Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003

(1)

DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

oleh

ANNE NORMADIAH

NIM. 106083003623

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011


(2)

ii

DALAM INVASI IRAK TAHUN 2003

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Hubungan Internasional

oleh :

ANNE NORMADIAH

NIM. 106083003623

di Bawah Bimbingan

Pembimbing Penasehat Akademik

Kiky Rizky, M.Si Ali Munhanif, Ph.D

NIP. 197303212008011002 NIP. 196902011994031002

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan

Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.

Jakarta, 16 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan

Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP. 1973041199032002 NIP.197808042009121002

Pembimbing

Kiky Rizky, M.Si. NIP. 197303212008011002

Penguji I Penguji II

Dina Afrianty, Ph.D M. Adian Firnas, M.Si. NIP. 1973041199032002


(4)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Juni 2011


(5)

v

Pada 20 Maret 2003 Amerika Serikat melakukan serangan invasi militer ke Irak yang tidak mendapatkan justifikasi dari dunia internasional, meskipun Amerika Serikat telah mengemukakan alasan dan justifikasinya sendiri. Terdapat kecenderungan bahwa alasan kerentanan keamanan energi dalam negeri Amerika Seerikat telah menuntut Amerika Serikat untuk tetap menyerang Irak agar mendapatkan akses terhadap cadangan minyak di Irak

Penelitian ini memiliki temuan bahwa bertambahnya jumlah penduduk dunia, kemajuan industri dan transportasi telah membuat semakin tingginya tingkat ketergantungan terhadap minyak dunia, hal ini akan menyebabkan cadangan minyak dunia akan semakin menipis dan lama kelamaan akan habis. Amerika Serikat sebagai negara industri maju memiliki kepentingan untuk mengamankan suplai minyak di berbagai wilayah di dunia termasuk di Irak, mengingat Irak memiliki cadangan minyak yang cukup besar yakni sekitar 112 miliar barel. Kebijakan invasi pun digunakan Amerika Serikat untuk mencapai kepentingannya tersebut karena selain bertujuan untuk mencapai kepentingan akan minyak milik Irak, keuntungan ekonomi lain pun akan diperoleh Amerika Serikat sebagai dampak dipilihnya kebijakan tersebut.

Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Skripsi ini menggunakan metode dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan melalui buku-buku, jurnal, koran, hasil penelitian, dan terbitan-terbitan lainnya.


(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepentingan Minyak Pada Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Invasi Irak Tahun 2003”.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Agus Nilmada Azmi, S.Ag., M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ali Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.

6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwi.

7. Yang tercinta Ibunda Eneng Rodiah dan Ayahanda Syahrul Basir selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Penulis akan selalu ingat akan jerih payah kalian, terutama ibunda tercinta yang selalu sabar tanpa pernah mengeluh dan putus asa menanti ananda tercinta dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teruntuk Hj. Maemunah, dan Hj. Yuyu Suprihatin selaku nenek penulis yang telah memberi dorongan, baik moral maupun material selama penulis


(7)

vii

kalian.

9. Teruntuk sahabat-sahabat terbaik penulis di HI; Ita Fatimah, Ayu Yukhaeroh, Ikrimah, Hazrina, Dzuriah Tiara Hany. Kalian semua telah memberikan pertemanan yang indah dengan segala suka duka dan canda tawa selama lima tahun terakhir ini, serta telah memberikan dorongan semangat di saat penulis

putus asa dalam pembuatan skripsi ini. ”Love you guys....!

10.Ragil Wibisono yang selalu setia dan sabar mendengarkan keluh kesah penulis.

11.Terima kasih kepada sahabat penulis sejak masa kecil Mba Indah Fitriana Hapsari, Dwi Pursitasari, dan Niar Daniar.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Rifqi Sazali, Muhammad Zubir, Maya Damayanti, Sabriela Yolanda, yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembuatan skripsi ini.

13.Seluruh teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A angkatan 2006, kalian telah banyak memberikan warna dalam kehidupan penulis, serta seluruh teman-teman Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2006.

14.Teman-teman BEMJ Hubungan Internasional 2007/2008, yang telah banyak mengajarkan dan membantu penulis dalam berorganisasi.

15.Teman-teman Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007, 2008, dan 2009 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

16.Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.


(8)

viii

skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.

Jakarta, 6 Juni 2011


(9)

ix

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 8

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT A. Pengertian Energi ... 19

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat ... 21

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat ... 23

C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat ... 23

C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat ... 27

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11 ... 31

B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah ... 36


(10)

x

TAHUN 2003 ... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Tragedi penyerangan terhadap gedung kembar pencakar langit World Trade Center (WTC) di New York serta gedung Pentagon di Washington DC, Amerika Serikat pada 11 September 2001 telah membawa banyak perubahan pada kebijakan luar negeri AS.1 Pascatragedi tersebut, AS terus-menerus mengkampanyekan perang melawan terorisme ke berbagai negara di dunia. Doktrin pre-emptive strike pun dianut AS. Inti dari doktrin ini adalah bahwa AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa atau negara manapun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS.2 Dengan doktrin baru ini, AS melegalkan setiap serangannya terhadap pihak yang menjadi ancaman bagi AS.

Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, AS mengajak negara-negara lain untuk ikut serta dalam perang melawan terorisme. AS pun membagi dunia ini hanya menjadi dua, yaitu kami atau mereka yang dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional.3 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kaum teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS dan dengan sendirinya boleh

1

Dalam penelitian ini tragedi penyerangan tersebut selanjutnya disebut sebagai Tragedi 9/11.

2Riza Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,”

Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 36.

3 Ibid.


(12)

untuk diperangi. Hal ini sesuai dengan isi pidato Presiden George Walker Bush tanggal 11 September 2001 yang mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu dan mereka yang melindungi.4

Ada yang menarik dari pernyataan Bush itu. Ia membuat pernyataan yang cenderung tidak membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris tersebut. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah dilancarkannya invasi militer terhadap Afganistan pada awal Oktober 2001. Invasi dilaksanakan AS setelah pemerintahan Afganistan yang dikuasai Taliban menolak untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, yakni Osama bin Laden yang diyakini oleh AS sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 9/11.5

Selain melancarkan invasi terhadap Afganistan, implikasi lain dari kampanye perang melawan terorisme tersebut adalah invasi militer terhadap Irak. Invasi tersebut dilancarkan setelah tuduhan AS mengenai keterlibatan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaeda.6 Menurut AS, Irak turut serta dalam jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dituduh sebagai tokoh utama di balik Tragedi 9/11 yang menelan ribuan korban jiwa.7 Bahkan selain tuduhan tersebut, AS juga menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Dalam pidato tahunan Presiden George W. Bush yang dikenal dengan sebutan pidato state of the union di hadapan Kongres AS pada 29 Januari 2002, Irak disebut-sebut sebagai negara yang memproduksi senjata pemusnah massal. Irak juga dituding sebagai negara yang mendukung terorisme. Bersama

4

Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h . 96.

5

Ibid., h. 97.

6

Dhurorudin Mashad, Saddam Melawan AS (Jakarta: Pensil-324, 2003), h. 152.

7

Para pejabat Irak diketahui berulang kali telah melakukan pertemuan dengan anggota Al-Qaeda, khususnya dengan para anggota sel yang dipimpin Al Zarkawi yang tinggal di suatu tempat di Irak bagian Timur Laut. Irak aktif berhubungan dengan Al-Qaeda terutama setelah peristiwa peledakan bom di Kedutaan Besar AS di Kenya tahun 1998. Ibid.


(13)

Korea Utara dan Iran, Irak dimasukkan dalam “poros setan” (axis of evil), dan digolongkan sebagai rezim yang sangat berbahaya di dunia, yang mengancam AS dengan senjata pemusnah dunia.8 Sehingga bagi Bush tidak ada pilihan lain selain peran, kendati laporan hasil tim United Nations Monitoring, Verification and Inspection Comission (UNMOVIC), yaitu tim inspeksi senjata yang diketuai Hans Blix, maupun Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Association (IAEA) sudah menyatakan tidak menemukan bukti-bukti yang otentik dan akurat perihal kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak.9

Dijadikannya invasi Irak sebagai bagian dari kampanye perang melawan terorisme AS merupakan hal yang cukup menarik. Meskipun tuduhan-tuduhan AS terhadap Irak yang dikatakan memiliki senjata pemusnah massal dan Saddam Hussein dituding memiliki hubungan dengan Al Qaeda tidak berhasil dibuktikan, dalam kenyataannya AS pun tetap melancarkan invasi militernya ke Irak bahkan meskipun tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).10

Pada awal Maret 2003, sebelum dilancarkannya invasi tersebut, AS dan Inggris mengultimatum Irak, jika sampai 17 Maret 2003 belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya, negeri Saddam Hussein ini akan diserang.11 Waktu itu Gedung Putih mengaku menemukan bukti-bukti baru bahwa Irak belum menghancurkan senjata pemusnah massalnya. Sebelumnya, dalam konferensi pers

8Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”,

h. 73.

9

Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), h.147.

10

AS tetap memutuskan untuk menyerang Irak secara unilateral dengan didukung oleh beberapa negara yang termasuk dalam coalition of the willing, antara lain Inggris dan Australia, pasukan AS menyerbu Irak tanpa mandat PBB. Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 8.

11


(14)

yang diadakan pada 6 Maret 2003, Bush kembali menegaskan niatnya untuk menginvasi Irak dengan atau tanpa persetujuan DK PBB.12

Presiden George W. Bush sendiri kembali menegaskan, Saddam Hussein harus disingkirkan, kalau perlu dengan kekuatan.13 Tidak ada perubahan dari posisi Presiden Bush yang tetap akan menginvasi Irak dengan atau tanpa payung PBB. Perang menjadi satu-satunya tujuan untuk mencapai sasaran utamanya yaitu menguasai minyak Ira.14 Sebaliknya, Irak justru menunjukkan sikapnya yang kooperatif dengan membuka seluruh akses, termasuk ke Istana Kepresidenan, bagi UNMOVIC maupun IAEA.15 Menurut juru bicara PBB di Irak Yasuhiro Ueki, Irak pun kembali menghancukan tiga rudal dan lima mesin rudal.16 Sebelumnya, Irak telah menghancurkan enam rudalnya. Sejak Februari 2003, Irak memang telah memusnahkan puluhan Rudal Al-Samoud II yang dicurigai AS akan menjangkau Israel.17

Meskipun tuduhan-tuduhan yang sebelumnya telah diutarakan pemerintahan Presiden Bush terhadap Irak tidak terbukti kebenarannya, AS tetap melancarkan invasi militernya ke Irak. Jelas terdapat perhitungan ekonomi dan bisnis yang mendasari invasi AS ke Irak.18 Faktor minyak merupakan alasan lain yang dapat menjelaskan ambisi besar AS menginvasi Irak, di samping faktor lain seperti proyek rekonstruksi pascaperang yang akan menguntungkan AS.

12 Ibid.

13 Sihbudi, “Pasca Agresi Amerika ke Irak,” h. 33. 14

Ibid.

15

Pada awal Januari 2003, pemerintah Irak menyatakan menerima Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 1441. Resolusi 1441 disahkan pada 8 November 2002, yang isinya antara lain menuntut Irak untuk mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada UNMOVIC dan IAEA untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan persenjataan yang dimiliki Irak. Ibid.

16 Ibid. 17

Ibid.

18


(15)

Potensi minyak Irak menduduki urutan kedua terbesar di dunia. Menurut Centre for Global Energy Studies (CGES) London, Irak diperkirakan memiliki 112 miliar barel cadangan minyak.19 Bahkan cadangan minyak Irak diperkirakan lebih tinggi dari angka itu. Dengan kepemilikan jumlah cadangan minyak sebesar itu, Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.

Minyak merupakan faktor yang cukup diperhitungkan pada kebijakan luar negeri AS dalam hubungannya dengan berbagai kawasan di dunia, khususnya dengan kawasan Timur Tengah termasuk Irak.20 Timur Tengah memiliki arti yang menjadi lebih besar terlebih dengan cadangan minyak yang dimilikinya. Minyak adalah bahan bakar utama dan bahan mentah yang paling diperlukan dalam peradaban industrial kontemporer. Sampai sekarang komoditas minyak memang belum dapat digantikan oleh energi lain untuk kebutuhan industri. Jadi, penguasaan minyak sangat strategis untuk negara maju seperti AS. Terlebih cadangan minyak yang dimiliki negara seperti Irak merupakan terbesar ke dua di dunia setelah Arab Saudi. Inilah faktor yang menyebabkan AS ingin menguasai Irak. Selain itu, dengan menguasai Irak, AS juga mendapatkan pijakan baru di kawasan Teluk Parsi karena setelah Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, AS kehilangan basis utamanya di kawasan ini.21

Tingginya perhatian AS terhadap minyak di kawasan Timur Tengah menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang cukup diperhitungkan oleh AS, terlebih semenjak Dolar Amerika digunakan dalam transaksi perdagangan minyak

19 Ibid.

20

Timur Tengah merupakan terjemahan dari Middle East, suatu istilah yang sejak Perang Dunia II digunakan orang-orang Inggris dan AS untuk menyebutkan kawasan yang sebagian besar terletak di Asia Barat Daya dan Afrika Timur Laut, dan oleh sebab itu dapat dibatasi sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 4.


(16)

internasional.22 Sejak digunakannya Dolar Amerika dalam transaksi perdagangan minyak internasional, telah menjadikan AS sebagai hegemoni ekonomi dunia. Namun demikian, terdapat kekhawatiran tersendiri bagi AS jika suatu saat negara-negara produsen minyak mulai beralih dengan menggunakan mata uang lain dalam penjualan minyaknya yakni dengan mengganti penggunaan Dolar Amerika ke Euro. Dapat diketahui bahwa sejak munculnya Euro sampai terjadinya invasi AS, Dolar Amerika perlahan demi perlahan mengalami keterpurukan dan Irak yang menambah keterpurukan Dolar Amerika karena Irak yang pasca-Perang Teluk II terkena sanksi ekonomi telah mengambil sikap dengan mengganti penggunaan mata uang dalam transaksi penjualan minyaknya, yakni dari Dolar Amerika ke Euro pada akhir tahun 2000. Padahal pada waktu itu nilai mata uang Euro sangat rendah dibandingkan dengan Dolar Amerika. Sikap Irak itu dilihat semata-mata hanya merupakan suatu gertakan politik, bukan merupakan suatu pertimbangan ekonomi. Berdasarkan hal ini, maka dalam invasinya ke Irak, AS sekaligus juga ingin menjaga stabilitas nilai Dolar Amerika terhadap Euro. Selain itu, dengan cara menginvasi Irak, AS dapat menggertak negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar tetap menggunakan Dolar Amerika sebagai alat pembayaran dalam transaksi penjualan minyaknya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keuntungan demi keuntungan khususnya yang terkait dengan masalah ekonomi diperoleh pemerintah AS serta

22

Pada tahun 1971 para anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mengadakan pertemuan di Teheran (OPEC merupakan organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia yang terdiri dari 11 negara yaitu: Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Qatar, Kuwait, Indonesia, Nigeria, Venezuela, dan Libya). Pertemuan ini disebabkan karena setelah sepuluh tahun terbentuk, OPEC tidak dapat menstabilkan harga minyak. Pertemuan ini membuahkan hasil agenda bersama yang berkaitan dengan harga minyak yaitu memberlakukan penggunaan mata uang Dolar Amerika untuk pembelian minyak. Alasan yang sangat mendasar atas penggunaan mata uang Dolar Amerika yakni agar terhindar dari fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil.


(17)

korporasi yang berasal dari AS pascainvasi militer ke Irak. Perang Irak, perang yang pada dasarnya didorong oleh imperialisme AS untuk menguasai sumber minyak di Timur Tengah, yang diharapkan mampu menyediakan pasokan minyak yang cukup bagi AS, memaksanya untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Namun, jika diamati bahwa besarnya jumlah dana tersebut ternyata sebuah investasi bisnis jangka panjang bagi kepentingan ekonomi AS di dunia. Pemerintah AS menganggap, bahwa anggaran yang telah dikeluarkan akan dikembalikan secara bertahap pascaperang. Uang yang dihasilkan dari adanya bisnis rekonstruksi Irak ini akan disalurkan juga ke kas negara AS sebagai bentuk kompensasi dan relasi yang kuat antara pihak korporasi dengan pemerintah.23 Infrastruktur Irak yang hancur setelah invasi AS membutuhkan sebuah program rekonstruksi yang cepat di segala bidang. Beberapa bidang infrastruktur merupakan aset ekonomi yang sangat berharga bagi AS. Aset ekonomi seperti kilang minyak dan jalur pipanya adalah yang menjadi motif dominan serangan AS atas Irak. Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaruh minyak yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri AS dalam melancarkan Perang Irak tahun 2003.

B. Identifikasi Masalah

Dalam perkembangannya, pertanyaan yang muncul terkait tema yang diangkat adalah:

Mengapa kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003?”

23

Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak: Sebuah Konspirasi Neoliberal AS untuk Memimpin Dunia (Jakarta: GagasMedia, 2009), h. 235.


(18)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kepentingan minyak mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak tahun 2003.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam melihat isu yang akan diteliti, yakni mengenai pengaruh kepentingan ekonomi pada kebijakan luar negeri AS dalam Perang Irak tahun 2003, penulis menggunakan konsep tentang kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional, mengingat bahwa setiap kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah menghadapi dunia internasional mengacu kepada kepentingan nasional, sehingga keduanya merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan.

Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kebijakan luar negeri dalam melakukan hubungan internasionalnya dengan negara lain. Konsep mengenai kebijakan luar negeri sebenarnya telah banyak dibahas oleh para peneliti ilmiah. K. J. Holsti sebagai contohnya menganalisis kebijakan luar negeri menurut politik internasional. Holsti menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri dirancang untuk mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, keadaan, atau praktek dalam lingkungan eksternal.24 Beberapa tujuan dirancang untuk mengubah keadaan-keadaan luar negeri demi kepentingan mereka, kebanyakan dirancang untuk memajukan tujuan-tujuan domestik, seperti: 1) keamanan, 2) otonomi, 3) kesejahteraan ekonomi, 4) status atau prestise.25

24

K. J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th ed. (New Jersey: Prenctice Hall, Inc., 1992)h. 269.

25 Ibid.


(19)

Sementara menurut Prakash Chandra, kebijakan luar negeri adalah aktivitas yang dilakukan oleh komunitas yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengubah perilaku negara lain serta menyesuaikan diri mereka sendiri ke dalam lingkungan eksternal.26 Kebijakan luar negeri ini bertujuan untuk memelihara integritas negara, memajukan kepentingan ekonomi, menjamin keamanan nasional, menjaga prestise nasional dan memperkuat kekuatan nasional, dan memelihara tatanan dunia.27

Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan, baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal suatu negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Sehingga studi ini memusatkan perhatian pada usaha-usaha yang menggambarkan kepentingan, tindakan, dan elemen-elemen kekuasaan negara-negara.

Berdasarkan kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari lingkungan domestik dan eksternal merupakan suatu input yang kemudian mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dan dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi output.28 Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri disederhanakan ke dalam dua variabel di mana proses kebijakan luar negeri diposisikan sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diposisikan sebagai variabel independen.

26

Prakash Chandra, International Politics (New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81.

27 Ibid.

28

Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49.


(20)

Kebijakan luar negeri sebagai output merupakan hasil pilihan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Untuk menerangkan atau mengerti output ini, kita harus memperhatikan persepsi, citra, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan, dari mereka yang bertanggung jawab dalam merumuskan tujuan dan pengaturan tindakan. Kita dapat mengkombinasikan bermacam-macam faktor yang mempengaruhi pilihan tujuan, keputusan, dan tindakan, menjadi definisi situasi.29

Definisi situasi harus mencakup faktor eksternal dan domestik, kondisi kontemporer dan historis yang dianggap pembuat kebijakan relevan dengan setiap masalah politik tertentu. Hal ini meliputi kejadian-kejadian penting, kebutuhan-kebutuhan politik domestik dan luar negeri, nilai-nilai sosial dan imperatif ideologis, keadaan pendapat umum, adanya kapabilitas, tingkat ancaman, kesempatan yang dilaksanakan dalam satu situasi, konsekuensi yang telah diduga, biaya untuk mempersiapkan tindakan, dan elemen-elemen waktu atau tuntutan situasi tertentu.30

Tujuan dan tingkah laku politik luar negeri dapat berhubungan dengan: (1) kesan, nilai-niilai, kepercayaan, dan personalitas atau kebutuhan politik dari individu yang bertanggung jawab dalam penentuan tujuan, prioritas di antara mereka, dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya; (2) struktur dan kondisi internasional; (3) kebutuhan domestik; (4) atribut dan tingkah laku nasional; (5) kapabilitas; (6) nilai-nilai sosial yang umum, dan berbagai kepentingan kelompok khusus; (7) kebutuhan, nilai-nilai dan tradisi-tradisi organisasi. Relevansi dari semua faktor ini sebagian besar tergantung pada sikap,

29

K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 469.

30 Ibid.


(21)

pendapat, dan maksud dari para pembuat kebijakan yang bertugas dalam organisasi pengambilan keputusan yang mempunyai sasaran, fungsi, dan aturan.31

Setiap kebijakan luar negeri diformulasikan untuk mencapai suatu tujuan nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk menjangkaunya.

Keputusan dan tindakan dalam menentukan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal baik dari lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Faktor-faktor yang mendasari dan menentukan rencana-rencana dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan sangatlah banyak untuk disebutkan. Karena itu, perlu suatu pengelompokkan faktor-faktor tersebut. Howard Lentner mengklasifikasikannya ke dalam dua kelompok yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.32 Determinan luar negeri mengacu kepada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi di antara negara-negara yang terbentuk atau dibentuk oleh stuktur interaksi di antara pelaku-pelaku yang paling kuat.33 Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola interaksi yang tidak tercakup atau mencakup keseluruhan sistem internasional.34

Penggunaan kedua konsep tersebut (sistem internasional dan situasi) dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan lingkungan internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model

31 Ibid.

32

Howard Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach (Ohio: Bill and Howell Co., 1974), h. 105.

33

Ibid., h. 5.

34 Ibid.


(22)

deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan eksternal ini, yaitu dapat memberikan setting (latar belakang) munculnya peristiwa-peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining and facilitating factors) dalam interaksi antar negara.35

Determinan domestik menunjuk pada keadaan di dalam negeri yang terbagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam.36 Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.37 Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor ketidaksengajaan.38

Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.39 Kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, ataupun menganjurkan perilaku internasional.40

Joseph Frankel merumuskan kepentingan nasional sebagai aspirasi dari suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya mencapai

35

Ibid., h. 105.

36

Ibid., h. 136.

37

Ibid., h. 143.

38

Ibid., h. 168.

39

Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 184.

40


(23)

suatu tujuan yang spesifik.41 Kepentingan nasional menyangkut kebijakan-kebijakan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju. Oleh karena itu, sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering kepentingan nasional dipakai untuk memberikan justifikasi bagi tindakan negara-negara.42 Kepentingan nasional ini dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan dan hal-hal yang bersifat altruitis lainnya.43

Prakash Candra menilai setidaknya ada lima national interest sebagai tujuan dari politik luar luar negeri, antara lain, untuk mempertahankan integrasi negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi national prestige dan membangun national power, menjaga keamanan nasional, serta mewujudkan tatanan dunia.44

Frankel menggambarkan kepentingan nasional ke dalam tiga kategori.45 Kepentingan nasional dapat digambarkan sebagai aspirasi dari sebuah negara; dapat juga digunakan sebagai operasional dalam aplikasinya pada kebijakan yang aktual serta program-program yang hendak dicapai; namun dapat juga menjadi bahan polemik dalam argumen politik, untuk menjelaskan, membenarkan ataupun mengkritik bagi tindakan negara.

Pada tingkat aspirasi, kepentingan nasional dipakai untuk menunjukan gambaran tentang kehidupan yang baik, serangkaian tujuan ideal yang jika

41

Joseph Frankel, International Relations in A Changing World, 4th ed (Oxford: Oxford University Press,1988), h. 93.

42

R. Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 144.

43 Ibid. 44

Prakash Chandra, International Politics (India: Vikas Publishing House PVT LTD, 1979), h. 81-82.

45Mohtar Mas‟oed,

Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta; LP3ES, 1990), h.148.


(24)

memungkinkan, hendak dicapai oleh negara.46 Jika kepentingan nasionalnya hanya diajukan pada tingkat ini, berarti kebijakan tersebut tidak sedang dilaksanakan, tetapi hanya menunjukan garis besar haluan kebijakan tersebut. Tingkat aspirasi memiliki tujuh sifat konsepsi, yaitu kepentingan nasional itu berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi, merupakan sumber kritik oleh oposisi terhadap pemerintah tetapi bukan merupakan pusat perhatian pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan atau harapan terhadap kebijakan, tidak perlu diartikulasikan dan dikoordinasikan secara penuh dan bisa saling bertentangan, tidak memerlukan studi kelayakan, dan lebih ditentukan oleh kehendak politik dari pada oleh kemampuan nyata.47

Pada tingkat operasional, kepentingan nasional menunjuk pada keseluruhan kebijaksanaan yang betul-betul dilaksanakan.48 Pada tingkat ini, ada delapan hal yang membedakannya dengan kategori sebelumnya, yaitu kepentingan nasional itu berjangka pendek dan bisa dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama; sering muncul dari pertimbangan keharusan atau keperluan; merupakan perhatian utama pemerintah dan partai yang berkuasa; lebih dipergunakan dalam cara yang deskriptif dari pada yang normatif; karena keharusan penerapannya, kontradiksi tidak mudah ditolerir; diterjemahkan ke dalam kebijakan berdasar perhitungan akan prospek keberhasilannya; lebih ditentukan oleh kemampuan untuk melaksanakan dari pada oleh kehendak politik; dan kepentingan itu dapat diatur ke dalam program-program.49

46 Ibid. 47

Ibid. 48

Ibid. 49


(25)

Sedangkan pada tingkat polemik, kepentingan nasional dipakai untuk menjelaskan, mengevaluasi, merasionalisasikan dan mengritik politik luar negeri.50 Alasan utama penggunaan ini adalah untuk membuktikan kebenaran argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Konsep ini tidak dipakai sebagai sarana untuk mendeskripsikan dan menganjurkan perilaku, walaupun nampaknya demikian.

Pengertian atau definisi mengenai konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional yang telah dipaparkan di atas, digunakan untuk menjelaskan perumusan kebijakan luar negeri sebagai suatu output yang terkait dengan eksternal dan internal input. Dalam kasus invasi AS ke Irak ini, dapat dipahami bahwa kebijakan Amerika Serikat lebih dipengaruhi oleh faktor domestik daripada faktor internasional. Faktor domestik dapat berupa nilai-nilai utama (core values) yang dianut oleh negara tersebut, keadaan sosial, politik, dan ekonomi atau pun tarik-menarik kepentingan antar aktor-aktor pemerintah di dalamnya. Sedangkan faktor internasional dapat berupa kondisi internasional yang mempengaruhi lahirnya suatu kebijakan luar negeri.

Atas pemaparan kedua konsep tersebut di atas, yakni konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional maka untuk kepentingan analisa penulis menggunakan kedua konsep tersebut yang akan diaktualisasikan dalam BAB IV.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif. Istilah penelitian kualitaif pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan

50


(26)

kuantitatif.51 Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cara tertentu. Sedangkan, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengandalkan perhitungan.

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai sumber. Penelitian ini mengandalkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh pihak atau instansi lain. Menurut Cresswell, dalam penelitian kualitatif, pustaka harus digunakan secara induktif sehingga tidak mengarahkan pertanyaan yang diajukan peneliti.52 Salah satu alasan penting yang mendasari hal tersebut karena penelitian kualitatif bersifat penyelidikan. Sumber-sumber data ini berupa buku, majalah, jurnal, hasil penelitian, laporan ataupun laman jaringan.

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kerangka pemikiran E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan

51

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 2.

52

John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches (Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994), h. 145.


(27)

Bab II Kepentingan Minyak Amerika Serikat A. Pengertian Energi

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat

Bab III Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca-Tragedi 9/11

C. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah D. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak

Bab IV Pengaruh Kepentingan Minyak pada Kebijakan Luar Negeri AS Dalam Perang Irak Tahun 2003


(28)

BAB II

KEPENTINGAN MINYAK AMERIKA SERIKAT

Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya energi yang sangat penting bagi setiap negara, salah satunya Amerika Serikat. Dalam sejarah, minyak bumi mampu mempengaruhi dinamika hubungan internasional, baik itu dalam bentuk kerjasama maupun dalam bentuk konflik atau perang. Minyak bumi bukanlah satu-satunya sumber daya energi yang dimiliki oleh AS, masih ada sumber daya energi lainnya yang berpotensi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negei AS, seperti gas alam, batu bara, dan nuklir. Meskipun demikian AS masih memposisikan minyak bumi sebagai prioritas sumber energi utamanya, sebab keunggulannya yang lebih mudah diakses dan dimobilisasikan dibanding gas alam, sifatnya yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi bila dibandingkan dengan batu bara, serta penggunaannya yang lebih aman dan mudah diakses dibandingkan nuklir. Oleh karena itu, minyak bumi merupakan sumber daya energi yang utama bagi AS.

Dalam pembahasan selanjutnya, fokus pembahasan akan lebih diarahkan pada pembahasan mengenai kepentingan energi terkait dengan minyak bumi, sebab minyak bumi merupakan sumber daya energi paling utama bagi kebanyakan negara sehingga sangat berpengaruh dalam tatanan sistem internasional, terutama kaitannya dengan AS. Bab ini akan membahas mengenai keterkaitan antara kepentingan minyak dengan keamanan energi Amerika Serikat yang terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai pengertian energi pada tataran konseptual.


(29)

A. Pengertian Energi

Kemajuan ilmu dan teknologi membuat perubahan dalam pemanfaatan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia telah menemukan cara untuk memperpanjang dan memperluas usaha untuk mencari energi, pertama dengan memanfaatkan tenaga hewan dan kemudian dengan menciptakan mesin-mesin untuk memperoleh tenaga dari angin dan air. Selanjutnya muncul pembangunan sosial dan ekonomi yang membawa dunia menjadi lebih modern dengan ditemukannya bahan bakar fosil.

Perkembangan penemuan bahan bakar fosil telah membebaskan manusia dari keterbatasan penggunaan energi dengan ditemukannya batu bara, minyak, dan gas alam. Hasilnya adalah satu dari transformasi sosial yang sangat besar dalam sejarah. Dengan adanya energi yang diolah, membawa perubahan yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pengalaman masyarakat tradisional dalam melakukan transformasi energi dari mulai menggunakan tenaga manusia, tenaga hewan, dan kemudian kincir angin dan kincir air pada sat itu berjalan sangat lambat, dan sebagai konsekuensinya sama-sama memperlambat kerja manusia pada saat itu. Tetapi sebaliknya, pada masa industrialisasi telah membawa perubahan secara sosial ekonomi pada manusia umumnya.

Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, energi didefinisikan sebagai the ability to do work.53 Energi menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi manusia. Manusia memperoleh energi dari sumber daya alam yang ada disekitarnya dan mengubah sumber daya alam tersebut sehingga dapat digunakan sebagai energi. Sumber daya alam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua

53


(30)

kategori, yaitu sumber daya dapat diperbaharui (renewable resource) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource).54 Pengelompokkan tersebut sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang dapat terus-menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Air, hutan, panas matahari, dan sebagainya termasuk dalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui.55 Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumber daya yang persediaannya sebagai input produksi sangat terbatas dalam jangka waktu tertentu, yang termasuk di sini adalah minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan sebagainya.

Tabel 2.1 Klasifikasi Sumber Energi56

Berdasarkan ketersediaan (stock)

Berdasarkan nilai komersial

(commercial)

Berdasarkan pemakaian

(use)

1.Dapat Diperbaharui:

 Panas bumi

 Tenaga air

 Tenaga surya

 Tenaga angin

 dan sebagainya

2.Tidak Dapat Diperbaharui:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Uranium

 dan sebagainya

1. Komersial:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Tenaga air panas bumi

 Uranium

 dan sebagainya

2. Nonkomersial:

 Kayu bakar

 Limbah pertanian

 Tenaga surya

 Tenaga angin

 Tenaga samudera

 Biomassa

 Padat, cair, dan gas

 Gambut

1. Primer:

 Minyak bumi

 Gas bumi

 Batu bara

 Tenaga air

 Panas bumi

2. Sekunder:

 Listrik

 LPG

 BBM

 Non-BBM

 Gas bumi

 Briket batu bara

 Dan sebagainya

54

Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2000), h. 5.

55

Perlu diingat bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui suatu saat dapat berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Hal demikian terjadi karena permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu membuat laju pengurasan sumber daya tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya.

56


(31)

Di antara semua jenis energi, minyak kenyataannya sampai saat ini masih menjadi bentuk utama dari energi yang dikonsumsi sejak pasca-Perang Dunia. Minyak menjadi pilihan utama saat ini karena memiliki kelebihan, yaitu murah, ketersediaannya, fleksibilitasnya, dan relatif mudah proses pengirimannya. Hal inilah yang telah membuat minyak menjadi sumber energi utama bagi sebagian besar negara-negara industri. Penggunaan bahan bakar minyak tidak saja terbatas pada bidang industri, tetapi juga untuk kepentingan militer. Semua negara menempatkan perhatian serius terhadap kestabilan suplai energi sebagai aspek mendasar bagi kepentingan keamanan dalam negeri.57

B. Jenis-Jenis Energi Amerika Serikat

Sumber-sumber energi yang dimiliki oleh Amerika Serikat dalam jumlah yang cukup besar adalah gas alam dan batu bara. Namun, sumber-sumber energi tersebut pemanfaatannya kurang efisien dan efektif sehingga tidak banyak digunakan oleh AS dalam bidang industri dan bahan bakar lainnya. Berikut adalah gambar grafik mengenai konsumsi energi AS menurut sumber energi.

57Mohammad Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak

Amerika Serikat,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2005), h. 27.


(32)

Gambar 2.1 Konsumsi Energi AS Menurut Sumber Energi (1775-2000) (Dalam Quadrillion BTU)

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

Sejarah penggunaan energi di AS dapat dilihat pada gambar di atas. Sebagai contoh, penggunaan kayu sebagai energi telah menjadi bagian yang sangat penting bagi AS sejak masa kolonial. Pada kenyataannya, bahan bakar kayu ketersediaannya sangat berlimpah sehingga menjadi sumber energi yang dominan. Tetapi kemudian, era modern muncul dengan ditemukannya sumber-sumber energi baru yang tidak pernah dibayangkan pada masa sebelumnya.

Batu bara menggantikan dominasi bahan bakar kayu yang pernah bertahan lama di AS pada sekitar tahun 1885, batu bara kemudian dilampaui oleh bahan bakar minyak pada tahun 1951 dan kemudian ditemukan pula gas alam beberapa tahun kemudian. Tetapi, bagaimanaupun juga minyak dan gas adalah penemuan yang paling menarik. Pada gambar 2.1 di atas menggambarkan penggunaan yang


(33)

sedikit selama beberapa dekade, tetapi kemudian mulai meningkat kebutuhan akan minyak secara bertahap pada tahun 1920-an.58

C. Kepentingan Keamanan Energi Bagi Amerika Serikat C.1. Nilai Penting Energi Bagi Amerika Serikat

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, minyak bumi mampu menarik perhatian masyarakat AS. Penggunaan minyak bumi cenderung lebih mudah dan lebih efektif. Sepanjang sejarah energi AS, AS memiliki sumber daya energi yang berlimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Namun, seiring dengan perkembangannnya, peningkatan tingkat konsumsi energi pun tidak dapat dielakkan, sehingga pada periode 1950-an merupakan masa di mana produksi dan konsumsi energi AS hampir mencapai titik keseimbangan. Pada periode selanjutnya, tingkat konsumsi AS terus meningkat secara tajam sehingga melebihi tingkat produksi dalam negeri AS. Oleh karena itu AS dituntut untuk mengeksplorasi sumber daya energi dari wilayah lain dan mengimpornya. Berikut ini adalah gambar mengenai grafik konsumsi, produksi, dan impor energi AS.

58


(34)

Gambar 2.2 Konsumsi, Produksi, dan Impor Energi AS (Dalam Quadrillion BTU)

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

Pada tabel di atas tergambar proses peningkatan kebutuhan energi dalam negeri AS. Pada periode 1970-an, AS telah mengimpor energi dari luar sebagai tanda pasokan energi dalam negeri AS tidak mampu menutupi kebutuhan energi AS sehingga harus mengimpor dari luar. Dari grafik impor dapat dipahami bahwa peningkatan terus terjadi sejak pertengahan periode 1980-an. Kemudian, seiring dengan perkembangan inovasi teknologi yang semakin menyerap energi maka peningkatan konsumsi energi AS pun terjadi, dan hal ini berdampak pada peningkatan impor energi AS. Peningkatan juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat produksi energi dalam negeri AS sehingga semakin memperlebar gap antara konsumsi dan produksi energi.

Pada tahun 1973, AS telah mengimpor energi sebesar 15 quadrillion British Thermal Unit (BTU) dari total konsumsi energi AS sebesar 76 quadrillion


(35)

BTU, atau sekitar 20% dari total konsumsi AS.59 Upaya untuk mengimpor energi dikarenakan tingkat konsumsi minyak yang tinggi. Pada tanggal 17 Oktober 1973, negara Arab Saudi yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) melakukan embargo minyak bumi terhadap AS, sehingga harga minyak bumi dunia melambung tinggi dan negara-negara importir minyak bumi mengalami kejatuhan ekonomi selama dua tahun.

Harga minyak meningkat secara drastis pada tahun 1979 sampai tahun 1981 dan telah menekan impor minyak pada saat itu. Kecenderungan impor AS terjadi pada tahun 1986, namun kemudian pada tahun 1990, 1991, dan 1995 mengalami sedikit penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan.

Salah satu faktor meningkatnya tingkat konsumsi energi AS adalah pertumbuhan penduduk yang terus berkembang sehingga menuntut perkembangan ekonomi yang sejalan. Dengan semakin banyaknya populasi penduduk AS dari sekitar 149 juta jiwa pada tahun 1949 menjadi 281 juta jiwa pada tahun 2000.60 Artinya, peningkatan yang terjadi sekitar 89%. Sederhananya, peningkatan tingkat konsumsi energi AS juga akan setara dengan nilai tersebut.

Konsumsi energi yang tinggi tersebut berasal dari kebutuhan energi pada empat sektor utama, yaitu perumahan, perdagangan, industri, dan transportasi. Sektor industri merupakan sektor terbesar yang mengkonsumsi energi untuk kepentingan perkembangan industrialisasi dan ekonomi AS, seperti terlihat pada gambar berikut :

59

www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25April 2011, pukul. 08.00.

60Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika


(36)

Gambar 2.3 Konsumsi Energi AS Menurut Kegunaannya

Sumber: www.eia.gov/mer/overview.html, diakses pada tanggal 25 April 2011, pukul. 08.00.

Pada sektor industri, konsumsi terhadap gas alam dan minyak mengalami peningkatan dan puncaknya pada saat embargo minyak tahun 1973, setelah peristiwa tersebut penggunaan minyak mengalami fluktuasi. Konsumsi batu bara menjadi sektor andalan, namun kemudian mengalami penyusutan. Hal yang sama terjadi juga pada energi listrik yang mengalami penyusutan, seperti yang terlihat pada grafik berikut :

Gambar 2.3. Konsumsi Energi AS untuk Keperluan Industri

Sumber: http://www.eia.doe.gov/emeu/aer/pdf/perspectives_2009.pdf, diakses pada tanggal 1 Mei 2011, pukul. 15.20.


(37)

Sekitar 3/5 dari konsumsi energi untuk sektor industri digunakan untuk pabrik-pabrik.61 Sisanya untuk keperluan bidang pertambangan, konstruksi, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pada industri pabrik-pabrik energi yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah produk-produk minyak dan batu bara, bahan-bahan kimia dan produk sejenis, kertas, dan bahan sejenisnya, dan industri logam-logam besar.

C.2. Minyak dan Keamanan Energi Amerika Serikat

Minyak menjadi komoditas penting bagi pembangunan di negara-negara maju untuk kebutuhan industri, transportasi, dan perumahan. Cadangan minyak dunia yang terbesar terdapat di negara-negara anggota OPEC, sedangkan konsumsi minyak dunia terbesar terdapat pada negara-negara industri maju seperti AS, Jepang, dan negara-negara Eropa.

Jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau menghentikan produksi minyaknya, maka akan mengacaukan negara-negara industri maju. Kepentingan negara-negara industri maju berbeda dengan kepentingan negara-negara berkembang sebagai penghasil minyak utama dunia. Negara-negara industri maju sebagai pengimpor minyak, sangat memerlukan suplai minyak untuk kebutuhan dalam negeri seperti untuk transportasi, industri, perumahan, keperluan militer, dan lain-lain. Sementara itu, negara berkembang yang memiliki minyak dunia berlaku sebagai penyedia.

Sebagai negara industri maju, AS tentunya memiliki kepentingan tersendiri terhadap negara berkembang. Negara berkembang yang sebagian besar

61


(38)

terletak pada kawasan strategis dan penting bagi kepentingan AS bersama sekutu-sekutunya. Sebut saja Timur Tengah, Teluk Persia, Laut Kaspia, Amerika Latin, dan lainnya. Kawasan-kawasan tersebut menyimpan cadangan minyak bumi dunia yang banyak dan sangat berpengaruh bagi kepentingan AS, terutama terkait kepentingan keamanan energi AS. Secara umum, inilah yang menjadi perhatian AS agar tidak sampai berdampak negatif bagi kepentingan-kepentingan nasionalnya.

Konsentrasi AS terhadap negara berkembang yang tidak stabil dan rawan konflik mulai meningkat ketika instabilitas negara berkembang produsen minyak mampu mempengaruhi akses impor minyak dalam negeri AS sehingga kecenderungannya meningkat menjadi ancaman bagi keamanan energi AS. Hal ini terlihat dari ketergantungan AS akan impor minyak yang selalu meningkat seiring peningkatan tingkat konsumsi dalam negeri AS.

Bagi AS yang merupakan salah satu negara konsumen minyak bumi, alasan yang selalu dihadapi terkait ketersediaan cadangan minyak dunia adalah keterbatasan cadangan minyak dunia. Mencermati krisis minyak bumi yang pernah terjadi, serta instabilitas kawasan yang mengandung cadangan minyak bumi, maka AS meningkatkan perhatian seriusnya terhadap akses suplai minyak bumi.

Tingginya intensitas ketergantungan AS terhadap stabilitas cadangan minyak bumi dunia mendorong AS untuk turut berpartisipasi baik secara politis maupun militer di sejumlah kawasan yang menyimpan cadangan minyak bumi dalam jumlah besar, salah satunya adalah Timur Tengah. Sejarah menunjukkan bahwa instabilitas kawasan Timur Tengah yang telah menimbulkan konflik dan


(39)

perang berdampak pada stabilitas tingkat produksi dan harga minyak bumi dunia. Dalam kasus Irak, keterlibatan AS secara militer menunjukkan adanya keinginan untuk mengontrol dan menguasai sumber minyak yang merupakan bagian dari masalah keamanan energi AS.

Momentum yang paling tepat dalam perubahan kebijakan luar negeri AS adalah pascatragedi pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001. AS semakin meningkatkan intensitasnya dalam penempatan tentaranya di kawasan strategis akan cadangan minyak bumi, dengan dalih perang melawan terorisme.62 Afganistan merupakan negara pertama yang diinvasi AS pasca tragedi tersebut. Dalam kasus Perang Irak 2003, salah satu dalih yang digunakan AS dalam penempatan pasukan militer AS di Irak adalah upaya pembelaan rakyat Irak dari sikap pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dan represif.63

Melalui kebijakan luar negeri AS, isu keamanan energi merupakan salah satu agenda penting yang harus diperhatikan. Sebagai prioritas utamanya, AS selalu mengupayakan langkah-langkah antisipasinya terhadap terjadinya ketidakpastian pasokan dengan mempertahankan hubungan kerjasama ekspor dan impor minyak bumi dengan negara produsen minyak. Dengan jelas dinyatakan di dalam kebijakan energi nasional AS (National Energy Policy 2001) bahwa

“...energy security must be priority of US trade and foreign policy.”64

Di samping itu juga ditegaskan bahwa kepentingan AS akan stabilitas cadangan minyak bumi dunia akan berdampak pada kepentingan nasional AS. Hal

62

Ibid., h. 57.

63Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaaan Amerika (Yogyakarta: PPMTT

HI FISIPOL UGM), h. 15.

64Lihat “Nationa

l Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development Group, May 2001,” dalam www.wtrg.EnergyReport/National-Energy-Policy.pdf, diunduh pada tanggal 25 April 2011, pukul 8.30. Kebijakan Energi Nasional Amerika Serikat ini sering juga disebut dengan “Chenney Energy Plan” karena ide kebijakan tersebut berasal dari Wakil Presiden AS, Dick Chenney.


(40)

ini semakin menunjukkan tingginya kepentingan dan ketergantungan AS akan cadangan minyak bumi dunia.

Kebutuhan AS terhadap minyak yang begitu besar dengan cara mengimpor sekitar 53%, telah mendorong Washington untuk mencari sumber-sumber cadangan minyak untuk mengamankan kepentingan minyaknya. Cadangan minyak mentah yang dimiliki oleh AS hanya berjumlah 22 milyar barel. 65 Apabila kebutuhan minyak AS dibandingkan dengan cadangan minyak mentahya, maka AS hanya akan mampu memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya selama tiga tahun. Sedangkan pada saat ini, AS menempati urutan pertama sebagai negara paling banyak mengkonsumsi minyak dunia.66

Alasan AS sebagai negara pengimpor terbesar minyak dunia di antaranya adalah karena wilayah negara AS yang sangat luas sehingga memerlukan penggunaan bahan bakar bensin untuk keperluan kendaraan bermotor, keperluan untuk industri-industri dalam negeri AS, dan bahan bakar untuk pemanas rumah yang biasanya digunakan warga AS. Di samping itu juga, jumlah penduduk AS yang terus bertambah, membuat tingkat konsumsi terhadap energi semakin meningkat.67

Kesulitan bagi AS dalam mencari sumber energi alternatif yang lebih murah dan aman membuat negara tersebut mulai melihat kawasan Timur Tengah. Kekhawatiran AS akan kenaikan harga minyak dunia dapat terjadi kapan saja. Hal ini membuat pemerintahan Bush untuk segera menemukan sumber minyak di kawasan yang dapat mengamankan kepentingan AS dalam jangka panjang.

65

Mohammad Safari dan Al-Muzammil Yusuf, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya (Jakarta: COMES, 2003), h. 141.

66Rizki, “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan Minyak Amerika

Serikat,” h. 66.

67


(41)

BAB III

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT

Sebagai satu-satunya negara super power saat ini, Amerika Serikat tentunya memiliki kebijakan luar negeri yang dirancang untuk mencapai tujuan nasionalnya baik dalam bidang ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Jika pada masa Perang Dingin kebijakan luar negeri AS lebih ditujukan untuk membendung ancaman pengaruh komunisme, maka hal yang berbeda terjadi pada masa setelah Perang Dingin terlebih dengan terjadinya Tragedi 9/11 yang tentunya membuat AS harus menata ulang kembali kebijakan luar negerinya. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS pasca-Tragedi 9/11. Selain itu, bab ini pun akan membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, khususnya Irak.

A. Kebijakan Luar Negeri AS Pasca- Tragedi 9/11

Serangan gerakan teroris internasional pada 11 September 2001 atau yang terkenal dengan sebutan Tragedi 9/11 dijadikan momentum awal diterapkannya strategi dan kebijakan baru AS untuk memulihkan kembali perannya sebagai polisi dunia yang tangguh. Serangan terorisme tersebut, terlepas dari kontroversi yang muncul, menjadi bukti bahwa betapa negara yang sangat kuat itu masih dapat diserang. Betapa negara yang diproteksi oleh perlengkapan senjata tercanggih di dunia masih mempunyai celah untuk diserang.


(42)

Momen ini direspon oleh pemerintahan Presiden George W. Bush untuk mengubah haluan politik luar negerinya yang telah ditetapkan oleh presiden pendahulunya, yakni Presiden Bill Clinton. Pada era Presiden Clinton, kebijakan luar negeri AS lebih bersifat akomodatif terhadap keinginan dunia internasional yang mendambakan demokratisasi. Presiden Clinton membawa AS tunduk pada aturan atau rezim internasional. Presiden Clinton sangat mengedepankan masalah-masalah humanistis dalam kebijakan luar negerinya, termasuk menghukum rezim-rezim yang dinilai melanggar hak asasi manusia.68 Dalam masa pemerintahannya, kepemimpinan AS diraih melalui penggunaan soft power dengan tetap memperhatikan aspirasi negara-negara lain, terutama negara-negara sahabat.69 Walaupun AS merupakan satu-satunya negara adidaya, AS tidak dapat seenaknya memaksakan kehendaknya pada negara lain.

Politik luar negeri AS mengalami perubahan fundamental ketika Presiden George W. Bush terpilih pada tahun 2001 menggantikan Presiden Clinton. Meskipun Jenderal Collin Powell yang dianggap tokoh moderat dan pendukung multilateralisme ditunjuk menjadi menteri luar negeri, Presiden Bush sendiri cenderung berpendirian unilateralis. Di samping itu, anggota kabinet Presiden Bush dalam bidang luar negeri dan pertahanan didominasi oleh tokoh-tokoh konservatif yang berpandangan unilateralis.70 Mereka ini antara lain, Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Kepala Dewan

68

Sugeng Riyanto, “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi,” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005), h. 245.

69

Soft power diartikan dengan menerapkan hegemoni melalui upaya-upaya persuasi dan pengaruh daripada melalui tekanan dan ancaman semata. Ibid., h. 12.

70

Dalam pandangan kelompok konservatif yang memiliki perspektif realis garis keras ini prioritas AS adalah melindungi kepentingan nasional AS sendiri, terutama keamanan nasional, tanpa perlu mempertimbangkan komitmen-komitmen internasional yang selama ini mengikat Washington. Sebagai negara adidaya, AS harus berani bertindak sendiri untuk melindungi kepentingan nasionalnya serta tidak perlu ragu menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan, karena militer dianggap sebagai instrumen yang sah dalam politik internasional.


(43)

Kebijakan Pertahanan Richard Perle, Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz, Asisten Menteri Luar Negeri Bidang Kontrol Senjata John Bolton, dan Kepala Staf Kantor Wakil Presiden Lewis Libby.71

Presiden Bush menemukan alasan bagi AS untuk menggunakan kekuatan yang selama ini masih belum dimaksimalkan. Tragedi 9/11 memberikan legitimasi kepada Bush utuk kembali membawa AS memimpin dunia melenyapkan apapun yang dianggap membahayakan dunia.

Ancaman keamanan nontradisional yang dihadapi AS, seperti terorisme internasional, telah membawa konsekuensi pada persepsi dan tingkat ancaman yang dihadapi AS ketika kekuatan militer semata tidak memadai untuk melindungi kepentingan keamanan AS. Tabel berikut menggambarkan kepentingan nasional AS dan persepsi ancaman yang dimilikinya.

Tabel 3.1 Kepentingan nasional Amerika Serikat dan beberapa ancaman utamanya:

Interest Prime Threats Status of Threats

Defense of homeland Grand terror attacks and spread of WMD to hard-to-deter state leaders and fanatical terrorists

Partially present

Deep peace among the Eurasian great powers

Aggressive great powers and hegemons

Not present Secure access to Persian Gulf

oil at stable, reasonable price

A hegemonic Iran and Iraq Not present International economic

opennes

Great power security competitions, great power wars, economic nationalism

Not present

Consolidation of democracy and spread and observance of human rights

Ruthless leaders, civil wars, and the thwarting of economic growth

Partially present

71

Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003), h. 16.


(44)

No severe climate change Unconstrained carbon emmisions

Partially present

Sumber: Anak Agung Banyu Perwita, “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005), h. 90.

Tabel di atas menunjukkan ancaman terbesar bagi keamanan global AS adalah serangan-serangan besar yang dilancarkan aktor nonnegara atau kelompok terorisme internasional dan penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia. Tabel di atas sekaligus pula memperlihatkan berbagai bentuk ancaman baik yang bersifat tradisional maupun nontradisional terhadap kepentingan nasional AS. Lebih jauh, tabel di atas juga menekankan bahwa empat ancaman pertama (tradisional dan nontradisional) terhadap AS dapat berupa militer yang tentunya akan mengharuskan AS untuk mempersiapkan respon yang bersifat militer pula.

Dalam salah satu pidatonya, Presiden George W. Bush mengatakan bahwa:

“Pertahanan dalam negeri dan pertahanan peluru kendali adalah bagian

dari keamanan yang lebih kuat, dan mereka adalah prioritas penting bagi Amerika. Kita menggempur musuh, merusak rencananya dan menghadapi ancaman terburuk sebelum mereka muncul. Di dunia yang telah kita masuki, satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah tindakan, dan

negara ini akan bertindak.”72

Pernyataan Bush dalam pidatonya tersebut kemudian dikenal dengan istilah pre emptive strike.73 Inti dari doktrin ini adalah bahwa pertahanan yang paling baik adalah menyerang. Artinya AS harus melancarkan serangan terlebih dulu terhadap siapa dan negara mana pun yang oleh AS dipersepsikan potensial dapat menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS. Selain itu, AS secara hitam

72George W. Bush, “Pidato di West Point”, lihat A. Zaim Rofiqi,

Amerika dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 427.

73


(45)

putih membagi dunia menjadi dua yaitu kami atau mereka yang kadangkala dikenal dengan prinsip either or (either you are with us or with our enemy), dan yang dimaksud dengan our enemy oleh AS adalah kelompok teroris internasional.74 Dengan kebijakan ini, AS secara leluasa menggerakkan semua elemen militernya ke berbagai wilayah dunia sebagai penanggung jawab keamanan global.75 Siapa berani menghalangi pasti kena sanksi.

Presiden Bush menyatakan tidak akan membedakan antara teroris dan mereka yang memberi tempat atau melindungi teroris, seperti yang ia katakan dalam pidatonya pada 11 September 2001, petang harinya setelah Tragedi 9/11. Dalam pidato ntersebu, Bush mengatakan bahwa AS tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan tindakan teror itu (11 September 2001) dan mereka yang melindungi.76 Jadi, siapa pun yang tidak mau memerangi atau membantu AS dalam memerangi kelompok teroris, apalagi yang dicurigai atau dituduh mempunyai kaitan dengan kelompok teroris internasional, maka mereka dapat dianggap sebagai musuh AS, dan dengan sendirinya bebas untuk diperangi. Namun sayangnya, AS bebas menerjemahkan siapa saja yang berhak dikategorikan sebagai teroris. Tragedi 9/11 telah memperkuat pembenaran AS untuk mencapai tujuan hegemoniknya, yaitu dominasi geopolitik dan ekonomi di dunia.77 Presiden Bush ingin menegaskan kehadiran AS sebagai pemimpin dunia, apapun caranya. Presiden Bush telah berupaya agar dunia yang mengikutinya, bukan AS yang tunduk kepadanya.

74 Ibid.

75

Hendrajit, dkk, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia (Jakarta: Global Future Institute, 2010), h. 114.

76

Trias Kuncahyono, Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 96.

77

Istilah hegemoni diturunkan dari sebuah kata Yunani yang sederhananya berarti kepemimpinan, lihat Nur Rahmat Yuliantoro, “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah „Imperium Amerika Baru‟?,” vol. 9, no. 1 (Juli 2005, )h. 96.


(46)

Upaya menangani terorisme ini juga dilakukan dengan mengedepankan aspek militer. Sangat nyata bahwa Tragedi 9/11 terjadi di AS, tetapi reaksi Presiden George W. Bush paling menonjol adalah invasi militer ke Afganistan dan Irak. Ini menunjukkan bahwa Presiden Bush lebih mengedepankan penggunaan hard power, yakni kekuasaan yang ditegakkan dengan paksaan.78

Presiden George W. Bush telah mendapatkan situasi yang kondusif untuk melancarkan penggunaan hard power dalam melangsungkan kebijakan luar negerinya. Terorisme telah dijadikan alasan untuk itu, dan dunia cukup mempercayainya, setidaknya para sekutu AS. Presiden Bush yakin AS berada dalam posisi yang benar dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran serta melawan kekuatan jahat (evil) secara unilateral di seluruh penjuru dunia dengan menggunakan kekuatan militer AS yang tidak tertandingi dan tidak boleh ditandingi.79 AS di bawah Presiden Bush merupakan misionaris bersenjata yang percaya bahwa AS ditakdirkan untuk memimpin dunia untuk kebaikan itu sendiri. Di samping itu, AS pun akan secara aktif mendukung freedom atau kebebasan di seluruh dunia.80 Penggulingan rezim Taliban di Afganistan dan rezim Saddam Hussein di Irak yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis merupakan wujud dari dukungan AS terhadap freedom atau kebebasan itu sendiri.

B. Kebijakan Bidang Politik Amerika Serikat di Timur Tengah

Penjelasan mengenai kebijakan politik Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah guna mengamankan kepentingan nasionalnya dapat dilihat dengan

78

Ibid., h. 248.

79Anwar, “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat,” h. 23. 80


(47)

menggunakan The Truman Doctrine serta The Eisenhower Doctrine. Doktrin Truman, yang berawal dari pernyataan Presiden Harry S. Truman pada tanggal 12 Maret 1947 di hadapan Kongres, secara khusus mengulas perlunya AS menyelamatkan krisis ekonomi dan politik di Yunani dan Turki.81 Upaya penyelamatan terhadap krisis ini dilakukan dengan memberikan bantuan berupa bantuan ekonomi dan perlindungan militer kepada negara tersebut atau yang dikenal dengan sebutan Marshall Plan dengan tujuan agar Yunani dan Turki tetap berada dalam Pax Americana (Amerika Raya).82

Doktrin Truman yang semula diterapkan pada Yunani dan Turki, pada akhirnya juga berkembang ke seluruh dunia bebas (free world) yang menghadapi sebuah ancaman bagi dominasi keamanan dan kepentingan nasional AS, termasuk di kawasan Timur Tengah. Perluasan Doktrin Truman di Timur Tengah diperkuat dengan adanya Doktrin Eisenhower.

Pada 5 Januari 1957, Presiden Eisenhower dalam pidato di depan Kongres menekankan perlunya AS memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kawasan Timur tengah dengan langkah antara lain: Pertama, mengadakan bantuan program dengan pendekatan bilateral dan multilateral untuk memperkuat penguasa-penguasa yang pro AS di Timur tengah agar tetap dalam kekuasaan AS; Ke dua, memperluas bantuan dan kerjasama militer untuk memperkuat dan memperluas dominasi AS di kawasan itu; Ke tiga, memperkuat integritas teritorial dan kemerdekaan bangsa-bangsa Timur Tengah dari kemungkinan agresi

81 Azman Ridha Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis terhadap

Invasi AS ke Irak),” (Tesis S2 Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2004), h. 47.

82

Istilah Pax Americana muncul untuk menggambarkan situasi dan posisi yang sama seperti yang pernah dinikmati Inggris pada Perang Dunia I, ketika negara ini dapat mengontrol wilayah Timur Tengah tanpa ada perlawanan yang berarti, baik yang bersifat regional maupun internasional. Siti Muti‟ah Setiawati, dkk., Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004), h. 36.


(48)

kekuatan musuh.83 Untuk menjalankan kebijakan tersebut, AS memerlukan dukungan kerjasama yang sangat kuat. Sejak tahun 1940-an pemerintah AS telah menetapkan kebijakan untuk menjaga kepentingannya di Timur Tengah. Alasannya jelas, bumi gersang dan tandus Jazirah Arab dan Parsi itu ternyata menyimpan dua pertiga cadangan minyak dunia.84

Presiden Eisenhower, pernah menggambarkan bahwa Timur Tengah

merupakan tanah yang kaya yang harus dijaga oleh AS. “Di sanalah tempat paling terpenting di dunia berada,” kata Eisenhower. Selanjutnya, muncul anggapan

bahwa, siapa yang menguasai Timur Tengah, dia akan menguasai dunia. Kalangan militer juga berpendapat bahwa, siapa yang menguasai energi, akan dapat mengontrol dunia. Ini terus dilakukan AS bersama sekutunya.85

Politik luar negeri AS di kawasan Timur Tengah pasca-Perang Dingin setidaknya dilatarbelakangi oleh dua kepentingan utama yakni, Israel dan minyak.86 Pada masa Perang Dingin, AS juga sangat berkepentingan untuk dapat membendung pengaruh komunis Uni Soviet di kawasan ini. Namun, setelah berakhirnya Perang Dingin, AS tampak tidak lagi menjalankan politik pembendungannya.

Terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS perihal politik Washington terhadap kawasan Timur Tengah. Pertama, aliran yang membela hal apa yang disebut sebagai doktrin Israel First. Ke dua, aliran yang

83Zain, “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak,” h. 48. 84

Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. (Jakarta: CSIS, 1982), h. 30.

85

Elba Damhuri, Di balik Invasi AS ke Irak (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), h. 41.

86

Riza Sihbudi, Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington (Bandung: Mizan, 1992), h. 23.


(49)

menghendaki agar AS bersikap lebih adil di Timur Tengah atau disebut sebagai aliran evenhanded .87

Bagi pendukung doktrin Israel First yang ditokohi mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, kepentingan AS di Timur Tengah akan sangat terjamin jika Washington meneruskan dukungannya terhadap posisi dominan Israel di kawasan ini. Doktrin Israel First memandang Israel tidak hanya sebagai sebuah aset strategis, tetapi juga sebagai yang pantas didukung penuh atas dasar-dasar moral, bentuk pemerintahannya yang demokratis, norma-norma budaya Baratnya, dan di atas segalanya, fungsi Israel sebagai tempat perlindungan dan pengganti kerugian bagi orang-orang Yahudi yang telah mengalami penderitaan historis.88

Sebaliknya, bagi pengikut aliran evenhanded, dukungan AS terhadap Israel tidak menjamin sejumlah kepentingan vital AS di Timur Tengah dan dunia Islam. Menurut mereka, doktrin Israel First justru menyulitkan posisi rezim-rezim Arab moderat yang selama ini bergantung pada batuan militer dan ekonomi AS. Menurut pengikut aliran ini, doktrin Israel First justru menimbulkan gerakan-gerakan fundamentalis Islam radikal yang mengancam keamanan warga AS di kawasan ini.89

Namun, sampai saat ini pendukung Israel First masih jauh lebih unggul dibandingkan dengan pendukung aliran evenhanded. Dominasi pengikut doktirn Israel First dalam proses pembuatan kebijakan di AS dikarenakan doktrin ini didukung sepenuhnya oleh sebuah aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan

87 Ibid.

88

Ibid., h. 24.

89 Ibid.


(50)

yang secara efektif mampu memobilisasi kepentingan maupun sentimen pro Israel.90

Kebijakan politik AS di kawasan Timur Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang menyebabkan kawasan tersebut disebut dengan Dunia Islam, mengalami banyak ketegangan dan bahkan permusuhan, terutama pasca Tragedi 9/11. Tragedi 9/11 ini membawa dampak sangat besar bagi hubungan AS dengan dunia Islam. AS cenderung melihat Islam sebagai musuh atau ancaman, begitu pula sebaliknya, kebanyakan masyarakat di Dunia Islam memandang AS sebagai lawan yang berniat menghancurkan Islam.

Ketegangan AS-Dunia Islam lebih banyak disebakan karena kebijakan AS di bawah Presiden George W. Bush yang selalu mengidentikkan Islam dengan terorisme. Di satu sisi, dengan alasan memerangi terorisme internasional, Presiden Bush melancarkan invasi dan kemudian menduduki serta menghancurkan negara-negara muslim yang lemah, seperti Afganistan dan Irak. Sementara di sisi lain, Presiden Bush justru terus memberikan dukungan terhadap terhadap Israel yang terus menindas bangsa Palestina.

C. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Irak

Pasang surut hubungan antar negara memang kerap terjadi. Begitu pun dengan Amerika Serikat dan Irak. Konflik yang timbul antara AS dan Irak secara faktual bermula dari kebijakan Saddam Hussein untuk melakukan invasi militer ke wilayah negara Kuwait. Perang itu pun kemudian lebih dikenal sebagai Perang Kuwait atau Perang Irak melawan pasukan multinasional (aliansi anti-Irak) di

90 Ibid.


(1)

66

AS berkepentingan untuk mengamankan cadangan minyak yang ada di kawasan Timur Tengah dari berbagai ancaman seperti, gangguan teroris dan penguasaan minyak oleh rezim-rezim yang bertentangan dengan pemerintah AS. Meskipun AS lebih banyak mengimpor minyak dari negara tetangganya yaitu Kanada, Meksiko, Venezuela, Arab Saudi, dan Inggris. Namun, terdapat indikasi bahwa invasi AS ke Irak ditujukan untuk menjaga ketersediaan suplai minyak dalam negeri. Terlebih Irak memiliki cadangan minyak yang berjumlah 112 miliar barel. Ini berarti Irak merupakan pemilik 11% cadangan minyak dunia.

Selama ini AS nyaris tidak mendapatkan tempat dalam mengelola ladang minyak di Irak, sedangkan Irak lebih mempercayakan kepada perusahaan-perusahaan Eropa dalam program oil for food. Sementara AS sendiri sangat memerlukan banyak energi untuk menjaga hegemoninya di dunia dan harus mengamankan pasokan minyaknya di masa depan, karena AS merupakan negara yang menggunakan energi minyak terbesar di dunia, sementara AS sendiri tidak mampu memenuhi semua kebutuhan energinya. Oleh karena itu, dengan alasan apapun AS tetap menyerang Irak, karena Irak merupakan penghasil minyak kedua terbesar di dunia. Dengan menguasai Irak, maka AS akan menguasai minyaknya, sehingga AS tidak perlu merasa khawatir guna mengamankan pasokan energinya di masa depan. Selain itu, Irak yang hancur pascainvasi mambutuhkan pembangunan kembali atau rekonstruksi yang tentunya akan menjadi sebuah bisnis yang cukup menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan asal AS. Megingat pascainvasi hanya perusahaan-perusahaan asal AS yang diberi izin untuk melakukan proyek tersebut.


(2)

67

AS merasa perlu menginvasi Irak, selain karena cadangan minyaknya yang besar, juga karena terpuruknya nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro. Keterpurukan tersebut tidak lepas dari peran Irak karena Saddam Hussein lah yang pertama kali mengganti pembayaran minyaknya dari Dolar Amerika ke Euro dan mengkonversikan cadangan devisanya ke Euro. Bahkan langkah Saddam Hussein ini pun diikuti oleh beberapa negara lainnya. Akibatnya, nilai Euro mengungguli Dolar Amerika. Inilah yang membuat AS merasa terancam. Maka dengan menguasai Irak, AS juga sekaligus menguasai minyak Irak. Dengan demikian, AS dapat mengatur pasokan minyak dunia dan hasil penjualannya akan mengembalikan eksistensi nilai tukar Dolar Amerika terhadap Euro sebagai satu-satunya mata uang internasional. Kepentingan-kepentingan ekonomi inilah yang mempengaruhi dipilihnya kebijakan invasi AS dalam Perang Irak tahun 2003.


(3)

xi

Daftar Pustaka

Buku

Chandra, Prakash. 1979. International Politics. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD.

Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1994.

Damhuri, Elba. Di balik Invasi AS ke Irak. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003.

Dipoyudo, Kirdi. Timur Tengah dalam Pergolakan, 2nd ed. Jakarta: CSIS, 1982. Frankel, Joseph. 1988. International Relations in A Changing World. Oxford:

Oxford University Press.

Hendrajit, dkk. Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia. Jakarta: Global Future Institute, 2010.

Holsti, K. J. Politik Internasional: Kerangka Analisa. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1987.

---. International Politics: A Framework for Analysis (Sixth Edition). New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1992.

Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik Internasional: Konsep dan Teori (Jilid I). Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Kegley Jr, Charles W. and Wittkopf, Eigene R. American Foreign Policy. New York: St. Martin Press, 1996.

Kegley Jr., Charles W. World Politics: Trend and Transformation. New York: Macmillan Press, 1999.

Kuncahyono, Trias. Irak Korban Ambisi Kaum “Hawkish”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Lentner, Howard. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co., 1974.

Lovel, John P. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1970.


(4)

Luthfi, M. Hamidi. Dolar VS Euro, Awal Kebangkrutan AS. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003.

Mashad, Dhurorudin, dkk. Saddam Melawan Amerika. Jakarta: Pensil-324, 2003.

Mas‟oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, 1990.

McCan, Robert L. Garis Besar Ekonomi Amerika. Penerjemah Budi Prayitno. Jakarta: Dinas Penerangan AS, 1996.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Purbo, Dirgo D. Geopolitik Perminyakan. Jakarta: Verbum-Centre for The Study of Intelligence and Counter Intelligence, 2006.

Rahman, Mustafa Abd. Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari Lapangan). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003.

Rofiqi, A. Zaim. Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Safari, Mohammad dan Yusuf, Al-Muzammil, ed. Perang Iraq-AS: Hegemoni

Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta: COMES, 2003.

Setiawati, Siti Muti‟ah, dkk. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004.

Sihbudi, Riza. Eksistensi Palestina: Di Mata Teheran dan Washington. Bandung: Mizan, 1992.

Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: PT Mizan Publika, 2007. Soelhi, Muhammad. Demi Harga Diri Mereka Melawan AS. Jakarta: Pustaka

Zaman, 2003.

Stiglitz, Joseph E. dan Linda J. Bilmes. Perang Tiga Triliun Dolar: Bencana Ekonomi di Balik Invasi Amerika ke Irak. Jakarta: Penerbit Mizan, 2009. Sukarwo, Wirawan. Tentara Bayaran AS di Irak. Jakarta: GagasMedia, 2009. Suprapto, R. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1997.

Yayan Moch. Yani dan Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), h.49.


(5)

xiii Tesis

Rosyadi, Imron. “Pengaruh Minyak dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Timur Tengah: (Studi Kasus Kehadiran Pasukan Amerika

Serikat di Irak Pasca Kejatuhan Saddam Hussein).” Tesis S2 Program

Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007.

Zain, Azman Ridha. “Realitas Dibalik Konflik Amerika Serikat-Irak (Analisis

terhadap Invasi AS ke Irak).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas

Indonesia, 2004.

Sagala, Hasan Basri. “Kebijakan George Walker Bush Tentang Isu Senjata

Pemusnah Massal Irak: Analisis Ekonomi Politik terhadap Invasi Amerika Serikat ke Irak (2002-2004).” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2005.

Tobing, Rosalina. “Neoliberalisme dalam Kebijakan Ekonomi Politik Luar Negeri Amerika.” Tesis S2 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2000. Rizki, Mohammad. “Dampak Invasi Amerika Serikat ke Irak Terhadap Pasokan

Minyak Amerika Serikat.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Indonesia, 2005.

Jurnal

Anwar, Dewi Fortuna. “Tatanan Dunia Baru di Bawah Hegemoni Amerika Serikat.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 7-28.

Sukawarsini Djelantik. “Minyak dalam Diplomasi dan Politik Global,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 6, no. 1, (Maret 2010): h. 43-60.

Harmiyati. “Dimensi Teknologi, Keamanan, dan Ekonomi dalam Invasi AS ke

Irak,” Jurnal Paradigma, vol. VII, no. 20 (Maret 2003): h. 29-38.

Notosusanto, Indrya Smita. “Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang Dingin.” Dalam Zainuddin Djafar, ed. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1996: h. 110-122.

Perwita, Anak Agung Banyu. “Perubahan Lingkungan Keamanan Global dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat.” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 1, no. 2 (Mei 2005): h. 83-95.

Riyanto, Sugeng. “Imperium Amerika: Krisis Legitimasi dan Implikasi.” Jurnal Hubungan Internasional, vol. II, no. 1 (Mei 2005): h. 239-251.


(6)

Sihbudi, Riza. “Pasca Agresi Amerika ke Irak.” Jurnal Demokrasi dan HAM, vol. 3, no. 2 (Mei-September 2003): h. 29-50.

Yuliantoro, Nur Rahmat. “Hegemoni Amerika Pasca 11/9: Menuju Sebuah

„Imperium Amerika Baru‟?,” Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, vol. 9, no. 1 (Juli 2005): h. 91-108.

Laman Jaringan

Griff Witte, “Iraq: Army to End Expansive, Exclusive Halliburton Deal”, dalam

Washington Post, 12 Juli 2006. Diakses dari http://www.corpwatch.org/article.php?id=13870.

National Energy Policy: Report of the National Energy Policy Development

Group, May 2001”, www.wtrg.com/EnergyReport/National-Energy-Policy www.eia.gov/mer/overview.html