TINDAK TUTUR EKSPRESIF DALAM PEMENTASAN KETOPRAK DENGAN LAKON MARDHIKA JAWA DWIPA KARYA KI ARIF HARTARTA

TINDAK TUTUR EKSPRESIF DALAM PEMENTASAN KETOPRAK DENGAN LAKON MARDHIKA JAWA DWIPA KARYA KI ARIF HARTARTA SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

Aditya Yanu Pratama

C0108014

SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

commit to user

commit to user

commit to user

commit to user

MOTTO

1. Jika kita mencoba melakukan yang lebih baik daripada yang kita pikir bisa kita lakukan, kita akan terkejut bahwa sebenarnya kita bisa melakukan hal itu.

2. Hal mudah akan terasa sulit jika yang pertama diipikirkan adalah kata sulit. Yakinlah bahwa kita memiliki kemampuan dan kekuatan.

3. Kesalahan adalah pengalaman hidup, belajarlah darinya. Jangan mencoba untuk menjadi sempurna. Cobalah menjadi teladan bagi sesama.

4. Sepisan sedulur selawase sedulur (KKTT Wiswakarman).

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibuku yang terhormat.

2. Adik-adikku Mandha dan Bagas.

3. Keluarga KT Wiswakarman.

4. Almamaterku tercinta.

5. Pembaca yang budiman.

commit to user

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas segala rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul Tindak Tutur Ekspresif dalam Pementasan Ketoprak dengan Lakon Mardhika Jawa Dwipa Karya Ki Arif Hartarta .

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan. Proses penyusunan skripsi sampai selesai ini penulis dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu memberikan motivasi dan semangat.

3. Dra. Sri Mulyati, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Y. Suwanto, M.Hum., selaku Pembimbing Pertama, dengan penuh kesabaran memberi petunjuk dan koreksi hingga penyusunan skripsi ini terselesaikan.

commit to user

5. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Pembimbing kedua yang dengan sabar memberi koreksi, arahan dan nasihat kepada penulis hingga penyusunan skripsi ini sampai selesai.

6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan bekal ilmunya kepada penulis.

7. Kepala dan Staf Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas pelayanannya.

8. Arif Hartarta, S.S., M.Hum., selaku penulis naskah ketoprak Mardhika Jawa Dwipa yang telah memberi izin kepada penulis untuk dapat menggunakan naskah ketoprak Mardhika Jawa Dwipa sebagai objek penelitian.

9. Bapak, Ibu, adik-adikku Mandha dan Bagas serta Bertha yang selalu mendukung.

10. Para sahabat Bono, Faat, Riyan, Ucup, Wisnu, Iffa, Panca, Icip, Mumu, dan teman-teman di KT WISWAKARMAN. Terima kasih atas kebersamaan selama ini.

11. Teman-teman Sastra Daerah angkatan 2007, 2008, dan 2009. Terima kasih atas dukungan dan semangat kalian. Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Surakarta, Januari 2013

Penulis

commit to user

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 141

A. Simpulan ........................................................................................... 141

B. Saran ................................................................................................. 143 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 144 LAMPIRAN .................................................................................................. 146

commit to user

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

BA : Bathara Anggajali DC : Dewata Cengkar D+S : Dora + Sembada

ES

: Empu Sangkala

: Margiyati

N.Raras

: Niken Raras

Ny.Sagopi

: Nyai Sagopi

Ny.Sagopi daa

: Nyai Sagopi dan anak-anaknya

Pth.Kar.Keleng

: Patih Karang Keleng

: Sembada

S (PI)

: Suksma (Prabhu Isaka)

dll.

: dan lain-lain

: Penutur

MT

: Mitra Tutur

TP

: Tindak Perlokusi

TTE

: Tindak Tutur Ekspresif

‘…...’ : Tanda petik tunggal, menandai bahwa yang diapit adalah terjemahan.

commit to user

ABSTRAK

Aditya Yanu Pratama. C0108014. 2013. Tindak Tutur Ekspresif dalam Pementasan Ketoprak Dengan Lakon Mardhika Jawa Dwipa Karya Ki Arif Hartarta. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bentuk, fungsi dan faktor yang mempengaruhi tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Madhika Jawa Dwipa.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi dan faktor tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini berupa CD rekaman pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa serta wawancara terbuka dengan informan yaitu Ki Arif Hartarta. Penelitian ini menggunakan jenis data lisan dan data tulis sebagai data utama yang di dalamnya terdapat tindak tutur ekspresif, serta data lisan dari hasil wawancara terbuka dengan informan sebagai data pendamping. Populasi penelitian mencakup keseluruhan wujud tuturan bahasa Jawa dalam rekaman pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik simak dan teknik catat, serta teknik wawancara terbuka dengan informan yaitu Ki Arif Hartarta. Analisis data dengan menggunakan metode kontekstual (contextual method), dan metode padan.

Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) bentuk tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa adalah tindak tutur berterima kasih, memuji, menolak, menyalahkan, mencurigai, menuduh, menyindir, mengkritik, meminta maaf, mengejek, menyayangkan, mengungkapkan rasa heran, mengungkapkan rasa kaget atau terkejut, mengungkapkan rasa jengkel atau sebal, mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa bangga, mengungkapkan rasa malu, mengungkapkan rasa takut, mengungkapkan rasa simpati, dan mengungkapkan rasa kecewa. (2) Fungsi tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa adalah tindak tutur berterima kasih, memuji, menolak, menyalahkan, mencurigai, menuduh, menyindir, mengkritik, meminta maaf, mengejek, menyayangkan, mengungkapkan rasa heran, mengungkapkan rasa kaget atau terkejut, mengungkapkan rasa jengkel atau sebal, mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa bangga, mengungkapkan rasa malu, mengungkapkan rasa takut, mengungkapkan rasa simpati, dan mengungkapkan rasa kecewa. Setiap tindak tutur menghasilkan efek dari mitra tutur yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tindak ilokusi dan perlokusi yang terdapat dalam masing-masing tuturan. (3) faktor-faktor yang mempengaruhi TTE adalah (a) penutur dan mitra tutur, (b)

commit to user

konteks tuturan, (c) tujuan tuturan, (d) tuturan sebagai bentuk tidakan atau aktivitas, (e) tuturan sebagai produk tindak verbal.

commit to user

ABSTRACT

Aditya Yanu Pratama. C0108014. 2013. Tindak Tutur Ekspresif dalam Pementasan Ketoprak Dengan Lakon Mardhika Jawa Dwipa Karya Ki Arif Hartarta . Skripsi: Javanese Literature Department Literature and Art Faculty Sebelas Maret University Surakarta.

The problems statement of this research form, functions, and factors that influence the expressive speech acts on the performance of ketoprak Mardhika Jawa Dwipa?

The purpose of this research are to describe the form, function, and factors that influence the expressive speech acts in the performance of ketoprak Mardhika Jawa Dwipa.

This research is descriptive qualitative. Source of research data in the form of

a CD recording ketoprak staging the play Mardhika Jawa Dwipa and open-ended interviews with informants namely Ki Arif Hartarta. This study uses data types oral and written data as the primary data in which there is expressive speech act, as well as verbal data from interviews with informants openly as a data companion. The study population includes the entire Java language in a form of speech recording ketoprak staging the performance Mardhika Jawa Dwipa. The sampling technique is done by purposive sampling. Technique of collecting data in this study using the techniques and techniques refer to note, as well as open-ended interviews with informants techniques namely Ki Arif Hartarta. Analysis of data by using a contextual method and matching methods.

From this analysis we can conclude a few things: (1) form of expressive speech acts in staging of ketoprak Mardhika Jawa Dwipa are grateful speech acts, praised, refuses, blaming, suspicious, accusing, satirize, criticize, apologize, mocking, deplore, speech acts to express a sense of wonder, to express shock or surprise, to express a sense annoyance or disgust, anger expressing, revealed pride, shame expressing, expressing fear, sympathy, expressed a sense of disappointment. (2) The function of expressive speech acts in staging of ketoprak Mardhika Jawa Dwipa are grateful speech acts, praised, refuses, blaming, suspicious, accusing, satirize, criticize, apologize, mocking, deplore, speech acts to express a sense of wonder, to express shock or surprise, to express a sense annoyance or disgust, anger expressing, revealed pride, shame expressing speech acts, expressing fear, sympathy, expressed a sense of disappointment. Every speech act produces the effect of different partners speech. This is influenced by the presence and action ilokusi and perlokusi was contained in each speech. (3) The occurrence of a speech act is influenced by factors are (a) speakers and speech partners, (b) the context of the speech, (c) the purpose of speech, (d) speech as a form of actions or activities, (e) speech as a verbal act product.

commit to user

SARI PATHI

Aditya Yanu Pratama. C0108014. 2013. Tindak Tutur Ekspresif dalam Pementasan Ketoprak Dengan Lakon Mardhika Jawa Dwipa Karya Ki Arif Hartarta. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pratѐ lan ingkang dipunrêmbag salêbêting panalitѐ n mênika inggih punika wujud, pigunanipun lan punapa kemawon ingkang hanjalari tindak tutur ekspresif salêbêtipun pagêlaran kêthoprak Mardhika Jawa Dwipa?

Ancasipun ingkang kêpingin ginayuh inggih punika gêgambaran wujud, pigunanipun lan ingkang dadosakên tindak tutur ekspresif wontên pagêlaran kêthoprak kanthi lakon Mardhika Jawa Dwipa.

Panalitѐ n punika asifat deskriptif kualitatif. Sumber dhata panalitѐ n punika saking CD rekaman pagêlaran kêtoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa saha wawanrêmbag kalihan informan inggih punika Ki Arif Hartarta. Panalitѐ n punika migunakakên jinis dhata lisan saha dhata sêrat minangka dhata bakunipun ingkang salêbêtipun wontên tindak tutur ekspresif, sarta dhata lisan saking kasil wawanrêmbag kalihan informan minangka dhata pangiring. Populasi panalitѐ n mangêrtosi sêdaya wujud tutur basa Jawi ing salêbêting rekaman pagêlaran kêthoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa. Cara anggѐ nipun mêndhêt tuladha kanthi purposive sampling . Cara pangêmpaling dhata salêbêting panalitѐ n punika migunakakên cara simak kalihan cara cathêt, sarta cara wawanrêmbag kalihan informan inggih punika Ki Arif Hartarta. Analisis dhata kanthi ngginakakên metode kontekstual , kalihan metode padan.

Saking analisis punika sagêd kapêndhêt saperangan pêrkawis: (1) wujud tindak tutur ekspresif wontên pagêlaran kêthoprak kanthi lakon Mardhika Jawa Dwipa inggih punika tindak tutur matur nuwun, ngalêm, menggak, nyalahaken, nyubriya, nudhuh, ngritik, nyuwun pangapura, ngece, ngeman, ngandharakên raos gumun, ngandharakên kagѐ t, ngandharakên raos anyêl, ngandharakên nêsu, ngandharakên raos bombong, ngandharakên raos isin, ngandharakên raos ajrih, ngandharakên raos pêrduli, lan ngandharakên raos kuciwa. (2) Ginanipun tindak tutur ekspresif wontên ing pementasan kêthoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa inggih punika tindak tutur matur nuwun, ngalêm, menggak, nyalahaken, nyubriya, nudhuh, ngritik, nyuwun pangapura, ngece, ngeman, ngandharakên raos gumun, ngandharakên kagѐ t, ngandharakên raos anyêl, ngandharakên nêsu, ngandharakên raos bombong, ngandharakên raos isin, ngandharakên raos ajrih, ngandharakên raos pêrduli, lan ngandharakên raos kuciwa. Sêdaya tindak tutur ngasilakên efek saking mitra tutur ingkang bѐ ntên. Bab punika dipunsêbabakên wontênipun tindak ilokusi lan perlokusi

commit to user

ing salêbêting tuturan. (3) Faktor ingkang nêmtokakên satunggaling jinis tindak tutur dipunsêbabakên (a) penutur kalihan mitra tutur, (b) konteks tuturan, (c) pikajêng tuturan , (d) tuturan minangka wujud tindakan utawi aktivitas, (e) tuturan minangka produk tindak verbal .

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat Jawa. Selain itu bahasa Jawa dipakai sebagai: (1) bahasa pengantar di sekolah dasar, (2) media dalam pentas budaya tradisional, seperti ludruk, ketoprak, dan wayang, (3) sebagai bahasa ibu dalam kehidupan Jawa, (4) media khotbah di masjid lingkungan kraton Surakarta, (5) pengungkap ide, gagasan umum dan pikiran bagi masyarakat Jawa.

Pemakaian bahasa Jawa dalam pementasan ketoprak memberikan warna bahasa tersendiri dalam setiap pementasan. Kondisi demikian ini disebabkan oleh faktor sosial masyarakat Jawa yang berbeda-beda latar belakangnya. Karakter seorang pemain ketoprak pada saat memerankan tokoh dalam suatu lakon akan sangat berbeda dengan karakter kahidupan pribadinya. Dalam kehidupan sehari- hari pemain ketoprak menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi, namun dalam memerankan satu tokoh dalam pementasan ketoprak, pemain tersebut dituntut untuk menguasai bahasa dan tuturan-tuturan yang terdapat dalam pementasan ketoprak.

Tuturan dalam suatu lakon pementasan tidak lepas dari dialog-dialog yang terdapat dalam naskah dan menjadi pedoman pementasan ketoprak tersebut. Naskah merupakan hasil karya sastra yang diciptakan oeh pengarangnya. Karya sastra adalah dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah Tuturan dalam suatu lakon pementasan tidak lepas dari dialog-dialog yang terdapat dalam naskah dan menjadi pedoman pementasan ketoprak tersebut. Naskah merupakan hasil karya sastra yang diciptakan oeh pengarangnya. Karya sastra adalah dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah

Linguistik merupakan ilmu yang mengkaji tentang bahasa, salah satu cabangnya adalah pragmatik. Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungan dengan situasi-situasi ujar. Pragmatik mengkaji mengenai tuturan yang dikehendaki penutur dan menurut konteksnya. Konteks dalam hal ini berfungsi sebagai dasar pertimbangan dalam mendeskripsikan makna tuturan dalam rangka penggunaan bahasa di dalam suatu komunikasi (Leech, dalam Kenfitria Diah Wijayanti, 2009).

Tindak tutur merupakan pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicaraan diketahui oleh pendengar (Harimurti Kridalaksana, 2008: 171). Seperti dalam aktivitas sosial yang lain, kegiatan bertutur baru dapat terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.

Misalnya : Doni : Ya sepuranana aku sing luput iki.

’Ya maafkanlah saya yang atas.’ Ida : Iya, mengko dhisik, mas.

’Ya, sebentar, mas.’ Pada contoh di atas Doni (P) melakukan tindak tutur ekspresif meminta maaf kepada Ida (MT). Kata sepuranana pada tuturan P merupakan penanda lingual meminta maaf, kehadirannya sangatlah penting.

Ana : Matur nuwun mas, sampun ngeterne kula.

’Terima kasih mas, telah mengantar saya.’ Indra : Inggih mbak.

’Ya, mbak.’ Pada contoh di atas Ana (P) melakukan tindak tutur ekspresif berterima kasih kepada Indra (MT). Kata matur nuwun pada tuturan P merupakan penanda lingual berterima kasih, kehadirannya sangatlah penting.

Beberapa skripsi hasil penelitian terdahulu mengenai tindak tutur:

1. “Tindak Tutur Direktif dalam Ketoprak dengan Lakon Sinamuring

Kasetyan dan Surya Sakembaran (Suatu Pendekatan Pragmatik) ”, skripsi oleh Fery Ayuni Dyah Kusumawati, tahun 2002. Skripsi ini membahas tentang bentuk, fungsi, maksud dari tindak tutur, dan derajad kesopansantunan.

2. “Tindak Tutur Dagelan Basiya (Suatu Kajian Pragmatik)”, skripsi

oleh Harsono, tahun 2007. Skripsi ini membahas tentang fungsi bahasa Jawa dalam dagelan, tipe humor, dan proses terjadinya interpretasi pragmatik.

3. “Tindak Tutur Direktif dalam Pertunjukan Wayang Lakon Dewaruci

oleh dalang Ki Mantep Soedharsono ”, Dyah Wijayanti, tahun 2009. Skripsi ini membahas tentang bentuk, fungsi, makna dan faktor yang melatarbelakangi adanya tindak tutur direktif.

4. “Tindak Tutur Direktif Bahasa Jawa di Kantor UTP Disdikpora

Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap (Suatu Kajian Pragmatik) ”, skripsi oleh Ageng Nugraheni, tahun 2010. Skripsi ini membahas tentang fungsi tindak tutur direktif, faktor yang melatarbelakangi, dan kesantunan tindak tutur direktif.

5. “Tindak Tutur Direktif dalam Pementasan Ketoprak Lakon Mardhika

Jawa Dwipa kar ya Ki Hartarta”, skripsi oleh Ariffar Rini Astuti, tahun 2011. Skripsi ini membahas bentuk, fungsi, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi tindak tutur direktif.

Beberapa hasil penelitian tersebut, sangatlah bermanfaat untuk penelitian ini. Referensi mengenai penelitian tersebut berguna sebagai acuan untuk menambah wawasan peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian tentang tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa belum pernah diteliti. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, terdapat dua macam penggunaan bahasa Jawa di dalam masyarakat yaitu pemakaian bahasa sebagai sarana penyampaian informasi dalam komunikasi dan pemakaian bahasa sebagai sarana penyampaian maksud tertentu dari penutur kepada mitra tutur seperti halnya tuturan yang terjadi antartokoh dalam pementasan ketoprak dengan judul Mardhika Jawa Dwipa. Selain itu, tuturan yang muncul dari dialog tokoh-tokoh ketoprak tersebut dapat dikategorikan dalam suatu jenis tindak tutur.

Kedua, dalam penyampaian tuturan penutur dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melatarbelakanginya sehingga terjadi ragam bahasa dalam pengujaran kalimatnya.

Ketiga, dalam pementasan ketoprak dengan judul Mardhika Jawa Dwipa ini terdapat kandungan ajaran moral yang tersirat, juga terkandung cerita awal adanya aksara Jawa atau yang biasa disebut dentawyanjana.

Keempat, bahasa yang dipergunakan dalam pementasan ketoprak memiliki kekhasan sehingga berbeda dengan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, dalam pementasan ketoprak lakon Mardhika Jawa Dwipa ini terdapat beberapa ragam bahasa Jawa yang mendukung penelitian ini yaitu terdapat berbagai macam tuturan dalam naskah tersebut khususnya tindak tutur ekspresif.

Dalam dialog-dialog yang dituturkan oleh para tokoh dalam naskah tersebut banyak sekali terdapat tuturan yang termasuk dalam tindak tutur ekspresif seperti berterima kasih, memuji, menolak dan menyalahkan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak dengan judul Mardika Jawa Dwipa dengan tinjauan pragmatik .

B. Pembatasan Masalah

Ulasan bahasa yang dipakai dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa sangat komplek yakni bisa berupa tindak tutur asertif, tindak tutur komisif, tindak tutur deklaratif, tindak tutur representatif, dll. Oleh karena itu, peneliti hanya akan meneliti tentang tindak tutur ekspresif agar tidak membias. Penelitian ini mengkaji bentuk, fungsi dan faktor yang mempengaruhi adanya tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa?

2. Bagaimanakah fungsi tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa?

3. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi adanya tindak tutur

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. mendeskripsikan bentuk tindak tutur ekspresif dalam pementasan

ketoprak Mardhika Jawa Dwipa;

2. mendeskripsikan fungsi tindak tutur ekspresif dalam pementasan

ketoprak Mardhika Jawa Dwipa; dan

3. mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak Mardhika Jawa Dwipa.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah teori pragmatik khususnya tindak tutur ekspresif bahasa Jawa.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat :

a. Menambah wawasan bagi masyarakat Jawa pada umumnya untuk mengetahui penggunaan bahasa Jawa dalam pementasan ketoprak dengan judul Mardhika Jawa Dwipa.

b. Dipakai sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

c. Dimanfaatkan oleh guru bahasa dalam memperkaya materi kebudayaan di sekolah baik SD, SLTP, maupun SLTA.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitiann ini meliputi lima bab, dan diuraikan sebagai berikut : BAB I Pendahuluan. Meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori. Meliputi pengertian pragmatik, tindak tutur dan tindak tutur ekspresif, situasi tutur, peristiwa tutur, ketoprak, dan ringkasan cerita Mardhika Jawa Dwipa.

BAB III Metode Penelitian. Meliputi jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, alat penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data dan metode penyajian hasil analisis data.

BAB IV Analisis Data dan Pembahasan. Merupakan hasil analisis dari keseluruhan data mengenai tindak tutur ekspresif dalam pementasan ketoprak dengan lakon Mardika Jawa Dwipa karya Ki Arif Hartarta.

BAB V Penutup. Berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang masih tergolong baru bila dilihat dari perkembangannya. Berikut ini dipaparkan beberapa pengertian pragmatik:

1. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Pragmatik dapat dimanfaatkan setiap penutur untuk memahami maksud lawan tutur. (Wijana, 1996 : 2)

2. Pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. (Rohmadi, 2004:4)

3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. (Yule, 2006:4) Batasan pengertian ilmu pragmatik juga dikemukakan oleh para ahli yang lain. Pragmatik menurut Leech (1993: 8) adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam konumikasi (I Dewa Putu Wijana 1996: 2).

4. Levinson dalam Muhammad Rohmadi, (2004: 4) pada bukunya yang berjudul

batasan tersebut antara lain menjelaskan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Selain itu Levinson juga mengemukakan bahwa pragmatik mengkaji tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai dengan kalimat-kalimat tersebut. Definisi dari Levinson tersebut menekankan pada hubungan antara bahasa dan konteks yang menyertai bahasa tersebut. Dengan demikian, kajian pragmatik menurut pandangan Levinson ditekankan pada pengkajian makna bahasa dengan konteks yang menyertai bahasa tersebut, dan telaah ini tidak dapat dijelaskan secara tuntas di dalam semantik.

Dari beberapa batasan mengenai pragmatik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal yang ditentukan oleh konteks dan situasi yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam ilmu pragmatik suatu peristiwa tutur lebih mengacu pada maksud penutur terhadap tuturannya.

B. Pengertian Tindak Tutur

Tindak tutur dalam pragmatik merupakan pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 2008: 171). Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur merupakan suatu tindak berbahasa yang menekankan pada fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi. Seperti dalam aktivitas sosial, kegiatan berinteraksi baru dapat terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Dalam berinteraksi, penutur dan mitra tutur saling menyadari bahwa terdapat kaidah- Tindak tutur dalam pragmatik merupakan pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 2008: 171). Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur merupakan suatu tindak berbahasa yang menekankan pada fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi. Seperti dalam aktivitas sosial, kegiatan berinteraksi baru dapat terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Dalam berinteraksi, penutur dan mitra tutur saling menyadari bahwa terdapat kaidah-

Sebagai tindakan yang diungkapkan melalui bahasa oleh penutur kepada lawan tutur, tindak tutur berfungsi untuk menyatakan maksud penutur agar diterima oleh lawan tuturnya. Dalam mengatakan sesuatu, seseorang juga melakukan tindakan dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur.

Di dalam pragmatik, tindak tutur mempunyai kedudukan yang penting dikarenakan tidak tutur merupakan satuan analisisnya. Tindak tutur merupakan rangkaian dari percakapan yang terjadi dalam peristiwa tutur. Dalam tindak tutur sangat diperhitungkan sejauh mana tuturan tersebut dapat mengekspresikan sikap penutur, dan mitra tutur harus mampu menangkap pesan yang tersirat di dalamnya.

Secara garis besar Austin dalam Tarigan (2009: 100), merumuskan tiga macam tindak tutur yaitu:

1) Lokusi yaitu tindakan mengatakan sesuatu dan makna sesuatu yang dikatakan

dalam arti ’berkata’ atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

2) Ilokusi yaitu apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Tindak

tutur ilokusi biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit.

3) Perlokusi yaitu pengaruh yang dihasilkan dengan mengatakan apa yang

dikatakan. Dapat dikatakan juga bahwa tindak tutur perlokusi merupakan tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain itu.

C. P engertian Tindak Tutur Ekspresif

Kategori tindak tutur ekspresif yang dikemukakan oleh Austin adalah tindak tutur behabitif (behabitives utterances). Tindak tutur behabitif adalah reaksi-reaksi terhadap kebiasaan dan keberuntungan orang lain. Verba tindak tutur behabitif antara lain, meminta maaf, berterima kasih, bersimpati, menantang, mengucapkan salam, mengucapkan selamat (1962:150-163).

Menurut Leech tindak tutur ekspresif adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur kepada suatu keadaan yang dihadapi oleh mitra tutur. Leech menyebutkan verba yang menandai tindak tutur ekspresif antara lain, mengucapkan selamat, mengucapkan terimakasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf, memaafkan (terjemahan Oka, 1993:328).

Fraser dalam Nadar (2009:16-17) juga mengkategorikan salah satu teori tindak tuturnya serupa dengan tindak tutur ekspresif. Tindak tutur Fraser yang serupa dengan tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur refleksi perilaku pembicara (acts of reflecting speaker attitude). Tindakan refleksi perilaku pembicara ditandai dengan verba memuji, mengeluh, nerasa ikut bersimpati, menuduh, menyayangkan, meminta maaf.

Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam

1) Tindak Tutur Berterimakasih Tindak tutur berterimakasih yang terjadi karena mitra tutur bersedia melakukan apa yang diminta oleh penutur, karena tuturan memuji yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dan karena kebaikan hati penutur yang telah memberikan sesuatu kepada mitra tutur.

2) Tindak Tutur Memuji Tindak tutur memuji yang terjadi karena kondisi dari mitra tutur, karena penutur ingin melegakan hati mitra tutur, karena penutur ingin merayu mitra tutur, karena penutur telah bersedia meminta maaf dan berjanji kepada anaknya, karena penutur ingin menyenangkan hati mitra tutur dan karena perbuatan terpuji yang dilakukan oleh penutur.

3) Tindak Tutur Menolak Tindak tutur menolak yang terjadi karena mitra tutur tidak mau melakukan apa yang diminta oleh penutur dan karena mitra tutur tidak mau menerima pemberian dari penutur.

4) Tindak Tutur Menyalahkan Tindak tutur menyalahkan yang terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh mitra tutur, karena mitra tutur tidak mau bertanggung jawab akan kesalahan yang telah diperbuatnya dan karena mitra tutur ingin melepaskan diri dari suatu kesalahan.

5) Tindak Tutur Mencurigai Tindak tutur mencurigai yang terjadi karena penutur mempunyai anggapan bahwa mitra tutur telah berbuat sesuatu yang kurang baik.

6) Tindak Tutur Menuduh Tindak tutur menuduh yang terjadi karena penutur ingin membuktikan anggapannya bahwa mitra tutur telah melakukan sesuatu yang kurang baik.

7) Tindak Tutur Menyindir Tindak tutur menyindir yang karena penutur tidak suka dengan apa yang dilakukan atau dituturkan mitra tutur, karena penutur menyampaikan alasan-alasan yang tidak masuk akal kepada mitra tutur, dan karena tuturan pertanyaan penutur terhadap mitra tutur.

8) Tindak Tutur Mengkritik Tindak tutur mengkritik yang karena penutur merasa jijik dengan apa yang dilakukan oleh mitra tutur dan karena penutur tidak suka atau tidak sependapat dengan apa yang dilakukan atau dituturkan mitra tutur.

9) Tindak Tutur Meminta Maaf Tindak tutur meminta maaf yang terjadi karena permintaan mitra tutur, karena perasaan tidak enak penutur terhadap mitra tutur karena telah mengganggu waktu mitra tutur.

10) Tindak Tutur Mengejek Tindak tutur mengejek yang terjadi karena sikap mitra tutur yang tidak bersedia menuruti permintaan penutur dan karena penutur tidak suka dengan sikap dan tuturan tidak terpuji yang dilakukan oleh mitra tutur.

11) Tindak Tutur Menyayangkan Tindak tutur menyayangkan yang terjadi karena penutur merasa iba atau kasihan terhadap mitra tutur.

12) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Heran Tindak tutur mengungkapkan rasa heran yang terjadi karena rasa keheranan penutur terhadap sikap atau tuturan mitra tutur.

13) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Kaget atau Terkejut Tindak tutur mengungkapkan rasa kaget atau terkejut yang diterjadi karena rasa kaget yang dirasakan oleh penutur terhadap sikap atau tuturan mitra tutur.

14) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Jengkel atau Sebal Tindak tutur mengungkapkan rasa jengkel atau sebal yang terjadi karena penutur merasa kesal terhadap apa yang dilakukan oleh mitra tutur.

15) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Marah Tindak tutur mengungkapkan rasa marah yang terjadi karena perasaan sangat tidak senang mitra tutur terhadap sikap penutur, dan karena rasa takut yang dirasakan penutur terhadap apa yang sedang dilakukan mitra tutur.

16) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Bangga Tindak tutur mengungkapkan rasa bangga yang terjadi karena penutur merasa mempunyai keunggulan dibandingkan orang lain.

17) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Malu Tindak tutur mengungkapkan rasa malu yang terjadi karena penutur merasa sangat tidak enak hati terhadap mitra tutur.

18) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Takut Tindak tutur mengungkapkan rasa takut yang terjadi karena perasaan takut penutur terhadap sesuatu.

19) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Simpati Tindak tutur mengungkapkan rasa simpati yang terjadi karena rasa keikutsertaan penutur merasakan perasaan sedih yang sedang dirasakan oleh mitra tutur.

20) Tindak Tutur Mengungkapkan Rasa Kecewa Tindak tutur mengungkapkan rasa kecewa yang terjadi karena rasa kecil hati penutur terhadap apa yang dilakukan oleh mitra tutur.

D. Situasi Tutur

Leech (Rohmadi, 2004 27-28) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah:

1. Penutur dan Lawan Tutur Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain.

2. Konteks Tuturan Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting 2. Konteks Tuturan Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting

3. Tujuan Tuturan Bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities).

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas Pragmatik berhubungan dengan tindak verba (verba act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hal ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret, jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tujuan penggunaanya.

5. Tuturan sebagai bentuk tindak verba Tuturan yang digunakan di dalam kriteria keempat merupakan bentuk tindak tutur. Dengan demikian tuturan sebagai produk tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis, antara penutur dan lawan tutur (Leech, 1983 dalam Wijana, 1996: 10-12).

E. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua

Menurut Dell Hymes (dalam Suwito, 1983: 32-33) suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah :

1. Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan.

2. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).

3. End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

4. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, penggunaannya, dan hubungan antara yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

5. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

6. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

7. Norm of Interaction and Interpretaton, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

8. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya (Suwito, 1983: 32-33).

F. Ketoprak

1. Pengertian ketoprak

Ketoprak adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pementasan ketoprak, sandiwara yang juga diselingi dengan lagu-lagu jawa yang diiringi oleh gamelan. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam- macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar negri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita) Ramayana dan Mahabharata. (Little Book, panduan dasar paguyupan mahasiswa KT Wiswakarman)

2. Sejarah ketoprak

Ketoprak lahir pada tahun 1887. Pada awalnya ketoprak hanya berwujud permainan bagi para lelaki di desa sebagai hiburan sambil menabuh lesung (alat yang sebenarnya berfungsi sebagai alat/tempat untuk menumbuk gabah/padi supaya menjadi beras) pada saat bulan purnama. Hal ini juga sering disebut sebagai “gejog lesung”. Namun semakin lama ketoprak semakin digemari oleh

banyak orang, dank arena kebiasaan akhirnya ketoprak mampu dijadikan sebagai salah satu budaya masyarakat, dan bisa bersinergi dengan kesenian yang lainnya. Ketoprak yang mulanya hanya diiringi oleh tabuhan lesung, seiring berjalannya waktu diiringi pula oleh alat music lain seperti kendhang, terbang, dan suling.

Pada tahun 1090 pertunjukan ketoprak sudah mulai berkembang seperti yang bisa kita saksikan sampai sekarang.

3. Beberapa unsur pendukung pementasan ketoprak

a. Naskah lakon Naskah lakon biasa dipahami sebagai suatu hasil karya sastra yang struktur dan fungsinya bisa berbeda dengan karya sastra umumnya seperti cerita pendek, novel, atau puisi. Ada dua jenis naskah lakon yang dipahami sebagai alat ekspresi senimannya. Pertama, naskah lakon yang diciptakan hanya untuk dibaca dan kemungkinan kecil untuk dipentaskan. Kedua, naskah lakon yang dirancang untuk pertunjukan teater. Nilai sastra dalam lakon sudah mengandung nilai kesastraan dan kaidah-kaidah bahasa estetis

b. Aktor dan aktris pendukung Modal estetis dari aktor dan aktris teater adalah tubuhnya, vokalnya, dan sukmanya. Dengan cara mengolah tubuh, mengolah suara, dan mengolah sukmanya aktor dan aktris mampu melahirkan gerak, suara, laku peran (acting) yang bernilai estetis.

c. Tata rias Tata rias wajah (make up) adalah kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli dengan bantuan bahan dan alat kosmetik. Istilah make up lebih sering ditujukan kepada pengubahan bentuk wajah, meskipun sebenarnya seluruh tubuh bisa dihias. Salah satu kegunaan tata rias adalah untuk kepentingan dunia akting dan hiburan. Setiap warna dan bahan kosmetika yang digunakan ditujukan untuk membentuk karakter atau c. Tata rias Tata rias wajah (make up) adalah kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli dengan bantuan bahan dan alat kosmetik. Istilah make up lebih sering ditujukan kepada pengubahan bentuk wajah, meskipun sebenarnya seluruh tubuh bisa dihias. Salah satu kegunaan tata rias adalah untuk kepentingan dunia akting dan hiburan. Setiap warna dan bahan kosmetika yang digunakan ditujukan untuk membentuk karakter atau

Tata rias untuk membentuk karakter peran (dhapukan) dalam seni pertunjukan teater tradisional dibagi menjadi dua yaitu tata rias wajah dan rambut. Tidak seperti di dunia nyata, dalam seni pertunjukan peran make up sangat penting baik untuk pria maupun wanita.

Tata Rias Wajah Secara umum, bagian tahapan dalam tat arias wajah antara lain:

Halup-halup (dasar putih), polesan (perona pipi, kelopak), orekan (lukisan pembentuk wajah), benges (warna bibir), dan boreh (lulur badan). Tambahan dalam tata rias wajah kadang juga diperlukan untuk membentuk suatu karakter khusus misalnya : kumis, jenggot, cangkeman , dan orekan tambahan lain.

Tata Rias Rambut Khusus untuk tata rias rambut, lebih banyak diterapkan untuk

dhapukan wanita. Bentuk rambut (segala sesuatu yang dipakai di kepala) juga menggambarkan strata (kasta) peran seseorang tokoh dalam lakon cerita.

d. Tata Busana Busana pertunjukan ketoprak secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu gedhog/ngligan dan mataraman. Pengelompokan ini berdasar pada masa apa lakon cerita yang dipentaskan terjadi. Adapun pembagian zaman kerajaan di Jawa antara lain:

1) Kuna (Budha) tahun 125M-1125M Meliputi kerajaan-kerajaan: purwacarita, medang Siwanda, Medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling Wiraradya, Kahuripan dan Kediri.

2) Madya Kuna (Kuna Pertengahan) tahun 1126M-1250M

Meliputi kerajaan-kerajaan: Jenggala, Kediri, Pajajaran, dan Cirebon.

3) Sepuh Tengah (Tua Pertengahan) tahun 1251M-1459M

Meliputi kerajaan-kerajaan: Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit, dan Blambangan.

4) Tengahan (pertengahan) tahun 1460M-1613M Meliputi kerajaan-kerajaan: Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram.

5) Nom (Muda) tahun 1614M-sekarang. Meliputi kerajaan-kerajaan: Kartasura dan Surakarta. Pada zaman Kuna, Madya Kuna dan Sepuh tengah, dipengaruhi

oleh Hindu dan Budha, sedangkan pengaruh Islam mulai masuk sekitar tahun 1406 di zaman Tengahan sampai dengan jaman Nom. Busana jenis gedhog dipakai apabila suatu pementasan mengambil lakon cerita yang memakai setting cerita pada jaman Kuna, Madya Kuna, dan Sepuh Tengah. Sedangkan pada setting jaman Tengahan dan Nom, busana yang dipakai adalah jenis mataraman. Ketentuan ini berlaku apabila sebuah lakon mengambil cerita babad atau sejarah kerajaan dan legenda, tapi apabila lakon yang diangkat adalah cerita carangan (rekaan) maka penggunaan busana dapat mengikuti selera atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

e. Tata Cahaya Fungsi dari tata cahaya sebagai dukungan suasana ataupun sebagai patokan dari suatu adegan yang mampu menciptakan efek visual.

f. Tata Musik Musik merupakan unsur penting sebagai pengisi atau jeda adegan dengan fungsi menghidupkan suasana, dalam pementasan ketoprak iringan musik yang digunakan adalah iringan gamelan.

G. Ringkasan Cerita Mardhika Jawa Dwipa

Mardhika Jawa Dwipa menceritakan tentang seorang raja muda Negeri Surati di tanah Hindi Bernama Prabu Isaka, putra Bathara Anggajali yang sedang menjalani tapa brata di tengah hutan belantara ditemani oleh kedua abdi setia bernama Dora dan Sembada. Dalam kekhusukan olah samadi, datanglah tujuh bidadari yang bertugas menggoda petapaan yang dijalani Prabu Isaka. Berbagai cara dilakukan oleh para bidadari untuk membatalkan pertapaan sang Prabu, namun sia-sia belaka.

Datanglah Sang Dewa. Ia muncul dari celah-celah gumpalan awan gelap terbang menukik ke pertapaan Sang Isaka melalui alam kedewaan. Dia adalah dewa peradaban (ahli membuat senjata) bernama Hyang Anggajali yang tidak lain adalah ayah Sang Prabu Isaka. Terjadilah dialog antara Hyang Anggajali dengan

Sang Isaka (Sukma Langgeng) di alam ”sunya”. Hyang Anggajali memuji keteguhan Prabhu Isaka mengatasi godaan para bidadari. Sesungguhnya para bidadari itu adalah salah satu wujud ujian iman yang harus ditempuh oleh Sang Isaka. Selanjutnya Sang Isaka akan mengemban misi mulia yang cukup berat dari Sang Isaka (Sukma Langgeng) di alam ”sunya”. Hyang Anggajali memuji keteguhan Prabhu Isaka mengatasi godaan para bidadari. Sesungguhnya para bidadari itu adalah salah satu wujud ujian iman yang harus ditempuh oleh Sang Isaka. Selanjutnya Sang Isaka akan mengemban misi mulia yang cukup berat dari

Sang Isaka memanggil kedua abdi setianya; Dora dan Sembada yang sedang sibuk berlatih ilmu kanuragan. Diceritakanlah pengalaman mitisnya kepada kedua abdi tersebut. Setelah bertekad bulat, ketiganya berkemas berangkat ngejawa.

Tersebutlah seorang raja kanibal di pulau Jawa, tepatnya di negeri Medhang Kamulan. Raja ini memiliki kebiasaan biadab, yaitu memakan daging manusia. Saat itu, manusia yang menghuni pulau Jawa bisa dikata belum berperadaban atau nyaris tidak berkesenian. Raja bengis ini disebut-sebut orang bergelar raja Dewata Cengkar. Bukan hal yang aneh apabila lama-kelamaan penduduk di wilayah Medhang Kamulan berkurang, karena setiap harinya harus ada yang dijadikan santapan Sang Dewata Cengkar. Hingga pada suatu hari, sudah habis manusia di tempat itu, yang masih hidup mencoba mengungsi melarikan diri ke daerah yang lebih aman dan sulit dijangkau oleh pasukan Medhang Kamulan. Dewata Cengkar marah-marah kepada pasukannya karena sudah seharian ia tidak menyantap daging manusia. Dewata Cengkar memerintahkan kepada patih beserta pasukannya memburu manusia ke seluruh pelosok negeri untuk dijadikan mangsa, Tersebutlah seorang raja kanibal di pulau Jawa, tepatnya di negeri Medhang Kamulan. Raja ini memiliki kebiasaan biadab, yaitu memakan daging manusia. Saat itu, manusia yang menghuni pulau Jawa bisa dikata belum berperadaban atau nyaris tidak berkesenian. Raja bengis ini disebut-sebut orang bergelar raja Dewata Cengkar. Bukan hal yang aneh apabila lama-kelamaan penduduk di wilayah Medhang Kamulan berkurang, karena setiap harinya harus ada yang dijadikan santapan Sang Dewata Cengkar. Hingga pada suatu hari, sudah habis manusia di tempat itu, yang masih hidup mencoba mengungsi melarikan diri ke daerah yang lebih aman dan sulit dijangkau oleh pasukan Medhang Kamulan. Dewata Cengkar marah-marah kepada pasukannya karena sudah seharian ia tidak menyantap daging manusia. Dewata Cengkar memerintahkan kepada patih beserta pasukannya memburu manusia ke seluruh pelosok negeri untuk dijadikan mangsa,

Pada suatu ketika di jalan setapak, ada tiga orang wanita yang sedang mencari kayu dan makanan. Mereka adalah seorang janda dan kedua anaknya. Tanpa banyak bicara, para prajurid menyeret ketiga wanita tersebut untuk di bawa pulang ke Medhang Kamulan. Untung saja Empu Sangkala, Dora dan Sembada melewati jalur setapak itu. Dora dan Sembada segera menolong membebaskan ketiga wanita tersebut dari cengkeraman para prajurid. Pertempuran sengit terjadi, namun para prajurid kewalahan dan lari tunggang langgang pulang ke Medhang Kamulan untuk melapor. Janda tua mengucapkan terimakasih kepada sang pengembara, dan meminta kepada sang Empu Sangkala untuk mampir beristirahat dan makan di tempat persembunyiannya.