Biologi Perkembangan Burung Maleo (Macrocephalon maleo, Sall, Muller 1846) yang Ditetaskan Secara Ex Situ

BIOLOGI PERKEMBANGAN BURUNG MALE0
(Macrocephalonmaleo, Sall, Muller 1846) YANG
DITETASKAN SECARA EXSITU

OLEH
ADOLFINA SUMANGANDO

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANLAN BOGOR
2002

Adolfina Sumangando. BIOLOGI PERKEMBANGAN BURUNG MALE0
(Macrocephalon maleo, Sall, Muller 1846) YANG DITETASKAN SECARA EX
SZZ'U. Dibimbing oleh Reviany Widjajakusuma dan Ani Mardiastuti.

Abstrak
Burung maleo (Uacrocephalon maleo) adalah satwa endemik Sulawesi yang memiliki
sifat serta tingkah laku unik yang membedakannya dari burung lain yaitu telurnya yang
sangat besar dibandingkan dengan besar tubuhnya serta proses penetasannya dimana telur
dimasukkan ke lubang dalam tanah. Pengambilan telur secara besar-besaran mengakibatkan
ancaman terhadap kelestariannya. Untuk menunjang konservasinya maka penelitian ini

dilaksanakan untuk mengkaji morfometri telur, daya tetas telur yang dieramkan dalam mesin
tetas (inkubator), perkembangan embrio, perhunbuhan serta gambaran hematologis anak
bUl-wi!nya
Hasil yang diperoleh dari morfometri telur burung maieo di Desa Tambun adalah
sebagai berikut: 65,9% bobotnya berkisar antara 180 - 230 gram (rata-rata 202,4 +35,43
gram), 79,2% panjangnya antara 10,O -10,5 cm (rata-rata 10,2 2 0,25 cm), 83% lebarnya
antara 5,8 - 6,l cm (rata-rata 6,O 2 0,14 crn) dan indeks telur berkisar antara 55,O - 61,O (ratarata 59,4 2 2,04). Penetasan telur dengan inkubator menunjukkan hasil 79,l % menetas antara
hari ke 56 - 58 (rata-rata 57,5 hari) dengan prosentase daya tetas 80 % dari 30 butir telur yang
ditetaskan. Suhu dan kelembaban sangat menentukan daya tetas telur. Embrio mulai terlihat
bentuknya pada hari ke 10 selama inkubasi. Bobot badan anak burung setelah menetas ratarata 126 2 24,9 gram dan pada minggu ke 8 bobot badannya mencapai rata-rata 190 2 13.4
gram. Analisis regresi terhadap hubungan bobot telur dan bobot lahir anak burung
menunjukkan korelasi positif (r = 0,922) dimana makin besar bobot telur maka makin besar
pula bobot anak burung.
Pengukuran terhadap panjang ekor rata-rata 55,2 mm, =yap 152,03 mm, tarsus 39
mm, panjang jari kaki tengah 25,5 mm, cakar 5,O mm dan paruh 14,6 mm. A d i s i s gambaran
darah menunjukkan bahwa jumlah eritrosit rata-rata 1,50 x lo6 s e h 3 , leukosit rata-ratB 10,7
x lo3sel/mm3, heterofil rata-rata 5,30 %, limfosit rata-rata 13,6 %, monosit rata-rata 5,70 %,
eosinofil rata-rata 6,40%, basofil rata-rata 5,30 %, hematokrit rata-rata 46,4% dan hemoglobin
rata-rata 10,9 gldl.
Hasil penelitian ini merupakan informasi awal yang sangat b&anfaat

dari
serangkaian penelitian biologis yang diperlukan untuk menunjang usaha koservasi burung
maleo secara in situ.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :Biologi
Perkembangan Burung Maleo (Macrocephalonmaleo, Sail, Muller 1846) Yang Ditetaskan
Secara Ex Situ,

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belurn pemah

dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.

BIOLOGI PERKEMBANGAN BURUNG MALE0
(Macrocephalon maleo, Sall, Muller 1846) YANG
DITETASKAN SECARA EXSITU

ADOLFINA SUMANGANDO


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Biologi

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANTAN BOGOR
2002

Judul Tesis

:

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

: Adolfina SUMANGANDO
: 98256

: Biologi

BIOLOGI PERKEMBANGAN BURUNG MALE0
(Macrocephalon maleo, Sall, Muller 1846) YANG
DITETASKAN SECARA EX SITU

Menyetujui :
7

1. Komisi Pembimbing,

Prof. DR. Revianv WIDJAJAKUSUMA, M.Sc
Ketua

2. K e t u m m Studi Biologi,

DR. Ir. Dedi Duryadi SOLIHIN, DEA
Tanggal Lulus : 16 Desember 2002

DR. Ir. Ani MARDIASTUTI, M.Sc.


m33Ota

Riwayat Hidup
Lahir di Ratahan pada tanggal 14 Desember 1963, Sekolah Pertanian Menengah Atas
Negeri Manado (SPMA) selesai tahun 1982. Melanjutkan studi di Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Kristen Indonesia Tomohon (FMIPA-UKIT) dan tahun

1986 memperoleh gelar sarjana muda MIPA (BSc). Kemudian tahun 1990 memperoleh Sarjana
MIPA.
Tahun 1991 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Kopertis Wilayah IX
Makassar yang dipekerjakan pada Fakultas MIPA Universitas Kristen Indonesia Tomohon
sarnpai sekarang. Tahun 1998 melanjutkan studi Magister Sains (S2) pada Program Studi
Biologi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

PRAKATA

Puji syukur saya sampaikan kepada Allah dalam Yesus Kristus yang telah
memberikan kesehatan dan ketabahan kepada saya dalam melakukan penelitian serta
penulisan hasil penelitian.

Penelitian ini berjudul Biologi Perkembangan Burung Maleo (Macrocephalon
maleo, Sall, Muller, 1846) Yang Ditetaskan Secara I 3 Situ. Burung tersebut memiliki

ciri yang berbeda dibandingkan dengan jenis burung lain terutama, burung ini meletakkan
telurnya di dalam lubang tanah dan telurnya tidak dierami sehingga proses penetasan
telur hanya berdasarkan pada panas rnatahari dan bumi. Burung Macrocephalon maleo
hanya terdapat di Sulawesi dan merupakan satwa yang telah dilindungi berdasarkan
sistem konservasi sumber daya alam hutan.
Dengan selesainya penelitian serta penulisan laporan hasil penelitian ini, maka
saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Reviany Widjajakusurna, M.Sc, sebagai ketua komisi pembimbing telah
banyak memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk yang sangat ilmiah dalam
melakukan penelitian dan membuat laporan hasil penelitian sehingga saya mampu
melaksanakan tugas ini. Sungguh ibu sebagai seorang ilmuwan dan pendidik benarbenar telah menunjukkan dedikasinya dalam pengembangan ilmu dan teknologi
karena walaupun begitu banyak tugas yang diemban, selalu saja memberikan waktu
kepada saya untuk berdiskusi. bahkan waktu menjabat sebagai ketua program studi
biologi banyak dorongan-dorongan kepada saya sejak saya masuk Pascasarjana IPB
sehingga saya boleh berhasil.

2. Ibu Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc. Sebagai anggota komisi pembimbing yang sudah

banyak memberikan arahan, masukan dan petunjuk dalam pelak-

penelitian

serta penulisan hasil penelitian dengan baik. Walaupun begitu banyak tugas-tugas
tetapi beliau masih memberikan waktu kepada saya untuk berdiskusi dalam
penyempurnaan penulisan hasil penelitian. Begitu banyak masukan-masukan yang
bersifat ilmiah yang saya peroleh dari beliau, terutama dalam melaksanakan
penelitian bahkan sarnpai penulisan hasil penelitian.

3. Kepada Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, sebagai anggota penguji ujian tesis yang

memberikan koreksi bahkan masukkan dalam penyempurnaan penulisan hasil
penelitian ini
4. Bapak DR. Ir. Dedi Duryadi Solihin, DEA, sebagai ketua Program Studi Biologi yang

telah mengijinkan saya untuk melaksanakan ujian tesis.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. R.M. Rompas,M.Agr, Bapak Dr.Ir. J.D. Kusen, MSc dan Bapak

Ir. J.J. Saroinsong,MS yang telah merekomendasikan saya untuk melanjutkan studi

program magister di IPB-Bogor.
6. Ketua Kopertis Wilayah IX Makassar yang telah memberikan persetujuan kepada

saya untuk melanjutkan studi ke Program Magister.
7. Pimpinan Yayasan Perguruan Tinggi Kristen GMIM yang memberikan dana

tambahan &lam penyelesaian studi saya.

8. Pimpinan Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), Pimpinan Fakultas MIPA
UKI Tomohon, yang telah mengijinkan saya untuk melanjutkan Studi ke Program

Magister.

9. Pimpinan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PPs-IPB) yang telah
menerirna saya untuk mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana IPB.
10. Tim Manajemen Program Doktor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional RI, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan berupa
beasiswa.
11. Kepada Pimpinan Kantor Pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone
Kotamobagu atas izin yang diberikan kepada saya untuk melakukan penelitian di

Kawasan Taman Nasional.
12. Kepada Wellem Sumendap, Pak James Lela dan Om Ut yang telah membantu saya

dalam pengumpulan telur burung maleo.
13. Kepada kedua orang tua Papa, Mama dan Mami atas doa dan dorongan kepada saya
dan keluarga sehingga saya dapat menyelesaikan studi.
14. Kepada Kel. Kawung-Kawulur, Kel. Kolanus-Sumangando, Kel. Lumentut-Kolanus

yang telah banyak membantu saya dan keluarga dalam pelaksanaan penelitian.
15. Dr.Ir. Ineke Rumengan,M.Sc yang telah mengijinkan saya dalam menggunakan

Laboratirurn Bioteknologi Kelautan Universitas Sam Ratulangi

16. Kepala Laboratirurn Dinas Kesehatan Manado yang memberikan kesempatan kepada

saya untuk menggunakan Laboratorium.
17. Teman-teman program studi Biologi angkatan 1989 atas kerja sama yang baik selama

studi.
18. Kepada Kel. Ir. L. Mondoringin-Palar yang selalu membantu dengan doa sehingga


saya boleh menyelesaikan studi
19. Kepada Ir. Reky Teleng, M.Si dan Ir. Emil Reppi, MSc yang banyak memberikan

masukan kepada saya
20. Kepada Vone S yang dengan setia dan sabar membantu kami keluarga selama studi
21. Kepada Pengurus LPMI cabang Bogor (Kel. Ibu Adel Suparman) yang juga

membantu saya dan Keluarga sehingga boleh berhasil.
Kepada Suami Ku tercinta Drs. Nickson J. Kawung, M.Si dan anak-anaku Ride1 dan
Nikita Kawung yang tersayang atas doa dan pengorbanan mereka selama saya studi.
Akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat bemanfaat dalarn pengembangan ilmu
dan teknologi khususnya dalam bidang konservasi sumber daya alam Indonesia.
Terima Kasih. Ora et Labora

DAFTAR IS1

..................................................................
Daftar Tabel ..................................................................
.........................................................

D a h r Garnbar
D a M Isi

Daftar Lampiran

.........................................................

.

I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian

.

................................................
................................................
................................................

1.1. Manfaat Penelitian ................................................

..........................................

11 TINJAUAN PUSTAKA

.........................................................
2.2. Morfologi .........................................................
.......................................
2.3. Habitat dan Penyebaran
2.4. Makanan
.........................................................
2.5. Karakteristik telur ................................................
2.1 Klasifikasi

2.5.1.Warna telur

................................................

2.5.2. Bentuk dan W a n Telur .................................

.......................................
2.6. Hematologi .........................................................
2.5.3. Penetasan Telur

.......................................
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ..............................
3.1.1. Letak dah luas lokasi .......................................
3.1.2. Iklim .........................................................
..............................
3.1.3. Tanah dan Topopgrafi
.......................................
3.1.4. Flora dan Fauna
................................................
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat .........................................................
................................................
3.2.2. Bahan

IIL METODE PENELITIAN

3.3. Parameter yang diamati

.......................................

3.4. Metode Pengarnbilan Data .......................................
3.4.1.Telur ........................................................

.....................
3.4.3. Gambaran Darah Anak Burung Maleo
............
3.5. Analisa Data
................................................
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
..............................
.........................................................
4.1 Lokasi
4.2. Deskripsi Telur
................................................
.......................................
4.3. Perkembangan Embrio
4.4. Proses Penetasan ................................................
................................................
4.5. Lama Inkubasi
4.6. Daya Tetas
...........................................
4.7. Morfometri Anak Burung .......................................
4.7.1. Bobot Lahir Anak Burung ..............................
4.7.2. Ukuran Tubuh ..............................................
3.4.2. Pertumbuhan Anak Burung Maleo

.

4.7.3. Laju Pertumbuhan

.......................................

.....................
4.8.1. Eritrosit
................................................
4.8.2. Leukosit
................................................
4.8.3. Diferensial leokosit .......................................
4.8.4.Hematokrit ................................................
4.8.5. Hemoglobin ................................................
4.9. Implikasi Terhadap Konservasi ..............................

4.8. Gambaran Darah Anak Burung Maleo

.

V

21
21
23
25
26
27
27
28
33
37
41
44
45
45
46
48
53
54
55
57

59
60
60

..............................
................................................
5.1. Kesimpulan
........................................................
5.2. Saran

63

................................................

64

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

.........................................................

63
63

72

DAFTAR TABEL

Tabel

Teks

Hal

... ... .......

13

1

Garnbaran darah normal beberapa spesies burung

2

Ukuran telur burung maleo (n=10) ......... ............... .... ..

.

29

3

Tahapan perkernbangan embrio selama inkubasi buatan

....

35

4

Ukuran bagian-bagian tubuh an& burung

............... .......

47

5

Bobot badan anak burung maleo selama
8 minggu pertarna (n=10)
... ... ... ... ...... ......... ... ... .......

48

Pertumbuhan dan perubahan morfologi anak burung maleo
urnur 1 hari wngga urnur 16 bulan .................. ... .........

52

Gambaran &ah anak burung ~ a l e selama
o
8
minggu pertpna (n=5)
........................................

54

6.
7.

.

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Teks

Hal

..............................................

1

Burung maleo

2

Sketsa lokasi penelitian burung maleo di Tambun.............

3

Pengukuran dimensi telur

4

~ e n ~ u k u rbagian-bagian
an
tubuh burung ...........................

24

5

Bentuk telur burung maleo di Desa Tambun .........................

28

6

Histogram bobot telur burung maleo di Desa Tambun ............. 30

7

Histogram panjang telur burung maleo di Desa Tambun..........

8

Histogram lebar telur burung maleo di Desa Tambun ............. 31

9

~ a h a perkembangan
~ k
embrio burung maleo ...................... 37

10

Tahapan proses penetasan telur burung maleo ....................... 39

11

Histogram jumlah dan lama inkubasi telur burung maleo

7

17

.........................................

22

31

...... 41

'C

12

Grafik hubungan antara bobot telur dan waktu inkubasi

...... 43

13

W 1 k hubungan bobot telur dan bobot lahir anak burung

...... 46

14

Ukuran bagian-bagian tubuh anak burung maleo
Selarna 8 minggu pertama (n=10) ................................. 47

15

Grafik perhunbuhan anak burung maleo selama 8 minggu
pertama. Garis vertikal adalah simpangan baku
(standar deviasi) (n= 10) ................................................

48

Grafik pertambahan relatif berat badan anak burung
maleo selama 8 minggu pertarna. Garis vertikal adalah
simpangan baku (standar deviasi) (n =lo) ..........................

50

Pertumbuhan dan perubahan morfologi anak burung maleo
umur 1 hari sampai 16 bulan .........................................

53

Bentuk sel darah anak burung maleo ................................

57

16

17
18

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Teks

Hal

1 Persentase bobot telur burung maleo di Desa Tambun ................

72

Persentase panjang telur burung maleo di Desa Tambun ..............

72

2 Persentase lebar inkubasi telur burung maleo di Desa Tambun .......

73

Persentase lama inkubsi telur burung maleo di Desa Tambun .........

73

3 Pengamatan larnanya inkubasi telur burung maleo

74

4 Pengamatan morfometri telur burung maleo

...............
........................

75

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sulawesi memiliki 318 jenis

burung termasuk di dalamnya jenis

Macrocephalon rnaleo (Whitten et al. 1987). Daerah penyebarannya adalah Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah clan Sulawesi Tenggara. Masing-masing daerah memiliki
nama khusus bagi burung tersebut. Untuk Sulawesi Utara terdapat beberapa nama,
antara lain masyarakat Manado menyebutnya burung Senkawor, dan masyarakat
Gorontalo menyebutnya Panua, masyarakat Sulawesi Tengah menyebutnya maleo,
sedangkan Masyarakat Sulawesi Tenggara (Masyarakat Mangkoka) menyebutnya
molo sedangkan Masyarakat Minahasa menyebut dengan maleosan yang artinya
perdamaian (PPA, 1980).
Burung maleo dipilih sebagai fauna identitas Sulawesi karena burung ini
adalah

satwa

endemik

yang

memiliki

sifat

serta

tingkah

laku

yang sangat unik pada rangkaian hidupnya. Satu ha1 yang menjadi ciri khas burung
tersebut yang membedakannya dengan burung yang lain adalah tingkah laku
bertelurnya. Burung ini tidak mengerami telur tetapi mernasukkannya ke lubang
dalam tanah yang suhunya berasal dari alam untuk penetasan telur. Jenis burung ini
hidupnya berpasangan atau monogami, dan termasuk burung diurnal yang memulai
aktivitas makannya pagi hari sampai sore hari (Wiriosoepartho, 1980). Secara
morfologi tubuh burung maleo sebesar ayam kampung yaitu sekitar 1,6 kg dengan
bulu berwama hitam-merah jambu dan mempunyai benjolan hitam di atas kepala
(Kmnaird, 1997).

Pasangan burung maleo

mampu menentukan suhu yang cocok untuk

meletakkan telurnya. Hanya untuk satu butir telur burung tersebut h a m menggali
lubang pengeraman selama waktu

+ 2 jam.

Setelah selesai bertelur selalu diikuti

dengan penggalian lubang penipuan sebagai tindakan pengamanan dari kemungkinan
adanya predator. Lamanya masa inkubasi bagi burung maleo yaitu 62 sampai 85 hari
(MacKinnon, 1981; Dekker, 1988). Sedangkan Wiriosoepartho (1980) mengatakan
masa inkubasinya 69 sampai 72 hari. Setelah menetas anak burung maleo hams
menerobos timbunan tanah untuk keluar bergerak ke a . dengan membutuhkan
waktu 2 - 3 hari selanjutnya anak burung menjalani hidup secara mandiri. Karena

proses pengeraman telur burung maleo memerlukan suhu dan kelembaban yang
optimal untuk penetasannya maka perlu diketahui pada kisaran parameter berapa
telur tersebut dapat menetas.
Menurut Heij (1997) tempat meletakkan telur dikunjungi hanya pada saat

akan meletakkan telur, sedangkan habitatnya di hutan primer yang berbukit-bukit dan
bersemak yang juga digunakan sebagai tempat berlindung. Di beberapa tempat diluar
kawasan aslinya (konservasi ex situ) seperti di kebun binatang Ragunan Jakarta dan
Taman Mini Indonesia, jenis b m g ini sudah ditangkarkan sekitar 20 tahun yang
laly namun sampai sekarang telurnya belum pernah berhasil menetas, sedangkan di
Taman Mini penangkaran baru berlangsung sekitar 1,5 tahun.
Keberadaan burung maleo makin terancam, sementara populasinya di alam
berkurang disebabkan oleh adanya predator, kerusakan habitat, juga perburuan
burung dan pengambilan telurnya. Seperti yang dilaporkan oleh Lee at al. (2001) dari

hasil serveinya 80% tempat bersarang burung maleo sedang menghadapi bahaya
kepunahan sehingga burung ini nampaknya akan menghadapi masa depan yang
surarn di Provinsi Sulut. Hal ini &pat dibuktikan dengan semakin langkanya
keberadaan maleo pada daerah-daerah yang sebelumnya dilaporkan banyak
ditemukan burung tersebut (Whitten et al. 1987). Dengan kondisi yang demikian
salah satu upaya pelestarian untuk menyelamatkan maleo dari kepunahan hams
dilakukan secara integral dan terkoordinasi.
Untuk itu pemerintah telah melakukan upaya penyelamatan burung maleo ini
dengan melarang menangkap serta mengambil telurnya. Upaya tersebut sangat
penting karena burung ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi daerah Sulawesi
Utara dimata dunia Internasional. Hal ini dituangkan dalam SK menteri Pertanian
nomor 757 I Kpts /Urn/ 1211079 tanggal 5 Desember 1979 dan SK Gubernur
Provinsi sulawesi Utara nomor 522.52m2787.
Berdasarkan laporan dari International Union for the Conservation of Nature
Resources (IUCN) pada tahun 1966, ada 3 satwa khas Sulawesi sebagai satwa rawan
yang mendekati kepunahan yaitu musang coklat Sulawesi, Babi rusa (Babyrussa),
dan burung maleo (Macrocephalon maleo). Bakker and Butchart (2000), mengatakan
bahwa organisasi IUCN pada tahun 2000 - 2004 telah membuat suatu program
tentang pokok-pokok perlindungan terhadap burung maleo dan megapode lainnya.
Dalam upaya konservasi satwa endemik ini dari ancaman kepunahan maka
penetasan telur secara teknologi dengan menggunakan mesin tetas inkubator sangat
perlu dilakukan sehingga peningkatan populasi dari burung maleo dapat terlaksana.

Mengenai data-data dasar biologi dan fisiologi dari burung maleo masih sangat
terbatas maka pada penelitian ini akan dipelajari juga keadaan beberapa aspek
biologis dan fisiologis anak burung selama 2 bulan.
1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari pada penelitian ini :
1. Mengkaji morfometri telur.

2. Mengkaji tingkat keberhasilan penetasan telur melalui inkubator.
3. Mengkaji tahapan perkembangan embrio.

4. Mengkaji pertumbuhan anak burung maleo.
5. Mengkaji garnbaran hematologis anak burung maleo.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan mernperoleh informasi tentang:
1. Penetasan telur-telur burung maleo secara artifisial di dalam inkubator untuk
menunjang konservasi burung maleo.

2. Memperoleh karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak burung maleo
dengan ketahanan tubuh yang tinggi.
3.

Dengan mempelajari proses penetasan, daya tetas, perkembangan embrio clan
nilai hematologis anak burung maleo, maka upaya konservasinya dapat
dilaksanakan dengan rencana yang lebih baik.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Klasifikasi

Menurut White dan Bruce (1986) famili Megapodiidae terdiri atas 2 genus
yaitu Macrocephalon dengan satu species M maleo dan Megapodius dengan 9
species, Megapodius cumingii, M. nicobariensis, M. bernsteinii, M, reinwardii, M.
freycinet, Mafinis, M evemita dan M. layordi, M. wallacei.

Widyastuti (1993) dan Storer (1971) mengklasifikasikan satwa ini sebagai berikut:
Filurn : Chordata
Anak filum : Vertebrata
: Aves

Kelas

: Galliformes

Ordo

: Megapodiidae

Famili
Genus

Spesies

: Macrocephalon
:Macrocephalon maleo Sal.Muller, 1846

Nama Daerah : Senkawor, sengkawur, songkel, maleosan (Mmahasa), saungke
(Bintauna), tuanggoi (Bolaang Mongondow), tuangoho (Bolang
Itang) bagoho (Suwawa), mumungo, panua (Gorontalo) molo
Sulawesi Tenggara (Jones et.al., 1995; PPA, 1994).
Nama Asing

: Megapode maleo (Perancis), Hammerhuhn (Jerman), Talegalo

maleo (Spanyol), Maleofowl, Gray's Brush turkey (Inggris) (Jones
et al. 1995; Hoyo et al. 1994)

2.2.

Morfologi

Burung maleo (Macrocephalon rnaleo) termasuk species burrow nester yaitu
burung pembuat lubang atau liang. Besarnya hampir sama dengan ayam betina
piaraan, berbobot 1,6 kg. Bulu berwarna hitam bagian dada sampai diatas kalu
berwarna putih, dan merah jambu keputih-putihan yang menyolok, ekor tegak,
memiliki kaki dan cakar yang kuat, jari-jari kakinya mempunyai selaput renang pada
pangkalnya (Whitten et al. 1987). Paruh besar, kokoh dan lancip berwama kelabu,
kulit muka dan lingkaran sekitar mata berwarna kuning pucat dan biji mata berwarna
hitam. Bila dari dekat kelihatan dada maleo berwarna saw0 matang bila dilihat dari
jauh antara jantan dan betina sukar sekali dibedakan. Panjang sayap jantan 292 mm
dan betina 302 rnm (PPA, 1994).
Bila sedang terbang gerakan sayapnya sangat keras ha1 ini karena bobot tubuh
yang cukup besar dibandingkan dengan lebar sayap, walaupun hanya untuk mencapai

jarak relatif yang pendek tetapi burung maleo hams hinggap dulu pada cabangcabang pohon yang satu ke cabang pohon yang lain. Anak maleo yang baru menetas
mempunyai berat 109 - 169 gram (Argelo, 1991). Dinyatakan juga umur burung
maleo bisa mencapai 25 - 30 tahun dan mencapai usia dewasa produktivitas setelah 4
tahun. Menurut Dekker (1990) dalam pemeliharaan maleo dapat mencapai umur 20
tahun lebih dan masih produktif. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh
tetap (homoithermal) serta bulu badan yang tebal (Wiriosoepartho, 1979)
Pada bagian kepala terdapat benjolan hitam kelam yang berguna untuk tetap
mendinginkan otaknya dari terik udara pantai (Kinnaird, 1997), Selain itu juga

tonjolan Qkepala ini berfungsi untuk mengukur temperatur tanah yang cocok untuk
meletakkan telur (MacKinnon, 1978; Wiriosoepartho, 1980; Dekker, 1990). Menurut
Argelo (1991) tonjolan ini sangat vital b a g maleo, karena bila tonjolan ini luka atau
tergores maka dapat mengakibatkan kematian. Burung maleo ditunjukkan pada
Gambar 1.

Gambar 1 : Burung maleo (Sumber Pendong et al., 1995)

2.3.

Habitat dan Penyebaran
Setiap jenis burung akan menempati habitat tertentu sesuai dengan keperluan

hidup dan memainkan peranan tertentu dalam lingkungannya (Peterson, 1980;
Strorer dan Usinger, 1957). Berbagai tipe habitat menunjukkan ada kaitan yang erat
antara burung dengan lingkungan hidupnya, terutama dalam pola adaptasi dan
strategi untuk mendapatkan sumber daya (Tore, 1997). Di habitat alaminya burung
maleo hidup di hutan-hutan, tidak kurang dari 25 jenis pohon yang dihinggapi untuk
berteduh, istirahat atau tidur. Burung maleo hdup secara liar terutarna di dalam
7

semak belukar mulai dari tempat datar yang panas dan terbuka sampai ke hutan
pegunungan yang lebat dengan batas ketinggian yang belum jelas (Nurhayati, 1986).
Keberhasilan burung untuk hidup disuatu habitat

sangat ditentukan oleh

keberhasilannya dalam memilih dan menciptakan relung khususnya bagi dirinya
(Peterson, 1980).
Burung maleo sedikit banyak terikat pada bagian Timur Indonesia yaitu di
Pulau Sulawesi, Maluku dan Irian (PPA, 1992; Strien, 1982 ). Whitten et al. (1987)
menyatakan bahwa burung maleo sendiri hanya ditemukan di Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Menurut perkiraan para ahli di Sulawesi
terdapat 50 tempat bertelur yang masih digunakan dan kebanyakan terdapat di
Sulawesi Utara (Kinnaird, 1997). Di Sulut habitat burung maleo terdapat di Desa
Tambun, Tumokang, Pusian, Panua, Gunung Tangkoko (Wiriosoepartho, 1980; Balai

TN Bogani Nani Warta Bone, 2000) dan Desa Waleo (hasil survai pribadi, 2000).
2.4.

Makanan

Makanan merupakan unsur yang sangat esensial bagi semua mahluk hidup.
Setiap mahluk hidup memiliki tingkat kesukaan tersendiri terhadap jenis makanan.
Menurut Jones et al. (1995) burung maleo termasuk dalam jenis hewan omnivor
yang makanannya terdiri dari buah-buahan, biji-bijian dan invertebrata seperti
kumbang, semut, rayap, cacing serta siput air tawar dan siput darat. Selanjutnya
Wiriosoepartho (1979) mengatakan bahwa berdasarkan pembedahan temboloknya
burung maleo selain makan buah-buahan dan biji-bijian juga memakan serangga
hutan seperti belalang, kupu-kupq semut, cacing dan kepiting. Dalam penangkaran

di Kebun Binatang Ragunan burung maleo diberi makan gabah kacang hijau, kacang
tanah, tauge, kangkung, ulat hongkong dan pepaya (Nasoetion, 1997). Menurut
Wiriosoepartho (1979) b u m g maleo mencari makan mulai dari matahari terbit
sampai terbenam.

2.5.

Karakteristik Telur
Telur untuk semua jenis burung memiliki warna, bentuk, ukuran, dan juga

mempunyai ciri khas tersendiri dalam proses penetasan telurnya. Komposisi fisik
telur maleo terdiri dari kulit telurlcangkang, kuning telur dan putih telur.
2.5.1. Warna Telur

Telur maleo berwarna putih berbintik-bintik kemerah-merahan (Widyastuti,
1993). Dalam keadaan segar telur maleo berwarna merah jambu dan lama kelamaan
berubah menjadi kecoklat-coklatan. Warna telur dalam taksonomi bukan ha1 yang
penting, tetapi warna ini menunjukkan hubungan dengan tipe pemilihan tempat
bersarang.

2.5.2. Bentuk dan Ukuran Telur
Menurut Gunawan (1995) telur burung maleo berbentuk biconical, elliptical,
oval dan conical. Bobot telur untuk semua jenis burung sangat beragam. Pada burung
maleo bobot telurnya 240 sampai 270 gram, panjang 92.1 sampai 112.6 mm dan
lebar 56.6 sampai 57.6 mm (Kinnaird, 1997; Whitten, 1987). Telur burung ini
mengandung kuning telur yang besar yaitu bekisar antara 60 - 64 % dan albumen 3539% dari kandung telur seluruhnya (Dekker, 1990). Kuning telur yang besar

merupakan persediaan makanan cukup banyak bagi anak burung, karena sejak
menetas anak burung tersebut hams sepenuhnya mandiri (Kinnaird, 1997).
2.5.3. Penetasan Telur

Penetasan sesungguhnya merupakan serangkaian proses yang sangat ekstrim
dan kompleks (Freeman dan Vince, 1974), karena dalam ha1 ini terjadi beberapa

peristiwa yang meliputi perubahan anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia
bersamaan dengan peristiwa tersebut berlangsung kegiatan absorpsi zat makanan
yang diarnbil dari kuning telur.
Burung maleo tidak mengerami telur seperti layaknya bangsa burung yang
lain. Burung maleo meletakkan telur di dalam tanah yang memiliki temperatur cukup
hangat untuk menetaskannya. Kehangatan ini dipengaruhi oleh panas matahari, panas
burni atau keduanya (Dekker, 1990; Gunawan, 1994). Selama perkembangan dan
pertumbuhan embrional berlangsung diperlukan lingkungan yang memadai (Ohyemi
dan Robert, 1979). Perkembangan dan pertumbuhan embrional tersebut sangat

ditentukan oleh kondisi lingkungan yaitu suhu dan kelembaban (Dekker, 1990).
Embrio akan berkembang cepat pada temperatur diatas 32,22"C dan akan
berhenti atau mati pada temperatur dibawah 26,66"C (Paimin, 1995). Beberapa faktor
lain yang menunjang berhasilnya perkembangan dan pertumbuhan embrional antara
lain faktor fisik dan telur tersebut. Mengenai lamanya penetasan telur ada berbagai
pendapat yaitu untuk Sulawesi Utara 69 - 72 hari, Sulawesi Tengah 35 - 55 hari dan
Sulawesi Tenggara 28 - 29 hari (Nurhayati, 1986).

Untuk mendapatkan panas yang ideal bagi pengerarnan telur, induk maleo
menggali tanah di lapangan peneluran bersurnber panas bumi tersebut hingga
kedalaman tertentu dimana temperatur telah cukup hangat dan relatif tidak
dipengaruhi oleh temperatur udara hingga dapat menjamin penetasannya. Temperatur
rata-rata berkisar antara 33 sampai 33,5"C dengan rata-rata kelembaban tanah pada
pagi hari 96,5 %, siang hari 70,7 % dan sore hari 89,5 % (Wiriosoepartho, 1980;
Gunawan, 1994).
Menurut Dekker (1990) temperatur yang terbaik untuk penetasan telur burung
maleo berkisar antara 32 sampai 35°C. Kedalaman lubang pengeraman telur burung
maleo ditentukan oleh kuatnya pengaruh dari sumber panas. Apabila pengaruh dari
sumber panas bumi cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu
dalam, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang digali cukup dalam. Lebarnya
lubang pengeraman telur dipengaruhi oleh kedalaman lubang dan tekstur tanah.
Semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah ukuran lebar. Terdapat
beberapa tipe lubang pengeraman telur bagi burung maleo yakni :
1. Sarang di tempat terbuka
2. Sarang di bawah naungan tajuk
3. Sarang di bawah lindungan pohon tumbang

4. Sarang di bawah naungan tebing atau batu

5. Sarang di dalam goa kecil
6. Sarang disamping perakaran pohon

7. Sarang diantara banir pohon (Pontororing, 1996; Gunawan, 1999).

Tipe-tipe lubang ini dibuat dengan maksud agar telur dapat memperoleh temperatur
yang sesuai, dan lebih khusus lagi terhindar dari adanya predator atau longsoran
tanah atau kerikil.
Apabila pengeraman telur dengan induk buatan maka ada beberapa faktor
yang diperhatikan untuk keberhasilan yaitu suhu, kelembaban, posisi telur dan cara
transportasi telur. Telur dalam inkubator perlu diperiksa apakah fertil atau embrionya
telah mati. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk penetasan telur itu berbeda cukup
banyak diantara jenis burung namun proses pertumbuhan dalam cangkang sama
untuk semua burung. Telur yang baru dikeluarkan hanya memperlihatkan kuning
telur yang akan menjadi makanan anak burung. Lima hari kemuhan embrio sudah
nampak dan jaringan pembuluh darah menyerap pangan serta kuning telur terpencar
keseluruh permukaan (Peterson, 1981). Dikatakan juga pada hari ke 12 embrio
terpisah dari kuning telur yang kian mengerut, setelah 15 hari organ sudah dapat
dibedakan khususnya mata. Pada hari ke 23 burung itu telah terbentuk sepenuhnya

dan menyerap sisa kuning telur ke dalam perut. Akhirnya sekitar 28 hari telur
menetas, b u m g yang akan keluar mulai menanggapi tantangan pertamanya.

2.6.

Hematologi
Pengetahuan tentang gambaran hernatologi pada dasarnya merupakan bagian

yang penting dalam mempelajari fungsi fisiologi darah. Swenson (1970) menyatakan
untuk mengetahui keadaan hematologis dapat digunakan jumlah eritrosit per mm3,
nilai hematolcrit clan keadaan hemoglobin (Hb). Parameter ini penting dan erat

kaitannya dengan fungsi sistem kardiovaskuler, respirasi dan metabolisme, tercermin
dengan jumlah oksigen yang terkandung dalam eritrosit.
Darah sebagai jaringan konektif berperan untuk mengangkut gas-gas
pernafasan, makanan, produk-produk buangan dan hormon-hormon keseluruh bagian
tubuh dan meregulasi kandungan air tubuh serta mempertahankan suhu tubuh (Sturki,
1976). Menurut Widjajakusuma dan Sikar (1986) darah berfimgsi sebagai media
transportasi yaitu mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel jaringan tubuh dan
karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru, mengangkut bahan makanan dari
usus-usus ke sel-sel tubuh, mengangkut air dan elektrolit, mengangkut enzim dan
hormon dan bersifat homoestatis antara lain pH, cairan dan suhu tubuh serta sebagai
sistem pertahanan tubuh yang diperankan oleh leukosit. Dibawah ini ditunjukkan
gambaran darah normal pada beberapa jenis burung (Tabel 1).
Tabel 1. Gambaran darah normal beberapa spesies burung
Tes darah

Unit

Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Heterofil
Basofil
Eosinofil
Limfosit
Monosit

(xl~~//mm")1,25-4,50
7,OO-8,60
(gldl)
23,O-55,O
(%)
(xlo6/mm3) 9,OO-32,0
15,l-50,O
(%)
0,OO-8,00
0,OO-5,25
("4
29,O-84,O
0,05-7,OO

Ayam

Merpati

Itik

Kalkun

2,13-4,20
10,7-14,9
39,3-59,4
10,O-30,O
15,O-50,O
0,OO-1,00
0,OO-1,50
25,O-70,O
1,OO-3,00

1,80-3,82
9,OO-21,O
32,6-47,5
13,4-33,2
19,3-49,8
0,00-4,50
1,60-2,65
13,O-73,5
0,50-11,5

1,74-3,70
8,80-13,40
30,4-45,6
16,O-25,s
29,O-52,O
1,OO-9,00
0,OO-5,OO
35,0-48,0
3,O-10,0

Sumber :Mitl ca dan Ranwsley (198 1)

Guyton (1994) menyatakan bahwa fungsi utama dari sel-sel darah merah
adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya akan mengangkut oksigen dari paruparu ke jaringan. Unh.rk beberapa jenis hewan tingkat rendah hemoglobin beredar
sebagai bentuk protein bebas di dalam plasma atau tidak secara terus menerus berada
13

dalam sel darah merah. Sel-sel darah merah memiliki kemarnpuan untuk
mengkonsentrasikan hemoglobin di dalam cairan sel. Apabila hernatokrit dan
hemoglobin hewan normal maka jumlah seluruh komponen darah akan berkisar
normal juga. Mehurut Kostelecka et al. (1996), jumlah oksigen yang dikirim ke
jaringan-jaringan dikondisikan oleh sejumlah gas yang diikat oleh satuan volume
darah dan laju peredaran darah. Daya tampung oksigen tiap satuan volume darah
tergantung seluruhnya pada konsentrasi hemoglobin.
Pada umumnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh umur,
jenis kelarnin, horrnon, keadaan hipoksia dan berbagai faktor lainnya (Sturkie, 1976).
Sedangkan Mitruka et al. (1977) menambahkan bahwa faktor kondisi fisik, nutrisi
clan aktivitas juga dapat mempengaruhi jumlah eritrosit. Eritosit pada burung
berukuran besar, berbentuk bulat telur (oval) dan mempunyai inti (Sturkie, 1976;
Zinkl, 1986).
Leukosit berfungsi untuk memproduksi antibodi dan melakukan fagositosis
terhadap material zing yang mas& kedalam tubuh ( Mitruka dan Rawnsley, 1981).
Leukosit dibedakan menjadi granulosit dan agmnulosit. Granulosit terdiri dari
eosinofil, heterofil dan basofil sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan
monosit. Heterofil benvarna merah cerah berbentuk bulat daq memiliki diameter
kira-kira 10 - 15 pm; (Marshall, 1960; Jhones dan Johansen 1972; Sturkie, 1976).
Heterofil secara aktif melakukan aktifitas fagositose terhadap bakteri, virus dan
protein asing yang masuk ke dalam tubuh (Andreasen et al. 1993).

Eosinofil memiliki ukuran yang sama dengan heterofil dan berwarna merah
surarn dan mengkilat. Basofil memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan
heterofil, sitoplasmanya mengandung granula besar dan berwarna biru sedangkan
intinya berbentuk bulat atau oval. Dhingra et al. (1969) dalam Sturkie (1976)
menambahkan bahwa granular basofil sangat variabel dan ukurannya tidak teratur.
Limfosit kecil memiliki lapisan sitoplasma tipis yang mengelilingi nukleus.
Nukleus biasanya berbentuk lingkaran dan memiliki lekukan kecil (Marhsall, 1960;
Sturkie, 1976; Zinkl, 1986). Dikatakan pula bahwa seringkali beberapa granula
berwarna biru langit. Limfosit memegang peranan penting dalam sistem kekebalan
tubuh karena menghasilkan antibodi.
Monosit sel-selnya umumnya berukuran besar dengan sitoplasma yang relatif
banyak berwarna biru muda, nukleus biasanya memiliki garis tepi yang tidak sama.
Monosit mampu untuk bergerak sendiri dan melakukan fagositosit terhadap jaringanjaringan makrofag ( Swenson and Reece, 1993).
Kostelecka et al. (1973) melaporkan bahwa perubahan-perubahan dalam
darah burung umumnya lebih d i m i s dari pada darah mmalia. Sampai saat ini
belum ada informasi mengenai bentuk dan jurnlah sel darah burung maleo, tetapi
diperkirakan bentuk dan jumlah sel darahnya tidak jauh berbeda dengan spesies
burung lainnya.

lII. METODE PENELITIAN
3.1.

Waktu dan tempat pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Oktober 2000 - Oktober 2001.

Tempat penelitian yaitu di lapangan dilaksanakan di tempat peneluran burung maleo
di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone Desa Tambun Kecamatan
Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dan di Laboratorium
yaitu Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Sam Ratulangi Manado serta Laboratorium Kesehatan Departemen
Kesehatan Manado.
3.1.1. Letak dan Luas Lokasi
Secara adrninistrasi pemerintahan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone
termasuk wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Secara
geografis terletak antara 0" 25' - 0" 44' LU dan 16" 40 - 19" 29 BT. Sejarah
berdirinya Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone di mulai tahun 1979 dengan
ditetapkan Kawasan lintasan Dumoga seluas 93.500 Ha dan kompleks hutan Bone
seluas 110 Ha sebagai suaka margasatwa. Tahun 1980 kawasan hutan Bolawa seluas
75.000 Ha dtetapkan sebagai Cagar Alam. Kemudian tahun 1982 bertepatan dengan
Kongres Taman Nasional se Dunia yang ke I11 di Bali, Kawasan konservasi tersebut
di atas secara bersama-sama seluas 300.000 Ha ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Sketsa lokasi penelitian Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone ditunjukkan pada
Gambar 2.

:

Keterangan

lalan Raya
.:- .== Salwan
irigasi

i
i
j
j
j

A
1
2
3
4.

Habitat Peneluran maleo
Tempat penyapihan malea
Pondok Kerja
Penunahan irigasi
Airpanas
5 & 6 Bak Penetasan telur

maleo

---- Batas areal penelwan

cambd2. Sketsa lokasi penelhian burung maleo di Tambun (skala 1:25.000)
Sumber : Kantor TN Bogani Nani Warta Bone Kotamobagu tahun 2002

17

Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone terbag dalarn 4 zone
1. Daerah inti yaitu zone perlindungan mutlak dan pengawetan sekitar 269.857 Ha
2. Daerah rimba yaitu zone benteng akhir perlindungan bagi zone inti yang
digunakan untuk daerah rekreasi terbatas dan lintas alam sekitar 23.000 Ha.
3. Daerah pernanfaatan, untuk pemanfaatan sarana hutan wisata, tempt penelitian

dan lain-lain seluas 4.000 Ha
4. Daerah penyangga, terletak didalam dan luar Taman Nasional dengan
pengelolaan secara terpadu 6.000 Ha.
3.1.2. Iklim

Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone mempunyai iklim muson
katulistiwa dengan pola yang khas yaitu temperatur tinggi yang konstan, curah hujan
tinggi dengan penyebaran merata dari kelembaban yang tinggi. Berdasarkan
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson Kawasan Dumoga termasuk dalam tipe A
dan B dengan curah hujan rata-rata tiap tahun antara 2.023 mm - 2.688 mmltahun.

Curah hujan umumnya tersebar merata sepanjang tahun dengan periode relatif basah
selama angin utara yaitu bulan Nopember sampai Januari dan Maret sampai Mei,
masa kering antara bulan Juni sampai Oktober dan bulan Pebruari.
3.1.3. Tanah dan Topografi

Dari peta tanah Sulawesi (Lembaga Penelitian Tanah, 1972) disebut bahwa
tanahnya terdiri dari latosol, aluvial dan kompleks. Topografi tanah bergelombang,
berbukit sampi bergunung dengan ketinggian antara 500 - 1.900 meter dari
permukaan laut. Sebagian keadaan lapangan datar dengan kemiringan antara 15 % -

75 %. Ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar antara 250

-

1200 meter.

Dikawasan ini terdapat 2 daerah aliran sungai yaitu DAS Dumoga dan DAS Bone.
Sedangkan gunung yang ada di kawasan ini antara lain Gunung Kenaliau, Gunung
Padang, Gunung Moosi, Gunung Mokodipa.
3.1.4.

Flora dan Fauna

Tipe vegetasi yang utama di kompleks hutan Dumoga adalah tipe vegetasi
hutan primer dataran rendah. Vegetasi yang mendominasi antara lain Rao
Dracentomelon mangifrum B1, mepait Metrosideros nev spec, seha merinda
bracteata Roxb, kayu bugis Kooderidendron pinnatum Men; marintek Bischoftia
javanica B1, nantu Palaqium obtusfoliur, kayu telor Alstonia scholarris R.Br, pangi
Bucalypus deglupta B1. Meranti Slorea sp, Weru Albizra procera, Benuang
Ocromelas sumatrana, Matoa Pametia dan kayu hitam Dioswos. Sedangkan jenis

satwa yang khas adalah Anoa Babulus depressicornis, Biawak Voranus salvator,
Monyet Sulawesi Cacaca nigrescens, Maleo Macrocephalon maleo, Kus-kus
Phalanger wisinus, Singapura Tarsius spectrum, Babi rusa Babyrousa babirussa dan

Musang Sulawesi Macrogahidia mwchenbrouki, ular piton Python reticulatus,
Schneid, Burung tahun Aceros leucocephalus, ayam hutan merah Gallus gallus
bankiva (Wiriosoepartho, 1979).
3.2.

Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, mikroskop
cahaya binokuler 10 x 40, hemoglobinometer 2 buah Sahlilset (tabung Sahli berskala,
19

5 pipet sahli, aspirator satu kotak, standar wama Sahli, alat pengaduk),
Hemocytometer 2 buahlset, kamar hitung, 4 pipet pengencer eritrosit, termos, tabung
reaksi 9 x 100 nm 50 buah, timbangan, kain kasa, papan,mistar, peta lokasi, kamera
foto lensa fokus, pH meter, counter, kompas, film Fuji 36x assa 400, jarum penusuk
pembuluh darah 15 buah ( j a m suntik merek terumo syringe) ukuran 0.40 x 13 mm,
centrifuse hematokrit, pipa mikrokapiler, crestaseal, cawan/mangkok kecil, gelas
objek 2 dos, cover gelas 2 kotak, staining jars 2 buah, pipet pasteur 5 buah, drop
pipet 10 buah, petridish 10 buah, botol sampel embrio 17 buah, fiksatif, termometer,
hygrometer, kapas, kertas tisue dan alat tulis menulis.
3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah telur (n=67),

anak burung maleo @=lo), Brillian cresyl blue, Giemsa, Metanol, Alkohol, HCl 0.1
N, NaCl fisiologis, Xylol, kapas, buffer fosfat pH 6,4 - 6,O
3.3.

Parameter Yang Diamati
Paramater yang diamati dalam penelitian ini adalah

a. Telur
1. Morfometri telur : bentuk, berat (g), panjang (cm) dan lebar telur (cm) (n=53)
2. Proses penetasan telur dalam inkubator : lama inkubasi, daya tetas (n=30)

3. Perkembangan embrio (n=14)

b. Pertumbuhan Anak Burung Maleo
Sampel anak burung yaitu anak burung yang menetas melalui penetasan
dengan inkubator.
1. Morfometri anak burung : Day Old Chick (DOC), panjang sayap, panjang ekor,
panjang tarsus, panjang jari kaki tengah, panjang cakar dan panjang paruh.
2. Laju perhnnbuhan : Bobot badan selama 2 bulan.
3. Gambaran hematologis anak burung maleo; kadar Hb, hematokrit, jumlah

eritrosif leukosit dan diferensiasi leukosit
3.4.

Metode Pengambilan Data

3.4.1. Telur

Telur-telur yang dijadikan objek pengamatan adalah telur segar yang
diperoleh langsung dari lokasi bertelur burung maleo pada setiap hari. Caranya
mencari lubang tempat bertelur dan dicatat waktu pengambilan telur. Burung maleo
mulai bertelur jam 6.30 sampai jam 10.00 pagi. Waktu pencarian telur dimulai jam
10.00 setelah burung selesai bertelur. Lokasi tempat pengambilan telur yaitu di hutan
yang panasnya bersumber dari panas bumi (geotermal).
a. Morfometri Telur
Bentuk telur

: Diamati bentuk telur kemudian digambarldifoto

Bobot telur

: Telur ditimbang dengan menggunakan timbangan pesola

500 g.
Panjang dan lebar telur : Pengukuran panjang dan lebar telur di gunakan kaliper
ketelitian 0,05 mm (satuan dalam milimeter)
Indeks telur

: Lebar / Panjang x 100 (Romanoff dan Romanoff, 1963)

Panjang

Lebar

Gambar 3. Pengukuran dimensi telw

c.

Penetasan Telur
Lama Inkubasi; Lamanya inkubasi telur dihitung dari hari ke no1 (0)

setelah telw dimasukkan dalam inkubator. Masing-masing telur diberi tanda dan
dicatat waktu mulai inkubasi sampai telw menetas. Jurnlah telur yang digunakan
30 butir (n = 30)
Daya Tetas; Untuk pengamatan daya tetas (%) tetas, sebanyak 30 butir telur
dimasukkan dalam inkubator.

Inkubator yang digunakan adalah inkubator telur

ayam produksi dalam negeri dengan kapasitas 100 butir telur. Sebelum inkubator
digunakan dilakukan kalibrasi yaitu suhu diatur pada suhu pengamatan 34"C dengan
kelembaban 70 % selama 3 hari dan dilihat serta cficatat fluktuasi perubahan suhu
dan kelembaban. Penetapan suhu mengikuti metode dari Dekker (1990). Rumus
perhitungan daya tetas (%) mengikuti rumus Effendi (1974) yaitu
S (%) = Nt/ No x 100 %
S

= Prosentase telur yang menetas

Nt

= telur yang

menetas,

No

= telur yang

diamati

d. Perkembangan Em brio

Pemeriksaan tahap perkembangan embrio mengikuti metode Peterson (1981)
yang diamati pada burung Kalkun. Caranya cangkang telur dibuka kemudian
digambar atau difoto bentuk perkembangan embrio. Pengamatan dilakukan selatna 7
kali dimulai dari telur yang segar (no1 hari), hari 10, hari 17, hari 24, hari 3 1, hari 38
hari 45, hari 56, (n = 14 butir telur)
Total telur yang digunakan untuk parameter diatas yaitu
53 butir *)

a. Morfometri telur

=

c. Lama inkubasi

= 30

b. Daya tetas

=

30 butir *)

d. Perkembangan etnbrio

=

14 butir

butir *)

Total telur yang digunakan adalah 67 butir
*) Surizpel telur yang sunza

3.4.2. Pertumbuhan Anak Burung
Setelah telur menetas anak burung maleo ditimbang dan langsung
dipindahkan clan dipelihara di kandang yang mendapat pemanasan dari lampu pijar
kapasitas 60 watt. Kandang berukuran 2 x 4 m yang terbuat dari bambu, dilengkapi
dengan tempat makan dan minum. Semua anak burung (n=10) ditempatkan dalam
satu kandang. Untuk memudahkan pengamatan maka kandang di tempatkan di
kompleks peneluran burung maleo di Desa Tambun Kecamatan Dumoga Bolaang
Mongondow setelah anak burung berumur 2 1 bulan dipindahkan ke Tomohon.

a. Morfometri
Pengukuran morfometri anak burung terdiri dari berat badan, panjang ekor,
panjang sayap, panjang jari kaki tengah, panjang tarsus, panjang paruh dengan
menggunakan alat kaliper (mm), mistar (cm) dan penimbangan berat badan dengan
timbangan pesola 1 kg. Pengukuran dilakukan berdasarkan metode (King et al. 1975;
MacKinnon dan Phillipps, 1993). Data hasil pengukuran ditabulasi, dihitung rerataan
dan standar deviasi (Steel dan Torrie, 1991)

Gambar 4. Pengukuran bagian-bagian tubuh burung Menwut King,et al. (1975)
Mackinnon dan Philipps (1993). A. Panjang ekor, B. Panjang sayap, C.
Panjang paruh D. Panjang tarsus., E. Panjang jari kaki tengah dan
F. Panjang cakar

b. Laju Pertumbuhan (Growth Rate)
Pengamatan laju perhmbuhan untuk anak burung diambil dari penetasan
inkubator dilakukan sebagai berikut timbang minggu ke 1, 2, 3, dan seterusnya
seminggu sekali selama 2 bulan. Anak burung diberi makanan jagung, kacang
merah, serangga, siput dan pepaya juga air minum ad libitum. Perhitungan
pertambahan bobot badan anak burung mengikuti rumus Bakker (1974) sebagai
berikut:
KTR = ( ~ 2 - W/I (t2-tl)
)
Dalam ha1 ini (wz -WI)adalah pertambahan bobot badan dalam
jarak waktu (tz-tl)

KTK = Kecepatan tumbuh relatif yaitu pertambahan bobot badan
per unit waktu
w2

= bobot badan

wl

= bobot pada

per umur t2

per umur tl

3.4.3. Gambaran Darah Anak Burung Maleo

Sampel darah anak burung maleo yang digunakan dalam pengamatan ini
adalah darah anak burung maleo berumur 2 bulan yang masing-masing bejumlah 5
ekor burung (n

=

10). Sampel darah dikoleksi dari vena sayap (vena ulnaris),

seminggu sekali selama 2 bulan.
Hematokrit ditentukan dengan menggunakan metode mikrohematokrit (Coles,
1985; Thrap, 1986; Sikar, dkk 1989). Sebelum hematokrit ditentukan darah dalam
pipa mikrokapiler berlapiskan heparin disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan
12.000 rpm. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode
Sahli. Darah dengan larutan larutan HClO.l N akan membentuk asam hematin yang
25

berwama coklat. Warna disamakan dengan wama standar Sahli dengan
menggunakan aquadestilata sebagai pengencer (Tharp, 1986; Sikar, dkk. 1989).
Banyaknya eritrosit dan leukosit per mm3dapat dihitung di bawah mikroskop dengan
menggunakan kamar hitung improved Neubauer, dan sebagai larutan pengencer
darah digunakan larutan Brilliant cresyl blue ( Mitruka dan Rawnsley, 1981; Tharp,
1986; Sikar, dkk. 1989). Perhitungan diferensiasi leukosit dilakukan dengan teknik
preparat uladhapus. Preparat hapusan darah dlfiksasi dengan metanol 5 % dan
diwarnai dengan pewarna Giemsa (Mitruka dan Rawnsley, 1981; Tharp, 1986; Sikar,
dkk. 1989).
3.5.

Analisa Data
Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, kuantitatif, dan

disajikan &lam bentuk grafik regresi dan histogram.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Lokasi

Lokasi peneluran burung maleo di Desa Tambun merupakan hutan kecil
yang ditumbuhi oleh tumbuhan pepohonan, herba dan alang-alang. Lokasinya sangat
strategis karena dekat dengan jalan utama yang menghubungkan Desa Tambun dan
Desa Transmigrasi Kembang Merta. Sehingga untuk melihat burung-burung maleo
yang akan bertelur dapat dilihat dari jalan tersebut. Tanah di lokasi tersebut
bercampur batu

Dokumen yang terkait

Strategi Burung Maleo (Macrochepalon maleo SAL. MULLER 1846) dalam Seleksi Habitat Tempat Bertelurnya di Sulawesi

1 13 236

Kajian biologis maleo yang dipelihara secara ex situ

0 6 138

Pendugaan Populasi, Preferensi Habitat Peneluran dan Pola Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) Berdasarkan Keberadaan Sarang di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.

0 16 97

Karakterisasi habitat, morfologi dan genetik serta pengembangan teknologi penetasan ex situ burung maleo (macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) sebagai upaya meningkatkan efektivitas konservasi

0 8 260

Analisis Preferensi Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah

11 49 113

Analisis Preferensi Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah

3 27 70

Karakteristik Fisik Sarang Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah.

0 0 7

KARAKTERISTIK TANAH DAN MIKROKLIMAT HABITAT BURUNG MALEO (MACROCEPHALON MALEO) DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH (Soil Characteristics and Microclimate of Habitat Maleo Bird (Macrocephalon Maleo) in Lore Lindu National Park Central Sulawesi | H

0 0 6

this PDF file KERAGAMAN GENETIK BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) BERDASARKAN POLIMORFISME PROTEIN DARAH | Hastarina | AGRISAINS 1 SM

0 0 9

STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA

0 1 14