VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

(1)

TESIS

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

I KETUT SUBHAWA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016

Mengetahui Pembimbing I,

dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS

NIP 19701120 200003 1 001

Pembimbing II,

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001

Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana,

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma NIP 19600621 198710 1 001

Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana,

dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk


(5)

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 7 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016

Penguji :

1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS 2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD 4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma 5. Dr. dr. Ketut Widiana, Sp.B (K) Onk


(6)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016

Mengetahui Pembimbing I,

dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS NIP 19701120 200003 1 001

Pembimbing II,

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001


(7)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 7 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016

Penguji :

1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS 2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD 4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma 5. Dr. dr. Ketut Widiana, Sp.B (K) Onk


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahnya-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Validitas Barium Enema Sebagai Alat Diagnostik Hirschsprung’s Disease pada Infant di RSUP Sanglah Denpasar”. Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Bedah di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan dalam rangka memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali.

Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya kepada dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS, selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Terima kasih dan penghargaan yang tertinggi juga penulis ucapkan kepada Dr. dr. I Nyoman Golden, Sp.BS (K), selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD–KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di Universitas Udayana tercinta yang beliau pimpin.


(9)

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis belajar pada Program Magister Ilmu Biomedik, Universitas Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Biomedik Universitas Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K), selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Program Studi Ilmu Bedah.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.


(10)

Terima kasih kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin, Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar, sebagai guru dan teladan dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Ilmu Bedah dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua dan kakak-kakak tercinta, istri tercinta dr. Priska Apsari Primastuti, dan putra penulis I Putu Mesha Wibhisana atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan spesialis ini.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang membantu penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Mei 2016


(11)

ABSTRAK

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

Hirschsprung’s disease adalah penyakit motilitas usus kongenital yang

ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan sub-mucosal plexus usus bagian distal. Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas, dimana semakin dini diagnosis Hirschsprung’s disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui validitas (sensitifitas, spesifisitas, likelihood ratio) pemeriksaan barium enema sebagai alat diagnostik Hirschsprung’s disease pada

infant.

Penelitian ini merupakan uji diagnostik barium enema dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi paskaoperasi sebagai baku emas. Populasi penelitian adalah penderita dengan gangguan pencernaan yang ditemukan di poliklinik Bedah Anak RSUP Sanglah Denpasar. Metode pengambilan sampel secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi (berusia ≤ 12 bulan, menunjukkan gejala klasik Hirschsprung’s disease). Besar sampel penelitian adalah 52. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif dianalisis menggunakan uji tabulasi silang antara hasil pemeriksaan barium enema dengan histopatologi paskaoperasi.

Total 52 pasien yang dievaluasi selama penelitian ini, rerata umur 3,31 bulan, laki-laki:perempuan (75%:25%). Berdasarkan gejala, 98.08% pasien mengalami keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24-48 jam dan distensi abdomen. Diantara seluruh pasien yang dievaluasi, sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif pemeriksaan barium enema dalam mendiagnosis Hirschsprung’s disease adalah 95.5%, 87.5%, 97.7%, dan 77.8%.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan barium enema dapat digunakan sebagai alat diagnostik dini Hirschsprung’s disease pada infant. Kata kunci: barium enema, uji diagnostik, infant, Hirschsprung’s disease.


(12)

ABSTRACT

VALIDITY OF BARIUM ENEMA AS HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

DIAGNOSTIC TOOLS FOR INFANT IN SANGLAH HOSPITAL DENPASAR

Hirschsprung's disease is a congenital bowel motility disease characterized by the absence of parasympathic ganglion cells in the myenteric and sub-mucosal plexus of distal intestine. Early diagnosis is crucial to determine morbidity and mortality, where the early diagnosis of Hirschsprung's disease upheld the lower rate of morbidity and mortality. The purpose of this study was to determine the validity (sensitivity, specificity, likelihood ratio) of barium enema as Hirschsprung's disease diagnostic tool in infants.

This study was a diagnostic test of barium enema compared with postoperative histopathology examinations as gold standard. The population were all of patients with indigestion symptom be discovered at pediatric surgical clinic of Sanglah Hospital Denpasar. The sampling method was consecutive sampling, satisfy inclusion criteria (≤ 12 months old, indicate classic symptom of Hirschsprung’s disease). Total sampel of study were 52. Sensitivity, specificity, positive and negative predictive value were analysed using cross tabulation test of barium enema and postoperative histopathology.

A total of 52 patients were evaluated during the study period, mean of age was 3.31 months old, boys:girls (75%:25%). Based on symptom, 98.08% patients were delayed released of meconium more then 24-48 hours and abdominal distention. Among all the patients reviewed, sensitivity, specificity, positive and negative predictive value of barium enema for diagnostic of Hirschsprung’s disease were 95.5%, 87.5%, 97.7%, and 77.8%.

From this study it can be concluded that the barium enema can be used as early diagnostic tool for infants suspected Hirschsprung’s disease.


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian ... 33 Tabel 5.2 Uji validitas barium enema dalam mendeteksi adanya

segmen aganglion pada saluran cerna bagian bawah dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku


(14)

DAFTAR SINGKATAN

AChE : acetylcholinesterase

AP : anteroposterior

ARM : anorectal manometry

BaSO4 : barium sulfat

BE : barium enema

BOF : Bild Och Funktion

CI : confidence interval

CIL : colon in loop

EDNRB : The Endothelin B receptor gene

GDNF : the Glial cells line Derived Neutrophic Factor

HAEC : Hirschsprung-associated enterocolitis

H&E : hematoxylin dan eosin

IBS : Instalasi Bedah Sentral

FK UNUD : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana FN : false negative

FP : false positive

FTB : full thickness biopsy

LATEP : Laparoscopic Assisted Transanal Endorectal Pullthrough

MIS : minimally invasive surgery

NPV : negative predictive value


(15)

PHOX2B : paired-like homeobox 2B

PPV : positive predictive value

RET gene : Rearranged during Transfection gene

ROC : Receiver Operating Characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : standar deviasi

SMF : Staff Medis Fungsional

SOX-10 : SRY (Sex Determining Region Y)-Box 10

TCA : Total Colon Aganglionosis

TN : true negative

TP : true positive


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Total transanal endorectal pull-through ... 13 Gambar 2.2 Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through ... 13 Gambar 2.3 Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui teknik

biopsi rectal ... 14 Gambar 2.4 Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita

Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) ... 15

Gambar 2.5 Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease ... 16 Gambar 2.6 Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak

distensi pada colon sigmoid ... 21 Gambar 2.7 Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s disease. ... 22 Gambar 5.1 Grafik ROC kemampuan barium enema dalam mendeteksi

segmen aganglion saluran cerna bagian bawah dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas……… 34


(17)

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Akademis... 5


(18)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Hirschsprung’s disease ... 6

2.1.1 Definisi dan epidemiologi ... 6

2.1.2 Biologi molekuler ... 7

2.1.3 Patofisiologi ... 8

2.1.3 Manifestasi Klinis ... 10

2.1.4 Penatalaksanaan ... 11

2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease ... 14

2.3 Barium Enema ... 16

2.3.1 Prinsip ... 16

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi... 17

2.3.3 Persiapan... 18

2.3.4 Prosedur ... 18

2.3.5 Interpretasi ... 19

2.3.6 Komplikasi ... 20

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease ... 20

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ... 23

3.1 Kerangka Berpikir ... 23

3.2 Kerangka Konsep ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1 Rancangan Penelitian ... 25

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25


(19)

4.3.1 Kriteria inklusi ... 26

4.3.2 Kriteria eksklusi... 26

4.4 Besar Sampel ... 26

4.5 Variabel Penelitian ... 27

4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27

4.7 Prosedur Penelitian ... 28

4.8 Alur Penelitian ... 29

4.9 Analisis Data ... 29

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1 Hasil Penelitian ... 32

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 32

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 34

5.1.2 Uji Validitas Barium Enema ... 35

5.1 Pembahasan ... 36

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1 Simpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hirschsprung’s disease merupakan penyakit motilitas usus kongenital yang

ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan sub-mucosal plexus usus bagian distal. Etiologi penyakit ini diduga disebabkan oleh penyebab multifaktor. Gagalnya migrasi neural crest cells ke arah craniocaudal pada bagian distal colon diduga sebagai kelainan embriologi utama yang menyebabkan Hirschsprung’s disease. Selain itu, kelainan genetik berupa mutasi

Ret gene dan endothelin B receptor gene juga dikaitkan sebagai penyebab penyakit ini (Gunnarsdottir, et al., 2011).

Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014). Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25% obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease (Georgeson, 2010). Berdasarkan lokasi kelainannya, hampir 90% transition point

berada pada rectosigmoid colon (short-segment aganglionosis) (Huang, et al., 2011).

Down syndrome (trisomy 21) adalah gangguan kromosomal yang paling berkaitan dengan Hirschsprung’s disease (sekitar 10% dari seluruh penderita).


(21)

2

Beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain

hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforasi anus, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s

syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Kessmann, 2006).

Berdasarkan gambaran klinisnya, sekitar 90% pasien pada bulan pertama kehidupannya menunjukkan gejala tidak mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama kehidupannya, gangguan pergerakan usus, tidak mau menyusu, dan distensi abdomen yang progresif. Pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan untuk mengetahui kekuatan sphincter anal dan mengeksplorasi fecal serta gas (Amiel, et al., 2001). Gejala penyakit yang tidak cukup definitif dan perlunya bukti objektif untuk menegakkan diagnosis, menyebabkan Hirschsprung’s disease masuk dalam salah satu penyakit bedah anak yang paling sulit ditegakkan diagnosisnya (Georgeson, 2010; Moore, 2010).

Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas suatu penyakit. Pada Hirschsprung's disease, komplikasi yang dapat terjadi antara lain konstipasi, fecal impaksi yang berlanjut pada kondisi yang mengancam jiwa, yaitu

Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC). Angka morbiditas HAEC sebesar 15%-50% dan angka mortalitasnya mencapai 20%-50% (Nurko, 2014). Semakin dini diagnosis ditegakkan berpengaruh pada pemilihan operasi definitif menjadi 1 tahap dibandingkan 3 tahap jika penderita datang terlambat. Hal ini akan memberikan keuntungan daripada pasien yang terdiagnosis dan dioperasi pada usia lebih tua dengan operasi multistage akan lebih sering mengalami masalah fungsi pencernaan. Keuntungan lain yaitu menurunkan biaya perawatan karena


(22)

3

lama perawatan di rumah sakit akan lebih pendek, dan juga memberikan keuntungan psikososial lebih baik (Gunnarsdottir, et al., 2011).

Pemeriksaan baku emas untuk penegakkan diagnosis Hirschsprung’s

disease adalah full-thickness rectal biopsy (sensitivitas-spesifisitas 100%). Akan tetapi, tidak semua rumah sakit terutama rumah sakit daerah tersedia fasilitas untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, tindakan ini bersifat invasif dengan komplikasi prosedur berupa perforasi, perdarahan, dan infeksi. Oleh karena itu, dalam praktek klinik sehari-hari terdapat pemeriksaan yang bisa digunakan sebagai alat penegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease yaitu barium enema dan anorectal manometry (de Lorijn, et al., 2006; Abbas, et al., 2013).

Dari dua jenis pemeriksaan penunjang diatas, barium enema lebih luas digunakan dibandingkan dengan anorectal manometry. Hal ini karena barium enema lebih mudah dilakukan, bersifat minimally invasive, bisa dilakukan hampir diseluruh rumah sakit daerah, serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Barium enema memiliki sensitivitas 70-75% (mencapai hampir 100% dengan menggunakan 24-hours delayed abdominal radiographs) dan spesifisitas 70-80% sedangkan anorectal manometry memiliki sensitivitas 60%-70% dan spesifisitas 65%-70% pada seluruh kelompok usia (O’Donovan, et al., 1996; Ishfaq, et al., 2014; Wong, et al., 2014).

Seperti dijelaskan diatas bahwa semakin dini diagnosis Hirschsprung’s

disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya. Oleh karena itu, peneliti ingin menilai sensitivitas dan spesifisitas barium enema


(23)

4

pada kelompok usia infant. Bila terbukti pemeriksaan barium enema pada usia dini memiliki akurasi yang lebih tinggi maka pemeriksaan tersebut dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat diagnostik sehingga penanganan operatif lebih awal pada Hirschsprung’s disease dapat dilakukan untuk menekan angka mortalitas.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemeriksaan barium enema akurat (sensitivitas, spesifisitas, dan

likelihood ratio) digunakan untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease

pada infant?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui validitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant. 1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui sensitivitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant.

b. Untuk mengetahui spesifisitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant.

c. Untuk mengetahui likelihood ratio barium enema sebagai alat diagnostik Hirschsprung’s diseasepada infant.


(24)

5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Penelitian dapat digunakan sebagai acuan klinisi dalam pemilihan tindakan diagnostik awal pada penderita kelompok usia infant dengan klinis yang mengarah pada Hirschsprung’s disease.

1.4.2 Manfaat klinis

a. Sebagai data ilmiah bahwa barium enema dapat digunakan sebagai salah satu alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara praktis, sederhana, dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease pada infant.

b. Barium enema dapat digunakan sebagai acuan penanganan awal pada penderita dengan klinis yang mengarah pada Hirschsprung’s disease.


(25)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hirschsprung’s Disease

2.1.1 Definisi dan epidemiologi

Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001). Kondisi ini menyebabkan obstruksi akibat penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).

Pada tahun 1691, seorang anatomist Belanda, Fredericus Ruysche, melakukan otopsi pada anak perempuan berusia 5 tahun dimana ditemukan

megacolon dengan riwayat nyeri abdomen dan konstipasi (Georgeson, 2010). Hal ini sebagai awal dikenalnya penyakit megacolon namun patogenesis penyakit belum dapat dijelaskan (Wang, et al., 2009). Harald Hirschsprung, seorang dokter anak berasal dari Denmark, merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan penyakit ini secara definitif melalui presentasi ilmiah dalam konfrensi asosiasi pediatri di Berlin, Jerman pada tahun 1886 (Wang, et al., 2009; Moore, et al., 2010). Dia memaparkan dua kasus bayi yang meninggal akibat komplikasi obstruksi usus. Usus besar tampak dilatasi dan hipertropi namun rektum tampak normal. Tidak ditemukannya sel ganglion intramural pada myenteric dan


(26)

7

dari bagian colon yang mengalami dilatasi menjadi hal yang paling dikaitkan sebagai penyebab penyakit megacolon kongenital (Amiel, et al., 2001).

Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014). Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25% obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease (Georgeson, 2010).

Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter), penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease. Short-segment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian

rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi hampir seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus (Kessmann, 2006; Moore, 2010).

2.1.2 Biologi molekuler

Overexpression of gene on chromosome 21 diperkirakan sebagai faktor pencetus munculnya Hirschsprung’s disease dan dipengaruhi oleh gene mapping to 21q22. Walaupun penyebab tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan sel ganglion belum diketahui secara jelas, identifikasi gen yang paling berpengaruh (disebut The REarranged during Transfection (RET) gene dan The Endothelin B


(27)

8

receptor gene (EDNRB) serta variasi gen lainnya) dapat membantu memahami etiologi dari kondisi ini. Penelitian secara berkelanjutan mengidentifikasi sejumlah gen yang dicurigai sebagai gen penyebab, antara lain (the EDNRB ligand EDN 3, the glial cells line derived neurotrophic factor (GDNF) dalam kromosom 5p12-13 dan dihubungkan dengan GFRα). Hubungan antara PHOX2B dan SOX-10 pada kromosom 22q13 juga menunjukkan kesinergisan dengan sistem endotelin dalam kasus aganglonic segment yang sangat panjang (Moore, 2010; Khazdouz, et al., 2015).

2.1.3 Patofisiologi

Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah

craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010). Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system, yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama

Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya

kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest

tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain berubahnya matriks


(28)

9

ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural cell adhesion molecules

(Georgeson, 2010).

Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi

Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan

dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum

kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma,

dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015).

Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal

Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment

Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak

termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang normal.


(29)

10

2.1.4 Manifestasi Klinis

Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun, evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian yang penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus (hampir 90% manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et al., 2011). Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya jumlah meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease (>80% dari keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis antara lain obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang lebih tua (10%-50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir 100% kasus), konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore, 2010).

Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4 minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen, dan muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan mortalitas penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et al., 2014).

Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik noninvasif yang digunakan untuk mendeteksi refleks pada rectoanal (rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa ARM berguna untuk mengeksklusi Hirschsprung’s disease


(30)

11

(negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk dalam tes diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita yang kooperatif sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-anak usia diatas satu tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008). Hal ini menyebabkan ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary screening kasus Hirschsprung’s

disease (Ishfaq, et al., 2014).

2.1.5 Penatalaksanaan

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011). Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa mempengaruhi kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum dilakukan pembedahan, penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain pemberian cairan dan elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat melalui rektal secara berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010).

Berbagai teknik pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi

Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama


(31)

12

ksi bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal. Kemudian Rehbein memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic colon sampai di atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan dilatasi adekuat pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).

Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis

menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel dengan menggunakan

transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah diseksi luar pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga inervasi di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009).

Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete dissection dan mobisasi aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis kolon normal ke anus melalui muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan oleh para ahli bedah karena komplikasi konstipasi dan inkontinensia yang minimal (Wang, et al., 2009; Kamal, 2010).


(32)

13

Gambar 2.1.

Total transanal endorectal pull-through (Kamal, 2010)

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada colo-anal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi (Jona, 2005; Thomson, et al., 2015).

Gambar 2.2.

Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through


(33)

14

2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease

Metode suction biopsy pertama kali dilakukan oleh Helen Noblett dengan mengambil spesimen pada lapisan submukosa dan mukosa dengan meminimalisasi ketidaknyamanan dan tanpa anestesi (Moore, 2010). Gambaran histologi klasik pada Hirschsprung’s disease adalah hyperthropic nerve trunk

(proliferasi saraf tepi) serta tidak ditemukannya sel ganglion dalam intramuscular

myenteric (Auerbach’s) plexus dan submucosal Meissner’s plexus (Moore, 2010;

Esayias, et al., 2013).

Spesimen biopsi diambil pada 2-4 cm (3-5 cm pada usia yang lebih tua) dari

dentate line. Kegagalan pengambilan spesimen rectal suction biopsy yang adekuat sebagai dasar diagnostik menyebabkan diperlukannya tindakan full thickness biopsy (Saravanan, et al., 2008).

Gambar 2.3.

Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui pull-through procedure

(Abbas, et al., 2013)

Full thickness biopsy (FTB) merupakan pemeriksaan baku emas untuk penegakan diagnosis Hirschsprung’s disease (Pratap, et al., 2007). Spesimen biopsi diambil pada mukosa rektum dan otot dibawahnya dengan lokasi 2 cm


(34)

15

diatas dental line pada bagian posterior (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Kemudian, dengan menggunakan frozen-sectioned, spesimen biopsi tersebut diiris setebal ± 15 µm (Kapur, et al., 2009).

Pada spesimen suction biopsy tersebut dilakukan teknik pewarnaan acetylcholinesterase (AChE) untuk mengevaluasi peningkatan aktivitas saraf parasimpatis pada area yang tertentu yang terpengaruh maupun neurofibril diantara lamina propria dan mukosa muskularis. Interpretasi pewarnaan AChE dipengaruhi oleh pola yang berbeda pada kenampakan AChE. Hal ini sering terjadi terutama pada neonatus. Pada pewarnaan tipe A, AChE akan tampak positif pada serabut saraf sepanjang lamina propria. Sedangkan, pada pewarnaan tipe B, pola AChE yang positif tampak di mukosa muskularis dan dekat lamina propia dalam beberapa minggu (Kapur, et al., 2009).

Gambar 2.4.

Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) (Moore, 2010)

Pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin (H&E) juga digunakan sebagai metode pilihan selain pewarnaan AChE dalam penegakkan diagnosis karena jenis pewarnaan ini lebih mudah didapat. Namun kelemahan pewarnaan


(35)

16

H&E adalah lebih sulit mengidentifikasi sel ganglion immatur dari sel plasma dan limfosit (Memarzadeh, et al., 2009).

Gambar 2.5.

Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease(Abbas, et al., 2013)

Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila pada hasil biopsi

ditemukan peningkatan aktivitas acetylcholinesterase (AChE) pada serabut saraf cholinergic dari aganglionic segments (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%) ditambah dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada pewarnaan (sensitivitas 96%, spesifisitas 98%) (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Komplikasi yang harus diwaspadai dalam prosedur ini antara lain perdarahan rektal, perforasi, atau sepsis (de Lorijn, et al., 2006).

2.3 Barium Enema

2.3.1 Prinsip

Pemeriksaan barium enema merupakan pemeriksaan radiografi kolon dengan menggunakan bahan kontras barium sulfat (BaSO4) yang menyerupai


(36)

17

colon in loop (CIL) tetapi terdapat beberapa perbedaan pada persiapan dan prosedur. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran anatomis kolon dan membedakan kelainan-kelainan obstruksi letak rendah saluran cerna terutama pada bayi yang baru lahir (Karami, et al., 2008). Selain itu, barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas lain pada saluran gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, dan hernia (Reid, et al.,

2000; Smith, 2001)

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi

Beberapa kecurigaan penyakit yang mengindikasikan barium enema sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain:

- Ileus obstruksi letak rendah pada bayi baru lahir

- Hirschsprung’s disease

- Meconium plug syndrome atau functional immaturity of the colon

- Atresia kolon - Meconium ileus - Atresia ileum

Namun, terdapat kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi dilakukannya barium enema sebagai pemeriksaan. Salah satu kontraindikasi mutlak pemeriksaan barium enema adalah alergi terhadap kontras (Soetikno, 2014).


(37)

18

2.3.3 Persiapan

Neonatus sampai bayi berusia dua tahun tidak memerlukan persiapan khusus. Bayi berusia dua tahun sampai anak berusia 10 tahun makan makanan rendah residu pada malam sebelum pemeriksaan dan satu tablet bisacodyl atau laksatif lain sebelum tidur malam. Enema pencahar juga dapat diberikan pada pagi hari sebelum pemeriksaan. Anak berusia 10 tahun sampai dewasa memiliki persiapan yang sama dengan anak berusia 2-10 tahun, namun tablet bisacodyl yang diminum adalah sebanyak dua tablet.

Zat kontras yang digunakan adalah zat kontras barium. Persiapkan juga kateter (biasanya menggunakan folley catheter) atau feeding tube ukuran 8F untuk memasukkan kontras (Soetikno, 2014).

2.3.4 Prosedur

Berikut ini adalah prosedur dilakukannya pemeriksaan barium enema (Soetikno, 2014).

1. Sebelum zat kontras dimasukkan, terlebih dahulu dibuat foto polos perut. 2. Gunakan perisai gonad pada pasien.

3. Ujung kateter dimasukkan hanya sedikit ke dalam rektum dengan balon yang tidak dikembungkan (balon dapat mengganggu penilaian dan bahkan dapat mebuat perforasi bagian rektum yang aganglionic).

4. Kontras kemudian dimasukkan.

5. Terdapat dua metode memasukkan kontras, yaitu melalui spuit atau dengan gravitasi (selang infus). Pada metode memasukkan kontras dengan


(38)

19

spuit harus berhati-hati agar tidak memberikan tekanan terlalu besar yang dapat menyebabkan perforasi.

6. Foto lateral kiri diambil pada saat awal pengisian dan foto anteroposterior (AP) atau posteroanterior (PA) diambil setelah kontras mengisi seluruh kolon. Foto posisi lain dapat diambil jika terdapat super posisi bagian-bagian kolon.

7. Refluks kontras ke ileum harus diusahakan agar kelainan di ileum dapat terlihat juga.

8. Foto retensi barium dilakukan 24-48 jam setelah foto pertama, dengan gambaran khas pada Hirschsprung’s diseaseadalah barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.

2.3.5 Interpretasi

Hal yang dinilai pada hasil pemeriksaan barium enema adalah pasase kontras, bentuk, dan posisi serta mukosa dan adanya filling defect atau bayangan tambahan (filling affect). Rasio rektosigmoid juga dinilai, dimana rasio ini merupakan perbandingan antara diameter rektum terbesar (dibawah segmen 3 sacrum) dan diameter kolon sigmoid.pengukuran ini dapat dilakukan pada foto posisi AP/PA maupun lateral. Tanda-tanda adanya microcolon juga harus diperhatikan (Soetikno, 2014).


(39)

20

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan terjadi dalam proses pemeriksaan barium enema adalah adanya perforasi pada saluran cerna akibat penggunaan instumen yang kurang tepat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kebocoran kontras bahkan hingga menimbukan peritonitis pada penderita (Soetikno, 2014).

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease

Pada kasus keterlambatan pengeluaran mekonium 24 jam pertama kehidupan, foto polos abdomen (BOF) diperlukan dalam mendiagnosis

Hirschsprung’s disease pada neonatus, terutama pada kasus dengan total colonic

aganglionosis (kondisi distensi berat) (Huang, et al., 2011). Pada foto polos akan tampak tanda obstruksi intestinal bawah dan distensi bowel loops, fluid level

(posisi berdiri saat pengambilan foto), rektum menyempit (pada posisi lateral view) (Hayakawa, et al., 2003). Namun, pemeriksaan ini tidak berguna dilakukan pada anak usia lebih tua dengan gejala konstipasi. Rendahnya spesifisitas (52%), ketersediaan pemeriksaan lain yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi, dan kurang membantu dalam perencanaan prosedur pembedahan menyebabkan pemeriksaan foto polos abdomen tidak dijadikan sebagai pilihan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease (Hayakawa, et al., 2003;


(40)

21

Gambar 2.6.

Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak distensi pada colon sigmoid (Alaish, et al., 2013)

Barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pada saluran gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, hernia, dan obstruksi (striktur) (Smith, 2001; Diamond, et al., 2007). Pada kasus

Hirschsprung’s disease, barium enema merupakan salah satu modalitas diagnosis

awal yang terjangkau, invasif minimal, dan dapat meminimalisasi komplikasi sejak dini (Esayias, et al., 2013). Metode yang digunakan yaitu dilute barium sulfate dimasukkan melalui rektal menggunakan infant feeding tube nomor enam tanpa menggunakan balon kateter (Pratap, et al., 2007). Kriteria radiologi positif pada Hirschsprung’s disease adalah tampak gambaran kontraksi irreguler dan spasme (sensitivitas 65%-80%, spesifisitas 66%-100%) (Huang, et al., 2011). Selain itu, gambaran transitional zone juga mengarahkan diagnosis pada

Hirschsprung’s disease (sensitivitas 75%, spesifisitas 81%) (de Lorijn, et al.,


(41)

22

diagnosis, antara lain indeks rektosigmoid (lebar maksimal rektum berbanding lebar maksimal sigmoid; dikatakan abnormal jika < 1) dan tampak mukosa yang irreguler (Wong, et al., 2014).

Gambar 2.7.

Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s

disease. Aganglionic rectum (tanda panah) tampak kecil. Bagian proksimal adalah

ganglionic colon tampak dilatasi. Terlihat jelas zona transisional diantara


(1)

colon in loop (CIL) tetapi terdapat beberapa perbedaan pada persiapan dan prosedur. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran anatomis kolon dan membedakan kelainan-kelainan obstruksi letak rendah saluran cerna terutama pada bayi yang baru lahir (Karami, et al., 2008). Selain itu, barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas lain pada saluran gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, dan hernia (Reid, et al., 2000; Smith, 2001)

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi

Beberapa kecurigaan penyakit yang mengindikasikan barium enema sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain:

- Ileus obstruksi letak rendah pada bayi baru lahir

- Hirschsprung’s disease

- Meconium plug syndrome atau functional immaturity of the colon - Atresia kolon

- Meconium ileus - Atresia ileum

Namun, terdapat kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi dilakukannya barium enema sebagai pemeriksaan. Salah satu kontraindikasi mutlak pemeriksaan barium enema adalah alergi terhadap kontras (Soetikno, 2014).


(2)

2.3.3 Persiapan

Neonatus sampai bayi berusia dua tahun tidak memerlukan persiapan khusus. Bayi berusia dua tahun sampai anak berusia 10 tahun makan makanan rendah residu pada malam sebelum pemeriksaan dan satu tablet bisacodyl atau laksatif lain sebelum tidur malam. Enema pencahar juga dapat diberikan pada pagi hari sebelum pemeriksaan. Anak berusia 10 tahun sampai dewasa memiliki persiapan yang sama dengan anak berusia 2-10 tahun, namun tablet bisacodyl yang diminum adalah sebanyak dua tablet.

Zat kontras yang digunakan adalah zat kontras barium. Persiapkan juga kateter (biasanya menggunakan folley catheter) atau feeding tube ukuran 8F untuk memasukkan kontras (Soetikno, 2014).

2.3.4 Prosedur

Berikut ini adalah prosedur dilakukannya pemeriksaan barium enema (Soetikno, 2014).

1. Sebelum zat kontras dimasukkan, terlebih dahulu dibuat foto polos perut. 2. Gunakan perisai gonad pada pasien.

3. Ujung kateter dimasukkan hanya sedikit ke dalam rektum dengan balon yang tidak dikembungkan (balon dapat mengganggu penilaian dan bahkan dapat mebuat perforasi bagian rektum yang aganglionic).

4. Kontras kemudian dimasukkan.

5. Terdapat dua metode memasukkan kontras, yaitu melalui spuit atau dengan gravitasi (selang infus). Pada metode memasukkan kontras dengan


(3)

spuit harus berhati-hati agar tidak memberikan tekanan terlalu besar yang dapat menyebabkan perforasi.

6. Foto lateral kiri diambil pada saat awal pengisian dan foto anteroposterior (AP) atau posteroanterior (PA) diambil setelah kontras mengisi seluruh kolon. Foto posisi lain dapat diambil jika terdapat super posisi bagian-bagian kolon.

7. Refluks kontras ke ileum harus diusahakan agar kelainan di ileum dapat terlihat juga.

8. Foto retensi barium dilakukan 24-48 jam setelah foto pertama, dengan gambaran khas pada Hirschsprung’s disease adalah barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.

2.3.5 Interpretasi

Hal yang dinilai pada hasil pemeriksaan barium enema adalah pasase kontras, bentuk, dan posisi serta mukosa dan adanya filling defect atau bayangan tambahan (filling affect). Rasio rektosigmoid juga dinilai, dimana rasio ini merupakan perbandingan antara diameter rektum terbesar (dibawah segmen 3 sacrum) dan diameter kolon sigmoid.pengukuran ini dapat dilakukan pada foto posisi AP/PA maupun lateral. Tanda-tanda adanya microcolon juga harus diperhatikan (Soetikno, 2014).


(4)

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan terjadi dalam proses pemeriksaan barium enema adalah adanya perforasi pada saluran cerna akibat penggunaan instumen yang kurang tepat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kebocoran kontras bahkan hingga menimbukan peritonitis pada penderita (Soetikno, 2014).

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease

Pada kasus keterlambatan pengeluaran mekonium 24 jam pertama kehidupan, foto polos abdomen (BOF) diperlukan dalam mendiagnosis

Hirschsprung’s disease pada neonatus, terutama pada kasus dengan total colonic

aganglionosis (kondisi distensi berat) (Huang, et al., 2011). Pada foto polos akan tampak tanda obstruksi intestinal bawah dan distensi bowel loops, fluid level (posisi berdiri saat pengambilan foto), rektum menyempit (pada posisi lateral view) (Hayakawa, et al., 2003). Namun, pemeriksaan ini tidak berguna dilakukan pada anak usia lebih tua dengan gejala konstipasi. Rendahnya spesifisitas (52%), ketersediaan pemeriksaan lain yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi, dan kurang membantu dalam perencanaan prosedur pembedahan menyebabkan pemeriksaan foto polos abdomen tidak dijadikan sebagai pilihan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease (Hayakawa, et al., 2003; Huang, et al., 2011).


(5)

Gambar 2.6.

Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak distensi pada colon sigmoid (Alaish, et al., 2013)

Barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pada saluran gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, hernia, dan obstruksi (striktur) (Smith, 2001; Diamond, et al., 2007). Pada kasus

Hirschsprung’s disease, barium enema merupakan salah satu modalitas diagnosis

awal yang terjangkau, invasif minimal, dan dapat meminimalisasi komplikasi sejak dini (Esayias, et al., 2013). Metode yang digunakan yaitu dilute barium sulfate dimasukkan melalui rektal menggunakan infant feeding tube nomor enam tanpa menggunakan balon kateter (Pratap, et al., 2007). Kriteria radiologi positif pada Hirschsprung’s disease adalah tampak gambaran kontraksi irreguler dan spasme (sensitivitas 65%-80%, spesifisitas 66%-100%) (Huang, et al., 2011). Selain itu, gambaran transitional zone juga mengarahkan diagnosis pada

Hirschsprung’s disease (sensitivitas 75%, spesifisitas 81%) (de Lorijn, et al.,


(6)

diagnosis, antara lain indeks rektosigmoid (lebar maksimal rektum berbanding lebar maksimal sigmoid; dikatakan abnormal jika < 1) dan tampak mukosa yang irreguler (Wong, et al., 2014).

Gambar 2.7.

Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s disease. Aganglionic rectum (tanda panah) tampak kecil. Bagian proksimal adalah

ganglionic colon tampak dilatasi. Terlihat jelas zona transisional diantara ganglionic colon dan aganglionic colon (Georgeson, K. E., 2010)