VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

(1)

TESIS

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA

APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

DEWI PRIMA CHRISTIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA

APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

DEWI PRIMA CHRISTIAN NIM 1014028106

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA

APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

DEWI PRIMA CHRISTIAN NIM 1014028106

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 16 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. Gd Suwedagatha, SpB(K)Trauma FINACS Dr.dr. Nyoman Golden, SpBS(K)

NIP. 196208161988031001 NIP. 196203071989031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001


(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada TanggaL 16 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 487/UN14.4/HK/2016 ,Tanggal 18 Januari 2016

Penguji :

Ketua : dr. Gd Suwedagatha, SpB(K)Trauma FINACS Anggota :

1. Dr.dr. Nyoman Golden, SpBS(K) 2. Dr.dr. Wy Sudarsa, SpB(K)Onk

3. dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma FINACS 4. Dr.dr. Kt Putu Yasa, SpB-BTKV(K)


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yesus Kristus, karena hanya atas anugerah-Nya tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Gd Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma FINACS, selaku pembimbing pertama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan serta meluangkan waktu dan pemikiran dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada pembimbing kedua tesis ini, Dr.dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran serta meluangkan waktu kepada penulis untuk penyelesaian tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa


(7)

Program Studi Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa juga penulis ucapankan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K) FICS, M.Kes atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana dan yang telah memberikan kesempatan serta fasilitas pada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Ilmu Bedah di Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Bedah dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih kepada Kepala Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K), dan Kepala SMF Ilmu Bedah RSUP Sanglah Denpasar, dr. I.B. Darmaputra, Sp.B.KBD atas kesempatan yang telah diberikan dalam menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih ini Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma FINACS, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan yang sama ditujukan juga kepada Ketua Program Studi Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK. Terima kasih juga kepada para penguji tesis ini Dr.dr. Wy Sudarsa, Sp.B (K) Onk, dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma FINACS dan Dr.dr. Kt Putu Yasa, Sp.B-BTKV(K).

Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah dan juga guru senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah, dr. INW Steven


(8)

Christian, Sp.B (K) Onk yang selalu memberikan masukan, bimbingan dan semangat kepada penulis serta Ibu, Carmela Paulina Christian yang telah mengasuh dari kecil dan selalu memberi semangat kepada penulis. Terima kasih kepada Suami tercinta, Oral Robert Lalamentik serta anak-anak Stevianel dan Gavish tersayang yang telah sabar dan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk bisa menyelesaikan tesis ini.

Semoga Tuhan Yesus Kristus selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.


(9)

ABSTRAK

VALIDITAS RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT PADA APENDISITIS KOMPLIKATA DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Kasus apendisitis akut merupakan kasus tersering dibagian gawat darurat. Dibutuhkan diagnosa yang cepat serta penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Namun mendiagnosa apendisitis akut tidak selalu mudah untuk ditegakkan terutama pada pasien dengan gejala tidak khas. Adapun alat tolak ukur diagnosa yang lebih sederhana dan sensitif pada proses inflamasi apendisitis selain Alvarado score atau USG abdomen yaitu menilai angka neutrofil dan limfosit kemudian dirasiokan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

Penelitian dilakukan secara observasional analitik dengan menggunakan desain studi kohort dengan mengambil sampel penderita apendisitis akut yang menjalani apendisektomi di RSUP Sanglah Denpasar, periode Oktober – Desember 2015 . Data dikelompokkan menjadi dua kelompok : RNL dengan cut of point >5 dan RNL dengan cut of point ≤5 dan kemudian disesuaikan dengan temuan pemeriksaan histopatologi anatomi sebagai standart baku emas, komplikata dan non komplikata. Data tersebut kemudian dianalisa dengan analisa statistik deskriptif, kurva ROC analisis dan uji diagnostik.

Pada penelitian ini diperoleh 62 sampel, dengan median umur 23 tahun, 32 orang penderita laki-laki dan 30 orang penderita perempuan, 28 apendisitis non komplikata, 34 apendisitis komplikata. Dari area under ROC 0,6229 dengan 95%CI didapatkan cut of point RNL >5 pada apendisitis komplikata, RNL ≤5 pada apendisitis non komplikata. Uji diagnostik didapatkan nilai sensitivitas 85,3%, spesifisitas 39,3 % dan tingkat akurasi 64,5%.

Dapat disimpulkan bahwa RNL merupakan tolok ukur sederhana yang lebih baik untuk meramalkan apendisitis akut dibandingkan dengan penilaian

Alvarado Score dan USG abdomen serta valid untuk membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata melalui cut of point RNL.

Kata kunci : Apendisitis akut, Apendisitis komplikata, Apendisitis non komplikata, Rasio neutrofil limfosit (RNL) .


(10)

ABSTRACT

THE VALIDITY NEUTROPHIL LYMPHOCYTE RATIO OF COMPLICATED APPENDICITIS IN SANGLAH HOSPITAL CENTER

DENPASAR

Acute appendicitis is one of the most common cases in emergency units. Early diagnosis of acute appendicitis and make a decision quickly are need to prevent complication risk. But it is not always easy to make early diagnosis especially for patient with atypical symptoms. Laboratory test is a sensitive and simple parameter to make diagnosis appendicitis beside Alvarado score and USG. These are neutrophils and lymphocytes counts as the sensitive marker of the inflammatory process and can be described of the percentage of neutrophils to the lymphocytes ratio (NLR) in the circulation. The purpose of this study is to know the validity neutrophil lymphocyte ratio of complicated appendicitis.

A cohort study with observasional analitic was performed on patients whom diagnosed for acute appendicitis those undergoing appendectomy from October - December 2015. The data were into two grouped according to cut of point NLR >5 and NLR ≤5. This group were associated with postoperative histopathological examination as a gold standart, complicated and uncomplicated appendicitis. This study was analysed with descriptive analysis, ROC curve and diagnostic test.

Results of this study from total 62 sample, median age 23 years old, 32 male, 30 female, 28 uncomplicated appendicitis, 34 complicated appendicitis. The area underROC 0,6229 with 95%CI got the cut of point NLR were >5 assosiated with complicated appendicitis and NLR 5 assosiated with uncomplicated appendicitis. The sensitivity were 85,3 %, spesificity 39,3 % and accuracy rate 64,5%.

Based on this study it can be concluded, that NLR is the better marker and simple for diagnosis rather than Alvarado Score and USG, and valid to differentiate between complicated and uncomplicated appendicitis through cut of point NLR.

Key words: Acute Appendicitis, complicated appendicitis, uncomplicated appendicitis, neutrophil lymphocyte ratio (NLR).


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM………...i

PRASYARAT GELAR………...ii

LEMBAR PENGESAHAN.………...iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………...iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………....v

UCAPAN TERIMAKASIH………...vi ABSTRAK………..ix ABSTRACT………x DAFTAR ISI...xi DAFTAR TABEL...xiv DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG…………...xvi

DAFTAR LAMPIRAN………xvii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Tujuan Penelitian……….... 4

1.2.1 Tujuan Umum………. 4

1.2.2 Tujuan Khusus……… 4

1.3 Manfaat Penelitian………... 4

1.3.1 Manfaat Ilmiah ... 4

1.3.2 Manfaat Klinis ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 6

2.1 Apendisitis Non Komplikata... 6

2.1.1 Apendisitis Sederhana... 6

2.1.2 Apendisitis Purulenta………... 7


(12)

2.2.1 Apendisitis Ganggrenosa……… 9

2.2.2 Apendisitis Perforasi………... 10

2.3 Presentasi Klinis Apendisitis Akut... 10

2.3.1 Apendisitis Non Komplikata………... 10

2.3.2 Apendisitis Komplikata………... 13

2.4 Patofisiologi Apendisitis Akut dan Hubungan Dengan RNL.13 2.5 Penatalaksaan Apendisitis Akut... 15

2.5.1 Apendisitis Non Komplikata... 15

2.5.2 Apendisitis Komplikata... 16

2.6 Neutrofil Limfosit Rasio Sebagai Faktor Prediksi Apendisitis Komplikata……… 17

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS... 20

3.1 Kerangka Berpikir………...………. 20

3.2 Kerangka Konsep...………... 21

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN...…...…………... 22

4.1 Rancangan Penelitian………...…………... 22

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 23

4.3 Jenis dan Sumber Data………...……...…... 23

4.3.1 Variabilitas Populasi ………...………. 23

4.3.2 Kriteria Subjek…………... 23

4.3.3 Besaran Sampel……….. 24

4.3.4 Tehnik Penentuan Sampel……….. 25

4.4 Variabel Penelitian………... 25

4.4.1 Identifikasi Variabel………... 25

4.4.2 Definisi Operasional Variabel……… 25

4.5 Prosedur Penelitian... 26

4.6 Analisa Data... 29


(13)

5.1 Analisa Statistik Deskriptif……….. 32

5.2 Analisa Kurva ROC………... 33

5.3 Uji Validitas Pemeriksaan Rasio Neutrofil Limfosit Pada Apendisitis Komplikata………. . 34

BAB VII PEMBAHASAN……….. 36

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN……… 39

7.1 Simpulan………... 39

7.2 Saran………. 40

DAFTAR PUSTAKA... 41


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Tanda dan Gejala yang Paling Sering Terjadi pada Apendisitis... 12 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek dan Variabel Penelitian…………. 33 5.2 Uji Validitas Rasio Neutrofil Limfosit dan Hasil Histopatologi

Sampel Penderita Apendisitis Akut di RSUP Sanglah Bulan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Apendisitis Kataralis yang sudah Mengalami Inflamasi dan Edema

Pada Submukosa………... 7

2.2 Apendisitis Supuratif Tampak Gambar Apendik yang Meradang dengan Pelebaran Vaskular pada Seluruh Bagian Apendik………… 8

2.3 Apendisitis Gangrenosa, Menunjukkan Penebalan Jaringan Granular Kasar pada Serosa dengan Kongesti pada Ujung Apendik dan Eksudat Purulent Berwarna Kuning Keabuan dan Terdapat Pembesaran Diameter daripada Apendik………. 9

2.4 Apendisitis Perforasi……….. 10

2.5 McBurney’s Point……….. 11

2.6 Lokasi Posisi Apendiks………... 12

3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian………... 21

4.1 Bagan Rancangan Penelitian... 22

4.2 Bagan Alur Prosedur Penelitian... 28

4.3 Gambaran Kurva ROC………... 30

5.1 Kurva ROC Kemampuan Rasio Neutrofil Limfosit dalam Memprediksi Apendisitis Komplikata dengan Hasil Histopatologi Anatomi Sebagai Baku emas……… 34


(16)

DAFTAR ARTI SINGKATAN DAN LAMBANG SINGKATAN

CI : Confidence Interval

DL : Darah Lengkap

DM : Diabetes Millietus IQR : Interquartil Range IRD : Instalasi Rawat Darurat NLR : Neutrophil Lymphocyte Ratio

PMN : Polymorphonuclear RNL : Rasio Neutrofil Limfosit N/L : Neutrofil banding Limfosit

ROC : Receiver Operating Characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

Max : Maximal

Min : Minimal

USG : Ultrasonography

LAMBANG

> : Lebih Besar dari

≤ : Kurang Sama Dengan

- : Hingga

% : Persen

: : Banding

0

C : Derajat Celcius / : Per atau Banding


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ………... 44

Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik Penelitian ……….. 45

Lampiran 3. Data Sampel Pasien Apendisitis Akut……… 46


(18)

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan kasus pembedahan darurat nyeri perut akut terbanyak sekitar 10%, terjadi pada semua golongan usia terutama usia 20-30 tahun dengan angka insiden paling banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 1,4 : 1 (Froggatt dan Harmston, 2011).

Amerika Serikat angka insiden apendisitis akut adalah 1 per 1000 orang. Risiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya adalah sekitar 6-9%. Data di Di Inggris menyatakan jumlah penderita apendisitis akut di Rumah Sakit didapatkan sebanyak 40.000 setiap tahunnya. Mortalitasnya cukup tinggi terutama jika mengenai orang usia tua yaitu antara 28-60% (Humes dan Simpson, 2011).

Di Indonesia angka insiden apendisitis cukup tinggi, dan terjadi peningkatan jumlah pasien dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, kasus apendisitis di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia. Menurut Dinkes Provinsi Bali pada tahun 2009, apendisitis menduduki peringkat 5 penyakit rawat inap RSUD se-Bali, tercatat 2162 kasus (Anonim, 2009).

Berdasarkan data peningkatan angka insiden tersebut, kasus apendisitis akut memerlukan penanganan yang tepat serta penegakan diagnosa yang cepat.


(20)

2

Keterlambatan diagnosis akan berdampak pada penanganannya dengan segala komplikasi yang akan terjadi. Komplikasi yang akan terjadi yaitu apendisitis komplikata seperti gangrenosa, perforasi bahkan dapat terjadi peritonitis generalisata. Morbiditas dan mortalitas akan meningkat sesuai dengan peningkatan komplikasi yang ditemukan (Simpson dan Scholefield , 2008).

Apendisitis komplikata dapat terjadi oleh karena beberapa faktor baik dalam kecepatan penegakan diagnosa atau keterlambatan pasien akibat kurangnya pengetahuan. Beberapa pasien yang menunjukkan gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas dapat menyebabkan kesalahan dalam diagnosis dan keterlambatan dalam hal penanganannya. Penanganan apendisitis komplikata seperti peritonitis akibat perforasi adalah laparotomi dan ini merupakan tindakan yang besar dengan resiko morbiditas yang tinggi sehingga pasien akan membutuhkan perawatan lebih lama di rumah sakit (Schizahs dan Williams, 2010; Rodney, 2014).

Beberapa pasien yang datang dengan gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti USG abdomen dan ini akan memakan waktu lebih lama dalam penegakan diagnosa serta pasien akan mengeluarkan biaya yang lebih mahal. Adapun kelemahan pemeriksaan dengan USG ini adalah masih bersifat subjektif (operator dependent), tidak banyak memberikan informasi yang akurat serta tidak dapat membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata. Pemeriksaan lainnya yaitu menilai Alvarado Score, namun sistem skoring ini pun masih memiliki kelemahan yaitu bersifat subyektif dan tidak bisa membedakan apendisitis non komplikata dan komplikata. (Kahramanca et al, 2014; Ohle R et al, 2011 ).


(21)

3

Salah satu pemeriksaan lainnya pada pasien apendisitis adalah pemeriksaan laboratorium dengan menilai leukosit dan juga neutrofil. Pemeriksaan ini merupakan test yang sensitif untuk apendisitis tetapi memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnostik apendisitis dan belum bisa dipakai untuk membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata. Adapun pemeriksaan lainnya yang terbukti memiliki sensitivitas lebih tinggi untuk mendiagnosa apendisitis yaitu menilai angka neutrofil dan limfosit kemudian dirasiokan. Hasil rasio neutrofil limfosit yang tinggi akan menunjukkan inflamasi yang berat seperti apendisitis komplikata (Nasution, 2011; Kahramanca et al, 2014).

Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai validitas dari rasio neutrofil limfosit ini pada apendisitis komplikata. Adapun keuntungan dari pemeriksaan ini yaitu pemeriksaan yang bersifat objektif, murah, cepat dan fasilitas ini tersedia di semua Rumah Sakit. Penelitian ini pun belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Sanglah Denpasar dan selama ini parameter pemeriksaan lanjutan pada apendisitis akut di RSUP sanglah Denpasar hanya dengan berdasarkan hasil labotarorium rutin, Alvarado Score, dan USG abdomen. Peniliti berharap dengan parameter rasio neutrofil limfosit ini dapat dijadikan suatu parameter yang lebih baik untuk menilai apendistis terutama dapat membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata sehingga penanganan yang diberikan pada pasien pun akan tepat.


(22)

4

1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui validitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui nilai sensitivitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

2. Untuk mengetahui nilai spesifisitas rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

3. Untuk menilai akurasi rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

4. Untuk mengetahui nilai prediktif positif rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata.

5. Untuk mengetahui nilai prediktif negatif rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata

1.3 Manfaat Penelitian 1.3.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan rasio neutrofil limfosit pada apendisitis komplikata sebagai faktor prediktor. Hasil penelitian yang didapatkan juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya mengenai penanda diagnostik pada apendisitis komplikata.


(23)

5

1.3.2 Manfaat Klinis

Validitas rasio neutrofil limfosit dapat dipergunakan sebagai parameter dasar untuk mendeteksi diagnosa apendisitis komplikata dan sebagai dasar pertimbangan penatalaksanaan terutama untuk apendisitis komplikata .


(24)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Apendisitis adalah infeksi pada apendik karena tersumbatnya lumen oleh fekalit (batu feses), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada usia 20-30 tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat pada apendisitis perforasi. Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sekitar 6-9% (Prytowsky, 2005; Andersson, 2007). Angka insiden apendisitis akut paling banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 1,4: 1 (Froggatt dan Harmston, 2011).

Rata–rata mortalitas akibat apendisitis akut ini secara keseluruhan dapat mencapai 0,3% dan meningkat menjadi 6,5% apabila terjadi apendisitis komplikata. Pada apendisitis akut ada dua klasifikasi berdasarkan klinikopatologis yaitu non komplikata (apendisitis kataralis dan supuratif) dan komplikata (gangrenosa dan perforasi ) (Prytowsky, 2005).

2.1 Apendisitis Non Komplikata

2.1.1 Apendisitis Sederhana (Apendisitis Kataralis)

Pada bentuk akut ini, mukosa apendik mengalami inflamasi, submukosa edema dan dikeliling oleh round cells sehingga bentuk apendik terlihat bengkak dan kaku. Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa yang disebabkan oleh obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendik dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa


(25)

7

apendik jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala klinis diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan apendik berukuran normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. Apendisitis akut pada pemeriksaan histologi dijumpai adanya infiltrasi sel-sel limfosit dan neutrofil didalam lapisan otot apendik (Robbins, 2015).

Gambar 2.1

Apendisitis kataralis yang sudah mengalami inflamasi dan edema pada submukosa (Robbins, 2015)

2.1.2 Apendisitis Purulenta (Apendisitis Supuratif)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendik dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendik. Mikroorganisme yang ada di usus besar akan mengalami translokasi ke dalam dinding apendik menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendik dan mesoapendik terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan


(26)

8

peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Rasa nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Robbins, 2015) .

Gambar 2.2

Apendisitis supuratif tampak gambar apendik yang meradang dengan pelebaran vaskular pada seluruh bagian apendik (Robbins, 2015)

2.2 Apendisitis Komplikata

Apendisitis komplikata dapat diartikan sebagai keadaan apendik yang gangrenosa, perforasi, abses maupun peritonitis. Pasien dengan apendisitis komplikata akan menunjukkan tanda–tanda infeksi sistemik. Sementara itu pada anak-anak dan orang tua menunjukkan peningkatan risiko perforasi yang lebih tinggi, wanita mempunyai kemungkinan resiko yang lebih rendah untuk terjadinya apendisitis perforasi pada kasus apendisitis akut. Keterlambatan diagnosis dan terapi pembedahan pada pasien dengan apendisitis akut menjadi penyebab utama terjadinya perforasi apendik. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien-pasien dengan apendisitis perforasi yang mendapatkan tindakan bedah


(27)

9

dapat mencapai 10 x lipat. Saat ini pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya apendisitis perforasi adalah pasien yang usia sangat muda, pasien usia tua, pasien dengan penurunan sistem imun tubuh (Prytowsky, 2005).

2.2.1 Apendisitis Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendik mengalami gangrene pada bagian tertentu. Dinding apendik berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan cairan peritoneal yang purulent(Robbins, 2014).

Gambar 2.3

Apendisitis gangrenosa, menunjukkan penebalan jaringan granular kasar pada serosa dengan kongesti pada ujung apendik dan eksudat purulent berwarna kuning keabuan dan terdapat pembesaran diameter daripada apendik (Robbins, 2014)


(28)

10

2.2.2 Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendik yang sudah gangrenosa yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendik tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Robbins, 2014).

Gambar 2.4

Apendisitis perforasi (Robbins, 2014)

2.3 Presentasi Klinis Apendisitis Akut 2.3.1 Apendisitis non komplikata

Karakteristik yang tampak pada apendisitis akut non komplikata adalah nyeri perut yang memberat dalam hitungan waktu 12 hingga 24 jam. Sebanyak 95% pasien apendisitis datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Awal nyeri tersebut dapat dirasakan dari perut bagian tengah kemudian dalam waktu 24 jam berpindah ke fosa iliaka kanan, bersifat tajam, dan kostan. Penjalaran nyeri dari daerah preumbilikal menuju ke perut kanan bawah adalah merupakan


(29)

11

gambaran yang paling umum dan khas pada pasien dengan apendisitis akut. Penemuan gejala ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas hampir 80% (Korner

et al, 2001; Petroniau, 2012).

Nyeri abdomen tersebut akan bersifat menetap di perut kanan bawah yang akan bertambah nyeri bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Pada pasien dengan apendisitis akut juga dirasakan panas badan (sekitar 380C). Anoreksia, mual, dan muntah dapat timbul beberapa jam kemudian. Dalam waktu 6 hingga 12 jam terjadi proses inflamasi yang terus meningkat pada organ sekitar apendik sehingga nyeri bertambah kuat dan terlokalisir di perut kanan bawah atau pada area

McBurney, tampak pada gambar dibawah ini (Prytowsky, 2005).

Gambar 2.5

McBurney’s point (Simpson dan Scholefield , 2008)

Pada nyeri perut apendisitis dapat dipengaruhi dari posisi apendik. Anatomi lokasi apendik terdapat 5 posisi yaitu antecaecal, retrocaecal, anteileal, retroileal dan pelvic. Seperti pada gambar dibawah ini :


(30)

12

Gambar 2.6

Lokasi posisi apendik (Simpson dan Scholefield , 2008)

Menurut John B. Murphy penilaian pasien dengan apendisitis dapat dilihat dari gejalanya seperti adanya nyeri perut, anoreksia, nyeri tekan (tenderness), demam dan disertai leukositosis. Gejala dari apendisitis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1

Tanda dan gejala yang paling sering terjadi pada apendisitis (Bennion dan Thompson, 1995)


(31)

13

2.3.2 Apendisitis komplikata

Gejala klinis yang tampak pada apendisitis komplikata adalah nyeri perut yang semakin memberat, dirasakan hampir seluruh perut dengan onset waktu terjadinya proses inflamasi lebih dari 24 jam disertai panas badan >380C dan takikardi, gejala klinis ini merupakan tanda terjadinya perforasi (Livingston et al, 2007). Berdasarkan salah satu penelitian, muntah dan febris lebih sering didapatkan pada penderita dengan apendisitis komplikata (Korner et al, 2001; Petroniau, 2012).

Sekitar 20-30% pasien apendisitis datang dengan kondisi perforasi, 50% terjadi pada anak-anak dan usia tua. Insiden yang tinggi ini dapat terjadi akibat terlambatnya diagnosis pasien (Prystowsky et al, 2005).

Keadaan ini dapat mengakibatkan peningkatan inflamasi yang lebih berat seperti terjadinya sepsis bahkan mortalitas pada pasien jika tidak tertangani dengan cepat dan baik (Prytowsky, 2005).

2.4 Patofisiologi Apendisitis dan Hubungannya Dengan Rasio Neutrofil Limfosit (RNL)

Apendisitis merupakan peradangan apendik yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya apendisitis. Obstruksi intraluminal apendik menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding apendik. Sirkulasi darah pada dinding apendik akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding apendik. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme (bakteri) yang ada di


(32)

14

usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Apendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut apendisitis akut supuratif. Edema dinding apendik menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi gangrenosa, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding apendik tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti. Apendik yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Nasution, 2011).

Berbagai jenis bakteri yang terdapat pada apendisitis akut saat proses infeksi akan tampak pada pemeriksaan laboratorium. Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan pada apendisitis akut adalah bakteri gram negatif terutama

Escherichia coli (76%), Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) and

Pseudomonas (20%) (Petroianu, 2012).

Pada pemeriksaan laboratorium bukan hanya ditemukan bakteri saja melainkan nilai leukosit yang meningkat oleh karena proses infeksi. Pada


(33)

15

penderita apendisitis akan ditemukan nilai leukosit yang meningkat di atas 10.000/m3 dan neutrofil diatas 80% dengan rentang normal 47-80% (Lawrence, 2003; Xharra et al, 2012). Nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat secara bersamaan saat fase akut terjadinya apendisitis dan akan semakin meningkat pada apendisitis komplikata sedangkan nilai limfosit jarang terjadinya peningkatan pada fase akut bahkan nilai limfosit akan jauh berkurang pada apendisitis ganggrenosa atau komplikata. Nilai neutrofil dan limfosit apabila dibandingkan dalam bentuk rasio akan menunjukkan nilai yang tinggi pada apendisitis komplikata. Hal ini sudah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya Kahramanca (2014) yang menyatakan bahwa rasio neutrofil limfosit memiliki sensitivitas yang tinggi sekitar 70,8 % untuk mendiagnosa apendisitis komplikata (Zuhoor, 2012; Kahramanca et al, 2014).

2.5 Penatalaksanaan Apendisitis Akut 2.5.1 Apendisitis non komplikata

Pada umumnya penanganan apendisitis akut adalah dilakukan tindakan pembedahan atau apendisektomi. Tindakan ini merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah/ mengurangi angka morbiditas. Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan, dapat pula dilakukan apendektomi laparoskopi (Ellis, 1997; Guller et al, 2004).

Pada apendisitis akut non komplikata lebih banyak dilakukan tindakan apendisektomi dengan alasan life saving dan mencegah terjadinya komplikata seperti perforasi. Pada penelitian yang terbaru menyatakan bahwa apendisitis akut non komplikata dapat diberikan terapi konservatif seperti pemberian antibiotika


(34)

16

untuk mengurangi proses inflamasi pada nyeri perut. Tidak dianjurkan untuk pemberian obat analgesia karena hal tersebut justru akan mengaburkan gejala. Preoperative semua pasien harus mendapatkan antibiotika spectrum luas (1-3 dosis) untuk menurunkan risiko infeksi postoperatif dan pembentukan abses intra abdomen (Kamran et al, 2008; Wray et al, 2013).

2.5.2 Apendisitis komplikata

Apendisektomi merupakan indikasi apendisitis komplikata untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk atau kematian. Beberapa literatur menyatakan penanganan apendisitis komplikata dapat diterapi dengan pemberian antibiotika kemudian pembedahan merupakan alternatif kedua. Hingga saat ini dokter bedah masih dilema dengan beberapa kasus apendisitis akut terutama dalam hal penanganan, keputusan apendisektomi yang segera dilakukan tergantung kondisi pasien saaat dilakukan pemeriksaan (Wray et al, 2013).

Pemberian antibiotika sebagai terapi utama dan dilakukannya apendisektomi segera merupakan penanganan yang tepat pada apendisitis komplikata. Sangat diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti dalam mendiagnosa apendisitis akut baik melalui anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Mengingat banyak hal yang dipertimbangkan seperti biaya, lamanya perawatan serta komplikasi yang akan terjadi. Apendisitis komplikata dari segi biaya akan jauh lebih mahal untuk tindakan dan perawatan dirumah sakit akan lebih lama serta komplikasi pasca operasi lebih tinggi (Simpson dan Scholefield, 2008).


(35)

17

2.6 Rasio Neutrofil Limfosit Sebagai Faktor Prediksi Apendisitis Komplikata

Mendiagnosa apendisitis akut tidak selalu mudah dan hal ini membuat para ahli bedah dilema dalam memutuskan penanganan yang akan diberikan baik berupa observasi ataupun tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti perforasi dan peritonitis. Keputusan tindakan operasi dengan mengangkat apendik yang normal akibat diagnosa yang salah merupakan tindakan yang tidak tepat dan mengakibatkan resiko morbiditas pada pasien (Schellekens, 2013; Mason, 2012).

Beberapa studi lainnya menyatakan bahwa mendiagnosa apendisitis akut berdasarkan klinis nyeri perut kanan bawah dan leukositosis saja tidak cukup karena penilaian tersebut memiliki nilai prediktor yang tidak konstan dan tingkat akurasinya masih diragukan. Penilaian laboratorium dengan nilai leukosit dan neutrofil merupakan test yang sensitif untuk apendisitis tetapi memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnostik apendisitis terutama untuk menentukan tindakan apendisitis akut (Zuhoor, 2012; Kahramanca et al, 2014).

Pemeriksaan lainnya untuk menunjang diagnosa apendisitis yaitu USG abdomen atau computed tomography. Biasanya dikerjakan pada pasien yang datang dengan gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas. Kelemahan pemeriksaan penunjang ini adalah bersifat subjektif (operator dependent), tidak banyak memberikan informasi yang akurat, memiliki tingkat akurasi yang rendah (75%) dan tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas yang tergolong mahal ini.


(36)

18

Alat USG ini pun tidak dapat membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata (Ohle R et al, 2011; Kahramanca et al, 2014).

Pemeriksaan lainnya yaitu menilai apendisitis dengan Alvarado Score,

namun sistem skoring ini kurang sensitif menilai apendisitis akut. Beberapa kelemahan lainnya adalah bersifat subyektif, nilai sensitivitas hanya 68% dan tidak bisa membedakan apendisitis non komplikata dan komplikata. Oleh karena itu, untuk mendiagnosa apendisitis akut diperlukan alat bantu yang lebih akurat, mudah, murah dan cepat serta tersedia di semua rumah sakit (Chong et al, 2010).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai prediktor suatu inflamasi dan sangat berguna untuk diagnosa preoperatif apendisitis akut. Rasio neutrofil limfosit ini memiliki tingkat akurasi diagnostik yang tinggi sekitar 0,836 serta nilai sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan menilai leukositosis saja atau USG abdomen yang tingkat akurasi lebih rendah sekitar 0,779 (Muhamad et al, 2010; Markar et al, 2010). Peningkatan nilai rasio neutrofil limfosit akan terlihat pada fase awal inflamasi apendik. Peningkatan terjadi 85-95% pada proses infeksi yang berat seperti apendisitis komplikata (Kahramanca et al, 2014; Goulart et al, 2012; Xia et al, 2014).

Kahramanca (2014) menyatakan bahwa rasio neutrofil limfosit merupakan parameter yang sensitif sebagai prediktor preoperatif apendisitis akut dan dapat membedakan nilai diferensial komplikata maupun non komplikata. Pada hasil penelitiannya di Diskapi Yildirim Beyazit Training and Research Hospital Turki tahun 2014, didapatkan bahwa rasio neutrofil limfosit memiliki sensitivitas 70,8%


(37)

19

pada apendisitis komplikata, spesifisitas 48,5% dan didapatkan cut of point rasio neutrofil limfosit apendisitis komplikata >5 (Kahramanca et al, 2014).

Penelitian di Tochigi Jepang didapatkan nilai cut of point rasio neutrofil limfosit (<8/≥8) pada sampel pasien apendisitis akut yang diteliti dan telah dilakukan apendisektomi. Dengan penilaian apendisitis komplikata memiliki cut of point rasio neutrofil limfosit ≥8(Ishizuka et al, 2012).

Dengan hasil kesimpulan dari beberapa penelitian, rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai prediktor dan tolak ukur diagnostik apendisitis akut karena memiliki nilai sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi untuk membedakan apendisitis non komplikata dan komplikata. Parameter ini juga tergolong murah, mudah, cepat bersifat objektif dan tersedia disemua rumah sakit sehingga memudahkan para ahli bedah dalam memberikan diagnosa dengan cepat serta penanganan yang tepat bagi pasien.


(1)

usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Apendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut apendisitis akut supuratif. Edema dinding apendik menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi gangrenosa, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding apendik tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti. Apendik yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Nasution, 2011).

Berbagai jenis bakteri yang terdapat pada apendisitis akut saat proses infeksi akan tampak pada pemeriksaan laboratorium. Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan pada apendisitis akut adalah bakteri gram negatif terutama Escherichia coli (76%), Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) and Pseudomonas (20%) (Petroianu, 2012).

Pada pemeriksaan laboratorium bukan hanya ditemukan bakteri saja melainkan nilai leukosit yang meningkat oleh karena proses infeksi. Pada


(2)

penderita apendisitis akan ditemukan nilai leukosit yang meningkat di atas 10.000/m3 dan neutrofil diatas 80% dengan rentang normal 47-80% (Lawrence, 2003; Xharra et al, 2012). Nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat secara bersamaan saat fase akut terjadinya apendisitis dan akan semakin meningkat pada apendisitis komplikata sedangkan nilai limfosit jarang terjadinya peningkatan pada fase akut bahkan nilai limfosit akan jauh berkurang pada apendisitis ganggrenosa atau komplikata. Nilai neutrofil dan limfosit apabila dibandingkan dalam bentuk rasio akan menunjukkan nilai yang tinggi pada apendisitis komplikata. Hal ini sudah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya Kahramanca (2014) yang menyatakan bahwa rasio neutrofil limfosit memiliki sensitivitas yang tinggi sekitar 70,8 % untuk mendiagnosa apendisitis komplikata (Zuhoor, 2012; Kahramanca et al, 2014).

2.5 Penatalaksanaan Apendisitis Akut 2.5.1 Apendisitis non komplikata

Pada umumnya penanganan apendisitis akut adalah dilakukan tindakan pembedahan atau apendisektomi. Tindakan ini merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah/ mengurangi angka morbiditas. Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan, dapat pula dilakukan apendektomi laparoskopi (Ellis, 1997; Guller et al, 2004).

Pada apendisitis akut non komplikata lebih banyak dilakukan tindakan apendisektomi dengan alasan life saving dan mencegah terjadinya komplikata seperti perforasi. Pada penelitian yang terbaru menyatakan bahwa apendisitis akut non komplikata dapat diberikan terapi konservatif seperti pemberian antibiotika


(3)

untuk mengurangi proses inflamasi pada nyeri perut. Tidak dianjurkan untuk pemberian obat analgesia karena hal tersebut justru akan mengaburkan gejala. Preoperative semua pasien harus mendapatkan antibiotika spectrum luas (1-3 dosis) untuk menurunkan risiko infeksi postoperatif dan pembentukan abses intra abdomen (Kamran et al, 2008; Wray et al, 2013).

2.5.2 Apendisitis komplikata

Apendisektomi merupakan indikasi apendisitis komplikata untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk atau kematian. Beberapa literatur menyatakan penanganan apendisitis komplikata dapat diterapi dengan pemberian antibiotika kemudian pembedahan merupakan alternatif kedua. Hingga saat ini dokter bedah masih dilema dengan beberapa kasus apendisitis akut terutama dalam hal penanganan, keputusan apendisektomi yang segera dilakukan tergantung kondisi pasien saaat dilakukan pemeriksaan (Wray et al, 2013).

Pemberian antibiotika sebagai terapi utama dan dilakukannya apendisektomi segera merupakan penanganan yang tepat pada apendisitis komplikata. Sangat diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti dalam mendiagnosa apendisitis akut baik melalui anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Mengingat banyak hal yang dipertimbangkan seperti biaya, lamanya perawatan serta komplikasi yang akan terjadi. Apendisitis komplikata dari segi biaya akan jauh lebih mahal untuk tindakan dan perawatan dirumah sakit akan lebih lama serta komplikasi pasca operasi lebih tinggi (Simpson dan Scholefield, 2008).


(4)

2.6 Rasio Neutrofil Limfosit Sebagai Faktor Prediksi Apendisitis Komplikata

Mendiagnosa apendisitis akut tidak selalu mudah dan hal ini membuat para ahli bedah dilema dalam memutuskan penanganan yang akan diberikan baik berupa observasi ataupun tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti perforasi dan peritonitis. Keputusan tindakan operasi dengan mengangkat apendik yang normal akibat diagnosa yang salah merupakan tindakan yang tidak tepat dan mengakibatkan resiko morbiditas pada pasien (Schellekens, 2013; Mason, 2012).

Beberapa studi lainnya menyatakan bahwa mendiagnosa apendisitis akut berdasarkan klinis nyeri perut kanan bawah dan leukositosis saja tidak cukup karena penilaian tersebut memiliki nilai prediktor yang tidak konstan dan tingkat akurasinya masih diragukan. Penilaian laboratorium dengan nilai leukosit dan neutrofil merupakan test yang sensitif untuk apendisitis tetapi memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnostik apendisitis terutama untuk menentukan tindakan apendisitis akut (Zuhoor, 2012; Kahramanca et al, 2014).

Pemeriksaan lainnya untuk menunjang diagnosa apendisitis yaitu USG abdomen atau computed tomography. Biasanya dikerjakan pada pasien yang datang dengan gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas. Kelemahan pemeriksaan penunjang ini adalah bersifat subjektif (operator dependent), tidak banyak memberikan informasi yang akurat, memiliki tingkat akurasi yang rendah (75%) dan tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas yang tergolong mahal ini.


(5)

Alat USG ini pun tidak dapat membedakan apendisitis komplikata dan non komplikata (Ohle R et al, 2011; Kahramanca et al, 2014).

Pemeriksaan lainnya yaitu menilai apendisitis dengan Alvarado Score, namun sistem skoring ini kurang sensitif menilai apendisitis akut. Beberapa kelemahan lainnya adalah bersifat subyektif, nilai sensitivitas hanya 68% dan tidak bisa membedakan apendisitis non komplikata dan komplikata. Oleh karena itu, untuk mendiagnosa apendisitis akut diperlukan alat bantu yang lebih akurat, mudah, murah dan cepat serta tersedia di semua rumah sakit (Chong et al, 2010).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai prediktor suatu inflamasi dan sangat berguna untuk diagnosa preoperatif apendisitis akut. Rasio neutrofil limfosit ini memiliki tingkat akurasi diagnostik yang tinggi sekitar 0,836 serta nilai sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan menilai leukositosis saja atau USG abdomen yang tingkat akurasi lebih rendah sekitar 0,779 (Muhamad et al, 2010; Markar et al, 2010). Peningkatan nilai rasio neutrofil limfosit akan terlihat pada fase awal inflamasi apendik. Peningkatan terjadi 85-95% pada proses infeksi yang berat seperti apendisitis komplikata (Kahramanca et al, 2014; Goulart et al, 2012; Xia et al, 2014).

Kahramanca (2014) menyatakan bahwa rasio neutrofil limfosit merupakan parameter yang sensitif sebagai prediktor preoperatif apendisitis akut dan dapat membedakan nilai diferensial komplikata maupun non komplikata. Pada hasil penelitiannya di Diskapi Yildirim Beyazit Training and Research Hospital Turki tahun 2014, didapatkan bahwa rasio neutrofil limfosit memiliki sensitivitas 70,8%


(6)

pada apendisitis komplikata, spesifisitas 48,5% dan didapatkan cut of point rasio neutrofil limfosit apendisitis komplikata >5 (Kahramanca et al, 2014).

Penelitian di Tochigi Jepang didapatkan nilai cut of point rasio neutrofil limfosit (<8/≥8) pada sampel pasien apendisitis akut yang diteliti dan telah dilakukan apendisektomi. Dengan penilaian apendisitis komplikata memiliki cut of point rasio neutrofil limfosit ≥8 (Ishizuka et al, 2012).

Dengan hasil kesimpulan dari beberapa penelitian, rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai prediktor dan tolak ukur diagnostik apendisitis akut karena memiliki nilai sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi untuk membedakan apendisitis non komplikata dan komplikata. Parameter ini juga tergolong murah, mudah, cepat bersifat objektif dan tersedia disemua rumah sakit sehingga memudahkan para ahli bedah dalam memberikan diagnosa dengan cepat serta penanganan yang tepat bagi pasien.