Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.

PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG
(Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN
DI PPS CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH

AISYA INTAN WIDYA SATRIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Parameter Dinamika
Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di
PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Agustus 2015
Aisya Intan Widya Satria
NIM C24110044

ABSTRAK
AISYA INTAN WIDYA SATRIA. Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi
Jawa Tengah. Dibimbing oleh YONVITNER dan RAHMAT KURNIA.
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan pelagis besar yang
memiliki nilai ekonomis penting di perairan Samudera Hindia dan merupakan
salah satu ikan tangkapan dominan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Cilacap, Jawa Tengah.
Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan parameter dinamika populasi ikan cakalang di Perairan Samudera
Hindia. Pelaksanaan penelitian pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015.
Analisis data terdiri atas rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, ukuran
pertama kali matang gonad, sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok
umur, hubungan panjang bobot, parameter pertumbuhan, laju eksploitasi, dan
model produksi surplus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan

cakalang lambat (K = 0,3). Panjang tubuh asimptotik (L∞) ikan cakalang sebesar
992,6 mm, dengan laju eksploitasi sebesar 0,93 yang berarti telah mengalami
tangkap lebih. Hasil tangkapan maksimum lestari dan upaya optimum masingmasing 3354,3 ton per tahun dan 1700 trip per tahun. Upaya pengelolaan yang
dapat dilakukan adalah pengendalian upaya penangkapan dan pembatasan musim
penangkapan.
Kata kunci: Ikan cakalang, Cilacap, indikator populasi, manajemen

ABSTRACT
AISYA INTAN WIDYA SATRIA. Dynamic Population Parameters of Skipjack
Tuna (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) landed on PPS Cilacap, Central Java.
Guided by YONVITNER and RAHMAT KURNIA.
Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) is a large pelagic fish that have
important economic value in the Indian Ocean and also as a dominant fish landed
in PPS Cilacap, Central Java. The aim of this research is to determine the
population dynamics parameter of skipjack tuna in the Indian Ocean. This
research was in December 2014 until March 2015. The data analysis conducted
are sex ratios, gonad maturity, first lenght maturity, length frequency distribution
and age, lenght and weight relationship, growth parameters, exploitation rate, and
the surplus production model. The results shown growth of skipjack tuna move
slow (K = 0,3). Lenght infinity (L∞) of skipjack tuna is 992,6303 mm, the

exploitation rate is 0,93 and called as overexploited. Maximum sutainable yield
(MSY) is about 3354,3 ton per year and optimum effort amount is 1700 trip per
year. Management efforts to control fishing effort and restrictions of the fishing
season.
Keywords: Skipjack, Cilacap, population indicator, management

PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG
(Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN
DI PPS CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH

AISYA INTAN WIDYA SATRIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Parameter Dinamika
Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di
PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi.
2. Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku dosen pembimbing akademik.
3. Dr Yonvitner, SPi MSi serta Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan
karya ilmiah ini.
4. Dr Ir Etty Riani, MS selaku penguji tamu dan Ali Mashar, SPi MSi selaku
komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas saran

dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
5. Keluarga Penulis Ibu Ratna Dewi, Bapak Ir Budi Satria, Adik Annisa Putri
WS dan Alika Tririsky WS yang telah memberikan banyak motivasi dan
doa kepada Penulis baik moril maupun materil.
6. PPS Cilacap (Bapak Agung, Ibu Eko, Bapak Taufik, Mas Iqbal dan lainlain) dan Tim Penelitian Cilacap (Tini, Ira, Diah, dan Riana).
7. Sahabat Penulis (Oktarina KS, Anisa NF, Siti NK, Meti F, FJ Ilmil, Poppy
H, dan Tria Khairunnisa), Muhamad Radifa, Gama, Asisten Biologi
Perikanan dan Oseanografi Umum atas semangat, dukungan, motivasi, serta
doa kepada Penulis.
8. Teman-teman terbaik Manajemen Sumberdaya Perairan angkatan 48.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Aisya Intan Widya Satria

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vii
viii

1
1
1
2
3
3
3
4
10
10
17
23
23
23
23
26
31

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis)
2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap
pengambilan contoh
3 Sebaran kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
4 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
berdasarkan model von Bertalanffy
5 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
6 Produksi perikanan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
7 Perbandingan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
8 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis)

vi

4
10
14
15
16
16

19
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Penentuan panjang total (A-B) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Hasil tangkapan per jenis ikan di PPS Cilacap
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
betina
6 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
jantan
7 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwnous pelamis)
8 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis)
9 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
10 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
11 Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer

vii

2
3
4
10
11
11
12
13
14
15
17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Chi-square terhadap proporsi kelamin ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis)
2 Tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) betina
3 Tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) jantan
4 Ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
jantan
5 Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
6 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
7 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
8 Pendugaan mortalitas ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
9 Standarisasi alat tangkap
10 Model produksi surplus

viii

26
26
27
27
28
28
29
29
29
30

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Samudera Hindia kaya akan sumberdaya ikan pelagis besar, seperti
madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora
(Thunnus allalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus macoyii), tuna abu-abu
(Thunnus tonggol) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Merta et al. 2006). Ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis sumberdaya perikanan
terpenting baik sebagai komoditi ekspor maupun sebagai bahan konsumsi dalam
negeri. Kajian Komisi Stok Nasional menunjukkan pemanfaatan stok cakalang
masih dalam tingkat moderate (KepMen KP nomor 45/Men/2011).
Data Ditjen Perikanan Tangkap menunjukkan produksi perikanan ikan
cakalang tahun 2014 sebesar 484610 ton, dengan persentase kenaikan rata-rata
dari tahun sebelumnya sebesar 0,75%. Produksi ikan di Pelabuhan Perikanan
Samudera Cilacap meningkat cukup tinggi terutama ikan cakalang. Hasil
tangkapan rata-rata ikan cakalang tahun 2014 di PPS Cilacap sebesar 675,45 ton
dengan harga Rp 14.000-17.000 per-kg.
Pertumbuhan ikan cakalang cenderung lambat dan termasuk spesies yang
memiliki resiko terhadap stok besar. Menurut World Wildlife Fund (WWF)
(2015), bentuk upaya pengelolaan yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 antara lain mengekang praktik
penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, serta tidak diatur
(Illegal, Unreported, Unregulated Fishing). Namun, hingga saat ini upaya
penangkapan ikan cakalang masih dilakukan dengan cara yang tidak sesuai kaidah
pengelolaan sumber daya perikanan.
Nelayan masih dapat melakukan
penangkapan dengan bebas termasuk ikan yang masih belum matang gonad.
Peningkatan armada yang beroperasi dari tahun ke tahun di wilayah ini
menyebabkan penurunan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE)
maupun penurunan total hasil tangkapan. Kegiatan penangkapan ikan cakalang
yang dilakukan terus-menerus dapat mempengaruhi keberadaan dan kondisi stok
sumberdaya ikan cakalang di daerah Perairan Samudera Hindia. Oleh karena itu,
pertimbangan ini menjadi dasar dalam menentukan parameter dinamika populasi
terhadap ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia khususnya PPS Cilacap agar
diperoleh informasi mengenai kondisi stok yang berguna untuk menunjang
pengelolaan sumberdaya ikan cakalang demi mewujudkan pemanfaatan
sumberdaya ikan cakalang yang lebih tepat dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah
Pengkajian dinamika populasi ikan merupakan kajian mengenai nilai dugaan
besarnya biomasa ikan berdasarkan kelompok jenis ikan dalam waktu tertentu
dengan menggunakan aplikasi ilmu statistika dan matematika sehingga diperoleh
status stok ikan secara kuantitatif untuk kepentingan pendugaan stok ikan dan
alternatif pengelolaan perikanan. Sebaran frekuensi panjang dan hubungan
panjang bobot merupakan informasi dasar yang sangat penting untuk mengetahui

2
laju pertumbuhan dan merupakan beberapa faktor pertimbangan utama dalam
menetapkan strategi pengelolaan perikanan suatu sumberdaya ikan tertentu. Data
produksi ikan cakalang di PPS Cilacap mengalami fluktuasi. Status pemanfaatan
sumberdaya ikan cakalang di Cilacap juga sudah dalam kondisi tangkap lebih
(overfishing). Kegiatan penangkapan ikan yang tinggi dengan volume produksi
yang terus meningkat setiap tahunnya dapat mengakibatkan adanya upaya tangkap
lebih yang akan menyebabkan penurunan stok ikan cakalang di Perairan
Samudera Hindia khususnya Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan suatu studi dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana lebih difokuskan pada kajian
dinamika populasi sumberdaya ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia yang
didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Informasi mengenai keadaan
stok sumberdaya ikan cakalang meliputi sebaran frekuensi panjang, pola
pertumbuhan, TKG, laju mortalitas, tangkapan maksimum lestari (MSY) dan
upaya optimum penangkapan ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia.
Informasi tersebut berguna bagi rencana pengelolaan sumberdaya ikan cakalang
yang lebih tepat dan berkelanjutan. Pokok permasalahan dari pengelolaan
perikanan cakalang yang lebih difokuskan pada pengkajian stok ikan cakalang
dengan batasan daerah penangkapan perairan Samudera Hindia yang didaratkan di
PPS Cilacap, kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
Upaya penangkapan
tinggi

Intensitas
eksploitasi

Intensitas
penangkapan

Populasi menurun

Stok menurun

Keberlanjutan
stok menjadi
terganggu

Pengelolaan
perikanan
berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dinamika populasi
sumber daya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai input untuk
menetapkan rencana pengelolaan yang tepat.

3

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PPS Cilacap, Desa Tegalkamulyan, Kecamatan
Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Ikan contoh yang
diperoleh merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Samudera Hindia.
Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium PPS Cilacap. Pengambilan
contoh data primer dan data sekunder dilakukan sebanyak empat kali, dimulai
pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015 dengan interval waktu
pengambilan contoh lebih kurang 30 hari. Gambar 2 menunjukkan lokasi
penelitian dan daerah penangkapan dari ikan yang didaratkan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Pengumpulan Data
. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi panjang total (mm), bobot ikan (gram), jenis
kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG). Pengambilan ikan contoh
meliputi ikan-ikan yang berukuran kecil, sedang, dan besar yang diambil secara
acak dari ikan-ikan yang didaratkan oleh nelayan. Jumlah ikan contoh yang
dianalisis gonad dan TKG sebanyak 32 ekor. Ikan contoh diukur panjang total
dan ditimbang bobot basahnya di lokasi pelelangan sebanyak 822 ekor.
Pengukuran panjang, yaitu panjang total (ketelitian 0,5 cm) dan bobot total
dengan timbangan digital (ketelitian 0,025 gram). Gambar 3 menunjukkan
pengukuran panjang total ikan cakalang yang diukur mulai dari ujung mulut (A)
hingga ujung ekor (B) ikan cakalang.

4

Gambar 3 Penentuan panjang total (A-B) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan yang telah diukur panjang total dan ditimbang bobot basah dianalisis
jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) di Laboratorium dengan
menggunakan alat bedah. Jenis kelamin dan TKG dapat diketahui melalui
pengamatan perkembangan gonad setelah dilakukan pembedahan. Tingkat
kematangan gonad (TKG) diamati secara morfologi dengan memperhatikan
bentuk, warna dan ukuran gonad ikan contoh. Penentuan TKG mengacu pada
klasifikasi sebagai berikut (Orange 1961).
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis)
Keadaan
Gonad
I IMMATURE

TKG

II MATURING
III MATURE
IV RIPE
V SPENT

Deskripsi
Gonad memanjang, kecil hampir transparan
Gonad membesar, berwarna pink-krem, butiran telur belum dapat
terlihat dengan kasat mata
Gonad berwarna krem kekuningan, butiran telur sudah dapat
terlihat dengan mata biasa
Butiran telur membesar dan bewarna kuning jernih, dapat keluar
dengan sedikit penekanan pada bagian perut
Gonad mengecil, bewarna merah dan banyak terdapat pembuluh
darah

Data sekunder diperoleh dari bagian statistik perikanan PPS Cilacap yang
berupa data produksi perikanan dan trip unit penangkapan setiap tahun yang
didaratkan di PPS Cilacap. Informasi lain yang dikumpulkan adalah operasi
penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Data tersebut
diperoleh melalui wawancara terhadap nelayan dan pihak PPS Cilacap.

Analisis Data
Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada di
perairan. Pada statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap
total populasi (Walpole 1993). Pendugaan rasio kelamin dibutuhkan sebagai

5
bahan pertimbangan dalam reproduksi, recruitment, dan konservasi sumberdaya
ikan tersebut. Menurut Effendie (2002), rasio kelamin dihitung menggunakan:
p=

A
B

×100%

(1)

p adalah rasio kelamin (jantan atau betina), A adalah jumlah ikan jantan dan
betina. B adalah jumlah total individu ikan jantan dan betina contoh (ekor). Uji
khi-kuadrat (Chi-square) digunakan untuk mengetahui keseimbangan hubungan
antara populasi betina dan populasi jantan dalam suatu populasi (Steel dan Torrie
1980).
2

χ =

∑ (oi -ei )

2

(2)

ei

χ2 adalah nilai statistik khi-kuadrat (Chi-square) untuk peubah acak yang sebaran
penarikan contohnya mengikuti sebaran khi-kuadrat, oi adalah frekuensi ikan
jantan dan betina yang teramati, dan ei adalah frekuensi harapan dari ikan jantan
dan betina.

Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan cakalang
mencapai matang gonad (M) adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan
bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986):
m = [xk+

x
2

] -(x ∑ pi )

(3)

Sehingga, M = antilog m

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:
antilog m M = m±1,96 √x2 ∑

pi x qi
ni -1

(4)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, �� adalah log
nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log
pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad
pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah
jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan
pertama kali matang gonad.
Pemijahan cakalang sangat dipengaruhi oleh perairan panas, sebagian besar
larva cakalang ditemukan di perairan dengan suhu di atas 240C. Musim
pemijahan cakalang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad dan
ditemukannya larva di perairan tersebut. Perbedaan ukuran cakalang pertama kali
matang gonad dibedakan oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang
dan bujur serta kecepatan pertumbuhan (Nikolsky 1963).

6
Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Sebaran frekuensi panjang ditentukan berdasarkan data panjang total ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis). Data panjang ikan cakalang dikelompokkan ke
dalam beberapa kelas panjang, sehingga setiap kelas panjang ke-i memiliki
frekuensi (fi). Identifikasi kelompok umur dilakukan dengan menganalisis
frekuensi panjang melalui metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II,
FAO-ICLARM Stock Assesment Tool).
Sebaran frekuensi panjang
dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai
rata-rata panjang dan simpangan baku pada masing-masing kelompok umur
(Gafanilo et al. 1994 in Fandri 2012). Apabila fi adalah frekuensi ikan dalam
kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j
dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ..., G), maka
fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {μj, σj, pj} adalah fungsi
kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):
G
L= ∑N
i=1 fi log ∑j=1 pj qij

(5)

dan

qij =

1
σj √2π

e

1
2

x μj 2
iσj

(6)

qij yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah
(μj) dan simpangan baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi
objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing
terhadap μj, σj dan pj, sehingga diperoleh dugaan μj, σj, dan pj yang akan
digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang bobot ikan cakalang dihitung menggunakan
rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002).
W= ɑ Lb

(7)

W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), ɑ adalah konstanta dan b
adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila
ditransformasikan ke dalam logaritme, akan diperoleh persamaan:
log W= log α+b log L

(8)

Interpretasi dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai
konstanta b, yaitu dengan hipotesis:
1. H0: b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama
dengan pola pertumbuhan bobot).
2. H1: b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik

7
Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif (b>3)
yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b ttabel maka tolak
hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel berarti terima hipotesis nol (Walpole 1995).

Parameter pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan von
Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999).
Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)])

(11)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (�) dan L∞ dilakukan dengan
menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy
untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi:
Lt+1 = L∞ [1- e-K] + Lt e-K

(12)

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier
y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y)
sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan
absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh
dengan cara:
K=-ln(b1 )

(13)

dan
a
L∞ =

(14)

1-b

Pendugaan terhadap nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1980) in Sparre dan Venema
(1999):
log(-t0 ) = 0,3922-0,2752 logL∞ -1,038( log K)

(15)

8
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm), ∞ adalah panjang asimtotik
ikan (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), t adalah
umur ikan, dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang ikan 0.

Mortalitas dan laju eksploitasi
Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi mortalitas
alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas
total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data
panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
ln

C L +L

=h−Zt

∆t L ,L

L +L
2

(16)

Persamaan (16) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y =
L +L
C L +L
sebagai ordinat, y = 2 sebagai absis, dan Z =
b0+b1x, dengan y = ln
∆t L ,L

-b1. Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linier dengan kemiringan (b) = Z. Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut.
Ln M = -0,152-0,279 Ln L∞ +0,6543 Ln K+0,0463 Ln T

(17)

Pada ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol seperti ikan cakalang
maka menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan dalam
perhitungan, ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk nilai dugaan menjadi
20% lebih rendah:
M = 0,8 e-0,152-0,279 Ln L∞+0.6543 Ln K +0.463 Ln T

(18)

L∞ adalah panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan dari
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan
air (⁰ C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
F = Z-M

(19)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan
(F) dengan mortalitas total (Z) Pauly (1984):
E=

F
F+M

=

F
Z

(20)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971):
F optimum = M sehingga E optimum = 0,5

(21)

9
Model produksi surplus
Pendugaan potensi ikan cakalang dapat diduga dengan model produksi
surplus Schaefer dan Fox yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya
penangkapan (effort). Model ini dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik
hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan
upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus
mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan
Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimun (� ��) dan tangkapan
maksimum lestari (MSY) dapat diduga melalui persamaan:
Ct

= a-bft

(22)

dan
C
ln t = a-bft
f

(23)

ft

t

masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh
dugaan fmsy untuk Schaefer dan Fox adalah:
fmsy =
dan
fmsy =

a
2b
1

(24)
(25)

b

MSY masing-masing untuk Schaefer dan Fox:
a2

MSY = 4b
dan
1
MSY = b e(a-1)

(26)
(27)

Keterangan:
a : Perpotongan (intersept)
b : Kemiringan (slope)
e : Bilangan natural (e = 2,71828)
Ct : Jumlah tangkapan
ft : Upaya tangkap
Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan
determinasi yang paling tinggi. Potensi lestari (PL) dan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dapat ditentukan dengan
analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO1995),
sehingga:
PL = 90% × MSY

(28)

selanjutnya dapat ditentukan Total Allowable Catch menurut Keputusan
Menteri nomor 473A (1985):
TAC = 80% × MSY

(29)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Komposisi hasil tangkapan ikan
Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPS Cilacap sangat beragam, antara
lain ikan cakalang, tuna, hiu, paruh, udang, dan ikan lainnya. Berdasarkan
Gambar 4 dapat dilihat bahwa ikan cakalang memiliki persentase sebesar 13%
dari total hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap. Jenis lain yang juga
tinggi adalah kelompok tuna. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan
salah satu ikan dominan yang tertangkap di PPS Cilacap. Harga jual ikan
cakalang tergantung kualitas ikan tersebut dan harganya berkisar Rp 14000–17000
per kg.
Tuna/Tunas

13%

Cakalang/Skipjack tuna
13%
53%

Hiu/Shark
Paruh Panjang/Bill fish

7%

Udang/Shrimp
3%

11%

Ikan lainnya/Others fishes

Gambar 4 Hasil tangkapan per jenis ikan di PPS Cilacap
Sumber: Data Statistik Perikanan PPS Cilacap Tahun 2014

Rasio kelamin
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada
di perairan. Dalam statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu
terhadap total populasi (Walpole 1993). Rasio kelamin ikan cakalang pada setiap
pengambilan contoh disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap
pengambilan contoh
Waktu

n

25 Desember 2014

Jumlah

Perbandingan (%)

Betina

Jantan

Betina

Jantan

11

6

5

54,6

45,4

27 Januari 2015

5

0

5

0,0

100,0

24 Februari 2015

7

3

4

42,9

57,1

24 Maret 2015

9

4

5

44,4

55,6

Total

32

13

19

40,6

59,4

11
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada setiap pengambilan contoh, jumlah
ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina. Jumlah keseluruhan ikan
cakalang yang diamati jenis kelaminnya adalah 32 individu yang terdiri dari 13
individu ikan betina dan 19 individu ikan jantan.
Secara keseluruhan
perbandingan antara ikan cakalang betina dan jantan yang diamati pada penelitian
ini sebesar 1:1,5 atau 40,6%:59,4%. Rasio kelamin TKG III dan IV tidak
ditemukan pada betina selama penelitian, sedangkan pada jantan ditemukan hanya
pada bulan Februari sebanyak 2 ekor.

Tingkat kematangan gonad

Frekuensi Relatif (%)

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad
ikan (Effendie 2002). Grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang
betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh berdasarkan selang kelas
panjang ikan (Lampiran 2 dan 3) disajikan pada Gambar 4 dan 5.
100%
80%
60%

TKG IV

40%

TKG III

20%

TKG II
TKG I

0%
220-261 262-303 304-345 346-387 388-429 430-471
Selang Kelas (mm)

Frekuensi Relatif (%)

Gambar 5 Tingkat kematangan gonad (TKG)
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) betina
100%
80%
60%

TKG IV

40%

TKG III

20%

TKG II
TKG I

0%
220-261 262-303 304-345 346-387 388-429 430-471
Selang Kelas (mm)

Gambar 6 Tingkat kematangan gonad (TKG)
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) jantan
Pada Gambar 5 dan Gambar 6 diperoleh bahwa baik ikan cakalang betina
maupun jantan yang dominan tertangkap adalah TKG I dan TKG II. Berdasarkan
perhitungan dengan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) panjang ikan

12
cakalang pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan jantan adalah 439,40 mm,
sedangkan untuk ikan cakalang betina tidak ditemukan TKG III dan TKG IV
sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad.

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Jumlah ikan cakalang yang diukur pada setiap pengambilan contoh
berkisar antara 124-353 ekor. Total ikan cakalang yang diukur selama penelitian
mencapai 822 ekor. Pada Gambar 7 menggambarkan bahwa frekuensi panjang
ikan cakalang menyebar dari selang kelas panjang 220 mm hingga 791 mm.
Panjang minimum dan maksimum ikan cakalang yang diamati adalah 220 mm
dan 790 mm. Berdasarkan hasil Lm diketahui bahwa jumlah ikan yang ukurannya
lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad sebanyak 657 ekor atau
79,93%. Oleh karena persantase yang diperoleh lebih besar dari 50%, maka dapat
diduga bahwa telah terjadi gejala recruitment overfishing.
300,0

Lm= 439,40 mm

Frekuensi (ind)

250,0
200,0

n= 822

150,0
100,0
50,0
0,0

Selang Kelas (mm)

Gambar 7 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwnous pelamis)
Analisis kelompok umur dilakukan setelah mengetahui sebaran distribusi
frekuensi panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu pengambilan
contoh. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur
ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini dikarenakan frekuensi panjang ikan
tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran
normal. Gambar 8 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan
cakalang.

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

Frekuensi (ind)

13
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0

Desember
n= 136

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0

Januari
n= 209

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5
Februari
n= 124

100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0

Maret
n= 353

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5
Nilai Tengah Panjang (mm)

Gambar 8 Pergeseran modus frekuensi panjang
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terjadi pergesaran modus ke
arah kanan pada bulan Desember hingga Januari dan Februari hingga Maret.
Pergeseran ke arah kanan menunjukkan pertumbuhan ikan cakalang. Metode
yang digunakan untuk analisis kelompok umur adalah metode NORMSEP melalui
program FISAT II. Hasil analisis kelompok umur ikan cakalang berupa panjang
rata-rata dan indeks separasi. Tabel 3 menunjukkan nilai indeks separasi lebih
dari 2, sehingga hasil pemisahan kelompok umur ikan cakalang dapat diterima
dan digunakan untuk analisis berikutnya. Menurut Hasselblad (1996) in Spare
dan Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas
pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Bedasarkan Tabel 3 diperoleh
bahwa setiap waktu pengambilan contoh hanya ditemukan maksimum 2 hingga 3
kelompok umur saja.

14
Tabel 3 Sebaran kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Waktu Pengambilan Contoh

Kelompok Umur

25 Desember 2014
27 Januari 2015

24 Februari 2015
24 Maret 2015

Panjang Rata-Rata

Indeks Separasi

Total (mm)

Total

1

323,5 ± 36,6

N.A

2

713,5 ± 60,2

8,1

1

387,2 ± 52,9

N.A

2

496,4 ± 26,0

2,8

3

651,1 ± 54,1

3,9

1

366,7 ± 28,7

N.A

2

471,5 ± 75,3

2,0

1

302,4 ± 26,0

N.A

2

393,7 ± 51,0

2,4

3

609,6 ± 26,0

5,6

Hubungan panjang bobot
Analisis hubungan panjang bobot dimanfaatkan untuk mengetahui pola
pertumbuhan suatu organisme. Gambar 9 menyajikan hasil analisis hubungan
panjang dan bobot ikan cakalang.

Bobot (gram)

10000

W = 0,00005L3,0
R² = 85,4%
n = 822

8000
6000
4000
2000
0
0

200

400

600

800

1000

Panjang (mm)

Gambar 9 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Persamaan hubungan panjang bobot ikan cakalang adalah W= 0,00001L3,0
dengan koefisien determinasi 85,4%. Berdasarkan persamaan pada Gambar 7
diperoleh nilai b sebesar 3,0. Berdasarkan nilai t sebesar 0,5, diperoleh pola
pertumbuhan ikan cakalang adalah isometrik, yang berarti pertumbuhan bobot
sama dengan pertumbuhan panjangnya.

Parameter pertumbuhan
Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode Ford Walford
(Lampiran 6) yang diturunkan dari model von Bertalanffy. Analisis parameter
pertumbuhan terhadap ikan cakalang meliputi koefisien pertumbuhan (K), panjang

15
asimtotik atau panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞) dan umur teoritis
ikan pada saat panjang ikan nol (t0). Tabel 4 menyajikan parameter pertumbuhan
ikan cakalang berdasarkan model von Bertalanffy.
Tabel 4 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan
model von Bertalanffy
Parameter Pertumbuhan

Total

L∞ (mm)

992,6

K (tahun-1)

0,3

t0 (tahun)

-0,2

Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan cakalang adalah
Lt= 992,6(1-e -0,3(t+0,2)). Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang
disajikan pada Gambar 10 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total
ikan (mm).
1.200,0

Panjang (mm)

1.000,0
800,0

Lt = 992,6 1 − e −0,3 t+0,2

600,0
400,0
200,0
0,0

-2

0

2

4
6
Umur (tahun)

8

10

Gambar 10 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Mortalitas dan laju eksploitasi
Suatu stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunan akibat tingkat
mortalitas yang tinggi. Laju mortalitas terdiri dari 2 jenis yakni mortalitas alami
dan mortalitas penangkapan. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) ikan
cakalang dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data
panjang. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu
diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian
stok ikan (King 1995). Tabel 5 menyajikan informasi mengenai laju mortalitas
dan laju eksploitasi.

16
Tabel 5 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Parameter

Total

Mortalitas alami (M)

0,3

Mortalitas penangkapan (F)

3,1

Mortalitas total (Z)

3,3

Laju Eksploitasi (E)

0,93

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan
cakalang lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan cakalang lebih banyak mati akibat adanya kegiatan
penangkapan. Laju eksploitasi ikan cakalang sebesar 93%.

Model produksi surplus
Model produksi surplus digunakan untuk menentukan upaya optimum
yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari. Data hasil
tangkapan ikan cakalang dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi
(Lampiran 9) disajikan pada Tabel 6 (Data Statistik Perikanan PPS Cilacap 2014).
Tabel 6 Produksi perikanan (ton) dan upaya penangkapan (trip)
Tahun

Produksi perikanan (ton)

Upaya (trip)

2008

2272,4

2906

2009

1835,8

2726

2010*

361,2

2789

2011

2519,2

2704

2012

2400,8

2513

2013

723,8
2014*
675,4
Note: *Data tidak dimasukkan ke dalam perhitungan model produksi surplus

3071
1965

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan cakalang
mengalami fluktuasi. Produksi perikanan ikan cakalang tertinggi terdapat pada
tahun 2011 dengan upaya penangkapan sebesar 2704 trip. Upaya penangkapan
tertinggi terjadi pada tahun 2013, yaitu sebesar 3071 trip. Pada tahun 2010 dan
2014, data produksi perikanan dan upaya tidak dimasukkan dalam perhitungan
karena merupakan data pencilan.
Analisis potensi sumberdaya ikan cakalang menggunakan model Schaefer
dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 71,3%. Nilai upaya optimum
(fmsy) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di peroleh masing-masing
sebesar 1700 trip dan 3354,3 ton per tahun. Nilai potensi lestari (PL) dan Total
Allowable Catch (TAC) masing-masing adalah 3018,8 ton per tahun dan 2683,4
ton per tahun. Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer
disajikan pada Gambar 11.

17
3.500,0

Hasil Tangkapan (ton)

3.000,0
2011

2.500,0
2012

2.000,0

Fmsy
1.500,0

MSY

1.000,0

Tahun
2013

500,0
0,0
0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

Upaya Tangkap (trip)

Gambar 11 Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer

Pembahasan
Salah satu faktor penting untuk mengetahui struktur suatu populasi ikan
maupun pemijahannya adalah dengan melakukan pengamatan rasio kelamin (sex
ratio). Perbandingan rasio kelamin antara ikan cakalang betina dan jantan adalah
1:1,5. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang banyak tertangkap di perairan
Samudera Hindia adalah ikan cakalang jantan dibandingkan ikan cakalang betina.
Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumadhiharga dan Hukom
(1987) di Laut Banda yang menghasilkan perbandingan rasio kelamin antara ikan
cakalang betina dan jantan adalah 0,82:1. Variasi rasio kelamin biasanya terjadi
akibat adanya 3 faktor, yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan
penangkapan (Bal dan Rao 1984 in Saha et al. 2009). Perbandingan ikan betina
dan jantan dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan 1:1 atau sedapatdapatnya ikan betina lebih banyak, agar bertujuan untuk mempertahankan
kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001). Menurut
Wilson (1982) in Sumadhiharga dan Hukom (1987) menyatakan hal yang
menyebabkan perbedaan rasio kelamin adalah kurangnya ikan betina pada suatu
perairan karena akan melakukan pemijahan.
Penentuan tahap kematangan gonad bertujuan untuk mengetahui
perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak
melakukan reproduksi (Sulistiono et al. 2007). Tingkat kematangan gonad pada
tiap waktu bervariasi, tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan
tiba. Selain itu bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan
memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan
berlangsung sampai selesai. Berdasarkan hasil pengamatan gonad secara
anatomis yang mengacu pada Orange (1961) terlihat bahwa selama penelitian ikan
cakalang betina mempunyai TKG I dan TKG II, sedangkan pada ikan cakalang
jantan didapatkan TKG I, TKG II, TKG III dan TKG IV. Pada penelitian ini
diambil 32 contoh gonad (13 ekor di antaranya ikan cakalang betina dan 19 ekor
ikan cakalang jantan) yang diamati, hanya ditemukan 1 ekor ikan cakalang jantan
yang mencapai TKG III dan IV, dan pada ikan cakalang betina tidak

18
ditemukannya TKG III dan TKG IV. Menurut Koya et al. (2012) puncak musim
pemijahan ikan cakalang di perairan Samudera Hindia mulai dari bulan Desember
hingga Maret, pada saat memijah ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut
dalam, sehingga peluang untuk tertangkapnya ikan cakalang betina TKG III dan
TKG IV sangat kecil.
Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi
yang perlu diketahui dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, karena dapat
dijadikan sebagai salah satu dasar pengelolaan perikanan (Waileruny 2014).
Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986),
dugaan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang jantan berada pada
ukuran 430-471 mm, yaitu sebesar 439,40 mm, sedangkan untuk ikan cakalang
betina tidak ditemukannya TKG III dan TKG IV sehingga tidak didapatkan hasil
ukuran pertama kali matang gonad (Lampiran 4).
Pada penelitian Grande et al. (2014) menyebutkan bahwa ukuran pertama
kali matang gonad (Lm) ikan cakalang betina di perairan Samudera Hindia Barat
diperkirakan sebesar 399 mm. Menurut Brock (1954), ukuran pertama kali
matang gonad ikan cakalang betina di perairan sekitar kepulauan Hawai sebesar
400 mm. Penelitian Sumadhiharga dan Hukom (1987) diperoleh nilai Lm di Laut
Banda sebesar 418 mm pada ikan cakalang betina dan 420 mm pada ikan cakalang
jantan. Manik (2007) mendapatkan hasil ukuran ikan cakalang terkecil yang
sudah matang gonad (TKG III) di perarian sekitar pulau Seram Selatan dan pulau
Nusa laut berukuran 436 mm pada jantan dan 428 mm pada betina. Hasil
pengamatan secara histologi yang dilakukan Mallawa et al. (2014) di perairan
Laut Flores didapatkan bahwa ikan cakalang mencapai fase siap memijah pada
ukuran 555 mm dan diduga memijah pada ukuran 560 mm pada betina dan 600
mm pada jantan.
Nikolsky (1963) menyatakan, bahwa perbedaan ukuran pertama kali
matang gonad ikan cakalang dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu
perairan, letak lintang dan bujur, serta kecepatan pertumbuhan. Perbedaan tempat
pemijahan dapat menimbulkan perbedaan musim pemijahan. Menurut Widiawati
(2000), puncak pemijahan ikan cakalang untuk Selatan Jawa antara bulan Mei
hingga Oktober, untuk Barat Sumatera pada bulan September hingga Desember,
dan untuk perairan Laut Banda pada bulan Desember. Musim penangkapan ikan
cakalang di PPS Cilacap berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober dan
puncaknya pada bulan Agustus-September (Merta 2004).
Frekuensi panjang ikan cakalang menyebar mulai selang kelas panjang
220-791 mm. Apabila dibandingkan dengan penelitian Fadhilah (2010), panjang
ikan cakalang total yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya
berkisar antara 246-535 mm. Panjang ikan cakalang total yang tertangkap pada
perairan Samudera Hindia Barat menurut penelitian Mayangsoka (2010) bekisar
antara 250-568 mm. Frekuensi tertinggi ikan cakalang terdapat pada selang kelas
324-375 mm. Hal ini menunjukkan bahwa banyak ikan cakalang berukuran kecil
yang tertangkap, sehingga dapat diduga bahwa perairan tersebut merupakan
daerah pengasuhan (nursery area). Banyaknya ikan-ikan muda yang tertangkap
akan beresiko terhadap keberadaan stok ikan. Ikan cakalang merupakan spesies
yang memiliki resiko terhadap stok besar
Menurut Nikolsky (1963) in Suwarni (2009) jika pada suatu perairan
terdapat perbedaan ukuran dan jumlah ikan, hal tersebut mungkin disebabkan oleh

19
perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan ukuran pertama kali matang gonad,
perbedaan masa hidup, dan adanya pemasukan jenis ikan atau spesies baru pada
suatu populasi ikan yang sudah ada. Spesies ikan yang sama dan hidup di lokasi
perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda karena adanya
faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut.
Faktor dalam tersebut adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti
keturunan, jenis kelamin, umur, serta penyakit, sedangkan faktor luar yang utama
mempengaruhi petumbuhan ikan adalah suhu dan makanan (Effendie 2002).
Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat adanya perubahan ratarata panjang ikan setiap pengambilan contoh. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada
pengambilan contoh ke-1 hingga ke-2 dan pengambilan contoh ke-3 hingga 4
terdapat pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan
pada ikan cakalang. Pada pengambilan contoh ke-3, yaitu akhir Februari terjadi
proses recruitment yang ditandai dengan adanya pergeseran ke arah kiri. Hal ini
diduga terjadi karena adanya individu baru yang masuk ke dalam stok ikan
cakalang, sehingga membentuk kelas panjang baru. Selain itu dapat diduga ikan
yang ditangkap pada akhir Februari memiliki ukuran panjang yang kecil atau ikan
cakalang yang berusia muda tertangkap oleh nelayan. Penangkapan ikan berusia
muda sangat mempengaruhi keberadaan stok sumberdaya ikan cakalang. Faktor
utama yang menyebabkan hal demikian, yaitu ukuran mata jaring yang terlalu
kecil sehingga penangkapan tidak selektif.
Analisis hubungan panjang bobot pada ikan cakalang menghasilkan nilai b
sebesar 3,0 dengan t sebesar 0,5. Berdasarkan uji t (α = 0,05) terhadap nilai b
didapatkan pola pertumbuhan ikan cakalang, yaitu isometrik yang berarti pola
pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot. Perbedaan pola
pertumbuhan dari beberapa penelitian sebelumnya disebabkan adanya perbedaan
nilai b (Tabel 7).
Tabel 7 Perbandingan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Sumber
Uktolseja (1987)
Andrade et al.
(2002)
Mayangsoka
(2010)
Fadhilah (2010)
Jamal et al.
(2011)
Penelitian ini
(2015)

Lokasi

Persamaan
pertumbuhan

Pola
pertumbuhan

Perairan Timur Indonesia
(Sorong)
Samudera Atlantik Selatan
bagian tenggara
Samudera Hindia Barat (Barat
Sumatera)
Palabuhanratu dan sekitarnya

W= 0,00001L3,1

Allometrik positif

W= 0,0000007L3,3

Allometrik positif

W= 0,00001L3,0

Isometrik

W= 0, 000004L3,2

Allometrik positif

Kawasan Teluk Bone

W= 0,0004L2,8

Isometrik

Perairan Samudera Hindia

W= 0,00001L3,0

Isometrik

Berbedanya hasil analisis tersebut diduga karena diferensiasi kisaran
panjang ikan yang dianalisis cukup besar, selain karena pengaruh faktor-faktor
biologis dan ekologis dari masing-masing perairan dimana ikan tersebut hidup.
Menurut Sumadhiharga (1991) in Jamal et al. 2011, menyatakan perbedaan nilai b
dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta aktivitas
penangkapan. Aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada suatu daerah akan
mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan. Selain itu perbedaan

20
pola pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi
ukuran ikan yang diamati (Moutopoulos dan Stergiou 2002 in Kharat et al. 2008).
Selanjutnya Matsumoto et al. (1984) in Jamal et al. (2011), menyatakan bahwa
nilai b ikan cakalang berbeda-beda pada setiap lokasi penangkapan. Nilai terbesar
b = 3,67 diperoleh dari lokasi Bonin Island, West Pacific dan terkecil b = 1,70
yang berasal dari Filipina.
Parameter pertumbuhan dengan metode von Bertalanffy (parameter L∞
dan K) dapat diduga dengan menggunakan metode plot Ford Walford yang
merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga suatu parameter
pertumbuhan dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama. Kelompok
ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dipisahkan dengan menggunakan
metode NORMSEP dalam program FISAT II. Menurut Sparre dan Venema
(1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan semakin lama waktu yang
dibutuhkan spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik, dan sebaliknya
semakin tinggi koefisien pertumbuhan semakin cepat waktu yang dibutuhkan
mendekati panjang asimtotik. Hasil analisis beberapa penelitian mengenai ikan
cakalang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis)
Koefisien
L∞
Sumber
Lokasi
pertumbuhan
t0
(mm) (K) per tahun
Gaertner D et al. (2008)
Mayangsoka (2010)
Fadhilah (2010)
Jamal et al. (2011)
Koya et al. (2012)
Penelitian ini (2015)

Perairan Atlantik
bagian Timur
Samudera Hindia Barat
(Barat Sumatera)
Palabuhanratu dan
sekitarnya
Kawasan Teluk Bone
Perairan Samudera
Hindia
Perairan Samudera
Hindia

893,8

0,4

-0,1705

591,2

0,4

-1,0749

662,0

0,2

-0,6909

759,8

0,2

-0,3600

920,0

0,5

-0,0012

992,6

0,3

-0,2195

Secara umum pertumbuhan ikan cakalang lambat, hal ini dapat dilihat dari
nilai koefisien yang rendah. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut (L∞
dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dapat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan,
suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematangan gonad (Merta 1992
in Jamal et al. 2011). Oleh karena itu, perbedaan nilai parameter pertumbuhan
yang didapatkan dari lokasi-lokasi tersebut diduga dapat disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang berbeda. Waktu penelitian juga dapat mempengaruhi perbedaan
nilai parameter pertumbuhan yang didapat. Selanjutnya Widodo dan Suadi
(2008), menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter
pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan sampel yang dianalisis
mengenai cara atau metode yang digunakan.
Pada penelitian Mayangsoka (2010) didapatkan nilai panjang infinitif yang
kecil. Hasil tersebut mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi
dimana ukuran ikan yang tertangkap semakin lama semakin kecil. Hal ini terjadi

21
karena ikan tidak mendapatkan waktu pulih untuk melakukan pertumbuhan.
Perbedaan koefisien laju pertumbuhan menurut Gaertner (2008), menunjukkan
bahwa ikan cakalang tumbuh lebih cepat di wilayah utara timur Samudera
Atlantik daripada di daerah khatulistiwa
Penentuan tingkat eksploitasi dapat diperkirakan melalui parameter
pertumbuhan dan mortalitas dari beberapa spesies ikan. Pauly dan Palomares
(1986) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas
penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi
(E) sama dengan 0,5 (Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5). Laju eksploitasi ikan
cakalang sudah melebihi nilai optimum, yaitu sebesar 0,93 (Tabel 6). Nilai ini
mengindikasikan adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overexploited)
terhadap ikan cakalang, dengan tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan
nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Semakin
besar aktivitas penangkapan maka akan mengakibatkan sumberdaya ikan
terancam.
Hal ini serupa dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh
Mayangsoka (2010) yang memiliki nilai eksploitasi untuk ikan cakalang di
perairan Samudera Hindia Barat sebesar 0,95 dan Fadhilah (2010) dengan nilai
laju eksplotasi ikan cakalang di perairan Palabuhanratu dan sekitarnya, yaitu
sebesar 0,94. Tingginya tingkat eksploitasi mengindikasikan adanya tekanan
penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan cakalang di perairan Samudera
Hindia tepatnya di perairan selatan Jawa. Penangkapan ini akan berpengaruh
terhadap perubahan populasi ikan di suatu perairan (Oktaviyani 2013).
Pengelolaan sumberdaya perikanan pada awalnya didasarkan pada faktor
biologi, yaitu dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (Waileruny 2014).
Masing-masing model biologi pengelolaan perikanan secara eksplisit atau implisit
mengandung informasi mengenai overfishing yang merupakan suatu masalah
umum dari para pengelola perikanan. Model produksi surplus digunakan untuk
menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum) dan tangkapan maksimum
lestari. Rumus-rumus model produksi surplus (MPS) hanya berlaku bila
parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan upaya penangkapan akan
menyebabkan penurunan CPUE (Utami et al. 2012).
Model Schaefer menduga upaya optimum (fmsy) sebesar 1700 tr