1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hirschsprung’s disease merupakan penyakit motilitas usus kongenital yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan sub-
mucosal plexus usus bagian distal. Etiologi penyakit ini diduga disebabkan oleh penyebab multifaktor. Gagalnya migrasi neural crest cells ke arah craniocaudal
pada bagian distal colon diduga sebagai kelainan embriologi utama yang menyebabkan
Hirschsprung’s disease. Selain itu, kelainan genetik berupa mutasi Ret gene dan endothelin B receptor gene juga dikaitkan sebagai penyebab
penyakit ini Gunnarsdottir, et al., 2011. Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup Yan, et al., 2014.
Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan Esayias, et al., 2013. Terdapat studi yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi 12.4-33 terjadi pada penderita
yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25
obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease
Georgeson, 2010. Berdasarkan lokasi kelainannya, hampir 90 transition point berada pada rectosigmoid colon short-segment aganglionosis Huang, et al.,
2011. Down syndrome trisomy 21 adalah gangguan kromosomal yang paling
berkaitan dengan Hirschsprung’s disease sekitar 10 dari seluruh penderita.
Beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum kandung kemih,
Meckel’s diverticulum, imperforasi anus, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism,
Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma, dan
Ondine’s curse Kessmann, 2006. Berdasarkan gambaran klinisnya, sekitar 90 pasien pada bulan pertama
kehidupannya menunjukkan gejala tidak mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama kehidupannya, gangguan pergerakan usus, tidak mau menyusu, dan
distensi abdomen yang progresif. Pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan untuk mengetahui kekuatan sphincter anal dan mengeksplorasi fecal serta gas Amiel, et
al., 2001. Gejala penyakit yang tidak cukup definitif dan perlunya bukti objektif untuk menegakkan diagnosis, menyebabkan
Hirschsprung’s disease masuk dalam salah satu penyakit bedah anak yang paling sulit ditegakkan diagnosisnya
Georgeson, 2010; Moore, 2010. Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas suatu
penyakit. Pada Hirschsprungs disease, komplikasi yang dapat terjadi antara lain konstipasi, fecal impaksi yang berlanjut pada kondisi yang mengancam jiwa, yaitu
Hirschsprung-associated enterocolitis HAEC. Angka morbiditas HAEC sebesar 15-50 dan angka mortalitasnya mencapai 20-50 Nurko, 2014. Semakin
dini diagnosis ditegakkan berpengaruh pada pemilihan operasi definitif menjadi 1 tahap dibandingkan 3 tahap jika penderita datang terlambat. Hal ini akan
memberikan keuntungan daripada pasien yang terdiagnosis dan dioperasi pada usia lebih tua dengan operasi multistage akan lebih sering mengalami masalah
fungsi pencernaan. Keuntungan lain yaitu menurunkan biaya perawatan karena
lama perawatan di rumah sakit akan lebih pendek, dan juga memberikan keuntungan psikososial lebih baik Gunnarsdottir, et al., 2011.
Pemeriksaan baku emas untuk penegakkan diagnosis Hirschsprung’s
disease adalah full-thickness rectal biopsy sensitivitas-spesifisitas 100. Akan tetapi, tidak semua rumah sakit terutama rumah sakit daerah tersedia fasilitas
untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, tindakan ini bersifat invasif dengan komplikasi prosedur berupa perforasi, perdarahan, dan infeksi. Oleh
karena itu, dalam praktek klinik sehari-hari terdapat pemeriksaan yang bisa digunakan sebagai alat penegakkan diagnosis
Hirschsprung’s disease yaitu barium enema dan anorectal manometry de Lorijn, et al., 2006; Abbas, et al.,
2013. Dari dua jenis pemeriksaan penunjang diatas, barium enema lebih luas
digunakan dibandingkan dengan anorectal manometry. Hal ini karena barium enema lebih mudah dilakukan, bersifat minimally invasive, bisa dilakukan hampir
diseluruh rumah sakit daerah, serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Barium enema memiliki sensitivitas 70-75 mencapai hampir 100
dengan menggunakan 24-hours delayed abdominal radiographs dan spesifisitas 70-80 sedangkan anorectal manometry memiliki sensitivitas 60-70 dan
spesifisitas 65-70 pada seluruh kelompok usia O’Donovan, et al., 1996;
Ishfaq, et al., 2014; Wong, et al., 2014. Seperti dijelaskan diatas bahwa semakin dini diagnosis
Hirschsprung’s disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya.
Oleh karena itu, peneliti ingin menilai sensitivitas dan spesifisitas barium enema
pada kelompok usia infant. Bila terbukti pemeriksaan barium enema pada usia dini memiliki akurasi yang lebih tinggi maka pemeriksaan tersebut dapat
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat diagnostik sehingga penanganan operatif lebih awal pada
Hirschsprung’s disease dapat dilakukan untuk menekan angka mortalitas.
1.2 Rumusan Masalah