Kebijakan Amerika Serikat di dalam bidan

Kebijakan Amerika Serikat di dalam bidang Ideologi
Politik Global Amerika Serikat

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Bidang Ideologi: Demokratisasi
( Invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 )

Selama perang dingin, kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah dipengaruhi
oleh tiga tujuan utama, yaitu mengepung Uni Soviet, mengamankan suplai petroleum
dan menjamin kebertahanan Israel. Promosi demokrasi ditutupi oleh tiga tujuan
tersebut. Pertimbangan demokrasi dan Hak Asasi Manusia tidak menjadi motif
dukungan AS untuk melawan negara Arab yang radikal selama Perang Dingin.
Pertimbangan Balance of Power adalah pertimbangan utama para pembuat kebijakan
AS.
Berakhirnya Perang Dingin dan kemenangan demokrasi atas komunisme Uni
Soviet berujung pada perubahan penting pada kebijakan luar negeri AS. Masa
administrasi Bill Clinton memberi perhatian lebih besar kepada isu luar negeri
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dua contoh undang-undang yang mengatur

demokrasi dan Hak Asasi Manusia pada kebijakan luar negeri AS adalah The Leahy
Amendment to the Defense Appropiations Act (1988) dan the Religious Persecution
Act (1998).
Perhatian khusus juga diberikan kepada hak perempuan dan pekerja.
Kebijakan luar negeri negara Timur Tengah banyak dipengaruhi oleh perubahanperubahan ini dan demokrasi menjadi salah satu elemen dalam hubungannya dengan
aktor regional. Promosi demokrasi selama periode ini bagaimanapun tetap mendapat
proporsi yang kecil dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS.
Serangan terorisme 11 September 2001 membuat promosi demokrasi menjadi
elemen penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS di Timur tengah. Tak lama
setelah serangan tersebut muncul berbagai pandangan bahwa terorisme Islamis adalah
ancaman utama AS. Hal tersebut disebabkan oleh defisit demokrasi yang terjadi di
Timur Tengah dan AS merasa bertanggung jawab atas hal tersebut. AS merasa harus
melakukan demokratisasi di Timur Tengah. Represi dan autoritarianisme membuat
para Islamis frustasi dan akhirnya bertindak nekat. AS dan sekutunya menganggap
demokrasi adalah satu-satunya solusi bagi masalah terorisme.
Tesis partisipasi-moderat yang menyatakan bahwa keterlibatan para Islamis
dalam proses demokrasi akan mendorong mereka untuk menjauhi ekstrimisme dan

terorisme dan mendekat kepada interpretasi moderat Islam. Tesis inilah yang saat ini
menjadi pondasi kebijakan AS. Neo-konservatif Bush membuat demokrasi sebagai

arah kebijakan luar negeri AS. Promosi demokrasi ke seluruh dunia merupakan bagian
dari misi global AS dan membantu pengamanan posisinya di dunia. Tetapi sayang
pada akhirnya kegagalan proyek demokratisasi Irak berujung ketidakpercayaan publik
terhadap AS yang sangat kukuh dalam menyebarkan ideologi demokrasinya.
Negara-negara demokratis, seperti AS, akan berupaya sekuat mungkin untuk
menyebarkan ideologinya melalui proses demokratisasi. Proses demokratisasi adalah
proses transformasi sistem atau struktur pemerintahan suatu negara menjadi suatu
sistem yang menerapkan nilai-nilai demokrasi, seperti: adanya pemilihan umum,
kebebasan berpendapat, adanya perwakilan rakyat, adanya pembagian struktur
pemerintah yang memungkinkan terjadinya proses check and balances dan
sebagainya.
Konflik senjata antara Amerika Serikat dengan Irak pada tahun 2003, ada tiga
tujuan yaitu AS ingin menghancurkan senjata pemusnah masal, menyingkirkan
ancaman teroris internasional dan membebaskan rakyat irak dari penindasan rezim
Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak. Dari tiga alasan tentang
masalah Irak yang harus diselesaikan dengan cara AS ( dhancurkan ) ternyata
dipenuhi kebohongan, yaitu : Agresi AS ke Irak untuk memusnahkan senjata
pemusnah masal adalah upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional.
Dikatakan oleh Presiden George W. Bush bahwa Irak mempunyai senjata pemusnah
atau destruksi missal ( Weapons of mass Destruction ) yang berupa :

1. Senjata kimia seperti mostar yang dapat menyebabkan kulit melpuh, tabun
dansarin yang dapat menyerang syaraf.
2. Senjata biologi seperti botulinum yang dapat meracuni dan mencekik orang,
bacillus antraxis yang dapat menyebabkan penyakit antrax, senjata nuklir dan scud
yang mempunyai jangkauan 900 kilometer untuk meluncurkan senjata – senjata
tersebut.
Untuk meyakinkan rakyat dan kongres AS, Presiden Bush didepan Kongres ketika
menyampaikan laporan taunan menyatakan bahwa Saddam Hussein telah
mengusahakan untuk membeli lima ratus ton uranium – oksida dari Nigeria. Dengan
demikian kepemilikan senjata – senjata tersebut dapat membahayakan rakyat Irak dan
negara – negara tetangganya.

Serangan AS ke Irak dengan alasan pemusnahan senjata pemusnah missal
tidak masuk akal, karena bila AS memang ingin menghancurkan senjata itu, Presiden
Bush tidak mengerahkan semua kekuatan militernya. AS ( dan sekutunya inggris )
hanya mengerahkan 230.000 dan 45.000 personilnya ke Irak. Dari jumlah itu hanya
90.000 prajurit AS dan 45.000 prajurit Inggris yang merupakan pasukan tempur.
Negara-negara demokratis cenderung takut dengan negara-negara nondemokratis yang kurang transparan dan mekanisme check and balances yang
memungkinkan negara non-demokratis tersebut untuk menyerang negara-negara
demokratis dahulu. Negara demokratis berpandangan bahwa kediktatoran lebih

mungkin untuk menggunakan kekerasan dan hal tersebut membuat negara demokrasi
menjadi lebih agresif dan rentan perang ketika merasa terancam oleh negara nondemokratis.
Maka keputusan administrasi Bush untuk melakukan invasi ke Irak adalah
karena adanya ketakutan AS bahwa Irak akan mengembangkan senjata pemusnah
masal untuk menyerang AS dan sekutunya, walaupun pada akhirnya tidak terbukti.
David Kay, inspektur senjata utama untuk Survey senjata Irak,

mengingatkan

kembali akan asumsi biasa pejabat AS tentang kemampuan senjata Irak:
Kami menemukan setelah Perang Teluk pertama bahwa kita pernah meremehkan
kapasitas nuklir Irak, sehingga tidak ada yang percaya pada Irak ketika mereka
mengatakan yang sebenarnya, bahwa tidak ada senjata di Irak.
Dukungan untuk relevansi teori liberal terhadap keputusan invasi dapat
ditemukan di pertanyaan, “Akankah AS menginvasi Irak seandainya Irak telah
menjadi negara demokratis?” Kemungkinan jawabannya adalah tidak. Tidak hanya
karena alasan bahwa sesama negara demokratis yang matang tidak akan menyerang
satu sama lain, namun juga akan menjadi pertanyaan jika kongres dan publik
mendukung invasi kepada negara yang bukan negara otoriter. Ini membuktikan bahwa
tipe rezim juga menjadi penyebab penting perang.

Dari perspektif liberal, serangan 9/11 , yang dilakukan oleh warga negara dari
negara-negara non-demokratis di Timur Tengah , meskipun tidak Irak , memberikan
insentif baru dan menarik bagi AS untuk menggunakan kekuatannya untuk
mendorong demokrasi , dengan harapan suatu efek spillover positif melalui wilayah
tersebut. Sebuah pembenaran penting bagi AS untuk mengakhiri kediktatoran represif

Saddam Hussein adalah untuk melindungi hak asasi manusia dan meringankan
penderitaan rakyat Irak. Bush dilaporkan membaca laporan tentang pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Irak dan laporan tersebut memberinya semacam tanggung jawab
moral yang diperlukan untuk membuat keputusan (untuk menyerang). Walaupun
sebenarnya tidak ada pelanggaran Hak Asasi Manusia besar-besaran sedang terjadi di
saat invasi, dan administrasi Bush tidak menunjukkan bahwa concern terhadap isu
Hak Asasi Manusia adalah motif utama untuk keputusan invasi.
Berdasarkan perspektif liberalisme, keputusan untuk berperang berasal dari
karakteristik internal negara, khususnya tipe pemerintahan dan juga pengaruh
dariekternal, yaitu hukum internasional. Keamanan dan kesejahteraan global
bergantung kepada penyebaran demokrasi dan perdagangan dserta fungsi regulasi
konflik padainstitusi internasional. Seperti realisme, liberlaisme menurunkan
beberapa teorihubungan internasional. Idealisme Kantian/ Wilsonian didasarkan pada
ide bahwakondisi yang lebih demokratis akan mampu menciptakan kondisi yang lebih

damai.Maka dari itu, liberal crusading akan menggunakan kekerasan untuk
mengganti kedikatatoran dengan demokrasi.
Teori

Liberal

menyatakan

bahwa AS

akan

terus

memprioritaskan

penggulingan negara non-demokrasi yang dianggap sebagai musuh. Negara
demokratis tidak akan mungkin untuk terlibat dalam perang yang berpotensi nuklir
dengan negara non - demokratis, kecuali mereka diserang dahulu.
Negara demokratis tidak akan saling menyerang. Namun mereka sangat rentan

untuk berperang dengan negara yang non demokratis. Semakin demokratis maka
semakin mudah untuk menciptakan perdamaian.

http://www.mjamzuri.com/index.php/artikel/politik-a-hubungan-internasional/34invasi-amerika-ke-iraq diakses pada 20 Maret 2014

http://mediamuslim.blogdetik.com/pabochech/533/detik-detik-invasi-as-ke-iraq-3kebohongan-as-terhadap-rakyat-iraq-dan-perebutan-kekuasaan/ diakses pada 20
Maret 2014
http://fersyhana.wordpress.com/2011/12/22/invasi-amerika-serikat-ke-irak-tahun2003/ diakses pada 20 Maret 2014