mengenai Faktor yang menjadi Kesulitan dalam Proses Pembuktian terhadap Kealpaan yang Menyebabkan Matinya
Orang Lain di Pengadilan Negeri Surakarta.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang Kesimpulan yang diperoleh dari hasil Penelitian dan Saran-saran dari penulis mengenai Pelaksanaan
Pembuktian terhadap Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian
a Pengertian Pembuktian
Ketentuan tentang pembuktian diatur didalam Kitap Undang- Undang Hukum Acara Pidana, tetapi didalam Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian sehingga pengertian mengenai pembuktian diberikan oleh
para ahli. Menurut M Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan- ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti
yang dibenarkan
Undang-Undang yang
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakanM Yahya
Harahap,2000:273. Bambang Poernomo memberikan pengertian mengenai hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau
peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masalalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang
berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.Bambang Poernomo,1986:36. Pembuktian menurut Darwan Prinst adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah
yang bersalah
melakukannya sehingga
harus mempertanggung jawabkannyaDarwan Prinst,1998:133
b Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Suatu pembuktian yang betul-betul sesuai dengan kebenaran tidak mungkin dicapai, hukum pidana sebetulnya hanya menunjukan jalan
untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran Bambang Poernomo, 1986:40.
Terdapat beberapa teori sistem pembuktian, yaitu : 1. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata
Conviction in Time Menurut teori ini untuk menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim artinya jika dalam pertimbangan keputusan, hakim telah menganggap
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan
putusanBambang Poernomo,1986:41. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan oleh hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim dan hakim langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Kelemahan dari sistem ini adalah hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup,
sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti
dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini keyakinan hakim yang dominan
atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa, seolah- olah menyerahkan sepenuhnya nasip terdakwa kepada keyakinan
hakim semata-mataM Yahya Harahap,2000:277 2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis.
Conviction Raisonee
Dalam sistem Conviction Raisonee ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-
alasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan- alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwaM
Yahya Harahap,2000:277. Jadi keyakinan hakim harus dilandasi alasan-alasan dan alasan-alasan tersebut harus alasan yang dapat
diterima. Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti.
3. Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif. Positief Wettelijk Bewijstheori
Pembuktian menurut
Undang-Undang secara
positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim. Pembuktian menurut Undang- Undang secara positif artinya jika dalam pertimbangan keputusan
hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat- alat bukti yang disebutkan dalam Undang-Undang tanpa diperlukan
keyakinan hakim
dapat menjatuhkan
putusan Bambang
Poernomo,1986:40. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa, sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang- Umdang. Untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata
digantungkan pada alat-alat bukti yang sah, asal sudah dipenuhi syarat- syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini hakim seolah-olah robot pelaksana
Undang-Undang yang tidak memiliki hati nurani, hati nurani tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem
pembuktian ini mempunyai tujuan untuk berusaha menyingkirkan
segala pertimbangan hakim yang bersifat subyektif. Kebaikan dalam sistem ini adalah sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang, dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh
faktor keyakinan, tapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian obyektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang, tidak perlu lagi menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninyaM Yahya Harahap,2000:278. Selain
itu sistem pembuktian ini mempunyai keuntungan untuk mempercepat penyelesaian perkara dan bagi perkara pidana yang ringan dapat
memudahkan hakim mengambil keputusan karena resiko kekeliruan kemungkinannnya kecil sekali.
4. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat- alat bukti dalam Undang-Undang secara negatif. Negatief Wettelijk
Bewijstheori Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem
pembuktian ini menggabungkan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem Undang-Undang secara positif, dari
penggabungan ini terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yang rumusannya berbunyi salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-UndangM Yahya Harahap,2000:278-279. Cara menilai atau menggunakan alat bukti tersebutpun telah diatur Undang-Undang.
Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran” alat-alat bukti atau atas kejadian. Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut Undang-Undang secara negatif terdapat dua komponen:
- Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang
- Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-UndangM Yahya
Harahap,2000:279. Unsur-unsur diatas tidak ada yang paling dominan, jika salah
satu dari kedua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.
Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu dalam KUHAP adalah teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara
negatif, hal ini termuat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus: - Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah - Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannyaM Yahya Harahap,2000:280. Dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara
sistem conviction in time dengan sistem pembuktian menurut Undang- Undang secara positif.
c Macam-macam alat bukti dan kekuatan pembuktiannya.
Alat-alat bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan adalah alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal
184 ayat 1 KUHAP antara lain : 1. Keterangan Saksi
Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai mengenai suatu suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami
sendiri dengan
menyebut alasan
dari pengetahuannya itu”
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas: - Saksi A Charge Memberatkan Terdakwa
Saksi A Dharge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya
yang memberatkan terdakwa. - Saksi A De Charge Menguntungkan Terdakwa
Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang
sifatnya meringankan terdakwaDarwan Prinst,1998:139 Keterangan saksi sebagai alat bukti tercantum dalam Pasal
185 ayat 1 KUHAP yaitu : ” apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji Diatur dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP yaitu :
“sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing,
bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”
2. Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai
alat bukti, keterangan saksi yang mempunyai nilai adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27
KUHAP : -Yang saksi lihat sendiri
- Saksi dengar sendiri - Saksi alami sendiri
- Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi de auditu yaitu keterangan yang
didengar dari orang lain, bukanlah alat bukti sah karena keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak
menjamin kebenarannya, hal ini tercantum dalam Pasal 185 ayat 5 KUHAP. Namun kesaksian de auditu perlu didengar oleh hakim
walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian , tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat
bukti yang lainAndi Hamzah,2000:261 3. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus dinyatakan disidang pengadilan. Jadi
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan disidang pengadilan.
Keterangan saksi yang dinyatakan diluar sidang pengadilan bukanlah suatu alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwaM Yahya Harahap,2000:287-288 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Dalam Pasal 185 ayat 2 dinyatakan : “ keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”
ini berarti jika alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain atau kesaksian tunggal tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Apabila keterangan saksi yang dihadirkan dalam
persidangan saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain, yang dapat mewujudkan suatu
kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu, maka hal itu sangat tidak berguna dan merupakan pemborosan waktuM Yahya
Haraha,2000:286-289. Pasal 185 ayat 6 KUHAP memberikan pedoman kepada
hakim untuk menilai keterangan saksi yang berbunyi “Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a.
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu d.
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya”
Keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian - Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna dan tidak memiliki
kekuatan pembuktian yang menentukan. - Nilai pembuktiannya bergantung pada penilaian hakim
Hakim bebas menilai kesempurnaan dan kebenaran dari keterangan saksi, tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
kebenaran setiap keterangan saksi, hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat
menerima atau menyingkirkannyaM Yahya Harahap,2000:294-295 2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli menurut Pasal 1 ayat 28 adalah “keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”
dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa keterangan ahli ialah
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan”.
Keterangan ahli yang sah dapat dilakukan melalui dua prosedur yaitu diminta pada taraf pemeriksaan penyidikan dan
keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang. Keterangan ahli yang diminta pada taraf pemeriksaan penyidikan biasanya berbentuk
laporan berupa surat keterangan atau biasa disebut Visum et repertum, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, sekaligus
menyentuh dua sisi alat bukti yang sah. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan tetap dinilai sebagai alat bukti
keterangan ahli, pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat, alasannya dalam
Pasal 187 huruf c menentukan salah satu diantara alat bukti surat yakni “ Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya”
Pada dasarnya keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan adalah sama dengan surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai hal keadan yang dimintakan kepadanya. Sehingga terserah kepada hakim untuk
mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan. Hal ini tidak akan menimbulkan akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian
karena kedua alat bukti itu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang serupa yaitu bersifat kekuatan pembuktian yang
bebas. Keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, disamping
orangnya memiliki keahlian khusus dalam bidangnya, juga keterangan yang diberikan berbentuk keterangan menurut pengetahuannya, kalau
keterangan yang diberikan berbentuk pendengaran, penglihatan atau pengalamannya sehubungan dengan peristiwa pidana yang terjadi,
keterangan seperti ini meskipun diberikan oleh para ahli, tidak bernilai sebagai bukti keterangan ahli.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, didalamnya tidak melekat nilai
pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran
keterangan ahli dimaksudM Yahya Harahap,2000:304 Selain itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa, harus disertai dengan alat bukti yang lain.
3. Surat Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP
yang berbunyi “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat 1 huruf c dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah: a.
berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”. Berdasarkan ketentuan Pasal 187 diatas, surat yang dapat
dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ialah: - Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.
- Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat,
dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
- Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut
pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti sempurna, sebab bentuk surat-surat yang disebutkan didalamnya dibuat secara resmi
menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan,
oleh karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna.
- Ditinjau dari segi meteriil Dilihat dari sudut meteriil, alat bukti surat yang disebutkan
dalam Pasal 187 bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat, nilai pembuktian bersifat bebas, hakim bebas untuk menilai kekuatan
pembuktiannyaM Yahya Harahap,2000:309-310 4. Petunjuk
Alat bukti petunjuk dirumuskan dalam Pasal 188 KUHAP yang isinya:
“1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari:
a Keterangan Saksi b Surat
c Keterangan Terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya”.
Dari Pasal 188 ayat 2 menyatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Keterangan saksi yang dimaksud adalah keterangan dari saksi yang memberikan keterangan tanpa disumpah. Demikian halnya dengan
surat, surat yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP berbeda dengan surat yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang
dimaksud adalah surat-surat yang bukan akta autentik atau yang disebut dengan surat bawah tangan. Keterangan terdakwa yang
dianggap sebagai petunjuk bukan sebagai keterangan terdakwa yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 e, yang dimaksud dalam hal ini
adalah yang berkenaan dengan tanggapan terdakwa atas keterangan- keterangan saksi yang tidak disumpah atau keterangan terdakwa
mengenai surat-surat dibawah tanganLaden Marpaung,1992:40. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti
yang lain belum dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Alat bukti petunjuk baru mungkin dicari dan ditemukan jika
telah ada alat bukti yang lain , sebab petunjuk sebagai alat bukti bentuknya adalah asessoir tergantung pada alat bukti keterangan
saksi, surat dan keterangn terdakwa sebagai sumber yang melahirkannyaM Yahya Harahap,2000:316-317
Kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang sah lainnya, kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Menurut Pasal 188
ayat 3 KUHAP, yang memberikan penilaian terhadap kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk adalah hakim.
5. Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP yang
berbunyi : “1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan
disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri
2. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat dipergunakan
untuk membantu
menemukan bukti
disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yakni:
- apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan
- dan apa yang dinyatakan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa
lakukan atau yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang
diperiksa. Dalam mencari alat bukti keterangan terdakwa harus benar-
benar tuntas artinya tidak cukup umpamanya pengakuan atas perbuatan yang didakwakan melainkan segala keterangan mengenai perbuatan
yang dilakukannya
dan cara-cara
melakukannyaLaden Marpaung,1992:42
Kekuatan pembuktian dari keterangan terdakwa adalah bebas sehingga tidak mengikat bagi hakim. Keterangan terdakwa tidak
berdiri sendiri, ia harus diperkuat dengan alat bukti yang sah lainnya, sehingga meskipun terdakwa mengakui kesalahan, masih diperlukan
minimal satu alat bukti lagi, untuk mencapai minimum pembuktian. Setelah adanya minimum dua alat bukti yang sah, masih diperlukan
lagi keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terbukti dan terbukti pula bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
tersebut.
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang lain