Kebijakan nasionalisme minyak dan gas serta legalisasi koka di Bolivia dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini menjelaskan kebijakan Bolivia dalam menghadapi hegemoni
Amerika Serikat (AS), tujuannya adalah merestrukturisasi sendi perekonomian
Bolivia akibat privatisasi aset-aset negara dan pemberantasan ladang koka di
Bolivia yang dilakukan oleh pemerintah AS. Kemudian analisa penelitian ini
difokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi Bolivia dalam membuat
kebijakan menghadapi hegemoni AS.
AS ingin menyatukan benua Amerika melalui Doktrin Monroe yang
merupakan pidato tahunan Presiden James Monroe kepada kongres guna
menyampaikan penolakan untuk mentoleransi perluasan lebih lanjut dominasi
Eropa di Amerika. Dia menyatakan “Tanah Amerika, mulai sekarang tidak boleh
lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh bangsa Eropa. “Kita Harus menganggap
setiap usaha mereka untuk memperluas sistem politik di bagian manapun di benua
ini
sebagai
bahaya
bagi
kedamaian,
dan
keselamatan
kita”.
( http:/www.ushistory.org/documents/monroe.html,)
Sejak tahun 1823. Doktrin Monroe ini menetapkan Amerika Latin sebagai
bagian halaman belakang (backyard) dunia barat (Western Hemisphere) AS. Sejak
awal, AS telah menjadikan kebijakan isolasionis-defensif (defesive-isolationist)
sebagai langkah awalnya untuk mendominasi Amerika Latin yang dimulai sejak
1
2
1890. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Doktrin Monroe. (Meiertones,
2010:30)
Meskipun Doktrin Monroe ini berorientasi untuk membatasi intervensi
negara-negara Eropa di benua Amerika (Meiertones, 2010: 30), di sisi lain, AS
juga memiliki hak intervensi terhadap negara-negara Amerika Latin dengan cara
yang bervariasi sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Artinya, AS
melindungi wilayah Amerika Latin secara ketat untuk mencegah pengaruh lain
yang merugikan kepentingan AS. (Renehan, 2007:108)
Dasar lain kebijakan intervensi AS adalah Roosevelt Corollary yang
merupakan Pidato Tahunan Presiden Roosevelt pada Desember 1904. Roosevelt
Corollary ini memperkuat Doktrin Monroe. Presiden Roosevelt mendefinisikan
Amerika Latin, terutama Kepulauan Karibia, sebagai kawasan yang dilindungi
oleh AS. (Rabe, 2011:275)
Esensinya, AS mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai polisi internasional
melalui justifikasi unilateral untuk meningkatkan intervensinya ke negara-negara
Amerika Latin. Doktrin Monroe berikut Roosevelt Corollary ini juga menjadi
landasan kebijakan intervensionis AS di Dunia Ketiga.Dalam perkembangan
selanjutnya,
doktrin-doktrin
seperti
Reagan
yang
menyatakan
akan
mengintervensi Nikaragua untuk melawan pemerintahan Sandinista, sehingga
intervensi menjadi tindakan legal bagi AS. (Meiertones, 2010:156)
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Perang Dingin kebijakan
intervensionis ini seringkali dipakai AS sebagai pilihan instrumen politik luar
negerinya untuk mengubah pemerintah diberbagai negara. Dalam konteks
3
bipolaritas Perang Dingin, keterlibatan AS dalam proses perubahan rezim di
negara
lain
dapat
dijelaskan
dalam
kerangka
politik
pembendungan
(containment), yaitu sebagai usaha AS untuk menangkal penyebaran pengaruh
ideologi dan kepentingan Uni Soviet. (Akhtar, 2003:94)
Salah satu negara Amerika Latin yang kini menjadi perhatian AS adalah
Bolivia. Pada tahun 1985 AS mulai mendominasi Bolivia melalui perusahaan
asing dan beberapa perusahaan AS disektor ekonomi, yaitu, melalui penguasaan
AS terhadap perusahaan telekomunikasi, perusahaan, penerbangan, perusahaan
listrik negara, perusahaan kereta api,serta yang paling utama di sektor minyak dan
gas (migas) akibat privatisasi. (Kohl, 2006:109)
Pada masa periode pertama pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada pada
tahun 1993-1997, AS berupaya mereformasikan perekonomian Bolivia melalui
privatisasi. Yakni, dengan menerapkan kebijakan ekonomi dan struktural politik
yang salah satunya melalui implementasi Undang-Undang Kapitalisasi. (Sachs,
2005:90-108)
Kebijakan ini lahir atas tekanan dari Bank Dunia dan International
Monetary Found (IMF) dengan dukungan AS (Kohl, 2006:107). Undang-Undang
tersebut menetapkan otorisasi penjualan minyak dan gas (migas) negara,
perusahaan telekomunikasi, perusahaan penerbangan, perusahaan listrik negara,
perusahaan kereta api, serta perusahaan peleburan biji besi (Kohl, 2006:109).
Sementara itu, pada masa pemerintah Hugo Banzer periode 1997-2001,
Bolivia dihadapkan pada kepentingan AS untuk menutup pintu masuk peredaran
kokain di AS yang berasal dari Bolivia. Kemudian, melalui bantuan keuangan dan
4
militer AS, Bolivia menerapkan kebijakan penghapusan penanaman koka.
(Gordon,2006:16) Selain itu, pemerintah Hugo Banzer juga melakukan privatisasi
terhadap perusahaan air minum negara. (Chan,2007:5)
Sebelum kebijakan privatisasi aset-aset nasional, perekonomian Bolivia
diwarnai dengan kemajuan di sektor pertambangan timah. Namun, sejak awal
1980-an, perekonomian Bolivia mengalami kemunduran dengan jatuhnya harga
timah yang berdampak pada sumber pemasukan Bolivia dan di sektor
pertambangan timah. (Kohl, 2006:54)
Tingkat Gross Domestic Product (GDP) menurun 9,2% antara tahun 19811986, yaitu dari 5,99 miliar Dollar AS menjadi 4,79 miliar Dollar AS. Hal ini juga
diiringi dengan tingkat hutang yang besar, yaitu mencapai 3,8 miliar Dollar AS
pada tahun 1982. (Kohl, 2006:55)
Dengan tingkat hutang yang demikian besar dan terjadinya kemunduran di
sektor perekonomian, maka pemerintah Bolivia mencoba mengambil jalan keluar
dengan memotong pembayaran hutang sebesar 25%. Pemotongan pembayaran
hutang ini mengakibatkan kekhawatiran di pihak kreditor sehingga membekukan
aset-aset Bolivia yang berada diluar negeri. (Kohl, 2006:55)
Oleh
karena
mengimplementasikan
itu
sejak
stabilisasi
struktural. Antara lain, dengan
tahun
program
1985,
pemerintah
makroekonomi
dan
Bolivia
reformasi
mengurangi keterlibatan pemerintah dan
meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasionalnya. Hal ini
dituangkan ke dalam Dekrit Presiden 21060 yang merupakan inisiatif rancangan
dari teknokrat Bolivia dukungan komunitas bisnis (Kohl, 2006:65).
5
Hal ini tentu saja mendapatkan dukungan dari IMF, Bank Dunia,serta
Bank Pembangunan antar-Amerika (IADB/Inter-American Development Bank)
serta AS sehingga menjadikan sebagai Bolivia model pembangunan ekonomi
neoliberal di Amerika Latin. (Kohl 2006:66)
Dampak dari ekonomi neoliberal tersebut menimbulkan perlawanan dan
kritik dari negara-negara Amerika Latin sebelum 1998, keadaan Amerika Latin
dibawah kontrol AS. Namun sejak 1998, sejumlah negara seperti Venezuela,
Kuba, terus melancarkan kritik terhadap dominasi AS akibat kegagalan
neoliberalisme dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan
kepada rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi masyarakat terus terjadi menuntut
terwujudnya keadilan sosial (Suyatna, 2007:52).
Kebijakan
ekonomi
pemerintah
Bolivia/Neoliberal
menyebabkan
terjadinya gerakan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan adanya demonstrasi, baik itu
dalam skala kecil maupun besar. Pada tahun 2000, pecah protes dari rakyat yang
berakhir dengan kekerasan dengan jumlah korban enam orang dan 170 lainya luka
parah. Mereka menuntut untuk penghapusan kebijakan privatisasi air. (Kohl,
2006:165)
Gerakan sosial tersebut berhasil membuat perubahan dalam pemerintah
dan kebijakan Bolivia adalah gerakan protes rakyat terhadap kebijakan minyak
dan gas alam dan awal dari perubahan sosial yang ada di negara tersebut. (Kohl,
2006:173)
Revolusi-revolusi
sosial
yang
digerakan
oleh
rakyat
berhasil
memunculkan pemimpin-pemimpin baru dikalangan mereka Hal ini berlanjut
6
kepada suksesi, yaitu naiknya Juan Evo Morales Ayma menjadi Presiden Bolivia
pada Pemilu 2005. Evo Morales adalah tokoh beraliran “kiri” yang bersifat kritis
terhadap kebijakan pemerintah AS dikarenakan Morales ingin melakukan
perlawanan terhadap kapitalisme yang dikembangkan AS di Bolivia yang selama
ini membawa masyarakat Bolivia kepada kemiskinan. (Suyatna, 2007:116)
Evo Morales merupakan pemimpin dari Partai Movimiento Al Socialismo
(MAS) merupakan partai berbasis gerakan penduduk asli (indigenous) yang
didirikan pada tahun 1998 yang memenangi pemilihan umum pada tahun 2005
dan menjabat sebagai Presiden pada tahun 2006 setelah unggul dari Jorge Quiroga
dengan perolehan suara 53.740%. (Tapia, 2008:220)
Setelah menjadi Presiden Bolivia, Evo Morales memperlihatkan sikapnya
yang anti-AS, dengan menunjukan daun koka dan secara demonstratif dan
memperlihatkan kepada seluruh hadirin yang sebagian besar terdiri dari Kepala
Negara dan Perdana Menteri negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), ketika ia berpidato di depan Sidang Umum Majelis Umum PBB.
(Lesmana,2007:614)
Selain itu, Evo Morales juga bersikap menolak AS dengan menolak
perjanjian multilateral maupun regional. Di antaranya Free Trade Area of The
Americas (FTAA) yang dinilai lebih banyak merugikan rakyat. Pada akhirnya,
Evo Morales menggalang Persatuan Ekonomi dengan Presiden Venezuela, Hugo
Chavez, dan Pemimpin Kuba, Fidel Castro dengan membentuk perjanjian
Alternativa Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA) pada
7
tanggal 29 April 2006. Ketiga tokoh ini menandatangani Tratado Comercio de los
Pueblos (TCP). (Lesmana, 2007:616)
ALBA merupakan kerjasama regional di kawasan Amerika Latin dan
Karibia. Kerjasama yang diajukan pada bulan Desember 2001 merupakan suatu
alternatif terhadap FTAA. Pada bulan Desember 2004, Venezuela dan Kuba
mendatangani perjanjinan kerjasama dalam kerangka ALBA melalui Association
of Caribbean States Summit dengan bertujuan untuk menyeimbangi perdagangan
bebas yang didominasi oleh AS. (http://www.globalresearch.ca/latin-americassocial-movements-and-the-alba-alliance/5336550)
Naiknya Evo Morales semakin menguatkan barisan “kiri” di Amerika
Latin. Morales menjalin hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez
dan Presiden Brazil Luiz Ignazio Lula da Silva, serta secara terang-terangan
memberi dukungan terhadap Pemimpin Kuba, Fidel Castro, hal ini yang
menyebabkan AS memandang Morales sebagai tokoh berbahaya yang
mengancam kepentingannya di Amerika Latin. (Shoelhi, 2007:87)
Mengingat La Paz sangat menjaga jarak dengan Washington, Sikap
bermusuhan dengan Washington bisa dijelaskan dari program ekonomi Partai
MAS. Partai tersebut menolak kebijakan ekonomi-politik AS serta mendesak
nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam. (Shoelhi ,2007:87)
Sedangkan istilah “kiri” adalah ideologi yang menginginkan perubahan
radikal atau menyeluruh (revolusi) untuk mengubah keadaan di sekitar yang
menganut kesejahteraan dan kebebasan yang diinginkan masyarakat luas. Arti
“kiri” disini mengacu pada Sosialisme, yakni Sosialisme Reformis yang anti-
8
revolusi. Maksudnya, agar sosialisme tidak terjatuh menjadi sistem otoritarian,
maka Sosialisme juga mengacu pada perubahan tatanan baru (sosial, ekonomi,
dan politik) dari tatanan sebelumnya dan sosialisme yang bersifat demokratis
sehingga dapat diterima oleh masyarakat. (Giddens, 2002: 100)
Dalam hal ini, penyebab utama kecenderungan kembalinya “politik kiri”
ke wilayah Amerika Latin khususnya Bolivia adalah akibat kinerja ekonomi yang
menyengsarakan sehingga menggagalkan upaya reformasi ekonomi hasil
Washington Consensus. Konsensus ini mengutamakan pembangunan yang
didukung oleh modal asing, privatisasi di sektor industri dan sumber daya alam,
liberalisasi impor, tingkat suku bunga yang tinggi, deregulasi, pengetatan fiscal,
serta pematokan mata uang (Subono, 2010: 103).
Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, konsensus ini ternyata mengecewakan
masyarakat Amerika Latin. Faktanya, kinerja neoliberalisme ternyata tidak sesuai
dengan janji yang dicanangkan dalam Washington Consensus. (Subono 2010)
Kegagalan dalam memperoleh keuntungan besar dari projek Washington
Consensus tersebut (Subono, 2010:103) menimbulkan kekecewaan politik di
kalangan masyarakat Bolivia. Hal ini telah mendasari bangkitnya kekuatan politik
dan gerakan sosial baru sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi yang
memengaruhi masyarakat pribumi di Bolivia. (Barret. at all, 2008:2)
Permasalahan mengenai kebijakan Bolivia dalam melawan dominasi AS
ini menarik untuk dianalisis dari sudut faktor internal dan faktor eksternalnya.
Penelitian ini akan mengkaji kepentingan nasional yang melatar belakangi Bolivia
dalam menghadapi hegemoni AS pada periode 2005-2009.
9
Analisa penelitian ini difokuskan pada tahun 2005 sampai 2009. Sebab
periode tersebut merupakan periode pertama pemerintah Presiden Bolivia Evo
Morales. Hanya dalam beberapa bulan sejak kepemimpinannya, Morales mulai
merestrukturisasi sendi perekonomian Bolivia.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul suatu pertanyaan
penelitian yang nantinya akan dibahas yaitu :
“Mengapa Bolivia merestrukturisasi perekonomiannya melalui kebijakan
nasionalisasi minyak dan legalisasi koka dalam menghadapi hegemoni Amerika
Serikat P
eriode 2005-2009?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghadapi pengaruh mengetahui implementasi
kebijakan Bolivia dalam menghadapi pengaruh AS setelah Evo Morales menjabat
sebagai presiden terpilih di Bolivia. Kajian terhadap implementasi kebijakan
Bolivia ini dimulai dari upayanya dalam merekstrukturisasi perekonomian pada
periode pertama pemerintahya tahun 2005-2009.
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
keberhasilan bagaimana negara berkembang dalam upayanya menentang negara
super power seperti AS yang selalu memperluas pengaruhnya di negara-negara
berkembang.
10
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa tulisan tentang perlawanan negara-negara Amerika Latin
terhadap AS lebih banyak melihat Amerika Latin khususnya Bolivia yang
mayoritas berada dibawah hegemoni AS.
Salah satunya dengan tesis Emil Radhiansyah memaparkan tentang
penderitaan dan kemiskinan rakyat Bolivia sehingga menimbulkan aksi-aksi
perlawanan berbentuk Gerakan Sosial yang dihimpun dari kekuatan rakyat
Bolivia yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani koka yang banyak dirugikan
dengan adanya pembasmian ladang koka seluas 50.000 hingga 60.000 oleh
pemerintah Bolivia sehingga melahirkan jumlah pengangguran yang semakin
bertambah. (Radhiansyah, 2008:10)
Evo Morales memimpin suatu gerakan sosial dengan Partai Movimiento Al
Socialismo (MAS) dan mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat Bolivia.
Pada tesis, Emil Radhiansyah menekankan analisanya pada seputar masalah
gerakan massa yang mengalami penindasan akibat praktek Neoliberal AS itu
sendiri.
Selain itu, dalam buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika” Mohammad
Shoelhi mencoba menjelaskan mengenai perlawanan negara-negara berkembang
terhadap AS contoh Bolivia yang berani membendung hegemoninya di Amerika
Latin khususnya Bolivia, Pasca dari naiknya Evo Morales sebagai Presiden
semakin menguatkan barisan sosialis di Amerika Latin. Evo Morales menjalin
hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Brazil Lula da
Silva, dan Juga Presiden Kuba Fidel Castro. Itulah sebabnya AS memandang
11
Morales sebagai tokoh yang berbahaya yang mengancam kepentingannya di
Amerika Latin. (Shoelhi 2007:87)
Buku tersebut merupakan pemaparan singkat yang ditulis oleh Mohammad
Shoelhi. Dari pemaparan Mohammad Soelhi tersebut penelitian, ini memberikan
informasi lebih lengkap mengenai peran Evo Morales dalam menghadapi
hegemoni AS.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan Tinjauan Pustaka diatas terdapat
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dengan lebih mengalisis
kebijakan yang dilakukan Bolivia dalam menghadapi hegemoni AS berikut faktor
eksternal dan internal apa yang memengaruhi kebijakan tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran dengan beberapa konsep
yang digunakan dalam menganalisa permasalahan. Konsep-konsep yang
digunakan ini adalah konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri,
hegemoni dan counter hegemony.
1. Kepentingan Nasional
Konsep Kepentingan nasional menurut Frankel (1988:93) adalah sebuah
konsep yang menjadi kunci dari kebijakan luar negeri suatu negara, menurutnya
kepentingan nasional diartikan sebagai aspirasi dari suatu negara untuk dapat
digunakan secara operasional pada suatu kebijakan tertentu. Secara konseptual,
Frankel mengatakan kepentingan nasional merupakan nilai-nilai dasar yang
dipertahankan oleh suatu negara untuk mencapai tujuanya.
12
Kemudian Papp (1997:143) juga menambahkan mengenai konsep
kepentingan nasional, menurutnya kepentingan nasional merupakan kepentingan
sebuah negara yang harus dicapai dengan sebuah metode yang disebut kebijakan.
Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa kepentingan nasional
merupakan tujuan utama yang menjadi dasar bagi sebuah negara dalam membuat
kebijakan sebagai upaya dalam mencapai pemenuhan terhadap hal-hal yang
signifikan yang harus dicapai oleh suatu negara .
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai kepentingan
nasional sebagaimana yang telah dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisa
kepentingan yang melandasi kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan
melegalisasi koka.
2. Kebijakan Luar Negeri
K.J. Holsti di dalam bukunya yang berjudul International Politics: A
Framework for Analysis, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan
rumusan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan suatu negara dalam
memenuhi kebutuhan domestik, tetapi walaupun begitu kata Holsti kebijakan luar
negeri biasanya digunakan juga untuk mengubah kondisi di luar negera (Holsti,
1992:269). Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, konsep dari
Holsti tersebut digunakan dalam menganalisa kebijakan Bolivia untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan pemerintah Bolivia dalam memenuhi kebutuhan
domestiknya serta mencapai kepentingan nasionalnya terutama pasca Evo
Morales menjabat sebagai Presiden Bolivia periode 2005-2009.
13
Holsti juga menambahkan bahwa tujuan implementasi dari sebuah
kebijakan luar negeri suatu negara mendapat pengaruh dari dua macam faktor,
yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik.
A. Faktor Internal
Holsti (1992:272-287) mengatakan faktor internal yang memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terdiri dari beberapa macam, antara lain:
kebutuhan keamanan, sosial dan ekonomi. Kedua, karakteristik geografi yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Elemen pertama dan kedua ini menurut
Holsti menentukan kesejahteraan nasional dan lingkungan strategis sebuah.
Kemudian, yang ketiga adalah atribut nasional, atribut nasional ini didefinisikan
sebagai karakter sebuah negara yang terdiri dari besar wilayah, jumlah penduduk,
sistem ekonomi, dan citra di mata internasional.
Kelima adalah opini publik, opini publik ini menurut Holsti turut menjadi
sumber yang memengaruhi kebijakan luar negeri karena publik dapat mengakses
informasi secara bebas, dan yang keenam adalah birokrasi, menurut Holsti
karakteristik ini merupakan sumber yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar
negeri.
B. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara menurut Holsti (1992:272) yang pertama adalah struktur sistem,
menurutnya dalam struktur sistem terdapat berbagai macam negara mulai dari
14
negara adi daya sampai negara kecil yang memengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara.
Kedua, kata Holsti adalah karakteristik atau struktur ekonomi dunia,
menurutnya karakteristik atau struktur ekonomi dunia ini menunjukan adanya
perbedaaan ekonomi antara negara kecil, negara berkembang, dan negara maju
yang dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Ketiga, kata Holsti adalah
tujuan dan tindakan dari aktor lain, ini menurut Holsti maksudnya adalah sebuah
negara akan merespon atau berinisiatif menjalankan kebijakan luar negerinya
terkait adanya tindakan dari negara lain.
Kemudian yang keempat adalah masalah regional atau global, menurut
Holsti ini merupakan masalah yang terjadi disuatu negara yang akan berdampak
ke negara lain bahkan ke kawasan sehingga akan menjadi masalah bersama,
karena masalah ini saling berhubungan dan melewati batas-batas nasional
sehingga dapat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh suatu negara.
Berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang turut menentukan
dan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, menurut Breuning (2007:9)
banyaknya elemen pada faktor-faktor yang memengaruhi dan turut menentukan
kebijakan luar negeri tersebut, tidak harus mempertimbangkan atau menjelaskan
semua elemen di dalam faktor-faktor tersebut. Hal itu menurut Breuning dapat
disederhanakan dengan fokus terhadap satu atau beberapa elemen pada faktorfaktor yang turut menentukan tersebut.
Dengan mengarah pada faktor-faktor yang turut menentukan dan
memengaruhi alasan sebuah negara membuat kebijakan luar negeri yang sudah di
15
kemukakan Holsti, maka dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini di
gunakan elemen yang menentukan kesejahteraan nasional sebuah negara yaitu
karakteristik geografi yang berkaitan dengan sumber daya alam pada faktor
internal, dan tindakan-tindakan dari negara lain yang terkait dalam merespon atau
berinisiatif untuk menjalankan kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan
domestik dan sistem internasional.
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai faktor-faktor
kebijakan luar negeri di atas digunakan untuk menganalisa apa saja yang menjadi
faktor yang melandasi Bolivia membuat kebijakan nasionalisasi minyak dan
legalisai koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009. .
3. Hegemoni
Titik awal konsep hegemoni Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua
cara yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas
atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara
persuasinya dengan cara hegemoni. Perantara tindakan dominasi ini dilakukan
oleh aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni
dilakukan dalam bentuk menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau
lapisan dibawahnya (Simon, 2004:85).
Bagi Gramsci, berjalannya hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh
negara yang selama ini dikenal dengan kelas penguasa (ruling class), namun
bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Pengertian hegemoni di sini adalah
dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan atau tanpa
16
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar dan
bersifat moral, intelektual, dan budaya. (Strinati, 1995:153)
Gramsci membedakan dua tipe intelektual dalam masyarakat, pertama,
intelektual tradisional yang terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri
dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari
kehidupan masyarakat dari kejauhan yang seringkali bersifat konservatif
(antiperubahan), seperti, penulis sejarah, filsuf, dan para professor. Sedangkan
yang kedua adalah kalangan intelektual organik yang menanamkan ide menjadi
bagian penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta
turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. (Gramsci, 1971:15)
Di sini, penguasaan tidak dengan kekerasan. Melainkan dengan bentukbentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak
sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap, yaitu, tahap dominasi dan tahap
direction atau pengarahan. (Gramsci, 1971:20)
Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan,
seperti sekolah, media, modal, dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang
disusupkan lewat alat-alat tadi merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide
yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang
disepakati oleh masyarakat. (Gramsci, 1971)
Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi
maka tahap berikutnya tinggal mengarahkan dan tunduk pada kepemimpinan oleh
kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap
17
sebagai orang yang tidak taat kepada moral serta dianggap tindak kebodohan di
masyarakat. Bahkan ada kalanya diredam dengan kekerasan. (Gramsci, 1971)
Dalam bahasan teorinya, Gramsci juga memberikan solusi untuk melawan
hegemoni (counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan.
Kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat karena setiap orang
sebenarnya adalah seorang intelektual, namun tidak semua orang menjalankan
fungsi intelektualnya di masyarakat. (Chalcraft, 2007:11)
Joshua S. Goldstein menambahkan bahwa hegemoni dipegang oleh suatu
negara yang memiliki kekuasaan yang dominan
dalam sistem internasional,
sehingga kekuasaan tersebut menjadi tunggal dan dapat mendominasi aturan
sendiri sehingga dapat mengatur hubungan politik dan ekonomi internasional.
Negara yang melakukan hal seperti ini disebut hegemon. (Goldstein, 1996:81)
Goldstein menyatakan bahwa pada umumnya hegemoni berarti dominasi
dunia akan tetapi lebih mengacu kepada dominasi regional, terkadang istilah
tersebut digunakan untuk merujuk kepada ide bahwa penguasa gunakan untuk
mendapatkan persetujuan untuk legitimasi mereka. Dengan mengacu kepada
hubungan internasional, hegemoni merupakan ide-ide seperti demokrasi dan
kapitalisme, dan dominasi budaya global AS. (Goldstein, 1996:81)
4. Counter Hegemony
Dalam menyusun perlawanan dan hegemoni tandingan Gramsci
memberikan counter hegemony, kaum intelektual organik haruslah berangkat dari
kenyataan yang ada di dalam masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang
18
menyingkap kerusakan sistem lama yang dapat mengorganisir masyarakat.
(Gramsci, 1971:14)
Dengan begitu, ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh
masyarakat hingga tercapainya revolusi. Counter hegemony bisa dilakukan oleh
kalangan intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem
kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan
hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka
harus bekerjasama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan
ketika melakukan counter hegemony. (Carnoy, 1984:73-75)
Perlawanan tersebut menurut Gramsci disebut sebagai konsep perang
posisi (the war of position) yaitu perjuangan yang lebih di arahkan kepada usahausaha untuk membongkar atau bahkan melenyapkan ideologi, norma-norma,
politik dan kebudayaan dari kelompok yang berkuasa dan menjadikan suatu
tatanan baru. (Carnoy, 1984:78)
Dalam hal ini Gramsci fokus terhadap kesadaran utama dalam perubahan
yang tidak dilakukan dalam arti perang secara fisik akan tetapi sebagai sebuah
proses transformasi cultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan
menggantikan dengan hegemoni yang lain. Perang posisi juga merupakan
kesadaran kelas pekerja dan relasi kekuatan-kekuatan politik didalam masyarakat
tergantung kepada berbagai momen atau tingkat kesadaran politik secara kolektif.
(Carnoy, 1984:83)
19
Antonio Gramsci berpandangan bahwa budaya barat sangat mendominasi
budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa
mengadopsi budaya barat tersebut.
Dengan demikian, pemahaman mengenai counter hegemony yang
dikemukakan oleh Antonio Gramsci sesuai untuk menggambarkan kondisi Bolivia
yang anti-Amerika di bawah kepemimpinan Evo Morales.
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Bogdam dan Taylor (dalam Bangin, 2003:35), metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis dari berbagai sumber yang diamati. Sejalan yang dikemukakan oleh
Moleong (1989:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif
atau pemaparan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian kulitatif metode yang
digunakan adalah penngumpulan data dan analisa data.
1. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data mengunakan studi kepustakaan (library research), yaitu
pengumpulan data yang didapat dari sumber-sumber tertulis yaitu buku-buku,
artikel-artikel dalam jurnal, serta laman resmi dari jejaring yang relevan dan
berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam studi kepustakaan penulis
memperoleh data dari Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Studi
Kawasan Amerika Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan Miriam Budiarjo
20
Research Center FISIP UI, Perpustakaan, dan Perpustakaan Information Resource
Center (IRC) kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia.
2. Analisa Data
Menurut Mas’oed (1990:43) dalam melakukan studi hubungan internasional
perlu ditetapkan tingkat analisa sebagai petunjuk untuk menentukan unit
analisanya sehingga suatu studi dapat lebih fokus. Dalam tulisan ini tingkat
analisis yang diambil adalah negara. Dalam teknik analisa data, penulis membaca
serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta
secara sistematis agar lebih mudah difahami dan disimpulkan. Teknik tersebut
dapat membantu dalam memaparkan kebijakan Bolivia dalam mengadapi
hegemoni AS tahun 2005-2009.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Pernyataan Masalah
Pertanyaan Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Sejarah Kebijakan Ekonomi Bolivia
Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika latin
Perkembangan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
Penerapan Ekonomi neoliberal di Bolivia
Kebijakan Privatisasi Ekonomi di Bolivia
21
BAB III HEGEMONI AMERIKA SERIKAT DI BOLIVIA SEBELUM 2005
A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin A.1 Doktrin
Monroe.
B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005
C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005
C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro
Periode 1985-1989
C.2 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jamie Paz Zamora Periode
1989-1993
C.3 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 1993-1997
C.4 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Hugo Banzer Periode
1997-2001
C.5 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jorge Quiroga Ramirez
Periode 2001-2002
C.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 2002-2003
C.7 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Carlos Mesa Periode 20032005
BAB IV KEBIJAKAN BOLIVIA DALAM MENGHADAPI HEGEMONI
AMERIKA SERIKAT 2005-2009
A. Faktor Internal
A.1 Kesenjangan Sosial
A.2 Gerakan Sosial Menuju Perubahan
A.3 Suksesi Naiknya Evo Morales ke Puncak Kekuasaan
A.4 Kebijakan Bolivia dalam Nasionalisasi Minyak
A.5 Kebijakan Bolivia dalam Melegalisasikan Koka
B. Faktor Eksternal
B.1 Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
B.2 Pembentukan Lembaga-lembaga Regional di Amerika Latin
C. Dampak Kebijakan Nasionalisasi Bolivia Bagi Pertumbuhan
Ekonomi Domestik
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
Dalam bab ini menjelaskan sejarah dan perkembangan kebijakan Ekonomi
Bolivia, yakni mulai dari kebijakanan Neoliberal AS di Amerika Latin, yang
melatarbelakangi hegemoni AS di Amerika Latin sejak tahun 1823 melalui
Doktrin Monroe hingga perkembangannya menjelang berkurangnya pengaruh
hegemoni AS. Bab ini terdiri dari lima bagian.
Bagian pertama menjelaskan mengenai latar belakang hegemoni AS di
Amerika Latin yang dimulai dari doktrin Monroe pada tahun 1823 dan memiliki
pembahasan Doktrin Monroe ini digunakan untuk menekankan awal mula
intervensi AS di kawasan Amerika Latin.
Penerapan
Doktrin
Monroe hingga
tahun
1825
sejalan dengan
kemerdekaan Bolivia menjadi republik. Hal ini berlangsung terus sampai
pertengahan tahun 1985. Pada kurun waktu 1825 hingga 1985 sebanyak 178
pemerintahan jatuh bangun dan sebagian besar diperintah oleh rezim militer.
Pemerintah Hugo Banzer tercatat paling lama berkuasa selama tujuh tahun, yakni
1971-1978.
Bagian kedua membahas perkembangan model ekonomi Neoliberal di
Amerika Latin dan bagian ketiga menjelaskan dampak yang terjadi akibat adanya
penerapan kebijkana model ekonomi Neoliberal di Amerika Latin. Bagian
22
23
keempat membahas penerapaan Ekonomi Neoliberal di Bolivia dan bagian
Kelima membahas kebijkana Privatisasi Ekonomi di Bolivia.
A. Sejarah Perekonomian Bolivia
Semasa penjajahan Spanyol, Bolivia dibentuk dengan nama Upper Peru
atau Characas yang saat ini menjadi nama Negara Bolivia, dan sampai ke Lower
Peru yang saat ini menjadi Negara Peru. Kedua daerah tersebut merupakan
bentukan Spanyol sebagai kesatuan dareah jajahan sekaligus wilayah administratif
politik. Pada tahun 1545, daerah Upper Peru tercatat memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat besar seperti memiliki cadangan perak yang melimpah
ditambah dengan wilayah luas, hal ini menjadikan Upper peru menjadi daerah
yang kaya akan tambang. (Black, 1984:403)
Hingga pada perkembanganya pada tahun 1825 daerah Upper Peru
mendapatkan kemerdekaannya secara resmi melalui perjuangan panjang pejuangpejuang asli Bolivia atau masyarakat indigenous dikarenakan adanya penindasan
dan praktik diskriminasi terhadap masyarakat indigenous seperti adanya
pemeberlakuan kerja paksa, kewajiban membayar upeti terhadap pemerintah
Kolonial Spanyol dan perampasan Sumber daya alam dan barang-barang berharga
yang dimiliki oleh masyarakat indigenous (reparto de mercancias). (Albo,
1987:381)
Dengan bentuk kebijakan dari pemerintah Kolonial Spanyol yang bersifat
eksploitatif terjadi pemeberontakan yang dilakukan oleh masyarakat indigenous,
baik suku Aymra maupun Quechua melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Kolonial Spanyol. Pemberontakan ini dinamankan Tupac Amaru,
24
pemberontakan ini dimulai pada tahun 1770 hingga tahun 1772 (Serulnikov,
2003:126). Hingga perjuangan panjang sampai tahun 1825, Simon Bolivar
menjadi tokoh pembebasan masyarakat Bolivia dari pengaruh Kolonialisme
Spanyol. (Gott, 2005:91)
Pada awal berdirinya Bolivia menjadi suatu negara, Bolivia memiliki
daerah tetitorial yang sangat luas. Tercatat bagian selatan Chili, daerah perbatasan
Brasil, dan daerah perbatasan Paraguay yang disebut sebagai daerah Chaco yang
merupakan bagian dari Bolivia. Banyaknya peperangan dan perlawanan membuat
Bolivia sebagai negara yang kehilangan daerah teritorialnya. (Farcau, 1996:9)
Perang tersebut terjadi pada 7 Juni 1879 terjadi peristiwa perang antara
Peru, Chili dan Bolivia yang lebih dikenal War of Pasific. Perang yang
berlangsung selama lima tahun tersebut terjadi akibat pelanggaran perjanjian yang
pernah dilakukan Bolivia dengan Chili tahun 1874. Dalam perjanjian tersebut
Chili mengakui hak Bolivia atas Gurun Pasir Atacama dan perusahaan Chili di
kawasan tersebut dibebaskan pajak selama 25 tahun. (http://lcweb2.loc.gov/cgibin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Bolivia meninta pajak pada tahun1878, sehingga Chili menduduki
pelabuhan Antofagata. Sebagai reaksi Bolivia menyatakan perang dengan
dukungan Peru. Bolivia mengalami kekalahan pada tahun 1880 dan secara resmi
menyerahkan pantai tersebut kepada Chili dengan menandatangani Treaty of
Peace
and
Frienship.
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
(http://lcweb2.loc.gov/cgi-
25
Pada perkembanganya Bolivia dihadapkan pada situasi ekonomi yang
tidak menentu dalam suatu pencapaian stabilitas negara. Berbagai aksi
pemberontakan dan perlawanan rakyat dan kudeta militer menjadikan Bolivia
dihadapkan kepada situasi yang sulit. Pada tahun 1945 aksi pemberontakan terjadi
di daerah Catavi, perlawanan yang terjadi ini mendapat dukungan penuh dari
pihak Movimiento Nacionalista Revolucionario (MNR). Dua tahun setelah
gerakan perlawanan Catavi pemilu kembali diberlakukan dan mengantarkan Paz
Estensorro menjadi pemenang dari partai MNR. (http://lcweb2.loc.gov/cgibin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Kemenangan ini tidak terlepas dari program kebijakannya menasionalisasi
dan reformasi kepemilikan tanah bagi masyarakat indigenous, akan tetapi hasil
pemilu ini membuat pihak militer mengambil peran dengan menghapuskan
pemilu yang dicapai. Disisi lain, kesatuan militer mengalami krisis kepemimpinan
dengan tidak bisa menyatukan seluruh angkatan bersenjata Bolivia. Pada sisi yang
berbeda MNR mengambil kesempatan untuk melakukan pemberontakan, keadaan
ini memaksa militer mundur dan menyerah. (Kohl, 2006:48)
Setelah MNR berhasil melakukan pemberontakan Paz Estenssoro naik
sebagai presiden pada tanggal 16 April 1952 (Kohl, 2006), Paz Estenssoro
melakukan proses perubahan radikal terjadi diantaranya
nasionalisasi tiga
perusahaan timah Bolivia pada tanggal 31 Oktober 1952. Pemerintahan MNR
kemudian mendirikan Corporacion Minera de Bolivia (COMIBOL) sebagai
badan usaha yang bergerak di bidang pertambangan di bawah pengelolaan negara
26
dan program land reform yaitu program yang menyangkut distribusi lahan di
pedesaan. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Pada bulan Agustus 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang
Reformasi Agraria 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang tersebut
bertujuan untuk menghapus eksploitasi kerja terhadap kelas buruh dan
pendistribusian lahan-lahan di wilayah pedesaan dari kelompok oligarki tuan
tanah.(http://www.mongabay.com/history/bolivia/boliviapetroleum_and_natural_gas.html).
Meskipun serangkaian kebijakan reformasi radikal yang dilakukan
pemerintahan MNR telah berjalan, akan tetapi dampak yang dirasakan masyarakat
indigeneous di Bolivia tetap tidak memperoleh perubahan yang signifikan dari
kebijakan ini. Justru sebaliknya, pada masa pemerintahan MNR lewat kebijakan
tersebut. Dampak yang terjadi dari kebijakan reformasi agrarian tahun 1953.
Redistribusi tanah yang dilakukan MNR, namun yang perlu ditekankan disisni
adalah aturan reformasi agrarian yang ada hanya Undang-Undang yang sifatnya
formalitas. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Dalam pelaksanaanya Undang-Undang reformasi agrarian tersebut pada
kenyataanya tidak pernah terjadi. Dalam proses pengambilan kebijakan di
pemerintahan, MNR juga berusaha mematikan militansi kelompok indigenous di
bawah kontrol pemerintah Dengan demikian, MNR bukanlah partai yang
merepesentasikan masyarakat indigenous secara utuh melainkan hanya sebagai
27
kelompok elit yang mengendalikan masyarkat indigenous untuk tujuan mereka
semata. (Cott, 2000:164)
Periode pmerintahan revolusioner MNR berakhir pada tahu 1964, setelah
rezim
junta
miter
melakukan
kudeta
yang menandai
dimulainya
era
ketidakstabilan politik Bolivia. Semenjak saat itu hingga rentan waktu 18 tahun
berikutnya Bolivia dikendalikan oleh rezim junta militer yang bersifat otoriter,
korup, dan brutal yang didukung oleh AS untuk menjadi pembendung paham
“kiri” di kawasan Amerika Latin. (Farah, 2009:3)
Pemerintahan pertama rezim junta militer Bolivia berada di bawah
kepemimpinan Jendral Barrientos yang berkuasa dari tahun 1964 hingga 1969.
Dalam era kepemimpinan Jendral Barrientos, peranan negara yang kuat dalam
mengontrol perekonomian sejak masa revolusi MNR kembali dilanjutkan. Rezim
junta militer tersebut mendapat dukungan dari AS. Hal ini dibuktikan dengan
diberangkatkanya 1200 orang perwira militer Bolivia ke seekolah-sekolah militer
AS. (Kohl, 2006:50)
Dinas intelejen AS Central intelegence Agency (CIA) dan pasukan khusus
AS juga ikut pula memberikan pelatihan teknis kepada rezim junta militer Bolivia
yang pada akhirnya memainkan peranan penting seperti dalam kasus penangkapan
dan eksekusi terhadap tokoh sosialis asal Kuba Che Guevarra dalam pelariannya
ke Bolivia pada tahun 1967 (Kohl, 2006:50).
Pada masa pemerintahan junta militer di Bolivia, Jenderal Barrientos
menjalin hubungan yang baik dengan kelompok petani. Hubungan yang harmonis
28
ini antara pemerintah junta militer dengan petani tersebut ditunujan dengan
pembentukan pakta militer-kelompok petani (The Military-Campesino Pact)
(Kohl, 2006:50).
Dengan dibentuknya pakta tersebut, Jenderal Barrientos mendapat
dukungan yang kuat dari masyarakat pedesaan Bolivia. Buktinya dengan
memenangi pemilu pada tahun 1966 dengan perolehan suara 63% yang berasal
dari mayoritas masyarakat pedesaan Bolivia (Kohl, 2006). Akan tetapi hubungan
harmonis tersebut tidak bertahan lama setelah meninggalnya Jenderal Barrientos
akibat kecelakaan helikopter dalam kunjungan kerjanya ke wilayah pedesaan
Bolivia pada tahun 1969. (Albo, 2002:76)
Setelah ditinggal oleh Jenderal Barriientos, dingantikan oleh, Luis Adolfo
Siles Salinas dan kemudian digulingkan oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia.
Jenderal Alfredo Ovando Candia sempat menasionalisasi minyak dari Perusahaan
Gulf milik AS di Bolivia. Pada tahun 1970 Jenderal Alfredo Ovando Candia
digulingkan oleh Jenderal Juan Jose Torres (http://www.washingtonpost.com/wpsrv/world/countries/bolivia.html).
Setelah Jenderal Jose Torres menjadi pemipin Bolivia, Jenderal Jose
Torres melanjutkan hubungan dengan Uni Soviet yang sebelumnya telah
dibangun oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia , menjadi lebih dekat. Hal ini
sangat merugikan hubungan dengan AS. Jenderal Jose Torres digulingkan pada
tahun 1971 oleh Jenderal Hugo Banzer dan mengembalikan hubungan dengan AS.
(http://www.washingtonpost.com/wp-srv/world/countries/bolivia.html)
29
Setelah ditinggal Jenderal Barrientos, hubungan militer dengan petani
mengalami keretakan mulai terjadi. Keretakan hubungan militer dengan kelompok
petani semakin mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Jenderal Hugo
Banzer yang perkuasa dari tahun 1971 hingga tahun 1978. Sebagai catatan penting
pemerintah Hugo Banzer, perekonomi Bolivia mengalami perkembangan yang
pesat dengan meningkatnya harga mineral di pasaran internasional serta
penemuan cadangan gas baru. (Salt, 2006:38)
Sektor pertanian di wilayah timur Bolivia dan pembangunan pabrik-pabrik
di wilayah La Paz juga semakin berkembang pesat. Namun ditengah-tengah
perkembangan pesat di sektor pertanian tersebut pemerintah Bolivia mengambil
langkah yang tidak popular di masyarakat dengan menaikan harga hasil pertanian
secara tinggi yang mengakibatkan protes di kalangan petani. (Salt, 2006:38)
Pemerintah Bolivia tidak merespon aksi protes yang terjadi di kalangan
petani. Pemerintah menggunakan tindakan represif yang terjadi pada tahun 1974
saat Jenderal Hugo Banzer mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menghadapi
aksi protes tersebut di wilayah Tolata di Provinsi Cochamba. Pergerakan kekuatan
bersenjata tersebut berakhir tragis dengan pembantainan yang menewaskan 200
orang petani Bolivia. (Kohl, 2006:52)
Memasuki tahun 1977 pemerintahan junta militer mulai goyah. Akibat
adanya resei perekonomian dan juga tekanan dari kelompok oposisi dalam
struktur politik Bolivia untuk menerapkan proses demokratisasi secara penuh
(Mayorga, 2005:151). Pada sama bersamaan, konteks politik internasional yang
ditandai dengan gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia semakin
30
mendesak dipromosikannya nilai-nilai hak asasi secara universal serta diakhirinya
kepemimpinan rezim militer di Amerika Latin. (Mayorga, 2005:151)
Desakan yang kuat untuk menerapkan proses demokratisasi di Bolivia
tersebut berujung kepada tumbangnya rezim junta militer Jenderal Hugo Banzer
melalui kudeta pada tahun 1978 oleh Jenderal Guido Vildoso Calderon,
berakhirnya rezim militer Jendral Hugo Banzer malah membuat ketidakstabilan
ekonomi dan politik di Bolivia.
Pada tahun 1980 Hernan Siles Zuazo dan partai yang dipimpinya Unidad
Democratica Popular (UDP) memenangkan pemilu, akan tetapi kemenangan
tersebut diambil alih oleh Jenderal Luis Garcia Meza, pemerintahan junta militer
tersebut hanya bertahan 1 tahun. kebijkan yang dilakukan pemerintah tersebut
adalah ekspor kokain yang mencapai 850 juta Dolar AS. Pada tahun 1980-1981
menbuat pemerintahan tersebut berada dalam ancaman dunia internasional
ditambah dengan korupsi dan kekejaman militer yang menyudutkan pemerintahan
tersebut.
Pada tahun 1982 Kongres Bolivia melantik Hernan Siles Suazo sebagai
presiden terpilih pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai
dimulainya era transisi domokrasi di Bolivia setelah 18 tahun berada di bawah
kekuasaan
junta
militer.
(http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0033%29)
Pada tahun 1985, penurunan nilai ekonomi melanda Bolivia dengan
tingkat inflasi tertinggi di dunia sehingga mengakibatkan mata uang Bolivia tidak
31
bernilai. Tingkat inflasi yang terus meningkat dari tahun 1982 sebesar 296% tahun
1984 sebesar 2. 175% dan pada tahun 1985 mencapai lebih dari 8.168%. yang
tertera pada grafik inflasi. (Roca, 1996:162-164)
Grafik inflasi
Grafik diperbesar pada tahun 1980-1990
Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/lo/countries/bo/bo_inf.html
Dari tingginya tingkat inflasi membuat negara dalam keadaan kritis dalam
memperoleh stabilitas sistem ekonomi dan politik. Dimasa pemerintaha Paz
Estensorro (1985-1989), Bolivia meminta bantuan kepada IMF, IMF memberikan
program penyesuaian Struktural yang dicanangkan untuk Bolivia, program ini
32
ditujukan untuk menanta ulang perekonomian Bolivia. Perencanaan program
tersebut diperkuat dengan Dekrit Presiden 21060 (Kohl, 2006:83).
Pada
bulan
Agustus
1985,
Pemerintah
Bolivia
secara
resmi
mengumumkan program penyesuaian struktural (SAP) yang diberi nama New
Economic Policy (NEP) isi dan butir yang termaksud kedalam NEP diantaranya:
Menghapuskan pembatasan-pembatasan impor dan ekspor (liberalisasi
kebijakan impor dan ekspor), menetapkan tingkat perdagangan tunggal dan
fleksibel, membekukan upah sektor publik selama empat bulan (kemudian
dikurangi sampai tiga bulan), memberikan kesempatan kepada perusahaanperusahaan
negara
satu
bulan
untuk
mengemukakan
program-program
rasionalisasi (yaitu pemutusan hubungan kerja) staf, memperkenalkan kontak
bebas pada semua firma. (Avirgan, 2003:82)
B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat di negara-negara
berkembang mendorong banyak negara untuk mencari alternatif strategi
pembangunan baru yang lebih memberikan peluang bagi percepatan pertumbuhan
dan akumulasi kapital, akibat gagalnya upaya pembangunan. Campur tangan
negara yang terlalu kuat dipandang sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang pada akhir abad 20, sehingga strategi yang
ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan bagi investasi dan pasar bebas.
(Fakih, 2001:217)
33
Gagasan
perlindungan
hak
milik
intelektual,
good
governace,
penghapusan subsidi, program proteksi kepada rakyat, deregulasi, pembangunan
civil society, program antikorupsi dianggap sebagai proram yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan suatu tatanan perdagangan
global dan sejak saat itulah gagasan globalisasi dimunculkan. (Fakih, 2001:218)
Era globalisasi ini ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang
dipaksakan melalui kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP)
merupakan kebijakan yang ditetapknan di negara-negara berkembang oleh
lembaga finansial global yang didukung oleh AS, seperti IMF dan World Bank
yang telah disepakati oleh lembaga dunia. Fase globalisasi ini ditandai dengan
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasarkan kepada keyakinan perdagangan bebas. (Suyatna, 2007:36)
AS melalui IMF lalu menolong negara-negara berkembang melalui
program restrukturisasi IMF berdasarkan sejumlah prasyarat hutang yang akan
diberikan, yaitu, program privatisasi perusahaan-perusahaan negara, pengurangan
belanja publik melalui pengurangan subsidi adalah strategi kebijakan yang
menjadi prinsip utama gagasan-gagasan neoliberal. (Winarno, 2005:25)
Neoliberalisme merupakan akar dari ekonomi politik liberal klasik dari
Adam Smith yang berdasarkan fungsi khusus dari asumsi ideologi tentang
hubungan antara negara dengan individu dalam teori liberal klasik yang ditulis
200 tahun lalu, negara memaksakan kekuasaan yang telah ditafsirkan sebagai
ancaman utama terhadap kebebasan individual. (Kohl, 15:2006)
34
Neoliberalisme merubah wilayah yang diterima wilayah oleh aktifitas
negara dan mengurangi pengeluaran sosial sebagai negara yang turun tahta. Hal
tersebut merupakan tanggung jawab untuk menjaga sektor yang diprivatisasi.
(Kohl, 15:2006)
Gagasan neoliberal ini mengacu kepada Washington Consensus yang
mencangkup beberapa hal. Pertama pengeluaran pengeluaran publik, khususnya
militer dan administrasi publik, kedua liberalisasi keuangan dengan suku bunga
yang ditentukan pasar, ketiga liberalisasi perdagangan disertai penghapusan iain
impor dan pengurangan tarif, keempat mendorong investor asing, kelima
privatisasi perusahaan-perusahaan negara, keenam deregurasi ekonomi, ketujuh
nilai tukar yang kompetitif untuk pertumbuhan berbasis ekspor, kedelapan
menjamin disiplin dan pengendalian defisit anggaran, kesembilan reformasi pajak,
kesepuluh perlindungan hak cipta. (Suyatna, 2007:39)
Dalam realitasnya, penerapan program restrukturisasi yang dilakukan oleh
IMF ini menimbulkan penderitaan rakyat. Program ini telah mempertajam
kesenjangan antara masyarkat Bolivia (indigenous) dengan investor asing.
Laporan PBB tahun 1999 menujukan bahwa 1/5 dari penduduk dunia dengan
penghasilan menguasai 86% GDP dunia. 82% pasar ekspor dunia dan Foreign
Direct Investment (FDI) dan 74% pengguna telepon. Sebaliknya.1/5 penduduk
termiskin dari negara miskin menguasai hanya 1% dari semua sektor tersebut.
(Suryohadiprojo, 2003)
Gelombang krisis ekonomi yang menimpa negara-negara Amerika Latin
sepanjang tahun 1990-an, memudahkan jalan bagi aktor-aktor globalisasi untuk
35
memasukkan agenda neoliberalisme dalam kebijakan perekonomian di negaranegara tersebut. Kondisi krisis ekonomi yang parah menyebabkan tidak adanya
pilihan lain bagi kebanyakan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta
pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank.
(Suyatna, 2007:42)
Dalam kaitanya dengan perdagangan bebas, World Bank dan IMF adalah
dua organisasi internasional yang paling berkuasa, IMF memiliki misi untuk
mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian hutang.
Sedangkan World Bank juga merupakan aktor penting pemberi hutang dengan
upaya me
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini menjelaskan kebijakan Bolivia dalam menghadapi hegemoni
Amerika Serikat (AS), tujuannya adalah merestrukturisasi sendi perekonomian
Bolivia akibat privatisasi aset-aset negara dan pemberantasan ladang koka di
Bolivia yang dilakukan oleh pemerintah AS. Kemudian analisa penelitian ini
difokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi Bolivia dalam membuat
kebijakan menghadapi hegemoni AS.
AS ingin menyatukan benua Amerika melalui Doktrin Monroe yang
merupakan pidato tahunan Presiden James Monroe kepada kongres guna
menyampaikan penolakan untuk mentoleransi perluasan lebih lanjut dominasi
Eropa di Amerika. Dia menyatakan “Tanah Amerika, mulai sekarang tidak boleh
lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh bangsa Eropa. “Kita Harus menganggap
setiap usaha mereka untuk memperluas sistem politik di bagian manapun di benua
ini
sebagai
bahaya
bagi
kedamaian,
dan
keselamatan
kita”.
( http:/www.ushistory.org/documents/monroe.html,)
Sejak tahun 1823. Doktrin Monroe ini menetapkan Amerika Latin sebagai
bagian halaman belakang (backyard) dunia barat (Western Hemisphere) AS. Sejak
awal, AS telah menjadikan kebijakan isolasionis-defensif (defesive-isolationist)
sebagai langkah awalnya untuk mendominasi Amerika Latin yang dimulai sejak
1
2
1890. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Doktrin Monroe. (Meiertones,
2010:30)
Meskipun Doktrin Monroe ini berorientasi untuk membatasi intervensi
negara-negara Eropa di benua Amerika (Meiertones, 2010: 30), di sisi lain, AS
juga memiliki hak intervensi terhadap negara-negara Amerika Latin dengan cara
yang bervariasi sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Artinya, AS
melindungi wilayah Amerika Latin secara ketat untuk mencegah pengaruh lain
yang merugikan kepentingan AS. (Renehan, 2007:108)
Dasar lain kebijakan intervensi AS adalah Roosevelt Corollary yang
merupakan Pidato Tahunan Presiden Roosevelt pada Desember 1904. Roosevelt
Corollary ini memperkuat Doktrin Monroe. Presiden Roosevelt mendefinisikan
Amerika Latin, terutama Kepulauan Karibia, sebagai kawasan yang dilindungi
oleh AS. (Rabe, 2011:275)
Esensinya, AS mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai polisi internasional
melalui justifikasi unilateral untuk meningkatkan intervensinya ke negara-negara
Amerika Latin. Doktrin Monroe berikut Roosevelt Corollary ini juga menjadi
landasan kebijakan intervensionis AS di Dunia Ketiga.Dalam perkembangan
selanjutnya,
doktrin-doktrin
seperti
Reagan
yang
menyatakan
akan
mengintervensi Nikaragua untuk melawan pemerintahan Sandinista, sehingga
intervensi menjadi tindakan legal bagi AS. (Meiertones, 2010:156)
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Perang Dingin kebijakan
intervensionis ini seringkali dipakai AS sebagai pilihan instrumen politik luar
negerinya untuk mengubah pemerintah diberbagai negara. Dalam konteks
3
bipolaritas Perang Dingin, keterlibatan AS dalam proses perubahan rezim di
negara
lain
dapat
dijelaskan
dalam
kerangka
politik
pembendungan
(containment), yaitu sebagai usaha AS untuk menangkal penyebaran pengaruh
ideologi dan kepentingan Uni Soviet. (Akhtar, 2003:94)
Salah satu negara Amerika Latin yang kini menjadi perhatian AS adalah
Bolivia. Pada tahun 1985 AS mulai mendominasi Bolivia melalui perusahaan
asing dan beberapa perusahaan AS disektor ekonomi, yaitu, melalui penguasaan
AS terhadap perusahaan telekomunikasi, perusahaan, penerbangan, perusahaan
listrik negara, perusahaan kereta api,serta yang paling utama di sektor minyak dan
gas (migas) akibat privatisasi. (Kohl, 2006:109)
Pada masa periode pertama pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada pada
tahun 1993-1997, AS berupaya mereformasikan perekonomian Bolivia melalui
privatisasi. Yakni, dengan menerapkan kebijakan ekonomi dan struktural politik
yang salah satunya melalui implementasi Undang-Undang Kapitalisasi. (Sachs,
2005:90-108)
Kebijakan ini lahir atas tekanan dari Bank Dunia dan International
Monetary Found (IMF) dengan dukungan AS (Kohl, 2006:107). Undang-Undang
tersebut menetapkan otorisasi penjualan minyak dan gas (migas) negara,
perusahaan telekomunikasi, perusahaan penerbangan, perusahaan listrik negara,
perusahaan kereta api, serta perusahaan peleburan biji besi (Kohl, 2006:109).
Sementara itu, pada masa pemerintah Hugo Banzer periode 1997-2001,
Bolivia dihadapkan pada kepentingan AS untuk menutup pintu masuk peredaran
kokain di AS yang berasal dari Bolivia. Kemudian, melalui bantuan keuangan dan
4
militer AS, Bolivia menerapkan kebijakan penghapusan penanaman koka.
(Gordon,2006:16) Selain itu, pemerintah Hugo Banzer juga melakukan privatisasi
terhadap perusahaan air minum negara. (Chan,2007:5)
Sebelum kebijakan privatisasi aset-aset nasional, perekonomian Bolivia
diwarnai dengan kemajuan di sektor pertambangan timah. Namun, sejak awal
1980-an, perekonomian Bolivia mengalami kemunduran dengan jatuhnya harga
timah yang berdampak pada sumber pemasukan Bolivia dan di sektor
pertambangan timah. (Kohl, 2006:54)
Tingkat Gross Domestic Product (GDP) menurun 9,2% antara tahun 19811986, yaitu dari 5,99 miliar Dollar AS menjadi 4,79 miliar Dollar AS. Hal ini juga
diiringi dengan tingkat hutang yang besar, yaitu mencapai 3,8 miliar Dollar AS
pada tahun 1982. (Kohl, 2006:55)
Dengan tingkat hutang yang demikian besar dan terjadinya kemunduran di
sektor perekonomian, maka pemerintah Bolivia mencoba mengambil jalan keluar
dengan memotong pembayaran hutang sebesar 25%. Pemotongan pembayaran
hutang ini mengakibatkan kekhawatiran di pihak kreditor sehingga membekukan
aset-aset Bolivia yang berada diluar negeri. (Kohl, 2006:55)
Oleh
karena
mengimplementasikan
itu
sejak
stabilisasi
struktural. Antara lain, dengan
tahun
program
1985,
pemerintah
makroekonomi
dan
Bolivia
reformasi
mengurangi keterlibatan pemerintah dan
meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasionalnya. Hal ini
dituangkan ke dalam Dekrit Presiden 21060 yang merupakan inisiatif rancangan
dari teknokrat Bolivia dukungan komunitas bisnis (Kohl, 2006:65).
5
Hal ini tentu saja mendapatkan dukungan dari IMF, Bank Dunia,serta
Bank Pembangunan antar-Amerika (IADB/Inter-American Development Bank)
serta AS sehingga menjadikan sebagai Bolivia model pembangunan ekonomi
neoliberal di Amerika Latin. (Kohl 2006:66)
Dampak dari ekonomi neoliberal tersebut menimbulkan perlawanan dan
kritik dari negara-negara Amerika Latin sebelum 1998, keadaan Amerika Latin
dibawah kontrol AS. Namun sejak 1998, sejumlah negara seperti Venezuela,
Kuba, terus melancarkan kritik terhadap dominasi AS akibat kegagalan
neoliberalisme dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan
kepada rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi masyarakat terus terjadi menuntut
terwujudnya keadilan sosial (Suyatna, 2007:52).
Kebijakan
ekonomi
pemerintah
Bolivia/Neoliberal
menyebabkan
terjadinya gerakan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan adanya demonstrasi, baik itu
dalam skala kecil maupun besar. Pada tahun 2000, pecah protes dari rakyat yang
berakhir dengan kekerasan dengan jumlah korban enam orang dan 170 lainya luka
parah. Mereka menuntut untuk penghapusan kebijakan privatisasi air. (Kohl,
2006:165)
Gerakan sosial tersebut berhasil membuat perubahan dalam pemerintah
dan kebijakan Bolivia adalah gerakan protes rakyat terhadap kebijakan minyak
dan gas alam dan awal dari perubahan sosial yang ada di negara tersebut. (Kohl,
2006:173)
Revolusi-revolusi
sosial
yang
digerakan
oleh
rakyat
berhasil
memunculkan pemimpin-pemimpin baru dikalangan mereka Hal ini berlanjut
6
kepada suksesi, yaitu naiknya Juan Evo Morales Ayma menjadi Presiden Bolivia
pada Pemilu 2005. Evo Morales adalah tokoh beraliran “kiri” yang bersifat kritis
terhadap kebijakan pemerintah AS dikarenakan Morales ingin melakukan
perlawanan terhadap kapitalisme yang dikembangkan AS di Bolivia yang selama
ini membawa masyarakat Bolivia kepada kemiskinan. (Suyatna, 2007:116)
Evo Morales merupakan pemimpin dari Partai Movimiento Al Socialismo
(MAS) merupakan partai berbasis gerakan penduduk asli (indigenous) yang
didirikan pada tahun 1998 yang memenangi pemilihan umum pada tahun 2005
dan menjabat sebagai Presiden pada tahun 2006 setelah unggul dari Jorge Quiroga
dengan perolehan suara 53.740%. (Tapia, 2008:220)
Setelah menjadi Presiden Bolivia, Evo Morales memperlihatkan sikapnya
yang anti-AS, dengan menunjukan daun koka dan secara demonstratif dan
memperlihatkan kepada seluruh hadirin yang sebagian besar terdiri dari Kepala
Negara dan Perdana Menteri negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), ketika ia berpidato di depan Sidang Umum Majelis Umum PBB.
(Lesmana,2007:614)
Selain itu, Evo Morales juga bersikap menolak AS dengan menolak
perjanjian multilateral maupun regional. Di antaranya Free Trade Area of The
Americas (FTAA) yang dinilai lebih banyak merugikan rakyat. Pada akhirnya,
Evo Morales menggalang Persatuan Ekonomi dengan Presiden Venezuela, Hugo
Chavez, dan Pemimpin Kuba, Fidel Castro dengan membentuk perjanjian
Alternativa Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA) pada
7
tanggal 29 April 2006. Ketiga tokoh ini menandatangani Tratado Comercio de los
Pueblos (TCP). (Lesmana, 2007:616)
ALBA merupakan kerjasama regional di kawasan Amerika Latin dan
Karibia. Kerjasama yang diajukan pada bulan Desember 2001 merupakan suatu
alternatif terhadap FTAA. Pada bulan Desember 2004, Venezuela dan Kuba
mendatangani perjanjinan kerjasama dalam kerangka ALBA melalui Association
of Caribbean States Summit dengan bertujuan untuk menyeimbangi perdagangan
bebas yang didominasi oleh AS. (http://www.globalresearch.ca/latin-americassocial-movements-and-the-alba-alliance/5336550)
Naiknya Evo Morales semakin menguatkan barisan “kiri” di Amerika
Latin. Morales menjalin hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez
dan Presiden Brazil Luiz Ignazio Lula da Silva, serta secara terang-terangan
memberi dukungan terhadap Pemimpin Kuba, Fidel Castro, hal ini yang
menyebabkan AS memandang Morales sebagai tokoh berbahaya yang
mengancam kepentingannya di Amerika Latin. (Shoelhi, 2007:87)
Mengingat La Paz sangat menjaga jarak dengan Washington, Sikap
bermusuhan dengan Washington bisa dijelaskan dari program ekonomi Partai
MAS. Partai tersebut menolak kebijakan ekonomi-politik AS serta mendesak
nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam. (Shoelhi ,2007:87)
Sedangkan istilah “kiri” adalah ideologi yang menginginkan perubahan
radikal atau menyeluruh (revolusi) untuk mengubah keadaan di sekitar yang
menganut kesejahteraan dan kebebasan yang diinginkan masyarakat luas. Arti
“kiri” disini mengacu pada Sosialisme, yakni Sosialisme Reformis yang anti-
8
revolusi. Maksudnya, agar sosialisme tidak terjatuh menjadi sistem otoritarian,
maka Sosialisme juga mengacu pada perubahan tatanan baru (sosial, ekonomi,
dan politik) dari tatanan sebelumnya dan sosialisme yang bersifat demokratis
sehingga dapat diterima oleh masyarakat. (Giddens, 2002: 100)
Dalam hal ini, penyebab utama kecenderungan kembalinya “politik kiri”
ke wilayah Amerika Latin khususnya Bolivia adalah akibat kinerja ekonomi yang
menyengsarakan sehingga menggagalkan upaya reformasi ekonomi hasil
Washington Consensus. Konsensus ini mengutamakan pembangunan yang
didukung oleh modal asing, privatisasi di sektor industri dan sumber daya alam,
liberalisasi impor, tingkat suku bunga yang tinggi, deregulasi, pengetatan fiscal,
serta pematokan mata uang (Subono, 2010: 103).
Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, konsensus ini ternyata mengecewakan
masyarakat Amerika Latin. Faktanya, kinerja neoliberalisme ternyata tidak sesuai
dengan janji yang dicanangkan dalam Washington Consensus. (Subono 2010)
Kegagalan dalam memperoleh keuntungan besar dari projek Washington
Consensus tersebut (Subono, 2010:103) menimbulkan kekecewaan politik di
kalangan masyarakat Bolivia. Hal ini telah mendasari bangkitnya kekuatan politik
dan gerakan sosial baru sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi yang
memengaruhi masyarakat pribumi di Bolivia. (Barret. at all, 2008:2)
Permasalahan mengenai kebijakan Bolivia dalam melawan dominasi AS
ini menarik untuk dianalisis dari sudut faktor internal dan faktor eksternalnya.
Penelitian ini akan mengkaji kepentingan nasional yang melatar belakangi Bolivia
dalam menghadapi hegemoni AS pada periode 2005-2009.
9
Analisa penelitian ini difokuskan pada tahun 2005 sampai 2009. Sebab
periode tersebut merupakan periode pertama pemerintah Presiden Bolivia Evo
Morales. Hanya dalam beberapa bulan sejak kepemimpinannya, Morales mulai
merestrukturisasi sendi perekonomian Bolivia.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul suatu pertanyaan
penelitian yang nantinya akan dibahas yaitu :
“Mengapa Bolivia merestrukturisasi perekonomiannya melalui kebijakan
nasionalisasi minyak dan legalisasi koka dalam menghadapi hegemoni Amerika
Serikat P
eriode 2005-2009?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghadapi pengaruh mengetahui implementasi
kebijakan Bolivia dalam menghadapi pengaruh AS setelah Evo Morales menjabat
sebagai presiden terpilih di Bolivia. Kajian terhadap implementasi kebijakan
Bolivia ini dimulai dari upayanya dalam merekstrukturisasi perekonomian pada
periode pertama pemerintahya tahun 2005-2009.
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
keberhasilan bagaimana negara berkembang dalam upayanya menentang negara
super power seperti AS yang selalu memperluas pengaruhnya di negara-negara
berkembang.
10
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa tulisan tentang perlawanan negara-negara Amerika Latin
terhadap AS lebih banyak melihat Amerika Latin khususnya Bolivia yang
mayoritas berada dibawah hegemoni AS.
Salah satunya dengan tesis Emil Radhiansyah memaparkan tentang
penderitaan dan kemiskinan rakyat Bolivia sehingga menimbulkan aksi-aksi
perlawanan berbentuk Gerakan Sosial yang dihimpun dari kekuatan rakyat
Bolivia yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani koka yang banyak dirugikan
dengan adanya pembasmian ladang koka seluas 50.000 hingga 60.000 oleh
pemerintah Bolivia sehingga melahirkan jumlah pengangguran yang semakin
bertambah. (Radhiansyah, 2008:10)
Evo Morales memimpin suatu gerakan sosial dengan Partai Movimiento Al
Socialismo (MAS) dan mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat Bolivia.
Pada tesis, Emil Radhiansyah menekankan analisanya pada seputar masalah
gerakan massa yang mengalami penindasan akibat praktek Neoliberal AS itu
sendiri.
Selain itu, dalam buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika” Mohammad
Shoelhi mencoba menjelaskan mengenai perlawanan negara-negara berkembang
terhadap AS contoh Bolivia yang berani membendung hegemoninya di Amerika
Latin khususnya Bolivia, Pasca dari naiknya Evo Morales sebagai Presiden
semakin menguatkan barisan sosialis di Amerika Latin. Evo Morales menjalin
hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Brazil Lula da
Silva, dan Juga Presiden Kuba Fidel Castro. Itulah sebabnya AS memandang
11
Morales sebagai tokoh yang berbahaya yang mengancam kepentingannya di
Amerika Latin. (Shoelhi 2007:87)
Buku tersebut merupakan pemaparan singkat yang ditulis oleh Mohammad
Shoelhi. Dari pemaparan Mohammad Soelhi tersebut penelitian, ini memberikan
informasi lebih lengkap mengenai peran Evo Morales dalam menghadapi
hegemoni AS.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan Tinjauan Pustaka diatas terdapat
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dengan lebih mengalisis
kebijakan yang dilakukan Bolivia dalam menghadapi hegemoni AS berikut faktor
eksternal dan internal apa yang memengaruhi kebijakan tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran dengan beberapa konsep
yang digunakan dalam menganalisa permasalahan. Konsep-konsep yang
digunakan ini adalah konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri,
hegemoni dan counter hegemony.
1. Kepentingan Nasional
Konsep Kepentingan nasional menurut Frankel (1988:93) adalah sebuah
konsep yang menjadi kunci dari kebijakan luar negeri suatu negara, menurutnya
kepentingan nasional diartikan sebagai aspirasi dari suatu negara untuk dapat
digunakan secara operasional pada suatu kebijakan tertentu. Secara konseptual,
Frankel mengatakan kepentingan nasional merupakan nilai-nilai dasar yang
dipertahankan oleh suatu negara untuk mencapai tujuanya.
12
Kemudian Papp (1997:143) juga menambahkan mengenai konsep
kepentingan nasional, menurutnya kepentingan nasional merupakan kepentingan
sebuah negara yang harus dicapai dengan sebuah metode yang disebut kebijakan.
Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa kepentingan nasional
merupakan tujuan utama yang menjadi dasar bagi sebuah negara dalam membuat
kebijakan sebagai upaya dalam mencapai pemenuhan terhadap hal-hal yang
signifikan yang harus dicapai oleh suatu negara .
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai kepentingan
nasional sebagaimana yang telah dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisa
kepentingan yang melandasi kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan
melegalisasi koka.
2. Kebijakan Luar Negeri
K.J. Holsti di dalam bukunya yang berjudul International Politics: A
Framework for Analysis, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan
rumusan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan suatu negara dalam
memenuhi kebutuhan domestik, tetapi walaupun begitu kata Holsti kebijakan luar
negeri biasanya digunakan juga untuk mengubah kondisi di luar negera (Holsti,
1992:269). Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini, konsep dari
Holsti tersebut digunakan dalam menganalisa kebijakan Bolivia untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan pemerintah Bolivia dalam memenuhi kebutuhan
domestiknya serta mencapai kepentingan nasionalnya terutama pasca Evo
Morales menjabat sebagai Presiden Bolivia periode 2005-2009.
13
Holsti juga menambahkan bahwa tujuan implementasi dari sebuah
kebijakan luar negeri suatu negara mendapat pengaruh dari dua macam faktor,
yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik.
A. Faktor Internal
Holsti (1992:272-287) mengatakan faktor internal yang memengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terdiri dari beberapa macam, antara lain:
kebutuhan keamanan, sosial dan ekonomi. Kedua, karakteristik geografi yang
berkaitan dengan sumber daya alam. Elemen pertama dan kedua ini menurut
Holsti menentukan kesejahteraan nasional dan lingkungan strategis sebuah.
Kemudian, yang ketiga adalah atribut nasional, atribut nasional ini didefinisikan
sebagai karakter sebuah negara yang terdiri dari besar wilayah, jumlah penduduk,
sistem ekonomi, dan citra di mata internasional.
Kelima adalah opini publik, opini publik ini menurut Holsti turut menjadi
sumber yang memengaruhi kebijakan luar negeri karena publik dapat mengakses
informasi secara bebas, dan yang keenam adalah birokrasi, menurut Holsti
karakteristik ini merupakan sumber yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar
negeri.
B. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara menurut Holsti (1992:272) yang pertama adalah struktur sistem,
menurutnya dalam struktur sistem terdapat berbagai macam negara mulai dari
14
negara adi daya sampai negara kecil yang memengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara.
Kedua, kata Holsti adalah karakteristik atau struktur ekonomi dunia,
menurutnya karakteristik atau struktur ekonomi dunia ini menunjukan adanya
perbedaaan ekonomi antara negara kecil, negara berkembang, dan negara maju
yang dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Ketiga, kata Holsti adalah
tujuan dan tindakan dari aktor lain, ini menurut Holsti maksudnya adalah sebuah
negara akan merespon atau berinisiatif menjalankan kebijakan luar negerinya
terkait adanya tindakan dari negara lain.
Kemudian yang keempat adalah masalah regional atau global, menurut
Holsti ini merupakan masalah yang terjadi disuatu negara yang akan berdampak
ke negara lain bahkan ke kawasan sehingga akan menjadi masalah bersama,
karena masalah ini saling berhubungan dan melewati batas-batas nasional
sehingga dapat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh suatu negara.
Berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang turut menentukan
dan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, menurut Breuning (2007:9)
banyaknya elemen pada faktor-faktor yang memengaruhi dan turut menentukan
kebijakan luar negeri tersebut, tidak harus mempertimbangkan atau menjelaskan
semua elemen di dalam faktor-faktor tersebut. Hal itu menurut Breuning dapat
disederhanakan dengan fokus terhadap satu atau beberapa elemen pada faktorfaktor yang turut menentukan tersebut.
Dengan mengarah pada faktor-faktor yang turut menentukan dan
memengaruhi alasan sebuah negara membuat kebijakan luar negeri yang sudah di
15
kemukakan Holsti, maka dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini di
gunakan elemen yang menentukan kesejahteraan nasional sebuah negara yaitu
karakteristik geografi yang berkaitan dengan sumber daya alam pada faktor
internal, dan tindakan-tindakan dari negara lain yang terkait dalam merespon atau
berinisiatif untuk menjalankan kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan
domestik dan sistem internasional.
Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai faktor-faktor
kebijakan luar negeri di atas digunakan untuk menganalisa apa saja yang menjadi
faktor yang melandasi Bolivia membuat kebijakan nasionalisasi minyak dan
legalisai koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009. .
3. Hegemoni
Titik awal konsep hegemoni Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan
anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua
cara yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas
atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara
persuasinya dengan cara hegemoni. Perantara tindakan dominasi ini dilakukan
oleh aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni
dilakukan dalam bentuk menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau
lapisan dibawahnya (Simon, 2004:85).
Bagi Gramsci, berjalannya hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh
negara yang selama ini dikenal dengan kelas penguasa (ruling class), namun
bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Pengertian hegemoni di sini adalah
dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan atau tanpa
16
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar dan
bersifat moral, intelektual, dan budaya. (Strinati, 1995:153)
Gramsci membedakan dua tipe intelektual dalam masyarakat, pertama,
intelektual tradisional yang terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri
dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari
kehidupan masyarakat dari kejauhan yang seringkali bersifat konservatif
(antiperubahan), seperti, penulis sejarah, filsuf, dan para professor. Sedangkan
yang kedua adalah kalangan intelektual organik yang menanamkan ide menjadi
bagian penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta
turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. (Gramsci, 1971:15)
Di sini, penguasaan tidak dengan kekerasan. Melainkan dengan bentukbentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak
sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap, yaitu, tahap dominasi dan tahap
direction atau pengarahan. (Gramsci, 1971:20)
Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan,
seperti sekolah, media, modal, dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang
disusupkan lewat alat-alat tadi merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide
yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang
disepakati oleh masyarakat. (Gramsci, 1971)
Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi
maka tahap berikutnya tinggal mengarahkan dan tunduk pada kepemimpinan oleh
kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap
17
sebagai orang yang tidak taat kepada moral serta dianggap tindak kebodohan di
masyarakat. Bahkan ada kalanya diredam dengan kekerasan. (Gramsci, 1971)
Dalam bahasan teorinya, Gramsci juga memberikan solusi untuk melawan
hegemoni (counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan.
Kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat karena setiap orang
sebenarnya adalah seorang intelektual, namun tidak semua orang menjalankan
fungsi intelektualnya di masyarakat. (Chalcraft, 2007:11)
Joshua S. Goldstein menambahkan bahwa hegemoni dipegang oleh suatu
negara yang memiliki kekuasaan yang dominan
dalam sistem internasional,
sehingga kekuasaan tersebut menjadi tunggal dan dapat mendominasi aturan
sendiri sehingga dapat mengatur hubungan politik dan ekonomi internasional.
Negara yang melakukan hal seperti ini disebut hegemon. (Goldstein, 1996:81)
Goldstein menyatakan bahwa pada umumnya hegemoni berarti dominasi
dunia akan tetapi lebih mengacu kepada dominasi regional, terkadang istilah
tersebut digunakan untuk merujuk kepada ide bahwa penguasa gunakan untuk
mendapatkan persetujuan untuk legitimasi mereka. Dengan mengacu kepada
hubungan internasional, hegemoni merupakan ide-ide seperti demokrasi dan
kapitalisme, dan dominasi budaya global AS. (Goldstein, 1996:81)
4. Counter Hegemony
Dalam menyusun perlawanan dan hegemoni tandingan Gramsci
memberikan counter hegemony, kaum intelektual organik haruslah berangkat dari
kenyataan yang ada di dalam masyarakat, menanamkan kesadaran baru yang
18
menyingkap kerusakan sistem lama yang dapat mengorganisir masyarakat.
(Gramsci, 1971:14)
Dengan begitu, ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh
masyarakat hingga tercapainya revolusi. Counter hegemony bisa dilakukan oleh
kalangan intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem
kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan
hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka
harus bekerjasama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan
ketika melakukan counter hegemony. (Carnoy, 1984:73-75)
Perlawanan tersebut menurut Gramsci disebut sebagai konsep perang
posisi (the war of position) yaitu perjuangan yang lebih di arahkan kepada usahausaha untuk membongkar atau bahkan melenyapkan ideologi, norma-norma,
politik dan kebudayaan dari kelompok yang berkuasa dan menjadikan suatu
tatanan baru. (Carnoy, 1984:78)
Dalam hal ini Gramsci fokus terhadap kesadaran utama dalam perubahan
yang tidak dilakukan dalam arti perang secara fisik akan tetapi sebagai sebuah
proses transformasi cultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan
menggantikan dengan hegemoni yang lain. Perang posisi juga merupakan
kesadaran kelas pekerja dan relasi kekuatan-kekuatan politik didalam masyarakat
tergantung kepada berbagai momen atau tingkat kesadaran politik secara kolektif.
(Carnoy, 1984:83)
19
Antonio Gramsci berpandangan bahwa budaya barat sangat mendominasi
budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa
mengadopsi budaya barat tersebut.
Dengan demikian, pemahaman mengenai counter hegemony yang
dikemukakan oleh Antonio Gramsci sesuai untuk menggambarkan kondisi Bolivia
yang anti-Amerika di bawah kepemimpinan Evo Morales.
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Bogdam dan Taylor (dalam Bangin, 2003:35), metode penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis dari berbagai sumber yang diamati. Sejalan yang dikemukakan oleh
Moleong (1989:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif
atau pemaparan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian kulitatif metode yang
digunakan adalah penngumpulan data dan analisa data.
1. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data mengunakan studi kepustakaan (library research), yaitu
pengumpulan data yang didapat dari sumber-sumber tertulis yaitu buku-buku,
artikel-artikel dalam jurnal, serta laman resmi dari jejaring yang relevan dan
berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam studi kepustakaan penulis
memperoleh data dari Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Studi
Kawasan Amerika Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan Miriam Budiarjo
20
Research Center FISIP UI, Perpustakaan, dan Perpustakaan Information Resource
Center (IRC) kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia.
2. Analisa Data
Menurut Mas’oed (1990:43) dalam melakukan studi hubungan internasional
perlu ditetapkan tingkat analisa sebagai petunjuk untuk menentukan unit
analisanya sehingga suatu studi dapat lebih fokus. Dalam tulisan ini tingkat
analisis yang diambil adalah negara. Dalam teknik analisa data, penulis membaca
serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta
secara sistematis agar lebih mudah difahami dan disimpulkan. Teknik tersebut
dapat membantu dalam memaparkan kebijakan Bolivia dalam mengadapi
hegemoni AS tahun 2005-2009.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Pernyataan Masalah
Pertanyaan Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Metode Penelitian
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
Sejarah Kebijakan Ekonomi Bolivia
Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika latin
Perkembangan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Bolivia
Penerapan Ekonomi neoliberal di Bolivia
Kebijakan Privatisasi Ekonomi di Bolivia
21
BAB III HEGEMONI AMERIKA SERIKAT DI BOLIVIA SEBELUM 2005
A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin A.1 Doktrin
Monroe.
B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005
C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005
C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro
Periode 1985-1989
C.2 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jamie Paz Zamora Periode
1989-1993
C.3 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 1993-1997
C.4 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Hugo Banzer Periode
1997-2001
C.5 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jorge Quiroga Ramirez
Periode 2001-2002
C.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de
Lozada Periode 2002-2003
C.7 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Carlos Mesa Periode 20032005
BAB IV KEBIJAKAN BOLIVIA DALAM MENGHADAPI HEGEMONI
AMERIKA SERIKAT 2005-2009
A. Faktor Internal
A.1 Kesenjangan Sosial
A.2 Gerakan Sosial Menuju Perubahan
A.3 Suksesi Naiknya Evo Morales ke Puncak Kekuasaan
A.4 Kebijakan Bolivia dalam Nasionalisasi Minyak
A.5 Kebijakan Bolivia dalam Melegalisasikan Koka
B. Faktor Eksternal
B.1 Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
B.2 Pembentukan Lembaga-lembaga Regional di Amerika Latin
C. Dampak Kebijakan Nasionalisasi Bolivia Bagi Pertumbuhan
Ekonomi Domestik
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA
Dalam bab ini menjelaskan sejarah dan perkembangan kebijakan Ekonomi
Bolivia, yakni mulai dari kebijakanan Neoliberal AS di Amerika Latin, yang
melatarbelakangi hegemoni AS di Amerika Latin sejak tahun 1823 melalui
Doktrin Monroe hingga perkembangannya menjelang berkurangnya pengaruh
hegemoni AS. Bab ini terdiri dari lima bagian.
Bagian pertama menjelaskan mengenai latar belakang hegemoni AS di
Amerika Latin yang dimulai dari doktrin Monroe pada tahun 1823 dan memiliki
pembahasan Doktrin Monroe ini digunakan untuk menekankan awal mula
intervensi AS di kawasan Amerika Latin.
Penerapan
Doktrin
Monroe hingga
tahun
1825
sejalan dengan
kemerdekaan Bolivia menjadi republik. Hal ini berlangsung terus sampai
pertengahan tahun 1985. Pada kurun waktu 1825 hingga 1985 sebanyak 178
pemerintahan jatuh bangun dan sebagian besar diperintah oleh rezim militer.
Pemerintah Hugo Banzer tercatat paling lama berkuasa selama tujuh tahun, yakni
1971-1978.
Bagian kedua membahas perkembangan model ekonomi Neoliberal di
Amerika Latin dan bagian ketiga menjelaskan dampak yang terjadi akibat adanya
penerapan kebijkana model ekonomi Neoliberal di Amerika Latin. Bagian
22
23
keempat membahas penerapaan Ekonomi Neoliberal di Bolivia dan bagian
Kelima membahas kebijkana Privatisasi Ekonomi di Bolivia.
A. Sejarah Perekonomian Bolivia
Semasa penjajahan Spanyol, Bolivia dibentuk dengan nama Upper Peru
atau Characas yang saat ini menjadi nama Negara Bolivia, dan sampai ke Lower
Peru yang saat ini menjadi Negara Peru. Kedua daerah tersebut merupakan
bentukan Spanyol sebagai kesatuan dareah jajahan sekaligus wilayah administratif
politik. Pada tahun 1545, daerah Upper Peru tercatat memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat besar seperti memiliki cadangan perak yang melimpah
ditambah dengan wilayah luas, hal ini menjadikan Upper peru menjadi daerah
yang kaya akan tambang. (Black, 1984:403)
Hingga pada perkembanganya pada tahun 1825 daerah Upper Peru
mendapatkan kemerdekaannya secara resmi melalui perjuangan panjang pejuangpejuang asli Bolivia atau masyarakat indigenous dikarenakan adanya penindasan
dan praktik diskriminasi terhadap masyarakat indigenous seperti adanya
pemeberlakuan kerja paksa, kewajiban membayar upeti terhadap pemerintah
Kolonial Spanyol dan perampasan Sumber daya alam dan barang-barang berharga
yang dimiliki oleh masyarakat indigenous (reparto de mercancias). (Albo,
1987:381)
Dengan bentuk kebijakan dari pemerintah Kolonial Spanyol yang bersifat
eksploitatif terjadi pemeberontakan yang dilakukan oleh masyarakat indigenous,
baik suku Aymra maupun Quechua melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Kolonial Spanyol. Pemberontakan ini dinamankan Tupac Amaru,
24
pemberontakan ini dimulai pada tahun 1770 hingga tahun 1772 (Serulnikov,
2003:126). Hingga perjuangan panjang sampai tahun 1825, Simon Bolivar
menjadi tokoh pembebasan masyarakat Bolivia dari pengaruh Kolonialisme
Spanyol. (Gott, 2005:91)
Pada awal berdirinya Bolivia menjadi suatu negara, Bolivia memiliki
daerah tetitorial yang sangat luas. Tercatat bagian selatan Chili, daerah perbatasan
Brasil, dan daerah perbatasan Paraguay yang disebut sebagai daerah Chaco yang
merupakan bagian dari Bolivia. Banyaknya peperangan dan perlawanan membuat
Bolivia sebagai negara yang kehilangan daerah teritorialnya. (Farcau, 1996:9)
Perang tersebut terjadi pada 7 Juni 1879 terjadi peristiwa perang antara
Peru, Chili dan Bolivia yang lebih dikenal War of Pasific. Perang yang
berlangsung selama lima tahun tersebut terjadi akibat pelanggaran perjanjian yang
pernah dilakukan Bolivia dengan Chili tahun 1874. Dalam perjanjian tersebut
Chili mengakui hak Bolivia atas Gurun Pasir Atacama dan perusahaan Chili di
kawasan tersebut dibebaskan pajak selama 25 tahun. (http://lcweb2.loc.gov/cgibin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Bolivia meninta pajak pada tahun1878, sehingga Chili menduduki
pelabuhan Antofagata. Sebagai reaksi Bolivia menyatakan perang dengan
dukungan Peru. Bolivia mengalami kekalahan pada tahun 1880 dan secara resmi
menyerahkan pantai tersebut kepada Chili dengan menandatangani Treaty of
Peace
and
Frienship.
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
(http://lcweb2.loc.gov/cgi-
25
Pada perkembanganya Bolivia dihadapkan pada situasi ekonomi yang
tidak menentu dalam suatu pencapaian stabilitas negara. Berbagai aksi
pemberontakan dan perlawanan rakyat dan kudeta militer menjadikan Bolivia
dihadapkan kepada situasi yang sulit. Pada tahun 1945 aksi pemberontakan terjadi
di daerah Catavi, perlawanan yang terjadi ini mendapat dukungan penuh dari
pihak Movimiento Nacionalista Revolucionario (MNR). Dua tahun setelah
gerakan perlawanan Catavi pemilu kembali diberlakukan dan mengantarkan Paz
Estensorro menjadi pemenang dari partai MNR. (http://lcweb2.loc.gov/cgibin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)
Kemenangan ini tidak terlepas dari program kebijakannya menasionalisasi
dan reformasi kepemilikan tanah bagi masyarakat indigenous, akan tetapi hasil
pemilu ini membuat pihak militer mengambil peran dengan menghapuskan
pemilu yang dicapai. Disisi lain, kesatuan militer mengalami krisis kepemimpinan
dengan tidak bisa menyatukan seluruh angkatan bersenjata Bolivia. Pada sisi yang
berbeda MNR mengambil kesempatan untuk melakukan pemberontakan, keadaan
ini memaksa militer mundur dan menyerah. (Kohl, 2006:48)
Setelah MNR berhasil melakukan pemberontakan Paz Estenssoro naik
sebagai presiden pada tanggal 16 April 1952 (Kohl, 2006), Paz Estenssoro
melakukan proses perubahan radikal terjadi diantaranya
nasionalisasi tiga
perusahaan timah Bolivia pada tanggal 31 Oktober 1952. Pemerintahan MNR
kemudian mendirikan Corporacion Minera de Bolivia (COMIBOL) sebagai
badan usaha yang bergerak di bidang pertambangan di bawah pengelolaan negara
26
dan program land reform yaitu program yang menyangkut distribusi lahan di
pedesaan. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Pada bulan Agustus 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang
Reformasi Agraria 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang tersebut
bertujuan untuk menghapus eksploitasi kerja terhadap kelas buruh dan
pendistribusian lahan-lahan di wilayah pedesaan dari kelompok oligarki tuan
tanah.(http://www.mongabay.com/history/bolivia/boliviapetroleum_and_natural_gas.html).
Meskipun serangkaian kebijakan reformasi radikal yang dilakukan
pemerintahan MNR telah berjalan, akan tetapi dampak yang dirasakan masyarakat
indigeneous di Bolivia tetap tidak memperoleh perubahan yang signifikan dari
kebijakan ini. Justru sebaliknya, pada masa pemerintahan MNR lewat kebijakan
tersebut. Dampak yang terjadi dari kebijakan reformasi agrarian tahun 1953.
Redistribusi tanah yang dilakukan MNR, namun yang perlu ditekankan disisni
adalah aturan reformasi agrarian yang ada hanya Undang-Undang yang sifatnya
formalitas. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)
Dalam pelaksanaanya Undang-Undang reformasi agrarian tersebut pada
kenyataanya tidak pernah terjadi. Dalam proses pengambilan kebijakan di
pemerintahan, MNR juga berusaha mematikan militansi kelompok indigenous di
bawah kontrol pemerintah Dengan demikian, MNR bukanlah partai yang
merepesentasikan masyarakat indigenous secara utuh melainkan hanya sebagai
27
kelompok elit yang mengendalikan masyarkat indigenous untuk tujuan mereka
semata. (Cott, 2000:164)
Periode pmerintahan revolusioner MNR berakhir pada tahu 1964, setelah
rezim
junta
miter
melakukan
kudeta
yang menandai
dimulainya
era
ketidakstabilan politik Bolivia. Semenjak saat itu hingga rentan waktu 18 tahun
berikutnya Bolivia dikendalikan oleh rezim junta militer yang bersifat otoriter,
korup, dan brutal yang didukung oleh AS untuk menjadi pembendung paham
“kiri” di kawasan Amerika Latin. (Farah, 2009:3)
Pemerintahan pertama rezim junta militer Bolivia berada di bawah
kepemimpinan Jendral Barrientos yang berkuasa dari tahun 1964 hingga 1969.
Dalam era kepemimpinan Jendral Barrientos, peranan negara yang kuat dalam
mengontrol perekonomian sejak masa revolusi MNR kembali dilanjutkan. Rezim
junta militer tersebut mendapat dukungan dari AS. Hal ini dibuktikan dengan
diberangkatkanya 1200 orang perwira militer Bolivia ke seekolah-sekolah militer
AS. (Kohl, 2006:50)
Dinas intelejen AS Central intelegence Agency (CIA) dan pasukan khusus
AS juga ikut pula memberikan pelatihan teknis kepada rezim junta militer Bolivia
yang pada akhirnya memainkan peranan penting seperti dalam kasus penangkapan
dan eksekusi terhadap tokoh sosialis asal Kuba Che Guevarra dalam pelariannya
ke Bolivia pada tahun 1967 (Kohl, 2006:50).
Pada masa pemerintahan junta militer di Bolivia, Jenderal Barrientos
menjalin hubungan yang baik dengan kelompok petani. Hubungan yang harmonis
28
ini antara pemerintah junta militer dengan petani tersebut ditunujan dengan
pembentukan pakta militer-kelompok petani (The Military-Campesino Pact)
(Kohl, 2006:50).
Dengan dibentuknya pakta tersebut, Jenderal Barrientos mendapat
dukungan yang kuat dari masyarakat pedesaan Bolivia. Buktinya dengan
memenangi pemilu pada tahun 1966 dengan perolehan suara 63% yang berasal
dari mayoritas masyarakat pedesaan Bolivia (Kohl, 2006). Akan tetapi hubungan
harmonis tersebut tidak bertahan lama setelah meninggalnya Jenderal Barrientos
akibat kecelakaan helikopter dalam kunjungan kerjanya ke wilayah pedesaan
Bolivia pada tahun 1969. (Albo, 2002:76)
Setelah ditinggal oleh Jenderal Barriientos, dingantikan oleh, Luis Adolfo
Siles Salinas dan kemudian digulingkan oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia.
Jenderal Alfredo Ovando Candia sempat menasionalisasi minyak dari Perusahaan
Gulf milik AS di Bolivia. Pada tahun 1970 Jenderal Alfredo Ovando Candia
digulingkan oleh Jenderal Juan Jose Torres (http://www.washingtonpost.com/wpsrv/world/countries/bolivia.html).
Setelah Jenderal Jose Torres menjadi pemipin Bolivia, Jenderal Jose
Torres melanjutkan hubungan dengan Uni Soviet yang sebelumnya telah
dibangun oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia , menjadi lebih dekat. Hal ini
sangat merugikan hubungan dengan AS. Jenderal Jose Torres digulingkan pada
tahun 1971 oleh Jenderal Hugo Banzer dan mengembalikan hubungan dengan AS.
(http://www.washingtonpost.com/wp-srv/world/countries/bolivia.html)
29
Setelah ditinggal Jenderal Barrientos, hubungan militer dengan petani
mengalami keretakan mulai terjadi. Keretakan hubungan militer dengan kelompok
petani semakin mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Jenderal Hugo
Banzer yang perkuasa dari tahun 1971 hingga tahun 1978. Sebagai catatan penting
pemerintah Hugo Banzer, perekonomi Bolivia mengalami perkembangan yang
pesat dengan meningkatnya harga mineral di pasaran internasional serta
penemuan cadangan gas baru. (Salt, 2006:38)
Sektor pertanian di wilayah timur Bolivia dan pembangunan pabrik-pabrik
di wilayah La Paz juga semakin berkembang pesat. Namun ditengah-tengah
perkembangan pesat di sektor pertanian tersebut pemerintah Bolivia mengambil
langkah yang tidak popular di masyarakat dengan menaikan harga hasil pertanian
secara tinggi yang mengakibatkan protes di kalangan petani. (Salt, 2006:38)
Pemerintah Bolivia tidak merespon aksi protes yang terjadi di kalangan
petani. Pemerintah menggunakan tindakan represif yang terjadi pada tahun 1974
saat Jenderal Hugo Banzer mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menghadapi
aksi protes tersebut di wilayah Tolata di Provinsi Cochamba. Pergerakan kekuatan
bersenjata tersebut berakhir tragis dengan pembantainan yang menewaskan 200
orang petani Bolivia. (Kohl, 2006:52)
Memasuki tahun 1977 pemerintahan junta militer mulai goyah. Akibat
adanya resei perekonomian dan juga tekanan dari kelompok oposisi dalam
struktur politik Bolivia untuk menerapkan proses demokratisasi secara penuh
(Mayorga, 2005:151). Pada sama bersamaan, konteks politik internasional yang
ditandai dengan gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia semakin
30
mendesak dipromosikannya nilai-nilai hak asasi secara universal serta diakhirinya
kepemimpinan rezim militer di Amerika Latin. (Mayorga, 2005:151)
Desakan yang kuat untuk menerapkan proses demokratisasi di Bolivia
tersebut berujung kepada tumbangnya rezim junta militer Jenderal Hugo Banzer
melalui kudeta pada tahun 1978 oleh Jenderal Guido Vildoso Calderon,
berakhirnya rezim militer Jendral Hugo Banzer malah membuat ketidakstabilan
ekonomi dan politik di Bolivia.
Pada tahun 1980 Hernan Siles Zuazo dan partai yang dipimpinya Unidad
Democratica Popular (UDP) memenangkan pemilu, akan tetapi kemenangan
tersebut diambil alih oleh Jenderal Luis Garcia Meza, pemerintahan junta militer
tersebut hanya bertahan 1 tahun. kebijkan yang dilakukan pemerintah tersebut
adalah ekspor kokain yang mencapai 850 juta Dolar AS. Pada tahun 1980-1981
menbuat pemerintahan tersebut berada dalam ancaman dunia internasional
ditambah dengan korupsi dan kekejaman militer yang menyudutkan pemerintahan
tersebut.
Pada tahun 1982 Kongres Bolivia melantik Hernan Siles Suazo sebagai
presiden terpilih pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai
dimulainya era transisi domokrasi di Bolivia setelah 18 tahun berada di bawah
kekuasaan
junta
militer.
(http://lcweb2.loc.gov/cgi-
bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0033%29)
Pada tahun 1985, penurunan nilai ekonomi melanda Bolivia dengan
tingkat inflasi tertinggi di dunia sehingga mengakibatkan mata uang Bolivia tidak
31
bernilai. Tingkat inflasi yang terus meningkat dari tahun 1982 sebesar 296% tahun
1984 sebesar 2. 175% dan pada tahun 1985 mencapai lebih dari 8.168%. yang
tertera pada grafik inflasi. (Roca, 1996:162-164)
Grafik inflasi
Grafik diperbesar pada tahun 1980-1990
Sumber: http://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/lo/countries/bo/bo_inf.html
Dari tingginya tingkat inflasi membuat negara dalam keadaan kritis dalam
memperoleh stabilitas sistem ekonomi dan politik. Dimasa pemerintaha Paz
Estensorro (1985-1989), Bolivia meminta bantuan kepada IMF, IMF memberikan
program penyesuaian Struktural yang dicanangkan untuk Bolivia, program ini
32
ditujukan untuk menanta ulang perekonomian Bolivia. Perencanaan program
tersebut diperkuat dengan Dekrit Presiden 21060 (Kohl, 2006:83).
Pada
bulan
Agustus
1985,
Pemerintah
Bolivia
secara
resmi
mengumumkan program penyesuaian struktural (SAP) yang diberi nama New
Economic Policy (NEP) isi dan butir yang termaksud kedalam NEP diantaranya:
Menghapuskan pembatasan-pembatasan impor dan ekspor (liberalisasi
kebijakan impor dan ekspor), menetapkan tingkat perdagangan tunggal dan
fleksibel, membekukan upah sektor publik selama empat bulan (kemudian
dikurangi sampai tiga bulan), memberikan kesempatan kepada perusahaanperusahaan
negara
satu
bulan
untuk
mengemukakan
program-program
rasionalisasi (yaitu pemutusan hubungan kerja) staf, memperkenalkan kontak
bebas pada semua firma. (Avirgan, 2003:82)
B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin
Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat di negara-negara
berkembang mendorong banyak negara untuk mencari alternatif strategi
pembangunan baru yang lebih memberikan peluang bagi percepatan pertumbuhan
dan akumulasi kapital, akibat gagalnya upaya pembangunan. Campur tangan
negara yang terlalu kuat dipandang sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang pada akhir abad 20, sehingga strategi yang
ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan bagi investasi dan pasar bebas.
(Fakih, 2001:217)
33
Gagasan
perlindungan
hak
milik
intelektual,
good
governace,
penghapusan subsidi, program proteksi kepada rakyat, deregulasi, pembangunan
civil society, program antikorupsi dianggap sebagai proram yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan suatu tatanan perdagangan
global dan sejak saat itulah gagasan globalisasi dimunculkan. (Fakih, 2001:218)
Era globalisasi ini ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang
dipaksakan melalui kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP)
merupakan kebijakan yang ditetapknan di negara-negara berkembang oleh
lembaga finansial global yang didukung oleh AS, seperti IMF dan World Bank
yang telah disepakati oleh lembaga dunia. Fase globalisasi ini ditandai dengan
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasarkan kepada keyakinan perdagangan bebas. (Suyatna, 2007:36)
AS melalui IMF lalu menolong negara-negara berkembang melalui
program restrukturisasi IMF berdasarkan sejumlah prasyarat hutang yang akan
diberikan, yaitu, program privatisasi perusahaan-perusahaan negara, pengurangan
belanja publik melalui pengurangan subsidi adalah strategi kebijakan yang
menjadi prinsip utama gagasan-gagasan neoliberal. (Winarno, 2005:25)
Neoliberalisme merupakan akar dari ekonomi politik liberal klasik dari
Adam Smith yang berdasarkan fungsi khusus dari asumsi ideologi tentang
hubungan antara negara dengan individu dalam teori liberal klasik yang ditulis
200 tahun lalu, negara memaksakan kekuasaan yang telah ditafsirkan sebagai
ancaman utama terhadap kebebasan individual. (Kohl, 15:2006)
34
Neoliberalisme merubah wilayah yang diterima wilayah oleh aktifitas
negara dan mengurangi pengeluaran sosial sebagai negara yang turun tahta. Hal
tersebut merupakan tanggung jawab untuk menjaga sektor yang diprivatisasi.
(Kohl, 15:2006)
Gagasan neoliberal ini mengacu kepada Washington Consensus yang
mencangkup beberapa hal. Pertama pengeluaran pengeluaran publik, khususnya
militer dan administrasi publik, kedua liberalisasi keuangan dengan suku bunga
yang ditentukan pasar, ketiga liberalisasi perdagangan disertai penghapusan iain
impor dan pengurangan tarif, keempat mendorong investor asing, kelima
privatisasi perusahaan-perusahaan negara, keenam deregurasi ekonomi, ketujuh
nilai tukar yang kompetitif untuk pertumbuhan berbasis ekspor, kedelapan
menjamin disiplin dan pengendalian defisit anggaran, kesembilan reformasi pajak,
kesepuluh perlindungan hak cipta. (Suyatna, 2007:39)
Dalam realitasnya, penerapan program restrukturisasi yang dilakukan oleh
IMF ini menimbulkan penderitaan rakyat. Program ini telah mempertajam
kesenjangan antara masyarkat Bolivia (indigenous) dengan investor asing.
Laporan PBB tahun 1999 menujukan bahwa 1/5 dari penduduk dunia dengan
penghasilan menguasai 86% GDP dunia. 82% pasar ekspor dunia dan Foreign
Direct Investment (FDI) dan 74% pengguna telepon. Sebaliknya.1/5 penduduk
termiskin dari negara miskin menguasai hanya 1% dari semua sektor tersebut.
(Suryohadiprojo, 2003)
Gelombang krisis ekonomi yang menimpa negara-negara Amerika Latin
sepanjang tahun 1990-an, memudahkan jalan bagi aktor-aktor globalisasi untuk
35
memasukkan agenda neoliberalisme dalam kebijakan perekonomian di negaranegara tersebut. Kondisi krisis ekonomi yang parah menyebabkan tidak adanya
pilihan lain bagi kebanyakan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta
pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank.
(Suyatna, 2007:42)
Dalam kaitanya dengan perdagangan bebas, World Bank dan IMF adalah
dua organisasi internasional yang paling berkuasa, IMF memiliki misi untuk
mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian hutang.
Sedangkan World Bank juga merupakan aktor penting pemberi hutang dengan
upaya me