Kepemilikan Senjata Nuklir sebagai Bagian dari Aksi Strategis

B.2 Posisi NWS di dalam Domain of Gain

  Suatu aktor strategis ketika telah memiliki framing terhadap suatu isu, besar kemungkinan ia juga telah memiliki atau membangun imagination capitalnya yakni gambaran mengenai apa yang akan ia lakukan dan dapatkan di masa depan. Bagaimana suatu aktor strategis memandang suatu isu dan kepercayaannya akan bayangan di masa depan berpengaruh terhadap reference point atau nilai yang mereka percaya telah mereka miliki pada saat itu. Di dalam teori prospek, bagaimana suatu aktor memandang reference point mereka akan sangat berpengaruh pada tindakan dan pilihan yang akan diambilnya di masa depan. Berbicara mengenai nilai yang menjadi dasar reference point, hal ini berkaitan erat dengan untung dan rugi.

  Sementara itu para aktor strategis cenderung memiliki penilaian yang berbeda akan suatu keuntungan dan kerugian. Hal ini berarti, meski aktor satu dan lainnya sama-sama mengalami untung atau rugi dalam jumlah yang sama namun mereka merasakan dan mengartikannya dengan cara yang berbeda. Ketika telah memahami dengan seksama bagaimana reference point yang ia miliki, hal tersebut menjadi bahan pertimbangan akan outcome di masa depan ketika aktor tersebut mengambil suatu keputusan. Reference point berupa penilaian akan keadaan untung maupun rugi yang sedang mereka hadapi saat ini akan berpengaruh pada penilaian terhadap outcome yang akan ia dapatkan berupa suatu keuntungan atau kerugian.

  Atas pengertian dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu aktor cenderung mengambil keputusan atas dasar untung-rugi—rational choice. Namun konsep mengenai teori prospek

  yang ditawarkan oleh Kahneman dan Tversky 34 tidak semudah menilai bahwa aktor akan selalu mengambil keputusan yang membawanya kepada keuntungan lebih. Rational choice

  yang diambil oleh suatu aktor strategis didasarkan pada reference point aktor tersebut pada saat itu, apakah ia berada di dalam domain of gain atau domain of loss. Asumsi dasar yang dijelaskan oleh dua tokoh tersebut yang melakukan pendekatan psikologis dalam menilai bagaimana suatu aktor bertindak adalah bahwa aktor yang berada di dalam domain of loss akan cenderung lebih berani untuk mengambil risiko. Dalam konteks ini mengambil risiko berarti menggunakan kesempatan yang mereka miliki untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau banyak, meski tidak dapat dipastikan bahwa mereka akan benar-benar mendapatkan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hal ini mereka lakukan karena di dalam

  34 D. Kahneman A. Tversky, ‘Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk,’ Econometrica, no. 47, vol. 2, 1979, p. 287.

  pertimbangannya, mereka memiliki imagination capital bahwa mereka berkesempatan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari apa yang mereka miliki sekarang yang dikonsiderasikan sebagai suatu kerugian. Sebaliknya, aktor yang berada di dalam domain of gain akan lebih memilih untuk sebisa mungkin menghindari risiko. Mereka telah memiliki nilai yang mereka anggap merupakan suatu keuntungan yang sudah cukup bagi mereka, sehingga dalam mengambil keputusan akan lebih mempertimbangkan apakah langkah yang akan mereka ambil memiliki potensi yang memungkinkan mereka kehilangan keuntungan yang telah dimiliki saat ini.

  Posisi NWS di dalam perdebatan mengenai kepemilikan senjata nuklir ini adalah berada pada domain of gain. Senjata nuklir yang mereka miliki menempatkan mereka pada posisi reference point yang menguntungkan saat ini. Keberadaan senjata nuklir, sebagaimana yang telah disebutkan berulang kali pada pembahasan sebelumnya, menurut mereka mampu menjaga kestabilan hubungan antarnegara di dalam dunia internasional. Kestabilan yang tercipta merupakan hasil dari kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir sebagai senjata strategis. Keberadaannya mampu membatasi negara-negara, terutama NWS, yang sedang berkonflik untuk melakukan penyerangan langsung kepada satu dan yang lain. Suatu riset menemukan bahwa military budget negara NWS dapat dikurangi karena

  keberadaan kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir, 35 sehingga negara lebih dapat menahan keinginan untuk berperang menggunakan senjata ketika suatu konflik muncul.

  Selain itu, berkaitan dengan masalah keamanan, bagaimana negara-negara mengalami security dilemma yang mendorong mereka untuk melakukan persaingan dalam kepemilikan alutsista juga lebih dapat dikontrol dengan keberadaan senjata nuklir. NWS dpt mengurangi pengeluaran uang negara mereka untuk memperbarui persenjataan konvensional mereka dan dapat menanggulangi rasa insecurity yang mereka miliki ketika telah memiliki senjata nuklir dengan second-strike capability untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan yang diluncurkan oleh pihak lawan. Meski tidak setiap saat terdapat pihak yang ingin melawan atau menyerang suatu negara, namun di dalam sistem internasional yang anarkis dan penuh dengan ketidakpastian ini bersiap diri merupakan suatu hal yang penting, sedangkan kemampuan untuk membalas serangan (second-strike capability) juga tidak kalah pentingnya. Bukan sekedar digunakan untuk benar-benar membalas serangan, tetapi juga untuk

  35 S. Ülgen , ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’ Bulletin of the Atomic Scientist (daring), 25 Agustus 2014, < http:thebulletin.orgzero-correct-goalcase-against-total-nuclear-disarmament >, diakses pada

  13 Desember 2016.

  ditunjukkan kepada pihak luar bahwa negara tersebut memiliki kemampuan membalas serangan yang lebih kuat, maka jika ada pihak yang berani melawannya, ia harus memperhitungkan dan menanggung sendiri risikonya—hal ini yang juga disebut dengan deterrence.

  Segala kemampuan yang dimiliki oleh negara pemilik senjata nuklir tersebut tentu memberikan banyak keuntungan terutama di bidang keamanan negara tersebut. Selain itu, berbagai keuntungan tersebut juga mampu menempatkan mereka sebagai negara yang kuat secara persenjataan di dunia internasional. Sebagian besar NWS yang memiliki kemampuan militer yang kuat tersebut membuat mereka menjadi negara nuclear power yang mampu membawa mereka pada posisi khusus di dunia internasional. Dalam sistem internasional, terutama dalam perundingan terkait dengan isu keamanan, tentu NWS memiliki status dan posisi yang berbeda dibanding dengan negara lainnya. Misalnya dalam setiap perundingan NPT, penyebutan NWS dan NNWS merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa status mereka berbeda. Status dan posisi mereka lebih tinggi juga ditunjukkan di dalam pilar- pilar NPT yang telah disepakati, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa NWS bertanggung jawab atas penggunaan senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga melindungi negara anggota lainnya. Keuntungan akan power dan status tersebut membuat mereka cenderung ingin untuk selalu mempertahankan posisi mereka. Sebagaimana mereka mengkonstruksikan suatu konsep extended-deterrence di dalam NPT yang menempatkan NWS memiliki peran dominan di dalamnya untuk mengontrol keberadaan dan menentukan pembatasan senjata nuklir.

  Berbagai macam keuntungan yang telah didapatkan oleh NWS dengan memiliki senjata nuklir menempatkan mereka di dalam domain of gain pada perundingan mengenai rencana perlucutan senjata nuklir. Selain keadaan menguntungkan yang telah mereka miliki, mereka juga berada pada posisi yang menguntungkan ketika mereka menggunakan negative framing dalam merundingkan isu perlucutan senjata nuklir. Secara teori, aktor yang memiliki negative

  framing terhadap suatu isu akan lebih mendapatkan lebih dalam suatu perundingan. 36 Hal ini dapat terjadi ketika mereka melakukan tuntutan kepada pihak affirmative dalam perundingan

  beberapa syarat agar mereka akhirnya mau menyetujui hasil perundingan dan tuntutan tersebut dipenuhi.

  36 M. J. Gelfand J. M. Brett, p. 12.

  Ketika NWS telah memiliki keuntungan yang banyak dari awal dengan kepemilikan senjata nuklirnya, maka ketika diminta untuk menyetujui rencana pemusnahan total senjata nuklir mereka menolak. Mereka telah mendapat keuntungan banyak sejak awal namun tiba-tiba di tengah jalan diminta oleh pihak lain untuk bekerjasama dengan menyerahkan status kepemilikan senjata nuklir mereka, tentu mereka menolak karena hal tersebut dianggapnya sebagai outcome yang membawa kerugian. Meski pihak lawan berunding telah mengkomunikasikan keuntungan-keuntungan yang lebih besar yang bisa didapatkan dengan terciptanya dunia tanpa senjata nuklir, misalnya kehidupan manusia yang lebih aman dan sehat tanpa adanya ancaman dari bahaya ledakan nuklir, namun mereka tetap menolak karena emosi yang dihasilkan dari kehilangan sesuatu yang telah lama dimilikinya lebih besar

  dibandingkan emosi ketika mendapatkan keuntungan baru. 37 Meski pihak lawan berunding telah memberikan imagination capital yang bersifat

  menguntungkan setelah NWS mau menyerahkan keuntungan mereka—yang dalam kasus ini disimbolkan dengan senjata nuklir, namun hal tersebut masih belum pasti. Tidak ada jaminan bahwa setelah senjata nuklir dimusnahkan akan tercapai tingkat kestabilan yang sama seperti deterrence yang telah berhasil dilakukan oleh senjata nuklir. Oleh karena itu, aktor strategis akan mengambil pilihan rasional yakni memilih mempertahankan suatu hal yang sudah pasti dan menjaga status quo daripada mengambil risiko yang berpotensi akan mengalami kehilangan. Losing something after gaining it for a long time is painful. Jika dikaitkan dengan antisipasi—look forward and reason back—maka pilihan yang diambil oleh NWS saat ini sudah cukup strategis. Untuk menghindari ketidakpastian di masa depan, maka saat ini mereka memilih untuk mengambil pilihan yang sudah pasti saja. Karena pilihan yang diambil masa kini akan berpengaruh pada masa depan.

B.3 Sunk-cost

  Kepemilikan senjata nuklir selama puluhan tahun dan menjaga beberapa alutsista yang masih tersisa merupakan suatu bentuk komitmen yang dijalankan oleh NWS. Ketika dalam sidang First Committee PBB yang merundingkan mengenai rencana perlucutan senjata nuklir, NWS diminta untuk melakukan dekomitmen atas kepemilikan senjata nuklir mereka. Terdapat beberapa hal yang menjadi penghambat aksi dekomitmen oleh NWS dan membuat mereka pada akhirnya vote ‘No’ terhadap draf resolusi L.41. Alasan yang paling mendasar adalah

  37 ‘Prospect Theory,’ Behavioral Finance (daring), < http:prospect-theory.behaviouralfinance.net >, diakses pada 14 Desember 2016.

  adanya pertimbangan beban dan kerugian yang harus ditanggung oleh NWS ketika mereka harus melepaskan senjata nuklir yang selama ini menjadi aset berharga bagi keamanan dan kemampuan militer negara mereka.

  Beban atau kerugian yang menjadi pertimbangan suatu aktor ketika akan melakukan dekomitmen biasa disebut dengan sunk-cost. Pemikiran mengenai sunk-cost yang harus mereka tanggung menjadi pertimbangan mereka dan membuat mereka bertindak dengan irrational escalation of commitment. Bagaimana tidak, telah banyak hal yang dilakukan oleh NWS sebagai investasi dan bentuk komitmen untuk mempertahankan kepemilikan senjata nuklir mereka. Namun ketika harus melakukan dekomitmen, maka biaya yang telah dikorbankan untuk menjalankan komitmen sebelumnya dan sebagai bentuk investasi akan hilang begitu saja. NWS beranggapan bahwa dengan dekomitmen untuk melakukan perlucutan senjata nuklir, maka mereka akan kehilangan banyak hal yang telah mereka investasikan dalam pengembangan senjata nuklir selama bertahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kehilangan akan sesuatu yang telah lama dimiliki oleh suatu aktor akan sangat merugikan dan menyakitkan.

  Pertimbangan mengenai sunk-cost yang harus ditanggung sangatlah berarti bagi NWS. Mereka akan cenderung tetap menjaga komitmen mereka dalam aksi yang telah mereka lakukan sebelumnya, yakni menjaga kepemilikan senjata nuklir mereka meskipun alasan mereka irasional. Meskipun senjata nuklir bukan merupakan senjata konvensional dan kecil kemungkinan negara-negara akan menggunakannya secara reguler dalam menjalin hubungan dengan negara lain maupun saat peperangan, mereka akan tetap mempertahankannya. Hal

  tersebut yang dinamakan dengan irrational escalation of commitment. 38 Eskalasi komitmen yang didasari dengan alasan-alasan irasional merupakan salah satu bentuk dari bias kognitif.

  Adanya bias kognitif dalam perundingan mengenai perlucutan senjata nuklir akan menghambat jalannya negosiasi untuk mencapai sebuah kesepakatan. Pertimbangan ini dan beberapa poin yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya telah menjelaskan mengapa NWS sebagai aktor strategis pada akhirnya vote ‘No’ pada draf resolusi L.41 bulan Oktober 2016 lalu.

  38 R. J. Lewicki, D. M. Saunders B. Barry, p. 123.