Efikasi Suplementasi Besi Multivitamin Terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita

(1)

EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN

TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA

DODIK BRIAWAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efikasi Suplementasi Besi-Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

Dodik Briawan NIM A561040051


(3)

Status Besi Remaja Wanita. Dibimbing oleh HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, dan SRI ANNA MARLIYATI.

Anemia merupakan masalah gizi mikro yang banyak terjadi pada setiap tahapan siklus kehidupan manusia, termasuk remaja wanita. Meskipun defisiensi asupan zat besi dianggap sebagai penyebab utama anemia, tetapi defisiensi vitamin juga turut berperan didalam perbaikan status besi. Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja wanita.

Desain yang digunakan adalah studi eksperimental (randomized control trial), dengan sampel sebanyak 224 remaja berusia 17-20 tahun mahasiswi tingkat satu di Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) yang tinggal di Asrama tahun 2005/2006. Sampel dialokasikan secara acak kedalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol, kelompok B-F (besi 60 mg, folat 250 ug), kelompok B-MV (besi 60 mg, folat 800 ug, vitamin A 4200 ug, vitamin C 500 mg, vitamin B12 16,8 ug). Suplemen dikemas dalam bentuk kapsul dengan ukuran dan warna yang sama, sehingga sampel tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan. Kapsul diberikan seminggu sekali selama 25 minggu. Selama suplementasi, sampel diberi makanan tambahan berupa snack dan minuman senilai kurang lebih 250-400 kkal/hari. Indikator status besi yang digunakan adalah hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), dan serum feritin (SF). Peubah yang potensial sebagai pengganggu diukur pada awal dan selama pelaksanaan suplementasi, meliputi karakteristik sosial-ekonomi, menstruasi, konsumsi pangan, ukuran anthropometri, jumlah kapsul, dan konsumsi makanan tambahan. Uji t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan biomarker sebelum dan setelah suplementasi. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui perbedaan distribusi peubah non-parametrik ketiga perlakuan. Uji efikasi status besi (∆Hb, ∆STfR, ∆SF) menggunakan Ancova dengan kovariat peubah pengganggu tersebut di atas dan status besi awal (baseline).

Jumlah sampel yang mengalami drop-out sebanyak 21 orang (9,4%), dengan alasan sering tidak pulang ke asrama 10 orang, sampel darah menjadi rusak/beku 4 orang, tidak mau melanjutkan minum kapsul 4 orang, tidak datang saat pengambilan sampel darah 3 orang. Rata-rata umur sampel adalah 18,5±0,6 tahun. Rata-rata lama menstruasi 6,4±1,5 hari, dan siklus menstruasi teratur selama 28,1±3,7 hari. Rata-rata pengeluaran bulanan selama tinggal di Asrama adalah Rp 476.985±177.651. Alokasi untuk membeli makanan sebesar Rp 212.660 (44,6%), minuman Rp 32.464 (6,8%) dan jajanan Rp 26.819 (5,7%). Rata-rata kepatuhan konsumsi kapsul cukup tinggi, yaitu sebanyak 22 dari 25 butir (89,7%) yang diberikan selama suplementasi.

Sebelum suplementasi, rata-rata indeks masa tubuh (IMT) sampel adalah 19,8 kg/m2, dan sebanyak 24,5% berada pada kategori kurus (IMT<18,5 kg/m2). Dari penilaian konsumsi pangan, rata-rata asupan energi 1481±323 kkal, protein 36,0±8,8 g, vitamin A 621±472 RE , vitamin C 59±54 mg, dan zat besi 13,7±4,3 mg. Prevalensi defisit asupan dari kelima gizi (<70% AKG) cukup tinggi, yaitu energi dan protein 71-78%, vitamin C 68-90%, zat besi 50-55%, dan vitamin A 28-46%. Pemberian makanan tambahan (PMT berupa snack dan minuman) selama suplementasi dapat meningkatkan homogenisasi sampel, terutama asupan zat makro (energi 350 kkal dan protein 5,9 g). Pada akhir suplementasi terjadi sedikit


(4)

menjadi 98,3%, protein 73,5% menjadi 87,1%; dan penurunan vitamin A 108,7% menjadi 108,4%, vitamin C 78,9% menjadi 62,7%, dan zat besi 52,7% menjadi 45,5%. Selama suplementasi, rata-rata asupan zat gizi dari PMT sebesar 342 kkal energi; 5,7 g protein; 83 RE vitamin A; 0,2 mg vitamin B12; 11 mg vitamin C; dan 2,9 mg zat besi.

Dengan uji Anova, peubah karakteristik sampel, seperti umur, sosial-ekonomi, menstruasi; asupan gizi makro dan mikro; indeks massa tubuh (IMT); asupan energi dan zat gizi; konsumsi makanan tambahan (PMT); dan kepatuhan minum kapsul diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Sebelum suplementasi, prevalensi mahasiswi menderita deplesi simpanan besi 41,7%, defisit besi eritropoiesis (IDE) 40,1%, anemia 25,1%, dan anemia gizi besi (IDA) 16,4%. Indikator biomarker awal, yaitu hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF) pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05), rata-rata 126,2±13,1 g/l dan 18,3± 15,9 ug/l. Namun untuk serum transferin reseptor (STfR) lebih baik pada kelompok kontrol dibandingkan dengan B-F dan B-MV, yaitu berturut-turut 5,8 mg/l; 7,9 mg/l; 11,8 mg/l, dan ketiganya berbeda nyata (p<0,05).

Setelah suplementasi tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) kenaikan Hb diantara ketiga kelompok, yaitu 10,6 g/l (kontrol), 9,3 g/l F), dan 10,4 g/l (B-MV). Kapsul B-MV berhasil memperbaiki status besi transpor, yang ditunjukkan oleh penurunan STfR dibandingkan dengan kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR (adjusted) berturut-turut sebesar -4,2 mg/l, -1,3 mg/l, +0,9 mg/l, dan diantara ketiga kelompok perbedaannya nyata (p<0,05). Demikian pula kapsul B-MV berhasil meningkatkan SF secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol. Perubahan SF (adjusted) pada kelompok B-MV (+13,4 ug/l) lebih tinggi dibandingkan kelompok B-F (+5,1 ug/l) dan kontrol (-1,7 ug/l). Demikian pula indikator besi tubuh (body iron) pada kelompok B-MV terjadi peningkatan paling tinggi yaitu 2,5 mg/kg (dari 1,0 mg/kg menjadi 3,5 mg/kg), dibandingkan kapsul B-F sebesar 1,5 mg/kg (dari 1,9 menjadi 3,4 mg/kg), dan kelompok kontrol justru menurun dari 2,7 menjadi 2,3 mg/kg. Uji Anova menunjukkan besi tubuh pada B-MV secara signifikan (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan B-F dan kontrol.

Kesimpulannya, penambahan multi-vitamin pada suplemen besi dengan dosis tertentu yang diminum seminggu sekali, jika dibandingkan kontrol secara signifikan dapat memperbaiki status besi yang ditunjukkan oleh perbaikan indikator STfR dan SF.

Kata kunci: hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), suplementasi besi-multivitamin, status besi, remaja wanita


(5)

DODIK BRIAWAN. The Efficacy of Iron-multivitamin Supplementation on Improving Iron Status of Adolescent Females. Supervised by HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, SRI ANNA MARLIYATI.

The study was aimed to analyze the efficacy of supplementation iron-multivitamin for improving the iron status of adolescent females through the randomized control trial. Subjects were 224 of the first grade university students (IPB) who were randomly allocated to three study groups. The first group received only placebo (control group); the second group received 60 mg iron, 250 ug folate (B-F group); the third group received 60 mg iron, 800 ug folate, 4200 ug retinyl acetate, 500 mg vitamin C, and 16.8 ug vitamin B12 (B-MV group). All supplements were distributed and consumed weekly during 25 weeks. The mean changes in Hb, STfR and SF among the groups were tested with Ancova and adjusted with BMI; capsule compliance; food/snack compliance; adequacy of energy, protein, vitamin A, vitamin C, iron; and baseline value of Hb, STfR, SF. The results showed the demographics and nutritional characteristics of samples were not significantly different. At the baseline, the mean of haemoglobin (Hb=126.2±13.1 g/l) and serum ferritin (SF=18.3±15.9 ug/l) were not significantly different among the three groups (p<0.05). However, the serum transferrin receptor (STfR) was lower in the control (5.8 ± 3.2 mg/l) than B-F (7.9 ±4.4 mg/l) and B-MV (11.8±5.5 mg/l). After 25 week of supplementation, the mean change of hemoglobin was not different among the three groups (10.1 g/l; p>0.05). The B-MV group significantly lower decreased in STfR (-4.2 mg/l) and higher increased in SF (+13.4 ug/l) compared to B-F and control group (p<0.05). Meanwhile, only the STfR in B-F group (-1.3 ug/l) was significantly lower than control group (p<0.05). This implied the important of the multi-vitamin to complement the iron supplementation.

Keywords: haemoglobin (Hb), serum transferrin receptor (STfR), serum ferritin (SF), iron status, iron-multivitamin, iron-folate, adolescent female


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

Oleh

DODIK BRIAWAN

GMK A561040051

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Nama : Dodik Briawan

NIM : A561040051

Program Studi : Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga (GMK)

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

Ketua Anggota

Prof. Dr. Muhilal, APU Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi GMK, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

permasalahan gizi yang banyak terjadi di masyarakat yaitu defisiensi zat besi. Pada tahun 1995, Dr. Pattanee Winichagon (INMU, Thailand) dan Dr. Geoffrey C. Marks (University of Queensland, Australia) telah memperkenalkan dan membimbing penulis untuk melakukan studi gizi besi pada anak remaja wanita SMP di Nakhon Phatom (Thailand) untuk penulisan tesis. Sehingga penulisan disertasi ini merupakan kelanjutan fokus penulis untuk mempelajari upaya perbaikan status besi, khususnya pada kelompok remaja. Hasil studi ini menunjukkan penambahan vitamin A, C, dan B12 selain kapsul standar besi-folat tidak hanya memperbaiki indikator hemoglobin, tetapi juga serum transferin reseptor, dan serum feritin.

Puji syukur alhamdulillah dipanjatkan ke haribaan Allah Subhanalahu Wata’ala yang telah meridhoi jerih payah dan usaha yang telah saya lakukan sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini. Proses penelitian yang panjang sudah dilalui sejak persiapan sekitar bulan Juli 2005, dan kemudian pada setiap tahapan kegiatan telah banyak pihak yang membantu kelancarannya. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah berperan didalam proses ini.

Kepada Tim Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (ketua) yang telah banyak memberikan masukan didalam merancang desain, analisis data, dan pembahasan. Semangat dan kejelian beliau sangat membantu penulis untuk tetap “berenergi” dan berupaya maksimalkan memperbaiki mutu penulisan. Prof. Dr. Muhilal, APU (anggota) telah banyak memberikan masukan untuk formulasi suplemen, masukan didalam penulisan dan rekomendasi beliau untuk memperoleh bantuan dari PT Kimia Farma. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS (anggota) dan juga ketua tim kegiatan “Feeding Program” telah memberikan kepercayaan dan keleluasaan pada penulis untuk merancang riset ini, termasuk penggunaan dana yang cukup besar untuk analisis biomarker. Masukan yang kritis dan supervisi yang intensif selama di lapang telah membuat penulis untuk berhati-hati didalam proses pengumpulan data. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS (anggota) telah banyak memberikan masukan dan perhatian didalam penulisan, dan dengan sangat jeli dan kritis didalam mencermati outline dan redaksi penulisan.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur SEAFAST Center IPB, Dr. Ir. Purwiyatno Haryadi, MSc atas kepercayaanya untuk menugaskan saya sebagai anggota tim kegiatan “Feeding Program”, sehingga saya dapat memanfaatkan kesempatan untuk melakukan riset ini. Demikian pula kepada PT Kimia Farma (cq. Divisi Riset dan Pengembangan) melalui Drs.Dediwan dan Dra. V. Ani Trimuryani yang telah membantu didalam formulasi dan produksi kapsul dan penyediaannya untuk suplementasi. Direktur Kemahasiswaan IPB (Dr. Drs. Rimbawan) dan Kepala Asrama TPB-IPB (Dr. Bony Poernomo WS) dan seluruh staf di kedua kantor yang telah memberikan kemudahan mengumpulkan data, memfasilitasi tempat, sarana, dan tenaga selama kegiatan intervensi dilaksanakan. Peran serta seluruh peserta “feeding program” yang ikut dalam studi ini sangat kami hargai, semoga kesediaan serta keikhlasan Saudara menjadi amal ibadah dan juga menjadi kontribusi bagi pengembangan ilmu gizi ke depan. Saya mohon maaf apabila telah khilaf dan menyebabkan ketidaknyaman selama proses pelaksanaan studi berlangsung.


(10)

berlangsung. Demikan pula kepada teman sejawat di Dept. Gizi Masyarakat: Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS; Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc, Dr.Ir. Siti Madanijah, MS, dr. Mira Dewi terima kasih atas sumbangan ide dan pemikiran melalui berbagai kesempatan dan diskusi informal.

Kepala Laboratorium Biokimia SEAMEO-UI dan staf (Mbak Asih dan Umi) telah memberi kemudahan didalam proses analisa biomarker. Tim Asisten Peneliti yang dengan tekun dan penuh tanggung-jawab telah membantu setiap tahapan kegiatan (Yuni Pradila, SP; Ratnasari, SP; Adi Praja, SP; Primadhani, SP; M Aries, SP; Meta Puspasari, SP; Marhammah, SP; Nurchasanah, SP; Agustin, Siswati, Yati, Ade, dan Lia yang telah dengan tekun membantu manajemen pengelolaan data. Terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Titi Riani, MS yang menjadi penggerak utama saat pengumpulan data dan intervensi. Demikian pula dorongan dan kasih sayang dari keluarga (isteri Irawati, SP dan keponakan Moh. Nabil Ramadhan) telah membawa proses studi dan penulisan disertasi ini menjadi lebih berarti. Terima kasih pula atas dukungan dan do’a dari keluarga besar Bpk/Ibu Moestiko, Ir. Etik Purnawati, Tri Hermantoro, Ssos. MM di Jawa Timur; Keluarga Soetarno, BA di Jawa Tengah; keluarga Ir. Retnaningsih, MS; dan Ir. Purwoko di Bogor.

Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, saya menyampaikan terima kasih atas bantuannya. Sekecil apapun kontribusi Bapak/Ibu/saudara sekalian sangat berarti bagi saya, dan mudah-mudahan mendapatkan balasan sebagai amal ibadah dari Allah SWT. Dan apabila terdapat kesalahan dan khilafan selama ini, mohon dibukakan pintu maaf.

Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak, maka keseluruhan isi disertasi ini siap dikritisi dan diberikan masukan untuk perbaikan. Beberapa hasil studi masih perlu untuk dipublikasikan, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008


(11)

Ibu Wartini yang dilahirkan di Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur), 1 Juli 1966. Penulis melewati masa pendidikannya mulai dari SD sampai SMA di kota yang sama. Tahun 1984 melalui PMDK (sekarang USMI), penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), kemudian memilih dan diterima di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK). Selama kuliah S1 memperoleh beasiswa ikatan dinas dari World Bank melalui Proyek CHN-III.

Setelah lulus sarjana tahun 1989, mulai masa pengabdiannya sebagai tenaga asisten dosen di Laboratorium Gizi Masyarakat, Jurusan GMSK, IPB. Kemudian tahun 1995-1996 menyelesikan studi master degree di bidang community nutrition

di University of Queensland Australia dengan beasiswa dari pemerintah Australia (AUSAID). Selain mengajar dan meneliti, penulis pernah menjadi Sekretaris I Bidang Sarana Pendidikan dan Sumberdaya Manusia (1998-2000), dan Sekretaris I Bidang Akademik (2000-2004) di Jurusan GMSK, Faperta, IPB. Selain itu penulis juga pernah menjadi Sekretaris Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) dari tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, dengan beasiswa dari Program DUE-like (Dikti), akhirnya penulis memutuskan untuk melanjutkan pendalamannya di bidang ilmu gizi masyarakat di Institut Pertanian Bogor.

Di dalam kegiatan akademik, penulis pernah mengajar di program diploma, sarjana, dan pasca sarjana di IPB. Mata kuliah yang diberikan adalah: Gizi untuk Kelompok Khusus, Ekonomi Pangan dan Gizi, Ilmu Gizi Dasar, Ilmu Gizi Lanjut, Pangan dan Gizi, Epidemiologi Gizi Dasar, Epidemiologi Gizi Lanjut. Kegiatan pengabdian masyarakat dilakukan melalui berbagai aktifitas dalam bentuk bantuan teknis dan pelatihan baik di instansi pemerintah, LSM dan masyarakat. Untuk kegiatan profesi, selain sebagai anggota juga aktif sebagai pengurus di DPP Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) dan DPP PERGIZI PANGAN.


(12)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Tujuan ...4

Hipotesis...4

Kegunaan ...4

TINJAUAN PUSTAKA ...5

Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi ...5

Remaja dan Kebutuhan Zat Besi...9

Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi ...13

Metabolisme Zat Besi ...16

Hemoglobin dan Sel Darah Merah...21

Penilaian Status Gizi Besi ...23

Peran Vitamin dalam Perbaikan Status Gizi Besi ...25

Program Perbaikan Status Gizi Besi ...34

KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ...40

Kerangka Pemikiran...40

Definisi Operasional ...43

METODE ...45

Desain dan Waktu Penelitian ...45

Formula Kapsul Suplemen...46

Cara Penentuan Sampel ...48

Pelaksanaan Suplementasi ...50

Jenis dan Cara Pengumpulan Data...52

Pengolahan dan Analisis Data...55

HASIL . ...58

Karakteristik Sampel...58

Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga ...58

Keadaan Menstruasi ...60


(13)

Konsumsi pangan dan zat gizi...66

Kebiasaan Makan ...66

Konsumsi Pangan...69

Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi ...74

Asupan dan Tingkat Kecukupan Protein...78

Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin A ...80

Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin C ...83

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Besi...85

Konsumsi dan Asupan Energi dan Zat Gizi Makanan Tambahan (PMT) .87 Suplai dan Kepatuhan Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...87

Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...90

Suplementasi Kapsul...91

Kepatuhan Minum kapsul ...91

Manfaat dan Keluhan Setelah Minum Kapsul ...92

Status Zat Besi ...94

Kadar Hemoglobin (Hb) ...96

Kadar Serum Transferin Reseptor (STfR) ...100

Kadar Serum Feritin (SF)...103

PEMBAHASAN ...108

Pelaksanaan Suplementasi ...108

Karakteristik Sampel ...111

Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi ...114

Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) ...118

Kadar Hb, STfR, dan SF sebelum Suplementasi ...120

Pengaruh Suplementasi terhadap Hb, STfR, dan SF...122

Generalisasi Penelitian ...130

Implikasi ...131

KESIMPULAN DAN SARAN...135

DAFTAR PUSTAKA ...137

LAMPIRAN...145


(14)

1. Indikator terjadinya defiensi gizi besi pada wanita dewasa ...25

2. Rancangan kelompok perlakuan dan jenis suplemen...45

3. Jenis peubah dan cara pengumpulan data ...52

4. Karakteristik sosial ekonomi keluarga sampel

menurut kelompok perlakuan...59

5. Karakteristik sampel menurut keadaan menstruasi

dan kelompok perlakuan ...60

6. Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan..63

7. Rata-rata berat, tinggi badan dan indeks massa tubuh sampel menurut

kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...64

8. Sebaran sampel menurut frekuensi makan lengkap dan kelompok

perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...67

9. Sebaran sampel yang mengkonsumsi jenis makanan kurang

dari 5-7 kali/minggu sebelum dan sesudah suplementasi ...68

10. Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan dan persentase sampel yang

mengkonsumsinya sebelum dan sesudah suplementasi ...70

11. Rata-rata persentase kontribusi asupan zat besi dari kelompok

pangan sebelum dan sesudah suplementasi...73

12. Rata-rata asupan energi dan tingkat kecukupannya menurut

kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...76

13. Perubahan biomarker menurut kategori tingkat kecukupan

energi (70% AKG) dan kelompok perlakuan ...78

14. Rata-rata asupan protein dan tingkat kecukupannya menurut

kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...79

15. Rata-rata asupan vitamin A dan tingkat kecukupannya

menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi...81

16. Rata-rata asupan vitamin C dan kecukupannya menurut

kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...84

17. Rata-rata asupan zat besi dan tingkat kecukupannya menurut

kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...86

18. Rata-rata suplai zat gizi per hari dari makanan tambahan ...87


(15)

20. Rata-rata asupan zat gizi dari makanan tambahan

selama suplementasi menurut kelompok perlakuan...90

21. Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan

minum kapsul dan kelompok perlakuan ...92

22. Sebaran sampel menurut manfaat minum kapsul

dan kelompok perlakuan ...93

23. Sebaran sampel menurut keluhan sesudah minum kapsul

dan kelompok perlakuan ...94

24. Interpretasi kategori serum feritin dan serum

transferin reseptor untuk defisiensi zat besi ...96

25. Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) menurut kelompok perlakuan

sebelum dan sesudah suplementasi ...97

26. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status anemia sebelum

suplementasi ...98

27. Rata-rata kadar serum transferin reseptor (STfR) menurut

kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...101

28. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status IDE

sebelum suplementasi...102

29. Rata-rata kadar serum feritin (SF) menurut kelompok perlakuan

sebelum dan sesudah suplementasi ...104

30. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status deplesi

simpanan besi sebelum suplementasi...106

31. Rata-rata zat besi di dalam tubuh sebelum dan sesudah suplementasi

menurut kelompok perlakuan...107


(16)

1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al.

1979 diacu dalam Beard 2000) ...17

2. Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996)...19

3. Peranan vitamin pada metabolisme zat besi dan eritropoiesis

(Hughes-Jone dan Wickramasinghe 1966 diacu dalam MIP 2000)...26

4. Kerangka operasional penelitian ...42

5. Persentase sampel yang mengalami keluhan menjelang dan saat

menstruasi ...62

6. Rata-rata asupan energi menurut hari kuliah dan libur

sebelum suplementasi...75

7. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan

energi sebelum dan sesudah suplementasi ...77

8. Rata-rata asupan protein menurut hari kuliah dan libur

sebelum suplementasi...79

9. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan protein

sebelum dan sesudah suplementasi ...80

10. Rata-rata asupan vitamin A menurut hari kuliah dan libur

sebelum suplementasi...81

11. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan vitamin A

sebelum dan sesudah suplementasi ...82

12. Rata-rata asupan vitamin C menurut hari kuliah dan

libur sebelum suplementasi ...83

13. Persentase sampel yang mengalami defisit vitamin C

sebelum dan sesudah suplementasi ...84

14. Sebaran asupan zat besi menurut hari kuliah dan libur

sebelum suplementasi...85

15. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan zat besi

sebelum dan sesudah suplementasi ...86

16. Persentase sampel menurut tingkat pengambilan makanan tambahan ...88

17. Persentase sampel menurut tingkat kepatuhan

konsumsi makan tambahan ...89


(17)

suplementasi...100

20. Distribusi kategori status serum transferin reseptor (STfR)

sebelum dan sesudah suplementasi ...103

21. Distribusi kategori status serum feritin (SF) sebelum dan sesudah

suplementasi...106

22. Tahapan terjadinya defisiensi besi dan perbaikan status besi

setelah suplementasi...123


(18)

1. Ethical clearance penelitian...146

2. Daftar kandungan energi dan zat gizi produk makanan tambahan ...147

3. Pernyataan kesediaan partisipasi penelitian (informed concent)...148

4. Kuesioner penelitian ...151

5. Tahapan analisis hemoglobin (Hb), serum feritin (SF) dan transferin reseptor (STfR) ...162

6. Rata-rata alokasi belanja bulanan menurut kelompok perlakuan ...166

7. Uji Anova kepatuhan minum kapsul besi ...167

8. Uji Anova dan post-hoc hemoglobin ...169

9. Uji Ancova dan estimasi selisih hemoglobin (Hb) ...172

10. Uji Anova dan post-hoc serum transferin reseptor (STfR) ...174

11. Uji Ancova dan estimasi serum transferin reseptor (STfR) akhir...177

12. Uji Anova dan post-hoc serum feritin (SF)...179

13. Uji Ancova dan estimasi selisih serum feritin (SF) ...182


(19)

Selama ini anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang secara global banyak ditemukan di berbagai negara maju maupun sedang berkembang. Penderita anemia diperkirakan hampir dua milyar atau 30% dari populasi dunia. Kelompok rawan penderita anemia mulai dari usia anak pra-sekolah, anak sekolah, remaja sampai dewasa; dan tidak hanya berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. Salah satu program yang di rekomendasikan WHO sejak awal tahun 1970-an adalah suplementasi besi-folat, dan telah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian perkembangan penurunan prevalensi anemia masih dinilai sangat lambat, yang ditunjukkan oleh rendahnya penurunan angka prevalensi, dan bahkan di beberapa negara malah terjadi peningkatan (WHO 2004).

Di dalam siklus hidup manusia, remaja wanita (10-19 tahun) merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu pada remaja wanita 26,50%, wanita usia subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1% dan anak balita 47,0%. Sebanyak 10-25% remaja wanita yang tinggal di pedesaan Indonesia sudah pernah menikah atau mengalami kehamilan (Depkes 2003). Pada ibu hamil, anemia dapat menyebabkan kematian ibu, bayi, atau berat bayi lahir rendah. Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja wanita dianggap strategis didalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya (WHO 2004). Selain itu dampak anemia gizi besi pada remaja adalah menurunkan produktivitas kerja dan juga akan menurunkan kemampuan akademis di sekolahan (Beard 2001; INACG 2004).

Pada awalnya, program suplementasi zat besi direkomendasikan WHO untuk diberikan kepada ibu hamil. Pada tahun 1968, suplementasi berupa zat besi elemental 60 mg diberikan setiap hari kepada ibu hamil trimester kedua dan ketiga. Kemudian tahun 1970 direkomendasikan penambahan asam folat kedalam suplemen zat besi. Didalam perkembangannya, terdapat beberapa perubahan rekomendasi WHO terhadap program suplementasi besi tersebut, termasuk


(20)

diantaranya tentang jumlah dosis, jenis zat gizi, lama intervensi, dan sasarannya. Saat ini target program suplementasi diperluas tidak hanya kepada ibu hamil, tetapi juga anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (Ekstrom 2001).

Studi efikasi dan efektifnes suplementasi berbagai zat gizi mikro (multi-micro

nutrients) sampai sekarang terus dilakukan dan masih terbuka untuk dikembangkan guna mendukung keberhasilan program perbaikan status gizi besi di masa mendatang.

Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, vitamin A, vitamin C, vitamin B12 dan riboflavin (Beard 2000; Allen dan Casterin-Sabell 2001; Allen 2002; Andrew 1999). Vitamin mikro tersebut relatif banyak dijumpai di dalam berbagai sumber bahan pangan, baik pangan hewani maupun nabati (kecuali vitamin B12). Meskipun vitamin tersebut banyak terdapat di dalam bahan pangan, namun juga mudah mengalami kerusakan di dalam proses pengolahan,

selain tingkat bioavailibilitasnya yang rendah pada pangan asal nabati (Lotfi et al.

1996).

Sampai saat ini belum banyak studi tentang prevalensi defisit berbagai zat gizi mikro (vitamin) tersebut di Indonesia, apalagi secara spesifik pada kelompok remaja. Dari beberapa studi yang ada, misalnya prevalensi defisit vitamin A pada remaja di Tangerang dan Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005); di Surabaya,

Bangkalan, dan Sampang prevalensi sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004).

Diperkirakan sebanyak 50% balita di Indonesia masih mempunyai serum vitamin A < 20 mcg/dl (Depkes 2005). Prevalensi defisit riboflavin remaja wanita sebesar 59-96% (Dillon 2005). Dari pendekatan asupan zat gizi di tingkat nasional, dijumpai prevalensi rumahtangga yang defisit zat gizi (<50%AKG) cukup besar, yaitu untuk zat besi 37,9%, vitamin C 53,8%, dan vitamin A 35,3% (Depkes 2005).

Di negara lain, kajian profil biomarker yang relatif lengkap untuk zat gizi

mikro tersebut diantaranya studi Ahmed et al. (2005) di Bangladesh pada remaja

wanita 14-18 tahun, dan ditemukan prevalensi defisit asam folat 29%, riboflavin 89%, vitamin A 41%, vitamin B12 4,5%, dan vitamin C 6%. Survey di lima negara Amerika Latin menunjukkan jumlah prevalensi defisit vitamin B12 yang


(21)

cukup merata antar negara yaitu 40-50%, sedangkan prevalensi defisit asam folat beragam yaitu antara 5-89% (Allen 2004).

Berdasarkan data tersebut di atas, untuk perbaikan status besi melalui suplementasi zat besi kemungkinan diperlukan tambahan zat gizi lainnya (multivitamin). Secara terpisah beberapa peneliti telah melakukan penambahan

zat gizi lain kedalam suplementasi zat besi, misalnya vitamin A (Suharno et al.

1993; Ahmad et al. 2001; Soekarjo et al. 2004; Tanumihardjo et al. 2004),

vitamin C (Jayatissa dan Piyasena 1999), vitamin A dan vitamin C

(Angeles-Agdeppa et al. 1997) atau vitamin A dan riboflavin (Dillon 2005). Hasilnya

menunjukkan dengan penambahan zat besi dengan zat gizi lainnya (vitamin), diantaranya akan dapat memperbaiki status besi. Namun masih perlu dilakukan studi lanjutan, dengan melihat efikasi gabungan besi-multivitamin (B-MV) tersebut terhadap perbaikan status besi.

Selain masalah gizi mikro, kelompok remaja juga sering mengalami

kekurangan energi dan protein. Angka prevalensi gizi kurang (stunted) yang

sangat tinggi di Asia diantaranya akibat kekurangan zat gizi makro yang kronis (World Bank 2003; UNS-SCN 2004). Di Indonesia prevalensi gizi kurang (kurus) pada remaja sebesar 17,4 % (Permaesih dan Herman 2005). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap mahasiswi IPB, rata-rata mengalami defisit energi sebesar 250-500 kkal (Fitri 2005). Oleh karena itu, IPB pada tahun ajaran 2005/2006 melakukan kegiatan perbaikan pangan dan gizi kepada mahasiswa

tingkat satu, dengan memberikan makanan tambahan berupa snack/minuman dan

pendidikan gizi.

Suplementasi besi-multivitamin akan lebih efektif apabila kebutuhan terhadap zat gizi makro sudah terpenuhi. Energi dan protein diperlukan pada proses metabolisme zat besi di dalam tubuh mulai dari absorpsi, transportasi, dan

mobilisasi simpanannya (Beard et al. 1996; Wessling-Resnick 2000). Zat besi di

dalam tubuh hampir 80% berikatan dengan protein, diantaranya adalah

haemoglobin, transferrin, transferrin receptor dan ferritin yang merupakan senyawa kompleks protein dengan zat besi. Senyawa tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator yang sensitif untuk penilaian status besi di dalam tubuh (Koury dan Ponka 2004).


(22)

Studi ini dilakukan untuk mengkaji efikasi kapsul besi-multi vitamin (B-MV) terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja. Efikasi kapsul B-MV tersebut diuji dengan membandingkannya dengan kapsul program pemerintah besi-folat (B-F) dan kapsul plasebo. Suplementasi besi-multivitamin diberikan kepada remaja wanita yang kebutuhan zat gizi makronya (energi-protein) sudah relatif terpenuhi. Pertanyaan penelitian ini adalah: 1) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan hemoglobin?, 2) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan menurunkan serum transferin reseptor?, dan 3) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan serum feritin?

Tujuan

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengkaji efikasi pemberian suplemen besi-multi vitamin terhadap perbaikan status besi pada remaja wanita. Secara khusus tujuan penelitian adalah:

1. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan

hemoglobin (Hb) pada remaja wanita.

2. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan

serum transferin reseptor (STfR) pada remaja wanita.

3. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan

serum feritin (SF) pada remaja wanita.

Hipotesis

1. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar hemoglobin

lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.

2. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) menurunkan kadar serum

transferin reseptor lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.

3. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar serum feritin

lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.

Kegunaan

Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan perbaikan program suplementasi besi, khususnya untuk kelompok remaja dan wanita usia subur (WUS) yang tidak hamil. Pengembangan formulasi suplemen besi-multivitamin ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah yang mengarah


(23)

Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia, yang terjadi tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan dua milyar, dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika (UN-SCN 2004). Bahkan WHO menyebutkan bahwa anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar di abad modern ini. Kelompok yang berisiko tinggi untuk penderita anemia adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil, anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian kelompok pria juga tidak terlepas dari risiko menderita anemia (INACG, 2001). Kurang lebih 50% kasus anemia di dunia kebanyakan diakibatkan oleh defisiensi zat besi (INACG 2003; WHO 2004).

Kejadian anemia menyebar hampir merata di berbagai wilayah di dunia. Berdasarkan wilayah regional, WHO melaporkan prevalensi anemia pada ibu hamil yang tertinggi adalah di Asia Tenggara (75%), kemudian Mediteran Timur (55%), Afrika (50%), serta wilayah Pasifik Barat, Amerika Latin, dan Karibia (40%). Kasus anemia pada anak-anak (6-59 bulan), prevalensi tertinggi di Asia Tenggara (65%), Mediterian Timur dan Afrika (45%), Pasifik Timur, Amerika Latin dan Karibia (20%). Negara atau wilayah dengan prevalensi >10% pada satu atau lebih kelompok rawan, dipertimbangkan sebagai wilayah yang mempunyai masalah kesehatan masyarakat (MOST 2004).

Meskipun anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama bertahun-tahun, namun kemajuan didalam penurunan prevalensinya masih dinilai sangat rendah (WHO 2004). Bahkan di beberapa negara ditemukan terjadi peningkatan prevalensi anemia pada wanita dewasa (Allen & Casterline-Sabel 2001). Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat, prevalensi anemia termasuk berat jika prevalensi ≥ 40%, sedang 20-39%, ringan 5-19,9%, dan normal < 5% (MOST 2004). Prevalensi anemia di Indonesia termasuk berada pada kategori sedang, namun untuk beberapa kelompok umur termasuk kategori berat. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, dan perkembangannya dari tahun 1995 sampai 2001 tidak menunjukkan penurunan yang nyata (Depkes 2003). Dari data terakhir menunjukkan prevalensi anemia menurut kelompok


(24)

penderita yaitu, pada anak balita (47%) dan ibu hamil (40,1%) termasuk kategori berat, sedangkan pada wanita usia subur kategori sedang (26,9%) (Depkes 2005). Pada remaja wanita, data prevalensi anemia di dunia diperkirakan 46% (Beard 2003). Di Indonesia dari laporan Depkes (2005) data prevalensi anemia pada remaja wanita (15-19 tahun) sebesar 26,5%, dan pada wanita usia subur 26,9%. Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25,5% dengan perincian laki-laki 21% dan 30% pada perempuan. Prevalensi tersebut lebih besar di perdesaan (27%) dibandingkan dengan perkotaan (22,6%).

Hasil studi di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan prevalensi anemia pada remaja wanita cukup beragam. Prevalensi anemia di SMU Jakarta Timur 17,2 % (Angeles-Agdeppa et al. 1997), di SMP dan SMU Jawa Tengah 57,4% dan Jawa Timur 80,2% (Depkes 2003), di SMU Tangerang 54% dan SMU Jakarta Timur 45% (Dillon 2005), di Sekolah Madrasah Madura 48,1% (Sari et al.

2004), di SMP Jawa Timur 26% (Soekarjo et al. 2004), di SD Tangerang 26,7% (Kurniawan & Muslimatun 2005), dan mahasiswi IPB 23,4% (Setiawan et al.

2006).

Jumlah zat besi di dalam tubuh hanya sedikit (3-5 g) namun mempunyai peranan yang sangat besar. Peran penting zat besi di dalam tubuh adalah untuk membentuk hemoglobin dan membantu berbagai proses metabolisme tubuh. Metabolisme tersebut diantaranya merubah pro-vitamin A menjadi vitamin A aktif, transpor oksigen, pembentukan DNA/RNA, sintesa karnitin untuk transportasi asam lemak, sintesa kolagen, dan sintesa neurotransmiter (Beard et al.1996; Agus 2005).

Anemia merupakan masalah gizi yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan mempunyai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan, kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat. Termasuk diantaranya adalah gangguan perkembangan kognitif, kemampuan kerja, meningkatkan resiko kematian saat persalinan dan perinatal. Ramakrishnan (2001) menyebutkan gangguan fungsional anemia gizi besi berbeda-beda berdasarkan tahapan siklus kehidupan manusia, yaitu mulai saat kehamilan, bayi dan anak prasekolah, anak usia sekolah, dan usia dewasa. Pada orang dewasa anemia menyebabkan gangguan fungsi imunitas, mental, fisik,


(25)

dan termoregulasi (Beard 2001), sedangkan Benoist (INACG 2004) menyebutkan konsekuensi utama anemia adalah gangguan kognitif dan pertumbuhan fisik pada anak-anak, dan menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa. WHO (2004) menambahkan bahwa anemia menjadi penyebab risiko kematian yang tinggi saat kehamilan dan bayi.

Secara komprehensif AISAP (Australia Iron Status Advisory Panel) (2005) menyebutkan zat besi mempunyai peranan penting pada berbagai proses biokimia di dalam tubuh. Oleh karena itu defisit zat besi dapat menyebabkan spektrum gangguan biokimia yang luas, termasuk konsekuensi non-hematologi seperti gangguan sistem imunitas, kapasitas kerja, dan fungsi neurologi. Konsekuensi klinis dari anemia gizi besi (IDA) adalah: 1) Gangguan mental dan motorik pada bayi. Review dari lima studi pada anak di empat wilayah dengan budaya yang berbeda menunjukkan anemia menyebabkan rendahya skor mental dan motorik. Rendahnya skor tersebut terjadi pada penderita anemia yang lebih dari tiga bulan dibandingkan kurang dari tiga bulan, dan mempunyai konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,5 g/dL (anemia ringan). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan status besi tidak memperbaiki skor mental dan motorik, dan kemungkinan dapat bersifat permanen untuk usia selanjutnya. 2) Menurunnya kemampuan akademik anak sekolah dan remaja. Meskipun beberapa studi menunjukkan adanya hubungan tersebut, namun AIAP menilai belum banyak studi yang dilakukan dengan metode dan desain yang baik. Oleh karena itu belum jelas seberapa besar signifikansi gangguan intelektual penderita anemia pada anak usia sekolah dan remaja.

Pada penderita defisit besi eritropoiesis (iron deficiency erythropoiesis =IDE) akan mengalami konsekuensi: 1) Gangguan kemampuan fisik. Banyak studi yang menunjukkan menurunnya kemampuan fisik akibat defisit besi yang menyebabkan peningkatan konsentrasi laktat dalam darah. Penurunan fisik ini bahkan sudah terjadi sejak tingkat defisit besi ringan (Hb normal), namun akan pulih kembali setelah penderita diberikan kapsul suplementasi besi. Mekanismenya adalah penurunan Hb akan menurunkan transpor oksigen, dan kemampuan otot untuk menangkap oksigen menurun yang menyebabkan akumulasi laktat karena metabolisme anaerob. Pada atlet gangguan ini terjadi


(26)

terutama untuk kategori olah raga yang menuntut kemampuan endurance. 2) Gangguan fungsi neurologi. Studi dampak kognitif pada orang dewasa belum banyak dilakukan, dan hasilnya juga masih beragam. Tingkat kelelahan kronis (chronic fatique) dapat pulih kembali pada penderita defisit besi yang diberikan kapsul besi. Peningkatan serum feritin akan berhubungan dengan aktivasi syaraf hemisphere terutama yang mempengaruhi kemampuan untuk memfokuskan perhatian (AISAP 2005)

Gejala yang mengiringi defisit zat besi tergantung dari seberapa cepat proses terjadinya anemia. Pada kasus kronis, yaitu kehilangan darah secara perlahan di dalam tubuh, seseorang relatif dapat menyesuaikan diri pada konsentrasi Hb rendah, sehingga tidak muncul gejala klinis. Pemeriksaan fisik, anemia menyebabkan perubahan kulit, kuku, dan epitel lainnya. Atrofi kulit terjadi pada sepertiga pasien penderita anemia, dan perubahan kuku (bentuk seperti sendok dan mudah patah). Pasien juga menunjukkan angular stomatitis dan glositis (luka pada ujung bibir). Meskipun jarang terjadi, kadang-kadang terdapat ganguan pada jaringan tenggorokan dan kerongkongan. Perubahan ini karena gangguan enzim yang mengandung besi yang diperlukan pada epitel dan saluran pencernaan (Frewin et al. 1997). Sehingga untuk mengidentifikasi penderita anemia dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik. Gejala yang dapat dijumpai adalah cepat lelah, pucat pada kulit, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan, jantung berdenyut kencang, nafas tersengal, nyeri dada, pusing dan mata berkunang, cepat marah, tangan dan kaki dingin atau mati rasa (UNICEF/UNU/WHO 2001).

Kejadian anemia tidak terlepas dengan masalah kesehatan lainnya, bahkan dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan kejadian anemia adalah (MOST 2004): 1) Kurang lebih 20% kematian ibu hamil dan bayi baru lahir diakibatkan oleh anemia. Kebanyakan studi menunjukkan kejadian tersebut akibat anemia tingkat rendah dan sedang dari pada anemia berat. Risiko kematian ibu dan bayi (perinatal) akan berkurang sebesar 25% dan 28% untuk setiap kenaikan 1 g hemoglobin diantara 5-12 g/dl, 2) Anemia pada wanita hamil mengakibatkan berat bayi lahir rendah dan rawan untuk meninggal saat perinatal, 3) Defisit zat besi, baik yang anemia maupun non-anemia akan menurunkan


(27)

produktivitas kerja pada orang dewasa (physical activity), 4) Pada anak-anak sekolah menyebabkan keterbatasan perkembangan kognitif (school achievement) sehingga prestasi sekolah menurun. Studi Haltermen et al. (2001) pada 5398 anak usia 6-16 tahun di USA menunjukkan bahwa nilai matematika lebih rendah pada mereka yang defisit besi (anemi dan non-anemia) dibandingkan yang normal. Anak-anak yang defisit besi (anemia dan non-aemia) mempunyai resiko 2,3-2,4 kali dibandingkan anak normal, untuk memperoleh nilai matematika dibawah rata-rata.

Remaja dan Kebutuhan Zat Besi

Remaja atau adolescence adalah berasal dari bahasa Latin (adolescer) yang artinya tumbuh. Pada periode ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara anak-anak dan sebelum dewasa. Kategori periode usia remaja dari berbagai referensi berbeda-beda, yaitu antara 10-19 tahun atau 10-21 tahun (Krummel & Kris-Etherton 1996; Depkes 2001; World Bank 2003). Beberapa permasalahan yang terkait dengan gizi akan terjadi pada periode transisi kehidupan remaja ini.

Selama masa remaja akan mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Dibandingkan periode lainnya setelah kelahiran, masa remaja mengalami pertumbuhan terpesat kedua setelah pada tahun pertama didalam kehidupan. Lebih dari 20% total pertumbuhan tinggi badan dan sampai 50% massa tulang tubuh sudah dicapai pada periode ini. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi meningkat melebihi kebutuhan pada masa anak-anak (Krummel & Kris-Etherton 1996).

Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan (peak growth velocity) terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama, atau sekitar umur 10-14 tahun. Pertumbuhan tinggi badan terus berlangsung sampai 7 tahun setelah terjadi menstruasi. Maksimal tinggi badan wanita diperoleh paling awal pada usia 16 tahun, atau paling akhir 23 tahun (terjadi pada populasi yang kekurangan gizi). Beberapa tahun setelah selesai pertumbuhan tinggi badan (2-3 tahun), tulang pinggul masih tumbuh, sedangkan puncak masa tulang akan tercapai sampai usia 25 tahun. Proses optimalisasi pertumbuhan ini penting untuk mengurangi resiko gangguan sewaktu proses melahirkan (ADB/SCN 2001).


(28)

Proses biologis pada masa pubertas ditandai oleh cepatnya pertumbuhan tinggi, berat badan, perubahan komposisi jaringan, dan terdapatnya perubahan karakter seksual primer dan sekunder. Kebutuhan zat gizi paralel dengan laju pertumbuhan, dan kebutuhan tertinggi zat gizi akan terjadi pada puncak pertumbuhan tersebut. Karena terdapat variasi antar individu didalam kematangan dan pertumbuhan, maka kebutuhan zat gizi berkorelasi dengan perkembangan fisiologis daripada usia kronologis (waktu kalender). Misalnya seorang anak perempuan usia 12 tahun yang sudah puber, kebutuhan zat gizinya akan berbeda dibandingkan teman seusianya yang belum puber. Selama ini pengukuran tahapan perkembangan pubertas remaja dengan menggunakan sexual maturation rate

(SMR) berdasarkan karakteristik seksual sekunder (Tanner 1962 diacu dalam Krummel & Kris-Etherton 1996).

Perempuan yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan, dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Perempuan yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama, serta menstruasinya lebih lambat. Misalnya di India, puncak pertumbuhan berat dan tinggi badan terlambat 18 bulan pada anak-anak yang mempunyai riwayat status gizi kurang (stunting). Kondisi awal akibat stunting semasa anak, akan menentukan hasil akhir pencapaian tinggi badan setelah dewasa. Keterlambatan menstruasi diantaranya dapat disebabkan oleh simpanan zat besi yang kurang di dalam tubuh pada anak yang mengalami kurang gizi (ADB/SCN 2001).

Zat besi mempunyai peranan penting di dalam tubuh, yaitu komponen hemoglobin, transpor elektron di dalam sel, dan komponen beberapa enzim penting. Sebagian besar zat besi di dalam tubuh terdapat pada hemoglobin darah, yaitu sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Mioglobin adalah bentuk simpanan protein yang mengandung zat besi terdapat pada jaringan otot. Beberapa enzim yang mengandung zat besi (sitokrom) berperan pada metabolisme oksidatif, yaitu sebagai pembawa elektron untuk tranfer energi di dalam sel. Fungsi enzim yang mengandung besi lainnya, misalnya sitokrom P450, untuk sintesa hormon steroid sehingga apabila terjadi defisiensi besi akan mempengaruhi pertumbuhan skeletal (FAO/WHO 2001).


(29)

Penghitungan keseimbangan zat besi dengan menghitung selisih antara zat besi yang tertahan (retention) dengan kebutuhan zat besi (requirement) sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu (Beard et al. 1996 ). Zat besi yang tertahan adalah berasal dari asupan zat besi dan bioavailabilitasnya di dalam konsumsi pangan. Kelebihan zat besi dibandingkan kebutuhan tubuh akan disimpan dalam bentuk molekul feritin. Ketika terjadi keseimbangan negatif, simpanan feritin ini dapat digunakan untuk mensuplai kebutuhan zat besi di dalam sel. Tubuh mempunyai mekanisme yang unik untuk mempertahankan keseimbangan zat besi tersebut. Pertama, menggunakan kembali zat besi dari proses katabolisme sel darah merah, yaitu setelah 120 hari sel-sel yang mati dan terdegradasi oleh makrofak pada reticular endeotelium. Kedua, zat besi dalam bentuk simpanan (feritin) akan dapat mensuplai jika terjadi defisiensi zat besi. Ketiga, mekanisme yang melibatkan absorbsi zat besi di dalam usus, yaitu penyerapan akan meningkat saat simpanan besi turun, dan penyerapan akan menurun ketika simpanannya meningkat (FAO/WHO 2001).

Kebutuhan zat besi untuk remaja wanita ditentukan oleh kehilangan basal zat besi di dalam dan di luar tubuh, kehilangan saat menstruasi, dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat besi tersebut menurut Hallberg (2001) dan FAO/WHO (2001) diuraikan sebagai berikut:

Kehilangan zat besi basal. Kehilangan basal zat besi terdiri dari peluruhan sel-sel di permukaan eksternal dan internal tubuh. Zat besi tidak mengalami ekskresi secara aktif, namun kehilangan zat besi di dalam sel dapat terjadi melalui permukaan saluran intestin, urine dan pernafasan. Sebagai gambaran pada orang dewasa, komponen kehilangan zat besi di dalam tubuh adalah dari sel darah merah (turnover) rata-rata 0,38 mg Fe/hari, dari empedu 0,22-0,28 mg Fe/hari, peluruhan di saluran pencernaan ~0,24 mg Fe/hari dan urine ~ 0,5-1,0 mg Fe/hari (Bothwell

et al. 1979 diacu dalam Beard 2000 ). Median kehilangan zat besi pada remaja (15-17 tahun) sebesar 0,79 mg/hari. Pada wanita tidak menstruasi dengan berat badan 55 kg, mengalami kehilangan zat besi 0,8 mg/hari dengan variasi antar individu sebesar 15%. Kehilangan zat besi melalui keringat merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, terutama untuk di daerah tropis dan lembab. Namun studi terbaru menunjukkan perbedaan kehilangan besi melalui keringat tidak signifikan.


(30)

Kehilangan zat besi menstruasi. Tambahan kebutuhan besi untuk remaja wanita diantaranya diperlukan untuk menggantikan kehilangan zat besi selama menstruasi. Pada usia remaja, kehilangan darah menstruasi tidak berbeda dengan usia reproduktif lainnya. Berbagai studi antar negara menunjukkan kehilangan zat besi pada darah menstruasi jumlahnya relatif sama. Rata-rata kehilangan darah selama menstruasi 84 ml, sehingga setiap hari membutuhkan tambahan zat besi 0,56 mg. Pada individu yang sama tidak terdapat perbedaan kehilangan darah menstruasi antar waktu (bulan), namun perbedaan tersebut dapat terjadi antar individu (distribusi skewed). Rata-rata kehilangan zat besi pada siklus menstruasi 28 hari sebesar 0,56 mg/hari.

Kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat besi pada bayi 4-6 bulan dapat diabaikan, karena cadangan yang masih mencukupi. Tetapi setelah usia tersebut, ketika cadangan mulai berkurang, kebutuhan zat besi cukup tinggi, terutama untuk kehidupan 18 bulan berikutnya. Pada remaja kebutuhan zat besi yang tinggi terjadi terutama saat periode growth spurt. Rata-rata kebutuhan untuk pertumbuhan pada remaja 0,55 mg/hari. Namun karena terdapat variasi laju pertumbuhan antar individu, maka kebutuhan zat besi dapat melebihi angka rata-rata tersebut.

Pertumbuhan yang pesat selama remaja memerlukan banyak zat besi. Untuk remaja pria, masa pubertas terkait oleh meningkatnya massa tubuh dan konsentrasi hemoglobin. Kebutuhan untuk pria 20% lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan untuk wanita menstruasi. Pada remaja wanita, pertumbuhan masih berlanjut setelah mulai menstruasi. Pada usia 14 tahun, kebutuhan besi remaja wanita 30% lebih banyak dibandingkan dengan ibunya. Sebagai perbandingan kandungan zat besi di dalam tubuh seorang pria dewasa 3-5 g, sebanyak dua pertiganya terdapat sebagai molekul hemoglobin, yaitu sebagai wahana transportasi oksigen di dalam darah. Kebutuhan zat besi pada tingkat fisiologis pada pria dewasa 1 mg/hari, sedangkan remaja dan wanita usia subur 2-3 mg per/hari (Frewin, et al. 1997).

Fairweather-Tait (1966) diacu dalam Beard (2000) mengestimasi kebutuhan zat besi berdasarkan survey di UK dan Eropa, yaitu untuk remaja pria antara 1,45-2,03 mg/hari. Estimasi kebutuhan zat besi untuk remaja wanita sebelum


(31)

menstruasi 1,22 – 1,46 mg/hari, dan setelah menstruasi antara 1,39 – 2,54 mg/hari. Pada remaja wanita dengan rata-rata asupan besi 10-14 mg/hari, nampaknya dengan asupan tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan zat besi agar tidak terjadi deplesi, meskipun belum cukup untuk meningkatkan simpanan besi di dalam tubuh (Beard 2000).

Kebutuhan zat besi fisiologis pada remaja wanita diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh (0,5 mg), basal (0,75 mg), dan kehilangan darah menstruasi (0,6 mg). Apabila AKG besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan zat besi 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahan keseimbangan zat besi di dalam tubuh, termasuk untuk penyimpanan sebesar 300 mg (Krummel & Kris-Etherton 1996).

FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja 0,55 mg/hari. Asumsi kehilangan zat besi basal 0,65 mg dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan sekitar 1,68 mg per hari. Kebutuhan tersebut didasarkan pada tingkat fisiologis, sehingga kalau biovailibilitas sebesar 5-10%, maka setiap hari diperlukan 17 – 34 mg. Untuk Indonesia, rekomendasi kebutuhan zat besi untuk remaja wanita 10-12 tahun sebesar 20 mg dan umur 13-19 tahun sebesar 26 mg. Angka kecukupan zat besi tersebut didasarkan pada tingkat bioavailibilitas sedang atau sekitar 10% (Kartono dan Soekarti 2004).

Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi

Terdapat beberapa jenis anemia diakibatkan baik oleh defisiensi zat gizi, infeksi maupun genetik. Anemia aplastik (aplastic anemia) terjadi karena penurunan kemampuan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. Kasus anemia hemolitik (hemolytic anemia) karena sel darah merah yang lebih cepat mengalami kerusakan. Anemia bulan sabit (sickle cell anemia) terjadi karena kelainan sel darah merah akibat dari kerusakan genetik. Anemia karena penyakit kronis (anemia of chronic disease), misalnya karena cacing parasit yang memanfaatkan zat gizi dan menyebabkan perdarahan pada pembuluh darah, serta menurunkan absorpsi zat gizi. Infeksi pada penderita malaria dapat menyebabkan anemia dengan cara merusak sel darah merah (hemolisis) dan menekan produksi sel darah merah yang baru (MOST 2004).


(32)

Kejadian terhadap keempat jenis anemia tersebut di dalam populasi umumnya berjumlah sangat sedikit. Yang paling sering terjadi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangya asupan zat besi dan zat gizi lainnya, serta rendahnya tingkat penyerapan zat besi (MOST 2004). Selain defisiensi zat besi, anemia juga terjadi karena defisiensi vitamin A, vitamin C, asam folat, B12, atau secara umum karena kekurangan zat gizi (Beard 2000). Kajian diberbagai negara oleh Beaton dan McCabe (INACG 2001) menunjukkan estimasi proporsi anemia yang disebabkan oleh defisit zat besi berkisar antara 21-85%. Namun secara umum diasumsikan 50% kejadian anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi (INACG 2003; WHO 2004).

Menurut CDC (1998) dan FAO/WHO (2001) defisiensi zat besi secara umum dapat terjadi karena meningkatnya kebutuhan zat besi di dalam tubuh dan hambatan di dalam penyerapan (bioavailabilitas). Peningkatan kebutuhan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah yang berlebihan, pesatnya pertumbuhan, atau sedang mengalami kehamilan. Hambatan penyerapan zat besi dapat terjadi karena rendahnya konsumsi pangan sumber heme atau adanya gangguan (inhibitors) di dalam proses penyerapan tubuh. Penghambat penyerapan tersebut termasuk serat, polifenol, fitat dan kalsium susu.

Anemia dapat terjadi karena defisiensi zat besi (iron deficiency anemia). Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk memproduksi hemoglobin darah. Sebetulnya darah mengandung zat besi yang dapat didaur ulang kembali (turnover). Namun kehilangan darah yang cukup banyak, seperti saat menstruasi, kecelakaan, donor darah berlebihan dapat menghilangkan zat besi dari dalam tubuh. Wanita yang mengalami menstruasi setiap bulan termasuk berisiko menderita anemia. Kehilangan darah secara pelan-pelan di dalam tubuh, seperti

ulcer, colon polyp dan colon cancer, juga dapat menyebabkan anemia. Asupan diet yang rendah zat besi, atau rendahnya penyerapan besi di dalam usus karena gangguan usus atau operasi usus juga dapat menyebabkan anemia (CDC 1998).

Kebanyakan remaja yang mempunyai status gizi besi rendah disebabkan oleh kebiasaan kualitas konsumsi pangannya rendah. Termasuk pada kelompok risiko ini adalah vegetarian, konsumsi pangan hewani yang rendah, atau terbiasa menghindari makan (skip meal). Selain itu juga terjadi pada kelompok yang


(33)

kehilangan zat besinya cukup tinggi, yaitu periode yang panjang dan banyak kehilangan darah saat menstruasi, sering melakukan donor darah, dan olah raga yang sangat intensif (Krummel & Kris-Etherton 1996). Remaja wanita sering menderita anemia dikarenakan lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, lebih sering melakukan diit karena ingin langsing, dan mengalami haid setiap bulan (Depkes 2001).

Pada komposisi diet normal di negara maju dapat menyediakan sekitar 15 mg besi per hari, yang 5-10% dapat diserap di usus. Kondisi asam di usus akan meningkatkan penyerapan besi menjadi bentuk ferrous, misalnya dengan keberadaan asam hidroklorat dan asam askorbat. Tubuh juga akan meningkatkan kapasitas penyerapan disaat kebutuhannya meningkat, seperti pada ibu hamil, menyusui, pertumbuhan pesat, dan defisit zat besi (Frewin et al. 1997).

Masalah utama pemanfaatan zat besi oleh tubuh adalah rendahnya penyerapan di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu absorbsi besi heme dan non-heme yang menunjukkan keberadaan dua jenis zat besi yang berbeda di dalam pangan. Sumber heme pada pangan manusia adalah daging, ikan, dan unggas, sedangkan sumber non-heme adalah sereal, kacang-kacangan, sayur dan buah (FAO/WHO 2001).

Besi heme penyerapannya ditentukan oleh status besi yang mengkonsumsinya. Rata-rata penyerapan besi pangan heme sekitar 25%. Penyerapan besi dapat mencapai 40% saat terjadi defisit besi, tetapi hanya 10% ketika jenuh simpanan zat besi (repletion). Heme terkonversi menjadi non-heme apabila makanan diolah dengan suhu tinggi dan waktu yang lama. Adanya kalsium pada keju dan susu pada konsumsi makanan akan menghambat penyerapan zat besi (FAO/WHO 2001).

Zat besi non-heme pangan di dalam penyerapannya juga ditentukan oleh status besi seseorang dan jumlah zat besi yang terdapat pada keseluruhan diet. Senyawa besi fortifikan hanya dapat diserap sebagian oleh usus. Penyerapan senyawa besi di dalam usus baik yang berasal secara alami maupun buatan akan dipengaruhi oleh faktor yang sama (Lotfi et al. 1996). Jumlah zat besi yang sama, tetapi dengan komponen makanan (meals) berbeda dapat menyebabkan perbedaan absorpsi.


(34)

Penyerapan besi juga ditentukan oleh keseimbangan faktor yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi. Keberadaan vitamin C, daging (merah dan putih), pangan fermentasi (sayuran, kedelai) dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. Faktor yang menghambat adalah fitat, inositol, fosfat, dan polifenol. Senyawa penghambat tersebut terdapat pada produk sereal, kacang-kacangan, kopi, teh, sayuran, bumbu-bumbuan, termasuk susu kedelai (FAO/WHO 2001). Rendahnya kualitas konsumsi pangan, terutama dinegara sedang berkembang menyebabkan tingkat penyerapan zat besi yang rendah. Oleh karena itu di dalam penetapan kebutuhan zat besi digunakan empat tingkat penyerapan yang berbeda, yaitu 5%, 10%, 12%, dan 15% tergantung dari kualitas pangan yang dikonsumsinya.

Penyerapan zat besi pada kegiatan suplementasi akan meningkat apabila dilakukan dalam keadaan perut yang kosong. Studi Cook dan Reddy (diacu dalam Galloway & McGuire 1996) peningkatan penyerapan suplemen waktu perut kosong dapat mencapai 2-4 kali dibandingkan setelah makan. Penyerapan pada suplementasi besi harian relatif sama dengan mingguan yang diminum setelah makan, yaitu berturut-turut 2,3% dan 2,6%.

Metabolisme Zat Besi

Pada wanita dewasa dengan berat badan 55 kg mempunyai total besi di dalam tubuh sebanyak 2300 mg, dan pada pria dewasa kurang lebih 3800 mg. Komponen zat besi di dalam tubuh berada dalam bentuk senyawa fungsional seperti hemoglobin, mioglobin, enzim, transferin; dan sebagian kecil dalam bentuk simpanan berupa feritin dan hemosiderin (INACG 1985, Lynch 2007). Proporsi zat besi tersebut di dalam tubuh dalam bentuk hemoglobin (74%), mioglobin (9,6%) dan feritin (8,7%).

Redistribusi zat besi di dalam tubuh orang laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, dalam keadaan normal disajikan pada Gambar 1 (Bothwell et al. 1979 diacu dalam Beard 2000). Setiap hari kurang lebih sebanyak 35 mg zat besi yang kembali (turnover) ke plasma. Seseorang yang mengkonsumsi makanan yang mengandung sekitar 10-14 mg zat besi, hanya 0,5-2,0 mg yang dapat diabsorbsi oleh usus halus, sedangkan sisanya tidak dapat diserap oleh tubuh. Pada kondisi normal, di dalam plasma tranferin terdapat 4 mg zat besi.


(35)

Kekurangan zat besi terutama akan disuplai dari simpanannya di dalam bentuk feritin.

Mioglobin, Heme & Nonheme Protein mengandung

Besi

Eritropoiesis 20 mg

Diserap 0.5 – 2 mg

Tidak diserap 8 -13.5 mg

Gambar 1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al. 1979 diacu dalam Beard 2000)

Dalam keadaan seimbang terdapat 1-2 mg zat besi keluar dan masuk kedalam tubuh setiap hari. Zat besi yang diperoleh dari makanan diserap oleh enterosit pada usus halus. Kemudian zat besi terikat dengan transferin akan beredar di dalam plasma darah. Kebanyakan besi di dalam tubuh (2/3-nya) berada dalam bentuk hemoglobin, yaitu pada erythroid precursor dan sel darah merah yang sudah matang. Sekitar 10-15% berada pada otot (myoglobin) dan jaringan lain (enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan di parenchymal cells pada hati dan

reticuloendothelial macrophages. Makrofag ini yang menyediakan besi yang siap digunakan dengan mendegradasi eritrosit dan mengisi kembali zat besi dari transferin untuk ditransfer kedalam sel (Bothwell et al. 1979 di dalam Andrew 1999).

Penyerapan Zat Besi

Proses penyerapan zat besi bisa dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu ambilan zat besi (iron uptake), tanspor intraenterosit, dan transpor ekstraenterosit. Proses penyerapan ini dikontrol oleh faktor intraluminal, mukosa, dan somatik (Beard et al. 1996). Beberapa hal yang terkait dengan ketiga faktor tersebut berturut-turut


(36)

adalah penghambat dan pendukung penyerapan besi (intraluminal); luasan permukaan mukosa dan motilitas intestinal; proses eritropoiesis dan hipoksia akan meningkatkan penyerapan zat besi. Proses penyerapan besi tidak terjadi di mulut, esofagus maupun lambung, tetapi di usus halus duodenum dan jejenum bagian atas. Proses alur lengkap absorbsi zat besi pada usus disajikan pada Gambar 2.

Proses penyerapan zat besi di dalam tubuh dibedakan antara proses besi heme dan non-heme (Beard et al. 1996). Proses penyerapan besi non-heme: senyawa pereduksi seperti asam askorbat mereduksi besi feri non-heme menjadi fero (1). Senyawa kelator akan melarutkan besi non-heme, kemudian ditransfer ke protein pengikat dalam lumen (2). Protein pengikat besi berikatan dengan transporter khusus ke permukaan luminal enterosit (3). Besi non-heme dibawa ke dalam enterosit (4). Besi ini ditransfer ke pengkelat (transferrin-like protein) (5). Protein ini ditransfer ke feritin mukosa sel (6) atau ke permukaan basolateral enterosit (8). Besi yang diserap dan tidak diambil feritin dikirim ke permukaan basolateral enterosit (9), dan dioksidasi untuk dapat berikatan dengan transferin (10).

Proses penyerapan besi heme: heme berikat dengan reseptornya (1h), kemudian melebur ke dalam enterosit (2h). Setelah masuk ke sel, heme pecah menjadi karbon monoksida dan bilirubin IXa oleh enzim heme oksigenase (3h). Besi ini masuk ke pool besi intraseluler enterosit (4h) (5) dan selanjutnya proses transpor seperti pada besi non-heme (6-10).

Pada tingkat fisiologis ambilan (uptake) zat besi melalui beberapa seri yang diperantarai oleh reseptor dan protein pengikat. Pada tingkat yang lebih tinggi, besi diserap secara pasif melalui jalur paraseluler. Di dalam lumen usus, besi berada dalam bentuk heme atau non-heme. Besi heme diambil langsung oleh enterosit, dan setelah aksi enzimatik proses selanjutnya seperti yang terjadi pada besi non-heme. Pada besi non-heme ditransfer ke protein pengikat di dalam lumen. Terdapat transpor spesifik untuk protein pengikat besi non-heme pada permukaan luminal enterosit. Besi non-heme ditransportasi ke dalam enterosit, yang nantinya akan berikatan dengan protein pengikat besi. Besi ini ditransfer ke feritin atau bagian basolateral enterosit. Transfer besi ini dikontrol oleh simpanan besi dan kemungkinan juga oleh faktor genetik. Kemudian besi ini akan hilang


(37)

jika sel mengalami peluruhan, atau berikatan dengan transferin dalam proses sirkulasi (Beard et al. 1996).

Transpor Paraseluler

Protein seperti Transferin

Ferritin Mukosa

Apotransferin Lisosom

Seruloplasmin

Bilirubin - CO

Ferotransferin

Heme Oksigenase

Permukaan Basolateral Lumen

Enterosit

Gambar 2. Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996)

Pada transpor intraenterosit akan melibatkan protein yang menyerupai transferin (Tf-like protein). Salah satu protein tersebut adalah mobilferin, yang bersifat mampu mengikat mineral lainnya sehingga interaksi antar mineral dapat mempengaruhi penyerapan. Pada proses ini status zat besi tubuh, yang dikontrol oleh feritin akan berpengaruh terhadap zat besi yang dapat ditahan oleh enterosit. Pada transpor ekstraenterosit, zat besi yang diserap akan dikirim dan diikat oleh transferin pada bagian basolateroal permukaan enterosit. Seruloplasmin diperlukan untuk proses pengikatan ini.

Penyerapan kapsul supelementasi besi yang diuji dengan isotop (55Fe) dilakukan oleh Olivares et al. (1999) pada wanita 30-50 tahun (tidak hamil). Penyerapan besi 60 mg/hari (fero sulfat) yang diberikan harian selama 4 hari rata-rata 6,4%, sedangkan pada besi 120 mg/minggu selama dua minggu sebesar 7,4%. Studi Svanberg (diacu dalam Galloway & McGuire 1996) penyerapan besi dosis 30 mg pada ibu hamil sebesar 1,80%, 2,75%, 6,48% berturut-turut pada trimester


(38)

1, 2, dan 3. Pada wanita tidak hamil penyerapan suplementasi besi harian sebesar 2,3% dan mingguan sebesar 2,6% jika diminum setelah makan.

Transportasi Zat Besi

Pada transpor intraenterosit, besi yang telah diabsorbsi melalui enterosit melibatkan protein seperti transferin (Tf-like protein), misalnya mobilferin. Senyawa ini merupakan metal ion-binding, sehingga juga dapat mengangkut mineral lain seperti kalsium, tembaga dan seng. Hal ini yang menjelaskan terjadinya kompetisi di dalam penyerapan antar mineral.

Pada saat status besi sudah mencukupi, maka jumlah besi yang tertahan pada enterosit akan meningkat. Sehingga zat besi tidak akan ditranspor ke plasma, tetapi akan disimpan pada mukosa sel feritin, yang kemudian akan luruh bersamaan dengan matinya enterosit.

Pada transpor ekstraenterosit, molekul yang sangat berperan di dalam transpor besi adalah transferin (Tf). Besi yang sudah diserap akan terikat dengan transferin pada permukaan basolateral enterosit akan dikirim ke jaringan periferi, dan kemudian juga didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, dan melindungi besi dari filtrasi pada glomeruler. Senyawa lain yang terlibat di dalam distribusi besi ke jaringan adalah seruloplasmin, heme-hemopexin (HPX), ferritin, lactoferrin

dan molekul dengan berat rendah yang belum diidentifikasi (Beard et al. 1996). Transferin adalah senyawa gabungan protein yang termasuk didalamnya

ovotransferrin, lactoferrin, melanotransferrin, dan hemiferrin. Transferin terutama diproduksi di hati, meskipun jaringan lain seperti otak, ginjal, testes dan otot (bayi) juga memproduksi dalam jumlah sedikit. Gen yang memproduksi tranferrin (Tf gene) diregulasi oleh hormon pertumbuhan seperti insulin, faktor pertumbuhan epidermis, faktor pertumbuhan platelet, dan asam retinoat.

Penyimpanan Zat Besi

Konsentrasi besi di dalam tubuh manusia berkisar 30-40 mg/kg berat badan. Tetapi konsentrasi tersebut berbeda, tergantung dari usia, jenis kelamin, jaringan dan organ (Beard et al. 1996). Sekitar 85-90% dari besi yang tidak tersimpan ditemukan berada dalam bentuk eritroid. Konsentrasi besi di dalam simpanan sebanyak 0-15 mg/kg berat badan. Di dalam tubuh distribusi besi bentuknya tidak sama, yaitu dalam bentuk feritin di hati sebesar 60%, dan 40%


(39)

sisanya berada di jaringan otot dan sistem retikuloendotelial. Pada kondisi normal, 95% simpanan zat besi di dalam hati dalam bentuk feritin dan 5% berupa hemosiderin.

Setelah diserap di dalam usus, besi didistribusikan melalui mukosa sel ke pembuluh darah, yang dibawa oleh protein transferin untuk membentuk sel darah merah di sumsum belakang. Simpanan besi di dalam tubuh dalam bentuk feritin, senyawa yang labil dan mudah diakses sebagai sumber zat besi, sedangkan hemosiderin di dalam macrophages dalam bentuk yang tidak larut. Secara teoritis atom besi yang dapat disimpan dalam feritin sampai dengan 4500, namun jumlah 1200-1400 adalah yang paling efisien untuk penyimpanan dan pelepasan zat besi.

Zat besi akan lebih mudah dilepas dari feritin dengan mereduksi besi inti pada formasi feritin. Pada studi in vivo, asam askorbat dan flavin mononukleotida merupakan reduktan indogenus. Pada studi in vitro, digunakan asam askorbat untuk mobilisasi besi dari feritin, meskipun sebagian ahli menyebutkan asam askorbat yang berlebih dapat menyebabkan peningkatan mobilisasi besi dan dapat mengakibatkan oksidasi (kerusakan) jaringan. Kecepatan pelepasan besi dari feritin ditentukan beberapa faktor. Misalnya, atom besi yang baru masuk ke formasi feritin akan lebih mudah dilepas dari pada besi yang terlebih dahulu. Ikatan heme pada feritin lebih mudah untuk dimobilisasi. Seruloplasmin selain berperan di dalam tranpor ekstraenterosit, juga diperlukan untuk oksidasi feritin dan selanjutnya untuk pengikatan ke transferin. Pada tikus, defisit copper

menyebabkan zat besi terakumulasi pada hati dalam bentuk feritin.

Hemoglobin dan Sel Darah Merah

Darah mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting di dalam tubuh, termasuk untuk transpor oksigen ke seluruh tubuh. Darah terdiri dari dua komponen utama, yaitu plasma dan elemen (sel-sel). Plasma sebagian besar terdiri dari air, dan selebihnya berupa protein dan larutan zat gizi lainnya. Tiga komponen penyusun elemen (sel darah) sebagian besar adalah sel darah merah, dan selebihnya sel darah putih dan trombosit (platelet). Ketiga macam sel ini berasal dari sel yang sama diproduksi di sumsum tulang, yang kemudian berdiferensiasi menjadi bentuk yang berbeda-beda. Setelah sel tersebut matang akan keluar dari sumsum ke pembuluh darah dengan jumlah dan fungsi yang


(40)

berbeda (Sadikin 2002).

Sel darah merah (erythrocytes), merupakan komponen terbanyak diantara ketiga komponen (elemen) dan yang memberikan warna merah. Selain itu darah merah juga membawa oksigen dari paru-paru, melalui aliran darah, ke otak dan kemudian didistribusikan ke seluruh organ/jaringan tubuh. Kebanyakan sel darah (termasuk sel darah merah) diproduksi secara teratur di dalam sumsum tulang, yaitu materi berongga berwarna merah yang terdapat di dalam tulang-tulang tubuh (terutama tulang yang besar). Untuk memproduksi hemoglobin dan sel darah, diperlukan zat besi dan vitamin yang diperoleh dari makanan sehari-hari (Koury dan Ponka 2004).

Fungsi utama eritrosit adalah mengikat dan membawa oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh sel-sel tubuh, dan sebaliknya membawa sisa metabolisme berupa CO2 untuk dibuang. Komponen eritrosit yang dapat mengikat oksigen adalah hemoglobin. Hemoglobin tersusun dari senyawa kompleks protein globin dan heme (senyawa porfirin yang bagian pusatnya diisi satu atom besi). Satu molekul hemoglobin terdiri dari empat molekul globin dan empat heme, sehingga setiap setiap satu molekul hemoglobin mempunyai empat atom besi (Sadikin 2002). Strutur molekul hemoglobin ini yang dapat mengikat oksigen, dan zat besi harus berada dalam bentuk tereduksi (Fe 2+ atau ferro). Hemoglobin yang mengalami oksidasi akan menjadi metemoglobin, dan ferro berubah menjadi ferri

sehingga tidak mampu lagi mengikat oksigen. Untuk menghidari risiko oksidasi, hemoglobin diikat dan tersembunyi pada ikatan peptida molekul protein globin pada sel-sel darah merah.

Pada orang dewasa, volume darah di dalam tubuh kurang lebih 5 liter (Casiday & Frey 1998). Pada setiap sel darah merah mengandung 280 juta molekul hemoglobin. Setiap detik tubuh harus memproduksi 2,5 juta sel darah merah (erythropoiesis). Selama 120 hari sel darah merah tersebut dapat digunakan oleh tubuh (lifespan), dan kemudian akan mati. Pada orang dewasa, setiap hari sekitar 200 milyar eritrosit tua (1%) akan rusak dan diganti oleh sel-sel darah yang baru (Koury & Ponka 2004). Untuk itu di dalam tubuh terjadi eritropoiesis, yaitu proses produksi sel-sel darah merah pada jaringan hematopoietik sumsum belakang. Tahapan eritropoises berawal dari bakal sel (stem cell) yaitu


(41)

hemositoblas dan berakhir menjadi eritrosit yang matang. Diantara tahapan perkembangan tersebut terdapat tiga fase yang terjadi secara berurutan, yaitu sintesa ribosom, akumulasi hemoglobin, dan keluarnya nukleus.

Eritropoietin (EPO) adalah glikoprotein yang diproduksi oleh ginjal yang berfungsi sebagai regulator utama proses eritropoiesis. Sebagai respon dari menurunnya oksigen pada kasus anemia, jumlah produksi EPO meningkat pesat. Meningkatnya EPO ini akan mengurangi lebih banyak sel progenitor eritroid yang mati (apoptosis), sehingga lebih banyak diproduksi sel darah merah. Pada berbagai kasus anemia, ketidak mampuan eritropoietik merespon poduksi EPO karena terjadi defisiensi asam folat, vitamin B12 dan zat besi. Kedua vitamin ini diperlukan untuk sintesa DNA di dalam memproduksi milyaran sel darah merah baru setiap hari. Zat besi diperlukan pada keseluruhan proliferasi sel di seluruh tahap retikulosit (Koury & Ponka 2004).

Penilaian Status Gizi Besi

Kondisi status gizi besi di dalam tubuh manusia dapat dinilai dengan menggunakan cara hematologi dan biokimia. Setiap parameter pada status zat besi akan mencerminkan perubahan komposisi zat besi yang dipengaruhi oleh tingkat deplesinya. Tahapan defisit zat besi di dalam tubuh ini yang biasa digunakan untuk menetapkan defisiensi zat besi guna menentukan prevalensi dan akurasi diagnosis (Australian Iron Status Advisory Panel 2005).

Tiga tahapan terjadinya defisiensi besi di dalam tubuh (iron deficiency), yaitu terjadinya perubahan besi pada simpanan, transportasi, dan fungsi metabolik (Lynch & Green 2001; INACG 2002; WHO/CDC 2004). Tahapan pertama terjadi ketika tubuh hampir/tidak mempunyai lagi simpanan besi (iron depletion), meskipun konsentrasi hemoglobin dalam kondisi normal. Simpanan besi (iron storage) adalah pool zat besi di dalam tubuh yang sedang tidak digunakan untuk keperluan jaringan (darah, otot, otak). Simpanan besi ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) saat terjadi defisiensi asupan zat besi. Tahap deplesi besi ini biasanya belum diikuti oleh gangguan/efek di dalam tubuh, dan indikator pada tahapan ini adalah menurunnya serum ferritin (SF) atau meningkatnya total iron binding capacity (TIBC).


(42)

erythropoiesis (IDE). WHO/CDC (2004) menggunakan istilah functional iron deficiency yang terjadi akibat gangguan transportasi zat besi dari simpanan ke jaringan, meskipun simpanan tersebut masih mencukupi. Kondisi ini dapat terjadi karena inflamasi atau defisensi vitamin. Pada tahap ini terjadi penurunan suplai besi ke sumsum tulang sehingga produksi sel darah merah menurun. Kadar hemoglobin mungkin mulai turun, yang menandakan terjadinya anemia ringan. Gangguan fungsi fisiologi terjadi pada tahap ini seperti turunnya kapasitas kerja, yang ditandai oleh rendahnya serum zat besi (SI), menurunnya transferrin saturation (SI/TIBC), tingginya free erythrocyte protoporphyrin (indikator ZPP), dan tingginya serum transferin reseptor (STfR) (UNICEF/UNU/WHO 2001; Lynch dan Green 2001; WHO/CDC 2004).

Tahap ketiga adalah paling parah dari tahap iron deficient anemia (IDA), yang ditunjukkan oleh menurunnya konsentrasi hemoglobin atau hematokrit. IDA terjadi akibat tidak sempurnanya sintesa hemoglobin, dan menyebabkan sel darah merah ukurannya lebih kecil (microcytic) dan mengandung lebih sedikit hemoglobin (hypochromic) (Frewin et al. 1997). Kedua indikator ini dapat digunakan untuk identifikasi anemia (UNICEF/UNU/WHO 2001; WHO/CDC 2004).

Anemia adalah kondisi sel darah merah dan hemoglobin jumlahnya sedikit sehingga kemampuan membawa oksigen ke jaringan tubuh berkurang. Anemia dengan indikator biokimia darah ditunjukkan oleh beberapa parameter, yang utama adalah konsentrasi hemoglobin, dan hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah). Tabel 1 menunjukkan indikator yang dapat digunakan untuk kategorisasi tingkat defisiensi zat besi untuk wanita dewasa (Biesalski & Erhardt 2007, UNICEF/UNU/WHO 2001).

Hemoglobin merupakan indikator utama untuk menunjukkan tingkat keparahan defisit besi. Dengan mengkombinasikan Hb dengan SF akan meningkatkan nilai Se dan SP. Jika kedua indikator ini menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb normal kemungkinan pada individu simpanan zat besinya berkurang atau terjadi IDE. Indikator Hb dan FEP digunakan jika biaya menjadi kendala atau data segera diperlukan. Hb dan


(43)

jaringan tubuh (AISAP 2005).

Tabel 1 Indikator terjadinya defiensi gizi besi pada wanita dewasa

Indikator Deplesi besi IDE IDA

Serum feritin (ug/l) a <15 <15 <15

Serum transferin reseptor (mg/l) b Normal Tinggi Tinggi

Hemoglobin (g/l) a Normal Normal <120

a

UNICEF/UNU/WHO (2001) b

Belum terdapat standar internasional, sehingga kateori disesuaikan dengan masing-masing kits

Pertemuan WHO dan CDC Expert Consultation di Geneva (7 Mei 2004) membahas penggunaan indikator yang baik untuk mengukur defisiensi zat besi. Pertemuan tersebut mencapai kesepakatan, indikator paling baik untuk mengukur defisit besi adalah hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF). Meskipun feritin dipengaruhi oleh inflamasi akibat infeksi dan penyakit kronis. Oleh karena itu, pada populasi yang sering terjadi infeksi, disarankan menambahkan indikator

transferrin receptor. Indikator SF dan serum transferrin receptor (STfR) memberikan gambaran yang lebih luas, karena SF menunjukkan simpanan dan STfR menunjukkan besi pada jaringan. Berdasarkan kandungan besi pada senyawa tersebut, maka penggunaan Hb, STfR dan SF sudah mencerminkan 85% komponen zat besi di dalam tubuh dan merupakan indikator terbaik untuk pengukuran status besi (INACG 1985; AISAP 2004; WHO/CDC 2004).

Peran Vitamin dalam Perbaikan Status Gizi Besi

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa anemia tidak hanya disebabkan oleh defisiensi zat besi saja. Zat gizi lain yang terkait dengan penyebab anemia adalah asam folat, vitamin B6, vitamin B12, riboflavin, dan vitamin A (WHO/UNICEF 2004; INACG 2002). Vitamin tersebut berperan didalam proses eritropoiesis dan metabolisme zat besi (penyerapan dan mobilisasi) (MIP 2000). Peran masing-masing zat gizi tersebut terhadap perbaikan status zat gizi besi disajikan pada Gambar 3 berikut.

Vitamin A

Fungsi vitamin A di dalam tubuh adalah untuk sistem penglihatan, pertumbuhan, pemeliharaan integritas sel epitel, imunitas dan reproduksi (FAO/WHO 2001). Selain itu juga telah ditunjukkan oleh beberapa studi bahwa dengan pemberian suplemen vitamin A akan memperbaiki status gizi besi. Studi


(44)

pada anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A (ringan–sedang) cenderung akan terjadi anemia.

Gambar 3 Peranan vitamin di dalam metabolisme zat besi dan eritropoiesis (Hughes-Jone dan Wickramasinghe 1966 diacu dalam MIP 2000)

Mekanisme keterkaitan antara vitamin A dengan anemia melalui beberapa kemungkinan, yaitu (MIP 2000, West et al. 2007): 1) regulasi eritropoiesis terutama sintesa erythropoietin di ginjal, 2) mobilisasi zat besi dari cadangan ke sirkulasi transferin, 3) meningkatkan resistensi tubuh dari infeksi, 4) meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. Picciano (1999), Allen dan Casterline-Sabel (2001) menduga defisiensi vitamin A akan menghambat mobilisasi simpanan zat besi. Studi pada binatang percobaan menunjukkan defisiensi vitamin A tidak menurunkan absorpsi zat besi, tetapi dapat menurunkan sintesa hemoglobin. Namun penyebab keadaan tersebut tidak jelas antara terjadinya penurunan suplai zat besi ke sumsum tulang, atau karena hambatan di dalam proses eritropoiesis (IVACG 1998). Beberapa studi di wialayah di Indonesia, prevalensi defisit vitamin A pada remaja wanita di Tangerang dan


(45)

Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005), sedangkan di Surabaya, Bangkalan, Sampang sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004).

Kebutuhan vitamin A untuk kelompok wanita usia 10-18 tahun menurut FAO/WHO (2001) sebesar 600 ug, menurut Setiawan dan Rahayuningsih (2004) sebesar 600 ug. IOM (2001) menetapkan upper limit 2800-3000 ug, dan menurut Lachance (1998) dosis safe range intake untuk vitamin A adalah 800 - 5000 ug.

Vitamin A bertanggungjawab sekitar 4-10% terhadap variasi konsentrasi hemoglobin. Peningkatan Hb terlihat signifikan dengan pemberian suplementasi vitamin A 240 RE per hari, dan meningkat jika dikombinasikan bersama dengan zat besi. Bahkan hanya dengan suplemen vitamin A saja akan meningkatan indikator SF dan STfR. Penambahan vitamin A yang cukup akan membantu pemeliharaan besi di dalam plasma dan jaringan, yang akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah (MIP 2000).

Review beberapa studi yang dilakukan MIP (2000) pada kelompok wanita, dua studi di Indonesia dan India menunjukkan suplementasi Vitamin A dengan zat besi memperbaiki status hemoglobin. Namun pemberian vitamin A tidak selalu akan memperbaiki status besi, hal ini terjadi di wilayah yang tinggi prevalensi infeksi (kecacingan dan malaria) IVACG (1998). Penderita HIV di Tanzania dengan suplementasi ß-karoten dengan besi tidak menunjukkan hasil yang nyata. Pada studi dengan prevalensi kecacingan yang tinggi di Nepal, pengaruh vitamin A lebih efektif pada kelompok yang terinfeksi ringan, tetapi tidak efektif untuk infeksi cacing berat. Di India, penambahan dosis besar vitamin A (60000 RE) pada suplementasi besi-folat yang diberikan harian dapat meningkatan Hb dan Ht dibandingkan besi-folat saja. Di Bangladesh suplemen 200000 IU bersama dengan Fe pengaruhnya terhadap Hb lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok besi saja atau kelompok Vitamin A, Fe dan Zn.

Secara umum terjadi peningkatan hemoglobin sebesar ±10 g/l dengan pemberian suplemen vitamin A pada kelompok individu yang mengalami defisiensi zat besi (Allen, 2002). Pemberian suplemen mingguan zat besi dan vitamin A (23000 IU) pada wanita yang tidak terinfeksi cacing dapat menurunkan prevalensi anemia 45% (Allen & Casterline-Sabel 2001).


(1)

Estimasi Peubah dependen: STfRakhr

Kelompok x SE 95% CI

Bawah Atas

1 6,720(a) ,423 5,884 7,557

2 6,575(a) ,397 5,791 7,359

3 7,592(a) ,438 6,726 8,459

a Rata-rata estimisasi ini berdasarkan model regresi dengan nilai: Hbawal = 126,636, TFRawal = 8,513, SFawal = 26,839, IMT1 = 19,905, Kapsul = 23,08, KEC PRE = 1482,05, AspprotPRE = 35,649, AspFePRE = 13,828, AspvitAPRE = 586,88, AspvitCPRE = 58,79, KONS PMT = 87,443.

Uji Post Hoc (LSD)

Dependen Variable: TFRakhr

(I)Kelompok (J)Kelompok Selisih rataan Sig

1 2 ,146 ,800

3 -,872 ,188

2 1 -,146 ,800

3 -1,018 ,096

3 1 ,872 ,188


(2)

Lampiran 12. Uji Anova dan post-hoc serum feritin (SF) A. Transformasi log serum feritin data baseline

Deskriptif LogSFawl

N x SD SE 95% CI rataan

Bawah Atas

1 55 1,2108 ,36417 ,04910 1,1123 1,3092

2 55 1,2538 ,39759 ,05361 1,1463 1,3613

3 55 1,3204 ,41697 ,05622 1,2077 1,4332

Total 165 1,2617 ,39372 ,03065 1,2011 1,3222

Keterangan: Kelompok 1 = Kontrol, Kelompok 2= B-F, 3= B-MV

Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

LogSFawl ,058 165 ,200(*) ,983 165 ,040

a Korelasi signifikan dengan uji normalitas

Uji Homogenitas LogSFawl

Uji Lavene df1 df2 Sig.

,693 2 162 ,501

ANOVA LogSFawl

Jumlah

kuadrat df

Rataan

kuadrat F Sig.

Antar kelompok ,336 2 ,168 1,085 ,340

Didalam kelompok 25,086 162 ,155

Total 25,422 164

Uji Post Hoc (LSD) Variabel dependen: LogSFawl

(I)Kelompok (J)Kelompok Selisih rataan Sig

1 2 -,04301 ,567

3 -,10968 ,146

2 1 ,04301 ,567

3 -,06667 ,376

3 1 ,10968 ,146


(3)

B. Transformasi log serum feritin data endline Deskriptif LogSFakr

N x SD SE 95% CI rataan

Bawah Atas

1 55 1,2010 ,40152 ,05414 1,0924 1,3095

2 55 1,3696 ,35965 ,04850 1,2723 1,4668

3 55 1,4584 ,39612 ,05341 1,3513 1,5655

Total 165 1,3430 ,39851 ,03102 1,2817 1,4042

ANOVA LogSFakr

Jumlah

kuadrat df

Rataan

kuadrat F Sig.

Antar kelompok 1,881 2 ,941 6,306 ,002

Didalam kelompok 24,164 162 ,149

Total 26,045 164

Uji Post Hoc (LSD)

Peubah dependen: LogSFakr

(I)Kelompok (J)Kelompok Selisih rataan Sig

1 2 -,16860(*) ,023

3 -,25747(*) ,001

2 1 ,16860(*) ,023

3 -,08887 ,229

3 1 ,25747(*) ,001

2 ,08887 ,229


(4)

C. Selisih serum feritin (data endline-baseline) Deskriptif SELISIH SF

N x SD SE 95% CI rataan

Bawah Atas

1 55 1,10427 11,910680 1,606036 -2,11564 4,32418 2 55 4,21804 25,724046 3,468630 -2,73615 11,17222 3 55 10,96313 25,289191 3,409994 4,12650 17,79975 Total 165 5,42848 22,185887 1,727169 2,01812 8,83883

ANOVA SELISIH SF

Jumlah

kuadrat df

Rataan

kuadrat F Sig.

Antar kelompok 2793,794 2 1396,897 2,904 ,058 Didalam kelompok 77929,236 162 481,045

Total 80723,031 164

Uji Post Hoc (LSD) Variabel dependen: SELISIH FER

(I)Kelompok (J)Kelompok Selisih rataan Sig

1 2 -3,113764 ,458

3 -9,858855(*) ,020

2 1 3,113764 ,458

3 -6,745091 ,109

3 1 9,858855(*) ,020

2 6,745091 ,109


(5)

Lampiran 13. Uji Ancova dan estimasi selisih serum feritin (SF) Peubah dependen: SFselisih

Parameter B SE Sig. 95% CI rataan

Bawah Atas

Intercept -49,385 47,424 ,300 -143,175 44,405

Hbawal ,256 ,145 ,080 -,031 ,543

TFRawal -,656 ,428 ,127 -1,503 ,190

SFawal -,339 ,080 ,000 -,497 -,182

IMT1 ,118 1,056 ,911 -1,970 2,205

PsnKpsl ,501 ,327 ,128 -,146 1,148

kepatuhanPMT -,075 ,267 ,778 -,603 ,452

KcpEngPOST ,004 ,139 ,977 -,272 ,280

KcprotPOST ,104 ,147 ,479 -,186 ,394

KcpvitAPOST -,019 ,028 ,507 -,075 ,037

KcpvitCPOST ,047 ,028 ,096 -,009 ,103

KcpFePOST -,154 ,105 ,147 -,362 ,055

[GROUP=1] -15,105 5,330 ,005 -25,647 -4,563

[GROUP=2] -8,317 4,696 ,079 -17,605 ,971

[GROUP=3] 0(a) . . . .

a Parameter ini dilakukan pada kondisi kelompok B-MVsebagai pembanding (0) Kelompok I = Kontrol, Kelompok 2= B-F, Kelompok 3 = B-MV


(6)

Estimasi

Peubah dependen: SFselisih

Kelompok x SE 95% CI rataan

Bawah Atas

1 -1,736(a) 3,595 -8,845 5,373

2 5,051(a) 3,097 -1,074 11,176

3 13,368(a) 3,331 6,781 19,955

a Rata-rata estimisasi ini berdasarkan model regresi dengan nila: Hbawal = 126,399, TFRawal = 8,622, SFawal = 27,083, IMT1 = 19,869, PsnKpsl = 92,591, KONS PMT = 87,985, KcpEngPOST = 95,835, KcprotPOST = 85,428, KcpvitAPOST = 100,322, KcpvitCPOST = 62,029, KcpFePOST = 46,460

Peubah dependen: SFselisih

(I)Kelompok (J)Kelompok Selisih rataan Sig

1 2 -6,788 ,149

3 -15,105(*) ,005

2 1 6,788 ,149

3 -8,317 ,079

3 1 15,105(*) ,005

2 8,317 ,079