Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia

60

I. Gambaran Umum Pluralisme Agama di Indonesia

Pluralitas keagamaan adalah sebuah realita dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai dimensinya. Secara umum, hal ini tampak pada adanya keberagaman agama di Indonesia, bahkan termasuk keberagaman paham atau ajaran secara intern dalam umat beragama itu sendiri. Kemajemukan memang sebuah realita kehidupan, namun seringkali pula realita tersebut membawa suatu masalah tersendiri dalam kehidupan, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Indonesia mungkin sebuah negara yang unik, karena di dalamnya berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama Hindu sebagai agama yang pertama kali datang ke Indonesia datang dengan memperkenalkan kehidupan pemerintahan melalui sistem kerajaan yang melampaui batas-batas lokal kesukuan. Agama Budha, sebagai agama berikutnya yang datang, membawa pola yang hampir sama dengan agama Hindu. Selain itu, agama Budha juga meninggalkan berbagai warisan monumental diantaranya adalah Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Agama Islam yang datang dan berkembang dengan pola dari bawah. Dalam artian, agama Islam berangkat dari tradisi kemasyarakatan yang ada sehingga penyebaran agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang membuat agama Islam di kemudian hari mengalami perkembangan yang pesat yang pada akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia. Agama terakhir yang berkembang di Indonesia adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama Kristen yang dibawa oleh para zending yang umumnya berasal dari Eropa, datang bersamaan dengan datangnya para kolonial. Hal inilah yang membuat adanya paradigma dalam masyarakat pada umumnya bahwa agama Kristen adalah “agama kaum penjajah”. Selain lima agama tersebut, sebenarnya masyarakat Indonesia pada umumnya juga mempunyai agamanya sendiri agama suku atau agama tradisional 1 . Seperti di Sumba ada kepercayaan Marapu, di Batak ada kepercayaan Parmalim, di Jawa ada Kejawen, dan lain sebagainya. Secara empiris memang tidak dapat disangkal, bahwa masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat dunia, sangat plural. Pluralitas yang dialami sebagai kenyataan seringkali mengakibatkan gesekan-gesekan konflik dalam hal bermasyarakat dan hidup bersama, yang kadang kala berujung pada pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, ternyata agama dapat menjadi salah satu sumber atau pemicu permusuhanpertikaian konflik. Mengapa agama 1 Pada umumnya, agama tradisional atau agama suku lebih dikenal dengan istilah “kepercayaan”. 61 yang mencita-citakan kebaikan bagi umat manusia malah bisa menjadi pemicu atau bahkan sumber konflik? Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ternyata ada kalanya konflik yang terjadi mengatasnamakan agama sebagai penyebab utamanya. Padahal, jika ditelusuri secara objektif maka bukanlah agama penyebab konflik tersebut. Misalnya saja GAM Gerakan Aceh Merdeka, di mana paradigma masyarakat umum konflik yang terjadi adalah karena rakyat Aceh memperjuangkan syariat Islam dan Negara Islam. Jika menelusuri sejarah konflik GAM terjadi, maka sumber konflik bukanlah masalah agama. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik tersebut ternyata lahir karena adanya diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, pemerkosaan hukum Islam, dan lain-lain. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh umat agama lain. Konflik yang terjadi bukan karena sentimen terhadap agama lain, walaupun mereka sendiri mencita-citakan Negara Islam. Konflik juga bukan karena pertentangan etnis, tetapi masih berada dalam tingkat konflik vertikal berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat. 2 Contoh lain adalah konflik AmbonMaluku, di mana konflik yang terjadi juga mengatasnamakan agama sebagai penyebab konflik. Arrifin Assegaf mengungkapkan bahwa konflik saling membunuh secara biadab yang terjadi di Ambon dan Maluku sama sekali bukan konflik agama, melainkan karena adanya rasa „super‟ dibanding yang lain – di mana rasa ini muncul karena adanya pengaruh kolonialisme di masa lalu. Diskriminasi yang terjadi akhirnya membawa agama ke ranah konflik. 3 Dewasa ini, selain menjadi “kambing hitam” atas konflik yang terjadi, agama juga bisa menjadi penyebab konflik itu sendiri. Hal ini seringkali dikarenakan adanya perbedaan pandangan teologis, rasa curiga satu terhadap yang lain, penafsiran ajaran secara eksklusif, dan lain-lain. Misalnya saja kasus penutupan Gereja oleh umat agama lain di beberapa tempat, karena adanya praktik-praktik yang dicurigai sebagai kristenisasi. Pembangunan tempat ibadah yang dipermasalahkan, karena dikhawatirkan mengganggu dan membawa pengaruh negatif bagi masyarakat di luar agama tersebut. Diakonia-diakonia gereja kepada masyarakat umum yang seringkali dipermasalahkan, karena diisukan sebagai praktik kristenisasi. Konflik antar agama juga bisa diakibatkan oleh perbedaan ideologi dalam agama-agama itu sendiri. Hal ini terjadi 2 Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman; dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia Yogyakarta: Interfidei. 2001. Hlm. 27-28 3 Arrifin Assegaf, Memahami Sumber Konflik Antar Iman. Hlm. 28-34 62 tatkala masing-masing agama mengklaim bahwa dirinyalah atau ajarannya yang paling benar. 4 Dengan demikian, tampak bahwa fakta keberagaman agama di Indonesia ternyata rentan terhadap adanya konflik. Baik konflik karena adanya manipulasi atau provokasi dari pihak-pihak tetentu, maupun konflik yang terjadi karena perbedaan ideologi agama satu dengan yang lainya. Ibarat mata uang koin yang punya dua sisi, begitupun juga dengan keberagaman agama. Di satu sisi memang dapat membawa konflik dalam kehidupan bersama. Namun, di sisi lain keberagaman agama di Indonesia merupakan suatu fakta yang berpotensial demi pembangunan iman masing-masing agamakepercayaan. Hal itu tercapai bilamana masing-masing agama mau menerima dan membuka diri terhadap fakta keberagaman tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk saling belajar dari satu sama lain demi pembangunan iman yang diyakininya sendiri berikutnya praksisnya dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran bahwa secara empiris kekristenan tidak berdiri sendiri, melainkan berada di tengah-tengah keberagaman agama membuat beberapa kalangan termasuk para teolog membuka diri dan berupaya merumuskan kembali iman Kristen yang selama ini dipegangnya. Iman terhadap Yesus Kristus kini mulai ditelaah kembali demi menghadirkan Yesus Kristus dalam dunia yang penuh dengan konteks, khususnya keberagaman agama. Hal ini dikarenakan pemahaman dan iman akan diri Yesus ternyata seringkali membuat adanya masalah antara umat Kristen dengan umat agama lain. Oleh karena itu, agaknya umat Kristen perlu merumuskan ulang misi dan paham mengenai Yesus agar pemberitaan mengenai Yesus Kristus tidak menambah daftar konflik antar agama, namun turut memberikan pengaruh yang positif dalam perdamaian antar umat beragama. Dalam misinya untuk memberitakan Injil, khususnya memberitakan Yesus Kristus, rasul Paulus tentunya mempunyai pola-pola pemberitaannya sendiri. Apakah pola rasul Paulus dalam memberitakan Yesus Kristus tersebut, seperti dalam teks II Korintus 5:18-21, relevan bagi pemberitaan Yesus Kristus dalam konteks keberagaman agama di Indonesia? 4 Bandingkan dengan Widi Artanto yang berpendapat bahwa agama menjadi sebuah bencana dalam kehidupan plurali tatkala agama tersebut memutlakkan klaim kebenarannya, paling benar dan satu-satunya. Lihat Widi Artanto, Tantangan Kehidupan Masyarakat Plural, dalam Wahju Satrio W. ed. Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya dan Relevansinya dalam Kehidupan Masyarakat Plural Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2005. Hlm. 123-124 63

II. II Korintus 5: 18-21 sebagai Dasar Memberitakan Yesus Kristus