Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

(1)

Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event

Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru

Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) Strata-1

Jurusan Hubungan Internasional

Oleh:

Hardian Saputra (201010360311078)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2014


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Hardian Saputra

NIM : 201010360311078

Jurusan : Hubungan Internasional

Judul Skripsi : Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Helmia Asyathri, S.IP M. Syaprin Zahidi, MA

Mengetahui,

Dekan FISIP Ketua Jurusan

Universitas Muhammadiyah Malang Hubungan Internasional


(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Hardian Saputra

NIM : 201010360311078

Jurusan : Hubungan Internasional

Judul Skripsi : Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional Dan dinyatakan LULUS Pada hari : Selasa, 28 Oktober 2014 Tempat : Ruang Dosen FISIP Lantai 6 GKB 1

Mengesahkan, Dekan FISIP-UMM

Dr. Asep Nurjaman, M.Si

Dewan Penguji:

1. Peggy Puspa, S.Sos, M.Si ( )

2. Ruli Inayah Romadhoan, S.Sos, M.Si ( )

3. Helmia Asyathri, S.IP ( )


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pemberi petunjuk. Shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan kita, manusia teladan kita, Rasul Muhammad SAW, beserta para sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman.

Alhamdulillahi Rabbil’aalamiin, tiada kata yang dapat penyusun sampaikan kecuali rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT, atas pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

Pada kesempatan kali ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dukungan maupun motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Dengan penuh kerendahan hati penyusun sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Asep Nurjaman, M.Si sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Gonda Yumitro, MA sebagai ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.


(5)

v

3. Ibu Helmia Asyathri, S.IP dan bapak M. Syaprin Zahidi, MA sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membekali penulis untuk melakukan penelitian.

5. Kedua orang tua saya, H. Dharma Setiawan dan almarhumah ibu saya Hj. Nurul Huda, serta kedua kakak saya Eka Listiana dan Dewi Astuti yang telah sabar mendidik, membimbing, memberi motivasi dan dukungan materiil maupun non materiil selama ini yang tidak pernah tergantikan dan dilupakan oleh penulis.

6. Maya Anggita, terimakasih atas perhatian, nasehat, dukungan, kesabaran, dan kasih sayangnya selama ini.

7. Sahabat-sahabat kuliah saya Lalu Wimbarda Puspa Negara, M. Asmayuda, Adellya Juliaga, Ita Kosasih, Zahratul Istiqlal, M. Talabul Amal, Lisma Yanti, Dini Septiana, Abdul Manaf, dll, terima kasih telah sama-sama saling mendukung sepanjang masa perkuliahan ini.

8. Sahabat - sahabat kos Kalimaya 10 Rajindra Wichaksa, Willi Bangun Iswara, M. Setiawan, M. Erwin Hanggara, Fariz Nuary, Chandra Kirana, dll, terima kasih untuk waktu-waktu berharga dan kebersamaannya.

9. Sahabat – sahabat seperantauan dari Banjarmasin M. Iqbal, M. Zainul Fuad, Billy Jkheid, Annisa Karima, Ani Fahriani, Raisa Fadilla, M. Rizky


(6)

Musthafa, M. Farayunanda, Sirajuddin Kahfi, dll, terima kasih telah memberikan suasana “rumah” di tanah perantauan ini.

10.Serta para pihak yang tidak dapat saya sebutkan disini satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahawa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi siapapun yang membacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Malang, 14 November 2014

Hardian Saputra 201010360311078


(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Penelitian Terdahulu ... 8

1.5 Kerangka Teori dan Konsep ... 14

1.3.1 Identitas Nasional... 14

1.3.2 Nasionalisme ... 16

1.3.3 Domestic Public Diplomacy ... 19

1.3.4 Sport Diplomacy ... 21

1.6 Metodologi Penelitian... 23

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian ... 23

1.6.2 Teknik Analisa Data ... 23

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ... 24

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 24

1.7 Argumentasi Dasar ... 25

1.8 Sistematika Penulisan ... 26

BAB II. NASIONALISME JERMAN 2.1Perkembangan Ethno-Centric Nationalism Jerman ... 28


(8)

2.1.2 Jerman Era Otto von Bismarck hingga Perang Dunia I

(1871-1914) ... 31

2.1.3 Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) ... 34

2.1.4 Berdirinya Republik Weimar Pasca Perang Dunia I ... 38

2.1.5 Lahirnya Nazi ... 40

2.1.6 Pecahnya Perang Dunia II (1939-1945) ... 42

2.2Era Perang Dingin (Vacuum Nationalism) ... 45

2.2.1 Pemisahan Wilayah Jerman ... 46

2.2.2 Perkembangan Jerman Barat dan Jerman Timur ... 47

2.3Identifikasi Civic Nationalism di Era Reunifikasi Jerman ... 49

BAB III. NASIONALISME JERMAN 3.1Sejarah Sepakbola Jerman ... 54

3.2 Nasionalisme Jerman Pra-Piala Dunia ... 56

3.3 Pengaruh Pelaksaan Piala Dunia 2006 Terhadap Nasionalisme Jerman ... 60

3.3.1 Piala Dunia 2006 - Summer Fairy Tale (Dongeng Musim Panas) ... 62

3.3.2 Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan Piala Dunia 2006 ... 64

3.3.2.1 Peningkatan Infrastruktur Trasportasi Sesuai Demand Piala Dunia ... 65

3.3.2.2 The National Security Strategy ... 66

3.3.2.3 Pengeluaran Izin Visa ... 69

3.3.2.4 Pengurusan Izin Kerja ... 70

3.3.2.5 Regulasi Jam Kerja ... 71

3.3.2.6 Prosedur Pajak dan Arus Perdagangan ... 71

3.3.2.7 Protokol / Lagu Kebangsaan dan Bendera ... 72

3.4 Performa Tim Nasional Jerman sebagai Unplanned Trigger ... 74

3.4.1 Perubahan Wajah dan Otak Tim Nasional Jerman ... 75

3.4.2 Hasil Akhir dan Efek Penampilan Tim Nasional Jerman di Piala Dunia 2006 ... 76


(9)

ix

BAB IV. PENUTUP

4.1Kesimpulan ... 79 3.2 Diskusi ... 81


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Jan Melissen, 2011, Beyond The New Public Diplomacy, The Hague: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit.

E-book:

Benedict Anderson, 1983, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso.

Gavin Brent Sullivan, 2014, Understanding Collective Pride and Group Identity: New Directions in Emotion Theory, Research and Practice. Routledge. Jeffrey Anderson, Volker Berghahn, Frederick Fullerton, dan Dietrich

Rueschemeyer, 2006, Weimar Germany and the Rise of Hitler, Watson Institute for International Studies, Brown University.

Keith Dinnie, 2008, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, United Kingdom: Elsevier

Laurel M. Burkel, 2006, Cups, Cowbells, Medals, And Flags: Sport And National Identity In Germany, 1936–2006, Naval Postgraduate School, California. Lynn Abrams, 2006, Bismarck and the German Empire (1871–1918), New York:

Routledge.

Jurnal & Artikel:

2002, The History of The World Cup, Goldman Sachs.

2007, The Modern Olympic Games, The Olympic Museum 2nd Edition. Alfio Cerami, 2004, Germany After The Unification: The Exclusive Society?,

Discussion Paper No.: 2004-001SC, Faculty of Economics, Law, and Social Sciences, University of Erfurt.

Anthony King, 2006, Nationalism and Sport, Delanty, G. Dan Kumar, K. (eds.) 'The SAGE Handbook of Nations and Nationalism', Sage.


(11)

xi

Cocomma Bassey, 2012, Understanding Nation Branding: A “New Nationalism” in Germany, Brandeis University.

Contemporary publications from the Berlin Olympiad of 1936, Sport & Society: The Summer Olympics And Paralympics Through The Lens Of Social Science.

Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nation Branding: Conceptual Similarities and Differences, The Hague: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

Jonathan Grix & Donna Lee, 2013, Soft Power, Sports Mega-Events and Emerging States: The Lure of the Politics of Attraction, Global Society, Routledge.

John W. Creswell, 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, California: Sage Publications.

Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany, Department of Political Science, Washington: Washington State University.

Karl Kastelberg, 2005, German Nationalism and Identity During the Age of Unification, History 452: Senior Research Seminar.

Richard Allen, 2010, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion,

Richard Johnston dkk., 2010, National Identity and Support for the Welfare State, Working Paper 2010:11, The Stockholm University: Linnaeus Center for Integration Studies (SULCIS).

Stefan Auer, 1997, Two Types of Nationalism in Europe?, Russian and Euro-Asian Bulletin: Vol.7 No.12 December 1997, Melbourne: the Contemporary Europe Research Centre.

Stefanie Rickert, Tineken Dentler, dan Clarissa Bernkopf, 2011, The Necessity and Reasons for A Social Marketing Campaign Using the Example of “Du bist Deutschland“-“You are Germany“, International Congress on Teaching Cases Related to Public and Nonprofit Marketing, Spanyol: Universidad de Las Palmas de Gran Canaria.

T. Tannsjö dan C. Tamburrini, 2000, Values in Sport: Elitism, Nationalism, Gender Equality and the Scientific Manufacturing of Winners, Florence, AS: Routledge.


(12)

Internet:

http://www.photographersdirect.com/buyers/stockphoto.asp?imageid=809738

diakses pada 30 Agustus 2014, 9:12 WIB.

http://www.photographersdirect.com/buyers/stockphoto.asp?imageid=809790

diakses pada 30 Agustus 2014, 9:28 WIB.

http://remember.org/then-and-now/index.html.

http://www.worldfootball.net/teams/deutschland-team/wm-2006-in-deutschland/2/

diakses pada 2 September 2014, 12:54 WIB. 2004, Klinsmann Targets Glory,

http://news.bbc.co.uk/sport2/hi/football/internationals/3927207.stm

diakses pada 2 September 2014, 12:41 WIB.

2006, Die WM 2006 in Deutschland als Impulsgeber (The 2006 World Cup in Germany as A Driving Force),

http://www.dfb-fussballmuseum.de/fussballmuseum/entstehungsgeschichte diakses pada 30 Agustus 2014, 9:17 WIB

2006, Deutschland: Ein Sommermärchen Germany 2006,

http://www.kinocritics.com/film_review.php?f=371 2006, Germany Is Born: The Miracle of Bern,

http://www.spiegel.de/international/germany-is-born-the-miracle-of-bern-a-420110.html diakses pada 31 Agustus 2014, 15:40 WIB.

2009, Nazy Party, http://www.history.com/topics/world-war-ii/nazi-party diakses pada 21 Mei 2014, 19:19 WIB

2013, Gerhard Schröder,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/528281/Gerhard-Schroder,

diakses pada 8 Mei 2014, 2:43 WIB

Arry Anggadha, 2014, Piala Dunia 1950: Pertama Usai Perang Dunia II,

http://bola.liputan6.com/read/2046834/piala-dunia-1950-pertama-usai-perang-dunia-ii diakses pada 31 Agustus 2014, 15:34 WIB.

Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy,

http://uscpublicdiplomacy.org/index.php/pdin_monitor/article/internation al_sport_as_public_diplomacy/ pada 5 Februari 2014, 8:06 WIB.


(13)

xiii German Chancellors Chronologically,

http://www.behindthename.com/namesakes/list/german-chancellors/chrono diakses pada 17 Mei 2014, 15:10 WIB.

German Confederation,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/230682/German-Confederation diakses pada 15 Mei 2014, 12:07 WIB.

Helmut Kohl, http://www.answers.com/topic/helmut-kohl, diakses 7 Mei 2014, 16:27 WIB

Jonathan Lines, 2012, “The team is the star” – Remembering Germany’s Euro 96 triumph, http://bundesligafanatic.com/the-team-is-the-star-remembering-germanys-euro-96-triumph/ diakses pada 28 Agustus 2014, 19:05 WIB. José Carlos Thomaz, Jr., dan Brian Weigandt, 2011, German Patriotism: A Fresh

Start, http://knowledge.wharton.upenn.edu/article/german-patriotism-a-fresh-start/ diakses pada 25 Agustus 2014, 13:57 WIB.

Luke Harding, 2004, We are the Fools of Europe Say Germans as Völler Quits,

http://www.theguardian.com/football/2004/jun/25/euro2004.sport10

diakses pada 2 September 2014, 12:14 WIB.

Mario Sorgolla, 2014, FIFA World Cup: The Germans Called it Summer Fairy Tale, http://futurechallenges.org/local/fifa-world-cup-the-germans-called-it-summer-fairy-tale/ diaskes pada 1 September 2014, 12:43 WIB.

Michael Duffy, 2009, Kaiser Wilhelm II,

http://www.firstworldwar.com/bio/wilhelmii.htm diakses pada 18 Mei 2014, 7:15 WIB.

Otto von Bismarck (1815-1898),

http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/bismarck_otto_von.shtml

diakses pada 15 Mei 2014, 16:06 WIB.

Robert R. Farrell dan Samuel C. Baxter, 2010, Germany’s Renewed Nationalism,

http://realtruth.org/articles/101203-001-europe.html diakses pada 28 Agustus 2014, 14:45 WIB.

Robert Wilde, World War One: The Major Alliances,

http://europeanhistory.about.com/od/worldwar1/a/World-War-One-The-Major-Alliances.htm diakses pada 18 Mei 2014, 7:32 WIB.


(14)

Sofalounger, 2009, Why Was There A Revolution In France?

http://www.studymode.com/essays/Why-Was-There-a-Revolution-In-230159.html diakses pada 15 Mei 2014, 14:46 WIB.

Stephen Tonge, 2013, Bismarck’s Domestic Polices 1871 -1890,

http://www.historyhome.co.uk/europe/bisdom.htm diakses pada 17 Mei 2014, 11:43 WIB.

Steve Chapman, 2012, A Healthy German Nationalism,

http://www.realclearpolitics.com/articles/2012/07/05/a_healthy_german_ nationalism_114689.html diakses pada 28 Agustus 2014, 18:53 WIB. Stone Unturner, 2012, Hitler Speeches with accurate English subtitles (Youtube

Video Clip), diakses dari

http://www.youtube.com/watch?v=AnpTWKKWQ1o (12/6/2014, 14:27 WIB).

Third Reich: An Overview,

http://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005141 diakses

pada 21 Mei 2014, 11:18 WIB.

Top 10 Most Popular Sports in The World, http://www.sporteology.com/top-10-popular-sports-world/ diakses pada 7 Mei 2014

Uli Hesse, 2014, 2006: When Germany Learned to Love Its National Team – and Each Other, http://www.fourfourtwo.com/features/2006-when-germany-learned-love-its-national-team-and-each-other diakses pada 2 September 2014, 12:38 WIB.

Wilhelm II, http://www.gwpda.org/bio/w/willyii.html diakses pada diakses pada 18 Mei 2014, 7:19 WIB.

World War II,

http://lib.oup.com.au/secondary/history/Big_Ideas_History/10/02_SAL_

BAH10_SB_72346_SPREADS_RGB.pdf Diakses pada 22 Mei 2014,


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Olahraga dan dunia sosial merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Pada dasarnya olahraga adalah salah satu bentuk ritual interaksi sosial, baik dalam skala lokal maupun global. Eksistensi olahraga dalam dunia internasional bisa diikuti sejak olimpiade modern pertama tahun 1896 di kota Athena, Yunani, yang diikuti oleh 245 partisipan dari 14 negara.1 Saat ini, diakui bahwa olahraga terpopuler di dunia adalah sepakbola,2 salah satu tandanya adalah penyelenggaraan event empat tahunan, yakni Piala Dunia, yang dimulai sejak tahun 1930 di Uruguay. Piala Dunia mampu menyedot atensi besar dari masyarakat dunia, dan sampai sekarang tetap diselenggarakan.3

Dewasa ini, entitas negara mulai sadar akan potensi dari kesuksesan tim-tim maupun atlit-atlit mereka yang berlaga di berbagai kompetisi, untuk menunjukkan supremasi atas posisi mereka di atas yang lainnya.4 Dengan bantuan dari media massa, baik jurnalis professional maupun citizen journalists –yang secara konstan mempublikasikan fakta-fakta maupun opini mereka mengenai sepakbola atau olahraga lainnya- ide-ide mengenai budaya dan identitas yang

1

2007, The M odern Olympic Games, The Olym pic M useum 2nd Edit ion, hal. 3.

2

Top 10 M ost Popular Sport s in The World, ht t p:/ / ww w .sport eology.com / t op-10-popular-sport s-w orld/ diakses pada 7 M ei 2014

3

2002, The Hist ory of The World Cup, Goldm an Sachs, hal. 2

4

William J.M organ, 2000, Sport as t he moral discourse of nations, dalam T. Tannsjö dan C.

Tam burrini, 2000, Values in Sport : Elitism, Nat ionalism, Gender Equalit y and the Scientific


(16)

melekat pada para atlit dan tim-tim itupun ikut menyebar, termasuk ekspresi nasionalisme dan karakteristik negara masing-masing.

Lebih lanjut, dalam melihat olahraga, mulai muncul adanya kesadaran politik dari banyak negara, khususnya pada ranah sport mega-event (SME). Negara-negara dengan berbagai warna politik menyadari bahwa olahraga bisa dijadikan alat untuk meningkatkan dan menguatkan image nasionalisme, kredibilitas, kualitas, daya saing ekonomi, dan juga meningkatkan eksistensi mereka di lingkup domestik dan internasional.5 Hal ini terbukti dari banyaknya negara-negara yang mengikuti bidding process untuk menjadi tuan rumah FIFA World Cup atau IOC Olympic Games. Salah satu contoh adalah Inggris yang telah berhasil menjadi tuan rumah Olimpiade 2012, dan kemudian kembali berjuang hingga menghabiskan dana sekitar £17 juta untuk menjadi tuan rumah piala dunia 20186 –walaupun akhirnya Inggris tetap kalah oleh Rusia.

Jerman pernah memanfaatkan sport mega-event (SME) saat menjadi tuan rumah Olimpiade 1936.7 Hitler dengan Nazinya berusaha mempengaruhi opini publik dunia dengan berbagai macam simbolisasi yang dikemas dalam olimpiade tersebut. Olimpiade digunakan untuk mendemonstrasikan kekuatan mereka dan

5

Jonat han Grix & Donna Lee, 2013, Soft Power, Sport s M ega-Event s and Emerging Stat es: The

Lure of the Politics of At t ract ion, Global Society, Routledge, hal. 2.

6

House of Com m ons Cult ure M edia and Sport Com mit t ee, “ 2018 World Cup Bid” , dikutip dari

Jonat han Grix & Donna Lee, ibid.

7

Cont emporary publications from t he Berlin Olympiad of 1936, Sport & Society: The Summ er Olym pics And Paralym pics Through The Lens Of Social Science, hal. 1.


(17)

3

mengambil keuntungan dari kesempatan diplomatik yang datang bersamaan dengan peran mereka sebagai tuan rumah.8

Menarik ketika Jerman untuk kedua kalinya kembali menjadi tuan rumah sebuah sport mega-event (SME), yakni FIFA World Cup 2006.9 Terdapat perbedaan jauh antara Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 dan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Secara historis, Jerman telah melalui masa suram. Kekalahan pada Perang Dunia II membuat Jerman menjadi “harta rampasan” bagi para pemenang perang, yang kemudian membaginya menjadinya Jerman Timur yang sosialis (German Democratic Republic-GDR) dan Jerman Barat yang liberal (Federal Republic of Germany-FRG).10 Hingga pada 3 Oktober 1990, Jerman akhirnya kembali bersatu, ditandai dengan robohnya tembok Berlin sebagai simbol keruntuhan Uni Soviet. Jerman Timur yang kolaps pun bergabung dengan Jerman Barat dan membentuk satu negara, yakni Republik Federal Jerman.11

Sepanjang melalui periode yang berat pasca Perang Dunia II tersebut, secara sadar masyarakat Jerman terpaksa harus menekan rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Hal ini dikarenakan status Jerman sebagai penjahat Perang Dunia dan pelaku Holocaust. Cara berpikir ini tetap tertanam bahkan setelah setengah abad sejak perang tersebut berakhir. Hal ini diperparah dengan proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur yang tidak mudah,

8

Cot t rell, M . P., & Travis Nelson, 2011, Not Just the Games? Pow er, Prot est and Polit ics at the

Olympics, dikut ip dalam Grace Hochst at t er, 2013, The Olympics and Soft Power Diplomacy: Brit ish

9

Piala Dunia 1974 m em ang diadakan di Jerm an Barat . Nam un, pada saat it u Jerm an m asih t erbelah dua, dan bukan sebagai sebuah negara ut uh.

10

Cocom m a Bassey, 2012, Underst anding Nat ion Branding: A “ New Nat ionalism” in Germany,

Brandeis Universit y, hal. 27

11


(18)

karena kompleksnya permasalahan khususnya dari bidang ekonomi dan sosial. Integrasi penuh dengan Eropa yang diharuskan pihak Sekutu, dengan alasan untuk meredam kemungkinan kebangkitan Jerman pasca Perang Dunia II juga sangat berpengaruh. Selain itu, keterbukaan Jerman terhadap imigran –khususnya imigran dari Turki- selama masa Perang Dingin turut menambah rumitnya fase konsolidasi Republik Federal ini pasca reunifikasi.

Fenomena ini bertahan bahkan bertahun-tahun setelah reunifikasi 1990 terjadi. Salah satu tandanya adalah masih hangatnya konsep die Deutsche Frage

(the German Question-Pertanyaan Jerman) untuk diangkat dalam pembahasan politik Jerman.12 die Deutsche Frage berisi berbagai macam pertanyaan yang menjadi umum dalam masyarakat, yang berhulu pada kebingungan dan dilema pada identitas nasional serta nasionalisme Jerman. Bisa dikatakan, masyarakat Jerman masih mengalami sindrom Mauer im Kopf (Wall in the Head-Tembok di Kepala).13

Meskipun demikian, bukan berarti Jerman sama sekali tidak memiliki modalitas apapun yang bisa dijadikan dasar identitas dan kebanggaan nasional. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan ekonomi dan industri dapat dikatakan menjadi satu-satunya hal yang bisa dibanggakan warga Jerman.14 Peranan Jerman dalam Uni Eropa juga bisa dijadikan sumber kebanggaan.15 Namun, masyarakat

12

Alfio Ceram i, 2004, Germany Aft er The Unificat ion: The Exclusive Societ y?, Discussion Paper

No.: 2004-001SC, Facult y of Econom ics, Law , and Social Sciences, Universit y of Erfurt. Hal: 2.

13

Julie R. Berlin, 2003, The Cont inuing Suppression of Nat ionalism in the Federal Republic of

Germany, Depart ment of Polit ical Science, Washingt on: St ate Universit y of Washingt on. Hal: 15.

14

Op.Cit. Hal: 3.

15


(19)

5

Jerman, khususnya generasi muda, masih memiliki keinginan untuk membangun kembali kebanggaan nasional yang mampu melampaui batasan politik dan ekonomi.16 Diharapkan ada pembentukan dan definisi ulang, sehingga mampu membedakan nasionalisme modern Jerman dengan nasionalisme warisan Nazi pada masa lalu.17

Berbagai upaya telah dilakukan, baik dari pemerintah, masyarakat, atau bahkan sinergi dari keduanya. Seluruh pemimpin Jerman pasca reunifikasi memberikan pengaruh yang besar terhadap proses tersebut. Dimulai dari Kanselir Helmut Kohl yang sangat berjasa atas pendekatannya pada Jerman Timur dan peran vitalnya pada reunifikasi Jerman.18 Kemudian Kanselir Gerhard Schröder yang menelurkan hukum kewarganegaraan yang lebih liberal dan inklusif.19 Hingga Kanselir Angela Merkel yang menemukan euforia nasionalisme Jerman secara massal terjadi untuk pertama kalinya, pada saat perhelatan Piala Dunia 2006 di Jerman.

Kolaborasi pemerintah dan berbagai elemen masyarakat muncul dalam berbagai upaya membangun nasionalisme baru Jerman. Berbagai survey dan kampanye pun dilakukan, seperti survey dari jaringan televisi Jerman, ZDF, dengan Public Relation Agency Wolff Olins yang ditujukan untuk mengetahui

16

Ibid. Hal: 21

17

Ibid.

18

Helmut Kohl, ht t p:/ / w w w.answ ers.com / t opic/ helm ut-kohl, diakses 7 M ei 2014, 16:27 WIB

19

2013, Gerhard Schröder, ht t p:/ / w ww .brit annica.com / EBchecked/ t opic/ 528281/ Gerhard-Schroder, diakses pada 8 M ei 2014, 2:43 WIB


(20)

persepsi dunia internasional secara umum mengenai Jerman.20 Dilanjutkan dengan survey lanjutan yang dikenal dengan ‘Perspektive Deutschland’ (German Perspective)21, kampanye ‘Du bist Deutschland’ (You are Jerman)22, hingga kampanye ‘Deutschland Land der Ideen’ (Germany - Land of ideas)23.

Jika sifat-sifat dasar dari olahraga, khususnya karakteristik istimewa dari sepakbola, dihubungkan dengan berbagai upaya pembentukan nasionalisme baru, tentu titik temu akan didapatkan. Event olahraga berskala internasional selalu menjadi trigger yang kuat untuk membangkitkan nasionalisme negara. Sejak reunifikasi 1990, diadakan beberapa sport-mega event dimana Jerman ikut berpatisipasi, baik sebagai peserta atau sebagai tuan rumah. Momen menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006 pun merupakan kesempatan emas bagi Jerman dalam rangka membangun nasionalisme baru tersebut. Maka, dengan latar belakang ini, penulis mengangkat judul “Diplomasi Sport Mega-Event Dalam Rangka Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan penulis angkat adalah “Bagaimana pengaruh penyelengaraan Piala Dunia 2006 terhadap upaya Jerman membangun nasionalisme baru?”

20

Jaffe, E.D. & Nebenzahl, I.D., 2001, Nat ional Image & Compet itive Advantage: The Theory and

Pract ice of Count ry-of-Origin Effect, dikut ip dalam Keit h Dinnie, 2008, Nat ion Branding: Concept s, Issues, Pract ice, United Kingdom : Elsevier, hal. 24.

21

Wolff Olins, 2005, Branding Germany, dikutip dalam Keith Dinnie, Ibid. Hal: 156.

22

Ibid

23


(21)

7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana usaha Jerman untuk memaksimalkan

diplomasi publik melalui kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-event (SME) pada perhelatan Piala Dunia 2006.

2. Mengetahui pengaruh posisi Jerman sebagai tuan rumah sport mega-event (SME) terhadap pembangunan nasionalismenya.

1.3.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih terhadap studi mengenai upaya negara untuk memaksimalkan soft power yang dimiliki untuk berbagai kepentingan nasionalnya –termasuk didalamnya membentuk/memperkuat nasionalisme- dengan berbagai cara, dimana dalam penelitian ini dikhususkan pada pemaksimalan kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-event (SME).

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dharapkan dapat dijadikan suatu rujukan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang pelaksanaan diplomasi publik untuk membangun citra negara pada umumnya, serta nasionalisme Jerman pada khususnya.


(22)

1.4 Penelitian Terdahulu

Sebagai fondasi dari penelitian ini, penulis telah melakukan eksplorasi berbagai macam tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan topik utama, yakni pemanfaatan menjadi tuan rumah sports mega-events sebagai wahana untuk menunjukkan soft power negara guna membangun nasionalisme baru. Terdapat tiga tulisan yang penulis tautkan dalam penelitian ini. Pertama adalah tesis dari Julie R. Berlin yang berjudul The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany.24 Tesis ini berusaha mengangkat isu nasionalisme di Jerman, yang pada masa-masa awal reunifikasi hingga awal 2000an menjadi isu yang sangat sensitif di Jerman. Poin inti yang ingin dikemukakan oleh Julie adalah mengapa, dan bagaimana, proses supresi nasionalisme masyarakat Jerman terjadi. Demi mendapat gambaran yang utuh tentang bentuk nasionalisme Jerman, tesis ini menelisik jauh hingga unifikasi pertama Jerman dibawah Otto van Bismark pada akhir 1800an. Julie kemudian merunutkan kronologis kejadian-kejadian yang ada, hingga pada akhirnya memunculkan motivasi Jerman melalui Hitler dan Nazinya sebagai pelaku utama Perang Dunia I dan II.

Pasca Perang Dunia II, didasari ketakutan akan kebangkitan Jerman dan munculnya harapan untuk membalaskan dendam atas kekalahan mereka dalam perang, masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya merasa bahwa pendudukan “semi-kolonialisme” dan pembelahan Jerman oleh Amerika dan Uni Soviet sudah menjadi keputusan yang tepat. Namun di sisi yang lain, imbas jangka panjang dari

24

Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nat ionalism in the Federal Republic of


(23)

9

bentuk “hukuman” ini adalah tertanamnya mindset anti-nasionalisme warga Jerman atas negaranya sendiri. Nasionalisme telah menjadi konotasi yang negatif bagi masyarakat Jerman. Hal ini diperparah dengan pembelahan masyarakat yang disertai doktrinasi ideologi –baik liberal di Jerman Barat maupun sosialis-komunis di Jerman Timur. Dari sinilah sumber utama dan garis start awal terbendungnya nasionalisme dan kebanggaan bangsa dari masyarakat Jerman terhadap negaranya.

Pasca reunifikasi 1990, tugas menyatukan dua masyarakat Jerman yang “sudah berbeda” dan pencarian identitas nasional yang baru dimulai. Walaupun masalah yang ada sedikit lebih kompleks, tapi pada dasarnya penderitaan utama warga Jerman dalam konteks ini adalah lekatnya sindrom Mauer im Kopf (Wall in The Head-Tembok di dalam Kepala). Memang secara fisik Jerman sudah tidak terpisah, akan tetapi masyarakat masih terpecah antara rasa persatuan dan keterasingan. Dalam konteks nasionalisme, kebanggaan masyarakat Jerman hanya mampu muncul dalam aspek stabilitas ekonomi dan peran Jerman dalam Uni Eropa.

Tesis ini menemukan bahwa disamping usaha yang keras untuk membuktikan pada Eropa dan dunia bahwa perilaku Jerman di masa lampau tidak akan terulang lagi, ada keinginan lain, khususnya dari generasi muda Jerman, untuk membangun kebangaan nasional mereka melampaui aspek ekonomi dan politik. Mereka berharap membangun nasionalisme yang didasarkan pada pemerintahan berasas demokrasi, reunifikasi yang damai, dan usaha integrasi dengan Eropa yang berkelanjutan. Definisi inilah yang akan membedakan nasionalisme era Nazi dengan nasionalisme baru Jerman.


(24)

Tulisan kedua adalah disertasi dari Richard Allen yang berjudul

Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion.25 Tulisan ini menjelaskan secara gamblang dan mendalam adanya pergeseran bentuk nasionalisme yang memang dengan sengaja diusahakan pemerintah Jerman pasca reunifikasi tahun 1990. Pergeseran tersebut adalah dari nasionalisme etno-sentris (yang diterapkan Jerman ketika terakhir kali bersatu pada era Nazi) menjadi civic-cultural nationalism. Dalam konteks tulisan ini, keterkaitan perubahan nasionalisme dengan penerimaan atau penolakan individu/kelompok non-Jerman secara etnis dan kultural menjadi sorotan utama.

Disertasi ini diawali dengan penjabaran konsepsi nasionalisme, yang secara umum mengalami dikotomi menjadi ethno-centric nationalism dan civic nationalism. Kemudian dilanjutkan dengan menerangkan posisi nasionalisme etno-sentris pada Jerman kontemporer, dimana dijelaskan bahwa keaktifan nasionalisme yang berbasis etnisitas ini di Jerman pasca reunifikasi dimotori oleh gerakan ultra nasionalis yang disebut theNew Right. Gerakan ini sempat mendapat dukungan masyarakat, namun berangsur-angsur kehilangan relevansinya dikarenakan usaha pemerintah yang secara kontinu membangun nasionalisme berbasis kewarganegaraan dan kultural sebagai pengikat warga Jerman. Setelah itu, Allen juga menyoroti aplikasi civic-cultural nationalism yang menjadi kebijakan pemerintah Jerman ini terhadap kelompok etnis minoritas terbesar di Jerman, yakin warga keturunan Turki. Hasilnya, masyarakat Turki masih merasa dikucilkan dan melihat adanya eksklusifitas pada warga asli Jerman. Akan tetapi,

25


(25)

11

hal itu bukan dikarenakan adanya kebijakan yang bernuansa xenophobic dari pemerintah, akan tetapi hanya dikarenakan benturan kebudayaan yang sangat berbeda antara keduanya. Sehingga, warga Turki generasi pertama dan kedua yang masih sangat konservatif kurang bisa berasimilasi dengan kebudayaan Jerman yang terbuka. Namun, diperkirakan dalam tulisan ini bahwa dalam jangka waktu yang panjang, akan terjadi asimilasi yang baik antar seluruh kelompok etnis minoritas yang ada di Jerman dengan budaya bangsa Jerman.

Tulisan terakhir adalah penelitian dari Anthony King yang berjudul

Nationalism and Sport.26 Penelitian ini berfokus pada peranan olahraga –dalam konteks ini, sepakbola, khususnya pada perhelatan Piala Eropa 2004 di Portugal- dalam membantu proses pembentukan kembali identitas nasional Britania Raya. Anthony berusaha untuk menjelaskan bagaimana nasionalisme dan kebanggaan terhadap negara bisa terbentuk, dan juga bertransformasi, dimana ia menempatkan olahraga sebagai salah satu medium yang tepat untuk proses tersebut. Anthony menggunakan konsep imagined communities milik Benedict Anderson, yang menjelaskan bahwa anggota masyarakat suatu negara perlu mengenali ikatan yang spesial dan eksklusif yang dimiliki satu sama lain. Dalam rangka mengenali ikatan tersebut, diperlukan adanya ‘ritual’ interaksi antar sesama masyarakat negara – seperti membaca koran yang sama di pagi hari atau menonton siaran televisi yang sama- yang akan memunculkan kesepahaman dan terbentuknya kepentingan bersama, yang akan menyatukan sesama warga negara. Anthony mencoba untuk

26

Ant hony King, 2006, Nat ionalism and Sport, dalam Delant y, G. Dan Kum ar, K. (eds.) 'The SAGE


(26)

mengelaborasikan poin dalam konsep tersebut dengan olahraga, dan menerapkannya pada kasus identitas nasional Inggris pada periode awal milenium.

Hasil dari penelitian Anthony menunjukkan bahwa nasionalisme Britania Raya memang telah mengalami pengerucutan. Perubahan ini lebih dikarenakan pengaruh kuat dari tekanan globalisasi ekonomi. Globalisasi menimbulkan pembangunan yang tidak merata dalam masyarakat, berimbas pada peningkatan kesenjangan kekayaan ekonomi dan kepentingan antar daerah. Hal ini memicu adanya keinginan untuk memperjuangkan independensi daerah demi kesejahteraan rakyat, sehingga memunculkan the English, the Scotland, dan the Wales. Transformasi ini bisa dilacak jejak keberadaannya melalui berbagai interaksi sosial, dan olahraga terbukti menjadi salah satu bentuk interaksi sosial yang paling efektif. Hal ini dikarenakan di dalam olahraga, individu-individu membuat dan mempertahankan simbol-simbol kelompok sosial dimana masing-masing dari mereka adalah bagian dari kelompok tersebut. Konsekuensinya, garis-garis pembeda antar kelompok dalam masyarakat nasional semakin jelas terlihat. Inilah yang terjadi dengan Britania Raya, dimana dalam dunia sepakbola bukan Union Jack (bendera Britania Raya) yang berkibar, tetapi St. Andrew’s Cross (bendera Skotlandia), St. Patrick’s Cross (bendera Irlandia), dan St. George’s Cross (bendera Inggris) lah yang berkibar. Selain mendemosntrasikan pentingnya bangsa sebagai dasar solidaritas dan mobilisasi sosial, dunia olahraga –pada umumnya- dan sepakbola Eropa –pada khususnya- telah menunjukkan adanya perubahan yang cukup radikal dari bangsa sebagai sebuah masyarakat.


(27)

13

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No Judul dan Nama Peneliti Jenis Penelitian

dan Alat Analisa Hasil

1 The Continuing Suppression of

Nationalism in the Federal Republic of Germany

Oleh: Julie R. Berlin

Eksplanatif Kualitatif Pendekatan:

National Pride, Nasionalisme, Analisa Historis

- Sejarah Jerman dalam Perang Dunia dan hukuman yang diterima sepanjang era Perang Dingin telah memaksa

masyarakat Jerman menekan rasa nasionalisme mereka.

- Pasca reunifikasi, ada keinginan –dari masyarakat maupun pemerintah Jerman- untuk membangun sebuah identitas dan nasionalisme yang baru. Akan tetapi, banyak tantangan yang akan dihadapi dalam proses ini. 2 Nationalism and

Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion

Oleh: Richard Allen

Eksplanatif Kualitatif Pendekatan: Nasionalisme Etno-Sentris, Civic Nationalism

Pasca reunifikasi, pemerintah Jerman berusaha untuk merubah bentuk nasionalisme negaranya, dari yang sebelumnya etno-sentris (pada era Nazi) menjadi lebih berbasis kultural dan bersifat kewarganegaraan ( civic-cultural nationalism).

3 Nationalism and Sport

Oleh: Anthony King

Eksplanatif Kualitatif Pendekatan:

Imagined Community

Nasionalisme Britania Raya bertransformasi menjadi lebih lokal dengan munculnya

nasionalisme Inggris, Skotlandia, Irlandia, dan Wales. Olahraga – Piala Eropa 2004 pada

khususnya- menjadi medium yang sangat efektif untuk memperkuat jalannya proses transformasi tersebut. 4 Diplomasi Publik Sport

Mega-Event Dalam Rangka Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Oleh: Hardian Saputra

Deskriptif Kualitatif Pendekatan: Identitas Nasional, Nasionalisme, Domestic Public Diplomacy, Diplomasi Olahraga

- Jerman berupaya untuk mendiplomasikan proyek pembangunan civic-cultural nationalism sebagai bentuk nasionalisme baru Jerman. - Menjadi host Piala Dunia 2006 merupakan kesempatan emas bagi Jerman untuk

mempublikasikan identitas dan nasionalisme baru yang telah berusaha dibangun.


(28)

1.5 Kerangka Teori dan Konsep

1.5.1 Identitas Nasional

Pandangan terkemuka dalam konsep ini bisa diambil dari pendapat David Miller, yang menyatakan bahwa identitas nasional sangat fundamental dalam mempertahankan keberadaan welfare state (negara kesejahteraan –negara yang menjamin kesejahteraan masyarakatnya) yang sehat dan independen.27 Menurut Miller, identitas nasional memainkan dua peranan penting; pertama, menciptakan perasaan simpati antar sesama warga negara, yang mampu memunculkan motivasi awal untuk saling membantu satu sama lain; dan yang kedua, menciptakan rasa

saling percaya sebagai prasyarat bagi siapapun untuk melakukan tindakan berdasar pada rasa simpatinya.28

Miller kemudian juga mengatakan, bahwa untuk menjamin adanya kerjasama secara voluntir antar sesama warga negara,

Each person must be confident that the others will generally comply–and this involves mutual trust… ties of community are an important source of such trust between individuals who are not personally known to each other.

Bisa dipahami dari pernyataan tersebut bahwa sebagai seorang manusia, setiap warga negara memerlukan suasana yang kondusif baginya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang bersifat voluntir kepada sesama warga negara yang

27

Richard Johnst on dkk., 2010, Nat ional Ident it y and Support for the Welfare Stat e, Working

Paper 2010:11, The St ockholm Universit y: Linnaeus Cent er for Int egrat ion St udies (SULCIS). Hal: 5

28


(29)

15

lain, dan suasana tersebut bisa tercipta dengan hadirnya rasa saling percaya satu sama lain dengan adanya kesamaan identitas. Lebih lanjut, menurutnya, identitas nasional adalah landasan yang essensial untuk membangun rasa percaya ini di dalam masyarakat negara modern, ia mengatakan “in states lacking a common national identity… trust may exist within the groups, but not across them.”29 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa identitas nasional adalah tali utama yang bisa digunakan untuk mengencangkan integrasi sosial pada masyarakat di dalam sebuah negara.

Kondisi Jerman yang secara terang-terangan memunculkan diskursus the German Question –yang mempertanyakan identitas bangsa yang dimiliki/tidak dimiliki oleh Jerman- dengan jelas menggambarkan bahwa negara ini mengalami masalah dengan identitas bangsanya. Walaupun secara kasat mata negara ini terlihat sangat stabil, khususnya dalam aspek ekonomi dan politik, itu semua hanya mampu memunculkan integrasi sistem, tidak sampai pada level integrasi moral. Hal ini disadari oleh pemerintah Jerman sebagai suatu hal yang berpotensi menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Sehingga, muncul kesadaran dari pemerintah Jerman untuk mengusahakan memunculkan identitas Jerman dengan bentuk nasionalisme yang baru.

29


(30)

1.5.2 Nasionalisme

Nasionalisme merupakan salah satu konsep yang masih dalam perdebatan. Salah satu pendapat yang paling populer, namun tetap menuai kritik, adalah dari Ernest Gellner. Menurut Gellner, nasionalisme muncul sebagai respon atas tumbuhnya dunia industri di dunia barat, dimana para pelaku industri menginginkan adanya jaminan kestabilan, alur birokrasi yang jelas, serta distribusi kekuasaan yang tertata.30 Selama munculnya peradaban manusia, terdapat banyak bentuk nasionalisme yang diaplikasikan di berbagai belahan dunia. Namun, jika digeneralisasi, terdapat dua bentuk nasionalisme yang paling dominan, yakni nasionalisme etnosentris dan nasionalisme berbasis kewarganegaraan. Nasionalisme etnosentris adalah nasionalisme yang bersifat ekslusif, dikarenakan indikator penentu nasionalisme seorang individu adalah melalui kesamaan kelahiran, darah, dan etnisitas.31 Sedangkan nasionalisme kewarganegaraan atau

civic-nasionalism didasari oleh pemikiran liberal dan demokratis, dimana untuk menentukan kewarganegaraan dan nasionalisme, seorang individu harus dengan sadar dan sukarela mengasosiasikan dirinya dengan values (nilai-nilai) yang terbangun dalam negara tersebut, baik itu dalam ranah politik, ideologi, hukum, kewajiban dan hak, keadaan sosial, budaya, dll.32

Walaupun masih terdapat perdebatan mengenai batasan-batasan dalam konseptualisasi nasionalisme, secara umum terdapat sebuah poin yang diterima

30

St efan Auer, 1997, Tw o Types of Nat ionalism in Europe?, Russian and Euro-Asian Bulletin: Vol.7

No.12 Decem ber 1997, M elbourne: t he Cont em porary Europe Research Centre. Hal: 1-2.

31

Ibid. Hal: 3.

32


(31)

17

sebagai salah satu elemen terpenting, yakni kebanggaan nasional (national pride). Kebanggaan inilah yang kemudian diderivasikan ke berbagai bentuk ekspresi dan perilaku, dari para elit negara hingga masyarakat bawah, yang dikenal sebagai patriotisme.

Jika membicarakan nasionalisme dan Jerman, tentu perhatian besar akan tertuju pada Nazi dan etnosentris-chauvinis-fasis-nasionalisme yang diaplikasikan pada Jerman. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam perkembangan Jerman dalam konteks kebangsaan dan nasionalisme. Jerman pernah silih-berganti merasakan kedua bentuk nasionalisme yang sudah dijelaskan di atas. Semenjak awal berdirinya di tahun 1871, identitas bangsa yang dibangun sebagai fondasi nasionalisme rakyat adalah nasionalisme berbasis etnisitas. Dipengaruhi oleh berbagai faktor, nasionalisme ini justru mencapai level ekstremnya ketika rezim Hitler dan Nazi menguasai Jerman dan Perang Dunia II berlangsung.

Kemudian, salah satu fenomena yang menjadikan Jerman sebagai contoh kasus negara yang unik dalam konteks nasionalisme, adalah masyarakat Jerman pernah merasakan tidak memiliki kebanggaan atas negaranya sendiri, atau bisa dikatakan Jerman mengalami fase vacuum-nationalism. Hal ini terjadi pasca Perang Dunia II berakhir. Padahal, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kebanggaan merupakan modalitas utama nasionalisme suatau negara. Keadaan ini tetap berlangsung sampai dengan reunifikasi 1990 terjadi, hingga kesadaran untuk membangun sebuah identitas bangsa yang baru sebagai fondasi nasionalisme Jerman kontemporer pun muncul.


(32)

Dalam rangka membantu peneliti dalam menganalisa proses pembangunan

civic nationalism di Jerman, sedikit bagian dari teori imagined communities karya Benedict Anderson akan digunakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anderson, negara adalah “...an imagined political community – and imagined as both inherently limited and sovereign.”33 Maka, imajinasi menjadi vital dikarenakan setiap anggota warga negara, bahkan negara sekecil apapun, tidak akan pernah mampu mengetahui dan mengenal seluruh teman anggota warga negara yang lain, namun mereka akan tetap hidup dengan mengasosiasikan diri dalam sebuah image

persatuan bangsa.34

Proses asosiasi ini terdapat dalam ritual interaksi yang terjadi setiap hari tanpa disadari, yakni melalui berbagai sumber informasi yang sama yang diserap oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam waktu yang sama dan berisikan berita yang sama.35 Contoh dari sumber informasi ini adalah koran, berita TV, buku, atau media-media online. Ritual-ritual interaksi adalah basis dari imagined communities.36 Meskipun terlihat sepele, pertemuan ‘semu’ yang dilakukan setiap hari ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan dan pemeliharaan masyarakat suatu bangsa. Eksistensi suatu bangsa akan tetap terjaga sepanjang jaringan-jaringan dan ritual interaksi ini terjaga. Anggota masyarakat harus secara berkelanjutan –meskipun tidak dalam durasi yang lama- mengingat hubungan spesial yang dimiliki satu sama lain.

33

Benedict Anderson, 1983, Imagined Communities: Reflections on t he Origin and Spread of

Nat ionalism, London: Verso. Hal: 6.

34

Ibid.

35

Ant hony King, 2006, Nat ionalism and Sport, dalam Delant y, G. Dan Kum ar, K. (eds.) 'The SAGE

Handbook of Nations and Nationalism ', Sage. Hal: 5.

36


(33)

19

Dalam konteks penelitian ini, bentuk ritual yang akan menjadi titik fokus adalah perhelatan event-event olahraga yang terjadi di Jerman atau mengikutsertakan perwakilan resmi dari Jerman. Dalam event olahraga berskala besar, akan selalu diiringi dengan ekspos media massa yang besar pula. Hal ini akan memicu terjadinya ritual interaksi secara sangat masif dan efektif. Sehingga, event-event olahraga ini mampu menjadi penghantar pesan nasionalisme yang baik, dan berkontribusi atas pembuatan serta penguatan nasionalisme bangsa.

1.5.3 Domestic Public Diplomacy

Penulis akan menentukan terlebih dahulu posisi penelitian ini dalam ranah diplomasi. Dalam penelitian ini, sudut pandang diplomasi yang diambil adalah dari diplomasi publik baru. Melampaui konsep dasar dari diplomasi tradisional, diplomasi publik baru, atau the new public diplomacy telah menjadi sebuah standar penerapan diplomasi, dan prakteknya sudah melebihi bentuk propaganda – yang masih sering dikaitkan dengan diplomasi publik.37

Untuk memahami pergeseran dari ‘lama’ ke ‘baru’, pemahaman dasar akan diplomasi publik sendiri mutlak diperlukan. Menurut Paul Sharp, diplomasi publik adalah proses dimana terdapat usaha untuk membangun hubungan-hubungan langsung dengan masyarakat di dalam sebuah negara, dengan tujuan untuk

37

Kelom pok t radisionalis melihat diplom asi publik sebagai bent uk m odern dari ‘w hit e

propaganda’, yakni propaganda yang m engakui sum bernya, dan m enem pat kan tidak hanya

publik luar negeri t api juga mem asukan konstit uen dalam negeri. Jan M elissen, 2011, Beyond The

New Public Diplomacy, The Hague: Net herlands Inst it ute of Int ernational Relat ions ‘Clingendael’. Hal: 7.


(34)

meningkatkan pencapaian kepentingan-kepentingan dan memperluas jangkauan nilai-nilai yang direpresentasikan.38 Setelah memahami definisi tersebut, karakter ‘lama’ dan ‘baru’ dari diplomasi publik sangat terlihat pada objek dan metodenya. Diplomasi publik pada awalnya murni menempatkan masyarakat luar negeri sebagai objek aktivitas mereka, dan menempatkan garis batas yang jelas untuk tidak sedikitpun menyentuh masyarakat dalam negeri.39 Selain itu, diplomasi publik konvensional selalu menggunakan metode interaksi one way (G-to-P).40

Dua hal inilah yang saat ini sudah tidak mampu mengakomodir perubahan lingkungan diplomasi yang sangat drastis terbawa arus globalisasi. Menyadari kekurangan ini, diplomasi publik baru menawarkan alternatif yang berlawanan dengan dua karakter tersebut, yakni dengan menerapkan komunikasi dua arah, serta merangkul masyarakat domestik. Ranah domestik menjadi penting untuk dirangkul, dikarenakan interkoneksi yang sudah terbangun antara masyarakat dalam negeri dengan masyarakat luar negeri, dimana media telekomunikasi dan informasi online yang sangat berkembang, mobilisasi masyarakat dunia, diaspora, dan para ekspatriat berperan sangat besar.41 Dengan adanya interkoneksi tersebut, para diplomat dan aparatur resmi negara di luar negeri tidak lagi menjadi satu-satunya wajah dominan yang merepresentasikan negaranya.

Kemudian, disadari bahwa menyiapkan keseragaman dan kesamaan visi dengan pihak-pihak non-negara menjadi sebuah keharusan, baik dalam pembuatan

38

Ibid.

39

Ibid. Hal: 11-12.

40

Ibid. Hal: 12.

41


(35)

21

kebijakan luar negeri, arah politik luar negeri, perumusan kepentingan nasional, hingga yang paling mendasar, yakni membangun sebuah identitas bangsa yang utuh dan kuat.42 Konsep ini kemudian disepakati oleh para akademisi sebagai

domestic public diplomacy.

Dalam konteks Jerman kontemporer, menerapkan konsep ini sangat relevan. Diplomasi publik Jerman berusaha untuk menjelaskan dan mendiskusikan kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negerinya, dalam rangka untuk memperkuat posisi negara di dua dimensi tersebut.43 Terlebih dengan adanya latar belakang krisis identitas nasional yang dialami oleh masyarakat Jerman, maka pemerintah perlu bertindak aktif untuk merumuskan dan kemudian mensosialisasikan identitas bangsa tersebut kepada warganya sendiri.

1.5.4 Sport Diplomacy

Setelah memahami sudut pandang tersebut, penulis akan menjabarkan penggunaan diplomasi olahraga dalam penelitian ini. Diplomasi olahraga bisa digolongkan ke dalam diplomasi publik. Barry Sanders dalam Sport as Public Diplomacy melihatbahwa olahraga adalah media kuat dan besar untuk penyebaran informasi, reputasi, dan hubungan internasional, yang mana merupakan inti dari diplomasi publik. Besaran dari audiens global dan tingkat ketertarikan mereka pada olahraga melebihi subjek lainnya, termasuk masalah politik. Sifat olahraga

42

Ibid.

43

Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nat ion Branding: Conceptual Similarit ies and


(36)

yang selalu mencari keunggulan dalam kompetisi mampu membawa value-nya sendiri. Olahraga juga menjadi kendaraan untuk menyebarkan pesan. Suatu strategi diplomasi publik yang terencana dapat mengapitalkan kesempatan yang diberikan oleh olahraga.44

Murray melihat bahwa diplomasi olahraga sendiri melibatkan aktivitas representatif dan diplomatis yang dilakukan oleh aktor-aktor olahraga (misalnya pemain, pengurus organisasi atau asosiasi oelahraga, atau penyelenggara acara olahraga, hingga penonton dan penikmat olahraga sendiri) sebagai perwakilan atau sesuai dengan pembuat kebijakan. Praktik ini difasilitasi oleh diplomasi tradisional dan menggunakan orang-orang dalam olahraga dan acara olahraga untuk membentuk dan menginformasikan suatu citra yang dapat diterima baik oleh masyarakat dan dunia internasional, untuk membentuk persepsi yang kondusif dalam mendukung kepentingan nasional dari pemerintah terkait.45

Jerman melakukan diplomasi olahraga, dengan metode yang sama, namun menurunkan target akhir hanya pada level domestik masyarakatnya. Dengan tujuan untuk menyosialisasikan identitas bangsa yang sudah berusaha dibangun seefektif mungkin, olahraga, dan dalam konteks penelitian ini adalah Piala Dunia 2006, menjadi alat diplomasi publik domestik yang paling potensial untuk dimanfaatkan.

44

Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy,

ht t p:/ / uscpublicdiplom acy.org/ index.php/ pdin_m onit or/ article/ int ernat ional_sport _as_public_di plom acy/ pada 5 Februari 2014, 8:06 WIB.

45

St uart M urray, 2011, Sport s Diplomacy: A Hybrid of Tw o Halves, dikut ip dalam Raisa

M ut hm aina, 2012, Penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2010 Sebagai Diplom asi Dalam


(37)

23 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian

Penulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, dimana penulis menjadi instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisis data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa yang diteliti.46 Dengan menggunakan metode kualitatif, maka penulisan dapat dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan laporan penelitian.47

1.6.2 Teknik Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu: (1) Pemeriksaan, dilakukan untuk memeriksa apakah data-data yang diperlukan sudah lengkap dan benar; (2) Pengolahan, dilakukan dengan memilah-milah data yang akan digunakan sesuai dengan kategorinya masing-masing; (3) Analisa dan Interpretasi, data-data yang telah dipilah dalam pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh peneliti.

Untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan maka data-data yang terkumpul, dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan dan menggambarkan segala informasi mengenai Piala Dunia 2006 yang berperan

46

John W. Cresw ell, 1994, Research Design: Qualit at ive and Quant itat ive Approach, California:

Sage Publications. Hal: 145.

47


(38)

sebagai media dalam diplomasi publik Jerman dan memperbaiki nasionalisme serta citra Jerman di mata dunia internasional.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka, yaitu mencari data mengenai penelitian ini melalui berbagai media cetak yakni buku, jurnal, catatan, website, dan lain sebagainya, yang telah diolah oleh orang lain atau lembaga yang berupa data sekunder.48

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam sebuah penelitian, harus ditentukan ruang lingkupnya, agar pembahasan masalah bisa berkembang ke arah yang tepat sesuai sasaran. Ruang lingkup itu sendiri terdiri dari batasan materi dan batasan waktu. Batasan materi menunjukkan ruang sebuah peristiwa yakni cakupan kawasan dan gejala atau daerah studi, sedangkan batasan waktu adalah rentang waktu (durasi) terjadinya suatu peristiwa atau objek yang dianalisa.

Dalam penelitian ini, batasan materinya adalah ulasan mengenai bagaimana upaya-upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 sebagai momentum membangun nasionalisme barunya. Sedangkan untuk batasan waktunya, penulis akan memberikan batasan waktu pada tahun 2006, tepatnya sebelum, saat berlangsung, dan sesudah penyelenggaraan Piala Dunia 2006. Ini dilakukan dengan dasar bahwa pada tahun 2006 Jerman melakukan peningkatan upaya-upaya diplomasi publik sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Selain itu,

48


(39)

25

penulis juga mengupas masalah-masalah yang bersifat tinjauan historis untuk membantu dan melengkapi rangkaian analisa dinamika nasionalisme serta pembentukan nasionalisme baru Jerman.

1.7 Argumentasi Dasar

Rasa nasionalisme masyarakat Jerman mengalami fase negatif semenjak berakhirnya Perang Dunia II hingga pasca reunifikasi tahun 1990. Hal ini disebabkan faktor internal (persepsi Jerman sebagai penjahat Perang Dunia dan pelaku kejahatan kemanusiaan Holocaust) serta faktor eksternal (pemisahan Jerman oleh Blok Barat dan Blok Timur). Hilangnya identitas bangsa dan rasa kebangsaan ini berpengaruh pada rendahnya integritas masyarakat, yang walaupun stabil secara ekonomi dan politik namun menyimpan resiko konflik horizontal. Pemerintah Federal Jerman pasca reunifikasi menyadari akan adanya fenomena ini dan menempatkan persoalan nasionalisma Jerman sebagai kepentingan nasional.

Pemerintah Jerman berusaha membangun nasionalisme baru, yang berbentuk civic nationalism, sebagai upaya memenuhi kepentingan tersebut. Bentuk nasionalisme baru ini kemudian berusaha untuk dikembangkan dan dipublikasikan kepada seluruh publik Jerman. Salah satu caranya adalah melalui

sport mega-event, dimana terdapat perwakilan Jerman yang berpatisipasi, baik sebagai peserta ataupun sebagai tuan rumah. Piala Dunia 2006 pun menjadi momentum yang dimaksimalkan oleh Pemerintah Federal Jerman untuk membantu proses nation-building tersebut.


(40)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang disertai rumusah masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan literatur berupa penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, serta metode penelitian.

BAB II akan menjabarkan karakteristik nasionalisme dan identitas nasional yang dimiliki Jerman, serta proses pembentukan nasionalisme baru yang dialaminya. Dengan menonjolkan beberapa momen penting dari sisi historis Jerman, bab ini akan menjelaskan faktor-faktor penting proses pembentukan tersebut nasionalisme tersebut.

BAB III akan berisi penjelasan projek-projek pembentukan nasionalisme baru Jerman menggunakan diplomasi olahraga pada perhelatan Piala Dunia 2006.

BAB IV merupakan bab kesimpulan dari penulisan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya.


(1)

21

kebijakan luar negeri, arah politik luar negeri, perumusan kepentingan nasional, hingga yang paling mendasar, yakni membangun sebuah identitas bangsa yang utuh dan kuat.42 Konsep ini kemudian disepakati oleh para akademisi sebagai

domestic public diplomacy.

Dalam konteks Jerman kontemporer, menerapkan konsep ini sangat relevan. Diplomasi publik Jerman berusaha untuk menjelaskan dan mendiskusikan kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negerinya, dalam rangka untuk memperkuat posisi negara di dua dimensi tersebut.43 Terlebih dengan adanya latar belakang krisis identitas nasional yang dialami oleh masyarakat Jerman, maka pemerintah perlu bertindak aktif untuk merumuskan dan kemudian mensosialisasikan identitas bangsa tersebut kepada warganya sendiri.

1.5.4 Sport Diplomacy

Setelah memahami sudut pandang tersebut, penulis akan menjabarkan penggunaan diplomasi olahraga dalam penelitian ini. Diplomasi olahraga bisa digolongkan ke dalam diplomasi publik. Barry Sanders dalam Sport as Public

Diplomacy melihatbahwa olahraga adalah media kuat dan besar untuk penyebaran

informasi, reputasi, dan hubungan internasional, yang mana merupakan inti dari diplomasi publik. Besaran dari audiens global dan tingkat ketertarikan mereka pada olahraga melebihi subjek lainnya, termasuk masalah politik. Sifat olahraga

42

Ibid.

43

Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nat ion Branding: Conceptual Similarit ies and Differences, The Hague: Net herlands Instit ut e of International Relations ‘Clingendael’. Hal: 9.


(2)

22

yang selalu mencari keunggulan dalam kompetisi mampu membawa value-nya sendiri. Olahraga juga menjadi kendaraan untuk menyebarkan pesan. Suatu strategi diplomasi publik yang terencana dapat mengapitalkan kesempatan yang diberikan oleh olahraga.44

Murray melihat bahwa diplomasi olahraga sendiri melibatkan aktivitas representatif dan diplomatis yang dilakukan oleh aktor-aktor olahraga (misalnya pemain, pengurus organisasi atau asosiasi oelahraga, atau penyelenggara acara olahraga, hingga penonton dan penikmat olahraga sendiri) sebagai perwakilan atau sesuai dengan pembuat kebijakan. Praktik ini difasilitasi oleh diplomasi tradisional dan menggunakan orang-orang dalam olahraga dan acara olahraga untuk membentuk dan menginformasikan suatu citra yang dapat diterima baik oleh masyarakat dan dunia internasional, untuk membentuk persepsi yang kondusif dalam mendukung kepentingan nasional dari pemerintah terkait.45

Jerman melakukan diplomasi olahraga, dengan metode yang sama, namun menurunkan target akhir hanya pada level domestik masyarakatnya. Dengan tujuan untuk menyosialisasikan identitas bangsa yang sudah berusaha dibangun seefektif mungkin, olahraga, dan dalam konteks penelitian ini adalah Piala Dunia 2006, menjadi alat diplomasi publik domestik yang paling potensial untuk dimanfaatkan.

44

Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy,

ht t p:/ / uscpublicdiplom acy.org/ index.php/ pdin_m onit or/ article/ int ernat ional_sport _as_public_di plom acy/ pada 5 Februari 2014, 8:06 WIB.

45

St uart M urray, 2011, Sport s Diplomacy: A Hybrid of Tw o Halves, dikut ip dalam Raisa M ut hm aina, 2012, Penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2010 Sebagai Diplom asi Dalam M em perluas M arket ing Pow er Afrika Selat an, Depok: Universit as Indonesia, hal. 20.


(3)

23 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian

Penulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, dimana penulis menjadi instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisis data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa yang diteliti.46 Dengan menggunakan metode kualitatif, maka penulisan dapat dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan laporan penelitian.47

1.6.2 Teknik Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu: (1) Pemeriksaan, dilakukan untuk memeriksa apakah data-data yang diperlukan sudah lengkap dan benar; (2) Pengolahan, dilakukan dengan memilah-milah data yang akan digunakan sesuai dengan kategorinya masing-masing; (3) Analisa dan Interpretasi, data-data yang telah dipilah dalam pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh peneliti.

Untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan maka data-data yang terkumpul, dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan dan menggambarkan segala informasi mengenai Piala Dunia 2006 yang berperan

46

John W. Cresw ell, 1994, Research Design: Qualit at ive and Quant itat ive Approach, California: Sage Publications. Hal: 145.

47


(4)

24

sebagai media dalam diplomasi publik Jerman dan memperbaiki nasionalisme serta citra Jerman di mata dunia internasional.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka, yaitu mencari data mengenai penelitian ini melalui berbagai media cetak yakni buku, jurnal, catatan, website, dan lain sebagainya, yang telah diolah oleh orang lain atau lembaga yang berupa data sekunder.48

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam sebuah penelitian, harus ditentukan ruang lingkupnya, agar pembahasan masalah bisa berkembang ke arah yang tepat sesuai sasaran. Ruang lingkup itu sendiri terdiri dari batasan materi dan batasan waktu. Batasan materi menunjukkan ruang sebuah peristiwa yakni cakupan kawasan dan gejala atau daerah studi, sedangkan batasan waktu adalah rentang waktu (durasi) terjadinya suatu peristiwa atau objek yang dianalisa.

Dalam penelitian ini, batasan materinya adalah ulasan mengenai bagaimana upaya-upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 sebagai momentum membangun nasionalisme barunya. Sedangkan untuk batasan waktunya, penulis akan memberikan batasan waktu pada tahun 2006, tepatnya sebelum, saat berlangsung, dan sesudah penyelenggaraan Piala Dunia 2006. Ini dilakukan dengan dasar bahwa pada tahun 2006 Jerman melakukan peningkatan upaya-upaya diplomasi publik sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Selain itu,

48


(5)

25

penulis juga mengupas masalah-masalah yang bersifat tinjauan historis untuk membantu dan melengkapi rangkaian analisa dinamika nasionalisme serta pembentukan nasionalisme baru Jerman.

1.7 Argumentasi Dasar

Rasa nasionalisme masyarakat Jerman mengalami fase negatif semenjak berakhirnya Perang Dunia II hingga pasca reunifikasi tahun 1990. Hal ini disebabkan faktor internal (persepsi Jerman sebagai penjahat Perang Dunia dan pelaku kejahatan kemanusiaan Holocaust) serta faktor eksternal (pemisahan Jerman oleh Blok Barat dan Blok Timur). Hilangnya identitas bangsa dan rasa kebangsaan ini berpengaruh pada rendahnya integritas masyarakat, yang walaupun stabil secara ekonomi dan politik namun menyimpan resiko konflik horizontal. Pemerintah Federal Jerman pasca reunifikasi menyadari akan adanya fenomena ini dan menempatkan persoalan nasionalisma Jerman sebagai kepentingan nasional.

Pemerintah Jerman berusaha membangun nasionalisme baru, yang berbentuk civic nationalism, sebagai upaya memenuhi kepentingan tersebut. Bentuk nasionalisme baru ini kemudian berusaha untuk dikembangkan dan dipublikasikan kepada seluruh publik Jerman. Salah satu caranya adalah melalui

sport mega-event, dimana terdapat perwakilan Jerman yang berpatisipasi, baik

sebagai peserta ataupun sebagai tuan rumah. Piala Dunia 2006 pun menjadi momentum yang dimaksimalkan oleh Pemerintah Federal Jerman untuk membantu proses nation-building tersebut.


(6)

26 1.8 Sistematika Penulisan

BAB I merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang disertai rumusah masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan literatur berupa penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, serta metode penelitian.

BAB II akan menjabarkan karakteristik nasionalisme dan identitas nasional yang dimiliki Jerman, serta proses pembentukan nasionalisme baru yang dialaminya. Dengan menonjolkan beberapa momen penting dari sisi historis Jerman, bab ini akan menjelaskan faktor-faktor penting proses pembentukan tersebut nasionalisme tersebut.

BAB III akan berisi penjelasan projek-projek pembentukan nasionalisme baru Jerman menggunakan diplomasi olahraga pada perhelatan Piala Dunia 2006.

BAB IV merupakan bab kesimpulan dari penulisan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya.