan sumberdaya hutan, bentuk transaksi
dm alokasi manfaat yang terjadi, efektivitas penetapan hak-hak atas surnberdaya hutan
serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pernerintah maupun pernerintah daerah
dikumpulkan sejumlah hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan untuk rnelakukan tinjauan
terhadap proses pembuatan kebijakan dilakukan pengarnatan langsung rnaupun studi
pustaka.
akibat status kawasan taman nasio~
kelembagaan sehingga terbentuk "k
Pelaku yang terlibat langsun
kongsi, yang bekerja untuk para I
tromol serta tong sianida, serta okn
oknum Sangadi, oknum anggota DF
pemodal tidak langsung, yang bek
Kesemuanya ini membentuk kelem
Kelembagaan illegal tersebu
Dumoga stabil dan mengurangi kol
baik. Kesepakatan tidak tertulis ter
(pemilik tromol dan tong sianida)
Jagawana, TNIIPolri dan Camat), 1
serta jaminan keselamatan dan jam
lain (kelompok kongsi lain maupui
lebih tinggi bermain di belakang la)
pemilik tong sianida.
KAPASITAS KELEMBAGAAN
Berikut ini diutarakan ringkasan kejadian konflik dalarn pengelolaan sumberdaya
hutan yang terjadi tiga lokasi.
Pemi li k
Tromol/Tong
Tambang Emas di Taman ~ a s i o n a f
Perebutan akses terhadap sumberdaya mineral emas rnemicu dua jenis konflik di
Tarnan Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Sulawesi Utara, telah terjadi berupa
konflik antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang berprofesi sebagai penambangh
(konflik vertikal) dan konflik antar sesarna penambang (konflik horizontal). Konflik terjadi
Narasi kebijJm addah kejadian yang dirnggap selesai dan rnenjadi keyakinan. Di dalamnya l d p t ideolugi.
pengethum dan pengedan yang sudah terlanam. N m s i kebijakan &pat b e ~ konsep
p
yang dipergunakan
untuk mengungkap sesuatu kejadian, situasi atau kondisi. Sedangkan diskursus merupkan c a n pikir dan cara
rnernherikan argurnen yang dilakukan dui penamaan dan pengistilahan terhadap sesualu yang &pal me~pakan
cerminan dari kepenlingan lertenlu (politik). Kedumya, haik nansi rnaupun diskursus, harnpir setup, yang & p l
mrnjadi alrl dorninasi kelornpok tertenlu t h d a p pernhuabn tehijakm. Ptxbehnnya, diskursus lehih luas
sehagai terangka pikir urnurn, srdilngtan nansi diperbwnakm untuk ohyek yang lehih spesitik.
Teluh ini diringkrs &ri Lintong (2005) oleh Kytodihardju dan Jhrrnhni (2006).
Lazirn disebut pelaku tarnhang e m s illegal (mI).
I
I
Oknum Jagawana
I
Gambar 1. Kelembagaan Illegal Pena
Kondisi aman yang diciptaka
pemerintah menjalankan penertiban I
LS
:h
11*
In
w
Ek
lu,
ai
'g
tan
Lar
ksi
tan
:
lab
f
CUP?
wg
rjadi
0kIgi.
&an
cam
&an
I
aapat
luas
I
olch aktor-aktor penyasa di Dumoga yang selama ini juga mer~jadi hagian dari
kclcmbagaan illegal tersebut. Pada titik tertentu, kondisi ini dapat menucu pclanggaran
kesepakatan antar pelaku dalam kelembagaan illegal. Kehilangan rasa saling percaya
meningkatkan kemungkinan konflik. Pemda setempat menyikapi situasi ini dengan
menghentikan dan tidak mengijinkan operasi PETl dan bersama-sama pelaku PETl
meminta agar kondisi illegal PETl dijadikan legal - melalui penetapan wilayah
pertambangan rakyat (WPR). Hal ini ditempuh untuk menciptakan kondisi aman bagi
semua pihak yang mendapatkan keuntungan dari hasil pertarnbangan emas.
Aspirasi masyarakat dan Pemda untuk mendapatkan WPR di TNBNW sudah
diajukan sejak 1995 kepada pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati). Sebuah Tim
Gabungan (Propinsi, Kabupaten dan Masyarakat PETl) telah mengukur wilayah WPR dan
mengajukan pengesahan ke pemerintah pusat. Proses untuk me~~dapatkanlegalisasi
memakan waktu sembilan tahun dan belum mendapatkan tanggapan apapun dari
pemerintah. Akibatnya posisi kelcmbagaan illegal tetap kuat dalam me~iguasaiekstraksi
emas di TNBNW.
Kebijakan Kehulanan ~abupalen'
Setelah tahun 2001, pemerintah daerah menjalankan otonomi daerah sesuai dengan
UU No 2211999 yang mengatur pemerintahan daerah, tidak terkecuali di Kabupaten
Maluku Tengah. Lemahnya formulasi kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah daerah
MaIuku Tengah, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor yaitu :
a) Lemahnya kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah. Kondisi
sumberdaya birokrasi lembaga kehutanan daerah tidak memungkinkan untuk
memmuskan kebijakan yang dapat memecahkan pennasalahan-permasalahan
pengelolaaan hutan alam produksi yang bersumber dari aspek institusi termasuk
ketidakpastian usaha, hak penguasaan dan pemilikan hutan, serta masalah-masalah
kebijakan yang berimplikasi pada tingginya biaya transaksi.
b) Lemahnya koordinasi dan perbedaan kepentingan antar tingkatan pemerintahan
(kabupatenlpropinsi/pusat). Dalam konteks penyelenggaraan pengelolaan hutan
alam produksi setelah pemberlakuan otonomi daerahs, koordinasi antara
pemerintah kabupaten dan propinsi - disamping tentunya dengan pemerintah pusat
- sangat penting, namun koordinasi ini tidak berjalan. Meskipun Dinas Kehutanan
Propinsi Maluku senantiasa melakukan kontrol dan proses-proses koordinasi
penyelenggaraan pengelolaan hutan alam produksi dengan menggunakan
instrumen hukurn9, namun akibat kekakuan tugas pokok dan fungsi lembaga
kehutanan kabupaten, koordinasi dengan pemerintah propinsi tidak dilakukan.
Kecuali disebutkan lain, telaah ini diringkas dari Ohorella (2003).
Berdasarkan UU No. 2 2 Tahun 1999, tidak ada hubungan hirdrkis (hubungan atasan dan bawahan) antara
pemcrinhh provinsi dan kabupaten. sehingga pemerintah provinsi seharusnya menjadi pusat koordinasi di dawah,
dengan membangun hubungm-hubungan kerja, termasuk penguatan institusi pemerintah kabupatedkota.
Terdapat paling t i h k empat buuh sural Dims Kehuhun Provinsi Maluku kepda Dinas Kehutanan Maluku
Tengah terkait dengan pengelolaan hutan alam produksi yang sifainya instruksional. Masing-masing surat No.
R
Kepentingan individu el
clit lokal nleliputi kepcr
dan kcpentingan untuk
pencapaian kepentingan
apa yan oleh Bates (I'
choice.
Berdasarkan temuan di i
gka otonomi daerah di Malu
berarti tidak sejalan denga
alisasi akan mengurangi I
mbilan keputusan dengan I
Dapat ditujukkan rnisalr
sil hutan kayu (IPHHK) yan
megang HPH. Besarnya biaq
insentif bagi HPH untuk men
berjalannya aktivitas HPH, mi:
dslam bentuk pemberian fee den
h u u s dilaksanakan - dan tentu
lebih banyak dibandingkan sken:
Tujuan pemberian IPHH
hutan kepada masyarakat lokal
gugatan terhadap sistim pengel
memberikan manfaat bagi masyi
sebagai penyebab timbulnya ba
perhitungan laba rugi pernanfa
diperoleh pelaku usaha sekitar U
kontraktor logging yang rnenjad.
US$25, sedangkan yang diterim
US$ 2,50. Pemerintah mernperol
kehutanan dan pajak. Dari bagia
memperoleh sekitar US$ 8,510,
kabupatenkota lainnya di propin
C)
IF
522.21/Dishut-MaV668n002 tgl 07-1
522.1 l/Dishut-MaV130E003 tgl. 26-03-21
lo Kemmpuan untuk melakukan aw
mengakumulasi surnbrrdaya politik, yang
tehh diletapkan oleh pemerintah pusat, b:
dengan kelompok tertentu di dalam ma.
~mnal
dengan elit-elit lerlenlu di pusat.
Pemegang IPHHK tidak dikenai kewa
AMDAL dan pemantauan lingkungan. se
Ennanen, plot plasma nutfah, dll. sebagai
P e n e n m a n negata dari sektor kehurar
uniuk daerah. Bagian daerah dari peneri
provinsi, 32% untuk kabupatedkota per
C)
Kepentingan individu elit lokal dan strategi pencapaiannya. Kepentingan individu
clit lukal nleliputi kepzntingan ekonomi, kepentingan untuk pengembangan karir,
dm kepentingan unluk sponsor politik @olitical sponsorship). Dalam rangka
pencapaian kepentingan tersebut, para pengambil kebijakan di daexah melakukan
apa ya:F oleh Bates (1981) yang diacu oleh Hidayat (2000), disebut autonornus
Berdasarkan temuan di atas, pelaksanaan desentralisasi pengelolaan hutan dalam
rangka otonomi daerah di Maluku Tengah belum mampu meminimalkan biaya transaksi.
Ini berarti tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan Ostrom, et al. (1993). bahwa
dcsentralisasi akan mengurangi biaya transaksi dan perencanaan, karena adanya kedekatan
pengambilan keputusan dengan maslaah yang diadapi masyarakat.
Dapat ditujukkan misalnya sebagian besar kontraktor logging ijin pemanfaatan
hasil hutan kayu (IPHHK) yang diberikan kepada masyarakat lokal diantaranya adalah
pemegang HPH. Besarnya biaya transaksi pelaksanaan IPHHK ternyata justru menjadi
insentif hagi HPH untuk mengabaikan upaya-upaya yang dapat menjadi pendorong
berjalannya aktivitas HPH, misalnya dengan mengakomodir tuntutan masyarakat adat
diilam bentuk pemberian fee dengan jumlah tertentu. Hal ini karena beban kewajiban yang
hius dilaksanakan - dan tentunya biaya - dalam skema pemanfaatan hutan oleh HPH
lebih banyak dibandingkan skema IPHHK".
Tujuan pemberian IPHHK adalah agar w a d i redistribusi manfaat sumberdaya
butan kepada masyarakat lokal secara lebih adil. Ini mmpakan jawaban atas berbagai
gugatan texhadap sistim pengelolaan hutan dam produksi yang selama tidak banyak
kelornpok tertentu di dalarn masyarakal (tennasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat), sata hubungan
dengan elit-elil lertentu di pusat.
megang IPHHK tidak dikenai kewajiban rnenyerahkan folo udara atau citra salelit. penyusunan dokumen
untuk kabupatenkota pengl-usil dan 32% untuk kabupatenkota lainnya dalarn provinsi yang
Dengan dcmikian masyarakat dan pemerintah daerah tidak begitu hanyak
mcmpcroleh manfaat dari adcanya skema IPHHK. Kotllraktor logging adalah penerima
terbcsar dari manhat ekonomi (gross income) pemanfaatan hutan IPHHK. Oleh karena itu
argurnentasi hahwa masyarakat akan memperoleh manfaat secara adil dari pemberian
IPHHK tidak sepenuhnya benar. Dengan demikian, kebijakan pemberian IPHHK belum
dapat mcnjadi solusi dalam memecahkan persoalan ketidak-adilan perolehan manfaat
ekonomi pengelolaan hutan alam produksi antara para pihak yang terlibat.
Konllik antara 13emerintah Propinsi d a n ~ a b u ~ a t e n ' ~
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sejak 1995 menjadi
kabupaten percontohan untuk pclaksanan otonomi daerah, sehingga penerapan UU
2211999 maupun UU 2511999 yang mengatur otonomi pemerintahan d m diberlakukan
1ahun 2001, telah diterapkan jauh sebelumnya. Oleh karena itu sampai dengan September
2000 tckah disusun 43 peraturan daerah yang berkaitan dcngan pengaturan sumberdaya
alam dcngall lujuan peningkatan pcndapatan asli daerah (PAD). Perda tersebut 14
dian~xanya telah dualifikasi oleh DPRD, 2 dianlara~lya bcrkaita~l dellgal kebijakau
kellutuna~~
dacrllh.
Bupali mcmbenluk Tim Pelayanan Tcrpadu (TPD) bulan Marct 2000 yang
d~pimpin Wakil Bupati untuk melakukan penyelidikan terhadap illegal logging yang
tcrjadi. Tim tersebut telah melaporkan adanya 178 kapal pengangkut kayu illegd dengan
jumlah sekitar 77.100 m3 dalam bentuk kayu gergajian. Namun demikian, DPRD
mengizinkan kapalkkapal tersebut untuk dilepas, apabila ada surat resmi yang menyatakan
pemberian sumbangan untuk reoibusi hasil h u m sebagai sumber pendapatan resmi
daerah. Kemudian, swat ini dijadikan surat berharga (deposito) pada BPD (Bank
Permodalan daerah) atas nama DPRD Kotawaringin Timur. Kapal barang pembawa kayu
illegal tcrsebut resmi di lepas karena diikuti Surat Keterangan Lunas saat melintasi
pelabuhan Samudra di Sungai Mentaya. Keputusan ini didukung oleh Gubernur
Kalimantan Tengah dengan alasan mereka membayar pajak kepada daerah.
Pola ini kemudian mendapat kritikan tajam dari banyak pihak (exportir, LSM,
HPH), sebab penerimaan pajak dari kayu illegal menyebabkan hilangnya kontrol
pemerintah Ropinsi atas tindakan-tindakan yang dilakukan Bupati. Perdebatan ini semakin
tajam dengan rujukan W 25/99 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah, terutarna tafsiran atas 80 % penerimaan yang harus dibagi antara propinsi dan
kabupaten. Tarif pajak kayu illegal kemudian dikenakan sebesar US $ 161m3 sernentara
untuk kayu resmi US $ 19Im3, yang terjadi sesudah tarif pajak diperdebatkan oleh banyak
pihak.
Tindakan politik Bupati Kotawaringin Timur tersebut semakin popder, walau
mendapat tantangan keras dari Propinsi. Kayu illegal yang telah disahkan lewat penarikan
tarif pajak sesungguhnya mendapat penolakan yang keras saat di terima d i pelabuhanbersangkutan [UU No. 25 Tahun 1W9, Pasal 6 ayat (5) dan penjelasannya]. Dana wboisasi dibagi dengan
imhngan 40%untuk daerah penghasil dan 60% untuk pernerintah pusat [UU No. 25 Tahun 1999, Pasal 8 ayat
I;".
Naskah ini diringkas dari hasil kajim Anne Casson (2001).
pelabuhan di Jawa seperti SL
Bupati Kotawaringin Timur
diikuti oleh Bupati Kapuas (
ditolak olch Menteri Kehutan
Sampai pertengahan t
diratifikasi, termasuk yang
Kanwil Kehutanan dan Perk
dibawah wewenang Bupati.
memformulasikan kebijakan
produksi, hutan lindung, perke
kawasan hutan lindung. Tang€
pemanfaat hutan. Akibatnya s
Bupati dengan Ropinsi semaki~
kendali Gubernur. Konflik te
Gubernur, tetapi juga manjalar I
Kapasitas Kelembagaan
Shaffer ( 1 980) menyatak
saling mempengaruhi satu s a m
pelaku ekonomi terhadap ling
diakibatkannya. Bentuk keseml
yang dimaksudkan Shaffer ters
aturan main baik, yang bersifa~
seperti kebiasaan, adat, dl]. Me
aturan main tersebut merupakan
individu atau kelompok masya
tersehut menurut Schrnid (1987
sistcm ekonomi lertenlu.
h i tiga kasus yallg dilc
pemerin~ahanhaik sendiri-sendir
kelembagaan. Respon masyaraka
dapat menjalankall pengelolaan ht
masyarakat direspon oleh masyara
Kegagalan membentuk kel
di Sulawesi Utara, dimana keleml
r a p o n masyarakat. Serupa deng:
demikian itu, untuk kasus di Malu
adilpun tidak tercapai. Hak at;
berdasarkan peratwan-perundanga
yang memungkinkan terwujudnya ,
Untuk memahami lebih jauh men,
demikian itu, berikut ditelaah b
(Sutton, 1999).
pelabuhan di Jawa seperti Sunda Kelapa, Juanda maupun Cirebon. Namun dengan cepat
Bupati Kotawarlngin Timur mengambil langkah-langkah olitik sehingga kebijakannya
diikuti oleh Bupati Kapuas dan Kotawaringin Barat. Meskipun kebijakan tersebut juga
ditolak olch Menteri Kehutanan karena dinilai bertentangan dengan UU 4111999 tentang
Sampai pertengahan tahun 2000 masih tersisa 29 peraturan daerah yang akan
duatifikasi, termasuk yang fungsi dan wewenangnya mempunyai kesamaan dengan
Kanwil Kehutanan dan Perkebunan di tingkat propinsi, yang posisinya ditempatkan
dibawah wewenang Bupati. Peraturan daerah tersebut memerintahkan Bupati untuk
mernformulasikan kebljakan di sektor kehutanan seperti penentuan tata batas hutan
produksi, hutan lindung, perkebunan, perizinan pemanfaatan hasil hutan serta pengelolaan
Lawasan hutan lindung. Tanggungjawab juga diberikan kepada Bupati untuk meberi izln
pemanfaat hutan. Akibatn ya sudah dapat dipastikan terjadi kon flik kepentingan antara
Bupati dengan Propinsi semakin besar, dimana posisi politik Bupati semakin berada di luar
kendall Gubernur. Konflik tersebut tidak hanya terhenti sebatas pribadi Bupati dan
Gubernur, tetapi juga manjalar ke jajaran birokrasi di berbagai tingkatan.
Kapasilas Kelembagaan
Shaffer (1980) menyatakan bahwa sistem ekonomi terdiri dari tiga komponen yang
d i g mempengaruhi satu sama lain yaitu kondisi lingkungan, respon dan reaksi pelakuhtkannya. Bentuk kesempatan yang tersedia (opportunity sets) dalam lingkungan
dimaksudkan Shaffer tersebut, menurut pandangan North (1991), tergantung dari
main baik, yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun informal
seperti kebiasaan, adat, dll. Menurut Schmid (1987), North (1991), dan Barzel (1993)
main tersebut merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar
individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk interdependensi
tersebut menurut Schmid (1987) mengakibatkan 'siapa mendapatkan apa' dalam suatu
sistem ekonon~itertentu.
Dxl t1g"asus
yang ditclaal~di atas dapat ditunjukkan bahwa lembaga-lembaga
pemenntahan baik sendirl-sendiri maupun secara bersama-sama telah gaga1 membentuk
kelembagaan. Respon masyarakat terhadap kelembagaan berakibat fatal, dalam arti tidak
dapat menjalankan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kesempatan yang tersedia bagi
masyarakat direspon oleh masyarakat dengan menjalankan tindakan yang tidak benar.
Kegagalan membentuk kelembagaan di atas dicerminkan secara tepat dalam kasus
di Sulawesl Utara, dimana kelembagaan illegal justru yang memberikan kesempatan dan
respon masyarakat. Serupa dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dalam kondisi
demikian itu, untuk kasus di Maluku Tengah, bahkm tujuan memanfaat hutan secara lebih
adilpun tidak tercapai. Hak atas sumberdaya hutan secara legal yang ditetapkan
badasarkan peratwan-perundangan yang beriaku dapat dinafikan oleh jaringan kekuasaan
yang memungkinkan terwujudnya akses diluar apa yang ditetapkan secara legal tersebut.
Untuk memahami lebih jauh mengapa terbentuk kelembagaan pengelolaan hutan seperti
demikian itu, berikut ditelaah berdasarkan pendekatan proses perumusan kebijakan
ORIENTASI KEBIJAKAN KEHUTANAN
Tinjauan Politik, Antropologi dan Manajemen
Kekuatan pengaruh suatu akses dalam memanfaatkan sumberdaya seringkali
mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat ditentukan oleh posisi dan kekuasaan
aktor dalam perkembangan hubungan-hubungan sosial yang sangat dinamis. Berdasarkan
konsep akses yang ditawarkan Ribot dan Peluso seperti telah diuraikan di atas, jelas bahwa
terjadinya perubahan fungsi hutan dan banyaknya klaim atas hutan negara tidaklah dapat
dipandang semata-mata melalui pendekatan hukum. Dengan demikian, para aparat
pemerintah yang merasa lebih tenang dengan luas kawasan hutan di atas kertas - yang
aman secara hukum - tidaklah memadai untuk menjangkau tujuan-tujuan rnempertahankan
fungsi hutan.
Rasionalitas hukum positif, dengan demikian, bukan hanya membatasi tugas-tugas
pernerintahan, tetapi juga membatasi inovasi pemecahan masalah, atau bahkan
mengakibatkan kekeliruan dalam mendefrnisikan masalah itu sendiri. Situasi demikian itu
seperti akan tetap demikian dalam jangka panjang. Apalagi bila organisasi, dalam ha1 ini
organisasi-organisasi pemerintah dan pemerintah daerah, dikategorikan sebagai mesin,
kultur dan penjara psikis (Morgan, 1986 dalam Parsons, 2005).
Salah satu sebab hambatan perubahan kebijakan adalah terdapatnya narasi
kebijakan dan diskursus (Sutton, 1999), sebagai penyebab terwujudnya kondisi sulit bagi
tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari
akumulasi pengaruh dalam pembuatan kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan
keyakinan yang sudah usang, adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi
yang diperlukan untuk mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil
peran yang seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasil-hail kesepakatan dalam
pembuatan kebijakan (street level bureaucracy) maupun keterlanjuran yang tidak mungkin
diubah saat itu (sunk cost eflect). Hal-ha1 tersebut dijumpai dalam pernbuatan kebijakan
dari telaah ketiga kasus diatas, dan bahkan terjadi di negara-negara yang mengalami
dcgradasi sumberdaya alam (Sutton, 1999; Diamond, 2005).
lnlplikasi dari adanya kondisi di atas, maka dalam suatu perubahan kebijakan,
bukan hanya diperlukan kajian yang dapat menghasilkan usulan-usulan kebijakan,
melainkan kajian yang dapat menungkap hambarn-hambantall dalam proses pembuatm
suatu kebijakan.
Masalah Kebijakan
Apabila ketiga kasus yang diuraikan di atas dapat menggambarkan fenomena
kelembagaan kehutanan di Indonesia, rnaka penetapkan kebijakan kehutanan yang
semestinya rnenjadi perhatian adalah masalah kelembagaan. Termasuk di dalamnya
mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam pernbuatan kebijakan, pengertian dan
pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan
kebijakan itu sendui. Dengan dernikian masalah kebijakan rnempunyai lingkup lebih luas
dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak
dapat diartikan sebatas peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi
"Keberhasilan dalam mem
solusi yang tepat terhadap I
karena kita memecahkan a
solusi yang salah terhadap r;
D q i ketiga kasus di atas, jel
a)
Pendekatan dalam penyusur
sisi fisik kayu, hutan, dan
subyek yang diatur, sepert
kepentingan dan kemarnpuai
b) Peraturan-perundangan men.
banyak ha1 dapat diseselail
kaitan ini juga terdapat pan
dapat tertuju kepada pen]
mempunyai banyak faktor
mengambil keputusan yang d
c) Kedua ha1 tersebut terjadi ak
menjadi conventional wish
dalam pembangunan kehutan
Jmplikasi terhadap Program Priori
Sejak tahun 2000, Departer
meskipun dalam perkembangannya tr
program prioritas terscbut mencakup
lilhan, rcvitalisasi industri kehutanan,
hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokc
ditelaah adalah masalah apa yang a k
dm bagairnana bentuk peningkatan
tersebut sernestinya menjadi landasan
Kenyataan rnenunjukkan bahw
kapasitas kelembagaan yang ada,
terpecahkan oleh berbagai kebijakan
kasus di atas, evaluasi terhadap pel
rnenunjukkan ha1 demikian (Persaki,
penetapan target dan waktu pencapaian
Departemen Kehutanan dan p
target pembangunan berdasarkan kond
kelembagaan yang mampu menjalan
di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah rnenjadi sangat penting
dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah menjadi
sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Sebagaimana dikatakan Ackoff (1974) yang
dikutip Dunn (2000):
"Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan
solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal
karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan
solusi yang salah terhadap maralah yang tepat".
Dwi ketiga kasus di atas, jelas bahwa dalam pembuatan kebijakan kehutanan aspek
kelernbagaan dan politik lokal belurn ditetapkan sebagai rnasalah. Kondisi seperti itu
disebabkan oleh:
a) Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu berangkat dari
sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang rnernperhatikan
subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat? dll, serta
kepen tingan dan kemampuannya;
b) Peraturan-perundangan menjadi instrumen yang dorninan bahkan tunggal. Padahal
banyak ha1 dapat diseselaikan secara sosial, ekonorni, maupun politik. Dalarn
kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa peraturan secara otomatis
dapat tertuju kepada penyelesaian masalah, sementara kondisi di lapangan
mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam
rnengambil keputusan yang dijalankannya.
c) Kedua ha1 tersebut terjadi akibat adanya policy narrative dan discource yang telah
menjadi conventional wisdom dan tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi
dalam pembangunan kehutanan.
lmplikasi terhadap Program Prioritas
Sejak tahun 2000, Departernen Kehutanan rnencanangkan program prioritas,
meskipun dalarn perkembangannya terdapat perubahan. Saat ini, obyek yang dituju dalarn
program prioritas tersebut rnencakup pemberantasan illegal loggir~g,rehabilitabi hutan dan
Man, revitalisasi industri kchutanan, pcmberdayaan masyarakat dan pemantapan kawasan
hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokok-pokok pembahasan di atas, dua aspek yang perlu
d~telaahadalah masalah apa yang akan dipecahkan olch setiap program prioritas tersebut
din bagaimana bentuk peningkatan kelembagaan untuk rnenjalankannya. Kedua aspek
tersebut semestinya menjadi landasan kebijakan pelaksanaan program prioritas tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut tetap menggunakan
kapasitas kelembagaan yang ada, sehingga masalah pokok yang dihadapi tidak
terpecahkan oleh berbagai kebijakan yang telah d~jalankan.Selain rnerujuk pada ketiga
kasus di atas, evaluasi terhadap pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, rnisalnya,
menunjukkan ha1 demikian (Persaki, 2006). Dalam kaitan rehabilitasi hutan dan lahan,
penetapan target dan waktu pencapaian program perlu ditinjau secara kritis.
Departernen Kehutanan dan pernerintah pada umurnnya senantiasa menetapkan
target pembangunan berdasarkan kondisi fisik dan ketersediaan anggaran. Mempersiapkan
kelernbagaan yang mampu menjalankan program senantiasa dianggap rnemperlambat
24
capaian program. Belajar dari kegagalan masa lalu, dalarn pencanangan progam reboisasi
dan penghijauan sejak tahun 80an juga dengan semangat kece~atandan anggaran, d m
terbukti tidak membawa hasil. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas kelembagaan
sebagai syuat berjalannya suatu program prioritas menjadi suatu keniscayaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari kajian di tiga lokasi serta pelaksanaan kebijakan nasional atas program
prioritas Departemen Kehutanan-dapatditunjukkan bahwa baik program kehutanan daerah
maupun pusat tidak disertai oleh upaya peningkatan kapasitas kelembagaan. ~rientasi
kebijakan kehutanan secara keseluruhan tertuju kepada famulasi masalah-masalah teknis,
sedangkan fakta-faktor sosial, ekonomi dan politik dianggap sebagai fakta eksogen.
Lemahnya p e n g u m kelembagaan telah tabukti dikuti oleh kegagalan kebijakan whlk
mencapai tujuannya.
Penyebar-luasan informasi dan pembahasan mmdalam terhadap masalah kebijakan
kehutanan disarankan terus-menems dilakukan sebagai upaya ~erbaikan orientasi
kebijakan kehutanan, karma hambatan orimtasi pembaruan kebijakan bersumber dari
narasi kebijakan dan diskursus yang telah melekat dalam ke~akinanPara ~ a g a m b i r
keputusan. Roses pembuatan kebijakan kehutanan yang dilakukan secara tekbuka
diperkirakan dapat membantu upaya tersebut.
D A m A R PUSTAKA
I
Barzel, Y., 1991. Economic Analysis of Roperty Rights. Cambridge University Ress.,
Sydney
Casson, Anne., 2001. Decentralisation of Policies Affecting Forests and Estate Crops in
Kotiawaringin Timur District, Central Kalirrmnm. CIFOR, Bogor.
DcpHut (Departemen Kehutanan)., 2006. Kajim Kebijakan Priaitas: Operasionalisasi dan
lmplementasinya d-dam Rogram dan Kegiatan Departemen Kehutanan. Biro
Pcrencanaan dm Keumgan, Jakarta.
Dinmaid, J., 2005. COLLAPSE: How Societies Choose to Fail or Survive. Penguin
Books, London.
Dunn. W. N.. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan. Gadjah Mada
' university Ress, yogyakarta.
Hidayat, S., 2000. Otonorni daerah dalam perspektif perilaku elit lokal dalam Indonesia
Menapak Abad 21. Kajian Ekonomi Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, PT.Dptama, Jakarta.
Kartodihardjo, H. dan H. Jhamtani.,. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia. Equinox, Jakarta.
-
'intong, E. E., 2004. Rest
Wartabone, Sulawe
Pascasarjana, IPB, B
North, D-C-, 1991. Institutic
Economy of Instituti(
Ohorella, A. L.,2003. pa
Otonomi Dae
Ostrom E, Schroeder L,
Development. Westvi,
Parsons, W-, 2005. Public
Terj'emahan. R e n d a 1
Persaki (Persatuan Sarjma J
Rehabilitasi Hutan d,
Presentasi. Persaki, J&
Peters* B- G., 2000. lnstituti
Series, Institute for ~ d
J- C . and N. Peluso., 2~
Shaffer. J.D., 1980. ~d
sy
Framework. h e r i c a n J
Schmid, A-, 1987. Property, po
York.
Sutton, R-9 1999. Policy p,
Institute. p
t
Lintong, E. E., 2004. Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Sulawesi Utara. Thesis S2. Program Studi Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor.
i North, D.C., 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Political
Economy of Institutions and Decisions Cambridge University Press, Cambridge.
1
Ohorella, A. L., 2003. Penguatan Institusi Pengelolaan Hutan Alam Produksi dalam
Rangka Otonorni Daerah. Thesis S2. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Ostrorn E, Schroeder L, Wynne S., 1993. Institutional Incentive and Sustainable
Development. Westview Press, Oxford.
Parsons, W., 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan.
TeGernahan. Prenada Media, Jakarta.
Persaki (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia)., 2006. Kajian Kinerja dan Kebijakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bahan Pernatangan Materi. Powerpoint bahan
presentasi. Persaki, Jakarta.
Peters, B. G., 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. 69 Political Science
Series, Institute for Advance Studies, Vienna.
Ribot, J. C. and N. Peluso., 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): 153-181.
Shaffer. J.D., 1980. Food Sytem Organization and Performance: Toward a Conceptual
Framework. American Journal Agricultural Economic, May 1980; (310-318).
Schmid, A., 1987. Property, Power, and An Inquiry into Law and Economic. Praeger, New
Sutton, R., 1999. Policy Process: An Overview. Working Paper 118. Overseas
Development Institute. Portland House. Stag Place, London.