dari orang tua angkatnya, sedang terhadap barang pusaka barang asal anak angkat tidak berhak mewarisinya”. Begitu pula putusan Mahkamah
Agung R.I tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K Sip 1959 mengatakan “anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak
merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut”.
4. Waris dengan Hibah Wasiat
Ada kalanya bagi seorang pewaris yang sudah berumur lanjut, atau karena sudah mulai sakit-sakitan, berpesan kepada para anggota
keluarganya agar sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya kelak apabila ia wafat dapat diberikan kepada seseorang. Pesan kewarisan itu
disampaikannya dengan lisan atau dengan tulisan di hadapan para anggota keluarganya, dan pesan tersebut akan berlaku setelah pewaris tersebut
wafat. Kepada anak wanita biasanya orang tua menghibahkan bangunan rumah, ternak atau barang perhiasan. Hibah wasiat ini dapat diterjemahkan
sebagai pemberian dengan pengertian bahwa pemberian itu baru berlaku sesudah penghibah ayahibu wafat. Jadi hak milik baru beralih pada anak
setelah penghibah wafat. Biasanya hal ini tergantung kesepakatan para ahli waris dalam pelaksanaannya. Masyarakat Tionghoa di Surakarta
mempunyai tradisi yaitu wasiat atau pesan terakhir orang tua sedapat mungkin harus berusaha dipenuhi, hal ini karena dalam masyarakat
Tionghoa, prinsip kepatuhan terhadap orang tua sangat penting.
36
36
Djoko Sularjo, wawancara tanggal 16 Februari 2008
Di samping itu dikenal pula suatu sistem pengalihan harta kepada para waris yang dalam istilah Jawa disebut lintiran pengalihan, yaitu
pemindahan dan pengalihan bendanya telah berlaku sejak pewaris masih hidup, malahan ketika pewaris masih kuat tenaganya. Sistem lintiran ini
berlaku terutama yang sudah menjadi adat bahwa orang tua selalu menyediakan dan memberikan hartanya sebagai modal kehidupan bagi
setiap anaknya yang sudah kawin dan akan hidup mandiri. Jadi pengalihan hak miliknya sudah berlaku ketika pewaris masih hidup, baik terhadap
anak kandung, atau terhadap anak angkat atau mungkin juga orang lain. Hal ini juga dikenal dalam masyarakat Tionghoa di Surakarta
Jadi lintiran kebanyakan berlaku bagai anak-anak yang baru hidup berrumah tangga untuk bekal hidup mereka, sebagai harta bawaan ke
dalam perkawinan. Pengalihan harta dengan lintiran itu biasanya tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika lintiran itu diberikan bukan kepada para
ahli waris anak, tetapi kepada saudara-saudara pewaris. Di dalam pemberian bekal dari sebagian harta peninggalan itu ada
kalanya jenis harta yang diberikan kepada anak lelaki berbeda dengan anak perempuan, atau mungkin juga tidak dibedakan bergantung pada
pertimbangan orang tua pewaris menurut kesediaan, keadaan dan kemampuannya waktu itu.
5. Waris Janda Duda