Deskripsi Data

A. Deskripsi Data

Dalam deskripsi ini akan dijelaskan mengenai populasi data, jumlah sampel, dan persentase masing-masing sampel yang digunakan dan analisis deskriptif data yang diperoleh.

1. Seleksi Sampel

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan (annual report) perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2009-2011 yang dipublikasikan di internet melalui website resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) serta data dari situs masing- masing perusahaan sampel. Berikut ini disajikan hasil pengambilan sampel penelitian.

Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian

Tahun

Populasi

Sampel Awal

Sampel Digunakan 2009

128

31 29

2010

128

31 29

2011

128

31 29

Total

384

93 87

commit to user

tahun 2009, 2010, dan 2011 terdapat masing-masing 128 perusahaan perbankan yang listing. Dari populasi tersebut ada 31 perusahaan yang masuk di Bursa Efek Indonesia. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling . Kriteria pengambilan sampel awal adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI dan menerbitkan laporan keuangan tiga tahun berturut-turut untuk tahun 2009 hingga 2011. Berdasarkan kriteria pengambilan sampel tersebut didapatkan sampel sebanyak 29 perusahaan perbankan karena terdapat 2 perusahaan perbankan yang tidak menyediakan data dan informasi secara lengkap terkait variabel agency theory dalam annual reportnya. Oleh karena itu, pengolahan dan pengujian data hanya dilakukan pada 29 perusahaan dengan 87 annual report (tiga tahun) yang memiliki data dan informasi lengkap.

2. Statistik Deskriptif

Tabel IV.2 menjelaskan mengenai statistik deskriptif dari variabel dependen penelitian. Informasi tersebut meliputi nilai minimum, maksimum, mean dan standar deviasi yang dihitung dengan menggunakan alat bantu statistik SPSS release 16 . Tabel IV.2 menggambarkan hasil perhitungan statistik deskriptif variabel dependen liquidity risk.

commit to user

Hasil Uji Statistik Deskriptif Variabel Depeden

Std. Deviation 2009

Dari hasil statistik deskriptif diatas, dapat diketahui bahwa rerata tingkat risiko likuiditas selama tiga tahun adalah adalah sebesar 1,87%. Hasil tersebut mengidikasikan bahwa tingkat risiko likuiditas perbankan di Indonesia tergolong rendah, walaupun belum terdapat peraturan yang menyatakan tentang berapa standar risiko likuiditas perbankan. Likuiditas yang rendah berarti makin kecil jumlah kas yang dimiliki perusahaan dan akan memperbesar risiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (Sukarman, 2007). Hal ini akan meningkatkan risiko kegagalan perusahaan untuk dapat memenuhi semua kewajiban finansial yang segara harus dipenuhi. Menurut Haryono (2005), rendahnya tingkat likuiditas disebabkan karena beberapa hal, antara lain:

1. Meningkatnya kredit bermasalah akibat krisis ekonomi, tejanan suku bunga dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika.

2. Terjadinya bank runs, yaitu suatu peristiwa dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena nasabah tidak percaya bahwa bank mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu.

commit to user

risiko yang tidak efektif. Pada tahun 2009, rerata risiko likuiditas sebesar 2,49%, angka ini paling

tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya. Semakin tinggi hasil perhitungan semakin rendah tingkat risiko likuiditas perbankan. Alasan dari fenomena ini yaitu setelah krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007, Bank Indonesia mulai menyiapkan program restukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mengatasi krisis dan menghindari krisis serupa di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan tidak saja untuk membantu bank yang hamper kolaps, tetapi juga untuk mendorong perbaikan kondisi usaha di sector riil maupun perekonomian secara menyeluruh. Dengan adanya restrukturisasi tersebut, perbankan mampu meningkatkan kinerja keuangan dan meningkatkan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko likuiditas yang dihadapi oleh setiap bank (Sudarsono, 2009). Tingkat rasio likuiditas tertinggi tahun 2009 adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar 21,94%. Sebaliknya, perhitungan likuiditas paling rendah adalah PT Bank Capital Indonesia Tbk dengan nilai 0,2%. Nilai likuiditas yang rendah menggambarkan kurang baiknya posisi keuangan suatu bank.

PT Bank Central Asia Tbk mempunyai tingkat nilai likuiditas paling tinggi untuk tahun 2010 yaitu sebesar 2,97%. Hasil paling rendah didapat oleh PT Bank Capital Indonesia Tbk sebesar 0,26%. Angka tersebut jauh di bawah rerata

tingkat risiko likuiditas pada tahun 2010 sebesar 1,56%. Penurunan tingkat

likuiditas dari tahun 2009 disebabkan karena penurunan reputasi atau rating

commit to user

2010 berarti bahwa setiap 1 satuan total aset dijamin oleh kas sebesar 0,0156 satuan. Perhitungan risiko likuiditas dalam penelitian ini dilihat dari sisi aset, sehingga dapat dikatakan bahwa rerata tahun 2010 kurang likuid dalam hal penjaminan aset. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas (Widayani, 2005)

PT Bank Himpunan Saudara Tbk mempunyai tingkat likuiditas paling tinggi untuk tahun 2011 yaitu sebesar 6,61%. Hasil paling rendah didapat oleh PT Bank Capital Indonesia Tbk sebesar 0,32%. Angka tersebut jauh di bawah rerata tingkat risiko likuiditas pada tahun 2011 sebesar 1,47%. Tambah arti 1,47. Periode terakhir penelitian tingkat risiko likuiditas semakin rendah karena kurang giatnya perbankan dalam meraih dana masyarakat. Walaupun bank telah memberikan imbal hasil yang tinggi, namun minat masyarakat untuk menanamkan dana atau kredit di bank tetap rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat suku bunga bank melebihi suku bunga yang diberikan pemerintah melalui Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) (http://www.infobanknews.com/2009/12/2010-likuiditas-melimpah-kredit- mengalir-deras, 2012).

Berdasarkan data selama tiga tahun tersebut, dapat dijelaskan bahwa terjadi penurunan nilai likuiditas. Tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup besar, yaitu 0,93%. Sedangkan tingkat likuiditas tahun

commit to user

juga, bank dengan risiko likuiditas tertinggi untuk tahun 2009 yaitu PT. Bank Negara Indonesia Tbk, untuk tahun 2010 Bank PT Bank Central Asia Tbk dan Bank PT Bank Himpunan Saudara Tbk untuk tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa bank mempunyai nilai risiko likuiditas yang tinggi berarti memiliki tingkat risiko yang rendah dibandingkan dengan bank sampel lainnya. Selanjutnya, bank dengan tingkat risiko likuiditas terendah untuk tahun 2009, tahun 2010 dan tahun 2011 adalah PT Bank Capital Indonesia Tbk. Secara keseluruhan rendahnya risiko likuiditas karena jumlah kas yang dimiliki bank kecil yang berakibat pada tidak adanya kas jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas perusahaan.

Tingkat risiko likuiditas dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan perhitungan membagi antara kas dengan total aset yang menggambarkan kemampuan bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabahnya (Kuncoro dan Suhardjono, 2002). Semakin tinggi nilai likuiditas, maka semakin rendah tingkat risiko likuiditas perusahaan. Penggunaan perhitungan ini sejalan dengan penelitian Akhtar et al., (2011) dan Vodova (2011). Semakin tinggi rasio menunjukkan manajemen liquidity risk yang lebih baik. Dari rumus tersebut dapat memberikan informasi tentang risiko likuiditas bank.

Berdasar tabel IV.2 selama tiga tahun tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan tingkat likuiditas tertinggi adalah PT. Bank Negara Indonesia

Tbk tahun 2009 sebesar 21,94%. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut

commit to user

pendek dan dapat mengurangi risiko kegagalan bank. Penelitian mengenai risiko likuiditas dilakukan oleh beberapa orang. Putri dan Nasir (2006) meneliti hubungan risiko dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang dan kebijakan deviden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kebijakan pengambilan risiko, tetapi kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap risiko. Kedua yaitu Tsorhe et al. (2011) yang meneliti likuiditas perbankan di Ghana dan hasilnya menunjukkan bahwa dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap risk. Peraturan bank sentral berpengaruh negatif terhadap credit risk dan capital risk tetapi signifikan terhadap liquidity risk .

Tabel 4.3

Hasil Uji Statistik Deskriptif Variabel Indepeden

Minimum Maximum Mean

Std. Deviation

Valid N (listwise)

87

commit to user

saham bank umum, jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing (WNA) dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99% dari jumlah saham bank yang bersangkutan, sedangkan 1% sisa saham tetap dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau badan hukum Indonesia. Bank Indonesia akan selektif dalam menentukan porsi saham mayoritas di perbankan. Menurut pejabat bank sentral, kepemilikan mayoritas di perbankan bisa lebih dari 50% jika tingkat kesehatan dan pelaksanaan good corporate governance perbankan masuk kategori satu (low risk) dan dua (low to moderate risk) (http://www.indonesiafinancetoday.com/read/28771/BI-Akan-Selektif-Tetapkan- Kepemilikan-Saham-Bank, 2012).

Berdasarkan tabel 4.3, kepemilikan saham top 5 yang diukur menggunakan penjumlahan dari 5 kepemilikan saham terbesar yang ada di perusahaan dibagi jumlah saham beredar menunjukan rerata sebesar 94,87. Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan saham yang terpusat memiliki dorongan yang lebih tinggi untuk memonitor terkait dengan kesejahteraan mereka dan memiliki kekuatan dalam pengambilan suara, serta memiliki pengaruh apabila tidak puas dengan aspek-aspek kinerja perusahaan yang tidak mencerminkan pengelolaan yang baik (Shleifer dan Vishny, 1986). Nilai minimum sebesar 0,22% dimiliki oleh PT Bank Bukopin, Tbk pada tahun 2009. Perusahaan dengan kepemilikan saham top 5 terbanyak, yakni 100% dimiliki oleh 58 sampel atau lebih dari separuh jumlah sampel. Nilai 0,22% mengindikasikan bahwa

commit to user

beberapa pihak yang menyebabkan pemilik yang minoritas kurang tertarik untuk melakukan pengawasan karena kan menanggung biaya pengawasan (monitoring cost ) dan hanya menerima manfaat kecil dari aktifitas tersebut (Haryono, 2005)

Nilai kepemilikan institusi yang paling tinggi adalah 100% diperoleh perusahaan yang sama selama tiga tahun berturut-turut yaitu PT Bank Mutiara, Tbk tahun 2009, 2010 dan 2011. Sedangkan nilai terendah diperoleh PT Bank Bukopin, Tbk ditahun 2009 dengan nilai sebesar 0,36%. Nilai mean untuk kepemilikan institusi adalah 66,24. Artinya investor yang berasal dari institusi sektor keuangan memiliki saham yang cukup besar (lebih dari separuh saham beredar) pada perbankan. Semakin tinggi kepemilikan institusi pada perusahaan maka akan semakin meningkat pengawasan kepada pihak manajemen atas kinerja dan diharapkan mengurangi risiko perbankan (Fitri dan Mamduh, 2003).

Nilai kepemilikan manajerial mempunyai rerata sebesar 5,48%. Hal ini berarti jumlah saham yang dimiliki pihak internal tergolong rendah (kurang dari 10%) dan sisanya dimiliki oleh pihak eksternal (pemerintah dan institusi). Alasan yang mendasari fenomena ini yaitu manajer berperilaku risk averse sehingga mengurangi keterlibatan dalam kepemilikan saham pada tingkat risiko tinggi. Manajer memilih mengalihkan kekayaan pribadi pada investasi lain atau pada lembaga keuangan. Nilai tertinggi adalah PT Bank ICB Bumiputera Indonesia, Tbk pada tahun 2010 yaitu sebesar 69,90%. Sedangkan nilai terendah adalah sebesar 0% diperoleh 35 sampel dari total keseluruhan sampel. Rendahnya kepemilikan saham manajer yang risk averse melakukan diversifikasi secara

commit to user

terdiversifikasi, manajer menuntut insentif tinggi untuk mengimbangi risiko yang diterima. Kondisi ini menyebabkan manajer (CEO) termotivasi memperkecil

risiko melalui diversifikasi (May, 1995).

Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep.29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Pada tabel IV.3 jumlah komite audit berkisar antara minimum 2 orang sampai maksimum 6 orang. Nilai maksimum 6 diperoleh delapan sampel, sedangkan nilai minimum 2 dimiliki PT Bank QNB Kesawan, Tbk tahun 2010. Nilai rerata sebesar 3,87. Hal ini berarti bahwa rerata perusahaan sampel memiliki komite audit sebanyak 4 orang. Berdasarkan PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, keanggotaan komite audit sekurang- kurangnya terdiri dari tiga anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak eksternal yang independen. Pada umumnya perusahaan perbankan di Indonesia sudah memenuhi ketentuan PBI No 8/4/2006 dengan jumlah komite audit minimal 3 orang.