Interaksi Strategis oleh Para Pendukung

2017 Mata Kuliah Analisis Hubungan Internasional

  Dosen Pengampu: Dr. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ayu Diasti Rahmawati, MA Disusun sebagai persyaratan mengikuti Ujian Akhir Semester 5

  Oleh: Nadia Fausta Azhara 14363708SP26060

Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional 2016

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Selama ini berbagai perundingan mengenai upaya perlucutan senjata nuklir berujung pada deadlocks tanpa adanya kesepakatan bersama untuk merumuskan solusi yang dapat diterapkan, namun hanya membentuk norma yang menyebutkan bahwa senjata nuklir adalah ilegal. Perdebatan panjang berputar pada anggapan bahwa nuklir masih relevan disebut sebagai alat deterrence yang efektif di dalam sistem internasional yang anarkis. Kontestasi isu tersebut masih didominasi oleh perspektif realisme. Negara-negara merasa perlu memiliki senjata nuklir untuk memenuhi prinsip self-help di dalam struktur dunia internasional yang anarkis.

  Senjata nuklir masih dibutuhkan dan masih berguna untuk menjaga keamanan dunia. Anggapan bahwa second-strike capability perlu dimiliki oleh negara-negara untuk menjaga balance of power juga mendukung argumen negara-negara untuk tetap menjaga kepemilikan senjata nuklir mereka. Selain itu, negara-negara pemilik senjata nuklir berargumen bahwa senjata tersebut dapat membantu melindungi negara-negara dan mencapai perdamaian dunia. Sebagaimana tercantum di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bahwa negara- negara pemilik senjata nuklir akan menyediakan pelayanan yang menjaga keamanan negara lain dengan mengoptimalkan penggunaan senjata nuklir secara damai.

  Menanggapi argumen-argumen mengenai pentingnya keberadaan senjata nuklir untuk memenuhi kebutuhan penyediaan keamanan bagi negara-negara di dunia, pendekatan kemanusiaan coba dihadirkan di dalam kontestasi yang ada. Bersama dengan negara-negara yang ingin menghapuskan keberadaan senjata nuklir dari dunia internasional, banyak organisasi internasional non-pemerintah (NGO) yang kemudian mempromosikan evidence- based approach dan juga kemanusiaan. Meskipun sepanjang sejarah hanya terjadi dua kali penggunaan bom nuklir secara langsung, yakni pada saat Perang Dunia Kedua di kota Hiroshima dan Nagasaki, namun bisa kita lihat dampak yang disebabkan dari serangan tersebut. Setidaknya 150.000 korban tewas seketika dan 240.000 penduduk mengalami luka

  berat serta tidak lagi memiliki lingkungan yang dapat ditinggali. 1

  B. Fihn, ‘Unspeakable Suffering,’ Reaching Critical Will, Geneva, 2013, p. 15.

  Selama tujuh dekade terakhir memang senjata nuklir tidak digunakan lagi dalam perang. Namun dengan jumlah senjata nuklir di dunia yang masih berada di sekitar angka 17.000 unit, risiko dari ledakan yang dapat terjadi mampu menyebabkan dua miliar orang tewas

  seketika. 2 Jumlah yang meskipun telah berkurang seiring berjalannya waktu namun tetap memiliki potensi yang dapat mencelakai kehidupan manusia. Terlebih ketika masih ada

  negara yang melakukan uji coba senjata nuklir. Radiasi yang ditimbulkan dari percobaan tersebut dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan. Risiko akan terkena kanker sangat tinggi ketika radiasi nuklir merebak di suatu daerah dengan jangkauan yang cukup luas. Meskipun dalam suatu ledakan nuklir terdapat korban yang selamat, namun kehidupan akan sulit dilanjutkan karena daerah yang terpapar radiasi nuklir berubah menjadi inhabitant— temperatur menjadi sangat panas, adanya krisis makanan, dan sebagainya. Bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan manusia itulah yang coba disampaikan oleh berbagai NGO antinuklir, seperti ICAN, Reaching Critical Will, Campaign for Nuclear Disarmament, dan sebagainya, untuk menggerakkan negara-negara agar mau untuk berproses bersama dalam penghapusan senjata nuklir.

  Pada Oktober 2016 lalu, dengan semangat untuk mengurangi ancaman terhadap keamanan manusia, negara-negara yang tergabung di dalam open-ended working group (OEWG) on nuclear disarmament berhasil membawa draf resolusi untuk mengadakan negosiasi lanjutan perlucutan senjata nuklir lolos di sidang umum PBB. Resolusi PBB L.41 ini berbeda dengan upaya-upaya perundingan terdahulu. Jika sebelumnya terdapat NPT yang keputusannya masih bergantung pada negara-negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States atau NWS), resolusi L.41 ini menempatkan mayoritas negara memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri masa depan perlucutan senjata nuklir tanpa ada negara yang mampu

  memblokir hasil negosiasi nantinya. 3 Perundingan inklusif dengan mekanisme voting untuk mencapai kesepakatan akhir membuat perundingan pembentukan rezim antinuklir akan tetap

  berjalan meski tanpa persetujuan negara-negara yang mendukung penggunaan senjata nuklir. 4

  Meski mayoritas negara mendukung resolusi L.41 untuk dilaksanakan dan memulai perundingan perlucutan senjata pada pertengahan 2017—sebanyak 123 negara, 5 namun

  2 B. Fihn, p. 14. 3 R. Acheson, First Committee Briefing Booklet, Reaching Critical Will, New York, 2016, p. 8.

  4 ‘Australia’s Opposition to a Nuclear Weapon Ban,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), 18 Oktober 2016, < http:www.icanw.orgcampaign-newsaustralias-opposition-to-a-nuclear-weapon-

  ban >, diakses pada 21 November 2016.

  5 ‘Full Voting Result on UN Resolution L.41,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring),

  27 Oktober 2016, < http:www.icanw.orgcampaign-newsresults >, diakses pada 21 November 2016.

  bukan berarti upaya ini bebas dari tantangan. Puluhan negara yang influential—karena status kepemilikan senjata nuklir mereka maupun karena memiliki aliansi yang besar— memposisikan diri mereka untuk menolak draf resolusi tersebut dan beberapa lainnya masih meragukan pelaksanaan resolusi tersebut sehingga memilih untuk abstain. Meskipun mereka mengaku telah menyadari apa yang disampaikan oleh OEWG dan NGO lainnya bahwa senjata nuklir memiliki risiko yang berbahaya yang dapat mengancam kehidupan manusia, namun mereka memiliki alasan lain mengapa mereka menolak resolusi tersebut. Dalam transkrip laporan mengenai alasan mengapa negara-negara menolak resolusi tersebut, Rusia, Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Jerman, Australia dan beberapa negara lainnya, menyatakan bahwa negosiasi yang akan dilaksanakan pada tahun 2017 akan merusak kesepakatan yang telah berhasil dicapai dalam NPT. Sementara negara lain seperti Jepang

  menganggap bahwa upaya ini tidak akan efektif tanpa keikutsertaan NWS di dalamnya. 6 Sementara untuk benar-benar dapat mencapai tujuan pemusnahan senjata nuklir, mau tidak

  mau negara-negara pendukung resolusi harus mengupayakan agar NWS mau bekerjasama. Karena meskipun negosiasi tetap berjalan dan tidak lagi mencapai deadlocks, implementasi dari hasil negosiasi tetap membutuhkan aksi kooperatif dari semua negara yang bersangkutan. Salah satu tantangan yang harus diperhatikan dan dilalui oleh mayoritas negara tersebut adalah keberadaan dominasi pandangan realisme dalam hubungan internasional, terutama dalam isu keamanan, yang menghambat kemauan NWS untuk melepaskan kepemilikan senjata nuklir mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya strategi untuk membuat keputusan atau preferensi NWS sejalan dengan apa yang dicita-citakan mayoritas negara. Mengingat bahwa suatu fenomena terjadi bukan hanya karena keputusan yang diambil oleh satu pihak saja, tetapi juga keputusan yang diambil oleh aktor lain (stimultaneous).

  Paper ini akan menelaah lebih lanjut bagaimana NWS sebagai aktor strategis mengambil langkah rasional dan strategis berdasarkan pertimbangan realita yang ada di bidang keamanan internasional yang mereka hadapi maupun pertimbangan lainnya. Berangkat dari pemahaman mengenai perspektif tersebut, paper ini akan menganalisa langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh para pendukung perlucutan senjata nuklir untuk membuat NWS bertindak kooperatif.

  6 Ibid.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis akan berusaha menjawab rumusan masalah, “Bagaimana langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh

  negara-negara pendukung resolusi L.41 untuk mencapai kesuksesan negosiasi perlucutan senjata nuklir 2017?”

C. Landasan Konseptual Teori Prospek – Kahneman dan Tversky 7

  Suatu aktor strategis selalu memiliki pandangan awal mereka terhadap suatu isu, terutama jika isu tersebut akan dirundingkan. Pandangan suatu aktor terhadap suatu isu di dalam teori prospek lebih dikenal dengan sebutan framing. Namun seringkali framing dalam negosiasi dianggap sebagai penghambat dalam pengambilan keputusan yang objektif. Hal ini dikarenakan framing bisa menuntun aktor dalam bias-bias kognitif yang mempersulit tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak berunding. Dengan framing awal yang dimiliki oleh masing-masing aktor strategis dalam memandang suatu isu, hal tersebut membawa mereka untuk bertindak dan mengambil keputusan secara rasional—rational behavior. Suatu aktor strategis akan cenderung memahami suatu situasi atau isu baru sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka peroleh di waktu-waktu yang lalu. Penjelasan tersebut yang dimaksud dapat menjurus pada bias-bias kognitif, memandang situasi dan isu baru hanya berdasarkan pertimbangan pengetahuan yang mereka miliki dari waktu sebelumnya.

  Beberapa perundingan perlucutan senjata nuklir dapat dengan mudahnya ditemukan bias-bias kognitif, terutama yang berkaitan dengan framing tersebut. Mengambil contoh bagaimana negara-negara yang menolak perlucutan senjata nuklir memandang bahwa nuklir masih efektif digunakan sebagai instrumen deterrence. Rujukan yang mereka ambil setidaknya telah melampaui 6 dekade yang lalu, yakni ketika senjata nuklir digunakan saat Perang Dunia Kedua di Jepang oleh AS. Perlombaan pengembangan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet pada saat Perang Dingin juga menjadi rujukan framing mereka dimana hal tersebut dapat menahan pecahnya perang terbuka. Namun mereka tidak memperhatikan pertimbangan lain yang muncul di masa kini. Sehingga ketika diadakan perundingan perlucutan senjata nuklir, bias-bias kognitif hampir selalu muncul dan menghambat tercapainya kesepakatan

  7 L. Thomson et.al., ‘The Evolution of Cognition and Biases in Negotiation Research,’ dalam M. J. Gelfand J. M. Brett, The Handbook of Negotiation and Culture, Standford University Press, Standford, 2004, pp. 8-12.

  karena framing yang dipegang teguh oleh mereka. Begitu pula dengan framing yang dimiliki oleh negara-negara pendukung perlucutan senjata nuklir, bahwa nuklir merupakan ancaman terbesar bagi kehidupan manusia tanpa mengindahkan aspek-aspek strategi keamanan sedikit pun.

  Terdapat dua jenis framing yang dijelaskan oleh Michele Gefand dan Jeanne Brett, yakni positive framing dan negative framing. Mereka yang memiliki positive framing di awal, yakni mereka yang memandang suatu isu dengan positif, akan cenderung cepat dalam mencapai kesepakatan. Namun hasil yang ia setujui merupakan hal yang less favorable, karena mereka pada dasarnya tidak menuntut banyak dalam perundingan suatu isu tersebut. Sebaliknya, aktor yang memiliki negative framing di awal ia memandang suatu isu, dianggap oleh Gefand dan Brett akan mendapatkan lebih. Jika dalam suatu perundingan ia menuntut banyak hal yang ia pandang buruk sebelumnya dan untuk mencapai kesepakatan, pihak lawan mengabulkan tuntutannya tersebut, maka perundingan itu bersifat menguntungkan untuk aktor tersebut. Dalam kasus perundingan perlucutan senjata nuklir ini, sebagian besar NWS (kecuali Korea Utara yang vote ‘Yes’) beserta aliansinya yang menolak resolusi L.41 memiliki negative framing di awal terhadap isu tersebut. Mereka menolak resolusi L.41 karena keinginan mereka tidak diakomodasi di dalamnya, salah satunya mengenai keinginan untuk menerapkan mekanisme konsensus.

  Framing aktor terhadap suatu isu tidak inherently ada dan selalu terikat dengan aktor tertentu, namun dapat dibentuk. Aktor lain atau pihak lawan berunding merupakan salah satu agen yang dapat merubah framing suatu aktor. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membentuk framing baru (reframing) yang mampu meyakinkan suatu aktor untuk sepakat dengan bagaimana mereka memandang suatu isu dan mencapai kesepakatan bersama. Agar aksi reframing dapat diterapkan dengan baik, maka suatu aktor harus mengetahui bagaimana lawannya memandang suatu isu tersebut melalui pertukaran informasi. Penting untuk mengetahui bagaimana suatu aktor memandang prospek reference points mereka, apakah pada domain of gain atau domain of loss. Aktor pada domain of gain akan cenderung bertindak risk-aversing, cenderung memilih suatu hal yang pasti. Sedangkan mereka pada domain of loss akan bertindak risk-taking. Beda domain yang dipikirkan oleh suatu aktor, berbeda pula cara aktor lainnya untuk merespon dan menentukan bentuk reframing seperti apa yang harus ia lakukan.

D. Argumen Utama

  NWS dan aliansi mereka bersikeras untuk mempertahankan kepemilikan senjata nuklir karena berbagai alasan seperti untuk deterrence, mempertahankan posisi—dan power mereka di dunia internasioal, tanggapan atas anarkisme sistem internasional, serta adanya security dilemma. Meski memiliki negative framing, dalam perundingan mengenai perlucutan senjata nuklir ini menempatkan mereka dalam domain of gain. Mereka adalah aktor penting yang menjadi kunci keberhasilan dari penerapan instrumen hukum yang sedang coba dibuat dalam negosiasi 2017 mendatang. Menjaga kepemilikan senjata nuklir mereka merupakan keputusan yang pasti menguntungkan bagi mereka saat ini—menjadi nuclear power, memiliki second-strike capability dalam menghadapi anarkisme sistem internasional, dan hal lainnya. Bagi mereka, menyetujui untuk menghapuskan keberadaan senjata nuklir dari dunia ini adalah suatu hal yang tidak pasti. Mereka tidak bisa memastikan akan jadi apa dunia tanpa senjata nuklir—benarkah menjadi lebih stabil dan damai? Untuk itu, mereka lebih memilih tindakan risk-aversing dan menjaga status quo yang ada.

  Pembentukan rezim anti nuklir adalah suatu interaksi strategis yang dapat diwujudkan tidak hanya karena keputusan satu aktor namun juga pengaruh dari keputusan aktor lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan keputusan yang mendukung perlucutan senjata nuklir dari NWS untuk membuat upaya ini berhasil diimplementasikan. Tindakan strategis yang dapat diambil oleh negara-negara pendukung perlucutan senjata nuklir adalah melakukan reframing untuk membuat NWS berpikir bahwa mereka sedang dalam domain of loss dalam perundingan ini. Sehingga, sebagaimana dicantumkan dalam Teori Prospek, mereka akan cenderung bertaruh untuk mencapai sesuatu yang lebih baik—dunia yang damai tanpa perlombaan senjata nuklir beserta berbagai ancaman yang ada—meski hal tersebut belum dapat dipastikan. Salah satu cara untuk dapat menempatkan NWS ke dalam domain of loss misalnya dengan membentuk norma sosial bahwa senjata nuklir ilegal. Negara-negara yang masih menyimpan alutsista nuklir akan diberi sanksi dan membuatnya merasa bersalah dan malu. Atau dapat juga dengan mengadakan kerjasama bersyarat agar NWS cenderung bertindak comply atau patuh terhadap kesepakatan yang hendak dicapai bersama.

E. Metode Riset

  Metode riset yang akan digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode riset dengan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berasal dari berbagai literatur dengan mengambil dari buku, jurnal, serta situs internet yang terdiri dari artikel-artikel media massa serta situs- Metode riset yang akan digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode riset dengan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh berasal dari berbagai literatur dengan mengambil dari buku, jurnal, serta situs internet yang terdiri dari artikel-artikel media massa serta situs-

  

F. Jangkauan Penelitian

  Dalam penulisan paper ini, penulis akan membatasi penelitian dari akhir perkembangan NPT yang selalu menemui jalan buntu hingga akhirnya terbentuk OEWG di PBB. Namun dalam beberapa pembahasan yang bersifat trivial akan menyinggung sedikit mengenai sejarah perkembangan perundingan anti-nuklir yang pernah diadakan. Sedangkan jangkauan penelitian akan berakhir pada Oktober 2016 dimana resolusi L.41 berhasil diadopsi dalam sidang umum PBB.

BAB II PEMBAHASAN

A. Perdebatan Kepemilikan Senjata Nuklir

  Awal mula senjata nuklir dikembangkan untuk tujuan memenuhi kebutuhan strategi keamanan negara adalah pada tahun 1942. Amerika Serikat (AS) memulai suatu proyek besar pengembangan potensi nuklir untuk menjadi senjata strategis bagi keamanan nasionalnya. Manhattan Project yang memiliki 130.000 pekerja dan menghabiskan dana sebesar US 2 miliar pada tahun itu (atau setara dengan US 25 miliar di tahun 2012) berhasil menciptakan

  senjata nuklir pertama di dunia. 8 Bahkan sejak sebelum pengembangan proyek tersebut perdebatan mengenai penggunaan senjata nuklir sudah diperdebatkan di antara para ilmuwan

  atau ahli nuklir. Setelah penggunaan senjata nuklir yang berhasil dikembangkan oleh AS tersebut terhadap

  Jepang pada tahun 1945 saat Perang Dunia Kedua, kurang dari satu tahun setelahnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera membahas mengenai apa yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk menanggapi temuan atau pengembangan baru teknologi senjata nuklir ini. Melalui pertemuan Majelis Umum PBB, negara-negara anggota berhasil menyepakati resolusi pertama mereka yang berisi seruan untuk segera memusnahkan senjata nuklir. Tidak hanya itu, mereka menginginkan pembentukan komisi khusus yang memantau

  dan mengatasi berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan senjata nuklir. 9 Meskipun pada saat itu baru didapati satu negara saja yang mengembangkan senjata nuklir

  dan telah muncul seruan untuk menghapuskan senjata nuklir oleh PBB, hingga saat ini masih saja terdapat 9 negara yang menyimpan puluhan ribu senjata nuklir mereka. Bahkan setelah berlalu 6 dekade resolusi pertama Majelis Umum PBB tersebut dikeluarkan, pada 2006 Korea

  Utara masih melangsungkan uji coba senjata nuklir mereka. 10 Sebelum Nuclear Non- Proliferation Treaty (NPT) disepakati oleh negara-negara, fenomena yang terjadi di dunia

  internasional selalu berputar pada adanya seruan untuk mengehentikan pengembangan senjata nuklir kemudian pada tahun-tahun berikutnya muncul negara baru yang mulai

  8 ‘Nuclear Weapons Timeline,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), < http:www.icanw.orgthe-factsthe-nuclear-age >, diakses pada 7 Desember 2016.

  9 ‘Resolutions Adopted by the General Assembly during its First Session,’ UN General Assembly (daring), < http:www.un.orgdocumentsgares1ares1.htm >, diakses pada 7 Desember 2016.

  10 ‘Nuclear Weapons Timeline,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), < http:www.icanw.orgthe-factsthe-nuclear-age >, diakses pada 7 Desember 2016.

  mengembangkan senjata nuklir. Misalnya ketika di Inggris telah dibentuk suatu kelompok yang mengkampanyekan perlucutan senjata nuklir di tahun 1958, dua tahun berikutnya Perancis justru memulai mengembangkan senjata nuklirnya. Besarnya kekacauan yang ditimbulkan dan telah diperlihatkan pada saat penggunaan senjata nuklir di Hiroshima dan Nagasaki ternyata tidak bisa merubah pemikiran negara-negara untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Akibatnya perdebatan terus berlangsung sejak saat itu, mengenai bahaya akan senjata nuklir dan juga pentingnya menjaga negara mereka dengan mengembangkan senjata mutakhir.

  Ketika NPT berhasil ditandatangani oleh 191 negara anggotanya dan diterapkan pada tahun 1970, 11 perjanjian tersebut dianggap sebagai keberhasilan besar dalam sejarah panjang

  kontestasi kepemilikan nuklir. NPT memiliki negara anggota yang banyak, berhasil mempertemukan Nuclear Weapon States (NWS) dan Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dalam satu kerangka perjanjian internasional, serta mampu menawarkan konsep ‘The Grand Bargain’ yang tercantum dalam tiga pilar utamanya. Tiga konsep atau aturan utama tersebut berisi tentang NNWS tidak boleh menginginkan pengembangan senjata nuklir, NWS akan berupaya dalam penghapusan senjata nuklir yang mereka miliki, serta teknologi nuklir hanya digunakan untuk tujuan-tujuan damai dan upaya menciptakan keamanan saja. Poin-poin tersebut serta mekanisme yang terdapat di dalam NPT cukup berhasil untuk membuat NWS tidak lagi mengembangkan senjata nuklir dan berangsur-angsur mengurangi jumlah senjata nuklir yang mereka miliki.

  11 ‘Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT),’ The Nuclear Threat Initiative (daring), 23 April 2015, < http:www.nti.orglearntreaties-and-regimestreaty-on-the-non-proliferation-of-nuclear-weapons >,

  diakses pada 7 Desember 2016.

  Gambar 1: Salah satu contoh gambaran mengenai berkurangnya kepemilikan senjata nuklir oleh AS dan Uni Soviet—sekarang Rusia.

  Sumber: Federation of American Scientists

A.1 Argumen-Argumen yang Mendukung Kepemilikan Senjata Nuklir

  Keberhasilan tersebut tidak dapat digeneralisir dengan kesimpulan bahwa perdebatan dalam isu kepemilikan senjata nuklir sudah tidak ada lagi. Karena meskipun telah disepakati di antara negara-negara anggota untuk tidak lagi mengembangkan senjata nuklir dan berangsur mengurangi kepemilikan senjata yang ada, NWS yang tergabung di dalam NPT tidak segera memusnahkan semua senjata yang mereka miliki. Terlebih lagi tidak semua negara yang memiliki senjata nuklir tergabung di dalam NPT, seperti India, Israel, Pakistan dan Sudan Selatan. Belum lagi Korea Utara yang sempat bergabung namun juga menarik dirinya dari

  perjanjian tersebut karena perseteruannya dengan AS. 12 Selain itu, dalam review conference NPT sendiri yang diadakan tiap lima tahun sekali, sering terjadi perbedaan pendapat yang

  berujung pada perdebatan terutama di antara NWS dan NNWS terhadap suatu dokumen hasil review yang hendak mereka sepakati. Seiring dengan berbagai kebuntuan yang ditemui di dalam NPT sendiri dan tantangan lainnya, perdebatan terus berlanjut antara pihak yang berkepentingan dengan kepemilikan senjata nuklir dan mereka yang ingin hidup bebas dari potensi ancaman yang membahayakan dari senjata tersebut.

  12 ‘North Korea Withdraws from Nuclear Treaty,’ The Guardian (daring), 10 Januari 2003, < https:www.theguardian.comworld2003jan10northkorea1 >, diakses pada 7 Desember 2016.

  Meskipun sebagian besar non-NWS telah menaati norma non-proliferasi yang telah dibentuk oleh NPT, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, namun alasan yang mendorong mereka untuk berlaku demikian bukan sekedar karena mereka menginginkan dunia yang bebas senjata nuklir. Sebagaimana dijelaskan oleh Andrew O’Neill dalam jurnalnya yang berjudul

  ‘Nuclear Weapons and Non-Proliferation: Is Restrain Sustainable,’ 13 mereka mau membentuk dan bergabung pada NPT karena hal tersebut merupakan implementasi dari opsi

  extended deterrent yang mereka pilih. Opsi yang dimaksud tersebut adalah membuat negara- negara di dunia, terutama NNWS, untuk mempercayakan keamanan dunia kepada NWS atau dengan membentuk aliansi bersama dengan mereka, seperti NATO. Sesuai dengan apa yang dikandung dalam perjanjian NPT bahwa NNWS tidak perlu berkeinginan untuk memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, dan sebagai gantinya akan mendapatkan jaminan perlindungan akan keamanan dan perdamaian dunia dari NWS atas kepemilikan senjata nuklir mereka untuk mencapai tujuan-tujuan damai.

  O’Neill, dalam jurnalnya, banyak menyampaikan argumen-argumen yang dimiliki oleh NWS dalam kaitannya dengan kepentingan mempertahankan kepemilikan senjata nuklir mereka. Dunia internasional masih dipandang oleh negara-negara sebagai suatu sistem yang anarkis dan penuh dengan ketidakpastian, sehingga memiliki senjata nuklir merupakan pilihan yang strategis. Senjata nuklir dipandang memiliki peran sebagai alat untuk deterrence. NWS merasa perlu untuk mempertahankan keberadaan senjata nuklir di dunia, karena menurut mereka kekuatan akan penggunaan senjata nuklir terbutkti telah mampu mencegah perang dunia dalam kurun waktu 6 dekade terakhir.

  Selain itu alasan negara-negara masih memandang bahwa proliferasi nuklir sah-sah saja untuk dilakukan adalah adanya perasaan insecurity yang mereka miliki yang merupakan pengaruh dari kondisi keamanan eksternal yang menurut mereka tidak dapat diprediksi. Kedua alasan tersebut mencerminkan historical dominance dari perspektif realisme dalam studi Hubungan Internasional. Menteri Pertahanan AS yang ke-22, Robert Gates, mengatakan bahwa senjata nuklir penting untuk melindungi negara dari ketidakpastian dan rendahnya

  tingkat keterdugaan di dunia internasional. 14 Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ditambah dengan anggapan bahwa nature manusia adalah selalu ingin

  memperoleh keuntungan untuk diri mereka sendiri.

  13 A. O’Neill, ‘Nuclear Weapons and Non-Proliferation: Is Restrain Sustainable,’ Security Challenges, vol. 5, no. 4, 2009, pp. 39-57.

  14 A. O’Neill, pp. 40, 46-7.

  Terlepas dari argumen-argumen yang mengindikasikan kepentingan nasional mereka sendiri adalah fokus utama dari perjuangan mereka mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, isu utama yang menjadi fokus perdebatan mulai berubah arah. Terutama akhir-akhir ini semenjak OEWG mengajukan draf resolusi L.41 untuk mengadakan negosiasi lanjutan dan pembentukan instrumen hukum terkait perlucutan senjata nuklir pada Sidang Umum PBB Oktober 2016 lalu. Argumen-argumen yang dengan tegas mengatakan bahwa nuklir penting sebagai alat pertahanan nasional mulai bergeser dan digantikan dengan argumen bahwa isu tentang nuklir bukan karena adanya legal gap.

  NWS dan beberapa negara lainnya yang memposisikan mereka menolak resolusi L.41 tersebut dalam pernyataan resmi mereka mengaku bahwa nuklir memang berbahaya bagi kehidupan manusia. Namun mereka berargumen, sebagaimana yang disampaikan oleh delegasi Rusia, bahwa dunia belum cukup siap untuk benar-benar melakukan pemusnahan

  senjata nuklir. 15 Negosiasi 2017 menurut mereka tidak akan berujung pada suatu pencapaian tujuan yang dicita-citakan karena tidak pembentukan instrumen hukum dianggap tidak efektif

  serta bukan merupakan langkah yang pragmatis tanpa persetujuan langsung dari NWS untuk mau turut ambil bagian di dalamnya. Pembentukan instrumen hukum tidak menjamin proses eliminasi senjata nuklir dapat tercapai segera. Sebagaimana perwakilan AS dan Jerman sampaikan pada sidang tersebut bahwa dibutuhkan adanya mekanisme verifikasi yang jelas untuk memantau upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NWS demi memenuhi aturan yang telah disepakati bersama.

  Berbicara mengenai mekanisme, hampir semua negara yang memilih untuk vote ‘No’ waktu itu juga mempermasalahkan mengenai mekanisme voting yang akan diterapkan dalam negosiasi tersebut. Menurut mereka mekanisme tersebut menciderai perjanjian internasional yang telah disepakati bersama sebelumnya, yakni NPT. Di dalam NPT, mekanisme yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah konsensus. Sementara dalam negosiasi 2017 jika tidak menerapkan konsensus, maka akan mengabaikan hal-hal yang menjadi concern dari NWS, padahal untuk membuat konferensi itu berhasil diperlukan peran serta dari seluruh NWS. Oleh karena itu, mereka beristegas untuk mengajak negara-negara lain mengupayakan perlucutan senjata nuklir secara bertahap dan pelan-pelan saja, alih-alih mengambil tindakan yang tergesa namun belum ada kesiapan dari semua pihak yang dibutuhkan. Perdebatan

  15 ‘Full Voting Result on UN Resolution L.41,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring),

  27 Oktober 2016, < http:www.icanw.orgcampaign-newsresults >, diakses pada 8 Desember 2016.

  terakhir tersebut menunjukkan bahwa tidak semua negara yang vote ‘No’ terhadap resolusi L.41 tersebut adalah mereka yang menginginkan senjata nuklir tetap ada.

A.2 Argumen-Argumen yang Mendukung Perlucutan Senjata Nuklir

  Semenjak senjata nuklir digunakan pada tahun 1945 dan telah memperlihatkan kepada dunia bagaimana kekuatan yang dimilikinya dapat membahayakan kehidupan manusia, mereka yang menginginkan senjata nuklir dimusnahkan hampir selalu menggunakan pendekatan kemanusiaan sebagai pendukung argumen mereka untuk menyerukan kepada seluruh dunia bahwa senjata nuklir berbahaya dan harus segera dihapuskan. Meski saat ini senjata nuklir tidak lagi digunakan secara langsung dalam peperangan, namun akumulasi dari jumlah senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara dunia masih berada di angka puluhan ribu, yakni 17.000 alutsista. Jumlah tersebut dapat menimbulkan risiko ledakan yang mampu mematikan dua miliar manusia sekaligus. Mereka terus mengingatkan warga dunia bahwa bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki telah mengorbankan nyawa lebih dari 150.000

  seketika. 16 Bagaimana jika dengan senjata-senjata yang masih dimiliki sekarang yang lebih canggih dan memiliki daya ledak lebih kuat dari sebelumnya dan dapat diluncurkan dari

  berbagai area (darat, dasar laut, maupun udara). Daya ledak yang demikian besarnya membuat senjata nuklir dapat dikategorikan ke dalam

  kelompok senjata pemusnah masal. Sementara di dalam hukum internasional sendiri, senjata pemusnah masal dilarang digunakan dalam perang karena tidak memiliki kemampuan untuk membedakan mana target militer dan warga biasa. Oleh karenanya, penggunaan senjata pemusnah masal seringkali memakan korban warga sipil lebih banyak. Kuat keinginan yang dimiliki oleh berbagai pihak yang mengkampanyekan perlucutan senjata nuklir untuk segera membentuk instrumen hukum yang mengatakan bahwa senjata nuklir adalah senjata yang ilegal dan harus segera dihilangkan dari muka bumi.

  Meski sudah tidak digunakan lagi, namun negara-negara masih melakukan uji coba terhadap senjata nuklir. Hal tersebut mungkin tidak sekaligus membunuh ratusan ribu nyawa manusia, namun tetap memiliki dampak yang berbahaya. Radiasi dari uji coba nuklir dapat berbahaya bagi kesehatan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan yang ditulis oleh NGO Reaching Critical Will, radiasi dari ledakan nuklir dapat merusak sel-sel dalam tubuh manusia yang terpapar dan membuat risiko terkena kanker makin tinggi. Bidang pertanian

  16 B. Fihn, ‘Unspeakable Suffering,’ Reaching Critical Will, Geneva, 2013, p. 14.

  akan mengalami kerusakan berat dimana tanah di kawasan yang terpapar radiasi nuklir tidak dapat lagi ditanami. Lebih jauh lagi, kerusakan ini akan berakibat pada krisis makanan yang juga mengancam kelangsungan hidup manusia. Lapisan ozon juga akan mengalami kerusakan berat karenanya dan dengan suhu yang amat panas menjadikan kawasan yang terkena ledakan nuklir menjadi tidak dapat ditinggali. Sehingga, meskipun ada penyintas yang selamat atau tidak langsung meninggal karena ledakan nuklir secara langsung, kehidupan akan lebih sulit dijalani karena pada dasarnya nuklir merusak lingkungan dan kebutuhan lain yang diperlukan manusia untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari.

  Pendekatan kemanusiaan masih gencar digunakan bagi negara-negara yang menginginkan pemusnahan senjata nuklir. Penggunaan terhadap pendekatan ini yang terbaru adalah saat

  dilaksanakannya tiga rangkaian konverensi Humanitarian Initiative. 17 Konverensi tersebut menunjukkan meningkatnya dukungan dari berbagai negara dunia, khususnya NNWS, untuk

  memusnahkan senjata nuklir. Pertemuan yang pertama merupakan pertama kalinya berbagai aktor internasional, dari pemerintah, NGO, maupun pihak swasta lainnya menyampaikan atau mendiskusikan tentang berbagai konsekuensi dari penggunaan senjata nuklir terhadap kehidupan manusia. Berbagai bukti kerusakan dipresentasikan di dalam forum yang diselenggarakan di Oslo, Norwegia pada Maret 2013 lalu.

  Konverensi dilanjutkan pada pertemuan kedua di Nayarit, Mexico pada Februari 2014 yang menghasilkan kesepakatan dari negara-negara yang hadir untuk menyerukan pembentukan insturmen hukum internasional yang menyebutkan senjata nuklir adalah ilegal secepatnya. Sedangkan pertemuan terakhirnya di Vienna, Austria pada Desember di tahun yang sama, muncul gagasan untuk membentuk ban nuclear weapons treaty. Rencana pembentukan traktat tersebut merupakan suatu terobosan untuk menyegerakan pencapaian tujuan perlucutan senjata nuklir. Meski sebelumnya telah ada comprehensive nuclear weapons convention, namun hanya mengatur tentang limitasi penggunaan dan kepemilikan senjata nuklir yang mana masih membutuhkan peran dominan dari NWS. Sementara ban treaty yang dicanangkan ingin mencakup langkah pragmatis tidak harus menunggu concern dari NWS.

  Pertemuan Humanitarian Initiative tersebut didasari oleh review conference NPT di tahun 2010 dimana negara-negara mulai menaruh perhatian mereka untuk membicarakan mengenai konsekuensi penggunaan senjata nuklir terhadap kemanusiaan. NPT memang memiliki

  17 ‘Humanitarian

  Weapons,’

  Reaching

  Critical Will (daring),

  < http:www.reachingcriticalwill.orgdisarmament-forahinw >, diakses pada 8 Desember 2016.

  pertemuan tiap lima tahunnya untuk mengkaji ulang apa saja yang telah berhasil mereka capai. Namun tidak setiap pertemuan tersebut mampu menghasilkan kesepakatan di antara negara-negara anggotanya. Selain karena berbagai perbedaan pendapat antara NWS dan NNWS, menurut O’Neill NNWS menganggap bahwa keberadaan NPT selama ini hanya digunakan oleh NWS sebagai alat yang melegitimasi kepemilikan nuklir oleh lima negara. Argumen ini disampaikan dengan justifikasi bahwa tidak ada limitasi dan tenggat waktu yang ditentukan secara tegas di dalam NPT untuk mengatur bagaimana NWS harus melucuti senjata nuklirnya. Belum lagi di luar NPT masih terdapat negara-negara berkembang yang memiliki potensi untuk mengembangkan senjata nuklir namun tidak terikat kewajiban untuk

  terikat pada norma non-proliferasi. 18 Hal tersebut yang kemudian mendorong mayoritas dari NNWS untuk membentuk suatu aturan baru yang tidak harus menunggu kesepakatan dari

  NWS. Membentuk suatu aturan baru selain NPT yang tidak harus menunggu persetujuan dari NWS

  bukan berarti menciderai hal-hal yang telah disepakati di dalam NPT. Ketika NWS berargumen bahwa negosiasi 2017 akan merusak pencapaian NPT, salah satunya tidak menerapkan mekanisme konsensus, NNWS berargumen bahwa justru negosiasi NWS ini merupakan bentuk rekomitmen dan memfasilitasi penerapan article VI dari NPT. Disebutkan bahwa NPT bukanlah suatu traktat yang statis dan membiarkan kepemilikan senjata nuklir

  tanpa batas bagi NWS, 19 maka negosiasi 2017 memiliki prinsip yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh perwakilan Indonesia untuk PBB, Ina

  Krisnamurthi, bahwa resolusi L.41 untuk menyelenggarakan konverensi pada tahun 2017 tidak akan merusak kesepakatan dalam NPT namun justru memperkuat apa yang telah

  berhasil disepakati. 20

  Perdebatan yang masih terus berlanjut hingga saat ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang kita hadapi bersama. Argumen-argumen dari kedua belah pihak memiliki bukti-bukti pendukung yang cukup mampu membuatnya kredibel dan dirasa benar. Namun, apa yang mendasari negara-negara pemilik senjata nuklir beserta aliansinya memutuskan untuk tidak menyetujui resolusi L.41 dan bagaimana argumen-argumen NNWS

  18 A. O’Neill, p. 46. 19 R. Acheson, First Committee Monitor 2016 No. 3, Reaching Critical Will, New York, 2016, p. 5.

  20 I. Krisnamurthi, ‘Report: Statement from Republic Indonesia at the General Debate of the First Committee 71 st session

  Assembly,’

  Reaching

  Critical

  Will (daring), <

  http:reachingcriticalwill.orgimagesdocumentsDisarmament- fora1com1com16statements4Oct_Indonesia.pdf >, diakses pada 8 Desember 2016.

  beserta sejumlah NGO belum mampu mempersuasi negara lain untuk akhirnya mau bekerjasama dalam resolusi tersebut akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya.

B. Kepemilikan Senjata Nuklir sebagai Bagian dari Aksi Strategis

  Argumen-argumen yang ada dalam perdebatan mengenai kepemilikan senjata nuklir telah banyak dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Bagaimana NWS, yang diwakilkan oleh Rusia, mengatakan bahwa dunia belum cukup siap untuk benar-benar melakukan

  pemusnahan senjata nuklir 21 karena upaya perlucutan senjata nuklir seharusnya dilakukan secara bertahap dengan partisipasi dari semua pihak yang bersangkutan, baik NNWS maupun

  NWS itu sendiri. Keputusan untuk membuat instrumen hukum yang mengharuskan pemusnahan senjata nuklir bagi mereka merupakan sesuatu hal yang terlalu ambisius dan tergesa-gesa. Alasan lain yang sering digunakan oleh hampir semua NWS dan para aliansinya, yakni pihak yang ingin mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, adalah bahwa sistem internasional yang mereka hadapi anarkis dan penuh dengan ketidakterdugaan.

  Oleh karena itu, seperti yang disampaikan oleh Robert Gates 22 , lebih baik untuk melakukan persiapan untuk mempertahankan diri dari segala kemungkinan yang dapat mengancam

  keamanan mereka. Lebih jauh lagi, juga terdapat argumen yang menyatakan bahwa kepemilikan senjata masih signifikan guna melaksankan peace-keeping.

  Beragam argumen yang disampaikan oleh NWS beserta negara-negara lain yang mendukung mereka mengindikasikan bahwa mereka tidak ingin kepemilikan terhadap senjata nuklir menjadi berstatus ilegal, terlebih lagi apabila terdapat keharusan untuk memusnahkan senjata nuklir. Namun di balik berbagai macam argumen yang mereka lontarkan tersebut, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang pendorong tindakan mereka? Pada bagian pembahasan ini, penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut alasan mengapa mereka melakukan tindakan yang mereka pilih. Mengingat bahwa NWS beserta aliansi maupun pendukungnya merupakan aktor strategis, sehingga pilihan tindakan yang mereka ambil merupakan tindakan yang rasional dan strategis bagi mereka.

  21 ‘Full Voting Result on UN Resolution L.41,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring),

  27 Oktober 2016, < http:www.icanw.orgcampaign-newsresults >, diakses pada 8 Desember 2016.

  22 A. O’Neill, p. 47.

B.1 Negative Framing terhadap Isu Perlucutan Senjata Nuklir

  Negara-negara yang memiliki senjata nuklir telah merasakan berbagai pengaruh atas status kepemilikan tersebut terhadap posisi mereka di dunia internasional selama puluhan tahun. Senjata nuklir mampu menyumbangkan kestabilan yang efektif di dalam sistem internasional yang penuh dengan ketidakterdugaan. Hal ini disebabkan karena senjata nuklir dapat menjadi instrumen deterrence yang baik dalam menjaga hubungan antarnegara. Maksud dari pernyataan tersebut mengenai deterrence adalah kemampuan (yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki senjata nuklir) untuk menghalangi kemungkinan serangan yang akan didapatkan dari pihak yang berpotensi menjadi musuh. Tindakan buruk oleh musuh yang ditujukan kepada suatu negara dapat dihalangi dengan cara memberikan gambaran kepada mereka jika mereka memilih untuk menyerang, maka akan ada risiko dan biaya besar yang

  harus ditanggung. 23 Memiliki senjata nuklir dengan kemampuan untuk menghancurkan suatu area luas sekaligus

  memusnahkan ratusan ribu manusia dengan ledakannya dalam satu waktu membuat negara yang memilikinya dapat mengancam musuh dengan kemampuan yang ia miliki tersebut untuk memusnahkannya. Mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh senjata nuklir, maka negara lain cenderung mengambil langkah untuk mengurungkan niatnya untuk menyerang dan mencegah kehancuran yang bisa ia dapatkan. Prinsip ini juga berlaku kepada sesama NWS, karena meskipun sama-sama memiliki kemampuan untuk menghancurkan lawan namun perang nuklir sama berarti dengan kehancuran dunia. Oleh karena itu, senjata nuklir dianggap sebagai instrumen deterrence yang efektif. Disebut efektif bersamaan dengan bukti yang mereka sampaikan bahwa semenjak senjata nuklir dikembangkan, telah berkurang jumlah perang terbuka secara drastis. Sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut, meski beberapa peperangan masih terjadi di dunia namun jumlahnya menurun secara drastis

  terutama setelah era nuklir berlangsung pada sekitar tahun 1940-an. 24

  23 C. J. Lamb, How to Think About Arms Control, Disarmament, and Defense, Prentice-Hall Inc., New Jersey, p.

  24 J. Aziz, ‘Against Unilateral Nuclear Disarmament,’ Pieria (daring), 3 Oktober 2015, < http:www.pieria.co.ukarticlesagainst_unilateral_nuclear_disarmament >, diakses pada 13 Desember 2016.

  Gambar 2: Grafik yang menunjukkan menurunnya jumlah perang yang terjadi, terutama

  setelah berkembangnya senjata nuklir.

  Sumber: Pieria.

  Senjata nuklir mampu membatasi cakupan konflik dan meredam konfrontasi antarnegara, misalnya ketika terjadi konflik antara Rusia dan AS tidak terjadi perang terbuka antarkeduanya meski sama-sama mengembangkan senjata nuklir pada saat itu. Hal tersebut yang menyebabkan NWS dan beberapa aktor lainnya mempertanyakan apakah ada instrumen lain sebagai alternatif dari kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir bila

  akhirnya akan dimusnahkan? 25 Alasan yang menghambat norma non-proliferasi diperketat menjadi wajib dilakukan oleh

  semua negara dan berusaha mencapai tujuan yang lebih besar, yakni untuk melucuti senjata nuklir, adalah keberadaan security dilemma di antara negara-negara. Security dilemma berangkat dari anggapan pentingnya mengupayakan self-help dalam mempertahankan keamanan negara. Namun seringkali upaya self-help tersebut dianggap menjadi ancaman bagi

  negara lainnya karena adanya ketakutan dan rasa saling tidak percaya. 26 Anarkisme dan ketidakterdugaan dunia internasional membuat negara-negara khawatir akan ancaman

  terhadap keamanan mereka, terlebih ketika melihat negara lain memiliki kemampuan senjata yang lebih hebat dibanding mereka. Terdapat kecenderungan bagi negara-negara tersebut menginginkan untuk memiliki senjata yang lebih banyak dan lebih hebat, salah satunya senjata nuklir, daripada negara lain dengan alasan “persiapan” untuk menjaga keamanan mereka—si vis pacem para bellum.

  25 S. Ülgen , ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’ Bulletin of the Atomic Scientist (daring), 25 Agustus 2014, < http:thebulletin.orgzero-correct-goalcase-against-total-nuclear-disarmament >, diakses pada

  13 Desember 2016. 26 J. Baylis S. Smith, The Gobalization of World Politic,Oxford University Press Inc., New York, 2001, p.

  Sedangkan kebijakan non-proliferasi didasari pada anggapan bahwa negara seharusnya sudah cukup percaya diri dengan kemampuan militer mereka karena sudah memiliki senjata

  konvensional, sehingga tidak perlu mengembangkan senjata nuklir. 27 Anggapan tersebut kemudian dibantah dengan alasan bahwa hal tersebut justru mengakibatkan arms race yang

  terus berlanjut—tidak ada hentinya—demi menanggulangi security dilemma yang dimiliki negara-negara. 28 Hal ini terjadi karena tidak ada senjata konvensional yang memiliki daya

  hancur sebesar senjata nuklir. Sehingga sebanyak apa pun senjata konvensional yang mereka miliki tidak cukup untuk melepaskan mereka dari ketakutan akan ancaman dari negara lain dan persaingan kemampuan militer antarnegara.

  Argumen-argumen yang mereka sampaikan beserta bukti-bukti yang mendasarinya tersebut membawa pada suatu inferensi bahwa senjata nuklir diperlukan untuk menjaga keamanan dunia. Berangkat dari hal tersebut, ide untuk melakukan extended deterrence di dalam rezim

  NPT diaplikasikan oleh NWS. 29 Ide tersebut merupakan salah satu upaya re-framing yang dilakukan oleh NWS terhadap negara-negara lain, terutama anggota NPT, bahwa senjata

  nuklir dapat menjaga kestabilan dan keamanan dunia. Oleh karenanya, di dalam NPT disebutkan bahwa senjata nuklir digunakan untuk tujuan perdamaian. Selain itu meski NNWS tidak boleh menginginkan kepemilikan senjata nuklir serta NWS secara bertahap akan melakukan mengurangi senjata nuklir, namun NWS disebut akan memberikan kondisi dunia internasional yang stabil karena adanya senjata nuklir.

  Framing atau pembingkaian merupakan bagaimana suatu aktor mendefinisikan dan memandang sesuatu maupun suatu situasi dan menentukan apa yang akan menjadi

  fokusnya. 30 Bagi NWS, telah mengakar di dalam pemahaman mereka mengenai bagaimana mereka membingkai kepemilikan senjata nuklir memang suatu hal yang esensial bagi

  kehidupan bernegara di level internasional. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai bagaimana argumen yang disampaikan oleh NWS dalam rangka mempertahankan kepemilikan senjata mereka, hal tersebut merupakan bagian dari framing yang berpengaruh terhadap keyakinan mereka sendiri akan pentingnya senjata nuklir dan re-framing ketika

  27 B. H. Weston, Toward Nuclear Disarmament and Global Security, Westview Press, Colorado, 1984, p. 429. 28 S. Ülgen , ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’ Bulletin of the Atomic Scientist (daring), 25

  Agustus 2014, < http:thebulletin.orgzero-correct-goalcase-against-total-nuclear-disarmament >, diakses pada

  13 Desember 2016.

  29 A. O’Neill, p. 46. 30 R. J. Lewicki, D. M. Saunders B. Barry, Essentials of Negotiation, 5th edn, McGraw-Hill, New York,

  2011, p. 115.

  mereka berusaha mempersuasi negara lain untuk mengubah dan menyamakan bingkai mereka sebagaimana bingkai yang diyakini oleh NWS.

  Jika dilihat berdasarkan jenis-jenis bingkai, 31 NWS telah melakukan beberapa macam pembingkaian. Substantive framing dilakukan ketika dalam perdebatan NWS menyampaikan

  isu pokok yang menjadi perhatian mereka, yakni mempertahankan kepemilikan senjata nuklir untuk berbagai macam kepentingan. Identity framing ditunjukkan ketika pembentukan NPT dan kesempatan-kesempatan lain ketika mereka membahas mengenai NPT. Karena di dalam NPT mereka mengkonstruksikan sebutan NWS dan NNWS yang membedakan status di antara negara-negara. Di dalam perundingan untuk voting draf resolusi L.41, NWS juga menggunakan process framing dalam menyampaikan argumen penolakan mereka. Pembingkaian tersebut membawa mereka pada posisi menolak mekanisme voting yang digunakan dalam perundingan perlucutan senjata nuklir. Sebaliknya, mereka menginginkan proses perundingan yang mengambil keputusan berdasarkan konsensus sebagaimana

  diterapkan dalam NPT. 32

  Pembingkaian memang tidak dapat dihindari ketika memahami suatu isu yang dibicarakan. Namun pembingkaian juga bisa mengarahkan pada bias-bias kognitif yang menghalangi tercapainya kesepakatan dalam perundingan. Suatu aktor strategis akan cenderung memahami suatu situasi atau isu baru sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka peroleh di waktu-

  waktu yang lalu. 33 Dalam perundingan baru—dengan mekanisme voting dan menggunakan pendekatan kemanusiaan—mengenai perlucutan senjata nuklir, NWS menolak dengan